7 penggunaan kuning telur saja dapat memberikan tekstur yang lembut pada kukis Wheat
Associates 1981. f.
Pengembang adonan Pengembang adonan yang sering digunakan untuk pembuatan kukis adalah baking
powder . Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat NaHCO
3
dan asam seperti sitrat atau tartarat. Pada umumnya, baking powder mengandung pati sebagai
bahan pengisi. Kombinasi sodium bikarbonat dan asam dapat memproduksi gas karbondioksida baik sebelum atau saat kukis dipanggang di oven Manley 1983.
Menurut Whiteley 1971 ada dua metode dasar pencampuran adonan biskuit, yaitu metode krim creaming method dan metode all-in. Pada metode krim semua bahan tidak
dicampur secara langsung. Lemak dan gula dicampur terlebih dahulu sampai terbentuk krim homogen. Selama pembentukan krim, dapat ditambahkan pewarna dan perisa, kemudian
ditambah susu, diikuti penambahan bahan kimia seperti garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Pada tahap akhir ditambahkan tepung dan sisa air kemudian dilakukan
pengadukan sehingga terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode ini umum digunakan untuk membentuk kukis. Sedangkan pembuatan biskuit dengan
metode all-in yaitu semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Percampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang. Metode ini lebih cepat, namun adonan yang
dihasilkan cenderung lebih padat dan keras daripada adonan pada metode krim. Setelah adonan terbentuk, biasanya adonan mengalami aging. Lama aging tergantung
pada jenis pengembang yang digunakan. Aging diperlukan untuk memberi kesempatan kepada bahan pengembang untuk bekerja. Sebelum dicetak, adonan mengalami penipisan
terlebih dahulu sampai diperoleh ketebalan yang diinginkan. Pada waktu pemanggangan, struktur kukis akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air
akibat kenaikan suhu. Ketebalan biasanya meningkat sampai 4-5 kali. Setelah keluar oven, kukis harus cepat didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan kukis. Waktu untuk
mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu dioven Manley 1983.
D. Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan
α-1,4-D- glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan
α-1,4-D-glukosa dan α- 1,6-D-glukosa Winarno 1992.
Pengembangan granula pati disebabkan oleh molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap dalam susunan molekul amilosa dan amilopektin.
Peningkatan suhu akan berakibat pada pengembangan granula pati yang semakin besar. Dengan naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen antar granula pati semakin lemah.
Molekul-molekul air yang energi kinetik lebih besar sehiingga dapat berpenetrasi ke dalam granula pati dengan mudah. Gelatinisasi adalah proses rusaknya granula pati akibat
pemanasan di dalam air berlebih Fennema 1985. Selama proses pendinginan, pati mengalami pembentukan strukturnya kembali yang
dikenal dengan sebutan retrogradasi. Selama retrogradasi, akan terbentuk ikatan hidrogen
8 yang kompak dan stabil antar molekul pati. Faktor-faktor yang meningkatkan proses
retrogradasi pati antara lain suhu yang rendah, derajat polimerisasi amilosa yang rendah, konsentrasi amilosa yang tinggi dan adanya ion-ion organik tertentu Fennema 2004.
E. Pati Resisten
Pati resisten resistant starch atau RS didefinisikan sebagai fraksi pati atau produk degradasi pati yang tidak terabsorpsi dalam usus halus individu yang sehat karena masih
diperoleh setelah melewati degradasi enzim secara sempurna Shin et al. 2004. Menurut definisi Nugent 2005, RS mengacu pada bagian pati yang tahan terhadap hidrolisis enzim-
enzim ketika melewati saluran pencernaan. Pati resisten adalah fraksi pati yang tidak dihidrolisis menjadi D-glukosa dalam usus kecil dalam waktu 120 menit setelah dikonsumsi,
namun fraksi pati ini akan difermentasi di dalam usus besar. Banyak studi yang telah menunjukkan bahwa RS adalah molekul linear dari 1,4-D-glukan, yang pada dasarnya
berasal dari fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi dan memiliki berat molekul yang rendah yaitu sekitar 1.2 x 10
5
Da Tharanathan 2002. Berry 1986 mengklasifikasikan pati menjadi 3 jenis berdasarkan respon pati tersebut
ketika diinkubasi dengan enzim, yaitu Rapidly Digestible Starch RDS, Slowly Digestible Starch
SDS dan Resistant Starch RS. RDS adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis sepenuhnya oleh enzim amilase menjadi molekul glukosa dalam waktu 20 menit. Sementara
itu, SDS juga dapat dihidrolisis sepenuhnya oleh enzim amilase, namun hidrolisisnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Resistant starch RS adalah fraksi kecil dari pati yang
resisten terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase dan enzim pululanase yang diberikan secara
in vitro . Pati yang sampai ke usus besar akan difermentasi oleh mikroflora usus. Oleh karena
itu, RS juga didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang dapat lolos dari pencernaan pada usus halus. Secara kimia, RS adalah selisih kadar pati total dengan RDS dan SDS Sajilata et al.
