lv Saptomo 2001 sebagai dasar analisis. Dengan demikian, didapatkan teori
fungsi
pisuhan,
yaitu untuk mengekspresikan:
1. kemarahan, 2. kekesalan,
3. penyesalan, 4. kesedihan,
5. kekecewaan, 6. kekaguman atau keheranan,
7. penghinaan atau merendahkan orang lain, 8. keterkejutan,
9. keakraban atau rasa humor, dan 10. kegembiraan.
7. Campur Kode
Campur kode adalah fenomena yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah masyarakat bilingual atau multilingual. Adanya lebih dari satu ragam bahasa
memungkinkan timbulnya percampuran kode. Abdul Chaer dan Leonie Agustina 1995 mensyaratkan bahwa dalam sebuah campur kode akan selalu ada kode
utama dan ada kode lain yang bersifat tambahan saja. Jadi, dalam campur kode ada sebuah kode dasar yang diselipi dengan tambahan-tambahan dari kode lain.
Kode lain tersebut tidak bisa menjadi kode secara otonom karena hanya menyumbangkan sebagian properti-propertinya saja seperti, antara lain, kosakata,
idiom atau lafal. Dalam campur kode, seseorang tidak memakai bahasa yang
lvi berbeda. Misalnya, si penutur tetap dianggap berbahasa Indonesia meski sesekali
dia menggunakan kata-kata atau lafal bahasa daerah bahasa Jawa. Menurut Wardhaugh 1988:103 campur kode terjadi saat orang yang
bercakap-cakap menggunakan kedua bahasa secara bersamaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa campur kode melibatkan percampuran dua bahasa tanpa
perubahan topik. Fasold dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 1995 menerangkan bahwa kalau seseorang memasukkan satu kata atau frasa dari satu
bahasa ke sebuah bahasa utama maka dia melakukan campur kode. Sementara itu, Harimurti Kridalaksana 1993 memberi batasan campur
kode sebagai penggunaan satuan bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom,
sapaan, dan sebagainya. P.W.J. Nababan 1984:31—32 menjelaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain apabila orang mencampurkan dua atau lebih
bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa
speech act
atau
discourse
tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur danatau kebiasaanya
yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Di Indonesia, campur kode ini sering sekali terdapat dalam keadaan orang berbincang-bincang,
yang dicampur adalah bahasa Indonesia dan daerah. Apabila yang berbincang orang-orang ‘terpelajar’ dapat terlihat campur kode antara bahasa Indonesia atau
bahasa daerah dengan bahasa asing Inggris dan Belanda. Kadang-kadang campur kode seperti itu juga digunakan untuk memamerkan keterpelajarannya
atau kedudukannya. Ciri yang menonjol dari campur kode adalah kesantaian atau
lvii situasi informal. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal, biasanya
disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai, sehingga memerlukan kata atau ungkapan dari bahasa lain bahasa asing.
Kode merupakan suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan
lawan bicara dan situasi tutur yang ada Kuncana Rahardi, 2001:21--22. Wardhaugh 1988 menyatakan bahwa kode memiliki sifat yang netral. Dikatakan
netral karena kode itu tidak memiliki kecenderungan interpretasi yang menimbulkan emosi. Lebih lanjut dia juga mengatakan bahwa kode adalah
semacam sistem yang dipakai oleh dua orang atau lebih untuk berkomunikasi. Sumarsono 2002:201 menegaskan bahwa kode adalah istilah netral yang dapat
mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek, atau ragam bahasa. Dengan demikian dalam sebuah bahasa dapat terkandung beberapa buah kode yang merupakan
varian dari bahasa itu. Varian bahasa pada dasarnya meliputi dialek, ragam, dan tingkat tutur Kuncana Rahardi, 2001. Dialek dapat dibedakan menjadi dialek
geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, dan suku. Ada juga yang disebut dialek individu yang disebut idiolek. Ragam dapat dibedakan menjadi ragam
suasana, yaitu resmi, santai dan literer serta ragam komunikasi, yaitu komunikasi ringkas dan lengkap. Tingkat tutur dibedakan menjadi dua, yaitu tingkat tutur
hormat dan tidak hormat. Tingkat tutur menurut Kuncana Rahardi 2001 merupakan sistem kode
dalam suatu masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor penentunya adalah relasi antara si penutur dengan mitra tuturnya. Ketika penutur berbicara dengan
orang yang perlu dihormati, maka penutur tersebut akan menggunakan kode tutur yang memiliki makna hormat. Demikian pula ketika penutur berbicara dengan
lviii seseorang yang tidak perlu dihormati, penutur akan menggunkan kode tutur yang
tidak hormat. Pemakaian bentuk-bentuk pronomina atau kata ganti banyak digunakan
untuk menunjukkan perbedaan rasa hormat penutur kepada mitra tutur. Seringkali dalam bertutur dipakai bentuk kata yang berbeda-beda untuk menunjuk rasa
hormat. Dalam bahasa Jawa, terdapat kata kata-kata tertentu seperti
aku, kula, dalem,
dan
kawula
sebagai kata ganti orang pertama,
kowe, sampeyan, panjenengan,
dan
paduka
sebagai kata ganti orang kedua, serta
dheweke, kiyambake, piyambakipun,
dan
panjenenganipun
sebagai kata ganti orang ketiga. Bentuk-bentuk dengan kata benda dalam bahasa Jawa yang menunjukkan
perbedaan rasa hormat misalnya
omah, griya,
dan
dalem
yang semuanya bermakna ‘rumah’. Bentuk-bentuk dengan kata kerja dalam bahasa Jawa yang
menunjukkan perbedaan rasa hormat misalnya
lara, sakit,
dan
gerah
yang semuanya bermakna ‘rumah’.
Bahasa Jawa juga memiliki gejala-gejala khusus dalam sistem tingkat tuturnya Kuncana Rahardi, 2001. Terdapat tiga tingkat tutur dalam bahasa Jawa
yaitu 1 tingkat tutur halus atau tingkat tutur
krama
yang berfungsi membawakan rasa kesopana yang tinggi, 2 tingkat tutur menengah atau tingkat tutur
madya
yang berfungsi membawakan rasa kesopanan yang sedang-sedang saja, dan 3 tingkat tutur biasa atau tingkat tutur
ngoko
yang berfungsi membawakan rasa kesopanan rendah. Tingkat tutur
ngoko, madya,
dan
krama
tidak sama dengan kosa kata
ngoko, madya,
dan
krama
. Tingkat tutur menunjuk kepada suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata
tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi dan fonologi tertentu. Kosa kata
ngoko, madya,
dan
krama
hanya semata-mata inventarisasi kata-kata yang masing-masing kata di dalamnya terdapat persamaan arti kesopanan yang sama.
Dalam menentukan tingkatan tutur, dalam bahasa Jawa terdapat kata tugas yang dapat digunakan sebagai penanda tingkat tutur. Apabila kata tugas yang terdapat
pada kalimat itu berasal dari kata
ngoko
, maka tingkat tutur itu dapat digolongkan sebagai tingkat tutur
ngoko.
Tingkat tutur
madya
mengandung kata tugas dari
lix kosa kata
madya
dan tingkat tutur
krama
mengandung kata tugas dari kosa kata
madya.
Kata tugas dalam bahasa Jawa misalnya,
ampun
‘jangan’,
ajeng
‘akan’,
empun
‘sudah’,
niki
‘ini’,
nika
‘itu’,
sakniki
‘sekarang’,
mawon
‘saja’,
teng
‘ke’,
saking
‘dari’,
ngoten ‘
begitu’,
napa ‘
bagaimana’,
mangkih
‘nanti’ dan sebagainya. Dengan demikian, teori campur kode yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah peristiwa pencampuran dua kode bahasa, ragam, tingkat tutur atau lebih dalam suatu tindak bahasa secara bersamaan yang dapat berupa kata, frasa,
maupun klausa. Dalam penelitian ini, campur kode yang dicermati adalah campur kode yang menyertai
pisuhan “ basa Suroboyoan” ,
yaitu yang berupa bahasa dan tingkat tutur
.
C. Kerangka Pikir
Karakteristik sosiokultural masyarakat Surabaya