Identifikasi Batas Lapang Tana „Ulen Lalut Birai dan Inventarisasi Aturan Pengelolaannya di Taman Nasional Kayan Mentarang

(1)

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Kayan Mentarang merupakan kawasan konservasi dengan luasan 1,3 juta Ha (Wulffraat et al. 2005). Pengelolaan kawasan tersebut dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap kawasan, seperti masyarakat sekitar dan pemerintah. Pengelolaan secara kolaboratif tersebut telah disahkan melalui SK Menhut 1214/kpts-II/2002 sehingga Taman Nasional Kayan Mentarang satu-satunya kawasan konservasi di Indonesia dengan pengelolaan kolaboratif (Menhut 2002).

Kawasan tersebut di kelilingi dan berada di sebelas wilayah adat. Sebelas wilayah adat tersebut adalah Hulu Bahau, Pujungan, Mentarang, Lumbis, Tubu, Krayan Hilir, Krayan Tengah, Krayan Darat, Krayan Hulu, Kayan Hilir dan Kayan Hulu (WWF 2010c). Masyarakat dalam wilayah adat tersebut memiliki interaksi yang kuat dengan kawasan. Sebagian besar kebutuhan hidup masyarakat diperoleh dari hutan. Interaksi tersebut melahirkan konsep Tana „Ulen untuk mengelola sumberdaya hutan yang ada di dalamnya. Pengelolaan hutan tersebut terbukti mampu menjaga keutuhan areal hutan, sehingga anak cucu mereka hingga saat ini masih dapat merasakannya (Uluk et al. 2001).

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan Tana „Ulen adat suku Kenyah Leppo Ma‟ut yang tinggal di Desa Long Alango. Masyarakat mengatakan areal tersebut berada di Sungai Enggeng yang mengalir ke sungai besar di sekitarnya seperti Sungai Kayan. Identifikasi batas lapang dan proses pemetaan areal tersebut menjadi diperlukan dan diharapkan dapat membantu berbagai pihak yang ingin mewujudkan konservasi daerah tangkapan air di Kalimantan Timur. Mengetahui berbagai aturan yang diterapkan dalam mengelola kawasan, baik oleh masyarakat maupun Balai TNKM dapat memberikan informasi pengelolaan kawasan hutan yang masih terjaga hingga saat ini.

Proses pemetaan partisipatif telah dilakukan terhadap areal Tana „Ulen Lalut Birai. Pemetaan tersebut hingga saat ini belum dilanjutkan dengan identifikasi batas lapang, sehingga belum diketahui secara pasti kondisi batas


(2)

2

lapang areal Tana „Ulen tersebut. Kegiatan ini diperlukan untuk mengetahui areal Tana „Ulen sebenarnya dan untuk membedakan dengan areal di sekitarnya. Mengetahui batas lapang areal Tana „Ulen yang sebenarnya akan dapat digunakan untuk membandingkan dengan kawasan TNKM yang mengelilinginya.

Latar belakang lainnya adalah hasil lokakarya mengenai pengelolaan Tana „Ulen Lalut Birai. SPHT Lalut Birai atau Tana „Ulen Lalut Birai yang berada dalam kawasan TNKM, saat ini dikelola secara kolaboratif oleh masyarakat (BPTU) dan Balai TNKM. Masyarakat Desa Long Alango sebagai pengelola di lapangan saat ini perlu mengetahui areal Tana „Ulen sebenarnya, dengan demikian masyarakat akan mengetahui areal yang dikelolanya secara baik. Sehingga kegiatan identifikasi batas lapang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mengelola kawasan.

Kegiatan inventarisasi berbagai peraturan pengelolaan yang diterapkan dalam Tana „Ulen dimaksudkan untuk membandingkan dan mengumpulkan aturan pengelolaan masyarakat adat maupun pemerintah selama ini. Dengan demikian dapat diketahui berbagai perubahan kebijakan pengelolaan kawasan dan dapat membandingkan peraturan pengelolaan yang diterapkan kedua belah pihak.

Sistem Informasi Geografi (SIG) digunakan sebagai alat yang membantu melakukan visualisasi dalam menganalisa data-data geografis (Prahasta 2004). Dalam hal ini, SIG digunakan untuk memetakan areal Tana „Ulen dari berbagai data-data geografis yang dikumpulkan dalam pengambilan data. Penampakan secara visual areal Tana „Ulen dalam bentuk peta dapat digunakan untuk menganalisa berbagai informasi yang diperoleh saat pengumpulan data dan dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan oleh masyarakat adat maupun pemerintah. 1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi batas lapang areal Tana „Ulen Lalut Birai di TNKM wilayah SPTN II;

2. Memetakan batas lapang Tana „Ulen Lalut Birai dan;

3. Inventarisasi aturan pengelolaan yang diterapkan dalam Tana „Ulen Lalut Birai oleh masyarakat adat dan pemerintah.


(3)

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola kawasan dalam menjalin pengelolaan kolaboratif bersama masyarakat. Sehingga kawasan konservasi ini menjadi contoh yang kuat dalam melakukan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Masyarakat Desa Long Alango selaku pengelola Tana „Ulen Lalut Birai dapat menggunakannya sebagai salah satu panduan dalam mengelola areal tersebut. Para pihak yang terlibat dalam konservasi daerah tangkapan air di Kalimantan dapat menggunakannya sebagai informasi dalam mengelola daerah tangkapan air.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemetaan

Pemetaan dapat diartikan sebagai proses terpadu yang meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan dan visualisasi dari data keruangan (Wibowo 2009). Sedangkan peta dapat berupa gambaran permukaan bumi yang menggambarkan lokasi suatu tempat dan memiliki topik tersendiri (Flavelle, tidak ada tahun terbit). Proses pemetaan partisipatif tidak berbeda dengan proses pemetaan, yang membedakan hanyalah teknik yang digunakan dan sumberdaya yang melakukan.

Pemetaan partisipatif memiliki kriteria tersendiri, yakni melibatkan seluruh anggota masyarakat, masyarakat menentukan sendiri topik pemetaan dan tujuannya, masyarakat menentukan sendiri proses yang berlangsung, proses pemetaan dan produk-produk yang dihasilkan bertujuan untuk kepentingan masyarakat, sebagian besar informasi yang terdapat di peta berasal dari pengetahuan lokal dan masyarakat menentukan penggunaan peta yang dihasilkan. Peta dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti mencatat dan mengesahkan pengetahuan lokal atau pengetahuan tradisional, pengorganisasian rakyat dan meningkatkan kesadaran mengenai masalah-masalah tanah dan lingkungan, perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam masyarakat adat, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berkomunikasi dan menjalin kerjasama dengan pihak luar dan menegaskan serta menegosiasikan kepemilikan kawasan adat.

2.2 Masyarakat adat

Masyarakat adat dalam Perda Kabupaten Nunukan No. 03/2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat adalah mereka yang memiliki empat kriteria sebagai berikut :

a. Adanya sekelompok masyarakat yang memiliki integritas, teratur dan bertindak sebagai satu kesatuan yang terikat dan tunduk pada tatanan hukum adatnya; b. Adanya struktur lembaga sendiri yang memiliki kewenangan untuk


(5)

c. Adanya kekayaan masyarakat hukum tersendiri yang terpisah dari kekayaan masing-masing warganya; dan

d. Adanya wilayah tertentu yang merupakan wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Perda Hak Ulayat di atas juga mendefinisikan masyarakat adat sebagai kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang bersifat tetap, mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, kesatuan lingkungan berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Simarmata 2006).

Purba (2002) mendefinisikan masyarakat adat adalah mereka yang memiliki ciri sebagai berikut:

a. Individu yang lahir, dibesarkan dan menetap di suatu tempat, biasanya di pedesaan;

b. Seluruh anggotanya menempati kawasan yang sama dalam kurun waktu yang cukup lama;

c. Hubungan diantara individu-individunya didasarkan pada keturunan dan kesamaan wilayah pemukiman;

d. Warganya masih homogen atau terdapat kebudayaan dominan;

e. Dominan warganya masih terikat kuat pada hukum adat, nilai kearifan dan tradisi pelestarian lingkungan;

f. Lisan atau tertulis terdapat aturan adat yang dipahami, diterima, diwariskan dan dipatuhi oleh sebagian besar warganya;

g. Adanya perangkat hukum adat yang masih berperan kuat menegakan hukum adat;

h. Memiliki hubungan historis, kultural, ekonomi, sosial, budaya dengan tanah dimana ia bermukim;

i. Memiliki nilai-nilai yang masih dianut secara turun temurun oleh sebagian besar warganya; dan

j. Warganya masih mematuhi kearifan atau tradisi pelestarian lingkungan.

Desa Long Alango masuk kedalam Wilayah Persekutuan Hukum Adat Hulu Bahau, berbatasan di sebelah utara dengan Desa Long Kemuat dan di selatan dengan Desa Long Tebulo. Pembentukan suatu kampung (Leppo) serta


(6)

batas-6

batas arealnya merupakan hasil dari sejarah suku Leppo Ma‟ut dan perpindahan penduduknya dari satu desa ke desa lainnya. Namun, pada akhir tahun 1991 Camat Long Pujungan memerintahkan semua desa, termasuk Desa Long Alango saat itu, agar menetapkan batas wilayahnya masing-masing secara definitif dan hasilnya harus diserahkan ke kantor kecamatan (Lamis 1999).

Desa Long Alango di Kecamatan Bahau Hulu berpenduduk suku Kenyah Leppo‟ Ma‟ut yang telah bermukim sejak tahun 1957-1958. Mereka diperkirakan berasal dari daerah daratan Cina, dimana suku Kenyah tergeser oleh suku Madap atau Marap dan terpaksa mengungsi berlayar menyeberangi lautan. Salah satu perahu suku Kenyah mendarat di Kuala Telang Usan (Sungai Baram) di pantai utara borneo. Kondisi yang tidak aman dengan suku-suku tetangga di daerah tersebut, menyebabkan Suku Kenyah mulai masuk ke pedalaman Kalimantan sampai ke daerah Sungai Belaga. Perpindahan tersebut belum berhenti di Sungai Belaga, mereka berpindah ke pegunungan antara hulu Sungai Belaga, Sungai Baram, Sungai Iwan dan Sungai Bahau. Perpindahan ke hulu Sungai Bahau disambut baik oleh Leppo‟ Ke yang terlebih dahulu berada di daerah tersebut (Lahang 1999).

Pada tahun 1940-an, beberapa penduduk Desa Long Kemuat membuka ladang di daerah Sungai Lango karena areal lahan di sekitar Long Kemuat semakin terbatas untuk perladangan. Kepala adat besar saat itu (Apuy Njau) mengajak masyarakat untuk mencoba menggarap sawah pada tanah bekas ladang di sekitar Sungai Lango yang banyak memiliki anak sungai dan mengalir sepanjang tahun. Pembukaan ladang di areal Sungai Lango memberikan hasil yang baik. Jarak yang cukup jauh antara Sungai Lango dengan desa, menyebabkan Kepala Adat Besar dan Kepala Desa Long Kemuat pada tahun 1948 mengajak masyarakat berpindah ke Long Alango dan pada tahun 1952 terbentuklah Desa Long Alango. Perpindahan penduduk Desa Long Kemuat tetap berjalan hingga tahun 1960-an. Pada akhirnya di Desa Long Kemuat terdapat tujuh KK yang tidak berpindah ke Desa Long Alango dan Desa Long Kemuat dapat berkembang kembali setelah menerima perpindahan penduduk dari Long Aking.


(7)

2.3 Tana ‘Ulen

Tanah merupakan modal dasar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti untuk membuka ladang, berburu, mencari ikan, mencari rotan, mencari kayu bangunan dan mencari hasil hutan. Kawasan ulen persekutuan adat Desa Long Alango telah ada sejak berdirinya desa, bahkan sejak mulainya masyarakat membuka hutan untuk pertanian, dan merupakan hubungan langsung yang kuat antara masyarakat desa dan tanahnya. Dengan demikian, sumber daya alam di kawasan ulen hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat desa. Konsep ulen yang dikenal di wilayah persekutuan adat hulu bahau identik dengan hak ulayat yang dikenal di berbagai persekutuan adat di Indonesia.

