Feasibility and Business Development Strategy of Sago Nursery by Company Y in Sago Plantation of Company X

(1)

KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

PEMBIBITAN SAGU OLEH PT Y

DI LOKASI PERKEBUNAN SAGU PT X

DWI TUNGGUL WICAKSONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tugas akhir yang berjudul:

KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PEMBIBITAN SAGU OLEH PT Y

DI LOKASI PERKEBUNAN SAGU PT X

adalah merupakan hasil karya dan hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan dari komisi pembimbing. Tugas akhir ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dan data yang digunakan berasal atau dikutip dari karya penulis lain yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2012

Dwi Tunggul Wicaksono P054094065


(3)

ABSTRACT

DWI TUNGGUL WICAKSONO, Feasibility and Business Development Strategy of Sago Nursery by Company Y in Sago Plantation of Company X. Supervised by Ma’mun Sarma as Head and Sapta Raharja as Member

Indonesia has a variety of plants that produce carbohydrates, both derived from the grain and the rod such as sago and palm sugar. Seeing a great opportunity of sago utilization, Company X (X) developed sago plantation in peatlands located in Meranti District, Riau Province. X cooperates with Company Y (Y) to establish nursery and planting activities to meet the growing needs of the sago planting. This study aims to analyze financial feasibility and determine business development strategy of sago nursery by Y. Analytical methods used are: (1) Financial feasibility analysis through the Net Present Value (NPV), Payback Period (PBP), Internal Rate of Return (IRR), Profitability Index (PI) and Break Event Point (BEP), (2) Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) analysis to determine strategy alternatives, and (3) Analytical Hierarchy Process (AHP) to determine the priority of selected strategies. The results of financial feasibility analysis shows calculated NPV (-Rp2.084.067.814) and PI (0.69), then the sago nursery business are considered not feasible. It will be considered to be feasible if Y made improvements in nursery and cultivation techniques to reduce the mortality rate or renegotiate the purchase price to X. Alternatives strategy that can be selected by Y is an intensive strategy, through product development. This is consistent with the analysis of Internal – External (IE) matrix that shows Y is in grow and build position. Priority business development strategy based on AHP is to 1) Increase production and decrease mortality rate (0.486), 2) Improve nursery and planting techniques (0.230), 3) Improve coordination and cooperation (0.150), and 4) Planting during the rainy season (0.134). Several advices have been proposed to Y are to 1) Perform technical improvements in nursery and planting to reduce mortality rate, 2) Renegotiate purchase price, and 3) Implement strategies that lead to product development by improvements in nursery and sago planting techniques.


(4)

RINGKASAN

DWI TUNGGUL WICAKSONO, Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pembibitan Sagu oleh PT Y di Lokasi Perkebunan Sagu PT X. Dibimbing oleh Ma’mun Sarma, sebagai Ketua dan Sapta Raharja, sebagai Anggota.

Indonesia memiliki berbagai tanaman yang menghasilkan karbohidrat, baik yang berasal dari biji-bijian maupun yang berasal dari batang seperti sagu dan aren. Berbagai tanaman penghasil karbohidrat ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok. Melihat peluang pasar yang besar dari pemanfaatan hasil olahan sagu, PT X melakukan kegiatan budi daya sagu di lahan gambut di Kabupaten Meranti, Propinsi Riau. PT X bekerjasama dengan PT Y yang merupakan perusahaan di bawah Institut Pertanian Bogor, sebagai kontraktor pelaksana kegiatan produksi bibit (pembibitan) dan penanaman sagu.

Penelitian ini bertujuan: (1) Menganalisa kelayakan finansial pembibitan sagu yang dilakukan oleh PT Y untuk kebun PT X dengan harga beli per bibit hidup yang telah ditetapkan, (2) Menentukan strategi yang dapat diambil PT Y untuk mengembangkan usaha pembibitan sagu di lokasi kebun PT X. Metode analisis yang digunakan adalah: (1) Analisis kelayakan usaha yang dilakukan untuk melihat kelayakan usaha pembibitan sagu melalui Net Present Value (NPV), Payback Period (PBP), Internal Rate of Return (IRR), Profitability Index (PI) dan Break Event Point (BEP), (2) Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities

and Threats (SWOT) untuk menentukan alternatif strategi pengembangan usaha pembibitan

sagu, (3) Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan prioritas strategi yang dipilih.

Hasil analisa kelayakan finansial menunjukkan hasil perhitungan NPV (-Rp 2.084.067.814) dan PI (0,69), maka kegiatan pembibitan sagu yang sekarang dilaksanakan dinilai tidak layak. Namun jika tingkat mortalitas mampu diturunkan menjadi 40,60% atau dilakukan renegosiasi harga beli per bibit tertanam hidup menjadi Rp. 27.533, maka berdasarkan perhitungan kelayakan finansial, kegiatan pembibitan sagu dapat menjadi layak.

Strategi yang dapat dipilih oleh PT Y adalah strategi intensif, yaitu melalui product development. Hal ini sesuai dengan analisa matriks Internal – External(IE) yang menunjukkan PT Y berada pada kondisi grow and build. Prioritas strategi pengembangan usaha pembibitan sagu berdasarkan AHP berturut-turut adalah: (1) Meningkatkan produksi & menekan tingkat mortalitas bibit (0,486), (2) Melakukan perbaikan teknik pembibitan & penanaman (0,230), (3) Meningkatkan koordinasi dan kerjasama di lapangan (0,150), dan (4) Melakukan penanaman pada musim hujan (0,134).

Saran yang dapat diberikan kepada PT Y adalah (1) Melakukan perbaikan dalam teknis pembibitan dan penanaman untuk menekan tingginya tingkat mortalitas, (2) Melakukan renegosiasi harga pembelian bibit hidup setelah tiga bulan kepada PT X selaku pemberi kerja, (3) Menerapkan strategi-strategi yang mengarah pada pengembangan produk, yakni dengan cara melakukan perbaikan dalam produktivitas melalui perbaikan teknik pembibitan dan penanaman sagu.


(5)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

Judul Tugas Akhir : KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

PEMBIBITAN SAGU OLEH PT Y DI LOKASI

PERKEBUNAN SAGU PT X Nama Mahasiswa : Dwi Tunggul Wicaksono Nomor Pokok : P054094065

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’mun Sarma MS, M. Ec Ketua

Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Industri Kecil Menengah

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 30 Juli 2012


(7)

KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

PEMBIBITAN SAGU OLEH PT Y

DI LOKASI PERKEBUNAN SAGU PT X

DWI TUNGGUL WICAKSONO

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Ayah Maryono dan Ibu Istining Rahayu, dilahirkan di Blitar pada tanggal 9 Mei 1983. Pendidikan dasar ditamatkan di SD Negeri Bendogerit 3 pada tahun 1995 di Blitar, SMP Negeri 1 Blitar pada tahun 1998 dan SMU Negeri 1 Blitar pada tahun 2001. Pada tahun 2005, penulis lulus dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Departemen Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2010 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Studi Magister Profesional Industri Kecil dan Menengah (MPI), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pada tahun 2007 penulis memulai karir sebagai karyawan swasta di sebuah Perusahaan Pembiayaan,kemudian di tahun 2008-2012 bekerja pada perusahaan konsultan dalam bidang agribisnis dan agroindustri sebagai manajer divisi pengembangan dan Internasional. Kini penulis bergabung dengan perusahaan yang bergerak dalam bidang investasi dan manajemen sebagai senior konsultan.


(9)

PRAKATA

Segala puji dipanjatkan bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih diberikan kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan, bantuan dan semangat untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini:

1. Dr. Ir. Ma’mun Sarma MS, M. Ec selaku pembimbing utama yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan selama kegiatan kajian dan penulisan tugas akhir ini. 2. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku pembimbing anggota yang juga telah memberikan

pengarahan dan bimbingannya.

3. Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA selaku dosen penguji luar komisi pada ujian Tugas Akhir yang telah memberikan masukan dan koreksi yang sangat bermanfaat. 4. Seluruh dosen pengajar dan staf PS MPI IPB yang telah turut memberi bantuan dan

dukungan kepada penulis.

5. Ayahanda, Ibunda, kakak dan adik tercinta atas doa dan dukungannya. 6. Githa Nofia Rusma, atas segala semangat, doa dan dukungannya.

7. Teman-teman MPI angkatan ke-13 dengan segala bantuan dan dukungannya.

8. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir dan studi saya.

SemogaTugas Akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Juli 2012


(10)

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Tanaman Sagu... 7

1. Syarat Tumbuh ... 7

2. Jarak Tanam ... 8

3. Pengendalian Gulma ... 9

4. Pemupukan ... 10

5. Penjarangan Anakan ... 10

6. Pengendalian Hama dan Penyakit ... 11

7. Pengaturan Air ... 11

8. Taksasi Produksi ... 12

B. Pembibitan Sagu ... 13

1. Seleksi Bibit ... 13

2. Persemaian ... 14

C. Penanaman ... 15

1. Persiapan Lubang Tanam ... 15

2. Penanaman ... 16

D. Analisis Kelayakan ... 17

1. NPV... 17

2. PBP ... 17

3. IRR ... 18


(11)

ii

F. Analisis SWOT ... 20

G. AHP ... 21

H. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 21

III. METODE KAJIAN ... 29

A. Kerangka Pemikiran Kajian ... 29

B. Pengumpulan Data ... 30

1. Data primer ... 31

2. Data sekunder... 32

C. Pengolahan dan Analisis Data... 32

1. Analisis Kelayakan ... 32

2. Matriks EFE dan IFE ... 33

3. Matriks IE ... 37

4. Analisis SWOT ... 39

5. AHP... 41

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 49

A.Keadaan Umum PT X ... 49

1. Sejarah Kebun ... 49

2. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ... 50

3. Keadaan Iklim, Topografi dan Tanah ... 50

4. Keadaan Tanaman, Populasi dan Produksi ... 51

5. Struktur Organisasi ... 52

B.Keadaan Umum PT Y ... 53

C.Kerjasama Pembibitan ... 54

D.Analisis Kelayakan Finansial ... 55

E. Analisis SWOT ... 58


(12)

