II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Sagu
Sagu Metroxylon sp. di duga berasal dari Maluku dan Irian. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal.
Di wilayah Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Irian Jaya.
Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan tanaman sagu yang paling maju saat ini adalah di Malaysia Deptan, 2008.
Tanaman Sagu dikenal dengan nama Kirai di Jawa Barat, bulung, kresula, bulu, rembulung, atau resula di Jawa Tengah; lapia atau napia di Ambon; tumba
di Gorontalo; Pogalu atau tabaro di Toraja; rambiam atau rabi di kepulauan Aru. Tanaman sagu masuk dalam Ordo Spadicflorae, Famili Palmae. Di kawasan Indo
Pasifik terdapat 5 marga genus Palmae yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Arenga, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang
banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan acinya cukup tinggi Deptan, 2008.
Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu: yang berbunga atau berbuah dua kali Pleonanthic dan berbunga atau
berbuah sekali Hapaxanthic yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena kandungan karbohidratnya lebih banyak Deptan, 2008. Golongan ini terdiri dari
5 varietas penting yaitu : a Metroxylon sagus, Rottbol atau sagu molat; b Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni; c Metroxylon rumphii, Martius
varietas Sylvestre Martius atau sagu ihur; d Metroxylon rumphii, Martius varietas Longispinum Martius atau sagu Makanaru; e Metroxylon rumphii,
Martius varietas Microcanthum Martius atau sagu Rotan.
1. Syarat Tumbuh
Daerah yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik air tanah berwarna
cokelat dan bereaksi agak masam. Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu.
Pada tanah-tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah, pertumbuhan tanaman sagu akan kurang baik. Selain itu, pertumbuhan
tanaman sagu juga dipengaruhi adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama fosfat, kalium dan magnesium. Akar napas sagu yang terendam terus
menerus akan menghambat pertumbuhan tanaman sagu, sehingga pembentukan pati dalam batang juga terhambat Haryanto dan Pangloli, 1992.
Sagu tumbuh di daerah-daerah rawa yang berair tawar, rawa yang bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air dan hutan-hutan rawa yang
kadar garamnya tidak terlalu tinggi Haryanto dan Pangloli, 1992. Di Papua dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan daerah yang luas.
Di Sumatera sagu banyak ditanam di daerah rawa-rawa yang membentang dari Propinsi Sumatera Selatan sampai Sumatera Utara melalui Jambi dan Riau. Sagu
dapat tumbuh dengan baik pada tanah vulkanik, podzolik merah kuning, grumusol, alluvial dan hidromofik Bintoro, 2008.
Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian sampai 400 meter di atas permukaan laut. Lebih dari 400 m dpl pertumbuhannya lambat dan
kadar patinya rendah. Pada ketinggian 600 m dpl, tinggi tanaman sagu sekitar 6 m. Tegakan sagu secara alamiah ditemukan sampai 1.000 m dpl Bintoro, 2008.
2. Jarak Tanam
Pohon sagu yang tumbuh secara alamiah biasanya memiliki jarak antar tanaman yang tidak teratur, sehingga kemungkinan akan terjadi kompetisi
terhadap air, unsur hara maupun cahaya diantara individu tanaman. Jarak tanam menentukan populasi tanaman dalam suatu luasan tertentu, sehingga pengaturan
yang baik dapat mengurangi terjadinya kompetisi terhadap faktor-faktor tumbuh tersebut. Melalui pengaturan jarak tanam yang tepat tingkat persaingan antara
sesama tanaman budidaya maupun persaingan antara tanaman budidaya dengan gulma dapat ditekan serendah mungkin.
Pengaturan jarak tanam berhubungan erat dengan kerapatan tanaman. Semakin rapat jarak tanam, persaingan untuk mendapatkan faktor tumbuh antar
tanaman semakin besar. Kerapatan tanaman mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman, karena keefisienan penggunaan cahaya matahari, sehingga
jarak tanam yang optimal menentukan besarnya produksi tanaman per satuan luas areal Harjadi, 1996.
Penanaman pada perkebunan sagu dikenal dengan sistem blok. Jarak tanam pada sistem blok bervariasi antara 8-10 meter, sehingga satu hektar
menampung ± 150 tanaman. Jarak tanam 8 m x 8 m dan 10 m x 10 m digunakan bila kebun akan ditanami sagu secara monokultur. Apabila jarak tanam yang
digunakan 10 m x 10 m dalam bentuk segi empat, maka populasi awal tanaman sagu adalah 100 tanamanha, tetapi apabila bentuk jarak tanamnya segi tiga sama
sisi, maka populasi awal tanaman sagu adalah 136 tanamanha. Apabila tanaman sagu akan ditumpangsarikan dengan tanaman lain, maka
dapat digunakan jarak tanam 10 m x 15 m. Selain itu, pola jarak tanam tersebut juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan ruang dalam pengaturan anakan sagu
dan pemanfaatan cahaya. Namun, jarak tanam yang terlalu lebar juga dapat mengakibatkan munculnya gulma. Bintoro 2008 menyatakan bahwa anakan
sagu dapat tumbuh pada ruang yang kosong sampai mendekati kanopi pohon. Untuk mendapatkan asli yang optimal, maka perlu dilakukan pengaturan jarak
tanam sehingga pola pertumbuhan dan kerapatan anakan sagu dapat optimal.
3. Pengendalian Gulma