Hak ulayat dalam Perda Kabupaten Nunukan No. 03/2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat didefinisikan sebagai hak atas tanah, hutan dan perairan yang meliputi kesatuan lingkungan hidup, yang dikelola oleh kesatuan penguasa menurut hukum adatnya berdasarkan hak bersama bagi semua anggota masyarakat hukum adat. Kriteria akan keberadaan hak ulayat dalam Perda itu disebutkan jika terdapat sekelompok orang yang masih terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama masyarakat adat; terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga masyarakat adat dan terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang diakui dan ditaati oleh warga masyarakat adat.

Tana „ulen masyarakat adat atau “Tanah Adat” adalah tanah yang dilindungi, dijaga kelestariannya dan hasil hutannya, dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Tana „ulen di dalam wilayah masyarakat suku Kenyah pada umumnya dan suku Leppo Ma‟ut khususnya sudah dibuat secara turun temurun, sampai kini dipertahankan dengan nama Tana „ulen masyarakat adat. Tana „ulen berupa kawasan tanah yang keberadaannya diperuntukkan bagi kaum paren (bangsawan) sebagai penguasa di desa tersebut, dan dijadikan tempat simpanan atau cadangan sumberdaya alam yang dapat diambil sewaktu-waktu sesuai kepentingan kaum paren (Konradus 1999).

Tana „ulen masyarakat adat Long Alango terletak di aliran Sungai Enggeng di mulen oleh Apuy Njau selaku kepala adat besar Hulu Bahau.


(8)

8

Fungsinya adalah untuk cadangan ikan, hasil buruan dan hasil hutan lainnya bagi kepentingan kegiatan pesta dan kebutuhan bahan bangunan untuk warga desa. Untuk pengambilan hasil hutan dari Tana „ulen ditentukan waktu khusus dan alasan khusus yang disebut buka ulen (Sirait 1999).

Pada awal tahun 1960-an, Tana „ulen akhirnya berubah status menjadi milik desa (disebut Tana „ulen leppo‟) dan kemudian diperkuat dengan surat keputusan oleh pemerintah daerah tingkat I Kalimantan timur pada tahun 1967. Sehingga Tana „ulen leppo‟ dijaga dan dikelola dengan seksama untuk kepentingan bersama sebagai sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti bahan bangunan, bahan pangan, dan HHNK bernilai ekonomi.

Pada tahun 1963-1964 ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia praktek pengelolaan Tana „ulen mengalami perubahan drastis. Para prajurit TNI pada waktu itu bertugas di wilayah perbatasan (pos-pos penjagaan) menjadi terbiasa masuk berburu di Tana „ulen desa-desa daerah Bahau Hulu untuk mencari lauk-pauk, dengan mengajak sejumlah warga setempat.

Dalam pengelolaan Tana „ulen leppo‟ oleh desa, terdapat sejumlah aturan yang dipatuhi bersama oleh semua warganya secara ketat. Hasil hutan diambil pada waktu-waktu tertentu yang disebut buka ulen dan tidak mengikuti kalender tetap seperti kalender perladangan, serta khusus untuk kepentingan desa. Hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti ngusa (mengambil atau mengusahakan hasil hutan) diluar waktu buka ulen atau melewati batas waktu buka ulen, masuknya warga desa lain tanpa ijin kepala desa dan memotong rotan atau menebang pohon kayu manis yang masih muda. Pelanggaran terhadap aturan-aturan pengelolaan Tana „ulen leppo‟ dikenakan sanksi yang disesuaikan dengan jenis pelanggaran. Jika pelanggar adalah warga di luar desa, dikenakan sanksi lebih berat. Demikian juga kaum paren, pimpinan atau aparat desa karena mereka berasal dari keluarga yang mendukung adanya Tana „ulen leppo‟, yaitu golongan yang menjadi teladan bagi warga desa lainnya.

2.4 Sistem Informasi Geografi (SIG)

Pada dasarnya terdapat dua jenis data yang digunakan untuk memodelkan kenampakan-kenampakan dunia nyata saat ini. Data spasial atau sering disebut dengan aspek-aspek keruangan seperti data koordinat, posisi dan ruang


(9)

merupakan data awal yang digunakan untuk memodelkan penampakan rupa bumi. Sedangkan data kedua adalah data atribut atau sering disebut sebagai data yang menjelaskan secara deskriptif mengenai fenomena yang dimodelkan.

Data yang digunakan untuk menampilkan kenampakan dunia nyata tersebut dapat disimpan dan diproses (dilakukan secara terpisah) sedemikian rupa sehingga dapat ditampilkan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan sesuai kebutuhan. Keunggulan tersebut menjadi nilai lebih tersendiri bagi SIG dibandingkan peta yang menampilkan dan menyimpan data secara bersamaan.

Sistem Informasi Geografi menurut Prahasta (2002) adalah suatu teknologi baru yang berbasiskan komputer dan menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Dengan demikian terdapat empat kemampuan SIG yang berbasiskan komputer dalam menangani informasi bereferensi geografi yakni input data, manajemen data, analisis dan manipulasi data serta luaran atau tampilan yang diinginkan (Aronoff 1989 diacu dalam Prahasta 2005).

Weng (2010) mengatakan SIG dapat digunakan untuk menangani berbagai data yang bersifat geografis, termasuk di dalamnya data atribut dan spasial yang mampu menjelaskan berbagai kenampakan rupa bumi dan konsep mendasar dari SIG adalah lokasi dalam sebaran keruangan dan keterkaitannya.

Sistem Informasi Geografi ini memiliki sistem yang komplek dan terdiri atas beberapa komponen seperti perangkat keras, perangkat lunak, data & informasi geografi serta sumberdaya manusia. Perangkat keras tersebut seperti komputer, mouse, keyboard, monitor, hard disk, digitizer, printer, plotter dan scanner. Perangkat lunak yang dapat digunakan seperti IDRISI, MapInfo, ERDAS, Arc View dan Arc Gis. Data dan informasi geografi yang diperlukan secara langsung dapat diperoleh dengan mendijitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari laporan-laporan, sedangkan data dan informasi geografi yang dibutuhkan secara tidak langsung dapat diperoleh dengan cara mengimportnya dari perangkat lunak SIG yang lain. Sumberdaya manusia atau orang-orang yang memiliki keahlian dalam manajemen dan mengerjakan SIG merupakan salah satu unsur terpenting.


(10)

10

Sistem Informasi Geografis memadukan data keruangan dan data atributnya dalam menampilkan dunia nyata. Sistem Informasi Geografis menyimpan semua informasi deskriptif data keruangan sebagai atribut-atribut di dalam basis data yang berbentuk tabel dan dapat dihubungkan. Setelah dihubungkan antara data keruangan dan tabel yang bersangkutan, dapat dilakukan pencarian terhadap data atribut melalui lokasi-lokasi dalam data keruangan.

Keterkaitan antara data keruangan dan atributnya ditampilkan dalam satuan-satuan yang disebut layer. Gedung, hutan, jalan dan batas-batas desa merupakan contoh layer yang jika dikumpulkan akan membentuk basis data SIG. Rancangan basis data akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses pemasukan, pengelolaan dan luaran SIG.

2.5 Global Positioning System (GPS)

Gunarso et al. (2003) mengartikan GPS sebagai sebuah alat dengan sistem radio navigasi dan menggunakan satelit dalam menentukan suatu lokasi. Puntodewo et al. (2003) mengatakan frekuensi sinyal radio yang dipancarkan sebuah satelit sangat rendah dan secara kontinu. Sinyal radio tersebut akan diterima secara pasif oleh GPS. Selain satelit dan GPS, dalam menentukan lokasi terdapat pula stasiun pengontrol yang tersebar di beberapa tempat. Stasiun ini berfungsi menilai kelayakan satelit, menentukan orbit dan memonitor satelit GPS.

Satelit GPS tersebut berjumlah 24 buah dengan ketinggian 11.500 mil dan mengorbit selama 12 jam (dua orbit dalam sehari) serta memiliki kecepatan 2000 mil per jam. Satelit tersebut dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Sinyal yang dipancarkan satelit agar dapat diterima dengan baik oleh GPS memerlukan kondisi dibagian atas GPS tanpa halangan apapun, baik awan, tajuk pepohonan maupun gedung-gedung. Sinyal satelit minimal yang diperlukan untuk menghitung posisi dalam tiga dimensi sebanyak 4 buah.


(11)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Taman Nasional Kayan Mentarang, tepatnya di Kecamatan Bahau Hulu Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 1). Interpretasi citra dan analisis citra dilakukan di Bagian Analisis Spasial Lingkungan Laboratorium Hutan Kota dan Jasa Lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober hingga bulan Desember 2011.

Gambar 1 Lokasi penelitian identifikasi batas lapang Tana „Ulen Lalut Birai. 3.2 Alat dan Bahan

Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan SIG yang terdiri atas perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), Microsoft Office 2007 untuk membuat dan menyusun laporan, ArcGIS 9.3 dan ERDAS 9.1 untuk mengolah data SIG, analisis, dan membuat tampilan berupa peta. Alat yang digunakan di lapangan diantaranya


(12)

12

GPS (Global Positioning System), kamera, panduan wawancara dan alat tulis. Bahan yang digunakan tersaji dalam Tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1 Bahan yang diperlukan berdasarkan jenis dan sumber datanya

No Jenis bahan Sumber bahan Keterangan

1 Peta Kawasan TNKM WWF dan TNKM Peta tahun 1996 2 Peta Topografi Kaltim WWF dan TNKM Peta tahun 1999 3 Peta Kab. Malinau & Nunukan WWF dan TNKM Peta tahun 1999 4 Peta Aliran Sungai Kaltim WWF dan TNKM Peta tahun 1999 5 Peta Penutupan Lahan Kaltim WWF dan TNKM Peta tahun 1999 6 Peta Zonasi Kawasan TNKM WWF dan TNKM Peta tahun 2010 7 Citra Landsat 7 ETM+ (Enhanced

Thematic Mapper Plus)

USGS Peta tahun 2009

8 Citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission)

USGS Peta tahun 2009

3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Pengumpulan data sekunder

Data sekunder diperlukan dalam penelitian ini sebagai data yang mendukung dalam penelitian. Berikut disajikan data sekunder yang diperlukan dan cara serta sumber memperoleh data sekunder (Tabel 2).

Tabel 2 Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian

No Jenis data Metode Sumber data

1 Demografi penduduk Studi Literatur Kantor Kecamatan 2 Informasi Nilai Kehati Studi Literatur WWF dan TNKM 3 Koordinat lokasi penting menurut

masyarakat

Ground Check dan Diskusi

Areal Tana „Ulen

Penentuan koordinat lokasi penting menurut masyarakat dilakukan dengan menyusuri batas lapang dan sebelumnya berdiskusi bersama pengelola untuk menentukan areal mana yang merupakan daerah penting tersebut. Areal penting dalam areal didasarkan pada persepsi masyarakat sebagai pemilik dan pengelola kawasan. Areal penting tersebut dapat berupa areal bersejarah, areal sebagai pemenuhan kebutuhan pangan dan areal berburu.

3.3.2 Pengumpulan data primer

Data primer merupakan data yang akan diolah menjadi peta Tana „ulen dan berbagai data lainnya. Tabel di bawah ini akan menunjukan data primer yang diperlukan, cara serta sumber memperoleh data tersebut (Tabel 3).