iii

B.Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN ... 79


(13)

iv

Nomor Halaman

1. Hasil Penelitian Terdahulu ... 22

2. Responden SWOT ... 31

3. Responden AHP ... 32

4. Matriks EFE ... 33

5. Matriks IFE ... 34

6. Penilaian Bobot Faktor Strategik Eksternal dengan Metode Perbandingan Berpasangan ... 35

7. Penilaian Bobot Faktor Strategik Internal dengan Metode Perbandingan Berpasangan ... 36

8. Matriks SWOT ... 40

9. Skala Banding Secara Berpasangan Dalam AHP ... 45

10.Nilai Random Indeks... 47

11.Analisis Kelayakan Finansial Berdasarkan Kondisi Saat Ini ... 56

12.Analisis Kelayakan Finansial Berdasarkan Penurunan Tingkat Mortalitas ... 57

13.Analisis Kelayakan Finansial Berdasarkan Kenaikan Harga Beli ... 58

14.Matriks IFE ... 61

15.Matriks EFE ... 64


(14)

v

Nomor Halaman

1. Persentase Persebaran Areal Sagu di Dunia... 2

2. Pohon Industri Sagu ... 4

3. Kerangka Pemikiran Kajian ... 30

4. Contoh Matriks IE ... 38

5. Hirarki penentuan strategi pengembangan usaha pembibitan sagu ... 43

6. Kegiatan Penyemaian Bibit Dalam Rakit ... 55

7. Bibit Siap Tanam ... 55

8. Matriks IE ... 65


(15)

vi

Nomor Halaman

1. Kuesioner SWOT ... 81

2. Kuesioner AHP ... 89

3. Peta Lokasi Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau ... 105

4. Peta Lokasi Kebun PT X ... 106

5. Data Produksi Sagu PT X ... 107

6. Struktur Organisasi PT X ... 108

7. Struktur Organisasi PT Y ... 109

8. Gambar Kegiatan Pembibitan dan Penanaman Sagu PT Y ... 110

9. Asumsi Kelayakan Finansial Pembibitan PT Y ... 112

10.Investasi Pembibitan PT Y ... 113

11.Penyusutan Pembibitan PT Y... 114

12.Produksi Pembibitan PT Y ... 115

13.Biaya Pemeliharaan Bibit PT Y per bulan ... 116

14.Biaya Penanaman dan Pemeliharaan Bibit 3 Bulan PT Y (per bulan) . 117 15.Biaya Tenaga Kerja PT Y ... 118

16.Biaya Administrasi dan Umum PT Y ... 119

17.Pendapatan PT Y ... 120

18.Laba dan Rugi PT Y ... 120

19.Arus Kas PT Y ... 121

20.Perhitungan Kelayakan Finansial ... 122

21.Penghitungan Bobot Faktor Internal ... 123


(16)

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki berbagai tanaman yang menghasilkan karbohidrat, baik yang berasal dari biji-bijian seperti padi, jagung, gandum dan shorgum, yang berasal dari umbi seperti singkong, ubi jalar, talas, garut dan ganyong maupun yang berasal dari batang seperti sagu dan aren (Bintoro, 2008). Berbagai tanaman penghasil karbohidrat ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok.

Sagu (Metroxylon spp) adalah penghasil karbohidrat yang penting kedudukannya sebagai bahan makanan sesudah padi, jagung dan umbi-umbian. Tanaman sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif dan bahan baku industri dalam rangka ketahanan pangan nasional (Bintoro, 2008). Sagu sebagai bahan makanan sudah lama dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama di kawasan yang memiliki sedikit areal persawahan. Wilayah Indonesia yang penduduknya memanfaatkan sagu sebagai makanan pokok adalah penduduk dataran rendah Papua, Maluku, sebagian penduduk Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Mentawai, Kepulauan Riau dan pulau-pulau kecil. Bagi penduduk pulau-pulau kecil, sagu menjadi makanan pokok terutama pada saat gelombang laut tinggi, sehingga tidak ada kapal yang membawa beras yang mengunjungi pulau mereka. Terdapat kecenderungan, masyarakat akan memakan sagu apabila suplai beras tidak mencukupi atau bermasalah (Bintoro, 2008). Sentra penanaman sagu di dunia adalah Indonesia dan Papua Nugini, yang diperkirakan luasan budi daya penanamannya mencapai luas 114.000 ha dan 20.000 ha (Deptan, 2008), hal ini diilustrasikan dalam Gambar 1.

Sagu yang sebagian besar tumbuh secara alami,memiliki beraneka ragam fungsi bagi kehidupan manusia, namun tanaman tersebut belum banyak diperhatikan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia, bahkan terdapat kecenderungan populasinya semakin menurun. Di satu sisi pati yang dikandung dalam batang sagu dapat digunakan untuk bahan baku agroindustri. Selain itu, tumbuhan sagu dapat berperan sebagai pengaman lingkungan karena dapat


(17)

mengabsorpsi emisi gas CO2 yang ditransmisikan dari lahan rawa dan gambut ke udara. Emisi gas CO2 dan NH4 yang ditransmisikan ke udara bervariasi dari 25-200 mg/m2/jam. Adanya tegakan hutan sagu, gas yang ditransmisikan ke udara akan sangat berkurang karena gas CO2 digunakan untuk fotosintesis (Bintoro et al, 2010).

Gambar 1. Persentase Persebaran Areal Sagu di Dunia (Deptan, 2008)

Tanaman sagu dapat mengkonservasi air tanah, karena tanaman ini menghendaki kelembaban tanah yang tinggi. Kawasan yang kadang-kadang tergenang air sangat disukai tanaman sagu, namun apabila kawasan tersebut selalu tergenang akan mengakibatkan pertumbuhan sagu lambat dan kadar patinya rendah. Kawasan yang ditumbuhi sagu akan dipertahankan dalam keadaan lembab sebaliknya kawasan yang digunakan untuk tanaman perkebunan akan dibuat saluran drainase. Air yang ada di dalam kawasan tersebut akan dialirkan ke tempat lain. Oleh karena itu, suatu kawasan yang ditumbuhi sagu akan mengandung banyak air,padahal air di masa mendatang akan menjadi masalah serius bagi manusia, hewan maupun tumbuhan (Bintoro et al, 2010).

Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat tertinggi per satuan luas. Dalam satu batang sagu terdapat 200-400 kg pati. Di Maluku, produksi pati kering dapat mencapai 345 kg/pohon. Di Jayapura beberapa peneliti Jepang menemukan pohon sagu yang mengandung pati 800-900 kg/batang sagu. Apabila sagu diusahakan sebagaimana layaknya tanaman perkebunan lainnya yang ditanam secara teratur dengan jarak tanam 10 x 10 meter, maka dalam satu hektar terdapat

Indonesia 51,3%

Malaysia 1,5% Thailand

3,7% Papua New

Guinea 43,3% Lainnya


(18)

100 pohon sagu. Jika dalam satu pohon terdapat 300 kg pati kering, maka dalam satu hektar dapat dipanen 30 ton pati kering. Tanaman penghasil karbohidrat lainnya hanya menghasilkan 5-6 ton (padi), 3-4 ton (jagung) dan 10 ton (ubi kayu). Pati sagu mengandung 84,7% karbohidrat yang terdiri atas 73% amilopektin dan 27% amilosa. Tanaman sagu yang diekstraksi dapat mencapai 38,23% dengan komposisi 73,00-86,00% pati, 0,18-0,22% lemak dan 0,01,20% protein (Bintoro, 2008).

Sagu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang potensial di Indonesia, yang dapat digunakan sebagai penganekaragaman tanaman pangan, dan merupakan alternatif pada saat krisis pangan serta dapat didayagunakan bagi pengelolaan, pengendalian dan pelestarian lingkungan. Tanaman sagu dapat bermanfaat bagi manusia. Daunnya dapat dijadikan atap rumah tradisional, tulang daunnya dapat dibuat dinding, lidinya dapat dibuat sapu, kulit batangnya dapat dijadikan lantai. Empulur sagu setelah diparut dapat dijadikan pakan ternak. Apabila setelah diparut, kemudian parutan tersebut diolah lebih jauh, maka limbahnya yang berupa serat dapat dijadikan makanan ternak, media tumbuh untuk jamur atau untuk media berbagai tanaman pertanian. Limbah cairnya dapat digunakan sebagai pupuk. Selain pupuk, limbah dimanfaatkan pula sebagai pengendalian gulma pada lada perdu (Syakir, et al, 2008). Pati sagu sebagaimana pati dari tanaman lainnya dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, misalnya sebagai makanan pokok, bahan baku industri makanan, bahan bakar “bio fuel” (etanol), bahan baku penyedap rasa (monosodium glutamat) bahan baku gula cair, bahan baku plastik ramah lingkungan yang dapat terurai di dalam tanah, pakan ternak dan sebagai bahan baku berbagai industri lainnya (Bintoro et al, 2010). Pemanfaatan dan pengembangan sagu secara lebih rinci disajikan dalam Gambar 2.

Sagu tergolong tanaman yang umumnya dikembangbiakkan dengan anakan meskipun dapat diperbanyak dengan biji. Anakan sagu mulai membentuk batang sekitar 3 tahun, kemudian pada sekitar batang bagian bawah tumbuh tunas-tunas yang berkembang menjadi anakan (sucker). Pola pertumbuhan anakan tersebut terus berlangsung sehingga kemudian membentuk rumpun. Pada kondisi yang baik, setiap 3-4 tahun, dua anakan akan berkembang menjadi pohon.


