3.8. Model Orde Kedua
Model orde kedua adalah persamaan polinomial yang memiliki pangkat dua atau berbentuk kuadrat. Bentuk umum dari model orde kedua untuk
3 variabel adalah sebagai berikut: Y = b
x + b
1
x
1
+ b
2
x
2
+ b
3
x
3
+ b
11
x
1 2
+ b
22
x
2 2
+ b
33
x
3 2
+ b
12
x
1
x
2
+ b
13
x
1
x
3
+ b
23
x
2
x
3
Dimana: Y = respon
x
i
= prediktor b
i
= koefisien prediktor Tujuan dari pembuatan model orde kedua adalah untuk menentukan titik
yang memberikan respon yang optimum. Alasan pembuatan model orde kedua dibangun karena percobaan pertama yang dilakukan sebelumnya bertujuan untuk
mencari daerah optimal yang akan digunakan dalam eksperimen berikutnya sehingga wilayah optimum yang diperkirakan akan dieksplorasi lebih jauh dapat
diperkirakan dengan model yang lebih kompleks. Adapun langkah-langkah yang diperlukan untuk menentukan model orde
kedua antara lain:
8
a. Melakukan eksperimen dengan Central Composite Design.
b. Model desain eksperimen dan hasil percobaan kemudian dihitung dengan
melakukan pendekatan matriks agar diperoleh koefisen model orde kedua. Untuk membangun model orde kedua, terlebih dahulu dilakukan
pengumpulan data dengan desain eksperimen. Untuk menentukan koefisien
8
Cochran, W. G., dan Cox, G. M. Ibid, hal 343
Universitas Sumatera Utara
regeresi pada model orde kedua, tiap variabel x
i
harus memiliki sekurang- kurangnya 3 level berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa desain faktorial 3
k
dapat digunakan, dimana tiga level dikodekan sebagai -1, 0 dan 1. Akan tetapi, ada kerugian dari penggunaan desain faktorial 3
k
yaitu dengan lebih dari 3 x- variabel, percobaan menjadi sangat besar. Untuk alasan tersebut Box dan Wilson
1951 mengembangkan suatu desain yang dapat cocok dengan desain model orde kedua. Pengembangan desain eksperimen awal untuk membangun model orde
kedua dinamakan Central Composite Design, dimana terdapat beberapa kombinasi perlakuan tambahan yang ditambahkan ke dalam desain eksperimen 2
k
. Pertanyaan yang menarik sering ditanyakan adalah apakah model orde
pertama cukup merepresentasikan fungsi respon dimana pada desain orde pertama tidak ada replikasi sehingga tidak ada perkiraan terhadap error. Mengenai hal ini
pada asumsi bahwa model yang memadai disediakan oleh model orde kedua yang memberikan jawaban bahwa tidak ada alasan untuk meragukan representasi model
orde pertama ketika pada uji ketidaksesuaian ternyata model orde kedua sesuai dengan fungsi respon sehingga model orde pertama dapat diterima
merepresentasikan fungsi respon.
3.9. Central Composite Design
Central Composite Design adalah suatu rancangan percobaan dengan faktor yang terdiri dari 2 level yang diperbesar titik-titk lebih lanjut yang
memberikan efek kuadratik.
9
Desain ini dimulai dengan level yang sama dengan desain 2
k
, ditambah dengan level tambahan yang terdiri dari center points dan star
9
G. E. P. Box, Ibid, hal 306.
Universitas Sumatera Utara
x x
x x
x
x
x
1
x
2
x
3
o
points α. Total kombinasi level yang terdapat pada central composite design
adalah 2
k
+ 2k + 1, dimana k adalah jumlah faktor. Center points yang dimaksud pada desain ini adalah level pada titik 0, 0,
0 dan star points α ditentukan oleh rumus:
4
2
k
=
α
Ilustrasi central composite design dapat dilihat pada gambar 3.3. Central Composite Design.
Gambar 3.3. Central Composite Design
● = Titik level desain 2
k
x = Titik tambahan untuk central composite design o = Center Points Titik origin
α = Star Points Secara umum, CCD terdiri dari beberapa titik antara lain:
1. Titik cube, jumlah titik yaitu: 2
k
dan membentuk koordinat ±1, ±1, ±1.
Universitas Sumatera Utara
2. Titik star, jumlah titik yaitu: 2k dan membentuk koordinat ±
α, 0, 0, 0, ±α, 0 dan 0, 0, ±
α.
