Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Rusa Deer (Rusa timorensis) Based on Demographic Parameters : Study Case at Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve and Alas Purwo National Park

(1)

STUDI KASUS DI TAMAN WISATA ALAM / CAGAR ALAM

PANANJUNG PANGANDARAN DAN TAMAN NASIONAL

ALAS PURWO

ASTRI YULIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Rusa Timor (Rusa timorensis) Berdasarkan Parameter Demografi: Studi Kasus di Taman Wisata Alam / Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman Nasional Alas Purwo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2011

Astri Yuliawati NRP. E 351090051


(3)

ASTRI YULIAWATI. Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Rusa Deer (Rusa timorensis) Based on Demographic Parameters : Study Case at Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve and Alas Purwo National Park. Under direction of YANTO SANTOSA and ACHMAD MACHMUD THOHARI.

One of the main goals of conservation is to maintain and increase the population size. In order to conserve wildlife population, Minimum Viable Population (MVP) and Optimum Viable Population (OVP) for high utilized wild animal are needs to know. Rusa deer which protected by the conservation law have a great economic value. The aims of this study are to determine MVP and OVP of rusa deer to make do rusa deer benefit without intrude its population stability. Algebra linear equation system from matrix Leslie was used to determine MVP and density dependence Leslie matrix was used to determine the OVP. MVP size for rusa deer population in Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve is 97 individuals and for Alas Purwo National Park is 10.367 individuals. OVP size for rusa deer population in Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve is 751 individuals, and for Alas Purwo National Park is 21.682 individuals.


(4)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(5)

Lestari Rusa Timor (Rusa timorensis) Berdasarkan Parameter Demografi: Studi Kasus di Taman Wisata Alam / Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman Nasional Alas Purwo.

Nama : Astri Yuliawati

NRP : E 351090051

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Dr. Ir. A Machmud Thohari, DEA

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof. Dr. Ir.Ervizal.A.M Zuhud, MS Dr.Ir. Dahrul Syah M.Sc, Agr


(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia yang dilimpahkanNya sehingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister sains pada program studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi kuantitatif dengan judul Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Rusa Timor (Rusa timorensis) Berdasarkan Parameter Demografi : Studi Kasus di Taman Wisata Alam / Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman Nasional Alas Purwo. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam upaya konservasi dan sebagai acuan pengelolaan populasi rusa timor.

Bogor, November 2011


(7)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 30 juli 1985 dari pasangan

Bapak Prof. Dr. H. As’ari Djohar, MPd dan Ibu Dra. Hj. Iwa Pergiwati. Penulis

merupakan anak ke-tiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studinya di SMU Negeri 11 Bandung dan pada tahun yang sama penulis lulus dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di jurusan Biologi Universitas Padjadjaran Bandung.

Penulis bergabung dengan klub konservasi pecinta burung yaitu Bird Conservation Society (BICONS) dan banyak berkecimpung dalam kegiatan konservasi burung khususnya Raptor. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan Grant untuk mengikuti Simposium Raptor se-Asia yang diselenggarakan di Tam-Dao Nasional Park Vietnam dan mempresentasikan poster hasil penelitiannya

yang berjudul “Feeding behavior of Javan Hawk-Eagle (Spizaetus Bartelsi) in

Habituation Cage, Panaruban, Subang, West Java”.

Setelah menyelesaikan studinya di Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran pada tahun 2008, penulis mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor tahun 2009 dan diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika.


(8)

i

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Kegunaan Penelitian... 4

1.4. Kerangka Pemikiran... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Populasi Minimum Lestari... 7

2.1.1. Pengertian ... 7

2.1.2. Sejarah ... 7

2.1.3. Penentuan Populasi Minimum Lestari ... 8

2.2. Bio-ekologi Rusa Timor ... 10

2.2.1. Taksonomi dan Morfologi ... 10

2.2.2. Habitat ... 10

2.2.3. Distribusi……… 11

2.2.4. Status ... 12

2.2.5. Populasi ... 12

2.2.6. Reproduksi ... 13

2.2.7. Parameter Demografi ... 13

2.2.7.1. Natalitas ... 13

2.2.7.2. Mortalitas ... 14

2.2.7.3. Struktur Umur dan Sex Rasio ... 14

2.3. Penentuan Kelas Umur………... 16

2.4. Produktivitas Rumput ... 17

2.4.1. Pengukuran Produktivitas Padang Rumput ... 18

III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran 21 3.1.1. Letak, Luas, dan Status Kawasan ... 21

3.1.2. Keadaan Fisik Kawasan ... 21

3.1.2.1. Topografi ... 21

3.1.2.2. Geologi ... 21

3.1.2.3. Iklim ... 22

3.1.2.4. HIdrologi ... 22

3.1.3. Ekosistem ... 22

3.1.4. Flora ... 23

3.1.5. Fauna ... 23

3.1.6. Peta Kawasan ... 23


(9)

ii

3.2.2.2. Geologi ... 26

3.2.2.3. Iklim ... 26

3.2.2.4. Hidrologi ... 27

3.2.3. Ekosistem ... 28

3.2.4. Flora ... 29

3.2.5. Fauna ... 29

3.2.6. Peta Kawasan ... 30

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu ... 31

4.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 31

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 31

4.3.1. Pengumpulan Data Demografi Rusa ... 31

4.3.2. Laju Pertumbuhan ... 32

4.3.3. Pengumpulan Data Produktivitas Pakan ... 33

4.3.4. Suhu Udara, Kelembaban, dan Curah Hujan ... 34

4.4. Analisis Data 4.4.1.Ukuran Populasi ... 35

4.4.2.Struktur Umur dan Sex Rasio ... 35

4.4.3.Peluang hidup ... 35

4.4.4.Fekunditas dan breeding age ... 36

4.4.5.Produktivitas Pakan ... 36

4.4.6.Daya Dukung ... 37

4.4.7.Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 37

4.4.8.Ukuran Populasi Optimum Lestari... 38

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor ... 41

5.2. Struktur Umur dan Sex Rasio ... 42

5.3. Peluang Hidup ... 45

5.4. Fekunditas ... 48

5.5. Produksi Pakan dan Daya Dukung ... 49

5.6. Suhu Udara, Kelembaban, dan Curah Hujan ... 52

5.7. Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 53

5.8. Ukuran Populasi Optimum Lestari... 54

5.9. Pertumbuhan Populasi ... 55

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 59

6.2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(10)

iii

1. Ukuran Parameter Demografi Rusa Timor berdasarkan Beberapa Penelitian

……… 16

2. Kriteria Keausan Gigi Pada Rusa Sebagai Dasar Pendugaan Umur……….. 17

3. Gambar Rusa Timor Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas Umur…...…... 33

4. Ukuran Populasi Rusa Timor………. 41

5. Struktur Umur dan Sex Rasio……… 42

6. Peluang Hidup Rusa Timor……… 47

7. Fekunditas Rusa Timor……….. 48

8. Produktivitas Pakan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran……… 50

9. Suhu Udara, Kelembaban, dan Curah Hujan Lokasi Penelitian……… 52


(11)

iv

1. Kerangka Pemikiran Penelitian……….……... 5

2. Peta Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran……… 23

3. Peta Zonasi Taman Nasional Alas Purwo……….. 30

4. Struktur Umur Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran……. 43

5. Struktur Umur Rusa Timor di TN Alas Purwo………... 44

6. Kurva Survivorship……… 45

7. Grafik Peluang Hidup Rusa Timor……… 46

8. Penyimpangan Perilaku Makan Rusa Timor………. 47

9. Invasi Semak di Padang Penggembalaan Badeto, Nanggorak dan Cikamal.. 51

10.Grafik Selisih Populasi Rusa Timor Pertahun di TWA dan CA Pananjung Pangandaran………... 54

11.Grafik Selisih Populasi Rusa Timor Pertahun di TN Alas Purwo…………. 55

12.Pertumbuhan Populasi Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran………... 56


(12)

v

1. Perhitungan Ukuran Populasi Minimum Lestari……….65 2. Contoh Matriks Leslie Terpaut Kepadatan……….71


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Kerusakan dan hilangnya habitat, perburuan liar, dan bencana alam mengakibatkan berkurangnya populasi satwa liar di alam. Tujuan utama dari konservasi adalah untuk mengurangi dan mencegah pengurangan populasi tersebut agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Indrawan 2007, Alikodra 1990). Upaya konservasi dapat dilakukan dengan melakukan pengelolaan pada populasi satwa liar, karena kepunahan dan kelestarian ditentukan oleh ukuran populasi (Reed 2002, Soulé 1987). Dalam pengelolaan populasi diperlukan informasi mengenai populasi aktual dan populasi target yang harus dicapai. Ukuran populasi minimum lestari merupakan ukuran populasi yang menjadi target dari upaya konservasi (Shaffer 1981, Gilpin 1986, Soulé 1987). Populasi minimum lestari yang lebih dikenal dengan istilah MVP (Minimum Viable Population) adalah jumlah individu minimum yang dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang (Soulé 1987). Menurut Shaffer (1981) MVP adalah populasi terkecil yang terisolasi yang mempunyai kemungkinan 99% untuk bertahan hidup atau lestari selama 1000 tahun setelah mendapatkan pengaruh demografi, lingkungan, genetik, dan juga bencana alam. Sedangkan menurut Reed (2000) MVP adalah populasi terkecil dari suatu spesies yang mempunyai kemungkinan 99% untuk tetap ada selama 40 generasi. Selama ini upaya konservasi banyak dilakukan tanpa mengetahui target yang jelas untuk dicapai. Dengan diketahuinya ukuran minimum populasi lestari, diharapkan langkah yang diambil dalam konservasi dapat dilakukan dengan lebih efisien.

Populasi minimum lestari juga dibutuhkan untuk penentuan status kelangkaan dari suatu satwaliar (Harcourt 2002, IUCN 2000). Satwa liar dapat dikatakan terancam punah bila populasinya dibawah ukuran populasi minimum lestari. Selain itu, populasi minimum lestari berperan penting dalam penentuan kuota tangkap satwaliar (Kusmardiastuti 2010). Kuota tangkap


(14)

dapat ditentukan dari selisih populasi aktual dengan populasi minimum lestari (Kusmardiastuti 2010).