(19)

Gambar 2. Pohon Industri Sagu

Budidaya sagu banyak dilakukan secara vegetatif, yaitu dilakukan dengan mengambil tunas dari pohon induk. Penanganan pasca pengambilan tunas dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan tanam langsung dan persemaian. Kedua teknik ini memiliki dasar pertimbangan yang berbeda-beda, yaitu:

Sagu

daun

Batang sagu

atap

dinding Tumang/tempat

sagu

kerajinan

Kulit batang

Pati sagu

Partikel board lantai Obat tradisional

Bahan bakar kertas

makanan

bioetanol siklodekstrin Sirup glukosa

bioplastik

biofuel farmasi Bahan kimia

lem plywood

Tekstil

roti mie Salad dressing

Asam sitrat Asam laktat


(20)

a. Tanam langsung

Penanaman bibit sagu dilakukan dengan tanam langsung (untuk bibit yang diambil di sekitar lokasi penanaman), dengan alasan jika bibit tersebut nantinya mati atau tidak tumbuh dengan baik dapat dengan mudah dilakukan penyulaman. Namun jika lokasi penanamannya jauh, bibit tersebut akan disimpan beberapa hari. Lokasi penyimpanan biasanya di tempat yang lembab dan terlindung dari cahaya matahari. Bibit sagu disimpan selama 1-2 minggu hingga tumbuh akar-akar muda yang berwarna merah. Jika akar-akar-akar-akar tersebut telah tumbuh, maka akar-akar yang lama biasanya dipangkas/dikurangi jumlahnya. Keadaan sagu yang demikian menurut penduduk, jika ditanam keberhasilan untuk tumbuh lebih besar dibandingkan dengan yang langsung ditanam (Herlina et al. 2002).

b. Melalui persemaian:

Persemaian bertujuan memberikan kondisi yang sesuai (aklimatisasi) untuk abut-abut (anakan sagu) yang akan ditanam di lapangan. Aklimatisasi bertujuan agar abut tersebut tidak stres, sehingga selama proses persemaian kondisi abut baik dan sehat untuk ditanam di lapangan. Bibit sagu disemai di rakit selama tiga bulan. Setelah tiga bulan persemaian, bibit memiliki rata-rata jumlah daun 2-3 helai dan perakaran yang baik, sehingga bibit sudah dapat ditanam ke lapangan (Bintoro et al. 2010).

B. Perumusan Masalah

Guna menangkap peluang pasar yang besar dari pemanfaatan hasil olahan sagu, PT X melakukan kegiatan budidaya sagu di lahan gambut di Kabupaten Meranti, Propinsi Riau. Luas areal pertanaman PT X sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 380/MENHUT-II/2009 seluas 21.620 ha terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 21.370 ha dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 250 ha. Areal yang baru ditanami secara bertahap mulai dari tahun 1996-1999 seluas 13.044 ha yang terbagi menjadi 12 divisi. Minimnya praktek budidaya sagu dalam skala besar menyebabkan belum adanya best management practices dalam kegiatan budidaya sagu, baik dari awal pembibitan, penanaman, hingga panen. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan


(21)

pengembangannya, PT X bekerja sama dengan PT Y yang merupakan perusahaan di bawah Institut Pertanian Bogor, sebagai kontraktor pelaksana kegiatan produksi bibit (pembibitan) dan penanaman sagu.

Kegiatan pembibitan dan penanaman sagu merupakan proyek yang dikelola oleh PT Y. Lingkup kegiatan yang dilakukan oleh PT Y terdiri atas perolehan dan seleksi bibit, persemaian, dan penanaman bibit hingga umur 3 bulan. Kemudian diserahterimakan kepada PT X sebagai pemilik kebun. Bibit yang hidup setelah umur 3 bulan tersebut kemudian dibeli oleh PT X sesuai dengan harga yang telah disepakati sebelumnya.

Produksi bibit merupakan faktor penting dalam kegiatan budidaya, karena akan sangat menentukan hasil yang diperoleh, terlebih untuk tanaman sagu, dengan potensi besar yang dimilikinya. Bibit yang baik, dengan pengelolaan yang tepat, tentunya akan menghasilkan tanaman sagu yang baik dan hasil produksi yang tinggi. Tingginya tingkat mortalitas bibit hidup setelah tiga bulan merupakan kendala tersendiri yang dihadapi oleh PT Y saat ini, sehingga mengakibatkan rendahnya penerimaan yang diperoleh yang tidak seimbang dengan biaya-biaya pelaksanaan kegiatan yang telah dikeluarkan. Oleh karena itu, melalui penelitian ini ingin mengetahui:

1. Apakah kegiatan pembibitan sagu layak dilaksanakan dengan harga beli per bibit hidup yang telah ditetapkan oleh PT X?

2. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan oleh PT Y untuk mengembangkan usaha pembibitan sagu di lokasi kebun PT X?

C. Tujuan Penelitian

1. Menganalisa kelayakan finansial pembibitan sagu yang dilakukan oleh PT Y untuk kebun PT X dengan harga beli per bibit hidup yang telah ditetapkan.

2. Menentukan strategi yang dapat dilaksanakan PT Y untuk mengembangkan usaha pembibitan sagu di lokasi kebun PT X.


(22)

A. Tanaman Sagu

Sagu (Metroxylon sp.) di duga berasal dari Maluku dan Irian. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Irian Jaya. Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan tanaman sagu yang paling maju saat ini adalah di Malaysia (Deptan, 2008).

Tanaman Sagu dikenal dengan nama Kirai di Jawa Barat, bulung, kresula, bulu, rembulung, atau resula di Jawa Tengah; lapia atau napia di Ambon; tumba

di Gorontalo; Pogalu atau tabaro di Toraja; rambiam atau rabi di kepulauan Aru.

Tanaman sagu masuk dalam Ordo Spadicflorae, Famili Palmae. Di kawasan Indo Pasifik terdapat 5 marga (genus) Palmae yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Arenga, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan acinya cukup tinggi (Deptan, 2008).

Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu: yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dan berbunga atau berbuah sekali (Hapaxanthic) yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena kandungan karbohidratnya lebih banyak (Deptan, 2008). Golongan ini terdiri dari 5 varietas penting yaitu : (a) Metroxylon sagus, Rottbol atau sagu molat; (b)

Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni; (c) Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Martius atau sagu ihur; (d) Metroxylon rumphii, Martius varietas Longispinum Martius atau sagu Makanaru; (e) Metroxylon rumphii,

Martius varietas Microcanthum Martius atau sagu Rotan.

1. Syarat Tumbuh

Daerah yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik air tanah berwarna


(23)

cokelat dan bereaksi agak masam. Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu.

Pada tanah-tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah, pertumbuhan tanaman sagu akan kurang baik. Selain itu, pertumbuhan tanaman sagu juga dipengaruhi adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama fosfat, kalium dan magnesium. Akar napas sagu yang terendam terus menerus akan menghambat pertumbuhan tanaman sagu, sehingga pembentukan pati dalam batang juga terhambat (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Sagu tumbuh di daerah-daerah rawa yang berair tawar, rawa yang bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air dan hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi (Haryanto dan Pangloli, 1992). Di Papua dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan daerah yang luas. Di Sumatera sagu banyak ditanam di daerah rawa-rawa yang membentang dari Propinsi Sumatera Selatan sampai Sumatera Utara melalui Jambi dan Riau. Sagu dapat tumbuh dengan baik pada tanah vulkanik, podzolik merah kuning, grumusol, alluvial dan hidromofik (Bintoro, 2008).

Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian sampai 400 meter di atas permukaan laut. Lebih dari 400 m dpl pertumbuhannya lambat dan kadar patinya rendah. Pada ketinggian 600 m dpl, tinggi tanaman sagu sekitar 6 m. Tegakan sagu secara alamiah ditemukan sampai 1.000 m dpl (Bintoro, 2008).

2. Jarak Tanam

Pohon sagu yang tumbuh secara alamiah biasanya memiliki jarak antar tanaman yang tidak teratur, sehingga kemungkinan akan terjadi kompetisi terhadap air, unsur hara maupun cahaya diantara individu tanaman. Jarak tanam menentukan populasi tanaman dalam suatu luasan tertentu, sehingga pengaturan yang baik dapat mengurangi terjadinya kompetisi terhadap faktor-faktor tumbuh tersebut. Melalui pengaturan jarak tanam yang tepat tingkat persaingan antara sesama tanaman budidaya maupun persaingan antara tanaman budidaya dengan gulma dapat ditekan serendah mungkin.

Pengaturan jarak tanam berhubungan erat dengan kerapatan tanaman. Semakin rapat jarak tanam, persaingan untuk mendapatkan faktor tumbuh antar


(24)

tanaman semakin besar. Kerapatan tanaman mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman, karena keefisienan penggunaan cahaya matahari, sehingga jarak tanam yang optimal menentukan besarnya produksi tanaman per satuan luas areal (Harjadi, 1996).

Penanaman pada perkebunan sagu dikenal dengan sistem blok. Jarak tanam pada sistem blok bervariasi antara 8-10 meter, sehingga satu hektar menampung ± 150 tanaman. Jarak tanam 8 m x 8 m dan 10 m x 10 m digunakan bila kebun akan ditanami sagu secara monokultur. Apabila jarak tanam yang digunakan 10 m x 10 m dalam bentuk segi empat, maka populasi awal tanaman sagu adalah 100 tanaman/ha, tetapi apabila bentuk jarak tanamnya segi tiga sama sisi, maka populasi awal tanaman sagu adalah 136 tanaman/ha.

Apabila tanaman sagu akan ditumpangsarikan dengan tanaman lain, maka dapat digunakan jarak tanam 10 m x 15 m. Selain itu, pola jarak tanam tersebut juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan ruang dalam pengaturan anakan sagu dan pemanfaatan cahaya. Namun, jarak tanam yang terlalu lebar juga dapat mengakibatkan munculnya gulma. Bintoro (2008) menyatakan bahwa anakan sagu dapat tumbuh pada ruang yang kosong sampai mendekati kanopi pohon. Untuk mendapatkan asli yang optimal, maka perlu dilakukan pengaturan jarak tanam sehingga pola pertumbuhan dan kerapatan anakan sagu dapat optimal.

3. Pengendalian Gulma

Pertumbuhan dan perkembangan sagu akan lebih cepat jika tidak ada gangguan, misalnya oleh gulma. Sagu biasanya ditanam dan hidup di daerah yang lembab. Tempat yang lembab sesuai dengan kondisi tempat tumbuh tanaman sagu, begitu pula dengan gulma, gulma akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada daerah yang lembab. Pertumbuhan gulma yang sangat cepat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sagu.

