Reproduksi Pengukuran Produktivitas Padang Rumput

Laju natalitas rusa timor di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panajung Pangandaran adalah 3,83 Kangiras 2009. Tidak jauh berbeda dengan laju natalitas rusa timor di Pangandaran, laju natalitas di penangkaran semi intensif HP Darmaga adalah 3,3 Kwatrina 2009.

2.2.7.2. Mortalitas

Ukuran populasi berkurang karena laju mortalitas. Kematian satwa liar dapat disebabkan oleh keadaan alam, kecelakaan, perekelahian dan aktivitas manusia. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu, dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu Alikodra 1990. Laju Mortalitas rusa timor di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panajung Pangandaran adalah 2,97 Kangiras 2009. berbeda dengan laju mortalitas rusa timor di Pangandaran, laju natalitas di penangkaran semi intensif Hutan Penelitian Darmaga adalah 0,15 Kwatrina 2009. Laju Kematian atau laju mortalitas lebih besar di alam di bandingkan dengan di penangkaran.

2.2.7.3. Struktur Umur dan Sex rasio

Struktur umur berbeda-beda pada setiap populasi, struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangabiakan satwa liar. Menurut Alikodra 1990, struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari setiap populasi. secara garis besar struktur umur pada populasi dapat digolongkan dalam tiga struktur Tarumingkeng 1994 yaitu : 1. Struktur umur menurun yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur yang sangat muda dan muda, paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi tersebut terus menurun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu. 2. Struktur umur stabil, bentuk piramida sama sisi, dengan sisi-sisi yang kemiringannya mengikuti garis lurus. 3. Struktur umur meningkat dengan populasi yang terus meningkat, merupakan piramida dengan sisi-sisi yang cekung dengan dasar yang lebar. Sedangkan Van Laviren 1982 dalam Alikodra 1990 menggolongkan struktur umur populasi pada 4 struktur yaitu: 1. Struktur umur dalam keadaan populasi yang seimbang, yaitu natalitas dan mortalitas yang relatif seimbang. 2. Struktur umur dalam keadaan populasi yang mundur yaitu natalitas mengalami penurunan. 3. Struktur umur dalam keadaan populasi yng berkembang, yaitu natalitas mengalami peningkatan. 4. Struktur umur dalam keadaan mengalami gangguan sehingga terjadi kematian yang tinggi pada kelas umur tertentu. Seks ratio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi Alikodra 1990. Berdasarkan penelitian Kangiras 2009 sex rasio jantan:betina di TWACA Pananjung Pangandaran pada setiap kelas umur rusa timor adalah 1:2. Di dalam penangkaran rusa, dianjurkan jumlah betina lebih banyak dibanding jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini empat ekor betina Garsetiasih 2007. Ringkasan ukuran parameter demografi rusa timor berdasarkan beberapa penelitian disajikan pada Tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1. Ukuran Parameter Demografi Rusa Timor Berdasarkan Beberapa Penelitian. Parameter Demografi Ukuran Parameter Demografi TWACA P.Pangandaran Kangiras 2009 Penangkaran Takandjandji, 1993 dalam Garsetiasih 2007 Penangkaran Darmaga Kwatrina 2009 Penangkaran Garsetiasih 2007 Natalitas 3,83 96,07 3,3 - Mortalitas 2,97 7,25 0,15 - Umur pubertas - Mulai 8 bulan; 8,1 bulan - 1,5 -12 tahun Siklus berahi - 20 hari - - Lama berahi - 2 hari - - Umur perkawinan rusa dara - 12 bulan; 15,2 bulan - - Musim kawin - Januari - - Musim melahirkan - September - - Lama bunting - 8,3 bulan - 7,5-8,3 bulan Jumlah anak per kelahiran 1 1 ekor - - Umur penyapihan - 4 bulan - 4 bulan Ratio seks 1:2 1:2 - 1:4