(13)

Tabel 3 Data primer yang diperlukan dalam penelitian

No Jenis data Metode Sumber data

1 Letak dan batas lapang Tana „Ulen

Ground check dan Diskusi Kawasan TNKM

2 Aturan pengelolaan kawasan Wawancara dan Studi literatur BPTU dan BTNKM

Kegiatan identifikasi batas lapang areal Tana „ulen dilakukan dengan menyusuri areal tersebut dan mengambil gambaran kondisi batas lapang. Selain itu diambil pula koordinat batas lapang areal Tana „ulen tersebut dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pengelola kawasan. Namun sebelum pengambilan koordinat disepakati terlebih dahulu bersama pengelola ciri fisik yang diingat pengelola sebagai batas lapang. Pengambilan koordinat batas lapang dilakukan dengan tidak kontinu, karena kondisi lapang tidak selamanya mudah ditelusuri. Kondisi batas lapang didokumentasikan dengan kamera digital.

Kegiatan lain yang dilakukan berupa pengumpulan berbagai aturan pengelolaan yang diterapkan di kawasan oleh pihak BTNKM dan BPTU. Pengumpulan berbagai aturan pengelolaan dilakukan dengan mewawancarai pengelola areal Tana „ulen seperti pihak BPTU dan studi literatur di Balai TNKM. Wawancara dilakukan menggunakan panduan wawancara dan panduan studi literatur yang selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran dan masih dapat dikembangkan sesuai keperluan.

3.3.3 Pengolahan data

Pengolahan data yang dilakukan meliputi pengolahan data spasial dan pengolahan data attribut. Pengolahan data ini menggunakan sistem informasi geografis dalam penggabungan data spasial dan attribut, sehingga terbentuk tampilan (overlay) data spasial.

3.3.3.1Proses pengolahan peta

Data spasial yang diperoleh dirubah terlebih dahulu kedalam format shapefile (shp) dengan proyeksi yang digunakan UTM. Sedangkan peta yang berupa AutoCAD (dxf) dirubah dalam bentuk shp (Gambar 2).


(14)

14

Gambar 2 Proses konversi peta format dxf ke format shp.

Pengolahan data citra Landsat dilakukan dengan menggunakan Software ArcGIS 9.3. Tahapan yang dilakukan dalam pengolahan citra landsat disajikan dalam Gambar 3.

Langkah-langkah pengolahan citra landsat tersebut diuraikan seperti di bawah ini:

a. Koreksi Radiometrik akan menghilangkan gangguan atmosfer akibat pantulan dan hamburan dari partikel udara dan kualitas sensor yang kurang baik.

b. Pemilihan gabungan band saluran dengan kombinasi 5-4-3.

Atributting Peta digital shp Transform UTM

Screen Digitazing Shapefile (shp) AutoCAD (dxf) Citra Landsat Ya Perbaikan Gambar Koreksi geometrik Koordinat kawasan Buffering Plotting Tidak Land cover Diterima? Analisis akurasi Klasifikasi terbimbing Ground check Confusion matrix Klasifikasi tidak terbimbing Calculate statistic Cut Kawasan TNKM Perbaikan Gambar Training area


(15)

c. Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi obyek studi.

Pengambilan titik di lapangan dilakukan setelah areal Tana „ulen dan batasnya diketahui. Koordinat areal Tana „ulen yang diperoleh akan digabungkan dengan berbagai peta yang ada (Gambar 4).

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh berupa kondisi batas lapang dan peta areal Tana „Ulen berikut aturan pengelolaan Tana „Ulen yang dilakukan oleh pihak BPTU dan BTNKM. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menghubungkan data yang diperoleh untuk pengelolaan kawasan.


(16)

16 Peta Topografi

Peta Topografi

Citra Landsat Peta Penutupan Lahan Peta Kabupaten Malinau & Nunukan

Peta Aliran Sungai Peta Kawasan TNKM

Digitasi, editing, transformasi koordinat,map join, attributing DEM Kontur

Peta Penutupan Lahan

Peta Kabupaten

Malinau & Nunukan Peta Aliran Sungai Peta Kawasan TNKM

Peta TNKM Wil. SPTN II Overlay & Cropping

Koordinat Batas Tana „ulen

Input & Cropping

Peta Areal Tana „ulen Keterangan :

= Input = Proses = Output


(17)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Administrasi Geografis

Taman Nasional Kayan Mentarang memiliki luas wilayah sebesar 1.350.000 Ha dengan posisi geografis 2º hingga 4º Lintang Utara. Secara administratif lokasi ini berada di Propinsi Kalimantan Timur dan di dua kabupaten yakni, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan. Kawasan ini berbatasan dengan Malaysia di bagian timur laut hingga kearah barat dan bagian selatan berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Tengah (TNKM 2002) (Gambar 5).

Gambar 5 Letak Taman Nasional Kayan Mentarang secara administratif. 4.2 Kondisi Fisik Dasar Kawasan

4.2.1 Topografi

Taman Nasional Kayan Mentarang terletak di punggung pegunungan dengan ketinggian yang bervariasi mulai dari 300 mdpl hingga 2000 mdpl. Sekitar 50% dari taman nasional memiliki elevasi lebih dari 1000 mdpl. Kemiringan lereng di taman nasional umumnya sebesar 40%. Sehingga taman nasional ini memiliki punggung bukit yang tinggi dan lembah-lembah dalam serta


(18)

terpotong-18

potong oleh garis lipatan yang berkelok-kelok dan dipengaruhi oleh pusat-pusat vulkanik. Sekitar 75% kawasan terdiri atas batu kapur atau bahan endapan lainnya yang tercampur dengan batuan metamorfik.

Pegunungan yang berasal dari gunung berapi sering kali terdiri dari beberapa punggung utama sedangkan pegunungan yang berasal dari bahan endapan terlihat sebagai punggung bukit yang memanjang dan dipisahkan oleh lembah sungai. Secara geomorfologis terdapat dua bagian taman nasional yang tertutupi oleh batuan vulkanik dan yang tidak tertutupi oleh batuan vulkanik. Batuan vulkanik tersebut menutupi formasi endapan yang ada sebelumnya di wilayah selatan taman nasional.

4.2.2 Hidrologi

Taman Nasional Kayan Mentarang dengan kondisi pegunungan, perbukitan dan lembah-lembahnya yang dalam merupakan daerah penting tangkapan air bagi tiga sungai besar di Kalimantan Timur. Sungai Kayan merupakan salah satu sungai besar yang sumber airnya berdekatan dengan perbatasan taman nasional bagian selatan dan anak sungainya mengalir melalui kawasan. Sungai Sesayap memiliki dua anak sungai, yakni Sungai Mentarang dan Sungai Tubu yang keduanya memperoleh sumber air dari pegunungan di bagian tengah serta utara kawasan dan airnya mengalir kedalam Sungai Sesayap. Sungai Sembakung merupakan salah satu sungai terbesar yang anak sungainya memperoleh sumber air dari bagian utara kawasan.

Aliran permukaan sungai tersebut mengalami puncaknya pada bulan November, Desember dan bulan Mei, sedangkan pada periode bulan Juni hingga September terjadi aliran permukaan terendah. Tinggi rendahnya aliran permukaan tersebut dipengaruhi oleh volume air yang masuk ke dalam sungai. Fluktuasi tersebut dipengaruhi oleh tingkat kekeringan dan curah hujan yang terjadi di bagian hulu kawasan. Ketika aliran permukaan tinggi sungai tersebut tidak dapat dilewati oleh transportasi sungai karena memiliki jeram-jeram yang besar, sehingga menganggu jalur transportasi. Sering pula terjadi banjir bandang pada sungai-sungai tersebut. Sedangkan air tanah dalam kawasan hampir tidak ada, sehingga masyarakat mengambil air sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


(19)

4.2.3 Tanah

Kawasan taman nasional yang berupa pegunungan dan berbukit-bukit ini, memiliki tipe batuan yang menentukan jenis tanah di dalamnya. Batuan endapan merupakan bahan induk umum dimana 75% kawasan terdiri atas tanah yang terbentuk dari batu endapan dan memiliki sifat miskin hara. Kondisi temperatur yang tinggi dan curah hujan yang sering terjadi di kawasan ini menjadikan jenis tanah di kawasan ini adalah jenis Ultisol kemerahan dan kekuningan, berlempung dan tidak subur. Batuan vulkanik membentuk tanah dengan tekstur halus dan struktur yang baik tapi memiliki kemampuan yang lemah dalam mengikat unsur hara. Jenis tanah ini dikelompokan sebagai tropudults yang mencakup 25% kawasan di bagian selatan tepat di sebelah barat Sungai Bahau.

4.2.4 Iklim

Taman Nasional Kayan Mentarang dengan elevasi yang lebih rendah berada pada kondisi iklim tipe A (berdasarkan sistem Koppen) yakni iklim tropis hujan tanpa musim kemarau dan suhu tinggi sepanjang tahun. Sedangkan untuk elevasi yang tinggi memiliki iklim tipe C atau iklim temperatur hangat dengan hujan tanpa musim kemarau. Secara umum kawasan memiliki iklim tipe A atau Agroklimatik paling basah dan berawan untuk tanaman pertanian.

Curah hujan ditentukan oleh angin musim kering pada bulan Mei hingga Oktober dan angin musim hujan pada bulan November hingga April. Kondisi paling basah terjadi pada bulan November sampai bulan Februari sedangkan musim paling kering pada bulan Juli atau Agustus hingga Oktober. Curah hujan tersebar dengan penyebaran yang sangat kompleks. Daerah paling kering terdapat di daerah pedalaman dan lembah-lembah di sepanjang hulu Sungai Kayan dengan jumlah curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun. Sedangkan daerah lainnya curah hujan rata-ratanya 3000 hingga 4000 mm/tahun. Berdasarkan arahnya, barat hingga kearah timur curah hujannya akan semakin berkurang. Daerah dataran rendah dengan curah hujan tinggi terdapat di bagian barat daya kawasan, yakni di Desa Data Dian. Dalam kawasan taman nasional tidak ada daerah yang mendapat curah hujan kurang dari 100 mm/tahun, dan bulan basah dengan curah hujan 200 mm/tahun berjumlah 7 hingga 12 bulan. Daerah Long Pujungan memiliki rentang


(20)

20

curah hujan antara 150 hingga 300 mm/tahun dengan kondisi kekeringan terjadi pada saat El Nino di tahun 1982/1983 dan 1997/1998.

Kondisi angin di kawasan ini umumnya relatif kecil, dengan pergerakan dari arah tenggara pada bulan Mei hingga Oktober serta dari arah barat laut pada bulan November hingga April. Taman Nasional Kayan Mentarang tidak terpengaruh oleh topan tropis karena lokasinya berdekatan dengan garis khatulistiwa. Pada daerah berbukit-bukit umumnya tertutup oleh awan hampir sepanjang tahun. Setiap bertambahnya ketinggian kondisi iklim akan menjadi lebih dingin dan lembab. Keadaan suhu yang rendah dan kondisi penutupan awan mampu menekan pertumbuhan tanaman terutama di bagian elevasi yang lebih tinggi.

4.3 Kondisi Biologi Kawasan 4.3.1 Ekosistem

Taman Nasional Kayan Mentarang memiliki tiga perempat kawasan lebih berupa batu pasir endapan, sedangkan sisanya terbentuk atas aktivitas vulkanik sehingga terbentuklah berbagai bentuk lahan, dari dataran rendah dan tinggi sampai komplek perbukitan dan punggung gunung yang tinggi. Daerah dataran rendah hingga tinggi terbentuk dari endapan batu pasir dan membentuk asosiasi dengan hutan kerangas. Daerah dengan dataran rendah vulkanik yang subur membentuk hutan dipterocarpaceae primer dan sebagian berupa daerah pertanian. Batu pasir yang berada di perbukitan dan pegunungan membentuk hutan dipterocarpaceae pegunungan dan hutan Montana.