Tanaman sagu dan gulma yang tumbuh dengan subur dan bersaing dalam penyerapan unsur hara, air, cahaya matahari dan ruang tumbuh. Jika gulma lebih mendominasi penyerapan unsur hara, air, cahaya matahari, maupun ruang tumbuh, maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman sagu akan terhambat. Hal ni akan berakibat pada laju pertumbuhan tanaman sagu yang berjalan lambat,


(25)

pembentukan formasi batang akan menjadi lebih lama sehingga waktu panen menjadi tertunda.

Tanaman sagu yang masih muda akan cenderung lebih tertekan dengan keberadaan gulma daripada tanaman sagu yang sudah membentuk batang. Kompetisi antara gulma dan tanaman sagu dapat dikurangi dalam budidaya pertanian dengan melakukan pengendalian gulma. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara mekanis (tebas) dan secara kimia.

4. Pemupukan

Sebagai upaya untuk meningkatkan potensi tanaman sagu, utamanya dalam hal produktivitas, maka pengetahuan akan tindakan budidaya harus terus ditingkatkan pula. Tindakan budidaya tersebut meliputi pengadaan bahan tanaman, persiapan tanam dan penanaman, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pengelolaan pascapanen (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pemupukan merupakan tindakan budidaya yang penting sebagai upaya menyediakan unsur hara tanaman untuk meningkatkan produktivitas tanaman sagu.

Pupuk adalah bahan yang diberikan ke dalam tanah baik yang organik maupun yang anorganik untuk mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dan bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman. Tidak lengkapnya unsur hara makro dan mikro dapat mengakibatkan hambatan bagi pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas.

5. Penjarangan Anakan

Penjarangan anakan dilakukan sebagai upaya untuk memaksimalkan produksi tanaman sagu dan pembuangan anakan yang tidak diperlukan. Menurut Bintoro et al., (2008) beberapa alasan yang melandasi kegiatan penjarangan anakan antara lain untuk menjaga kesehatan dan vigor pertumbuhan bagi tanaman baru, memelihara ukuran tanaman, membentuk tanaman, dan mengoptimalkan hasil metabolisme bagi pertumbuhan serta perkembangan tanaman. Persaingan tersebut dapat menyebabkan kandungan pati dalam batang sagu berkurang dan menghambat pertumbuhan pohon induk.


(26)

Pada tanaman sagu yang tidak dilakukan pengaturan pertumbuhan, jumlah anakan di setiap rumpunnya dapat mencapai lebih dari sepuluh anakan. Kondisi tersebut seakan merupakan kondisi yang kurang optimal bagi pertumbuhan tanaman induk. Kondisi tersebut dapat menimbulkan persaingan dalam mendapatkan makanan, unsur hara dan radiasi sinar matahari.

6. Pengendalian Hama dan Penyakit

Kerusakan tanaman sagu yang diakibatkan oleh hama atau penyakit tidak terlalu banyak ditemukan. Serangan hama yang banyak dijumpai di perkebunan sagu berupa kumbang Oryctes. rhinoceros L., Rynchoporus. ferrugineus Oliver., dan Sexava spp. Sexava spp. tidak terlalu berbahaya karena intensitas serangn kecil. Hama tersebut menyerang bagian daun, bunga, dan buah muda.

Kumbang R. ferrugineus Oliver. masuk ke bagian tanaman sagu yang mati, kemudian bertelur. Telur tersebut menetas dan menjadi larva (gendon). Larva tersebut hidup selama 3-4 bulan sebelum menjadi kepompong. Serangan dari larva tersebut sangat berbaya karena dapat berakibat kematian pada tanaman sagu (Bintoro et al., 2008).

7. Pengaturan Air

Sumberdaya air memiliki peran strategis dalam pengusahaan perkebunan sagu. Pertumbuhan tanaman sagu yang optimal dapat terjadi, jika ketersediaan air tercukupi, selain daripada kebutuhan tanaman sagu terhadap nutrisi tanah.

Air di perkebunan sagu yang berada di lahan gambut banyak terdapat di daerah sekitar kubah gambut. Kubah gambut merupakan daerah yang mengandung gambut lebih tebal dibandingkan dengan daerah-daerah yang ada di sekelilingnya. Berkaitan dengan sifat tanah gambut yang mampu menyerap air 13 kali bobotnya, maka sudah dapat dipastikan daerah kubah gambut dengan ketebalannya mampu menyimpan banyak cadangan air bagi daerah di sekitarnya. Oleh karena itu, daerah kubah gambut harus dikonversi dan tidak dijadikan lahan penanaman karena fungsinya sebagai penyedia air daerah sekitarnya.

Perkebunan sagu di lahan gambut identik dengan adanya saluran-saluran air berupa kanal. Kanal di sini berfungsi sebagai jalur transportasi air dan


(27)

pengaturan air kebun. Kebutuhan air di perkebunan sagu dipenuhi dari air kanal. Jika tinggi permukaan air lebih dari 30-50 cm dari permukaan tanah, maka dapat dipastikan tanaman sagu akan kekurangan air yang ditandai dengan gejala awal yaitu daun tanaman sagu mulai berwarna kekuningan. Tinggi optimum air di kanal untuk pertumbuhan dan perkembangan sagu yang baik adalah sekitar 30-50 cm. Pengaturan air di perkebunan sagu menjadi penting untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan tanaman sagu agar tetap baik (Bintoro et al., 2008).

8. Taksasi Produksi

Taksasi produksi sagu adalah kegiatan memperkirakan jumlah tanaman sagu yang dapat dipanen. Taksasi produksi dilakukan untuk memprediksi panen setiap tahun. Taksasi produksi adalah perhitungan cepat untuk mengetahui jumlah tanaman sagu yang dapat dipanen. Keuntungan dari kegiatan ini adalah mengetahui populasi lebih cepat dengan anggaran biaya yang sedikit. Hal tersebut sangat diperlukan oleh suatu perusahaan untuk memperkirakan hasil dalam waktu singkat. Hasil taksasi produksi diharapkan mendekati keadaan yang sesungguhnya (populasi).

Taksasi produksi berguna untuk memperkirakan jumlah tanaman yang dapat dipanen. Taksasi yang dilakukan untuk mengetahui jumlah tanaman setiap fase pertumbuhan. Menurut Henanto (1996) di Provinsi Bengkulu rata-rata pohon sagu yang dapat ditebang per hektare hanya 11 batang.

Taksasi produksi dilakukan pada tiap-tiap blok tanaman. Divisi-divisi tersebut mempunyai jarak tanam 8 m x 8 m. jarak tanam menentukan jumlah pati yang akan didapat. Menurut Bintoro (1999) apabila, jarak antara tanaman yang terlalu dekat maka pohon sagu yang dapat dipungut hasilnya sangat sedikit sekali.

Ciri-ciri tanaman sagu siap panen pada umumnya terlihat dari perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang. Umumnya tanaman sagu siap panen menjelang pembentukan primordia bunga atau kuncup bunga tetapi belum mekar. Pada saat tersebut, daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda dengan daun sebelumnya dan daun terakhir juga agak berbeda, yaitu lebih tegak, ukuran lebih kecil, dan perubahan lain adalah pucuk menjadi agak


(28)

menggelembung. Di samping itu, duri semakin berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon yang lebih muda (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Tiap-tiap jenis tanaman sagu memiliki fase kematangan optimum yang berbeda-beda. Umumnya sagu dipanen saat mulai muncul bunga, apabila sudah muncul bunga bahkan muncul buah, maka kandungan pati dalam batang sagu telah menurun.

Sagu mulai mengakumulasi pati sejak saat pembentukan batang berlangsung. Kandungan pati dalam batang sagu semakin lama semakin banyak, dan apabila sagu mendapat sinar matahari yang cukup selama pertumbuhannya, kandungan pati dalam batang meningkat secara linier sampai terjadi pembentukan bunga. Tanaman sagu yang mulai membentuk buah, kandungan pati dalam batang sagu menurun, karena sebagian digunakan untuk pembentukan buah, dan proses fotosintesis sudah berkurang karena daun-daun sagu yang terbentuk sebelumnya sudah berukuran lebih kecil (Bintoro et al., 2008).

B. Pembibitan Sagu

Persiapan bahan tanaman sagu merupakan kegiatan pengadaan bahan tanaman yang dibutuhkan oleh kebun. Kegiatan tersebut meliputi seleksi bibit, perlakuan terhadap bibit dan persemaian. Keseluruhan kegiatan persiapan bibit bertujuan mendapatkan bibit yang berkualitas baik, bebas dari hama penyakit tanaman sehingga bibit tersebut dapat ditanam di lapangan dengan persentase hidup yang tinggi.

1. Seleksi Bibit

Bahan tanam dapat diperoleh dari anakan yang tumbuh pada tanaman induk. Anakan adalah bagian dari tanaman induk yang mempunyai struktur perakaran mandiri. Anakan sagu (abut) yang diambil untuk penanaman sebaiknya seragam. Hal tersebut dimaksudkan agar anakan sagu memiliki waktu yang tidak terlalu jauh dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Kriteria abut yang sehat dan berkualitas baik adalah pohon induk pada rumpun yang abutnya akan diambil telah mencapai usia dewasa atau telah


(29)

dipanen, bibit masih segar ditandai dengan pelepah yang masih hijau, abut tersebut mudah bergerak jika digoyang-goyangkan, abut tersebut tidak menempel pada induk sagu, bobot abut antara 1,5 kg sampai dengan 5 kg, kondisi abut sehat, tidak terkena hama dan penyakit, memiliki jumlah akar yang banyak, tempat penyimpanan bahan makanan (banir) berwarna merah muda dan keras, dan diutamakan abut yang memiliki perakarannya berbentuk “L” karena memiliki jumlah cadangan makanan yang lebih banyak dibandingkan bibit dengan banir yang lainnya sehingga persentase hidupnya lebih tinggi (Bintoro et al., 2008).

Cara pengambilan anakan sagu dilakukan dengan hati-hati. Urutan langkah-langkah pengambilan anakan sagu adalah sebagai berikut:

1. Rumpun tanaman sagu dibersihkan dari gulma dan sampah, lalu dipilih anakan sagu yang masih kecil dan tumbuh baik.

2. Pelepah daun dipangkas, disisakan sepanjang kurang lebih 30-40 cm. 3. Tanah di sekitar anakan digali untuk memudahkan dalam pemotongan

banir.

