Hasil Uji Efektivitas Antibakteri Ekstrak Madu terhadap Salmonella

dalam madu. Akibatnya zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak madu lebih kecil daripada zona hambat yang dibentuk oleh madu multiflora tanpa proses ekstraksi. Senyawa yang memiliki tingkat kepolaran rendah yaitu isoflavones. flavones. methylated flavones. dan flavonols. Sedangkan senyawa yang memiliki tingkat kepolaran lebih tinggi yaitu flavonoid glycosides dan aglycones. Tabel 4.3 juga menunjukkan bahwa pada perlakuan ekstraksi madu multiflora dengan menggunakan pelarut aseton baik kelompok residu maupun sedimen menghasilkan zona hambat. Pelarut aseton akan menarik senyawa polar pada madu sehingga akan bercampur dengan senyawa polar pada madu dan senyawa non-polar serta semipolar akan tertinggal dalam endapansedimen hasil ektraksi. Sedangkan pada perlakuan ekstraksi madu multiflora dengan menggunakan pelarut n-heksan hanya kelompok sedimen saja yang menghasilkan zona hambat. Pelarut n-heksan akan menarik senyawa yang bersifat non-polar pada madu sehingga akan bercampur dengan senyawa non-polar madu dan meninggalkan senyawa polar serta semipolar dalam endapansedimen hasil ekstraksi. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa senyawa polar pada madu multiflora memiliki efek antibakteri sedangkan senyawa non-polar pada madu multiflora tidak memiliki efek antibakteri. Bogdanov 1989 melaporkan senyawa antibakteri madu berasal dari flavonoid. 31 Jenis-jenis flavonoid yang terdapat dalam madu diantaranya adalah myricetin, tricetin, quercetin, luteolin, quercetin-3- methyl ether, kaempferol, pinobankins, genkwanin, isorhamnetin, benzoic acid, ferulic acid, galangin, pinocembrin, protocatechuic, dan lain-lain. 32 Flavonoid dapat merusak membran sel dengan cara menghambat sintesis makromolekul, 33 Flavonoid juga dapat mendepolarisasi membran sel dan menghambat sistesis DNA, RNA, maupun protein yang sudah diobservasi pada S.aureus. 33 Selain itu flavonoid juga dapat menghambat fungsi membran sitoplasma dan menghambat metabolisme energi pada bakteri. 34 Gambar 4.1 Hasil Pengukuran Zona Hambat Tabel 4.4 Kriteria Zona Hambat Menurut CLSI Agen Antimikroba Kandungan Cakram Kriteria Interpretasi Diameter Zona Hambat dalam mm susceptible intermediate resistant Kloramfenikol 30 ug ≥18 13-17 ≤12 Sumber: Clinical and Laboratory Standards Institute 2013 Berdasarkan kriteria zona hambat CLSI guideline 2013, maka zona hambat yang dibentuk oleh madu multiflora murni dan ekstrak madu multiflora termasuk dalam kategori resistant. Tabel 4.5 Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Bakteri Diameter Zona terang Respon Hambatan Pertumbuhan 20 mm Kuat 16-20 mm Sedang 10-15 mm Lemah 10 mm Tidak Ada Sumber: Greenwood. 1995 Berdasarkan respon hambatan pertumbuhan bakteri menurut Greenwood, 1995 maka madu multiflora dengan konsentrasi 100 dengan rata-rata zona hambat 10.50 mm dan Sedimen madu multiflora + aseton dengan konsentrasi 100 dengan rata-rata zona hambat 10.25 mm termasuk dalam kategori respon hambatan pertumbuhan lemah. Sedangkan parameter uji madu lainnya masuk dalam kategori tidak ada respon hambatan pertumbuhan. Menurut Hafidiani 2001 yang melakukan penelitian mengenai aktivitas antibakteri dari beberapa jenis madu monoflora yaitu madu randu, madu rambutan, madu kelengkeng, madu karet, madu mahoni, madu kopi, dan madu mangium, serta madu multiflora terhadap bakteri Salmonella sp., Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Bacills subtilis, dan Pseudomonas aeruginosa menggunakan metode sumur dengan diameter 4 mm didapatkan hasil yang cukup signifikan yaitu terbentuk zona hambat antara 20-30 mm. 5 Sedangkan pada penelitian ini zona hambat yang paling besar hanya berdiameter 10,5 mm yang dihasilkan oleh madu multiflora murni 100. Perbedaan penelitian Hafidiani 2001 dengan penelitian ini adalah metode dan media yang digunakan. Metode yang digunakan pada penelitian Hafidiani 2001 adalah metode sumur dan media yang digunakan adalah muller hinton agar MHA. Sedangkan pada penelitian ini digunakan metode disc diffusion dan media yang digunakan adalah nutrient agar NA. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Suryani Meida 2004 didapatkan bahwa kadar hambat minimal KHM dan kadar bunuh minimum KBM konsentrasi madu terhadap Salmonella typhi berturut- turut adalah 18,88 dan 37,76. 6 Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Suganda 2005 didapatkan KBM konsentrasi madu terhadap Salmonella typhi adalah 18. 7 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani Meida 2004 dan Suganda 2005 berbeda dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini konsentrasi madu terendah yang menghasilkan zona hambat adalah 50. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh berbedanya metode yang digunakan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suryani Meida 2004 dan juga oleh Suganda 2005 digunakan metode dilusi, sedangkan pada penelitian ini digunakan metode disc diffusion. Hal lain yang dapat menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini adalah berbedanya jenis madu yang digunakan. Pada penelitian ini jenis madu yang digunakan adalah madu multiflora. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Suryani Meida 2004 dan juga oleh Suganda 2005 tidak disebutkan jenis madu yang digunakan.