Selain ukuran populasi minimum lestari, ukuran populasi optimum lestari juga penting untuk dikaji. Populasi optimum lestari merupakan kondisi dimana pada ukuran populasi tersebut laju pertumbuhan populasi akan maksimal. Dengan laju pertumbuhan maksimal, populasi akan bertambah dengan cepat, sehingga pemanenan dapat dilakukan tanpa mengganggu keseimbangan populasi (Knox et al. 2005). Ukuran populasi optimum berada di antara ukuran populasi minimum lestari dengan daya dukung yang ada (Erlich 1994). Informasi mengenai ukuran populasi optimum lestari ini sangat dibutuhkan dalam pengelolaan satwaliar yang dimanfaatkan. Salah satu satwaliar yang berpotensi untuk dimanfaatkan adalah rusa timor (Garsetiasih 2007).

Rusa timor yang memiliki nama ilmiah (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu satwa liar Indonesia yang mempunyai banyak manfaat dan nilai ekonomi yang tinggi. Rusa dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging, kulit dan tanduk. Tanduk muda (velvet) yang sudah dikeringkan harganya dapat mencapai US$ 100 per kg dan harga daging rusa di Malaysia RM 30/kg (Semiadi 2002). Besarnya potensi yang dimiliki rusa tidak dapat begitu saja dimanfaatkan oleh manusia. Sejak zaman penjajahan Belanda rusa timor dilindungi oleh ordonansi dan Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar No. 134 dan 266 tahun 1931 (Semiadi 2004). Undang-Undang ini merupakan upaya perlindungan pemerintah untuk mencegah kepunahan jenis-jenis rusa yang ada di Indonesia. Adanya undang undang perlindungan terhadap rusa timor ini tidak serta merta menjamin kelestarian populasi rusa timor di Indonesia. Populasi rusa timor tetap menurun dengan laju penurunan populasi 10% pada setiap generasi (IUCN 2010). Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan populasi bagi rusa timor, agar rusa timor dapat lestari untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan ukuran populasi minimum lestari rusa timor agar kelestariannya terjaga sampai jangka waktu tertentu, dan untuk menentukan ukuran populasi optimum lestari sebagai target agar


(15)

rusa timor dapat dimanfaatkan dengan lestari di masa yang akan datang. Populasi minimum lestari untuk rusa timor belum pernah dikaji sebelumnya. Sama halnya dengan kerabatnya White-tailed deer. Mandujano (2009) menggunakan ukuran populasi minimum lestari untuk White-tailed deer di Mexico yang mengacu pada pernyataan Franklin yaitu 500-5000 individu untuk hewan vertebrata. Angka tersebut terlalu umum, padahal setiap spesies memiliki parameter demografi yang berbeda-beda. Begitu juga dalam satu spesies, setiap kelas umur memiliki peluang hidup yang berbeda-beda sehingga akan memiliki ukuran populasi minimum lestari yang berbeda. Oleh karena itu dalam penelitian ini ukuran populasi minimum lestari dan ukuran populasi optimum lestari akan ditentukan pada setiap kelas umur.

Penentuan Populasi minimum lestari dapat dilakukan dengan dua konsep yaitu konsep genetik dan demografi (Ewens et al. 1995, Lande 1988). Konsep yang digunakan dalam penentuan ukuran populasi minimum dan optimum lestari pada penelitian ini adalah konsep parameter demografi. Parameter demografi pada suatu populasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga pada populasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda kemungkinan memiliki ukuran populasi minimum dan optimum lestari yang berbeda pula. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi dengan tipe iklim yang berbeda, yakni di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran dengan tipe iklim B (Basah), dan di Taman Nasional Alas Purwo dengan tipe iklim C (Agak Basah) dan D (Sedang). Dengan perbedaan tipe iklim di kedua lokasi diharapkan memiliki parameter demografi yang berbeda, sehingga dapat dilihat ada tidaknya perbedaan ukuran populasi minimum dan optimum lestari di kedua lokasi penelitian.

1.2.Tujuan

1. Menentukan ukuran populasi minimum lestari rusa timor pada setiap kelas umur.

2. Menentukan ukuran populasi optimum lestari rusa timor pada setiap kelas umur.


(16)

1.3.Kegunaan

Hasil penghitungan ukuran populasi minimum lestari ini diharapkan dapat dijadikan target pengelolaan rusa timor sehingga kelestariannya terjaga. Ukuran populasi optimum yang dihitung diharapkan menjadi target berikutnya dalam pengelolaan rusa timor, agar rusa timor dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk penentuan kuota tangkap dan acuan waktu pemanenan rusa timor di kedua lokasi penelitian.

1.4.Kerangka Pemikiran

Ukuran populasi ditentukan oleh empat parameter populasi yaitu: kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi (Krebs 1994). Populasi minimum lestari merupakan jumlah individu minimum yang dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang (Soulé 1987). Suatu populasi dikatakan lestari apabila setidaknya ukuran populasi pada jangka waktu tertentu sama dengan ukuran populasi awal. Dengan kata lain jumlah individu yang lahir (kelahiran) sama dengan jumlah individu yang mati.

Angka kelahiran diperoleh dari jumlah induk betina produktif dikalikan dengan kemampuan induk betina produktif untuk menghasilkan keturunan dalam satu periode kelahiran (fekunditas) (Krebs 1994). Sedangkan kematian diperoleh dari jumlah individu dikalikan dengan 1 – peluang hidup. Berdasarkan pemikiran di atas ukuran populasi minimum lestari hanya ditentukan oleh dua parameter populasi yaitu fekunditas dan peluang hidup. Ukuran populasi minimum lestari ditentukan berdasarkan kondisi dimana populasi awal (No) sama dengan populasi jangka waktu tertentu (Nt). Kondisi tersebut yang menjadi dasar dari persamaan aljabar linear dari matriks Leslie tidak terpaut kepadatan yang telah dimodifikasi untuk mendapatkan ukuran populasi pada setiap kelas umur.


(17)

Ukuran populasi akan optimum pada saat laju pertumbuhan populasi maksimum. Laju pertumbuhan maksimum didapatkan dari selisih terbesar populasi awal dengan populasi akhir pada jangka waktu yang sama. Hasil simulasi pertumbuhan dengan matriks Leslie terpaut kepadatan disajikan dalam bentuk grafik. Secara garis besar kerangka pemikiran penelitian ini tersaji pada Gambar diagram berikut ini:

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari dan Ukuran Populasi Optimum Lestari Rusa Timor Berdasarkan Parameter Demografi.

Identifikasi Parameter demografi penentu ukuran populasi

minimum lestari

Menentukan populasi minimum lestari dengan

System Aljabar Linear dari Matriks Leslie

populasi awal, fekunditas, peluang

hidup, sex rasio, breeding age.

Output: Ukuran Populasi Minimum

Lestari Per Kelas Umur

Menentukan laju pertumbuhan maksimal

dengan simulasi Matriks Leslie

Ukuran Populasi Optimum Lestari

Daya Dukung


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Populasi Minimum Lestari

2.1.1. Pengertian

Ukuran populasi minimum lestari yang lebih dikenal dengan Minimum viable population (MVP) menyatakan ambang batas ukuran populasi suatu spesies dalam satuan individu yang memastikan bahwa populasi tersebut akan terus bertahan hidup sampai jangka waktu tertentu (Rai 2003). Shaffer (1981) mendevinisikan MVP untuk berbagai jenis spesies yang terdapat di setiap habitat sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang mempunyai kemungkinan 99% untuk bertahan hidup atau lestari selama 1000 tahun setelah mendapatkan pengaruh demografi, lingkungan, genetik, dan juga bencana alam. Sedangkan menurut Reed (2000) MVP adalah populasi terkecil dari suatu spesies yang mempunyai kemungkinan 99% untuk tetap ada selama 40 generasi.

2.1.2. Sejarah

Konsep MVP (Minimum Viable Population), pertama kali di cetuskan oleh Shaffer pada tahun 1981, MVP telah mendapatkan perhatian yang lebih dalam bidang konservasi biologi. Genetik dan proses evolusi menjadi salah satu panduan untuk memprediksi populasi minimum agar suatu spesies dapat bertahan hidup. Untuk menghindari tekanan inbreeding dalam jangka waktu yang pendek, Franklin (1980) mengajukan bahwa ukuran minimal populasi yang efektif adalah tidak kurang dari 50 individu, berdasarkan teori ukuran minimum inbreeding 1% pada setiap generasi. Ukuran inbreeding ini telah dipertimbangkan dengan toleransi untuk banyak spesies hewan domestik yang dikondisikan pada lingkungan yang tidak berbahaya (Franklin 1980).

Beberapa peneliti berpendapat bahwa lebih penting menentukan nilai populasi efektif (Ne) dibandingkan dengan menentukan nilai MVP (Franklin 1980). Franklin (1980) mengusulkan 50/500 agar digunakan oleh para praktisi konservasi, dimana nilai populasi efektif dibutuhkan untuk mencegah


(19)

laju inbreeding yang tidak dapat diterima, sedangkan laju populasi efektif 500 diperlukan untuk menjaga keseluruhan varietas genetik dalam jangka waktu yang panjang. Dari pandangan populasi genetik, nilai perkiraan populasi efektif sebanyak 50 individu merupakan pencegahan dari tekanan inbreeding, 12 sampai 1000 untuk menghindari akumulasi mutasi yang dapat menghilangkan beberapa varietas gen, dan 500-5000 untuk menahan potensi evolusioner (Frankham 2002). Berdasarkan rata-rata nilai populasi efektif yang dibagi dengan nilai populasi secara kasar, bernilai sekitar 0,100 atau 10 % maka kita harus mempunyai 500 individu dari 5000 individu yang di sensus (Frankham 2002).

2.1.3. Penentuan Populasi Minimum Lestari

Terdapat dua konsep dalam menentukan ukuran populasi minimum lestari yaitu konsep genetik dan demografi (Ewens et al. 1995 Lande 1988). Konsep genetik menekankan pada laju kehilangan variasi genetik dari suatu populasi termasuk didalamnya penurunan fitness dan genetic drift. Konsep demografi lebih menitik beratkan pada kemungkinan terjadinya kepunahan populasi akibat dari tekanan demografi. Dalam penentuan ukuran populasi minimum lestari, terdapat beberapa metode dan perangkat lunak yang dapat memudahkan penghitungannya, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. STOCHMVP

Salah satu penelitian yang menggunakan perangkat lunak ini adalah penelitian tentang MVP pada kupu-kupu Bay checkerspot yang dilakukan oleh Campbell tahun 2002. Campbell menggunakan program modeling STOCHMVP untuk menentukan nilai MVP kupu-kupu tersebut. Data yang digunakan merupakan data populasi tahunan.