4. Bagian banir yang sudah keras dipotong dengan menggunakan dodos secara hati-hati jangan sampai melukai tanaman induk. Apabila tanaman induk terluka dapat menyebabkan tanaman terserang hama dan penyakit.

5. Banir dibersihkan dari tanah yang masih menempel.

6. Akar pada banir dipangkas dan disisakan kurang lebih 10 cm. 7. Banir siap untuk disemaikan.

2. Persemaian

Kegiatan persemaian merupakan kegiatan lanjutan dari penyeleksian abut. Persemaian bertujuan memberikan kondisi yang sesuai (aklimatisasi) untuk abut-abut (anakan sagu) yang akan ditanam di lapangan. Aklimatisasi bertujuan agar abut tidak stres, sehingga selama proses persemaian kondisi abut baik dan sehat untuk ditanam di lapangan.

Sebelum ditanam di lapangan, bibit terlebih dahulu disemaikan di kanal dengan menggunakan rakit yang terbuat dari pelepah sagu. Persemaian dilakukan agar bibit sagu tetap segar sebelum dipindah ke lapang. Bibit yang akan disemai


(30)

terlebih dahulu dipangkas daun tuanya dengan ketinggian 30-40 cm dari banir. Tujuannya agar evaporasi dapat ditekan dan untuk mencapai pemunculan tunas.

Abut terlebih dahulu direndam dalam larutan fungisida dengan konsentrasi 2 g/l selama 1-2 menit sebelum dimasukkan ke dalam rakit, kemudian abut yang telah direndam dikeringanginkan. Perendaman tersebut bertujuan mematikan hama dan penyakit yang mungkin terbawa berama abut. Dengan demikian, abut yang akan ditanam di lapangan sudah terbebas dari hama dan penyakit.

Persemaian dilakukan di dalam rakit. Rakit yang digunakan berbentuk persegi panjang yang dibagi menjadi tiga bagian. Ukuran rakit yang digunakan memiliki lebar 1 m dan panjang 2,5 m. rakit tersebut disangga pada pinggir kanal agar selama persemaian tidak tenggelam.

Setelah diperoleh anakan sagu yang memenuhi kriteria anakan sagu yang baik, maka kegiatan selanjutnya adalah menyusun abut tersebut ke atas rakit. Rakit yang terdiri atas tiga bagian dapat diisi dengan jumlah abut kurang lebih sebanyak 80 bibit. Bibit-bibit tersebut disusun dengan memanfaatkan ruang rakit secara optimal, sehingga dapat menampung jumlah abut maksimal. Bagian banir harus terendam air agar abut tidak mengalami kekeringan dan posisi abut tegak.

Bibit sagu disemai di dalam rakit selama tiga bulan. Setelah tiga bulan persemaian, bibit memiliki rata-rata jumlah daun 2-3 helai dan perakaran yang baik, sehingga bibit sudah dapat ditanam ke lapangan. Bibit tanaman sagu siap ditanam untuk pembukaan lahan baru maupun penyulaman (Bintoro et al., 2008).

C. Penanaman

1. Persiapan Lubang Tanam

Lubang tanam disiapkan untuk penanaman bibit tanaman sagu yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ukuran lubang tanam yang dibuat adalah 30 cm x 30 cm x 30 cm atau menyesuaikan dengan ukuran bibit. Bagian bawah bibit yang akan ditanam diusahakan menyentuh permukaan air agar terhindar dari kekeringan. Apabila permukaan air tanah sangat dalam, lubang digali sampai kedalaman 60 cm. setelah lubang tanam selesai dibuat maka bibit dapat segera ditanam.


(31)

Bibit yang akan ditanam harus diseleksi terlebih dahulu dan harus memenuhi kriteria bibit yang baik. Sebelum dilakukan penanaman, lubang tanam dibersihkan dari kotoran atau daun-daun untuk mengurangi risiko terjangkitnya penyakit (Bintoro et al., 2008).

2. Penanaman

Kegiatan penanaman bibit tanaman sagu dilakukan setelah bibit disemai selama tiga bulan dan telah memiliki 2-3 helai daun baru serta memiliki perakaran yang baik. Penanaman saat musim hujan persentase hidupnya lebih tinggi daripada penanaman pada musim kemarau. Hal tersebut disebabkan bibit tanaman sagu yang ditanam pada musim kemarau mengalami transpirasi dengan cepat, sehingga mengalami kekeringan. Kondisi tanah yang lembab dan suhu udara yang terlalu tinggi menentukan persentase hidup bibit sagu.

Pengangkutan bibit sagu akan lebih mudah apabila persemaian dilakukan dekat dengan petak tanam. Persemaian di rakit mempermudah pengangkutan karena rakit yang berisi bibit dapat langsung ditarik dan ditranslokasikan pada pancang yang akan ditanami atau dilakukan penyulaman.

Proses pengangkutan abut dari rakit persemaian ke lapangan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak tunas dan daun yang baru tumbuh. Pemotongan daun dan pucuk muda dilakukan untuk menghindari kerusakan karena pengangkutan. Pada saat penanaman, bagian akar bibit harus tertutup tanah dengan baik untuk menghindari serangan penyakit dan bibit tidak mudah rebah.

Cara penanaman dilakukan dengan membenamkan banir ke dalam lubang tanaman. Bagian pangkal banir ditutup dengan tanah remah bercampur gambut. Tanah penutup ditekan dan diatur sehingga banir tidak sampai bergerak. Tanah lapisan atas dimasukkan sampai separuh lubang tanam.

Akar-akar dibenamkan pada tanah penutup lubang dan pangkalnya agak ditekan sedikit ke dalam tanah. Pada bibit kemudian diberi dua batang kayu yang diletakkan secara bersilangan pada bibit. Pemasangan kayu tersebut dimaksudkan agar bibit lurus dan tegak, sehingga pada saat tanaman telah dewasa, tanaman menjadi kokoh dan tidak mudah tumbang (Bintoro et al., 2008).


(32)

D. Analisis Kelayakan

Analisis, dalam kamus besar bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya); penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya; pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya. Sedangkan kelayakan, dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perihal layak (patut, pantas); kepantasan; kepatutan; atau perihal yang dapat (pantas, patut) dikerjakan. Ukuran kelayakan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup :

1. NPV

Net Present Value (NPV) atau nilai bersih sekarang merupakan

perbandingan antara PV kas bersih (PV of proceed) dan PV investasi (capital outlays) selama umur investasi. Selisih antara nilai kedua PV tersebut adalah nilai NPV (Kasmir dan Jakfar, 2012). Adapun hal yang diperhatikan dalam metode ini adalah: (1) menentukan nilai sekarang dari investasi, (2) menentukan nilai sekarang penerimaan kas bersih di masa mendatang, (3) menentukan tingkat suku bunga yang relevan.

Apabila NPV positif berarti investasi layak untuk dilaksanakan (diterima), sebaliknya apabila NPV negatif berarti investasi tidak layak untuk dilaksanakan (ditolak).

dimana: Bt = penerimaan kas bersih tahun ke t Ct = biaya proyek tahun ke t

i = tingkat suku bunga n = umur proyek

2. PBP

Payback Period (PBP) merupakan metode yang menunjukkan berapa lama


(33)

investment dengan cash flow-nya dan hasilnya merupakan satuan waktu. Menurut Damodaran (2002) proyek yang mempunyai tingkat pengembalian lebih cepat dianggap mempunyai tingkat risiko lebih rendah bila dibandingkan dengan proyek yang mempunyai tingkat pengembalian yang lebih lama.

Apabila PBP kurang dari suatu periode yang telah ditentukan atau lebih cepat tingkat pengembaliannya, maka investasi itu layak dilakukan. Apabila tidak, maka investasi tidak layak untuk dilaksanakan. PBP dihitung dengan rumus berikut :

Metode ini cukup sederhana dalam cara perhitungannya, namun memilik kelemahan yaitu tidak memperhatikan aliran kas masuk setelah PBP.

3. IRR

Internal Rate of Return (IRR) merupakan alat untuk mengukur tingkat pengembalian hasil intern (Kasmir dan Jakfar, 2012). IRR ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

dimana: i1 = tingkat bunga 1 (discount rate yang menghasilkan NPV1) i2 = tingkat bunga 2 (discount rate yang menghasilkan NPV2) NPV1 = net present value 1

NPV2 = net present value 2

Penerimaan atau penolakan usulan investasi adalah dengan membandingkan IRR dengan tingkat bunga yang disyaratkan. Apabila IRR lebih besar daripada tingkat bunga yang disyaratkan, maka usulan investasi tersebut diterima, apabila lebih kecil usulan investasi ditolak. Kelemahan dari penghitungan metode ini masih memerlukan penghitungan NPV.


(34)

4. PI

Profitability Index (PI) atau benefit cost (BK) ratio merupakan rasio aktivitas dari jumlah nilai sekarang penerimaan bersih dengan nilai sekarang pengeluaran investasi selama umur investasi (Kasmir dan Jakfar, 2012). PI dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Secara umum jika NPV dan PI digunakan untuk menilai suatu kelayakan investasi, maka hasilnya akan selalu konsisten. Dengan kata lain, jika NPV menunjukkan diterima, maka PI mengatakan diterima dan sebaliknya, dengan demikian untuk menghitung PI harus terlebih dahulu menghitung NPV.

5. BEP (Break Event Point)

Break Event Point atau titik pulang pokok atau titik impas adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar beberapa variabel di dalam kegiatan perusahaan, seperti luas produksi atau tingkat produksi yang dilaksanakan, biaya yang dikeluarkan, serta pendapatan yang diterima perusahaan. Menurut Umar (2003), keadaan pulang pokok merupakan keadaan dimana penerimaan pendapatan perusahaan adalah sama dengan biaya yang ditanggungnya.