Terdapat sedikitnya 18 jenis habitat terrestrial atau tipe vegetasi. Hutan dataran rendah, sub montana dan montana bercampur dengan padang rumput dan lahan pertanian masyarakat serta vegetasi pada substrat yang khusus seperti hutan kerangas dan hutan kapur. Substrat batu pasir di dataran tinggi merupakan komponen edaphis utama yang sangat menentukan dalam pembentukan hutan kerangas. Selain dari substrat terrestrial, hubungannya terhadap flora fauna dipengaruhi oleh komunitas perairan yang beranekaragam sehingga mempengaruhi tingginya keragaman amphibi dan ikan.


(21)

4.3.2 Flora

Taman Nasional Kayan Mentarang merupakan salah satu lokasi dengan keanekaragaman flora yang tinggi. Zona dataran rendah di TNKM didominasi oleh flora dengan famili Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae dan Moraceae. Zona bukit (dataran tinggi) didominasi oleh famili Sapotaceae, Burseraceae, Myrtaceae, Fagaceae, Ulmaceae, Euphorbiaceae, Dipterocarpaceae, Lauraceae, Theaceae dan Moraceae. Pegunungan rendah didominasi oleh Theaceae, Myrtaceae, Euphorbiaceae, Myrtaceae, Fagaceae, Lauraceae dan Guttiferaceae. Zona pegunungan tinggi didominasi oleh famili Myrtaceae, Ericaceae dan Fagaceae.

4.3.3 Fauna

Satwa endemik kalimantan tercatat di kawasan taman nasional ini. Bekantan (Nasalis larvatus), Gibbon Borneo (Hylobates muelleri) dan Lutung (Presbytis Spp) merupakan primata yang menghuni kawasan ini. Puri (1997) diacu dalam TNKM (2002) mengatakan Bekantan tercatat sebanyak 2 ekor di hulu Sungai Bahau dan diperkirakan Bekantan betina muda yang secara kebetulan melintasi kawasan tersebut. Jenis mamalia yang diyakini masih terdapat dalam kawasan seperti Kucing Merah (Felis badia) dan Kijang Kuning Borneo (Muntiacus atherodes). Sudana (1999) diacu dalam TNKM (2002) mendapatkan info dari masyarakat Tau Lumbis, Kucing Merah masih terdapat dalam kawasan.

Satwa langka dan terancam seperti Lutung dahi putih (Presbytis frontata) dimanfaatkan oleh masyarakat untuk diambil “Batu guliga”. Badak bercula dua (Dicerorhinus sumatrensis) berdasarkan studi Meijaard (1995) diacu dalam TNKM (2002), Badak ditemukan di sekitar perbatasan luar taman nasional. Banteng (Bos javanicus), Musang air (Cynogale bennettii) dan Gajah Asia (Elephas maximus) terdapat dalam kawasan. Gajah asia keberadaannya diketahui di daerah Lumbis kearah timur taman nasional. Banteng diburu untuk diambil dagingnya dan dibunuh jika memasuki perladangan warga.

Jenis-jenis satwa seperti Orang Utan (Pongo pygmaeus), Beruk (Macaca nemestrina), Landak Biasa (Hystrix brachyura), Berang-berang Bulu Licin (Lutra perspicillata), Macan Dahan (Neofelis nebulosa) dan Kucing Tandang (Felis planiceps). Orang Utan sangat jarang ditemui di kawasan Sungai Tubu (O‟Brien


(22)

22

1997 diacu dalam TNKM 2002). Sulit ditemukan Orang utan di kawasan ini karena habitat kurang sesuai dan perburuan di daerah tersebut. Puri (1997) diacu dalam TNKM (2002) mengatakan Macan dahan saat ini sangat jarang terlihat oleh pemburu. Masyarakat dikatakan sangat beruntung jika memperoleh enam ekor macan dahan hasil buruan sepanjang hidupnya. Landak hanya sesekali diburu untuk memperoleh daging dan bulunya sebagai cinderamata. Selain itu batu guliga yang terdapat pada landak dimanfaatkan sebagai komoditi jual beli sebagai obat. IUCN menetapkan status Beruk sebagai satwa Vulnerable, karena jumlahnya terus menurun. Namun masyarakat Krayan percaya satwa tersebut masih cukup melimpah dan dianggap sebagai hama.

Beruang madu (Helarctos malayanus) dan Luwak (Pardofelis marmorata) merupakan satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Luwak diburu oleh masyarakat untuk diambil daging, kulit dan giginya. Sedangkan Beruang madu umumnya dimanfaatkkan sebagai obat oleh masyarakat dengan memanfaatkan kantong empedunya. Gigi, kulit dan cakarnya dijual sebagai perhiasan.

Jenis-jenis burung banyak terdapat di kawasan ini, baik jenis endemik maupun jenis yang dilindungi. Merak Borneo (Polypectron schleiermacheri), Bangau Tongtong (Ciconia stormi), Ibis Karau (Pseudibis davisoni), Sempidan Kalimantan (Lophura bulweri), Sempidan Merah (Lophura erythrophthalma), Sempidan Biru (Lophura ignita), Julang Jambul-Hitam (Aceros corrugatus), Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus) dan Pelanduk Kalimantan (Malacocincla perspicillata) merupakan beberapa jenis burung yang terdapat dalam kawasan.

Jenis-jenis amphibi dan reptil tidak kalah banyak dengan kelas lainnya. Terdapat 26 jenis reptile dan 27 jenis amphibi yang dilaporkan terdapat dalam kawasan. Ikan merupakan satwa air yang banyak ditemukan di kawasan ini, terdapat sekitar 76 jenis yang baru diketahui dalam kawasan.

4.4 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Kebudayaan Masyarakat

Masyarakat dayak yang berada di dalam dan sekitar kawasan terdiri atas 12 kelompok suku bahasa dengan penduduknya 16.000 jiwa. Kelompok tersebut seperti Dayak Kenyah, Punan, Lundayeh, Tagel, Kayan dan Saben. Masyarakat tersebut telah mendiami kawasan kurang lebih selama dua atau tiga abad yang lalu. Perpindahan masyarakat dari dan ke dalam kawasan masih terjadi hingga


(23)

saat ini. Umumnya perpindahan keluar kawasan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi mereka, namun peningkatan perdagangan hasil hutan dari kawasan telah menyebabkan kembalinya masyarakat kedalam kawasan.

Klinik kesehatan umumnya terdapat di masing-masing ibukota kecamatan sebanyak satu buah dengan minimal dua orang perawat, satu orang mantri dan satu orang dokter. Umumnya dokter yang didatangkan berasal dari daerah lain Indonesia yang baru selesai pendidikan dan dalam masa tugas pelatihan pelayanan di daerah-daerah terpencil Indonesia. Untuk setiap desa terdapat satu buah sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama hanya ada di ibukota kecamatan.

Mata pencaharian masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sangat beragam. Umumnya masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dari hasil menanam dan berburu yang diperoleh dari hutan dan sungai. Kegiatan utama dalam mencari uang untuk membeli berbagai keperluan mereka adalah dengan memungut dan menjual hasil hutan serta dari bekerja sementara di Malaysia. Walaupun demikian masyarakat sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan berbagai mata pencaharian lainnya seperti beternak, hasil hutan non kayu, perburuan, kerajinan tangan dan bekerja sebagai buruh.

Masyarakat di sekitar kawasan merupakan masyarakat adat dimana kehidupan sehari-hari diatur dengan hukum adat, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam. Keberadaan lembaga hukum adat dalam menerapkan aturan sehari-hari telah membuat masyarakat percaya terhadap lembaga tersebut dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dibandingkan organisasi lain. Terdapat sedikitnya 10 wilayah adat di kawasan TNKM yaitu Apo Kayan, Pujungan, Hulu Bahau, Tubu, Mentarang, Krayan Hulu, Krayan Tengah, Krayan Hilir, Krayan Darat dan Lumbis Hulu. Wilayah adat tersebut dipimpin oleh kepala adat besar dan telah mendapat pengakuan dari pemerintah kabupaten dengan adanya surat tugas.

4.5 Pengelolaan Kawasan

Taman Nasional Kayan Mentarang bermula sebagai Cagar Alam yang diusulkan oleh tim gabungan PPA/FAO pada tahun 1977. Tahun 1980 Departemen Pertanian sebagai pengelola kawasan hutan menetapkan kawasan


(24)

24

tersebut menjadi Cagar Alam dengan SK No.847 Kpts/Um/II/25 November 1980 dengan luas 1,6 juta hektar. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 1992 WWF mengusulkan perubahan status kawasan menjadi Taman Nasional, agar pemanfaatan tradisional dapat dilakukan dalam kawasan. Departemen Kehutanan kemudian menilai usulan tersebut dan pada tanggal 7 Oktober 1996 Menteri Kehutanan menetapkan area tersebut menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang dengan SK Menteri Kehutanan No.631/Kpts-II/1996 yang memiliki luasan 1,35 juta hektar.

Perencanaan kawasan saat ini telah difokuskan kepada penataan batas taman nasional dan zona pemanfaatan. Penataan batas dan zonasi kawasan tidak hanya melibatkan pengelola kawasan, melainkan mengajak pula masyarakat adat melalui perencanaan partisipatif untuk menyempurnakan tata batas dan zonasi yang telah terbentuk. Pengelolaan kawasan hingga saat ini belum maksimal karena terbatasnya anggaran dan staf kawasan. Kawasan taman nasional umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengumpulkan hasil hutan dan berburu. Penelitian di dalam maupun di luar kawasan telah banyak dilakukan, baik oleh pihak independen maupun hasil kerjasama berbagai pihak. Stasiun Penelitian Hutan Tropis Lalut Birai merupakan pusat penelitian yang ada dalam kawasan.

Kegiatan pengamanan dan perlindungan kawasan dilakukan secara bersama dengan melakukan patroli udara, pembangunan pos penjagaan dan proses penghentian pengumpulan hasil hutan secara illegal oleh para pendatang. Koordinasi yang dilakukan bersama LSM dan pihak pemerintah beserta masyarakat tetap dilaksanakan dalam mencapai tujuan pengelolaan kawasan. Pembangunan sarana prasarana seperti Stasiun Penelitian Hutan Tropis Lalut Birai, landasan pesawat, jalan setapak dan pelabuhan. Pendanaan secara spesifik belum ditujukan untuk pengelolaan TNKM, sehingga sampai saat ini pendanaan berasal dari LSM yang telah bekerjasama dengan kawasan.

4.6 Tana ‘Ulen Lalut Birai

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan Tana „Ulen bagi masyarakat Desa Long Alango. Pengelolaannya saat ini dilakukan oleh pihak Badan Pengurus Tana „Ulen dan pengelolanya adalah masyarakat setempat. Pada awalnya kepemilikan


(25)

areal tersebut merupakan hak bagi kaum paren (bangsawan), namun saat ini kepemilikan tersebut telah beralih menjadi hak masyarakat desa (Konradus 1999). Tana „Ulen tersebut berada dalam Taman Nasional Kayan Mentarang SPTN Wilayah II. Dalam areal tersebut terdapat stasiun penelitian Lalut Birai yang didirikan oleh pihak WWF, namun saat ini telah dilimpahkan kepada pihak balai dan pengelolaannya dilakukan oleh pihak BPTU (Badan Pengurus Tana „Ulen) dengan pengawasan dari balai.

Masyarakat memanfaatkan areal tersebut untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka seperti pembangunan balai pertemuan umum dan acara kemasyarakatan lainnya. Selain itu areal tersebut dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dengan meminta izin kepada kepala adat. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa sepengetahuan kepala adat dapat dikenakan sanksi berdasarkan hukum adat yang telah disepakati.


(26)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Fisik Tana ‘Ulen Lalut Birai

5.1.1 Hidrologi

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan tanah adat masyarakat Desa Long Alango yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Arealnya terdiri atas lembah-lembah dalam dan pegunungan sehingga areal ini merupakan daerah tangkapan air. Oktariadi (2007) menggambarkan suatu daerah tangkapan air dengan areal yang umumnya dilindungi seperti suaka alam maupun hutan lindung serta berada pada daerah-daerah puncak dengan kelerengan terjal (30-50%) hingga sangat terjal (>70%). Sehingga Tana „Ulen Lalut Birai dapat dikatakan sebagai areal tangkapan air yang mengalirkan airnya melalui Sungai Enggeng.