2. VORTEX

VORTEX merupakan perangkat lunak yang paling sering digunakan oleh para peneliti untuk menentukan ukuran populasi minimum lestari. Berikut ini adalah beberapa penelitian penentuan ukuran populasi


(20)

minimum lestari yang telah dilakukan: Brito et al. (2002) menentukan nilai MVP dan status konservasi pada Trinomys eliasi. Penentuan nilai minimum viable population dengan menggunakan program VORTEX juga dilakukan oleh Grimm (2000) dalam penelitiannya mengenai penentuan nilai MVP capercaillie Tetrao urogallus dan Champman (2001) dalam penelitiannya yang berjudul Population viability analyses on a cycling population: a cautionary tale. Bachmayr (2004) menggunakan simulasi model populasi stokastik dengan VORTEX untuk mengidentifikasi variabel kunci yang mempengaruhi nilai ambang batas dalam dinamika populasi, untuk menduga resiko kepunahan, dan untuk mengoptimalisasi manajemen dengan membandingkan parameter model dengan data populasi yang ada.

3. RAMAS

Mandujano (2008) menghitung MVP untuk Mexican mantled howler monkeys Alouatta palliata Mexicana. Analisis menggunakan model populasi stokastik dengan menggunakan software RAMAS/Metapop untuk mengevaluasi peranan parameter demografi dalam pertumbuhan populasi dan untuk mensimulasi tren kelompok dan kemungkinan kepunahan lokal dari Mexican mantled howler monkeys Alouatta palliata mexicana di Los Tuxtlas, Mexico, dalam dua skenario landscape yakni populasi yang terisolasi (IPS) dan populasi yang terfragmentasi atau meta populasi (MPS). Baik pada simulasi IPS maupun MPS peluang kepunahan secara eksponensial tergantung pada ukuran fragmentasi. Perkiraan 60 % kepunahan di perkirakan akan terjadi pada ukuran fragmentasi yang kurang dari 15 ha. Simulasi ini menunjukan kemungkinan perubahan populasi pada MPS lebih rendah dari IPS.

4. Matriks Leslie.

Matriks Leslie biasa digunakan dalam menentukan ukuran populasi secara kontinue di masa yang akan datang. Wielgus (2001) menggunakan matrik Leslie untuk mengetahui waktu kepunahan pada Grizzly bear.


(21)

Data yang digunakan merupakan data set populasi dari penelitian sebelumnya. MVP ditentukan dengan cara mensimulasikan populasi awal. Surya (2010) menggunakan matriks Leslie sebagai dasar dari penentuan ukuran populasi minimum lestari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Matriks Leslie di jabarkan dengan system aljabar untuk mendapatkan ukuran populasi minimum lestari.

2.2.Bio-ekologi Rusa Timor

2.2.1. Taksonomi dan Morfologi

Rusa termasuk satwa ruminansia dari bangsa Artiodactyla, suku Cervidae, dengan anggota 17 marga, 42 jenis dan 196 anak jenis ( Baillie et al. 1996, Timmins et al. 1998, Whitehead 1993 dalam Semiadi 2006). Rusa Timor diklasifikasikan ke dalam Phylum Chordata, Sub phylum Vertebrata, Class Mamalia, Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Family Cervidae, Genus Rusa, dan Spesies Rusa timorensis de Blainville 1822.

Rusa Timor memiliki ukuran tubuh sekitar 50 – 60 % lebih kecil dibandingkan dengan rusa sambar (Semiadi 2006). Rusa Jantan memiliki tanduk yang bercabang yang disebut rangga, dengan panjang dua kali panjang kepalanya (Schroder 1976 dalam Mukhtar 1996). Rangga rusa jantan dewasa biasanya memiliki tiga buah cabang runcing. Rusa jantan memiliki warna bulu coklat keabu-abuan dan pada jantan sering kali memiliki warna yang lebih gelap (Semiadi 2006). Ekor relatif panjang dengan bulu yang tidak terlalu panjang (Anderson 1984 dalam Semiadi 2006). Perut berwarna lebih terang daripada punggung. Ketiak, pangkal paha, dan bagian dalam dari telinga berwarna putih kekuningan.

2.2.2. Habitat

Habitat alami rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat beristirahat, kawin, dan menghindarkan diri dari predator. Hutan sampai ketinggian 2.600 meter dpl dengan padang


(22)

rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis (Garsetiasih 2007). Whitten et al. (1996) dalam Semiadi (2006) menyatakan bahwa habitat utama untuk rusa timor adalah kawasan savana. Di daerah yang sering terkena kebakaran akan dijumpai banyak rusa timor yang “turun gunung” guna merumput tanaman muda dan menjilati abu sisa pembakaran sebagai sumber mineral. Rusa timor dapat dijumpai dengan mudah di daerah hutan terbuka hingga ketinggian 2600 m dpl (Semiadi 2006). Diluar habitat aslinya, Rusa timor dapat hidup hingga daerah bersalju (Inggris), walau hanya dalam jumlah populasi yang terbatas (Whitehead 1993 dalam Semiadi 2006).

2.2.3. Distribusi

Groves dan Grubb (1987) dalam Semiadi (2006) meyakini bahwa rusa timor yang berada di Sulawesi dan Pulau Timor merupakan rusa yang berasal dari Pulau Jawa dan Bali, yang mencapai Pulau tersebut baik dengan adanya campur tangan manusia maupun menyebrang secara berenang, khususnya untuk rusa yang berada di daerah Nusa Tenggara.Van mourik dan Stelmasiak (1986) dalam Semiadi (2006) mempunyai keyakinan bahwa cikal bakal rusa timor dan anak jenisnya dimulai dari daratan Cina. Pada saat perubahan iklim dunia di masa Holocene, terjadilah migrasi pertama yang dimulai ke daerah Kalimantan dan Jawa. Penelitian menunjukan bahwa di awal era Pleistocene di Taiwan pernah hidup jenis rusa timor.

Penyebaran rusa timor diluar habitat asli:

Rusa timor pernah dilepaskan di daerah Banjarmasin pada tahun 1680 dan berkembang dengan baik (Whitehead 1993 dalam Semiadi 2006) namun catatan resmi mengenai keberadaan rusa tersebut saat ini tidak diketahui. Pelepasan secara tidak sengaja di daerah Kabupaten Penajam Paser Utara (Kaltim) diyakini juga terjadi pada anak jenis rusa timor asal NTT pada tahun 1980. Sekitar tahun 1855 rusa timor dari Pulau Seram pernah didatangkan ke Kepulauan Aru (Nootebom 1996 dalam Semiadi


(23)

2006). Pelepasan rusa timor di daerah Taman Nasional Wasur dilakukan pada tahun 1928an dan telah berkembang pesat (Semiadi 2006).

2.2.4. Status

Rusa timor (Rusa timorensis) atau biasa disebut dengan rusa jawa masih umum berada di tempat-tempat asalnya yang terbatas. Tetapi rusa timor di tetapkan sebagai spesies yang masuk dalam kategori Vulnerable (C1) karena pada populasi aslinya total individu dewasa kurang dari 10.000 individu dengan perkiraan penurunan populasi terus bertambah 10% pada setiap generasi akibat dari hilangnya habitat, rusaknya habitat dan perburuan liar. (IUCN 2010).

2.2.5. Populasi

Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies pada suatu waktu tertentu dan menghuni suatu wilyah atau tata ruang tertentu (Tarumingkeng 1994). Alikodra (1990) mengartikan populasi sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu – individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya.

Ukuran populasi rusa timor telah banyak dikaji di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan penelitian Kangiras 2009 populasi rusa timor di TWA dan CA Panajung Pangandaran tahun 2009 adalah 73 ekor dengan komposisi 8 ekor anak, 11 ekor muda, dan 53 ekor dewasa. Ukuran populasi rusa timor di Taman Nasional Alas Purwo pada tahun 2006 diperkirakan sebanyak 7.992 ekor (Santosa 2008). Menurut penelitian

Masy’ud (2007) ukuran populasi rusa timor di Taman Nasional Bali Barat

adalah 1.321 ekor. Populasi rusa timor di Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua, dilaporkan telah berkembang sangat pesat sehingga menjadi hama bagi keseimbangan ekosistem setempat (Semiadi 2006).


(24)

2.2.6. Reproduksi

Dilihat dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa liar yang produktif, masa reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun sampai 12 tahun, rusa dapat bertahan hidup antara umur 15-20 tahun (Garsetiasih 2007). Semiadi (2006) menyatakan bahwa rusa timor yang terdapat di Pulau Jawa (Cervus timorensis russa) secara alami memiliki umur sampai dengan 17 tahun. Anak rusa umur 4 bulan dapat mencapai bobot badan 17,35 kg untuk jantan dan 16,15 kg betina. Rusa pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat bereproduksi, dengan lama bunting antara 7,5 bulan sampai 8,3 bulan. Bila ditangani secara intensif satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting lagi, terutama bila dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan, sedangkan umur sapih anak rusa secara alami yaitu 4 bulan. Setiap tahun rusa dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor (Garsetiasih 2007).

2.2.7. Parameter Demografi

2.2.7.1. Natalitas

Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu dan angka kelahiran spesifik yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran ditentukan oleh faktor-faktor : (1) perbandingan komposisi kelamin, (2) umur termuda dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 1990).


(25)

Laju natalitas rusa timor di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panajung Pangandaran adalah 3,83% (Kangiras 2009). Tidak jauh berbeda dengan laju natalitas rusa timor di Pangandaran, laju natalitas di penangkaran semi intensif HP Darmaga adalah 3,3% (Kwatrina 2009).

2.2.7.2. Mortalitas

Ukuran populasi berkurang karena laju mortalitas. Kematian satwa liar dapat disebabkan oleh keadaan alam, kecelakaan, perekelahian dan aktivitas manusia. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu, dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu (Alikodra 1990).

Laju Mortalitas rusa timor di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panajung Pangandaran adalah 2,97% (Kangiras 2009). berbeda dengan laju mortalitas rusa timor di Pangandaran, laju natalitas di penangkaran semi intensif Hutan Penelitian Darmaga adalah 0,15% (Kwatrina 2009). Laju Kematian atau laju mortalitas lebih besar di alam di bandingkan dengan di penangkaran.

2.2.7.3. Struktur Umur dan Sex rasio

Struktur umur berbeda-beda pada setiap populasi, struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangabiakan satwa liar. Menurut Alikodra (1990), struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari setiap populasi. secara garis besar struktur umur pada populasi dapat digolongkan dalam tiga struktur (Tarumingkeng 1994) yaitu :

1. Struktur umur menurun yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur yang sangat muda dan muda,


(26)

paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi tersebut terus menurun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu.