2006. Pada awalnya, definisi serat makanan hanya terdiri dari polisakarida selain pati dan
lignin, tidak termasuk RS Sharma et al. 2008. Dewasa ini, American Association of Cereal Chemists
AACC 2000 menjelaskan bahwa RS seperti yang ditemukan pada biji-bijian, kacang-kacangan, pasta yang dimasak dan didinginkan, kentang dan beras, serta pisang yang
masih mentah dianggap sebagai serat pangan, RS yang ditambahkan ke dalam makanan untuk meningkatkan manfaat kesehatan juga diklasifikasikan sebagai serat fungsional
Sajilata et al. 2006. Seperti serat pangan, RS juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding
kolon, menghasilkan asam lemak rantai pendek short chain fatty acid atau SCFA. RS memiliki sifat tidak larut seperti serat pangan tidak larut IDF namun di kolon dapat
difermentasi oleh bakteri seperti halnya serat pangan larut SDF. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dikategorikan sebagai bagian dari serat pangan.
RS dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam makanan. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di
dalam matriks sel, seperti pada biji legumes polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan seperti pati pisang mentah dan pati
kentang mentah. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi yang terbentuk akibat pemanasan suhu tinggi yang disusul dengan penyimpanan pada suhu rendah. RS tipe IV adalah pati yang
dimodifikasi secara kimia Gonzales et al. 2004.
9 Dari semua jenis RS, RS III dapat mempertahankan karakteristik organoleptik suatu
makanan ketika makanan tersebut ditambahkan RS III Lehmann et al. 2002. RS tipe ini relatif tahan panas dibandingkan RS tipe lainnya sehingga RS tipe III dapat mempertahankan
sifatnya selama proses pengolahan pangan. Oleh sebab itu, RS tipe III merupakan jenis pati resisten yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional berbasis RS.
Shamai et al. 2003 menjelaskan bahwa RS tipe III diproduksi melalui dua tahap yaitu gelatinisasi perusakan struktur granular pati melalui pemanasan dengan air yang
berlebih dan retrogradasi pembentukan struktur kristal pati secara lambat selama pendinginan. German et al. 1992 menyatakan bahwa amilosa yang tergelatinisasi akan
membentuk jaringan gel selama pendinginan, sedangkan amilopektin berfungsi sebgai pengisi jaringan gel.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar RS yang dihasilkan antara lain: 1 rasio amilosa: amilopektin pada pati, amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatan kadar RS, 2
rasio pati: air bv dalam pembuatan RS, 3 proses pemanasan, 4 banyaknya siklus pada proses modifikasi dan 5 suhu pemanasan otoklaf Sajilata et al. 2006. Sedangkan menurut
Lehmann et al. 2002, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan RS, yaitu suhu pengolahan, konsentrasi pati, kondisi penyimpanan dan adanya lipid atau substansi
bermolekul rendah seperti gula. Tingkat retrogradasi pati dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin, panjang
rantai amilosa dan amilopektin serta keberadaan lipid Chung dan Liu 2009. Escarpa et al. 1996 meneliti pengaruh rasio amilosa dan amilopektin yang diekstraksi dari pati kentang
terhadap kadar RS. Sampel yang terdiri dari beberapa perlakuan dengan variabel bebas rasio amilosa dan amilopektin diotoklaf 115
o
C, 2 bar, 20 menit dengan air pada rasio 1:20. Hasilnya, sampel dengan rasio amilosa:amilopektin 100:0 menghasilkan RS 36,5 dan
ketika rasio diturunkan menjadi 50:50, kadar RS ikut menurun menjadi 21,5. Sementara itu, pada sampel dengan rasio amilosa:amilopektin 0:100 menunjukkan bahwa RS
mengalami penurunan menjadi 7,5. Kadar RS juga ditentukan oleh derajat polimerisasi DPn dari rantai cabang
amilopektin. Menurut Thompson 2000, DPn amilosa pada yang lebih tinggi dari 300 umumnya berkisar antara 40-610 menyebabkan amilosa sulit membentuk kristalin resisten.