Sungai Enggeng memiliki percabangan di daerah hulu seperti Sungai Tee, Sungai Enggeng Tau, Sungai Enggeng Kabi‟eng dan Sungai Enggeng Belua. Sungai Enggeng merupakan anak sungai dari Sungai Bahau yang mengalirkan airnya ke Sungai Kayan, salah satu sungai terbesar di Kalimantan Timur. Sungai Enggeng terletak di ketinggian 330 meter dari permukaan laut yang tercatat di muara sungai (Gambar 6).


(27)

Kondisi sungai sebagian besar terdiri atas bebatuan sehingga sungai ini sulit untuk dijadikan sarana transportasi. Arus deras dan tenang dapat dijumpai tidak jauh dari muara Sungai Enggeng. Perbedaan ketinggian aliran permukaan air mudah ditemukan di sungai ini. Kondisi tersebut menjadikan sungai ini sulit untuk dijelajahi dengan transportasi sungai pada umumnya.

Air di sungai ini tidak dimanfaatkan oleh warga untuk kepentingan mengairi lahan, kebutuhan sehari-hari maupun pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Letaknya cukup jauh dari desa sehingga sulit untuk dilakukan pemanfaatan oleh masyarakat. Namun, salah satu anak sungai (lalut) dari Sungai Enggeng dimanfaatkan oleh warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama aktifnya kegiatan penelitian di Stasiun Penelitian Hutan Tropis (SPHT) Lalut Birai.

5.1.2 Topografi

Kawasan ini sebagian besar berupa pegunungan dengan ketinggian lokasi yang berbeda di setiap tempatnya. Kondisi tertinggi yang berada di sebelah kanan batas kawasan adalah 1340 mdpl dan di sebelah kiri 1293 mdpl, tetapi banyak elevasi-elevasi yang lebih tinggi dicapai oleh pegunungan di titik pertemuan batas kiri dan kanan kawasan (Gambar 13). Kondisi permukaan yang naik turun seringkali dijumpai dalam areal ini.

Kemiringan lereng yang besar dengan elevasi punggung gunung yang tinggi membentuk kawasan berupa lembah curam dan dalam. Kondisi ini dapat dijumpai selama perjalanan menyusuri batas kawasan, baik di kiri maupun batas kanan kawasan.

5.1.3 Tanah

Permukaan tanah dalam kawasan Tana „Ulen tertutup oleh berbagai serasah tebal hingga sangat tebal akibat guguran daun sebagai proses alami regenerasi pada tumbuhan. Beberapa lokasi yang memiliki penutupan serasah daun yang sangat tebal adalah di puncak-puncak pegunungan.

Tanah yang berwarna kecokelatan hingga kemerahan dapat terlihat di jalan awal menyusuri kawasan ataupun di sekitar SPHT Lalut Birai, sedangkan tanah yang berada di ketinggian 1072 mdpl berwarna sedikit kekuningan dan beberapa diantaranya terdapat bebatuan kecil hingga sedang.


(28)

28

5.2 Kondisi Biologi Tana ‘Ulen Lalut Birai 5.2.1 Flora

Jenis-jenis tumbuhan yang ada di batas kawasan umumnya berupa pepohonan tinggi dan besar, sedangkan untuk lokasi seperti di puncak-puncak pegunungan dapat dijumpai pepohonan pendek dengan diameter yang kecil. Jenis-jenis pohon tersebut seperti Meranti (Shorea sp.), Ulin (Eusideroxylon zwagerii), Agathis (Agathis borneensis), Pulai (Alstonia scholaris), Eucalyptus (Tristianopsis whiteana), Eucalyptus (Tristianopsis obovata) dan Puspa (Schima wallichii).

Terdapat jenis-jenis rotan baik rotan dengan diameter besar maupun kecil di sepanjang batas kawasan. Jenis rotan yang dapat dijumpai seperti Wai sega (Calamus caesus) dan Wai Semole (Daemonorops periancantha). Jenis-jenis palem-paleman lainnya juga terdapat di areal ini seperti Palem kipas (Licuala splendidula) dan Nibung (Oncosperma horridum). Berbagai jenis anggrek terdapat di sepanjang jalur, namun sebagian besar merupakan jenis anggrek terestrial dan anggrek tanah.

5.2.2 Fauna

Satwa yang ada dalam kawasan seperti Bajing kerdil (Excillisiurus exillis), Rusa sambar (Cervus unicolor), Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri). Jenis burung yang ada dalam kawasan adalah burung Enggang gading (Buceros vigil), Enggang badak (Buceros rhinoceros), Kuau raja (Argusianus argus) dan Elang ular bido (Spilornis cheela).

Jenis satwa lainnya adalah Beruang madu (Helarctos malayanus), Kijang (Muntiacus spp.) dan Babi hutan (Sus barbatus). Satwa tersebut diketahui keberadaannya melalui jejak yang ditinggalkannya seperti kubangan, lubang galian dan jejak kaki.

5.3 Tana ‘Ulen Lalut Birai 5.3.1 Letak Tana ‘Ulen Lalut Birai

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan Tanah adat masyarakat Desa Long Alango dan terletak dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Lokasinya berada di Sungai Enggeng dengan jarak kurang lebih 5 km dari desa.


(29)

Jarak ini ditempuh dalam waktu 15 menit dengan perahu tempel (ketinting). Muara Sungai Enggeng merupakan batas terluar di bagian timur kawasan dan berada di tepi aliran Sungai Bahau, sehingga cukup mudah dijangkau setelah melewati perjalanan air di sungai-sungai utama yang dijadikan jalur transportasi (Gambar 7).

Gambar 7 Muara Sungai Enggeng.

Tana „Ulen tersebut terdiri atas sisi utara (kanan), selatan (kiri), barat dan timur dari Sungai Enggeng, sehingga sungai ini merupakan titik tengah dari Tana „Ulen masyarakat. Peneliti biologi kawasan terdahulu memperkirakan luasan Tana „Ulen ini kurang lebih 11.000 ha, tanpa menyusuri batas kawasan.

5.3.2 Batas Tana ‘Ulen Lalut Birai

Masyarakat membatasi areal Tana „Ulennya menggunakan sistem mata air terluar yang mengalir ke Sungai Enggeng, baik mata air yang secara nyata mengalir ke Sungai Enggeng maupun mata air yang mengalir berputar menjauh dari Sungai Enggeng, jika tetap mata air itu berakhir di Sungai Enggeng, maka masyarakat menganggapnya sebagai batas dari Tana „Ulennya (Gambar 8).

Mata air yang mengalir kedalam dua DAS berbeda, menurut Ongkosongo (2010) dipisahkan oleh topografi di bagian daratnya. Noor (2009) mendefiniskan


(30)

30

topografi sebagai penampakan ketinggian muka bumi atau lahan. Letak punggung gunung terdapat di bagian teratas dari mata air tersebut, sehingga dalam Tana „Ulen ini pembatasnya adalah punggung gunung dan bukit. Punggung gunung tersebut memisahkan dua mata air yang mengalir ke Sungai Enggeng dan air yang mengalir ke luar Sungai Enggeng.

Gambar 8 Titik-titik koordinat survey lapang dan batas lapang Tana „Ulen Lalut Birai hasil diskusi.

Batas alam titik terluar di bagian timur kawasan Tana „Ulen Lalut Birai berupa muara Sungai Enggeng yang bertemu dengan Sungai Bahau, anak sungai dari Sungai Kayan. Muara ini memiliki lebar tidak lebih dari 20 meter. Berjalan di sisi kanan (utara) kawasan atau bagian atas dari muara dapat dijumpai kelerengan lahan yang mencapai 25%, berupa jalan menanjak (Gambar 9). Sisi-sisinya berupa areal lahan yang meninggi dan lereng curam (40%) yang mengarah ke Sungai Bahau. Jalan ini merupakan titik awal dari rangkaian pegunungan di bagian kanan (utara) yang merupakan kesatuan dari puncak gunung di hulu Sungai Enggeng.

Jalan tersebut merupakan jalan yang digunakan untuk mencapai SPHT Lalut Birai. Namun, jalan ini tidak selamanya berada di batas terluar dari Tana „Ulen Lalut Birai. Pada beberapa lokasi jalan, terdapat pengalihan jalan menuju


(31)

areal terendah dari punggung bukit yang merupakan batas Tana „Ulen. Sehingga dapat terlihat persimpangan jalan antara jalan menuju SPHT Lalut Birai dan jalan yang merupakan punggung bukit sebagai batas Tana „Ulen Lalut Birai.

Gambar 9 Lokasi titik pertama di bagian (a) kanan (utara) dan (b) kiri (selatan). Hutan di sekitar titik ini cukup terbuka dan banyak ditumbuhi semak belukar. Bagian dalam dari hutan ini terlihat masih baik dengan banyaknya pepohonan tinggi dan besar yang menaungi lantai hutan. Letak hutan yang berada di antara pertemuan dua arus sungai menjadikan hutan ini berada di lereng-lereng curam dengan kemiringan lebih dari 40% (Gambar 10). Letak hutan ini berada di ketinggian 330 mdpl.

Titik pertama di bagian kiri (selatan) kawasan terletak tidak jauh dengan titik pertama di bagian kanan (utara) (Gambar 9). Sehingga kondisinya tidak memiliki perbedaan yang nyata. Berada di titik terendah (330 mdpl) dari rangkaian punggung gunung Sungai Enggeng, menjadikan titik ini muara dari Sungai Enggeng serta anak sungainya. Perbedaan kecil yang terlihat dengan titik kanan adalah tidak terdapat jalan setapak di titik ini untuk masuk kedalam hutan.

Hutan di bagian kiri (selatan) areal dapat tergambarkan dengan kondisi yang berada di lereng curam menuju Sungai Enggeng. Sedangkan hutan yang menghadap Sungai Bahau tidak berada di lereng curam, melainkan berada di tanah yang cukup landai. Hutannya tidak langsung bertemu dengan Sungai Bahau, tetapi bertemu dengan tanah pasir berbatu yang merupakan hasil sedimentasi ketika banjir. Kelerengan curam dapat dijumpai tidak jauh dari bagian awal hutan. Berjalan kedalam hutan di bagian kiri areal akan bertemu dengan lahan curam


(32)

32

yang terhubung dengan punggung gunung di bagian kiri (selatan) dari muara sungai.

Titik koordinat kedua merupakan batas terluar di bagian kanan (utara) kawasan berupa jalan persimpangan menuju Sungai Pande Iut dan Sungai Enggeng dengan ketinggian 931 mdpl (Gambar 11). Batas ini memiliki ciri yang cukup khas berupa tanah datar berlumpur yang ditumbuhi rumput liar sebagai areal berkumpulnya beberapa jenis satwa. Sisi-sisi dari areal ini berupa kelerengan curam yang dalam dan sisi lainnya dilalui aliran air yang merupakan mata air ke Sungai Enggeng. Arah selatan titik ini berupa jalan menuju muara dan arah barat jalan landai menuju Tana „Ulen.

US Army Infantry School (2001) mendefinisikan bukit sebagai areal yang berada di ketinggian dengan sisi-sisinya berupa areal menurun, sedangkan rangkaian punggung bukit merupakan areal yang berada di ketinggian dengan perubahan ketinggian di sepanjang rangkaian dimana sisi-sisinya merupakan areal menurun tajam. Titik kedua yang memiliki sisi-sisi curam dan sisi lainnya berupa jalan landai menuju Tana „Ulen memberikan gambaran titik ini berada pada sebuah bukit yang terhubung dengan bukit lain pada punggung bukitnya. Sifatnya yang terjal merupakan ciri tersendiri dari sebuah bukit (Darmawan A & Ruswanto 2008). Titik dengan ketinggian 500-1000 mdpl mencirikan sebuah bukit, sedangkan pegunungan rendah dicirikan dengan ketinggian 1000-1500 mdpl (TNKM 2002).