2. Struktur umur stabil, bentuk piramida sama sisi, dengan sisi-sisi yang kemiringannya mengikuti garis lurus.

3. Struktur umur meningkat dengan populasi yang terus meningkat, merupakan piramida dengan sisi-sisi yang cekung dengan dasar yang lebar.

Sedangkan Van Laviren (1982) dalam Alikodra (1990) menggolongkan struktur umur populasi pada 4 struktur yaitu:

1. Struktur umur dalam keadaan populasi yang seimbang, yaitu natalitas dan mortalitas yang relatif seimbang.

2. Struktur umur dalam keadaan populasi yang mundur yaitu natalitas mengalami penurunan.

3. Struktur umur dalam keadaan populasi yng berkembang, yaitu natalitas mengalami peningkatan.

4. Struktur umur dalam keadaan mengalami gangguan sehingga terjadi kematian yang tinggi pada kelas umur tertentu.

Seks ratio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi (Alikodra 1990). Berdasarkan penelitian Kangiras (2009) sex rasio jantan:betina di TWA/CA Pananjung Pangandaran pada setiap kelas umur rusa timor adalah 1:2. Di dalam penangkaran rusa, dianjurkan jumlah betina lebih banyak dibanding jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini empat ekor betina (Garsetiasih 2007).

Ringkasan ukuran parameter demografi rusa timor berdasarkan beberapa penelitian disajikan pada Tabel 2.1 berikut ini:


(27)

Tabel 2.1. Ukuran Parameter Demografi Rusa Timor Berdasarkan Beberapa Penelitian.

Parameter Demografi

Ukuran Parameter Demografi TWA/CA P.Pangandaran (Kangiras 2009) Penangkaran (Takandjandji, 1993 dalam Garsetiasih 2007) Penangkaran Darmaga (Kwatrina 2009) Penangkaran (Garsetiasih 2007)

Natalitas 3,83% 96,07% 3,3% - Mortalitas 2,97% !7,25% 0,15% -

Umur pubertas - Mulai 8 bulan; 8,1

bulan

- 1,5 -12 tahun

Siklus berahi - 20 hari - -

Lama berahi - 2 hari - -

Umur

perkawinan rusa dara

- 12 bulan; 15,2

bulan

- -

Musim kawin - Januari - -

Musim melahirkan

- September - -

Lama bunting - 8,3 bulan - 7,5-8,3 bulan

Jumlah anak per kelahiran

1 1 ekor - -

Umur penyapihan

- 4 bulan - 4 bulan

Ratio seks 1:2 1:2 - 1:4

2.3. Penentuan Kelas Umur

Penentuan umur rusa timor dapat dilakukan dengan pengamatan pola keausan gigi, susunan geligi dan pertumbuhan rangga pada rusa jantan. Namun penentuan umur rusa berdasakan pertumbuhan rangga hanya efektif untuk menduga umur dibawah dua tahun saja, sedangkan susunan geligi hanya dapat dipakai hingga umur 3 tahun saja (Semiadi 2006). Oleh karena itu pengamatan pola keausan gigi lebih sering digunakan dalam mendapatkan pekiraan umur secara kasar. Pengamatan keausan gigi dibagi menjadi beberapa criteria (Tabel 2.2).

Pengelompokan kelas umur pada beberapa penelitian berbeda beda sesuai dengan dasar dan tujuan penelitiannya (Mukhtar 1996). Ada yang menggolongkan ke dalam tiga kelas umur maupun empat kelas umur. Identifikasi umur satwa liar di lapangan mengalami banyak kesulitan, oleh karena itu penentuan kelas umur dapat ditentukan hanya berdasarkan morfologi dan perilaku satwa dilapangan.


(28)

Tabel 2.2. Kriteria keausan gigi pada rusa sebagai dasar pendugaan umur

Umur (tahun) M1 M2 M3

3 + - -

5 ++ + -

9 +++ ++ +

12 (0)Atau +++ +++ ++

15 0 atau (0) +++ ++

20 000 00 +++

Sumber: Van Bemmel (1949) dalam Mukhtar (1996) Keterangan:

M1, M2, M3 = gigi geraham atas

= belum dipakai

+ = pemakaian sedikit ++ = pemakaian sedang +++ = pemakaian tinggi

0 = dentin (gigi bagian dala bawah kepala gigi) seperti sabit bagian depan hilang atau hampit hilang (0)

00 = dentin yang seperti sabit pada bagian depan dan belakang hilang

000 = permukaan kepala gigi sepenuhnya pemakaiannya turun, datar dan halus.

Perilaku anak pada rusa timor, biasanya selalu mengikuti induknya atau bergerak disekitar induknya, sedangkan pada individu remaja sudah tidak lagi bergabung dengan induk, namun berkelompok dengan rusa remaja lainnya. Individu dewasa biasanya bergabung membentuk kelompok kecil dengan betina dewasa lainnya dan anak anak mereka. Namun ukuran kelompok tidak terlalu besar hanya 2-3 ekor betina dewasa saja. Sedangkan pada individu jantan dewasa, rusa timor cenderung soliter (Semiadi 2006).

2.4. Produktivitas Rumput

Produktivitas rumput tergantung pada beberapa faktor (McIlroy 1976) yakni:

1. Persistensi (daya tahan), yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembang biak secara vegetatif.

2. Daya saing, yaitu kemampuan untuk memenangkan persaingan dengan spesies –spesies lain yang tumbuh bersama.


(29)

4. Sifat tahan kering atau tahan dingin 5. Penyebaran produksi musiman.

6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan murah.

7. Kesuburan tanah (terutama kandungan nitrogen) 8. Iklim

Dari produktivitas padang rumput, tidak seluruh hijauan tersedia bagi ternak atau satwa liar. Oleh karena itu harus diperhitungkan faktor proper use yaitu persentase hijauan pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak atau satwa pada keadaan padang rumput dapat digunakan dengan baik (Harlan 1956). Menurut Susetyo (1980) nilai proper use dipengaruhi oleh keadaan lapangan, jenis tanaman, jenis ternak atau satwa liar, tipe iklim dan keadaan musim. Pada dasarnya makin besar kemungkinan terjadinya erosi, faktor proper use semakin kecil. Faktor proper use berdasarkan kemiringan lahan terbagi menjadi tiga yakni, proper use untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan 0%-11% adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11%- 51% adalah 40%-45% dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51% adalah 25%-30% (Susetyo 1980).

2.4.1. Pengukuran Produktivitas Padang Rumput

Seluk beluk mengenai pengukuran produktivitas padang rumut telah banyak dikaji (McIlroy 1976). Bagi peneliti yang belum berpengalaman akan lebih efisien dengan kemungkinan bias kecil, apabila dari sejumlah sampel tertentu analisis komposisi botani dilakukan dengan cara memisah-misahkan tiap spesies dengan tangan dan kemudian menimbangnya. Cara ini memang sangat banyak membutuhkan waktu dan tenaga. Dari beberapa luasan tertentu (ukuran 15 cm x 15 cm) hijauan pakan di potong pada ketinggian yang telah ditentukan (umumnya sangat dekat dengan permukaan tanah). Hijauan yang telah dipotong tadi, kemudian dipisah-pisahkan menurut spesies dan kemudian ditimbang.


(30)

Teknik pemotongan umumnya dilakukan terdiri dari pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai cuplikan, menimbangnya kemudian dihitung produktivitas per unit luas padang rumput yang bersangkutan. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya gangguan pada pertumbuhan rumput di petak contoh padang yang digembalai, maka digunakan pagar yang terbuat dari kawat besi untuk melindungi petak contoh tersebut (McIlroy 1976).

Menurut Anggorodi (1975) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memotong hijauan pakan, yaitu saat pemotongan, tinggi pemotongan dan frekuensi pemotongan. Terdapat tiga tahap pertumbuhan pada tumbuhan pakan yaitu:

1. Tahap pertumbuhan 1 (germinatif) terjadi pada awal pertumbuhan sampai usia rumput satu minggu. Karakteristik rumput: produksi rendah, kualitas tinggi, pertumbuhan vegetatif lemah, pemotongan pada tahap ini berakibat buruk

pada “regrowth”.

2. Tahap pertumbuhan 2 (vegetatif) terjadi pada awal minggu kedua sampai akhir minggu ke 3. Karakteristik rumput: produksi tinggi, kualitas baik, pertumbuhan vegetatif sudah kuat, pemotongan pada tahap ini tidak

berdampak buruk pada “regrowth

3. Tahap pertumbuhan 3 (generatif) terjadi pada awal minggu keempat dan setelahnya. Karakteristik rumput: produktivitas tinggi, kualitas menurun, masa persiapan pembentukan biji dan bunga. Pemotongan pada tahap ini menghasilkan hijauan yang rendah.

Mengingat sifat-sifat pada setiap tahap tersebut maka pemotongan pada umumnya dilakukan pada tahap dua dimana produksi dan nilai gizi cukup tinggi dan tidak akan mengganggu pertumbuhan berikutnya.


(31)

III. KONDISI UMUM LOKASI

3.1. Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran 3.1.1. Letak, Luas, dan status Kawasan

Sebelum di tetapkan sebagai Cagar Alam (CA) kawasan hutan pangandaran terlebih dahulu ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, hal ini berdasarkan Gb Tanggal 7-12-1934 Nomor 19 Stbl. 669, dengan luas 497 Ha, (luas yang sebenarnya 530 Ha) dan taman laut luasnya 470 Ha. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya setelah diketemukan bunga Raflesia padma, status Suaka Margasatwa dirubah menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 34/KMP/1961. Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan rekreasi, maka sebagian kawasan seluas 37,70 Ha dijadikan Hutan Wisata dalam bentuk Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 170/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10-3-1978. TWA dan CA Pangandaran terletak di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran Kabupaten

Ciamis. Secara astronomis kawasan ini terletak antara 108 derajat 40’ BT dan 7 derajat 43” LS.

3.1.2. Keadaan Fisik Kawasan

3.1.2.1. Topografi

Topografi kawasan TWA/CA Pananjung Pangandaran terdiri dari 70% datar dan 30% berbukit. Dengan ketinggian rata-rata < 50 m dpl. Daerah tertinggi mencapai ± 50 m dpl.

3.1.2.2. Geologi

Pembentukan semenanjung Pangandaran bersamaan dengan terbentuknya dataran Pulau Jawa yakni pada periode Miocene, Kondisi ini ditandai dengan batuan Breccia dan susunan kapur hal ini dapat dilihat pada bagian pantai. Susunan Miocene ini tertutup oleh karang dan endapan aluvial yang berasal dari


(32)

laut. Endapan tersebut terdiri dari pasir dan tanah yang kondisinya hampir menutupi seluruh areal pantai TWA/ CA Pananjung Pangandaran.