4.5 Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu : 1. Media nutrient agar yang digunakan pada penelitian ini baik untuk pertumbuhan berbagai bakteri sehingga mudah terkontaminasi. 2. Tidak digunakannya pelarut yang bersifat semipolar sehingga kurang dapat membandingkan antar kelompok uji. 3. Pada penelitian ini hanya digunakan satu jenis madu sehingga tidak dapat diketahui jenis madu yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi. 39

BAB 5 PENUTUP

5.1 Simpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, madu multiflora murni tanpa perlakuan ekstraksi dan sedimen ekstrak madu multiflora dengan pelarut aseton dengan konsentrasi 100 dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi. 2. Menrut klasifikasi Greenwood 1995, madu multiflora tanpa proses ekstraksi dan sedimen ekstrak madu multiflora dengan menggunakan pelarut aseton dengan konsentrasi 100 termasuk klasifikasi kategori lemah dalam respon hambatan pertumbuhan bakteri, Sedangkan kelompok uji lainnya termasuk kategori tidak ada respon hambatan pertumbuhan bakteri. 3. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara tiap jenis ekstrak dan konsentrasi terhadap diameter zona hambat yang terbentuk serta kelompok madu multiflora dengan konsentrasi 100 memiliki peran lebih baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi daripada kelompok yang lain.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut: 1. Menggunakan pelarut yang bersifat semipolar seperti etil asetat untuk lebih mengetahui perbandingan daya hambat yang lebih baik dari setiap kelompok. 2. Menggunakan jenis madu lainnya untuk mengetahui jenis madu yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi. 3. Tentang uji efektivitas madu dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi secara in vivo. 40 DAFTAR PUSTAKA 1. Crane E. A Book of Honey. Oxford University Press, London. 1990 2. White JW. Antibiotic System in Honeys Nectar and Pollen. Cornell University press, Ithaca and London. 1975 3. Molan PC. The Antibacterial Activity of Honey. Bee World 73 In Press. Internasional Bee Research Association, London. 1993 4. Erywiyatno L, Djoko SSBU, dan Dwi Krihariyani. Pengaruh Madu terhadap Pertumuhan Bakteri Streptococcus pyogenes. Analis Kesehatan Sains Vol. 01 No. 01. 2012 5. Hafidiani R. Aktivitas Antimikroba Madu Monoflora dan Multiflora. Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2001 6. Suryani L dan S Meida. Daya Antibakteri Madu terhadap Beberapa Kuman Patogen Secara in vitro. Jurnal Kedokteran Yarsi 12 3 : 41-45. 2004 7. Suganda J. Uji Efektifitas Madu Sebagai Antimikroba Terhadap Salmonella typhi Secara In Vitro. Fakultas Kedokteran Brawijaya. 2005 8. Darmawati S. Keanekaragaman Genetik Salmonella typhi. Jurnal Kesehatan Vol. 2, No.1. 2009 9. Mirza SH. The prevalence and clinical features of multi-drug resistant Salmonella typhi infections in Baluchistan, Pakistan. Ann Trop Med and Parasitol 1995 10. Bhutta ZA. MDR Thyphoid: a potential algorithmic approach to diagnosis and management. Dipresentasikan pada Third Asia-Pacific Symposium on Typhoid Fever and Other Salmonellosis. Bali, 11 Desember 1997 11. Bhutta ZA, Khan IA, Molla AM. Therapy of multidrug-resistant typhoid fever with oral cefixime vs intravenous ceftriaxone. Pediatri Infect Dis J 1994 12. MENKES. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.2006 13. Sarwono B. Lebah Madu. Depok: PT AgroMedia Pustaka. 2003 14. Warisno. Budidaya Lebah Madu. Yogyakarta: Kanisius. 1996 41 15. Gojmerac WL. Bees, Beekeeping, Honey and Pollination. The AVI Publishing Co. Inc, Westport, Connecticut. 1983 16. Arguesso TR dan AR Navaro. Microbiology of Ripening Honey. J. App. Microbiol. Vol 30 6. The American Society for Microbiology. 1975 17. Sihombing DTH. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 1997 18. Sukartiko AB. Prosessing Madu Lebah. Prosiding Lokakarya Pembudidayaan Lebah Madu Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Sukabumi, 20-22 Mei 1986. Perum Perhutani, Jakarta. 1986 19. Susanto A. Terapi Madu. Penebar Swadaya, Depok. 2007 20. White JW. Honey. Di dalam : The Hive and The Honey Bee. Dadant and Sons Hamilton, Illinois. 1992 21. Bogdanov S, Ruoff K, Persano Oddo L. Physico-chemical methods for characterization of unifloral honeys: A review. Apidologie, 35 Suppl. 1 : S4-S17. 2004 22. White JW. Composition of honey. In E. Crane Ed, Honey: A comprehensive survey pp. 157-158. London: Heinemann. 1979 23. White R and P Molan. Mode of action of honey. A summary of published clinical research on honey in wound management. R. white and R. Cooper Aberdeen, Wounds UK Publishing: 130-142. 2005 24. Anklam E. A review of the analytical methods to determine the geographical and botanical origin of honey. Food Chen. 1998 25. Henriques A. Free radical production and quenching in honeys with wound healing potential. J Antimicrob Chemother 584: 773-7. 2006 26. Mato I, Huidobro JF, Simal-Lozano J, and Sancho MT. Significance of nonaromatic organic acids in honey. Journal of Food Protection, Vol. 66 No. 12, pp. 2371-2376. 2003 27. Komara S. Kajian Aktivitas dan Identifikasi Kelas Senyawa Antibakteri 5 Jenis Madu Indonesia. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. 2002 28. Root AI. The ABC and XYZ of Bee Culture. The A.I. Root Company. Medina, Ohio. 1980