Kondisi hutan di sepanjang titik satu ke titik dua banyak ditumbuhi oleh pepohonan besar dan tinggi, sehingga kondisi jalan banyak ternaungi oleh lebatnya pepohonan. Namun terdapat satu lokasi dengan naungan terbuka karena pohon tumbang sebagai proses regenerasi alami. Kondisi hutan sepanjang jalan ini berada di lereng-lereng curam yang memisahkan aliran Lalut Birai dengan aliran sungai lainnya yang ada di sebelah selatan jalur. Jalur sepanjang titik satu menuju titik dua, bukan punggung bukit terluar yang membatasi areal Tana „Ulen, melainkan punggung bukit yang terhubung dengan pertemuan beberapa punggung bukit lainnya yang membatasi kawasan.


(33)

33 Gambar 10 Peta kelerengan di Tana „Ulen Lalut Birai.


(34)

34

Gambar 11 Titik kedua di bagian (a) kanan (utara) dan (b) kiri (selatan). Titik koordinat kedua di bagian kiri (selatan) berada di puncak bukit dan merupakan rangkaian dari tiga punggung bukit lainnya (Gambar 11). Perbedaan tidak terlihat nyata dengan titik kedua di bagian kanan (utara), lereng curam dan terjal terdapat di sisi selatan dan utara titik ini. Titik ini berada pada ketinggian 626 mdpl, lebih rendah jika dibandingkan dengan titik kedua di bagian kanan (utara). Perjalanan menuju titik ini dilakukan dengan menyusuri lereng curam di bagian utara yang mengalirkan air ke Sungai Enggeng. Sisi selatan titik ini mengalirkan air ke Lalut Songan. Sisi barat titik ini menuju Tana „Ulen dan sisi timur menuju muara.

Gambar 12 Titik ketiga di bagian (a) kanan dan (b) kiri areal Tana „Ulen. Kondisi hutannya terletak di lereng-lereng curam dengan naungan lebat karena pepohonan rapat dan besar. Lantai hutannya sedikit ditumbuhi semak belukar, hanya beberapa di bagian tepi sungai yang mendapat sinar matahari ditumbuhi oleh tumbuhan bawah.

Koordinat ketiga di bagian kanan (utara) terletak pada ketinggian 1003 mdpl (Gambar 12). Area yang menurun ataupun titik terendah antara dua puncak

(a) (b)


(35)

ketinggian menurut US Army Infantry School (2001) disebut sebagai cekungan. Titik ketiga ini berada pada area yang menurun setelah melewati area meninggi di sisi timurnya. Sisi barat dari titik ini merupakan area meninggi yang merupakan jalan menuju Tana „Ulen. Sisi utara dan selatan titik ini berupa lembah yang mengalirkan air ke Sungai Enggeng Tau dan sungai lainnya. US Army Infantry School (2001) mendefinisikan lembah dengan areal yang melebar akibat aktivitas aliran air ataupun sungai, dengan ketiga sisi berupa ketinggian dan sisi lainnya berupa area menurun. Lembah merupakan daerah resapan air yang membentuk aliran sungai serta berfungsi sebagai daerah tangkapan air (Darmawan A & Ruswanto 2008). Sehingga titik ini berada pada sebuah cekungan antara dua ketinggian yang berupa punggung gunung dengan sisi-sisinya lembah yang mengalirkan air.

Kondisi hutan yang berada di titik ketiga sebagian besar berada di lembah curam dan di tepi punggung gunung. Kedalaman lembah mencapai 100 meter sehingga tajuk-tajuk pohon berada diposisi sejajar dan di bawah pandangan mata. Hutan di punggung ini berada dalam kondisi baik karena tidak ditemukannya tebangan pohon. Hutan ini memisahkan dua aliran sungai besar, yakni Sungai Pande dengan Sungai Enggeng Tau. Pepohonan besar terdapat di tepi punggung gunung yang curam. Kondisi ini memungkinkan adanya tanah landai dan cukup lebar di punggung gunung ini.

Titik ketiga di bagian kiri (selatan) berada di ketinggian 826 mdpl dengan lereng curam di ketiga sisinya (Gambar 12). Sisi barat titik ini merupakan jalan menurun menuju Tana „Ulen. Sisi utara dari titik ini terdapat cabang besar Sungai Enggeng yakni Sungai Tee. Sungai Tee merupakan cabang Sungai Enggeng di bagian paling kiri (selatan) dari Tana „Ulen. Sehingga lereng-lereng curam di sisi utara (kanan) titik ini mengalirkan air ke Sungai Tee. Sisi selatan titik ini berupa lereng curam menuju Lalut Songan dan sisi timurnya merupakan jalan menurun menuju muara. Sehingga titik ini berada pada sebuah puncak bukit yang terhubung dengan bukit lainnya.


(36)

36 Gambar 13 Peta ketinggian di Tana „Ulen Lalut Birai.


(37)

Kondisi hutan di titik ini berupa pepohonan besar dan tinggi yang menaungi lantai hutan. Tebangan pohon maupun pohon tumbang tidak ditemukan di areal ini, sehingga hutan di titik ini berada dalam kondisi baik.

Titik keempat di bagian kanan (utara) terletak di ketinggian 1072 mdpl (Gambar 14). Sisi barat titik ini berupa jurang dalam yang terbentuk akibat longsoran dan sisi timurnya berupa area menurun menuju anak Sungai Pande. Jurang merupakan area tegak lurus atau mendekati tegak lurus yang muncul secara tiba-tiba di permukaan (US Army Infantry School 2001). Sisi utara titik ini merupakan jalan menurun menuju Tana „Ulen sedangkan bagian selatannya merupakan jalan menuju muara Sungai Enggeng. Sehingga titik ini berada pada puncak pegunungan yang terhubung dengan pegunungan lainnya melalui punggung gunung.

Kondisi hutan di titik keempat memiliki perbedaan yang cukup jelas. Tanah longsor di sisi barat membuka pemandangan ke dalam areal Tana „Ulen Lalut Birai. Sehingga kondisi hutannya dapat terlihat jelas. Tumbuhan perintis mulai tumbuh pada bagian yang mengalami kelongsoran, sedangkan hutan di bawah terlihat rapat sehingga lantai hutannya tidak dapat terlihat dari titik ini. Bagian timur lokasi menggambarkan kondisi yang tidak jauh berbeda, lereng dalam dan curam dapat terlihat di sini. Hutan yang berada di lokasi ini memisahkan dua aliran sungai besar, yakni Sungai Enggeng Tau dengan sungai lainnya yang alirannya keluar Sungai Enggeng.

Gambar 14 Titik keempat di bagian (a) kanan dan (b) kiri.

Titik koordinat keempat di bagian kiri (selatan) kawasan terletak di ketinggian 802 mdpl dengan sisi utara dan selatan berupa jalanan menurun


(38)

38

menuju Sungai Tee dan Sungai Enggeng Iut (Gambar 14). Kedua sisi lainnya merupakan jalan menuju Tana „Ulen (sisi barat) dan muara Sungai Enggeng (sisi timur). Jalan menuju beberapa anak sungai tersebut tidak menandakan area landai untuk dilewati. Area menurun yang panjang merupakan ciri jalan di sekitar titik ini. Sehingga titik ini merupakan puncak bukit yang tersambung dengan bukit lainnya melalui punggung bukit di dua arah mata anginnya.

Kondisi hutan di sekitar titik ini terdiri atas pepohonan besar dan rindang. Letaknya yang ada di puncak bukit tidak menggambarkan ciri dari hutan pegunungan berupa pepohonan kerdil dan ditumbuhi lumut. Jarak antara pepohonan besar diselingi oleh anakan pohon sebagai proses regenerasi alami dari pertumbuhan pepohonan.

Titik koordinat kelima di bagian kanan (utara) kawasan berada pada ketinggian 1161 mdpl yang memisahkan dua aliran sungai (Gambar 15). Sisi selatan titik ini terdapat area longsor yang membentuk sebuah jurang dalam. Sedangkan sisi utara berupa lereng terjal menuju sungai lain di luar Sungai Enggeng. Sungai Enggeng Tau terletak di sisi selatan titik ini. Arah barat titik berupa jalan menuju Tana „Ulen dan arah timurnya jalan menuju muara sungai. Jalan yang sempit karena sisinya berupa jurang dan lereng terjal. Sisi-sisinya merupakan lereng dan sisi lainnya berupa jalan, sehingga titik ini berada di punggung gunung yang memisahkan dua aliran sungai.

Gambar 15 Titik kelima di bagian (a) kanan dan (b) kiri.

Kondisi hutan di titik kelima memiliki naungan yang terbuka karena letaknya di punggung gunung dan tepi jurang. Anakan pepohonan tumbuh di tepi jurang dan di antara pepohonan dewasa yang terpisah cukup jauh. Pohon tumbang


(39)

di titik ini merupakan pohon dewasa dengan perakaran yang muncul di permukaan. Hutan lebat yang ada di bagian bawah dapat terlihat dari tepi jurang. Namun lantai hutannya tidak terlihat, hal ini menandakan jurang ini cukup dalam.

Titik koordinat kelima di bagian kiri (selatan) kawasan berada pada ketinggian 819 meter di atas permukaan laut (Gambar 15). Sisi utara titik ini terdapat lembah dalam yang mengalirkan air ke Sungai Enggeng melalui Lalut Potok, sedangkan sisi selatan terdapat lembah dalam yang mengalirkan air ke Sungai Enggeng Iut. Sisi barat dan timur titik ini berupa jalan yang menanjak dan menurun menuju Tana „Ulen dan muara sungai. Sehingga titik ini berada pada puncak bukit yang tersambung dengan keempat punggung bukitnya berupa jalan menuju beberapa lokasi.

Kondisi hutan di titik ini ditumbuhi oleh pohon-pohon dewasa dan anakan pohon tersebut. Anakan pohon berada di antara pepohonan besar yang menambah kerapatan di hutan ini. Tidak hanya pepohonan, jenis-jenis liana maupun rotan terdapat di titik ini.

Gambar 16 Titik keenam di bagian (a) kanan dan (b) kiri.

Titik koordinat keenam di bagian kanan (utara) kawasan berada di ketinggian 1247 mdpl (Gambar 16). Sisi selatan merupakan lembah dalam dengan kelerengan terjal yang mengalirkan air ke Sungai Enggeng Tau dan sisi utaranya berupa lembah dalam yang mengalirkan air ke luar Sungai Polong. Sisi timur dan barat titik ini merupakan jalan menurun yang terjal menuju Tana „Ulen dan muara Sungai Enggeng. Sehingga titik ini berada pada puncak pegunungan dengan sisinya berupa lembah dalam dan lereng terjal yang memisahkan dua aliran sungai. Kelerengan di sisi-sisi titik ini mencapai 45%.


(40)

40

Hutan ini berada pada puncak pegunungan dengan areal yang sempit. Lantai hutan tertutupi oleh serasah daun dan terdapat pohon tumbang yang melintang di titik ini. Kondisi hutan didominasi oleh pohon dewasa dan anakan pohon yang terdapat di antara pohon dewasa. Jenis pandan-pandanan dan rotan terdapat di titik ini, namun tidak sebanyak pohon dewasa. Perbedaan yang ada di hutan ini ialah kondisi angin yang kencang.

Titik koordinat keenam di bagian kiri (selatan) kawasan berada pada ketinggian 1029 mdpl (Gambar 16). Titik ini memiliki sisi curam dan dalam berupa lembah di bagian selatan yang mangalirkan air ke Sungai Enggeng iut, sedangkan bagian utaranya berupa lembah dalam yang mengalirkan air ke Sungai Tee. Sisi timur dan barat titik ini berupa jalan menurun dengan kelerengan sangat curam menuju Tana „Ulen dan muara sungai. Sehingga titik ini berada pada puncak pegunungan yang terhubung dengan sisi-sisinya berupa lembah dan lereng.