BEP adalah suatu keadaan dimana perusahaan dalam operasionalnya tidak menderita kerugian dan tidak memperoleh keuntungan atau pada keadaan tersebut posisi keuntungan dan kerugian sama dengan nol (Alwi, 1991). BEP dihitung dengan rumus sebagai berikut:

BEP (unit) = Biaya tetap : marjin kontribusi per unit


(35)

E. Strategi Pengembangan Usaha

Strategi adalah rencana berskala besar, dengan orientasi masa depan, guna berinteraksi dengan kondisi persaingan untuk mencapai tujuan perusahaan. Strategi merupakan rencana permainan perusahaan. Meskipun tidak merinci seluruh pemanfaatan (manusia, keuangan, dan material) di masa depan, rencana tersebut menjadi kerangka bagi keputusan manajerial. Strategi mencerminkan pengetahuan perusahaan mengenai bagaimana, kapan, dan di mana perusahaan akan bersaing; dengan siapa perusahaan sebaiknya bersaing; dan untuk tujuan apa perusahaan harus bersaing (Pearce dan Robinson, 2008).

Pengambilan keputusan strategik selalu berkaitan dengan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencanaan strategis harus menganalisa faktor-faktor strategis perusahaan seperti kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) yang ada pada saat ini atau disingkat SWOT (Rangkuti, 2005).

F. Analisis SWOT

Menurut Rangkuti (2005), analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats).

Analisis situasi (SWOT) merupakan awal proses perumusan strategi. Selain itu, analisis situasi mengharuskan untuk menemukan kesesuaian strategis antara peluang-peluang eksternal dan kekuatan-kekuatan internal, di samping memperhatikan ancaman-ancaman eksternal dan kelemahan-kelemahan internal. Analisis SWOT harus mengidentifikasi kompetensi langka perusahaan (distinctive competence), yaitu keahlian tertentu dan sumber-sumber yang dimiliki dan cara unggul yang digunakan. Penggunaan kompetensi yang langka secara tepat akan memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Hunger, J D dan Wheelen, 2001).


(36)

G. Analytical Hierarchy Process

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Processatau AHP) adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. Proses ini juga memungkinkan orang menguji kepekaan hasilnya terhadap perubahan informasi (Saaty, 1993).

Terdapat tiga prinsip dasar Proses Hierarki Analitik:

1. Menggambarkan dan menguraikan secara hierarkis yang kita sebut menyusun secara hierarkis, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah.

2. Pembedaan prioritas dan sintesis, yang kita sebut penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif kepentingan.

3. Konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

H. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan

Hasil penelitian terkait dengan strategi pengembangan usaha dan kelayakan usaha dalam bidang agribisnis, agroindustri dan usaha kecil menengah dan budidaya tanaman sagu terangkum dalam Tabel 1.

Metode yang digunakan dalam menentukan strategi adalah metode SWOT, sedangkan kelayakan finansial, umumnya diukur dengan parameter kelayakan seperti NPV, IRR, PBP dan BEP. Hasil analisis kelayakan terhadap usaha-usaha dalam bidang agribisnis umumnya layak dilaksanakan, dengan syarat suatu kondisi tertentu, sebagaimana dihasilkan dari Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Ayam Pedaging dengan Pola Kemitraan (Subkhie, et al., 2012) yang mensyaratkan layak jika nilai FCR 1,5. Berbeda dengan beberapa penelitian lain, Strategi Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil Sektor Wisata Bahari (Friliyantin., et. al 2011) ditentukan melalui metode AHP. Penelitian ini menghasilkan jenis usaha mikro pendukung, urutan skenario pengelolaan dan strategi pengembangan wisata bahari. Dalam penelitian yang dilakukan saat ini,


(37)

peneliti mengombinasikan metode penentuan strategi melalui metode SWOT dan metode AHP.

Jurnal dengan tema pengelolaan pembibitan sagu, yang dilakukan berdasarkan percobaan di wilayah Riau, menunjukkan bahwa pertumbuhan bibit sagu di persemaian dipengaruhi oleh perlakuan sebelum persemaian, umur bibit, lama penyimpanan, curah hujan, sistem persemaian, bobot bibit dan jenis tanaman induk yang digunakan. Pinem, (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil percobaan dengan parameter pertumbuhan tunas, jumlah daun, luas daun, dan persentasi hidup, bibit dengan perlakuan persemaian kanal dengan bobot 4 kg menghasilkan pertumbuhan yang paling baik. Sedangkan Wibisono (2011), menyebutkan bahwa berdasarkan hasil percobaan dengan parameter pertumbuhan panjang petiol, jumlah daun, jumlah anak daun, dan persentasi kematian, bibit dengan perlakuan teknik persemaian rakit dari tanaman induk yang tidak berduri menghasilkan pertumbuhan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kajian mengenai pembibitan sagu dari aspek finansial diharapkan dapat melengkapi berbagai penelitian terdahulu terkait budidaya tanaman sagu.


(38)

Tabel 1. Hasil Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Tujuan Metode Analisis Hasil

1 Subkhie, et al. (2012) Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Ayam Pedaging dengan Pola Kemitraan di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor

a. Mengidentifikasi sistem manajemen usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokhpand Indonesia

b. Menganalisis kelayakan usaha dilihat dari aspek teknis, aspek finansial dan aspek

sensitivitasnya terhadap perubahan feed

convertion ratio (FCR) c. Menyusun strategi pola

kemitraan

a. Analisis teknis b. Analisis

keuangan c. Analisis SWOT

a. Analisis kelayakan

finansial usaha peternakan ayam dengan pola

kemitraan, dengan suku bunga 16%, dapat dikatakan layak dan dikembangkan, jika mencapai nilai FCR 1,5. b. Strategi hasil analisis

SWOT adalah

meningkatkan produktivitas untuk meningkatkan

keuntungan, meningkatkan efisiensi penggunaan sapronak, bersikap proaktif untuk menanggulangi permasalahan teknis, meningkatkan pengetahuan tentang penanganan penyakit, mengoptimalkan pemanfaatan sapronak, meningkatkan manajemen pemeliharaan sesuai standar dan meningkatkan

pengetahuan peternak mengenai manajemen pemeliharaan ayam yang


(39)

No Peneliti Judul Tujuan Metode Analisis Hasil baik.

2 Panjaitan J., et al (2012)

Strategi

Pengembangan Usaha Agroindustri Tepung Gandum di Gapoktan Gandum, Kabupaten Bandung a. Mengidentifikasi faktor-faktor strategik yang mempengaruhi usaha agroindustri tepung gandum

b. Menganalisis kelayakan usaha agroindustri tepung gandum

c. Menyusun strategi yang tepat dalam rangka pengembangan usaha agroindustri tepung gandum a. Analisis Deskriptif b. Analisis kelayakan usaha c. Analisis SWOT

a. Faktor kekuatan paling penting adalah mutu tepung gandum yang lebih baik, sedangkan faktor

kelemahan utama adalah bahan baku musiman. Faktor peluang paling penting adalah pasar yang potensial, sedangkan ancaman utama adalah perubahan cuaca dan iklim b. Berdasarkan analisa

finansial, usaha layak dijalankan

c. Alternatif strategik pada produksi yaitu melakukan perbaikan sarana,

peningkatan produksi, produktivitas dan pemanfaatan unit agroindustri untuk komoditas lain. Dalam SDM, yaitu aktif menjalin kerjasama dengan

stakeholder terkait. Dalam pemasaran, yaitu

membangun kemitraan


(40)

No Peneliti Judul Tujuan Metode Analisis Hasil dengan IKM. Dalam pengembangan, yaitu pengembangan produk olahan gandum dalam menghadapi fluktuasi harga.

3 Nainggolan, et. al (2011)

Kelayakan dan Strategi

Pengembangan Usaha Silo Jagung di Gapoktan Rido Manah Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung

a. Mengkaji kelayakan usaha pengembangan silo jagung di Gapoktan Rido Manah

b. Mengidentifikasi gaktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan usaha Silo Jagung di

Gapoktan Rido Manah c. Menentukan alternatif

strategi pengembangan usaha

a. Analisis

kelayakan usaha b. Analisis SWOT

a. Pengembangan usaha dengan meningkatkan kelembagaan petani b. Diharapkan peningkatan

peran pemerintah dalam pengembangan agribisnis jagung

c. Alternatif pengeringan biji-bijian untuk meningkatkan produktivitas Silo Jagung d. Perlu dilakukan kajian lain

sebagai pembanding, misalnya Silo yang dikelola oleh swasta

4 Andiyani, et. al

(2011) Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Kelompok Pembudidaya Ikan Melalui Program Replika Skim Modal

a. Mengidentifikasi pelaksanaan usaha KTIMJ sebagai penerima program SMK dari DKP b. Mengidentifikasi

pelaksanaan program SMK terhadap

a. Metode deskriptif b. Metode analisis

kelayakan usaha c. Metode analisis

SWOT

a. KPIMJ sebagai penerima program SMK telah melaksanakan program dengan baik

b. Mengimplementasikan strategi dengan cara membenahi pengelolaan usaha dan mengembangkan


(41)

No Peneliti Judul Tujuan Metode Analisis Hasil Kerja di Kelompok

Tani Ikan Mekar Jaya Lido, Bogor

keberhasilan KTIMJ c. Menganalisis kelayakan

usaha

d. Menyusun strategi pengembangan usaha yang tepat bagi pembudidaya ikan

kepengurusan saat ini c. Titik impas adalah 423 kg

ikan per periode panen atau Rp. 3.172

d. Alternatif strategi yaitu melakukan implementasi pada aspek manajerial skil 5 Friliyantin., et.

al (2011)

Strategi

Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil Sektor Wisata Bahari di Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara)

a. Mengidentifikasi usaha mikro dan kecil sektor wisata bahari di pulau kecil

b. Menganalisis

mekanisme pengelolaan usaha mikro dan kecil c. Menyusun strategi

pengembangan usaha mikro dan kecil

a. Analisis AHP a. Jenis usaha mikro, kecil dan menengah pendukung wisata bahari dikategorikan atas usaha mikro primer, usaha mikro sekunder dan usaha mikro tersier

b. Urutan skenario

pengelolaan wisata bahari adalah sebagai berikut: skenario optimis, skenario semi optimis, skenario pesimis, skenario semi pesimis

c. Strategi pengembangan didasarkan urutan sebagai berikut: faktor utama adalah sapras, aktor yang paling berperan adalah masyarakat, tujuan utama yang ingin dicapai adalah pemberdayaan masyarakat


