xxxi Penggunaannya tidak bermaksud apa-apa atau tidak bertujuan menyakiti hati orang.
Akan tetapi, tidak semua orang dapat menerima bahwa
pisuhan
yang berupa lontaran tersebut tidak memiliki makna apa-apa.
Pisuhan
yang berupa lontaran tersebut hanya digunakan untuk kelompok atau antarpenutur tertentu dengan kondisi
dan konteks tertentu juga.
Pisuhan
yang berupa lontaran atau seruan dalam “
basa Suroboyoan
” biasanya berupa lontaran yang kasar atau cabul. Berdasarkan pengertian
tentang perihal
pisuhan
di atas, maka
pisuhan
“
basa Suroboyoan
” dalam penelitian ini adalah ungkapan spontan yang bermakna kurang
baik dan mempunyai tekanan lebih keras lisan sebagai ekspresi emosional yang kuat dari diri seseorang yang dapat berupa makian, umpatan, hujatan, sumpah,
kutukan, kecarutan, serta lontaranseruan.
2. Deskripsi Sosiokultural Masyarakat Surabaya dan
Basa Suroboyoan
a. Deskripsi Sosiokultural Masyarakat Surabaya
Berdasarkan letak geografisnya, Surabaya yang merupakan ibu kota Propinsi Jawa Timur terletak pada 07° 21 Lintang Selatan dan 112° 36 - 112° 54
Bujur Timur dan berada pada ketinggian 3--6 meter di atas permukaan air laut dataran rendah, kecuali di bagian selatan terdapat dua bukit landai di daerah
Lidah Gayungan dengan ketinggian 25--50 meter di atas permukaan air laut. Wilayah Kota Surabaya berbatasan langsung dengan Selat Madura di sebelah
timur dan utara, Kabupaten Sidoarjo di sebelah selatan, dan Kabupaten Gresik di sebelah Barat.
xxxii Mayoritas masyarakat Surabaya bekerja sebagai pegawai dan pedagang.
Di pusat kota banyak dijumpai pusat perdagangan dan perkantoran. Di Surabaya banyak dijumpai toko kelas atas, yang menjual barang berkelas dan berkualitas,
walaupun tentu saja masih banyak toko kecil yang menjual barang murah yang terjangkau masyarakat. Banyaknya pedagang keliling dan pedagang kaki lima
merupakan salah satu ciri khas kota Surabaya. Kota Surabaya merupakan kota lama yang berkembang hingga mencapai
bentuknya seperti saat ini. Awalnya masyarakat tinggal dalam perkampungan. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,2 setahun, tentu saja kebutuhan akan
perumahan sangat besar. Masyarakat dapat menetap dalam perkampungan padat ataupun memilih berpindah ke perumahan kelas atas yang lebih teratur. Pilihan
perumahan kelas atas
real estate
pun sangat beragam. Hunian bertaraf internasional yang dilengkapi dengan padang golf dengan keamanan yang ketat
juga tersedia di Surabaya. Seperti di belahan rnanapun di dunia, dikotomi miskin dan kaya tentu saja
juga terjadi di Surabaya. Akan tetapi masing-masing dapat berdampingan dengan damai, dan tidak menjadi alasan hidup di Surabaya menjadi kurang nyaman.
Berdasarkan budayanya, Surabaya merupakan kota multietnis yang kaya akan budaya. Beragam etnis migrasi ke Surabaya, misalnya etnis Melayu, Cina,
India, Arab, dan Eropa sementara etnis Nusantara sendiri antara lain Madura, Sunda, Batak, Borneo, Bali, Sulawesi datang dan menetap, hidup bersama serta
membaur dengan penduduk asli membentuk pluralisme budaya yang kemudian menjadi ciri khas kota Surabaya. Sebagian besar masyarakat Surabaya adalah
xxxiii orang Surabaya asli dan orang Madura. Ciri khas masyarakat asli Surabaya adalah
mudah bergaul. Gaya bicaranya sangat terbuka walaupun tampak seperti bertemperamen kasar. Masyarakat asli Surabaya sangat demokratis, toleran, dan
senang menolong orang lain. Hal inilah yang membedakan kota Surabaya dengan kota-kota di Indonesia. Bahkan ciri khas ini sangat kental mewarnai kehidupan
pergaulan sehari-hari. Sikap pergaulan yang sangat egaliter, terbuka, berterus terang, kritik dan mengkritik merupakan sikap hidup yang dapat ditemui sehari-
hari. Bahkan kesenian tradisonal dan makanan khasnya mencerminkan pluralisme budaya Surabaya. Dalam berkesenian, masyarakat Surabaya senang dengan
gerakan yang atraktif, dinamis, dan humoristik. Gerak tari yang lambat kurang diterima di Surabaya.