Gambar 17 Titik ketujuh di bagian (a) kanan dan (b) kiri.

Kondisi hutan di titik ini tidak jauh berbeda dengan kondisi hutan sebelumnya. Pepohonan kecil yang ada di titik ini merupakan anak pohon dari pohon-pohon dewasa yang ada di sekitarnya. Pada umumnya anakan pohon tersebut berada di antara pohon dewasa yang ada di kiri dan kanan jalan.

Titik koordinat ketujuh di bagian kanan (utara) kawasan berada di ketinggian 1318 mdpl dengan lantai hutan berupa serasah tebal dan akar-akar pohon ditutupi oleh lumut (Gambar 17). Sisi utara titik ini lereng terjal berupa lembah dalam yang mengalirkan air ke Sungai Polong. Sisi selatannya berupa lembah dalam yang mengalirkan air ke Sungai Enggeng Tau. Sisi barat dan timur titik ini merupakan jalan terjal menuju Tana „Ulen dan muara sungai. Kelerengan


(41)

besar yang ada disemua sisinya mencirikan area ini berupa puncak pegunungan dan pegunungan yang terhubung ditandai oleh jalan terjal di sisi timur dan barat.

Kondisi hutan di titik ini memiliki pepohonan yang kerdil dan keliling yang kecil. Batang pepohonan di titik ini tidak lurus dan bagian akarnya ditumbuhi lumut. Serasah dedaunan menutupi lantai hutan dan menutupi akar pepohonan. Banyaknya lumut-lumutan yang hidup di bagian bawah maupun di atas tumbuhan menjadi ciri khas lainnya dari hutan pegunungan rendah.

Titik koordinat ketujuh di bagian kiri (selatan) berada pada ketinggian 1182 mdpl (Gambar 17). Sisi-sisi dari titik ini berupa lembah dalam dan lereng terjal menuju Desa Long Tebulo. Lembah curam dan dalam tersebut berada di sisi utara, selatan dan timur, namun di sisi tersebut terdapat pula lereng landai hingga terjal yang berupa punggung gunung. Sisi barat titik ini merupakan jalan terjal menuju Tana „Ulen. Sehingga titik ini merupakan puncak pegunungan yang terhubung dengan pegunungan lainnya melalui punggung gunung.

Gambar 18 Titik kedelapan di bagian (a) kanan dan (b) kiri.

Kondisi hutannya berupa pepohonan dewasa dan lebat yang ada di lereng-lereng. Anakan pohon terdapat di antara pohon dewasa. Lantai hutannya ditutupi oleh serasah dedaunan yang merupakan proses alami regenerasi pepohonan. Selain itu, lantai hutannya sedikit ditumbuhi oleh tumbuhan bawah dan semak belukar, sehingga cukup bersih dan mudah untuk dilalui.

Titik koordinat delapan bagian kanan (utara) kawasan berada di ketinggian 1340 mdpl dan merupakan titik tertinggi (Gambar 18). Titik ini memisahkan dua sungai besar, yakni Sungai Enggeng Tau dan Sungai Polong di sisi utaranya. Sisi barat dari titik ini merupakan jalan kembali ke muara Sungai Enggeng sedangkan


(42)

42

arah selatan titik ini merupakan jalanan menuju batas Tana „Ulen. Sisi timur titik ini merupakan Sungai Enggeng Tau. Sisi-sisi dari titik ini sebagian besar berupa lereng terjal dan lembah yang mengalirkan air. Sisi lainnya berupa lereng dan punggung gunung yang terhubung dengan pegunungan lainnya. Sehingga titik ini berada pada punggung gunung yang memisahkan dua aliran sungai.

Hutan yang ada di titik ini didominasi oleh pepohonan dewasa dan anakan pohon. Rotan dan jenis-jenis pandan terdapat di titik ini dalam jumlah yang terbatas. Sinar matahari tidak banyak yang sampai di lantai hutan, karena tertutup oleh tajuk pepohonan.

Titik koordinat delapan di bagian kiri (selatan) kawasan berada di ketinggian 1229 mdpl (Gambar 18). Sisi utara maupun selatan titik ini merupakan lereng curam dan dalam yang memisahkan dua sungai. Sisi timur dan barat merupakan jalan menuju Tana „Ulen dan muara sungai. Sisi-sisi yang berupa lereng curam dan sisi lainnya yang berupa jalan mencirikan areal ini sebagai punggung gunung. Titik koordinat tertinggi di bagian kiri adalah titik koordinat kesepuluh dengan ketinggian 1293 mdpl.

Kondisi hutan di titik ini berada di punggung gunung dengan pohon dewasa dan anakan pohon berada diantaranya. Kondisi tersebut menggambarkan kerapatan pohon yang cukup besar, karena sinar matahari tidak banyak yang mencapai lantai hutan. Selain itu terdapat jenis palem-paleman yang mengisi variasi tumbuhan di titik ini. Kondisi hutan di titik-titik berikutnya tidak jauh berbeda dengan titik sebelumnya. Lantai hutan yang ternaungi tajuk-tajuk pohon dewasa pada umumnya terdapat di semua titik, hanya titik-titik yang mengalami kelongsoran akan memiliki areal terbuka. Kelerengan curam dan dalam yang ditumbuhi berbagai pohon dewasa maupun anakan pohon dapat dijumpai pada titik koordinat selanjutnya.

Titik koordinat yang terletak pada topografi seperti puncak pegunungan maupun bukit, punggung gunung, punggung bukit maupun cekungan pada umumnya memisahkan dua aliran sungai. Daerah aliran sungai menurut Ongkosongo (2010) dibatasi oleh topografi di bagian daratnya. Sedangkan Oktariadi (2007) mengatakan suatu DAS dibatasi oleh punggung bukit ataupun


(43)

gigir gunung. Definisi yang telah disebutkan memberikan gambaran titik koordinat tersebut berada di batas sebuah DAS dan dipisahkan oleh topografi.

Asdak (2002) memberikan gambaran daerah hulu suatu DAS dengan vegetasi sebagian besar berupa hutan. Kondisi di sekitar titik koordinat pada umumnya berupa hutan dengan pohon dewasa dan berbagai jenis tumbuhan lainnya. Ciri lain dari daerah hulu sebuah DAS adalah kelerengan yang melebihi 15%. Lereng-lereng di titik koordinat sebagian besar melebihi 15% yang dikatakan sebagai daerah agak curam hingga sangat curam (Sismanto 2009). Daerah yang tidak mengalami banjir disaat hujan merupakan ciri lain dari hulu sebuah DAS. Titik koordinat seluruhnya berada pada daerah bukan banjir dengan ciri tebalnya serasah yang tidak terbawa arus air ketika banjir.

Titik di lapangan berupa jalan menyempit dengan sisi-sisinya lereng curam dan dalam, menggambarkan penafsiran Upham (1984) diacu dalam Noor (2011) tentang punggung pegunungan. Punggungan merupakan proses dari gejala-gejala pensesaran, perlipatan dan patahan yang menimbulkan area menyempit terangkat kepermukaan. Area menyempit di sepanjang perjalanan dapat ditemukan pada sebagian besar batas Tana „Ulen Lalut Birai. Area punggung gunung tersebut memisahkan beberapa aliran sungai, baik anak sungai yang menuju Sungai Enggeng maupun sungai lainnya. Sehingga dapat dikatakan area ini sebagai batas dari suatu daerah aliran sungai.

Titik koordinat berada pada topografi pemisah suatu DAS, baik di sisi kanan (utara) maupun kiri (selatan) kawasan (Gambar 20). Selain itu area ini dapat menerima dan menampung air hujan, area ini juga dapat mengalirkan air melalui anak-anak sungai yang ada di bawah titik koordinat. Anak-anak sungai tersebut mengalirkan airnya ke Sungai Enggeng. Sungai Enggeng sendiri merupakan anak sungai dari Sungai Bahau yang mengalirkan airnya ke Sungai Kayan. Sehingga area Tana „Ulen Lalut Birai merupakan salah satu Sub DAS dari DAS Sungai Kayan (Gambar 19). Sub DAS merupakan bagian dari DAS yang dapat terdiri atas beberapa orde dalam suatu DAS (Asdak 2002). Tana „Ulen Lalut Birai memiliki tiga orde Sub DAS. Besar kecilnya orde Sub DAS dalam suatu DAS menentukan luasan DAS itu sendiri.


(44)

44 Gambar 19 Peta Tana „Ulen Lalut Birai dan areal DAS.


(45)

Tana „Ulen Lalut Birai tidak memiliki perbedaan dengan kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang yang mengelilinginya. Areanya didominasi oleh hutan lebat dan beberapa anak sungai. Puncak gunung maupun bukit sama seperti dalam areal Tana „Ulen, yakni terhubung dengan lainnya dan terkadang terputus dari lainnya. Sungai dan anak sungai sama seperti dalam Tana „Ulen, banyak tersebar di kanan dan kiri areal. Berdasarkan penuturan masyarakat, area di titik pertemuan sisi kanan (utara) dan sisi kiri (selatan) Tana „Ulen merupakan bebatuan besar, terutama di punggung gunung dan puncak gunung sehingga perjalanannya sulit. Hal tersebut sama seperti daerah di sekitarnya yakni Sungai Lurah yang merupakan daerah Taman Nasional Kayan Mentarang.

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan sebuah sub DAS dengan hutan yang masih baik. Kondisi ini menandakan sub DAS tersebut masih baik, khususnya dalam mensuplai air bagi sungai-sungai besar di Kalimantan timur. Dengan demikian pengelolaan yang dilakukan sudah baik dan perlu mendapatkan dukungan, agar pelestarian daerah tangkapan air dapat terlaksana.

5.3.3 Lokasi-lokasi penting menurut masyarakat

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan tanah adat suku Kenyah Leppo Ma‟ut yang tinggal di Desa Long Alango. Meskipun pemanfaatannya dibatasi, masyarakat memiliki beberapa lokasi penting yang sering dikunjungi maupun dijaga keberadaannya (Gambar 21). Lokasi tersebut berupa area yang menyediakan kebutuhan masyarakat dan sangat besar pengaruhnya untuk kehidupan sehari-hari. Sedangkan lokasi yang dijaga keberadaannya merupakan lokasi peninggalan sejarah seperti pemakaman.

Damar memiliki peran besar dalam perekonomian masyarakat saat itu, harganya melebihi gaharu sehingga masyarakat sering bepergian kedalam hutan untuk mencari damar. Letak damar di Tana „Ulen Lalut Birai berada di hulu Sungai Enggeng Belua yang merupakan anak sungai dari Sungai Enggeng. Letak pohon Agathis (Agathis borneensis) yang menyebar, memberikan gambaran adanya daerah lain sebagai lokasi pengambilan damar. Namun lokasi di hulu Sungai Enggeng Belua maupun di sekitar Batu Tuang merupakan areal pengambilan damar yang sering disebutkan masyarakat.


(46)

46 Gambar 20 Peta Tana „Ulen Lalut Birai berdasarkan survey dan diskusi.


(47)

Madu hutan saat ini diperoleh masyarakat dari suku Punan yang datang ke desa. Selain itu masyarakat mendapatkan dari desa tetangga dan saat peringatan hari jadi Kabupaten Malinau (IRAU). Namun dahulu masyarakat memperoleh madu dari hutan sekitar desa. Salah satu lokasi pengambilan madu adalah Tana „Ulen Lalut Birai. Lokasi pencarian madu pada umumnya terdapat pohon kapur dewasa yang tinggi (Gambar 23). Lokasi pohon kapur banyak terdapat di salah satu anak sungai, sehingga masyarakat memberi nama anak sungai tersebut dengan Lalut Kapun (kapur). Lokasi ini menjadi salah satu lokasi penting di masyarakat karena menyediakan kebutuhan masyarakat berupa madu.