3.1.2.3. Iklim

Kawasan TWA/CA Pananjung Pangandaran mempunyai curah hujan rata-rata 3.196 mm/tahun dengan suhu berkisar 25° - 30° C dan kelembaban udara antara 80-90 %. Musim basah atau hujan terjadi pada Oktober sampai dengan Maret bersamaan dengan bertiupnya angin barat/barat laut. Musim kering terjadi pada Juli sampai dengan September selama periode musim angin tenggara.

3.1.2.4. Hidrologi

Dalam kawasan TWA/CA Pananjung Pangandaran terdapat dua buah sungai yang panjangnya tidak lebih dari 500m – 2 km. Sungai terbesar adalah sungai Cikamal yang bermuara di pantai barat dan sungai Cirengganis yang bermuara di pantai timur.

3.1.3. Ekosistem

Kawasan TWA dan CA Pananjung Pangandaran memiliki beberapa tipe ekosistem yakni:

a. Ekosistem pantai yang didominasi oleh butun (Baringtonia asiatica), ketapang (Terminalia cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dan pandan (Pandanus tectorius).

b. Ekosistem hutan dataran rendah, didominasi oleh jenis laban (Vitex pubescens), kondang (Ficus variegata), marog (Cratoxylon formosum), kisegel (Dilenia excelsa).

c. Ekosistem hutan tanaman, didominasi oleh jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia macrophyla).


(33)

3.1.4. Flora

Flora yang terdapat sekitar 80% merupakan vegetasi hutan sekunder tua dan sisanya adalah hutan primer. Pohon-pohon yang dominan antara lain Laban (Vitex pubescens), Kisegel (Dilenia excelsea), dan Marong (Cratoxylon formosum). Selain itu banyak juga terdapat jenis-jenis pohon seperti : Reungas (Buchanania arborencens), Kondang (Ficus variegata), Teureup (Artocarpus elsatica) dan lain-lain. Dari formasi Baringtonia terdiri dari Nyamplung (Callophylum inophylum), Waru laut (Hibiscus tiliaceus), Ketapang (Terminalia cattapa), dan Butun (Baringtonia aistica). Di dataran rendahnya terdapat hutan tanaman yang merupakan tanaman eksotik, yaitu yang terdiri dari tanaman jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Komis (Acacia auriculirformis).

3.1.5. Fauna

Satwa liar yang terdapat diantaranya adalah : Rusa timor (Rusa timorensis), Tando (Cynocephalus variegatus), Kalong (Pteroptus vampyrus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Lutung (Trcyphithecus auratus), Kangkareng (Anthracoceros convexus), Rangkong (Buceros rhinoceros), dan Ayam hutan (Gallus gallus).

3.1.6. Peta Kawasan TWA/CA Pananjung Pangandaran


(34)

3.2. Taman Nasional Alas Purwo

3.2.1. Letak, Luas, dan Status Kawasan

Secara geografis Kawasan Taman Nasional Alas Purwo terletak ujung Timur Pulau Jawa wilayah pantai Selatan antara 8? 26' 45? - 8? 47' 00? LS dan 114? 20? 16? - 114? 36? 00? BT. Ketinggian tempat bervariasi dari 0 - 322 m dpl. Menurut administrasi wilayah pemerintahan termasuk dalam Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi. Kantor UPT Taman Nasional Alas Purwo berkedudukan di Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi. Taman Nasional Alas Purwo berbatasan dengan Teluk Grajagan, kawasan hutan produksi Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyuwangi Selatan, Desa Grajagan, Desa Purwoagung, Desa Sumberasri, di sebelah Barat. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali dan Samudera Indonesia, sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Pangpang, Selat Bali, Desa Sumber beras, Desa Kedungrejo, Desa Wringinputih Kecamatan Muncar serta Desa Kedungasri Kecamatan Tegaldlimo dan sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Kawasan Alas Purwo, sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, semula berstatus Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 6 stbl 456 tanggal 01 September 1939 dengan luas areal 62.000 ha. Kemudian, berdasarkan berita acara pengukuran tanggal 27 Mei 1983 luasan tersebut diubah menjadi 43.420 ha, dan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 283/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992, status suaka margasatwa diubah menjadi Taman Nasional Alas Purwo.

Kawasan Taman Nasional Alas Purwo, berdasarkan pembagian zonasi sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 51/Kpts/Dj-IV/1987 tanggal 12 Desember 1987, terbagi atas:

1.Zona Inti, 17.200 ha, 2.Zona Rimba, 24.767 ha,


(35)

3.Zona Pemanfaatan, 250 ha, 4.Zona Penyangga, 1.303 ha.

Pada tahun 2005 dilakukan revisi zonasi TNAP terkait dengan usulan zona pemanfaatan dan perubahan eks zona penyangga menjadi zona tradisonal dan zona rehabilitas. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : 26/Kpts/IV-KK/2007 tanggal 19 Pebruari 2007 tentang Revisi Zonasi Taman Nasional Alas Purwo, terbagi atas:

1.Zona Inti, 17.150 ha, 2.Zona Rimba, 24.207 ha, 3.Zona Rehabilitasi, 620 ha, 4.Zona Pemanfaatan, 660 ha. 5.Zona Tradisional, 783 ha.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Pebruari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, Balai Taman Nasional Alas Purwo terdiri dari 2 (dua) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Tegaldlimo dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Muncar. Taman Nasional Alas Purwo, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu:

1.Perlindungan proses ekologis sistem penyangga kehidupan.

2.Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. 3.Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam bentuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, dan pariwisata alam.


(36)

3.2.2. Keadaan Fisik Kawasan

3.2.2.1. Topografi

Kawasan Taman Nasional Alas Purwo terdiri dari daerah pantai (perairan, daratan dan rawa), daerah daratan hingga daerah perbukitan dan pegunungan, dengan ketinggian mulai dari 0 – 322 m dpl dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis. Daerah pantai di Taman Nasional Alas Purwo melingkar mulai dari Segoro Anak (Grajagan) sampai daerah Muncar dengan panjang garis pantai sekitar 105 Km. Kelerengan kawasan mulai daerah datar (0-8%) seluas 10.554 ha, landai (8-15%) seluas 19.474 ha, agak curam (15-25%) seluas 11.091 ha, serta curam (25-40%) seluas 2.301 ha.

3.2.2.2. Geologi

Formasi geologi pembentuk kawasan Taman Nasional Alas Purwo berumur Meosen atas, terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam. Pada batuan berkapur terjadi proses karstifikasi yang tidak sempurna, karena faktor iklim yang kurang mendukung (relatif kering), serta batuan kapur yang diperkirakan terintrusi oleh batuan lain. Di kawasan Taman Nasional Alas Purwo terdapat banyak gua, dan menurut hasil inventarisasi, di Taman Nasional Alas Purwo terdapat 44 buah gua. Diantara gua-gua tersebut yang selama ini banyak dikunjungi adalah Gua Istana, Gua Padepokan dan Gua Basori. Jenis tanah di kawasan Taman Nasional Alas Purwo terdiri atas 4 (empat) kelompok, yaitu (1) tanah komplek Mediteran Merah-Litosol seluas 2.106 ha, (2) tanah Regosol Kelabu seluas 6.238 ha, (3) tanah Grumosol Kelabu seluas 379 ha, dan (4) tanah Aluvial Hidromorf seluas 34.697 ha.

3.2.2.3. Iklim

Kawasan Taman Nasional Alas Purwo dan sekitarnya memiliki curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun. Hari hujan berkisar dari tidak ada hari hujan hingga lebih dari 15 hari hujan. Curah hujan tahunan


(37)

mencapai 1.079 mm (Tegaldlimo), 1.491 mm (Purwoharjo), 1.554 mm (Muncar) dan 2.147 mm (Glagah), masing-masing dengan hari hujan sebanyak 55 hari, 71 hari, 79 hari, dan 112 hari. Menurut sistem klasifikasi Schmidth dan Ferguson daerah sekitar Taman Nasional Alas Purwo memiliki tipe iklim sekitar D (agak lembab) sampai E (agak kering). Khusus untuk kawasan Kawah Ijen mempunyai tipe iklim C (lembab) dan D (agak lembab). Secara umum, bulan basah terjadi pada bulan Nopember sampai April, dan bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Kisaran penyinaran matahari bulanan di Banyuwangi dan sekitarnya adalah 52% (bulan Januari) hingga 89% (bulan September), dengan rata-rata sebesar 75%. Suhu udara maksimum bulanan di Banyuwangi antara 31,2oC – 34,5oC dan suhu udara minimumnya antara 20,7oC – 22,5oC, sedangkan suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,9oC – 28,2oC. Fluktuasi kelembaban udara juga tergolong kecil, yaitu berkisar antara 75% - 81%. Arah angin terbanyak yang bertiup di daerah Banyuwangi adalah arah Selatan dengan kecepatan antara 2,3 – 4,2 knot.

3.2.2.4. Hidrologi

Jaringan sungai di kawasan Taman Nasional Alas Purwo berpola radial karena leher semenanjungnya menyempit. Aliran airnya langsung mengarah ke laut (Samudera Hindia dan Selat Bali). Sungai di kawasan Alas Purwo, secara umum berupa sungai-sungai kecil (aliran kurang dari 10 m dengan panjang kurang dari 5 Km), namun jumlahnya sangat banyak (sekitar 70 buah). Beberapa sungai, seperti Sunglon Ombo dan Sungai Pancur, berhubungan dengan sungai bawah tanah yang mengalir di bawah kompleks perbukitan/ lipatan kapur (daerah karst). Sungai Pancur mengalir dari sungai bawah tanah gua Istana dimanfaatkan untuk keperluan pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo, terutama pos Rowobendo, Pesanggrahan, Triangulasi dan pos Pancur. Sungai yang ukurannya relatif besar (Sungai Kemiri, Sungai Pail dan Sungai Paluh Agung dan Sungai Segoro Anak) terdapat di daerah Bedul – Rowobendo, dimana aliran airnya meng-umpul di bagian hilir Sungai Segoro Anak,


(38)

memiliki lebar lebih dari 500 m di bagian hilirnya dan membentuk daerah berawa. Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya terdapat di bagian Barat Taman Nasional yaitu Sungai Segoro Anak dan Sunglon Ombo. Pada musim penghujan muara sungai sering jebol dan air mengalir jernih, Sungai Pancur mengalir sepanjang tahun yang pada musim kemarau airnya berasa sadah dan pada musim penghujan berasa tawar. Di beberapa tempat air sumber dalam jumlah kecil dapat diperoleh dari sistim rekahan atau celahan dari lapisan lapuk tebal serta endapan aluvium yang tipis. Sumber air semacam ini dapat ditemui di blok hutan Pecari Kuning dan Sadengan. Mata air banyak terdapat di daerah Gunung Kucur, Gunung Kunci, Goa Basori dan Sendang Srengenge.