Berdasarkan sosial ekonomi, Surabaya merupakan salah satu pintu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia Timur. Dengan segala potensi,
fasilitas, dan keunggulan geografisnya Surabaya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor primer, sekunder, dan tersier di kota ini sangat mendukung
untuk semakin memperkokoh sebutan Surabaya sebagai kota perdagangan dan ekonomi. Bersama-sama sektor swasta, saat ini kota Surabaya telah
mempersiapkan sebagai kota dagang international. Pembangunan gedung dan fasilitas perekonomian modern merupakan kesiapan Surabaya sebagai bagian dari
kegiatan ekonomi dunia secara transparan dan kompetitif
www. Surabaya.go.id
.
b.
Basa Suroboyoan
xxxiv Berdasarkan hasil penelitian secara linguistik, “
basa Suroboyoan
” sebenarnya masih termasuk bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Berdasarkan
penghitungan dialektometri leksikal, dialektrometri fonologis, penghimpunan berkas isoglos, dan penghitungan permutasi, bahasa Jawa di Jawa Timur bagian
utara dan Blambangan terdiri atas dua dialek, yaitu 1 dialek Osing, dan 2 dialek Jawa Timur selain Osing yang meliputi subdialek Banyuwangi Selatan,
subdialek Bojonegoro, subdialek Gresik, subdialek Lamongan, subdialek Mojokerto, subdialek Pasuruan, subdialek Rowogempol, subdialek Sidoarjo,
subdialek Surabaya, dan subdialek Tengger Kisyani, 2004. Adipitoyo 1996:7 dalam penelitiannya menyatakan “
basa Suroboyoan
” tidak mengacu pada pengertian Surabaya secara pemerintahan, tetapi mengacu
pada wilayah yang termasuk guyub tutur “
basa Suroboyoan
”. Wilayah-wilayah yang dimaksud adalah wilayah-wilayah yang secara kepemerintahan disebut
sebagai Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kota dan Kabupaten Mojokerto, Kota dan Kabupaten Malang, dan Kabupaten Pasuruan
bagian barat dan tengah. Munculnya “
basa Suroboyoan
” tidak diketahui secara pasti. Namun, “
basa Suroboyoan
” telah mengalami perjalanan waktu yang sangat panjang. Apabila mengacu pada nama Surabaya yang sudah ada sejak 31 Mei 1293 bersamaan
dengan kemenangan Raden Wijaya di wilayah Ujunggaluh ketika mengusir pasukan Tar Tar dari daratan Tiongkok, berarti embrio “
basa Suroboyoan
” ada sejak masa itu M. Djupri, 2008.
xxxv Dalam perkembangannya, “
basa Suroboyoan
” lebih diwarnai oleh sifat
budaya masyarakat Surabaya yang egaliter atau dalam bahasa Jawa disebut
blater.
Sebagai daerah pesisir, “
basa Suroboyoan
” juga mewarisi budaya dan bahasa
pesisiran sebagai bahasa transisi dari bahasa Jawa Majapahitan ke bahasa Jawa Baru Jawa Tengahan. Oleh karena itu, ada “
basa Suroboyoan
” dianggap kasar dan
kurang mengindahkan bahasa Jawa standar Yunani Prawiranegara, 2004. “
Basa Suroboyoan
” yang egaliter terkesan begitu jenaka, sehingga membuat suasana
kemraket
‘akrab’
, grapyak ‘
ramah’, dan
semanak ‘
menyenangkan
’.
Sementara itu, Kisyani dalam berita Jawa Pos, 25 Januari 2004 menyatakan “
basa Suroboyoan
” adalah bahasa yang lugas, spontan, dan berkarakter.
Sampai saat ini, keberadaan “
basa Suroboyoan
” tetap bertahan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dan juga digunakan dalam berkesenian, terutama
ludruk. “
Basa Suroboyoan
” juga semakin dikenal oleh masyarakat sejak muncul tayangan televisi yang menggunakan “
basa Suroboyoan
” di Jtv, misalnya berita
Pojok Kampung.
3. Sosiolinguistik