3. Titik center, jumlah titik yaitu: n
c0
dan membentuk koordinat 0, 0, 0.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan jumlah titik center antara lain:
1. Menghasilkan desain yang bagus untuk informasi fungsi
2. Meminimasi error.
3. Memberikan deteksi yang bagus untuk uji ketidaksesuaian model orde dua.
4. Memberikan rangsangan terhadap desain yang robust.
Setelah desain eksperimen dilakukan, data yang dikumpulkan akan digunakan untuk menaksir koefisien b
, b
1
, ..., b
i
. Cara yang digunakan untuk menentukan koefisien prediktor sama dengan cara yang digunakan sewaktu
menentukan koefisien prediktor pada model orde pertama. Untuk menentukan apakah model yang dibangun telah cocok dengan data
yang telah dikumpulkan maka dilakukan uji ketidaksesuaian terhadap model orde kedua. Ketidaksesuaian menyatakan deviasi respon terhadap model yang
dibangun. Dalam uji ini juga mengukur besar kekeliruan eksperimen yang telah dilakukan. Uji ketidaksesuaian dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.4. Perhitungan Uji Ketidaksesuaian untuk Model Orde Kedua df
SS MS
F
hit
F
tabel
Model Orde Pertama
k
∑
= k
i i
iy b
1
MS
f
MS
f
MS
e
F
α
v
1
,v
2
Model Orde Kedua
2 1
+ k
k
∑ ∑
=
− +
+
k i
j i
ij ii
N G
ijy b
iiy b
y b
1 2
MS
s
MS
s
MS
e
F
α
v
1
,v
2
Ketidaksesuaian
2 3
2
+ −
k k
n
Melalui pengurangan MS
l
MS
l
MS
e
F
α
v
1
,v
2
Error n
1
-1
∑
−
2 _
1 i
u
y y
MS
e
Total
n
1
+ n
2
- 1
∑
=
−
N u
u
N G
y
1 2
2
Keterangan: df = degree of freedom derajat kebebasan, diasosiasikan dengan bagian yang
dibutuhkan dalam membangun model. SS = Sum of Square jumlah kuadrat, menyatakan jumlah kuadrat pengaruh suatu
perlakuan berhubungan hasil pengamatan. MS = Mean Square rata kuadrat, menyatakan perbandingan SS dengan df.
k = jumlah variabel independen ; N = jumlah perlakuan
n
1
= jumlah perlakuan dititik pusat ;
= respon perlakuan titik pusat n
2
= jumlah perlakua n titik cube titik α ; = rata - rata respon di titik pusat
b
i
= koefisien b ke i ; y
u
= respon perlakuan ke u iy = hasil perkalian X’Y
; v
1
= df pembilang G = jumlah hasil percobaan CCD
; v
2
= df error
Universitas Sumatera Utara
Setelah uji ketidaksesuaian maka dilakukan penentuan titik optimum dari model orde kedua. Penentuan titik optimum ataupun variabel prediktor adalah
sebagai berikut: Y = b
x + b
1
x
1
+ b
2
x
2
+ b
3
x
3
+ b
11
x
1 2
+ b
22
x
2 2
+ b
33
x
3 2
+ b
12
x
1
x
2
+ b
13
x
1
x
3
+ b
23
x
2
x
3
= ∂
∂
1
x y
b
1
+ 2b
11
x
1
+ b
12
x
2
+ b
13
x
3
= 0
= ∂
∂
2
x y
b
2
+ b
12
x
1
+ 2b
22
x
2
+ b
23
x
3
= 0
= ∂
∂
3
x y
b
3
+ b
13
x
1
+ b
23
x
2
+ 2b
33
x
3
= 0 Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan pendekatan matriks sehingga
dapat membentuk persamaan matriks sebagai berikut: 2b
11
b
12
b
13
x
1
-b
1
b
12
2b
22
b
23
x
2
= -b
2
b
13
b
23
2b
33
x
3
-b
1
x
1
2b
11
b
12
b
13 -1
-b
1
x
2
= b
12
2b
22
b
23
x -b
2
x
3
b
13
b
23
2b
33
-b
1
Ada hal yang harus dilakukan ketika model yang dibangun terdapat ketidaksesuaian sebelum dilanjutkan dengan penentuan titik optimum yaitu:
pemilihan ulang faktor dalam eksperimen dimana faktor yang dipilih adalah faktor
Universitas Sumatera Utara
yang secara signifikan berpengaruh terhadap respon, dan dengan melakukan transformasi respon, dimana transformasi respon dapat secara serempak
menyederhanakan hubungan fungsional dan memperbaiki kebutuhan yang berkenaan dengan asumsi distribusi.
Beberapa transformasi yang sering digunakan antara lain: 1.
Logaritma Y
’
= log Y Digunakan apabila efek – efek bersifat multiplikatif atau apabila simpangan
baku berbanding lurus dengan rata – rata. 2.
Akar kuadrat Y
’
= atau Y
’
= Digunakan apabila ragam berbanding lurus dengan rata – rata misalnya jika
data asli Y merupakan sampel dari populasi berdistribusi Poisson. 3.
Arc sinus Y
’
= arc sin Jika μ = rata – rata populasi dan ragam berbanding lurus dengan μ 1 – μ
misalnya jika data asli merupakan sampel dari populasi berdistribusi binom. 4.
Kebalikan Y
’
= 1Y Digunakan jika simpangan baku berbanding lurus dengan rata – rata kuadrat.
Universitas Sumatera Utara
3.10. Teori Mengenai Desain Eksperimen