Tana ‘Ulen Identifikasi Batas Lapang Tana „Ulen Lalut Birai dan Inventarisasi Aturan Pengelolaannya di Taman Nasional Kayan Mentarang

2.3 Tana ‘Ulen

Tanah merupakan modal dasar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti untuk membuka ladang, berburu, mencari ikan, mencari rotan, mencari kayu bangunan dan mencari hasil hutan. Kawasan ulen persekutuan adat Desa Long Alango telah ada sejak berdirinya desa, bahkan sejak mulainya masyarakat membuka hutan untuk pertanian, dan merupakan hubungan langsung yang kuat antara masyarakat desa dan tanahnya. Dengan demikian, sumber daya alam di kawasan ulen hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat desa. Konsep ulen yang dikenal di wilayah persekutuan adat hulu bahau identik dengan hak ulayat yang dikenal di berbagai persekutuan adat di Indonesia. Hak ulayat dalam Perda Kabupaten Nunukan No. 032004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat didefinisikan sebagai hak atas tanah, hutan dan perairan yang meliputi kesatuan lingkungan hidup, yang dikelola oleh kesatuan penguasa menurut hukum adatnya berdasarkan hak bersama bagi semua anggota masyarakat hukum adat. Kriteria akan keberadaan hak ulayat dalam Perda itu disebutkan jika terdapat sekelompok orang yang masih terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama masyarakat adat; terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga masyarakat adat dan terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang diakui dan ditaati oleh warga masyarakat adat. Tana „ulen masyarakat adat atau “Tanah Adat” adalah tanah yang dilindungi, dijaga kelestariannya dan hasil hutannya, dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Tana „ulen di dalam wilayah masy arakat suku Kenyah pada umumnya dan suku Leppo Ma‟ut khususnya sudah dibuat secara turun temurun, sampai kini dipertahankan dengan nama Tana „ulen masyarakat adat. Tana „ulen berupa kawasan tanah yang keberadaannya diperuntukkan bagi kaum paren bangsawan sebagai penguasa di desa tersebut, dan dijadikan tempat simpanan atau cadangan sumberdaya alam yang dapat diambil sewaktu-waktu sesuai kepentingan kaum paren Konradus 1999. Tana „ulen masyarakat adat Long Alango terletak di aliran Sungai Enggeng di mulen oleh Apuy Njau selaku kepala adat besar Hulu Bahau. Fungsinya adalah untuk cadangan ikan, hasil buruan dan hasil hutan lainnya bagi kepentingan kegiatan pesta dan kebutuhan bahan bangunan untuk warga desa. Untuk pengambilan hasil hutan dari Tana „ulen ditentukan waktu khusus dan alasan khusus yang disebut buka ulen Sirait 1999. Pada awal tahun 1960- an, Tana „ulen akhirnya berubah status menjadi milik desa disebut Tana „ulen leppo‟ dan kemudian diperkuat dengan surat keputusan oleh pemerintah daerah tingkat I Kalimantan timur pada tahun 1967. Sehingga Tana „ulen leppo‟ dijaga dan dikelola dengan seksama untuk kepentingan bersama sebagai sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti bahan bangunan, bahan pangan, dan HHNK bernilai ekonomi. Pada tahun 1963-1964 ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia praktek pengelolaan Tana „ulen mengalami perubahan drastis. Para prajurit TNI pada waktu itu bertugas di wilayah perbatasan pos-pos penjagaan menjadi terbiasa masuk berburu di Tana „ulen desa-desa daerah Bahau Hulu untuk mencari lauk-pauk, dengan mengajak sejumlah warga setempat. Dalam pengelolaan Tana „ulen leppo‟ oleh desa, terdapat sejumlah aturan yang dipatuhi bersama oleh semua warganya secara ketat. Hasil hutan diambil pada waktu-waktu tertentu yang disebut buka ulen dan tidak mengikuti kalender tetap seperti kalender perladangan, serta khusus untuk kepentingan desa. Hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti ngusa mengambil atau mengusahakan hasil hutan diluar waktu buka ulen atau melewati batas waktu buka ulen, masuknya warga desa lain tanpa ijin kepala desa dan memotong rotan atau menebang pohon kayu manis yang masih muda. Pelanggaran terhadap aturan-aturan pengelolaan Tana „ulen leppo‟ dikenakan sanksi yang disesuaikan dengan jenis pelanggaran. Jika pelanggar adalah warga di luar desa, dikenakan sanksi lebih berat. Demikian juga kaum paren, pimpinan atau aparat desa karena mereka berasal dari keluarga yang mendukung adanya Tana „ulen leppo‟, yaitu golongan yang menjadi teladan bagi warga desa lainnya.

2.4 Sistem Informasi Geografi SIG