Jembatan gantung Lalut Birai melintasi muara Sungai Enggeng dan menjadi salah satu lokasi penting bagi masyarakat (Gambar 22). Selain itu lokasi ini memudahkan pengunjung memasuki Stasiun Penelitian Hutan Tropis (SPHT) Lalut Birai. Jembatan ini terletak di bagian depan (timur) dari Tana „Ulen dan dapat terlihat dari Sungai Bahau. Jembatan ini menghubungkan lokasi penting lainnya di Tana „Ulen yaitu SPHT Lalut Birai. Areal ini dibangun oleh LSM saat itu sebagai tempat tinggal selama kegiatan penelitian biologi kawasan. Stasiun Penelitian Hutan Tropis Lalut Birai hingga saat ini menjadi salah satu areal yang sering dikunjungi oleh masyarakat maupun para peneliti. Selama aktifnya kegiatan penelitian di areal ini, secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk menjaga sumberdaya yang ada di dalamnya.

Lokasi penting lainnya yang sering digunakan masyarakat untuk mendapatkan hewan buruan adalah mata air asin atau Sungan yang ada di dalam Tana „Ulen. Areal ini banyak tersebar di Tana „Ulen, namun satu mata air asin (sungan) yang cukup besar dan terkenal berada di persimpangan Sungai Tee dan Sungai Enggeng, sehingga salah satu anak sungai di sana diberi nama Lalut Sungan. Beberapa anak sungai lainnya diberi nama yang sama karena letak sungan yang menyebar di Tana „Ulen.


(48)

48

48 Gambar 21 Peta lokasi-lokasi penting di dalam Tana „Ulen Lalut Birai.


(49)

Gambar 22 Lokasi penting di Tana „Ulen a. Jembatan gantung Lalut Birai dan b. Batu Tuang (batu menunduk).

Bentuk alam lainnya yang banyak diingat oleh masyarakat adalah Batu Tuang (batu menunduk). Keberadaannya sering dijadikan acuan masyarakat dalam menelusuri Tana „Ulen Lalut Birai, sehingga areal ini banyak diingat masyarakat. Batu Tuang (Gambar 22) merupakan batuan besar yang ditumbuhi berbagai tumbuhan dan memiliki posisi seperti menunduk, sehingga masyarakat menamainya dengan Batu Tuang. Wulffraat et al. (2005) mengatakan batu ini memiliki tinggi 30 meter dengan diameter 15 meter. Lokasi batu tuang berada di ketinggian 1530 mdpl. Batunya berwarna abu-abu cerah dan menjulang keatas, sehingga batu ini menjadi acuan dalam menyusuri Tana „Ulen.

Lokasi penting lainnya merupakan peninggalan sejarah yang telah lama menandakan adanya kehidupan di areal ini. Peninggalan sejarah tersebut berupa kubur batu (Gambar 23) yang diperkirakan telah ada sejak tahun 1700 (Sellato (1995) diacu dalam Wulffraat et al. (2005)). Peninggalan kubur batu tersebut merupakan peninggalan Suku Ngorek yang sempat menempati areal tersebut. Masyarakat mengatakan Suku Ngorek merupakan suku yang terakhir menempati areal tersebut, sehingga sampai saat ini kubur batu tersebut terkenal sebagai peninggalan Suku Ngorek. Pengertian lainnya, Suku Ngorek merupakan kumpulan dari beberapa suku yang pernah menempati areal tersebut (Wulffraat et al. 2005). Tana „Ulen Lalut Birai ini pernah pula ditempati oleh Suku Punan, namun tidak lama mereka meninggalkan lokasi ini pada akhir tahun 1969.

Letak kubur batu tersebut tersebar di dalam Tana „Ulen maupun dalam wilayah adat Hulu Bahau. Kubur batu di Tana „Ulen yang cukup besar berada di


(1)

69

Panduan Studi Literatur

Inventarisasi Aturan Pengelolaan Tana ‘Ulen Lalut Birai Di Tingkat Balai Taman Nasional Kayan Mentarang (BTNKM)

Judul Buku :

Tahun terbit/penerbit : Tempat penerbitan : Pengarang :

Peraturan pengelolaan periode 1 Kegiatan yang boleh dilakukan : Kegiatan yang tidak boleh dilakukan : Sanksi-sanksi :

Status kepengelolaan :

Bentuk-bentuk pengelolaan yang pernah dilakukan : Fungsi kawasan :

Lokasi areal dalam sistem Zonasi :


(2)

(3)

68

Panduan Wawancara

Inventarisasi Aturan Pengelolaan Tana ‘Ulen Lalut Birai Di Tingkat Badan Pengurus Tana ‘Ulen (BPTU) Nama Responden :

Umur :

Jenis Kelamin : Jabatan di BPTU :

Aturan pengelolaan atau hukum adat yang di berlakukan : a. Dimasa kepemimpinan Anyie Apuy (1970an- sekarang)

 Kegiatan yang boleh dilakukan di dalam tana „ulen :

 Kegiatan yang tidak boleh dilakukan di dalam tana „ulen :

 Sanksi-sanksi yang diberlakukan :

 Status kepemilikan tana „ulen :

 Yang berhak mengelola :

 Fungsi kawasan :

b. Dimasa kepemimpinan Apuy Njau (Awal - 1970an)

 Kegiatan yang boleh dilakukan di dalam tana „ulen :

 Kegiatan yang tidak boleh dilakukan di dalam tana „ulen :

 Sanksi-sanksi yang diberlakukan :

 Status kepemilikan tana „ulen :

 Yang berhak mengelola :

 Fungsi kawasan :

Informasi tambahan yang mungkin diperlukan :

a. Sejarah pengelolaan tana „ulen dan profil BPTU saat ini b. Pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan pengelolaan c. Kegiatan-kegiatan besar yang pernah dilaksanakan

d. Dokumen-dokumen peraturan yang diberlakukan di wilayah adat hulu bahau dan di tana „ulen


(4)

69

Panduan Studi Literatur

Inventarisasi Aturan Pengelolaan Tana ‘Ulen Lalut Birai Di Tingkat Balai Taman Nasional Kayan Mentarang (BTNKM)

Judul Buku :

Tahun terbit/penerbit : Tempat penerbitan : Pengarang :

Peraturan pengelolaan periode 1 Kegiatan yang boleh dilakukan : Kegiatan yang tidak boleh dilakukan : Sanksi-sanksi :

Status kepengelolaan :

Bentuk-bentuk pengelolaan yang pernah dilakukan : Fungsi kawasan :

Lokasi areal dalam sistem Zonasi :


(5)

RINGKASAN

AGUS PRAYITNO. Identifikasi Batas Lapang Tana ‘Ulen Lalut Birai dan Inventarisasi Aturan Pengelolaannya di Taman Nasional Kayan Mentarang. Di Bimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan NANDI KOSMARYANDI.

Taman Nasional Kayan Mentarang memiliki luas 1,3 juta Ha (Wulffraat et al. 2005). Taman nasional tersebut merupakan kawasan konservasi terbesar di Kalimantan. Kawasan tersebut berada di sebelas wilayah adat. Masyarakatnya memiliki interaksi kuat dengan kawasan. Interaksi tersebut melahirkan konsep

Tana „Ulen. Tana „Ulen memiliki fungsi untuk mengatur pemanfaataan

sumberdaya alam. Masyarakat mengatakan Tana „Ulen tersebut berada di Sungai Enggeng. Pemetaan dan identifikasi batas lapang Tana „Ulen diperlukan untuk mengetahui areal sebenarnya. Inventarisasi aturan pengelolaan dilakukan kepada pengelola kawasan, yakni BPTU dan BTNKM. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengumpulkan bentuk pengelolaan Tana „Ulen Lalut Birai. Informasi tersebut diharapakan dapat membantu pengelola kawasan seperti BTNKM, BPTU dan pihak lainnya.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2011 di Taman Nasional Kayan Mentarang. Batas Tana „Ulen Lalut Birai diperoleh berdasarkan diskusi dan turun lapang. Garis batas Tana „Ulen diperoleh dengan menghubungkan koordinat lapang dan diskusi bersama masyarakat. Aturan pengelolaan diperoleh berdasarkan diskusi, wawancara dan studi pustaka dokumen di masyarakat dan BTNKM. Informasi tersebut dianalisis menggunakan aturan pengelolaan kawasan konservasi yang berlaku saat ini.

Batas lapang Tana „Ulen Lalut Birai merupakan pegunungan, bukit, punggung pegunungan, punggung bukit, lembah dan jurang. Area Tana „Ulen terletak di Sungai Enggeng dan merupakan Sub DAS Sungai Kayan. Area tersebut berada dalam tiga zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang, yaitu; zona khusus, zona pemanfaatan dan zona rimba. Area tersebut memiliki luas 11.037 Ha dan panjang garis batas 56 km. Masyarakat membatasi area tersebut menggunakan mata air terakhir yang mengalir ke Sungai Enggeng.

Aturan pengelolaan Tana „Ulen di masyarakat berupa dokumen aturan adat, aturan desa dan aturan yang belum tertulis. Pengelolaan yang diterapkan oleh Taman Nasional Kayan Mentarang terdapat dalam Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga tahun 2012. Pengelolaan yang dilakukan BPTU dan BTNKM secara garis besar mendukung pengelolaan kawasan konservasi, namun perlu disesuaikan kembali antara pengelolaan dan sistem zonasi kawasan.

Kata kunci: Tana „Ulen Lalut Birai, Batas lapang, Aturan pengelolaan, Zonasi Taman Nasional Kayan Mentarang.


(6)

SUMMARY

AGUS PRAYITNO. Identification of Boundary Tana ‘Ulen Lalut Birai and Inventory Management Rules in Kayan Mentarang National Park. Under Supervision of LILIK BUDI PRASETYO and NANDI KOSMARYANDI.

Kayan Mentarang National Park has an area 1.3 million Ha (Wulffraat et al. 2005). The park is the largest conservation area in Kalimantan. The area situated in eleven regions of traditional community. The society has a strong interaction with the region, that rose concept of Tana „Ulen. Tana „Ulen have a function as a mechanism of resources management. The society said the Tana „Ulen is located within the River Enggeng. Mapping and identification boundary of actual Tana „Ulen is urgently needed. Inventory regarding management have been carried out by the region managers such as BPTU and BTNKM. The activities aims to collect kinds management of Tana „Ulen Lalut Birai. The information is expected to help the managers of the region such as BTNKM, BPTU and others.

This research was held in October to December 2011 in Kayan Mentarang National Park. Boundary of Tana „Ulen Lalut Birai was done based on discussion and ground checking methods. Boundary line of Tana „Ulen was done with connecting the coordinates and discussion with the community. Rules of management was collected by discussions, interviews and another references documents in the community and BTNKM. The information was analyzed using conservation area management rules that apply at this time.

Boundary of Tana „Ulen Lalut Birai was a mountains, hills, mountain ridge, ridge, valley and gorge. Tana „Ulen area located on the River Enggeng and part of the Sub Watershed Kayan River. The area was located within three zoning of Kayan Mentarang National Park, namely; special zone (zona khusus), forest utilization zone (zona pemanfaatan) and the jungle zone (zona rimba). The area cover of about 11.037 Ha and it‟s perimeter was about 56 km. The society decided to limit the area using the last spring that flows into the River Enggeng.

The rules of management Tana „Ulen in the society such as document custom rules, village rules and the rules that have not been written. Management of applied by Kayan Mentarang National Park was contained in the Work Plan Budget Ministry Institutions 2012. The management conducted by BPTU and BTNKM has supported conservation areas, but needs to be adjusted again between the management system and zoning of the area.

Keywords: Tana „Ulen Lalut Birai, Boundary, Rules management, Zoning of the