3.2.3. Ekosistem

Keanekaragaman jenis flora darat di kawasan Taman Nasional Alas Purwo termasuk tinggi. Hasil inventarisasi tumbuhan oleh Taman Nasional Alas Purwo mencatat 158 jenis tumbuhan (59 famili) mulai dari tingkat tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat pohon dari berbagai tipe/formasi vegetasi (Hutan Pantai-Mangrove-Hutan Dataran Rendah). Menurut Mark Grantham, jenis-jenis vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Alas Purwo (semua jenis) lebih dari 300 jenis.

Secara keseluruhan, Taman Nasional Alas Purwo merupakan taman nasional yang memiliki formasi vegetasi yang lengkap, dimana hampir semua tipe formasi vegetasi dapat dijumpai di lokasi Taman Nasional. Formasi vegetasi yang dimiliki mulai dari pantai (hutan pantai) sampai hutan hujan tropika dataran rendah. Beberapa tipe Formasi Vegetasi penyusun Taman Nasional Alas Purwo adalah sebagai berikut:

1. Formasi Vegetasi Hutan Pantai 2. Formasi Vegetasi Hutan Mangrove


(39)

3.2.4. Flora

Keanekaragaman jenis flora darat di kawasan Taman Nasional Alas Purwo termasuk tinggi. Hasil inventarisasi tumbuhan oleh Taman Nasional Alas Purwo mencatat 158 jenis tumbuhan (59 famili) mulai dari tingkat tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat pohon dari berbagai tipe/formasi vegetasi (Hutan Pantai-Mangrove-Hutan Dataran Rendah). Menurut Mark Grantham, jenis-jenis vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Alas Purwo (semua jenis) lebih dari 300 jenis. Secara keseluruhan, Taman Nasional Alas Purwo merupakan Taman Nasional yang memiliki formasi vegetasi yang lengkap, dimana hampir semua tipe formasi vegetasi dapat dijumpai di lokasi Taman Nasional. Formasi vegetasi yang dimiliki mulai dari pantai (hutan pantai) sampai hutan hujan tropika dataran rendah.

3.2.5. Fauna

Disamping kaya akan jenis-jenis flora, Taman Nasional Alas Purwo juga kaya akan jenis-jenis fauna daratan, baik kelas mamalia, aves maupun reptilia. Hasil inventarisasi mencatat sebanyak 21 jenis satwa liar dari kelas mamalia, 35 jenis burung hutan dan 59 jenis burung air. Namun berdasarkan Mark Grantham (Voluntary Service Overseas British Council di Taman Nasional Alas Purwo) diperoleh keterangan bahwa jenis burung yang berhasil diidentifikasi di Taman Nasional Alas Purwo berjumlah 215 jenis (termasuk burung darat/hutan dan burung air). Diantara jenis-jenis satwa liar yang terdapat di Taman Nasional Alas Purwo, jenis dari kelas reptilia memiliki jumlah jenis dan informasi keberadaan jenis yang paling sedikit. Hal ini disebabkan karena hasil penelitian dan publikasinya jumlahnya masih terbatas. Namun demikian, jenis-jenis satwa liar dari kelas reptilia sering dijumpai di dalam dan di luar kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Identifikasi yang telah dilakukan mencatat terdapat sekitar 14 jenis reptilia dan diantara jenis tersebut termasuk empat jenis penyu yang sering mendarat di pantai kawasan Taman Nasional.


(40)

3.2.6. Peta Kawasan Taman Nasional Alas Purwo


(41)

IV. METODE PENELITIAN

4.1.Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman Nasional (TN) Alas Purwo. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2011.

4.2.Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Alat tulis, gunting, jam tangan, kamera digital, kompas, label, peta kawasan, pita meter, plastik sampel, tali plastik, tally sheet, teropong binokuler, termohigrometer, timbangan, perangkat lunak Microsoft Excel 2007, dan perangkat lunak ArcGis 9.3.

4.3.Metode Pengumpulan Data

4.3.1. Pengumpulan Data Demografi Rusa

Data demografi rusa yang diperlukan meliputi: ukuran populasi, kelas umur, sex rasio, peluang hidup, fekunditas, dan breeding age. Data yang dikumpulkan dilapangan berupa ukuran populasi, kelas umur dan sex rasio. Peluang hidup dan fekunditas didapatkan dari hasil analisis data lapangan sedangkan breeding age didapatkan dari hasil studi pustaka.

Pengumpulan data populasi rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran dilakukan dengan metode titik konsentrasi (concentration count) di tempat-tempat sumber pakan, dan tempat-tempat rusa biasa berkumpul. TWA dan CA Pananjung Pangandaran memiliki 6 padang rumput. 3 padang rumput terdapat di cagar alam dan 3 lainnya di taman wisata alam. Rusa biasa berkumpul untuk melakukan aktivitas makan di padang-padang rumput tersebut, kecuali di padang rumput badeto dan nanggorak. Karena lokasi tersebut sudah sangat rapat karena adanya invasi tumbuhan semak. Selain di dalam kawasan TWA


(42)

dan CA rusa timor juga menggunakan padang rumput diluar kawasan sebagai tempat melakukan aktivitas makan. Pemilihan lokasi titik konsentrasi didasari oleh studi pendahuluan dan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kangiras (2009).

Penghitungan dilakukan secara serentak di 6 titik konsentrasi oleh 6 orang pengamat pada pagi (06.00-08.00) dan sore hari (16.00-18.00). Waktu pengamatan ditentukan berdasarkan studi pendahuluan, dimana pada waktu-waktu tersebut rusa timor berkumpul pada titik-titik konsentrasi yang telah ditentukan. Diasumsikan pada waktu yang sama seluruh rusa yang ada di TWA dan CA pananjung pangandaran berada pada titik-titik konsentrasi tersebut. Penghitungan dilakukan selama tiga hari sebagai ulangan.

Data populasi, kelas umur dan sex rasio rusa di TN Alas Purwo didapatkan dari hasil penelitian Santosa (2008) yang menggunakan metode strip transect dengan unit contoh berupa jalur dengan panjang rata-rata 1,5 km dengan lebar 100m. Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan konstan pada setiap jalur. Intensitas sampling yang digunakan adalah 0,5%.

Data yang dicatat meliputi jumlah individu pada setiap kelas umur dan jenis kelamin. Penentuan umur rusa timor dapat dilakukan dengan pengamatan pola keausan gigi, susunan geligi dan pertumbuhan rangga pada rusa jantan, namun perlakuan tersebut sulit diakukan dilapangan. Oleh karena itu penentuan umur rusa hanya didasarkan pada morfologinya saja lalu dikategorikan menjadi kelas umur anak, remaja dan dewasa. Ciri-ciri morfologi dan perilaku pada setiap kelas umur di sajikan pada Tabel 4.1.

4.3.2. Laju Pertumbuhan

Data mengenai laju pertumbuhan rusa di TWA dan CA Pananjung pangandaran dan TN Alas Purwo didapatkan dari hasil penelitian terdahulu yaitu Kangiras (2009) dan Santosa (2008).


(43)

Tabel 4.1. Gambar Rusa timor Berdasarkan Kelas Umur dan Jenis Kelamin

Kelas Umur

Jenis Kelamin

Jantan Betina Keterangan

Anak

Individu anak juga dapat dilihat dari perilakunya yang selalu mengikuti induknya, atau bergerak tidak pernah jauh dari induknya.

Remaja

Individu remaja, mempunyai ukuran tubuh sedikit lebih besar dari pada individu anak, dan melakukan aktivitas secara berkelompok dengan individu remaja lainnya.

Dewasa

Individu dewasa memiliki ukuran tubuh yang besar. Untuk jantan biasanya berkelompok dengan jantan lainnya atau soliter.

4.3.3. Pengumpulan Data Produktivitas Pakan

Pendugaan produktivitas jenis tumbuhan pakan dilakukan dengan cara memanen hijauan pakan rusa yakni rumput dan anakan pohon. Rumput dan anakan pohon dipangkas hingga mendekati permukaan tanah (McIlroy 1976). Dalam penelitian ini hijauan pakan dipangkas hingga kurang lebih 0,5 cm di atas permukaan tanah Selanjutnya sisa tumbuhan pakan dibiarkan tumbuh sampai 20 hari (Kangiras 2008, Sunarno 2006, Ratag 2006, Teddy 1998). kemudian dilakukan pemangkasan kembali dengan cara yang sama, hijauan yang telah dipangkas dipisahkan berdasarkan jenisnya lalu ditimbang berat basahnya (McIlroy 1976). Pemangkasan dan penimbangan diulang sebanyak 2 kali ulangan. Setiap petak contoh diberi pagar pelindung agar tumbuhan pakan didalamnya tidak terganggu dan dimakan oleh rusa yang berada di sana (McIlroy 1976).


(44)

Pemangkasan dilakukan setiap 20 hari sekali karena pada waktu tersebut produksi dan nilai gizi cukup tinggi dan tidak akan mengganggu pertumbuhan berikutnya.

Pengukuran produktivitas tumbuhan pakan dilakukan di 6 padang rumput yang ada di TWA dan CA Pananjung Pangandaran sebanyak 21 plot yakni masing masing 3 plot (1x1 m) di depan Wisma Rengganis, Information Center, dan depan Wisma Ciborok, serta 6 plot di padang penggembalaan Cikamal yakni 3 plot ukuran 1x1 m untuk area terbuka dan 3 plot ukuran 2x2 m untuk area dibawah tegakan, dan masing-masing 3 plot dengan ukuran 2 x 2 m di bekas padang penggembalaan Badeto dan Nanggorak. Data mengenai produktivitas pakan rusa di TN Alas Purwo didapatkan dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Santosa (2008).