2.3. Penentuan Kelas Umur

Penentuan umur rusa timor dapat dilakukan dengan pengamatan pola keausan gigi, susunan geligi dan pertumbuhan rangga pada rusa jantan. Namun penentuan umur rusa berdasakan pertumbuhan rangga hanya efektif untuk menduga umur dibawah dua tahun saja, sedangkan susunan geligi hanya dapat dipakai hingga umur 3 tahun saja Semiadi 2006. Oleh karena itu pengamatan pola keausan gigi lebih sering digunakan dalam mendapatkan pekiraan umur secara kasar. Pengamatan keausan gigi dibagi menjadi beberapa criteria Tabel 2.2. Pengelompokan kelas umur pada beberapa penelitian berbeda beda sesuai dengan dasar dan tujuan penelitiannya Mukhtar 1996. Ada yang menggolongkan ke dalam tiga kelas umur maupun empat kelas umur. Identifikasi umur satwa liar di lapangan mengalami banyak kesulitan, oleh karena itu penentuan kelas umur dapat ditentukan hanya berdasarkan morfologi dan perilaku satwa dilapangan. Tabel 2.2. Kriteria keausan gigi pada rusa sebagai dasar pendugaan umur Umur tahun M1 M2 M3 3 + - - 5 ++ + - 9 +++ ++ + 12 0Atau +++ +++ ++ 15 0 atau 0 +++ ++ 20 000 00 +++ Sumber: Van Bemmel 1949 dalam Mukhtar 1996 Keterangan: M1, M2, M3 = gigi geraham atas = belum dipakai + = pemakaian sedikit ++ = pemakaian sedang +++ = pemakaian tinggi = dentin gigi bagian dala bawah kepala gigi seperti sabit bagian depan hilang atau hampit hilang 0 00 = dentin yang seperti sabit pada bagian depan dan belakang hilang 000 = permukaan kepala gigi sepenuhnya pemakaiannya turun, datar dan halus. Perilaku anak pada rusa timor, biasanya selalu mengikuti induknya atau bergerak disekitar induknya, sedangkan pada individu remaja sudah tidak lagi bergabung dengan induk, namun berkelompok dengan rusa remaja lainnya. Individu dewasa biasanya bergabung membentuk kelompok kecil dengan betina dewasa lainnya dan anak anak mereka. Namun ukuran kelompok tidak terlalu besar hanya 2-3 ekor betina dewasa saja. Sedangkan pada individu jantan dewasa, rusa timor cenderung soliter Semiadi 2006.

2.4. Produktivitas Rumput

Produktivitas rumput tergantung pada beberapa faktor McIlroy 1976 yakni: 1. Persistensi daya tahan, yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembang biak secara vegetatif. 2. Daya saing, yaitu kemampuan untuk memenangkan persaingan dengan spesies –spesies lain yang tumbuh bersama. 3. Kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan berat 4. Sifat tahan kering atau tahan dingin 5. Penyebaran produksi musiman. 6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan murah. 7. Kesuburan tanah terutama kandungan nitrogen 8. Iklim Dari produktivitas padang rumput, tidak seluruh hijauan tersedia bagi ternak atau satwa liar. Oleh karena itu harus diperhitungkan faktor proper use yaitu persentase hijauan pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak atau satwa pada keadaan padang rumput dapat digunakan dengan baik Harlan 1956. Menurut Susetyo 1980 nilai proper use dipengaruhi oleh keadaan lapangan, jenis tanaman, jenis ternak atau satwa liar, tipe iklim dan keadaan musim. Pada dasarnya makin besar kemungkinan terjadinya erosi, faktor proper use semakin kecil. Faktor proper use berdasarkan kemiringan lahan terbagi menjadi tiga yakni, proper use untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan 0-11 adalah 60-70, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11- 51 adalah 40-45 dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51 adalah 25-30 Susetyo 1980.