(42)

No Peneliti Judul Tujuan Metode Analisis Hasil

pulau kecil sebagai upaya meningkatkan pendapatan masyarakat, dan alternatif strategi pada urutan pertama adalah

pemanfaatan pulau kecil sebagai objek usaha kecil sektor wisata bahari 6 Wibisono,

(2011)

Pengelolaan sagu (Metroxylon sagu rottb.) di PT National Sago Prima, Selat Panjang, Riau, dengan Studi Kasus Pengaruh Teknik Persemaian dan Jenis Tanaman Induk Terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu

a. Mempelajari teknik budidaya sagu

b. Meningkatkan

pengetahuan serta wawasan mengenai pengelolaan perkebunan secara teknis maupun manajerial

a. Metode langsung b. Metode tidak

langsung

a. PT. National Sago Prima menerapkan teknik persemaian bibit secara terapung pada kanal

(saluran air berukuran lebar 3 m dengan kedalaman 2 m).

b. Pertumbuhan bibit sagu di persemaian dipengaruhi oleh perlakuan sebelum persemaian, lama

penyimpanan bibit, teknik persemaian yang digunakan dan jenis tanaman induk. c. Berdasarkan hasil

percobaan dengan parameter pertumbuhan panjang petiol, jumlah daun, jumlah anak daun, dan persentasi kematian,


(43)

No Peneliti Judul Tujuan Metode Analisis Hasil

bibit dengan perlakuan teknik persemaian rakit dari tanaman induk yang tidak berduri menghasilkan pertumbuhan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain. 7 Pinem, (2008) Pengelolaan

Perkebunan Sagu (Metroxylon spp.) Di PT. National timber and Forest Product Unit HTI Murni Sagu,

Selatpanjang, Riau, dengan Studi Kasus Persemaian

Menggunakan Berbagai Media dan Bobot Bibit

a. Meningkatkan

pengetahuan dan ke-trampilan serta kemampuan teknis dan menejerial budidaya sagu.

a. Metode langsung b. Metode tidak

langsung

a. Pertumbuhan bibit sagu di persemaian dipengaruhi oleh perlakuan sebelum persemaian, umur bibit, lama penyimpanan, curah hujan, sistem persemaian dan bobot bibit.

b. Terdapat berbagai cara per-semaian yaitu perper-semaian kanal, lumpur dan polibeg. c. Berdasarkan hasil

percobaan dengan parameter pertumbuhan tunas, jumlah daun, luas daun, dan persentasi hidup, bibit dengan perlakuan persemaian kanal dengan bobot 4 kg menghasilkan pertumbuhan yang paling baik.


(44)

III. METODE KAJIAN

A. Kerangka Pemikiran Kajian

Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan rumusan strategi pengembangan usaha pembibitan sagu bagi PT Y yang melaksanakan kegiatan pembibitan sagu di lokasi kebun sagu milik PT X, sebagaimana disajikan dalam perumusan masalah di atas. Penelitian ini dilakukan melalui penghitungan kelayakan usaha dan menentukan strategi pengembangan usaha pembibitan sagu.

Analisis kelayakan usaha dilakukan untuk melihat kelayakan usaha pembibitan sagu melalui indikator-indikator kelayakan usaha, yaitu: NPV, PBP, IRR, PI dan BEP. Sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel.

Analisis terhadap pengembangan usaha pembibitan sagu dilakukan dengan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan (Rangkuti dalam Naingolan et al. 2011). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis SWOT diawali dengan menentukan dan mengolah matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation) berdasarkan hasil kuesioner yang telah diisi oleh para responden. Kemudian analisis dilanjutkan dengan memetakan skor total hasil pengolahan matriks IFE dan EFE di dalam Matriks Internal Eksternal. Selanjutnya menyusun alternatif-alternatif strategi melalui analisis SWOT. Kemudian untuk menentukan prioritas strategi yang akan dilaksanakan, maka digunakan analisis berdasarkan AHP (Analytical Hierarchy Process)menggunakan software Expert Choice. Langkah-langkah penelitian untuk pengembangan usaha pembibitan sagu ini disajikan dalam Gambar 3 berikut.


(45)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Kajian

B. Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan sekunder. Sumber-sumber data diuraikan sebagai berikut :

Kerjasama Pembibitan Sagu antara PT X (pemilik kebun) dan PT Y Memenuhi Kebutuhan

Tanaman Sagu Kebun X

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis SWOT

Pemilihan Strategi melalui AHP

Kelayakan Usaha

Prioritas Strategi

Menyusun Strategi Pengembangan Usaha

Analisis Kelayakan Usaha

Alternatif Strategi

Data Primer & Sekunder


(46)

1. Data primer

Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik individu atau perorangan. Data primer dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh secara langsung dari hasil wawancara dan observasi lapangan.

Teknik wawancara dilakukan dalam pengisian kuesioner. Terdapat dua jenis kuesioner yang digunakan, yaitu kuesioner SWOT (Lampiran 1) dan kuesioner AHP (Lampiran 2). Kuesioner SWOT digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal yang dimiliki oleh PT X (yang disebut juga usaha skala menengah/UKM). Sedangkan kuesioner AHP digunakan untuk memilih alternatif-alternatif strategi yang telah dihasilkan dari analisis SWOT berdasarkan faktor internal dan eksternal PT X. Observasi lapangan dilakukan guna mengetahui standar kinerja tenaga kerja di lapangan dan menangkap faktor-faktor eksternal dalam perumusan kuesioner SWOT.

Responden dipilih dengan metode purposive sampling, dimana responden untuk melengkapi kuesioner SWOT disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Responden SWOT

No Responden Jumlah (orang)

1 Pimpinan atau Manajer Pembibitan PT Y 1 2 Asisten pembibitan dan penanaman PT Y 1

3 Mandor pembibitan PT Y 1

4 Mandor penanaman PT Y 1

5 Mitra kerja PT Y, yaitu PT X 1

6 Supplier bibit PT Y 2

Jumlah 7

Untuk pemilihan strategi melalui metode AHP, kuesioner diisi oleh pihak yang dinilai memiliki keahlian manajerial sesuai dengan posisi dalam organisasi PT X. Daftar responden AHP disajikan dalam Tabel 3.


(47)

Tabel 3. Responden AHP

No Responden Jumlah (orang)

1 Pimpinan PT Y 1

2 Manajer Pembibitan PT Y 1

3 Asisten pembibitan dan penanaman PT Y 1

4 Mitra kerja PT Y, yaitu PT X 1

Jumlah 4

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber literatur, seperti laporan penelitian terdahulu, buku-buku, majalah, jurnal, dokumen lain yang telah dirilis secara resmi.

C. Pengolahan dan Analisis Data 1. Analisis Kelayakan

Ukuran kelayakan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup : NPV, PBP, IRR, PI dan BEP. Analisis kelayakan akan menguji apakah kegiatan pembibitan ini layak dilaksanakan dengan harga beli bibit hidup setelah umur 3 bulan tanam yang telah ditetapkan. Analisa kelayakan dilakukan dengan menyelesaikan persamaan sebagai berikut yang akan dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel:

a. NPV (Net Present Value)

dimana: Bt = penerimaan kas bersih tahun ke t Ct = biaya proyek tahun ke t

i = tingkat suku bunga n = umur proyek


(48)

b. PBP (Payback Period)

c. IRR (Internal Rate of Return)

dimana: i1 = tingkat bunga 1 (discount rate yang menghasilkan NPV1) i2 = tingkat bunga 2 (discount rate yang menghasilkan NPV2) NPV1 = net present value 1

NPV2 = net present value 2

d. PI (Profitability Index)

e. BEP (Break Event Point)

BEP (unit) = Biaya tetap : marjin kontribusi per unit

BEP (Rp) = Biaya tetap : {1-(biaya variabel : penjualan)}

2. Matriks EFE (External Factor Evaluation) dan IFE (Internal Factor Evaluation)

Matriks IFE (Tabel 4) digunakan untuk menganalisa faktor-faktor eksternal, mengklasifikasikannya menjadi peluang dan ancaman bagi perusahaan, kemudian dilakukan pembobotan.

Tabel 4. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Faktor Eksternal Bobot

(a)

Rating (b)

Skor (a x b) Peluang:

1. … 10.

Ancaman: 1.

… 10. Total


(49)

Matriks EFE (Tabel 5) digunakan untuk menganalisa faktor-faktor internal, mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan bagi perusahaan, kemudian dilakukan pembobotan.

Tabel 5. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal

Faktor Eksternal Bobot

(a)

Rating (b)

Skor (a x b) Kekuatan:

1. … 10.

Kelemahan: 1.

… 10. Total

Sumber: David (2002)

Tahap-tahap untuk mengidentifikasikan faktor-faktor eksternal dan internal dalam matriks EFE dan IFE adalah sebagai berikut:

a. Pada kolom pertama, tentukan faktor-faktor strategis eksternal yang menjadi peluang dan ancaman, serta faktor-faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan.

b. Pada kolom (b), berikan bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,00 (paling penting) sampai 0,00 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis perusahaan (keseluruhan bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00). c. Penentuan bobot setiap variabel dilakukan dengan cara mengajukan

identifikasi faktor strategis internal dan eksternal kepada pihak manajemen perusahaan dengan menggunakan metode paired wise comparison (Kinnear dan Taylor, 1991). Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Metode tersebut digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu internal dan eksternal. Untuk menentukan bobot setiap variabel


(50)

digunakan skala 1, 2 dan 3. Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah:

1 = jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 = jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal 3 = jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal

Indikator horizontal dan vertikal adalah variabel-variabel kekuatan dan kelemahan pada faktor strategis internal serta variabel-variabel peluang dan ancaman pada faktor eksternal. Metode ini membandingkan secara berpasangan antara dua faktor secara relatif berdasarkan kepentingan atau pengaruhnya terhadap usaha pembibitan sagu yang dilakukan oleh PT Y di lokasi perkebunan sagu PT X.

Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian tadi untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan terendah. Perbandingan berpasangan merupakan kuantifikasi hal-hal yang bersifat kualitatif, sehingga tidak semata-mata dengan pemberian bobot terhadap semua parameter secara simultan, tetapi dengan persepsi pembandingan atau perbandingan yang diskalakan secara berpasangan. Bentuk penilaian pembobotan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7 berikut.

Tabel 6. Penilaian Bobot Faktor Strategik Eksternal dengan Metode Perbandingan Berpasangan

Faktor Strategis Eksternal

F1 F2 F3 F4 ... Bobot

F1 F2 F3 F4 ...


(51)

Tabel 7. Penilaian Bobot Faktor Strategik Internal dengan Metode Perbandingan Berpasangan

Faktor Strategis Internal

F1 F2 F3 F4 ... Bobot

F1 F2 F3 F4 ...

Total

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus berikut (Kinnear dan taylor, 1991).

dimana:

ai = bobot variabel ke-i

xi = nilai variabel ke-i

i = 1, 2, 3, ... n

n = jumlah variabel

d. Pada kolom ketiga (b) matriks EFE dan IFE diberikan rating. Penentuan peringkat (rating) dilakukan oleh manajer atau pakar dari perusahaan terhadap variabel-variabel yang dihasilkan dari analisis situasi perusahaan. Pada EFE untuk menunjukkan seberapa efektif strategi perusahaan saat ini menjawab masing-masing variabel tersebut digunakan sesuai peringkat dengan menggunakan skala 1, 2, 3 dan 4.

Pemberian nilai peringkat pada matriks EFE untuk faktor peluang dan ancaman, yaitu:

1 = jawaban jelek 2 = jawaban rata-rata


(1)

127

(Lanjutan Lampiran 21)

Faktor

1 2 3 4 5 6 7Rata-rata

KEKUATAN

A. Kemampuan memperoleh bibit 0.0915 0.0819 0.0949 0.0881 0.0862 0.0842 0.0870 0.0877 B. Sumber daya manusia pendukung 0.1017 0.1068 0.0839 0.0847 0.0862 0.1053 0.0870 0.0936 C. Visi dan misi kerjasama pembibitan 0.0881 0.0783 0.0912 0.1017 0.0831 0.0912 0.0870 0.0887 D. Kemampuan keuangan perusahaan 0.0780 0.0569 0.0839 0.0847 0.0800 0.0632 0.0839 0.0758 E. Organisasi dan manajemen perusahaan 0.0847 0.0961 0.0949 0.0983 0.0862 0.0877 0.0870 0.0907 KELEMAHAN

F. Pengalaman melaksanakan pembibitan dan penanaman sagu 0.0949 0.0925 0.0803 0.0814 0.0862 0.0982 0.0870 0.0886 G. Kekuatan tawar (bargaining power) terhadap pemberi kerja 0.0814 0.0676 0.0766 0.0847 0.0708 0.0596 0.0714 0.0732 H. Teknik pembibitan 0.0712 0.0961 0.0949 0.0678 0.0892 0.0772 0.0932 0.0842 I. Teknik penanaman 0.0746 0.0961 0.0839 0.0678 0.0892 0.0807 0.0932 0.0836 J. Tingkat mortalitas yang tinggi di pembibitan dan penanaman 0.0678 0.0641 0.0620 0.0644 0.0738 0.0561 0.0559 0.0635 K. Komunikasi dan koordinasi di lapangan dengan PT X 0.0881 0.0925 0.0730 0.0881 0.0831 0.0947 0.0839 0.0862 L. Tingginya biaya operasional 0.0780 0.0712 0.0803 0.0881 0.0862 0.1018 0.0839 0.0842 Total 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000


(2)

128

Lampiran 22. Penghitungan Bobot Faktor Eksternal

Responden 1

FAKTOR A B C D E F G H I J TOTAL BOBOT

A 2 3 2 3 2 3 3 3 1 2 24 0.1154

B 1 2 2 3 3 3 3 3 2 2 24 0.1154

C 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1202

D 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 18 0.0865

E 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 18 0.0865

F 1 2 1 2 2 2 2 2 1 1 16 0.0769

G 1 2 1 1 2 2 2 2 2 2 17 0.0817

H 1 2 1 2 2 2 2 2 1 1 16 0.0769

I 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1202

J 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1202 208 1.0000

Responden 2

FAKTOR A B C D E F G H I J TOTAL BOBOT

A 2 3 2 3 2 3 3 3 1 3 25 0.1174

B 1 2 2 3 2 3 2 2 2 2 21 0.0986

C 2 3 2 3 3 3 3 3 1 3 26 0.1221

D 1 1 2 2 1 3 2 3 3 1 19 0.0892

E 1 2 2 3 2 3 2 2 3 2 22 0.1033

F 1 2 1 2 2 2 2 3 2 1 18 0.0845

G 1 1 1 3 2 3 2 3 3 1 20 0.0939

H 2 1 1 2 2 2 2 2 1 1 16 0.0751

I 3 2 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1174

J 3 2 2 3 2 2 1 3 1 2 21 0.0986 213 1.0000


(3)

129

(Lanjutan Lampiran 22)

Responden 3

FAKTOR A B C D E F G H I J TOTAL BOBOT

A 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1163

B 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 0.0930

C 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 24 0.1116

D 1 2 1 2 2 3 2 3 1 2 19 0.0884

E 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 0.0930

F 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 0.0930

G 2 1 1 3 2 3 2 3 3 1 21 0.0977

H 2 1 1 2 2 2 2 2 1 1 16 0.0744

I 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1163

J 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1163 215 1.0000

Responden 4

FAKTOR A B C D E F G H I J TOTAL BOBOT

A 2 2 2 2 2 2 1 3 3 2 21 0.1066

B 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 0.1015

C 2 3 2 2 2 2 1 2 2 3 21 0.1066

D 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 19 0.0964

E 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 0.1015

F 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 0.1015

G 1 3 3 2 3 2 2 3 1 3 23 0.1168

H 1 2 1 1 2 3 1 2 1 2 16 0.0812

I 2 2 1 2 3 3 1 3 2 3 22 0.1117

J 1 2 1 1 2 2 1 2 1 2 15 0.0761 197 1.0000


(4)

130

(Lanjutan Lampiran 22)

Responden 5

FAKTOR A B C D E F G H I J TOTAL BOBOT

A 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1190

B 1 2 1 3 2 3 3 3 2 2 22 0.1048

C 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 24 0.1143

D 1 2 1 2 2 3 2 3 1 2 19 0.0905

E 2 2 2 3 2 3 3 3 2 2 24 0.1143

F 1 2 1 2 1 2 2 2 1 1 15 0.0714

G 1 2 1 3 3 2 2 3 1 2 20 0.0952

H 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 13 0.0619

I 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 25 0.1190

J 2 3 2 3 2 3 2 2 2 2 23 0.1095 210 1.0000

Responden 6

FAKTOR A B C D E F G H I J TOTAL BOBOT

A 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 25 0.1152

B 1 2 1 3 3 2 3 2 2 2 21 0.0968

C 2 3 2 3 2 2 3 3 2 2 24 0.1106

D 1 2 1 2 1 2 1 2 2 2 16 0.0737

E 1 3 2 3 2 3 2 3 2 2 23 0.1060

F 1 2 1 2 2 2 2 2 1 2 17 0.0783

G 2 3 2 3 2 3 2 2 2 2 23 0.1060

H 1 2 1 3 2 3 2 2 2 2 20 0.0922

I 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 24 0.1106

J 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 24 0.1106 217 1.0000


(5)

131

(Lanjutan Lampiran 22)

Responden 7

FAKTOR A B C D E F G H I J TOTAL BOBOT

A 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 24 0.1154

B 1 2 1 3 2 3 2 2 1 2 19 0.0913

C 2 3 2 3 2 3 2 3 1 2 23 0.1106

D 1 2 1 2 2 2 2 2 1 1 16 0.0769

E 2 2 1 3 2 3 2 3 1 2 21 0.1010

F 1 2 1 2 2 2 2 2 1 2 17 0.0817

G 2 2 2 3 2 3 2 3 2 2 23 0.1106

H 1 2 1 2 3 2 2 2 1 1 17 0.0817

I 2 3 2 3 2 3 3 3 2 1 24 0.1154

J 2 3 2 3 2 3 3 3 1 2 24 0.1154 208 1.0000


(6)

132

(Lanjutan Lampiran 22)

Faktor

1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata

PELUANG

A. Sarana dan prasarana pendukung pembibitan dari PT X 0.1154 0.1174 0.1163 0.1066 0.1190 0.1152 0.1154 0.1150 B. Ketersediaan bibit sagu (in-house dan outsource) 0.1154 0.0986 0.0930 0.1015 0.1048 0.0968 0.0913 0.1002 C. Ketersediaan tenaga kerja 0.1202 0.1221 0.1116 0.1066 0.1143 0.1106 0.1106 0.1137 D. Kelancaran pembayaran pembibitan 0.0865 0.0892 0.0884 0.0964 0.0905 0.0737 0.0769 0.0860 E. Ketersediaan areal tanam baru dan tanam sisip 0.0865 0.1033 0.0930 0.1015 0.1143 0.1060 0.1010 0.1008 ANCAMAN

F. Harga pembelian bibit tertanam hidup setelah 3 bulan dari PT X 0.0769 0.0845 0.0930 0.1015 0.0714 0.0783 0.0817 0.0839 G. Kenaikan harga perolehan bibit dari toke setempat 0.0817 0.0939 0.0977 0.1168 0.0952 0.1060 0.1106 0.1003 H. Stabilitas dan kecukupan tinggi muka air di kebun 0.0769 0.0751 0.0744 0.0812 0.0619 0.0922 0.0817 0.0776 I. Kontraktor lain penyedia bibit 0.1202 0.1174 0.1163 0.1117 0.1190 0.1106 0.1154 0.1158 J. Musim kemarau 0.1202 0.0986 0.1163 0.0761 0.1095 0.1106 0.1154 0.1067 Total 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000