Data mengenai luasan padang rumput sangat perlu diketahui untuk menghitung produktivitas pakan rusa timor. Luasan ke enam padang rumput di TWA dan CA Pananjung Pangandaran telah diketahui yakni 0,16 ha untuk padang rumput Rengganis, 0,13 ha untuk Ciborok, 0,173 ha untuk Information centre, 10 ha untuk bekas padang pengembalaan Badeto, 10 ha untuk bekas padang penggembalaan Nanggorak dan 20 ha untuk padang penggembalaan Cikamal. Sebagian padang penggembalaan Cikamal sudah tertutupi oleh semak, untuk menghitung luasan padang rumput yang tersisa dan padang rumput yang telah ditutupi semak, dilakukan penghitungan luasan dengan cara meretifikasi citra padang penggembalaan Cikamal yang didapatkan dari Google Earth dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3.

4.3.4. Suhu udara, Kelembaban, dan Curah Hujan

Pada TWA/ CA Pananjung Pangandaran, suhu udara dan kelembaban diukur dengan menggunakan termohigrometer, sedangkan data curah hujan dan panjang hari didapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Sedangkan untuk TN Alas Purwo data faktor


(45)

lingkungan didapatkan dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Santosa (2008).

4.4.Analisis Data 4.4.1. Ukuran Populasi

Ukuran Populasi dari hasil sensus dengan metode concentration count adalah jumlah tertinggi dari seluruh pengamatan.

4.4.2. Struktur umur dan Sex rasio

Jumlah individu pada setiap kelas umur disusun dalam piramida populasi. namun untuk mendapatkan Gambaran pola pertumbuhan populasi yang sebenarnya, jumlah individu dalam kelas umur dibagi selang umurnya yakni (0-1) untuk anak, (2-5) untuk remaja, dan (6-17) untuk dewasa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran dan (0-2) untuk anak, (3-5) untuk remaja, dan (6-17) untuk dewasa di TN Alas Purwo (Santosa, 2008). Sex rasio didapatkan dari perbandingan jumlah individu jantan dan betina pada tiap kelas umur. Untuk kelas umur anak sex rasio yang digunakan adalah sex rasio kelas umur satu tingkat diatasnya yaitu kelas umur remaja. Sex Rasio dihitung dengan rumus berikut ini:

Dimana: Y = Jumlah Individu Jantan, X = Jumlah Individu Betina

4.4.3. Peluang Hidup

Peluang hidup dihitung pada setiap kelas umur. Data peluang hidup didapatkan dari jumlah individu yang hidup pada kelas umur x+1 dibagi dengan jumlah individu pada kelas umur dibawahnya (x). Sedangkan persentase kematian adalah 1- peluang hidup dikalikan 100%. Peluang hidup dapat dihitung dengan rumus berikut ini:

Keterangan :

Px = Peluang hidup kelas umur x

Lx+1 = jumlah individu yang hidup pada KU X+1

x x x

L L p  1


(46)

Lx = jumlah individu yang hidup pada KUx

4.4.4. Fekunditas dan Breeding age

Fekunditas merupakan jumlah bayi yang mampu dilahirkan oleh seekor induk pada satu tahun. Fekunditas pada setiap kelas umur didapatkan dari pengamatan di lapangan, dengan mengamati berapa bayi atau anak yang dimiliki oleh induk betina pada kelas umur tertentu. Karena kesulitan dilapangan untuk membedakan anak dari induk kelas umur muda atau dewasa, dalam penelitian ini fekunditas dihitung secara umum. Breeding age atau usia kawin rusa didapatkan dari studi literatur dari berbagai penelitian terdahulu. Fekunditas dapat dihitung dengan rumus berikut ini:

Dimana : F = Fekunditas x = jumlah anak

B = jumlah betina produktif

4.4.5. Produktivitas Pakan

Produktivitas rumput pada setiap padang rumput selama 20 hari dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Produktivitas keseluruhan padang rumput di TWA dan CA Pananjung Pangandaran selama satu tahun adalah:

Dimana:

(Susetyo,1980)


(47)

n = Jumlah plot

P = Produktivitas rumput selama 20 hari L = luas areal

l = luas petak contoh

= rata-rata berat basah rumput

Nilai proper use yang digunakan mengacu kepada Susetyo (1980). Yakni proper use untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan dengan kemiringan 0%-11% adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11%- 51% adalah 40%-45% dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51% adalah 25%-30%.

4.4.6. Daya Dukung

Nilai daya dukung dihitung dengan rumus berikut ini:

4.4.7. Ukuran Populasi Minimum Lestari

Kelestarian dicapai ketika setidaknya populasi akhir sama dengan populasi awal atau mengalami peningkatan dan tidak mengalami penurunan. Dengan kata lain:

N0 = N1 =N2 = Nt

Dimana :

N0 = jumlah individu anak (A0) + jumlah individu remaja (R0) + Jumlah Individu Dewasa (D0)

N1 = jumlah individu anak (A1) + jumlah individu remaja (R1) + Jumlah Individu Dewasa (D1)

N2 = jumlah individu anak (A2) + jumlah individu remaja (R2) + Jumlah Individu Dewasa (D2)

Jumlah individu pada setiap kelas umur ditentukan berdasarkan matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998) sebagai berikut :


(48)

A1 δA Fm Fd A 0

R1 = p1 δR 0 x R0

D1 0 P2 δD D0

Fx = Fecunditas kelas umur

Px = peluang hidup bagi individu kelas umur x untuk melangsungkan kehidupan pada kelas umur berikutnya (age specific survival) δx = proporsi anggota populasi yang tidak mengalami peningkatan

kelas umur

Dari matriks Leslie tersebut, dibangun persamaan aljabar linear. Ukuran populasi minimum lestari ditentukan dengan metode eliminasi pada persamaan tersebut. Persamaan yang dibangun adalah:

N0 = A + R + D ………..……..(1) N1 = {(F.R+F.D+(δ + {(A.P1)+(δ )}+ {(1-δ .P2)+ δDD………...(2) N2 = [F. {(A.P1)+(δ )}+F. {(1-δ .P2)+ δDD}+ δ δ ]

+ [{P1. (F.R+F.D+(δ }+ δR{(A.P1)+(δ R)}] +

[P2. (1-δ {(A.P1)+(δ )}+ δD{(1-δ .P2)+ δDD}]…...(3)

Keterangan : notasi δ didapatkan dari selang umur pada setiap kelas umur. 4.4.8. Ukuran Populasi Optimum Lestari

Populasi awal akan diproyeksikan pertahun dengan menggunakan matriks Leslie terpaut kepadatan (Density Dependence) sehingga dapat dilihat pertumbuhan populasinya. Populasi optimum lestari adalah ukuran populasi pada tahun ke t dimana selisih antara Nt dengan Nt+1 merupakan selisih terbesar diantara tahun- tahun lainnya. Waktu yang digunakan pada proyeksi populasi ini adalah 100 tahun. Populasi yang digunakan sebagai populasi awal dalam proyeksi matriks Leslie ini hanya populasi jenis kelamin betina. Ukuran populasi pada jantan akan didapatkan dari perbandingan sex rasio.


(49)

Persamaan matrik Leslie terpaut kepadatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Dimana: Fx = Fekunditas setiap kelas umur

Px = Peluang hidup

Nt = jumlah populasi pada setiap kelas umur

Q = faktor pembatas pertumbuhan

qt= 1 + α. Nt

α = (λ-1)/ K

λ = er ( laju pertumbuhan finit) (Coughley 1994) r = laju pertumbuhan

K = Daya dukung

Dalam menyusun matriks Leslie, selang waktu antar kelas umur haruslah sama. Karena sulitnya menentukan umur satwa di lapangan maka dalam penelitian ini populasi awal pada setiap kelas umur akan dibagi oleh selang waktu pada masing-masing kelas umur. Sehingga didapatkan selang waktu yang seragam yakni 1 tahun. Peluang hidup yang digunakan ada dua yaitu peluang hidup antar kelas umur (anak ke remaja dan remaja ke dewasa) dan peluang hidup di dalam kelas umur. Hal ini dilakukan karna tidak semua individu dalam kelas umur tersebut berpindah kelas umur pada tahun berikutnya. Perkalian matriks dibantu dengan Microsoft Excel 2007. Contoh perkalian matriks terlapir pada Lampiran 2.


(50)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor

Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari 6 kali pengulangan sensus yang dilakukan. Pengukuran populasi rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran juga pernah dilakukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, yakni dari tahun 2004 hingga tahun 2009 (Kangiras 2009). Ukuran Populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 tercatat sebanyak 141 ekor dan dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun populasi sudah berkurang lebih dari 50%. Beberapa penyebab menurunnya populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran akan di bahas pada sub bab peluang hidup.

Ukuran populasi TN Alas Purwo didapatkan dari hasil penelitian yang telah dipublikasi yaitu berdasarkan penelitian Santosa (2008). Pendugaan populasi rusa timor di TN Alas Purwo dilakukan dengan teknik sampling. TN. Alas Purwo tidak memiliki data time series. Adapun data populasi rusa timor di TN Alas Purwo pada tahun 2004 dan 2005 hanya pada salah satu daerah yang ada di Taman Nasional tersebut. Rekapitulasi ukuran populasi di kedua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.1 berikut ini.

Tabel. 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor Tahun TWA dan CA

Pananjung Pangandaran

(530 ha)

TN. Alas Purwo (40786 ha)

2004 141** -

2005 124** -

2006 118** 7992***

2007 102** -

2008 73** -

2009 73** -

2010 - -

2011 68* -


(51)

5.2. Struktur Umur dan Sex Rasio

Stuktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Alikodra 1990). struktur umur suatu populasi dapat digunakan untuk menilai prospek kelestarian populasi satwa tersebut. Menurut Van Lavieren (1982) dalam Alikodra (1990) terdapat 4 jenis struktur umur populasi, yaitu struktur umur seimbang, struktur umur dalam keadaan populasi yang mundur, struktur umur dalam keadaan populasi berkembang dan struktur umur dalam keadaan populasi yang mengalami gangguan. Jumlah individu dalam setiap kelas umur dan jenis kelamin di ketiga lokasi penelitian tersaji pada Tabel berukut ini:

Tabel 5.2. Struktur Umur dan Sex Rasio Rusa Timor

Kelas Umur

TWA dan CA Pananjung

Pangandaran (2011) TN. Alas Purwo (2006)

Jantan Betina Total Jantan Betina Total

Anak 5 11 16 292 1112 1404

Remaja 7 14 21 369 1401 1770

Dewasa 14 17 31 1853 2965 4818

Total 26 42 68 2514 5478 7992

Penggolongan individu dalam populasi kedalam kelas umur tidaklah mudah. Pada rusa timor, penentuan kelas umur secara akurat dapat dilakukan dengan memeriksa susunan geligi. Sedangkan pendugaan umur melalui pertumbuhan rangga hanya akurat pada rusa dibawah umur 2 tahun (Semiadi 2006). Pada penelitian ini penentuan umur rusa dilihat dari morfologinya, yakni ukuran tubuh. Penggolongan kelas umur hanya dibagi menjadi tiga kelas yaitu anak, remaja dan dewasa.

