PT.T-Files Estimasi Willingness to pay masyarakat terhadap keberlanjutan pilot project PLTAL di Selat Nusa Penida, Bali

malam hari maka akan mempengaruhi besarnya nilai kebersediaan untuk membayar pengelolaan PLTAL Nusa Penida. Responden yang merasakan manfaat dari adanya penerangan PLTAL adalah responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani rumput laut, anak buah kapal, wirausaha, swasta, petani, dan pekerjaan lainnya. Terdapat beberapa responden yang bekerja sebagai petani rumput laut tidak bersedia membayar, namun beberapa responden lainnya bersedia untuk membayar tawaran bid yang paling tinggi. Responden dengan jenis pekerjaan ABK lebih memilih untuk bersedia membayar, begitupun dengan responden yang bekerja di swasta. Responden wirausaha sebagian besar bersedia untuk membayar, sedangkan yang tidak bersedia membayar adalah responden yang membuka usahanya jauh dari sumber penerangan PLTAL. Tingkat pendapatan sangat berpengaruh terhadap besarnya WTP yang akan diberikan. Semakin besar pendapatan yang didapatkan maka kemungkinan untuk memberikan nilai WTP pun akan lebih besar. Responden yang memiliki tingkat pendapatan dibawah Rp 500.000 perbulan lebih banyak untuk tidak bersedia membayar. Responden dengan pendapatan Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000 perbulan lebih banyak untuk bersedia membayar. Responden yang memiliki pendapatan lebih tinggi seluruhnya bersedia untuk membayar biaya pengelolaan PLTAL. Pada selang pendapatan Rp 1.000.000 hingga Rp 1.500.000 perbulan besarnya bid yang dipilih beragam yaitu antara Rp 5.000 hingga Rp 20.000, sedangkan responden yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 1.500.000 perbulan memilih bid tertinggi. Gambar 12 Persentase sebaran WTP berdasarkan tingkat pendapatan 22 2 2 2 5 10 12 5 2 5 2 7 7 5 10 ≤ Rp 500 rb Rp 500 rb - Rp 1 jt Rp 1 jt - Rp 1,5 jt Rp 1,5 jt Tidak bersedia membayar Rp 5.000 Rp 10.000 Rp 15.000 Rp 20.000 VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Manfaat PLTAL Bagi Masyarakat Desa Toyopakeh

Nusa Penida adalah sebuah pulau yang terpisah di sebelah tenggara Pulau Bali. Pulau Nusa Penida memiliki penduduk dengan mayoritas beragama Hindu, namun terdapat sebuah desa dimana mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu Desa Toyopakeh. Aktivitas masyarakat menjadi keunikan tersendiri dalam menghidupkan suasana pesisir pantai. Pemuda-pemuda yang bekerja di bidang wisata memperlihatkan bentuk koordinasi yang unik dalam melaksanakan pekerjaannya. Koordinasi tersebut dilakukan dengan cara menggerakan tangan yang menunjukkan sebuah kode informasi tugas dari jarak jauh. Selain itu, lalu lalang kapal di Selat Badung menjadi pemandangan rutin aktivitas wisatawan yang berkunjung sejak matahari terbit hingga matahari tepat di atas kepala. Suasana pantai pun dihidupkan oleh keberadaan warung-warung makan yang berjajar di sepanjang tepi pantai. Warung-warung makan tesebut dikunjungi oleh warga sekitar yang hanya sekedar ingin membeli makan bahkan para pendatang maupun turis yang ingin menikmati masakan daerah sambil duduk di tepi pantai. Kehidupan tersebut terjadi hingga matahari tenggelam diikuti dengan sibuknya para nelayan yang melabuhkan kapalnya di atas pasir putih. Kehidupan pantai seakan hilang saat malam datang. Hal ini disebabkan oleh persoalan klasik yang sering terjadi di desa tersebut yaitu mati listrik. Daerah sekitar Desa Toyopakeh ini tergolong dalam wilayah yang sering mengalami pemadaman listrik bergilir dari PT. PLN. Persoalan tersebut terpusat pada keterbatasan kapasitas listrik PLN di pulau ini yaitu sebesar 3.6 MW yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel PLTD Kutampi dan Jungut Batu. Terdapat tiga buah pembangkit di Pulau Nusa Penida, ketika terjadi kerusakan di salah satu pembangkit maka warga harus rela merasakan hidup sementara tanpa listrik. Minimnya ketersediaan listrik juga menyebabkan penerangan jalan dan area publik sangat terbatas. Desa Toyopakeh salah satu tempat berlabuhnya speed boat dan jukung yang membawa pendatang dari arah Pulau Bali, dan tempat dengan penduduk yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan rumput laut. Aktivitas