Hidrolisis pati diharapkan mampu membentuk amilosa dengan DPn 100-300. Proses modifikasi fisik dan kimia seperti fermentasi, otoklaf, hidrolisis dengan asam
dan enzim bertujuan untuk meningkatkan kandungan amilosa dan memperpendek panjang rantai amilosa sehingga amilosa mampu membentuk kristalin resisten yang tahan terhadap
enzim percernaan. Onyango et al. 2006 juga menjelaskan bahwa amilosa merupakan fraksi utama yang diperlukan pati untuk pembentukan RS III karena polimer amilosa yang tinggi
dapat membentuk kompleks double helix yang resisten terhadap enzim dan distabilkan oleh ikatan hidrogen. Jika DPn kurang dari 100 unit glukosa, jumlah RS III yang dihasilkan juga
rendah karena polimer amilosa tidak cukup untuk membentuk kristalin yang resisten terhadap enzim. Sebaliknya, jika DPn lebih dari 300 unit glukosa, maka polimer-polimer
amilosa akan sulit membentuk struktur kristalin yang memiliki ikatan hidrogen yang stabil. Berbanding terbalik dengan amilosa, amilopektin kurang berperan penting dalam
pembentukan RS III karena ikatan α-1,6 glikosidik menyebabkan pembentukan kristalin
resisten yang lambat dan lebih tidak stabil Oyango et al. 2006. Pada pati yang memiliki kandungan lipid dalam jumlah tinggi, amilosa yang
tergelatinisasi cenderung bergabung dengan lipid pada suhu yang relatif tinggi selama
10 pendinginan sebelum retrogradasi dimulai dan pada akhirnya akan menghambat retrogradasi
dari amilosa yang tidak berikatan dengan lipid. Selama retrogradasi, panjang rantai amilosa dan amilopektin pada kentang dalam bentuk amylomaize memiliki ikatan yang lemah pada
suhu rendah yang disebabkan karena hambatan yang disebabkan oleh rantai bercabang Chung dan Liu 2009.
Shamai et al. 2003 juga melaporkan bahwa jumlah RS III dapat meningkat saat makanan dipanggang atau dalam bentuk pasta dan produk sereal. Hal ini disebabkan
terjadinya proses gelatinisasi ketika makanan dipanggang dan proses retrogradasi ketika makanan didinginkan setelah dipanggang.
Berdasarkan beberapa penelitian in vivo yang dilakukan pada hewan dan manusia, RS menunjukkan adanya potensi sebagai bahan prebiotik. Penelitian Brown et al. 1998
menunjukkan bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung Bifidobacterium longum hidup dan RS beramilosa tinggi mengeksresikan bifidobakteria dalam jumlah yang lebih
banyak daripada tikus yang tidak diberi RS. Efek prebiotik tidak hanya terbatas pada RS yang secara alami terdapat pada tanaman RS tipe I dan II, tetapi juga dimiliki oleh pati
yang dimodikasi secara fisik dan kimia RS tipe III dan IV. Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa bifidobakteria dapat melekat pada pati yang dimodifikasi dengan
metode asilasi, oktenilsuksunilasi, karboksimetilasi dan suksinilasi. Pelekatan ini bervariasi untuk setiap galur bakteri yang digunakan.
Asupan RS yang dibutuhkan setiap negara berbeda-beda, tergantung pada kondisi kesehatan penduduk negara tersebut. Di Australia, asupan RS diperkirakan sekitar 5-7
gramoranghari. Untuk memperoleh manfaat kesehatan dari RS, dianjurkan untuk mengonsumsi 20 gramhari Cassidy et al. 1994. Meskipun asupan RS yang dianjurkan
adalah 20 gramhari, Douglas 2008 menyatakan bahwa konsumsi RS sebanyak 2,5-5 gramhari terbukti telah dapat memberikan efek prebiotik.
F. Pangan Fungsional