Pada struktur umur yang menyusun populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran jumlah individu terbanyak adalah pada kelas umur dewasa, lalu kelas umur remaja dan yang paling sedikit adalah pada kelas umur anak. Apabila dibuat piramida struktur umur, kondisi ini akan membentuk piramida terbalik dimana populasi akan mengalami kemunduran. Tetapi karena setiap kelas umur memiliki selang umur berbeda maka struktur umur yang sebenarnya adalah jumlah individu pada kelas umur tersebut dibagi dengan selang


(52)

umurnya. Setelah dibagi dengan selang umurnya struktur umur populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran adalah seperti tersaji pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Struktur Umur rusa timor TWA dan CA Pananjung Pangandaran

Piramida struktur umur tersebut menunjukan keadaan populasi yang berkembang. Dimana jumlah individu anak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah individu pada kelas umur di atasnya. Piramida tersebut juga menunjukan sex rasio antara jantan dan betina pada setiap kelas umur. Sex rasio kelas umur remaja dan dewasa didapatkan dari pengamatan langsung dilapangan. Sedangkan sex rasio anak didapatkan dari sex rasio pada kelas umur diatasnya yaitu remaja, karena sangat sulit untuk membedakan anak jantan dan betina di lapangan. Sex rasio jantan remaja dan betina remaja di TWA dan CA Pananjung Pangandaran adalah 1: 2 sedangkan sex rasio jantan dewasa dan betina dewasa adalah 1:1,2. secara general kondisi sex rasio pada populasi tersebut tergolong normal dimana jumlah betina lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jantan. Namun menurut Garsetiasih (2007), satu ekor rusa jantan bisa mengawini 4 ekor rusa betina. Oleh karena itu agar kondisi populasi lebih seimbang, perlu adanya penambahan populasi rusa betina atau pengurangan populasi rusa jantan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran.


(53)

Gambar 5.2. Struktur Umur Rusa Timor di TN Alas Purwo

Piramida struktur umur di TN Alas Purwo juga menunjukan keadaan populasi yang berkembang. Kelas umur anak dan remaja memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan kelas umur di atasnya. Kecuali pada kelas umur jantan remaja. Kelas umur remaja jantan mengalami gangguan populasi. sehingga ukuran populasinya lebih sedikit dibandingkan dengan kelas umur jantan dewasa. Pada kelompok satwa dengan sistem perkawinan mengumpulkan harem seperti rusa timor ini, ukuran tubuh dan kekuatan merupakan faktor yang menentukan dalam hal interaksi jantan dengan jantan (Semiadi 2006), sehingga kemungkinan rusa jantan remaja lebih sering kalah bersaing dengan rusa jantan dewasa dalam mendapatkan sumber daya termasuk pakan dan harem. Hal tersebutlah yang mengakibatkan gangguan pada populasi rusa jantan remaja. Sex rasio jantan dan betina pada populasi rusa timor di TN Alas Purwo juga tergolong normal dimana jantan lebih banyak dari betina dengan perbandingan 1:4 pada kelas umur remaja dan 1:2 pada kelas umur dewasa.

Penurunan sex rasio jantan dan betina dewasa di kedua lokasi penelitian juga terjadi pada populasi rusa timor di Pulau Peucang (Tim Fakultas kehutanan IPB 1977 dalam Mukhtar 1996). Hal ini menimbulkan dugaan bahwa rusa betina memiliki umur yang lebih pendek dibandingkan dengan rusa jantan, sehingga angka kematian di kelas umur dewasa meningkat dan sex rasio menjadi berkurang.


(1)

Lampiran 3. Tabel Perkembangan Populasi Rusa

1.

TWA dan CA Pananjung Pangandaran

Tahun Anak Remaja Dewasa Total

2011 11 14 17 42

2012 14 15 17 46

2013 15 16 17 48

2014 16 18 17 51

2015 17 21 17 55

2016 19 23 18 59

2017 20 24 19 63

2018 22 26 20 68

2019 23 29 21 73

2020 25 31 22 78

2021 27 33 24 85

2022 30 36 26 91

2023 32 39 28 99

2024 35 42 30 107

2025 38 46 32 116

2026 41 49 35 125

2027 44 53 38 135

2028 47 57 41 146

2029 51 62 44 157

2030 55 67 47 169

2031 59 71 51 181

2032 63 77 54 194

2033 68 82 58 208

2034 73 88 63 223

2035 78 94 67 239

2036 83 100 71 255

2037 88 107 76 272

2038 94 114 81 289

2039 100 121 86 307

2040 106 129 91 326

2041 112 136 97 346

2042 119 144 102 366

2043 126 152 108 386

2044 132 160 114 407

2045 139 169 120 428

2046 146 177 126 449

2047 153 186 132 471

2048 160 194 138 493


(2)

2050 174 211 150 536

2051 181 220 156 557

2052 188 228 162 579

2053 195 237 168 600

2054 202 245 174 620

2055 208 253 179 641

2056 215 260 185 660

2057 221 268 190 679

2058 227 275 196 698

2059 233 282 201 716

2060 239 289 205 733

2061 244 296 210 750

2062 249 302 214 765

2063 254 308 219 780

2064 259 313 223 795

2065 263 319 227 809

2066 267 324 230 821

2067 271 329 234 834

2068 275 333 237 845

2069 279 338 240 856

2070 282 342 243 866

2071 285 345 245 876

2072 288 349 248 885

2073 291 352 250 893

2074 293 355 252 901

2075 295 358 254 908

2076 298 361 256 915

2077 300 363 258 921

2078 302 366 260 927

2079 303 368 261 932

2080 305 370 263 937

2081 307 372 264 942

2082 308 373 265 946

2083 309 375 266 950

2084 310 376 267 954

2085 312 378 268 957

2086 313 379 269 961

2087 314 380 270 963

2088 314 381 271 966

2089 315 382 271 969

2090 316 383 272 971

2091 317 384 273 973


(3)

2093 318 385 274 977

2094 318 386 274 978

2095 319 386 275 980

2096 319 387 275 981

2097 320 387 275 982

2098 320 388 276 984

2099 320 388 276 985

2100 321 389 276 986

2101 321 389 276 986

2102 321 389 277 987

2103 321 390 277 988

2104 322 390 277 989

2105 322 390 277 989

2106 322 390 277 990

2107 322 391 278 990

2108 322 391 278 991

2109 323 391 278 991

2110 323 391 278 992

2111 323 391 278 992

2112 323 391 278 993

2113 323 392 278 993

2114 323 392 278 993

2115 323 392 278 993

2116 323 392 278 994

2117 323 392 279 994

2118 323 392 279 994

2119 324 392 279 994


(4)

2.

TN. Alas Purwo

Tahun Anak Remaja Dewasa Total

2006 1112 1401 2964 5477

2007 1900 1355 2935 6191

2008 2654 1305 2893 6852

2009 2603 1892 2838 7334

2010 2820 2445 2776 8041

2011 3273 2956 2702 8931

2012 3676 3073 2991 9740

2013 4041 3358 3240 10639

2014 4442 3781 3446 11669

2015 4904 4144 3722 12770

2016 5380 4501 4043 13924

2017 5870 4876 4387 15134

2018 6386 5277 4735 16399

2019 6921 5678 5065 17664

2020 7376 6080 5408 18863

2021 7769 6489 5755 20014

2022 8194 6842 6105 21141

2023 8595 7149 6453 22197

2024 8938 7425 6675 23039

2025 9253 7699 6895 23847

2026 9548 7947 7116 24611

2027 9815 8159 7312 25287

2028 10050 8351 7483 25884

2029 10257 8524 7634 26415

2030 10440 8677 7770 26886

2031 10598 8809 7889 27296

2032 10733 8924 7993 27650

2033 10851 9023 8083 27956

2034 10954 9107 8160 28221

2035 11042 9179 8225 28446

2036 11116 9242 8279 28637

2037 11181 9295 8327 28803

2038 11236 9341 8368 28946

2039 11283 9380 8403 29066

2040 11323 9413 8433 29169

2041 11357 9442 8458 29257

2042 11386 9466 8480 29331

2043 11411 9486 8498 29394

2044 11431 9503 8513 29448


(5)

2046 11464 9530 8538 29532

2047 11476 9541 8547 29564

2048 11487 9550 8555 29591

2049 11496 9557 8562 29615

2050 11504 9563 8567 29635

2051 11510 9569 8572 29651

2052 11516 9573 8576 29665

2053 11520 9577 8580 29677

2054 11524 9580 8583 29687

2055 11528 9583 8585 29696

2056 11530 9586 8587 29703

2057 11533 9587 8589 29709

2058 11535 9589 8590 29714

2059 11536 9591 8592 29719

2060 11538 9592 8593 29722

2061 11539 9593 8594 29725

2062 11540 9594 8594 29728

2063 11541 9594 8595 29730

2064 11542 9595 8596 29732

2065 11542 9595 8596 29734

2066 11543 9596 8596 29735

2067 11543 9596 8597 29736

2068 11544 9597 8597 29737

2069 11544 9597 8597 29738

2070 11544 9597 8597 29739

2071 11544 9597 8598 29739

2072 11545 9597 8598 29740

2073 11545 9597 8598 29740

2074 11545 9598 8598 29740

2075 11545 9598 8598 29741

2076 11545 9598 8598 29741

2077 11545 9598 8598 29741

2078 11545 9598 8598 29741

2079 11545 9598 8598 29741

2080 11545 9598 8598 29742

2081 11545 9598 8598 29742

2082 11545 9598 8598 29742

2083 11545 9598 8598 29742

2084 11545 9598 8598 29742

2085 11545 9598 8598 29742

2086 11545 9598 8598 29742

2087 11545 9598 8598 29742


(6)

2089 11545 9598 8598 29742

2090 11545 9598 8598 29742

2091 11546 9598 8598 29742

2092 11546 9598 8598 29742

2093 11546 9598 8598 29742

2094 11546 9598 8598 29742

2095 11546 9598 8598 29742

2096 11546 9598 8598 29742

2097 11546 9598 8598 29742

2098 11546 9598 8598 29742

2099 11546 9598 8598 29742

2100 11546 9598 8599 29742

2101 11546 9598 8599 29742

2102 11546 9598 8599 29742

2103 11546 9598 8599 29742

2104 11546 9598 8599 29742