2.4.1. Pengukuran Produktivitas Padang Rumput

Seluk beluk mengenai pengukuran produktivitas padang rumut telah banyak dikaji McIlroy 1976. Bagi peneliti yang belum berpengalaman akan lebih efisien dengan kemungkinan bias kecil, apabila dari sejumlah sampel tertentu analisis komposisi botani dilakukan dengan cara memisah-misahkan tiap spesies dengan tangan dan kemudian menimbangnya. Cara ini memang sangat banyak membutuhkan waktu dan tenaga. Dari beberapa luasan tertentu ukuran 15 cm x 15 cm hijauan pakan di potong pada ketinggian yang telah ditentukan umumnya sangat dekat dengan permukaan tanah. Hijauan yang telah dipotong tadi, kemudian dipisah-pisahkan menurut spesies dan kemudian ditimbang. Teknik pemotongan umumnya dilakukan terdiri dari pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai cuplikan, menimbangnya kemudian dihitung produktivitas per unit luas padang rumput yang bersangkutan. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya gangguan pada pertumbuhan rumput di petak contoh padang yang digembalai, maka digunakan pagar yang terbuat dari kawat besi untuk melindungi petak contoh tersebut McIlroy 1976. Menurut Anggorodi 1975 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memotong hijauan pakan, yaitu saat pemotongan, tinggi pemotongan dan frekuensi pemotongan. Terdapat tiga tahap pertumbuhan pada tumbuhan pakan yaitu: 1. Tahap pertumbuhan 1 germinatif terjadi pada awal pertumbuhan sampai usia rumput satu minggu. Karakteristik rumput: produksi rendah, kualitas tinggi, pertumbuhan vegetatif lemah, pemotongan pada tahap ini berakibat buruk pada “regrowth”. 2. Tahap pertumbuhan 2 vegetatif terjadi pada awal minggu kedua sampai akhir minggu ke 3. Karakteristik rumput: produksi tinggi, kualitas baik, pertumbuhan vegetatif sudah kuat, pemotongan pada tahap ini tidak berdampak buruk pada “regrowth” 3. Tahap pertumbuhan 3 generatif terjadi pada awal minggu keempat dan setelahnya. Karakteristik rumput: produktivitas tinggi, kualitas menurun, masa persiapan pembentukan biji dan bunga. Pemotongan pada tahap ini menghasilkan hijauan yang rendah. Mengingat sifat-sifat pada setiap tahap tersebut maka pemotongan pada umumnya dilakukan pada tahap dua dimana produksi dan nilai gizi cukup tinggi dan tidak akan mengganggu pertumbuhan berikutnya.

III. KONDISI UMUM LOKASI

3.1. Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran 3.1.1. Letak, Luas, dan status Kawasan Sebelum di tetapkan sebagai Cagar Alam CA kawasan hutan pangandaran terlebih dahulu ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, hal ini berdasarkan Gb Tanggal 7-12-1934 Nomor 19 Stbl. 669, dengan luas 497 Ha, luas yang sebenarnya 530 Ha dan taman laut luasnya 470 Ha. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya setelah diketemukan bunga Raflesia padma, status Suaka Margasatwa dirubah menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 34KMP1961. Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan rekreasi, maka sebagian kawasan seluas 37,70 Ha dijadikan Hutan Wisata dalam bentuk Taman Wisata Alam TWA berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 170KptsUm31978 tanggal 10-3-1978. TWA dan CA Pangandaran terletak di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis. Secara astronomis kawasan ini terletak antara 108 derajat 40’ BT dan 7 derajat 43” LS.

3.1.2. Keadaan Fisik Kawasan

3.1.2.1. Topografi

Topografi kawasan TWACA Pananjung Pangandaran terdiri dari 70 datar dan 30 berbukit. Dengan ketinggian rata-rata 50 m dpl. Daerah tertinggi mencapai ± 50 m dpl.

3.1.2.2. Geologi

Pembentukan semenanjung Pangandaran bersamaan dengan terbentuknya dataran Pulau Jawa yakni pada periode Miocene, Kondisi ini ditandai dengan batuan Breccia dan susunan kapur hal ini dapat dilihat pada bagian pantai. Susunan Miocene ini tertutup oleh karang dan endapan aluvial yang berasal dari laut. Endapan tersebut terdiri dari pasir dan tanah yang kondisinya hampir menutupi seluruh areal pantai TWA CA Pananjung Pangandaran.

3.1.2.3. Iklim

Kawasan TWACA Pananjung Pangandaran mempunyai curah hujan rata- rata 3.196 mmtahun dengan suhu berkisar 25° - 30° C dan kelembaban udara antara 80-90 . Musim basah atau hujan terjadi pada Oktober sampai dengan Maret bersamaan dengan bertiupnya angin baratbarat laut. Musim kering terjadi pada Juli sampai dengan September selama periode musim angin tenggara.

3.1.2.4. Hidrologi

Dalam kawasan TWACA Pananjung Pangandaran terdapat dua buah sungai yang panjangnya tidak lebih dari 500m – 2 km. Sungai terbesar adalah sungai Cikamal yang bermuara di pantai barat dan sungai Cirengganis yang bermuara di pantai timur.

3.1.3. Ekosistem

Kawasan TWA dan CA Pananjung Pangandaran memiliki beberapa tipe ekosistem yakni: a. Ekosistem pantai yang didominasi oleh butun Baringtonia asiatica , ketapang Terminalia cattapa, nyamplung Calophyllum inophyllum , dan pandan Pandanus tectorius. b. Ekosistem hutan dataran rendah, didominasi oleh jenis laban Vitex pubescens , kondang Ficus variegata, marog Cratoxylon formosum , kisegel Dilenia excelsa. c. Ekosistem hutan tanaman, didominasi oleh jati Tectona grandis dan mahoni Swietenia macrophyla.