Analisis tataniaga biji kakao di kecamatan dagangan, kare dan gemarang Kabupaten Madiun.

(1)

ANALISIS TATANIAGA BIJI KAKAO

DI KECAMATAN DAGANGAN, KARE DAN GEMARANG

KABUPATEN MADIUN

SKRIPSI

RIYAN ARTHUR FIRMANSYAH H34104107

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

RIYAN ARTHUR FIRMANSYAH. Analisis Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan JUNIAR ATMAKUSUMA).

Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional. Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat baik diantaranya sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber bahan baku industri, dan penyumbang devisa bagi negara.

Pembudidayaan tanaman Kakao (Theobroma cacao) di Kabupaten Madiun awalnya dimulai di wilayah Kecamatan Dagangan pada tahun 1991 dengan luas 250 ha. Pada tahun 2010 luas lahan tanaman Kakao naik menjadi 3374 ha. Dari perkembangan luas lahan tersebut terdapat 3 kecamatan dari 15 kecamtan yang memiliki luas lahan cukup luas dan dapat dikatakan sebagi daerah sentra yaitu Kecamatan Dagangan, Kecamatan Kare dan Kecamatan Gemarang.

Pemasaran merupakan hal yang sangat penting setelah selesainya proses produksi pertanian. Biaya tataniaga yang besar mengarah pada perbedaan harga antara petani dengan konsumen. Kondisi pemasaran menimbulkan suatu siklus atau lingkaran pasar suatu komoditas. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen sangat bergantung pada struktru pasar dan biaya tataniaga. Untuk meningkatkan pendapatan petani selain dengan meningkatkan produksi juga diperlukan suatu sistem pemasaran efektif dan efisien. Dengan melihat permasalahan mengenai saluran tataniaga dan fungsi – fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada komoditas Kakao, struktur dan perilaku pasar pada masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat dan efisiensi saluran tataniaga Kakao berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: (1)Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi – fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada komoditas Kakao; (2)Menganalisis struktur dan perilaku pasar pada masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat.; dan (3)Menganalisis efisiensi saluran tataniaga Kakao berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut termasuk penghasil biji kering Kakao terbanyak di Pulau Jawa. Penelitian dilakukan pada bulan November-Desember 2012. Petani dan pedagang yang terpilih sebagai responden berasal dari anggota kelompok tani yang berasal dari 3 kecamatan ( Dagangan, Kare dan Gemarang). Jumlah responden secara snowball sampling

dipilih 30 orang karena berdsarkan informasi dari wawancara dengan beberapa ketua kelompok tani. Selanjutnya, pemilihan pedagang responden melalui metode snowball sampling berdasarkan informasi hasil wawancara sebelumnya


(3)

yang diperoleh dari petani responden karena tidak diketahui kerangka sampelnya (sampling frame) pedagang responden berjumlah 20 orang. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Proses analisis data kualitatif menggambarkan secara deskriptif yang terdiri dari saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga serta struktur dan perilaku pasar. Sedangkan analisis data kuantitatif dipergunakan untuk menganalisis besaran marjin tataniaga, farmers’s share dan rasio keuntungan biaya. Alat analisis data kuantitatif yang digunakan berupa kalkulator, program komputer Microsof Excel.

Sistem tataniaga Biji Kakao di Kecamtan Dagangan, Kare dan Gemarang secara garis besar terbentuk empat pola saluran tataniaga. Berdasarkan fungsi tataniaga, fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga Biji Kakao tidak merata. Hal tersebut dapat dilihat dari biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga yang terlibat, dimana semakin besar biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga maka semakin banyak fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga tersebut.

Efisiensi tataniaga berdasarkan saluran tataniaga yang pendek belum bisa dikatakan efisiensi, tetapi harus dilihat berdasarkan besar kecilnya volume penjualan. Apabila dilihat berdasarkan margin, farmer’s share, rasio keuntungan, volume penjualan dan pendeknya saluran di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Besar kecilnya nilai margin, farmer’s share, rasio keuntungan, volume penjualan sebenarnya bukan berarti tidak efisien. Menurut hasil penelitian bahwa disetiap saluran sudah efisien karena memamng saluran yang di jalankan memang harus seperti itu karena berdasarkan keadaan kondisi lapangan yang terjal dan kondisi jalan yang rata-rata kurang bagus sehinnga memerlukan bantuan lembaga-lemabga tataniaga. Berdasarkan struktur pasar setiap lembaga tataniaga, secara umum struktur pasar yang terbentuk pada sistem tataniaga biji kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang lebih mengarah pada struktur pasar oligopsoni. Sedangkan perilaku pasar yang terjadi pada setiap lembaga tataniaga juga cukup beragam.


(4)

ANALISIS TATANIAGA BIJI KAKAO

DI KECAMATAN DAGANGAN, KARE DAN GEMARANG

KABUPATEN MADIUN

Riyan Arthur Firmansyah H34104107

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(5)

Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun.

Nama : Riyan Arthur Firmansyah NRP : H34104107

Menyetujui, Pembimbing

Ir. Juniar Atmakusuma, MS NIP. 19530104 197903 2 001

Mengetahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “Analisis Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2013

Riyan Arthur Firmansyah H34104107


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 10 Mei 1989. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Alm. Bapak Tedjo Lelono dan Ibu Pri Sulistiyati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Palebon VI Semarang pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP 14 Semarang. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA 15 Semarang diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima sebagai mahasiswa diploma pada Program Studi Agroindustri Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007 dan lulus pada tahun 2010.

Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang strata satu di Program Sarjana Agribisnis Alih Jenis Departemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare Dan Gemarang Kabupaten

Madiun”.

Penelitian ini bertujuan menganalisis tataniaga Biji Kakao. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan sehingga diperlukan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga dengan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas.

Bogor, Maret 2013 Riyan Arthur Firmansyah


(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ir. Juniar Atmakusuma, MS. selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Amzul Rifin, SP, MA. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan ilmu, masukan, kritik, saran untuk perbaikan penulisan skripsi ini dan memberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penelitian mengenai Kakao di Kabupaten Madiun.

3. Arif Karyadi Uswandi, SP. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan ilmu, masukan, kritik dan saran untuk perbaikan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh dosen pengajar dan staf Departemen Agribisnis yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kegiatan perkuliahan.

5. Kedua orang tua tercinta, Bapak, Ibu, serta kakak-adik tercinta Firman Danni Ardianto dan Rizki Ardiansyah yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat, dukungan baik moral maupun materi, serta menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Aryanti Ramadhan yang telah menjadi pembahas pada seminar penulis dan memberikan masukan-masukan terhadap penyelesaian skripsi.

7. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun terutama Bapak Supadi yang bersedia memberikan bantuan dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta Bapak Wono, Bapak Kusno yang menemani saat di lapangan serta staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang namanya tidak disebutkan satu-satu.

8. Bapak Sunardi, Bapak Sukardi serta petani dan pedagang yang tidak bisa disebutkan satu-satu namanya yang telah bersedia menjadi responden penelitian ini.


(10)

9. Teman-teman Alih Jenis Agribisnis angkatan 1, yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

10. Teman-teman seperjuangan Agroindustri UGM yang telah memberikan dukungan kepada penulis, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

………

xi

DAFTAR GAMBAR

………..……....

xii

DAFTAR LAMPIRAN

………..……..

..

xiii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 6

1.3. Tujuan ………. 7

1.4. Manfaat ……….. 7

1.5. Ruang Lingkup ……….. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Komoditas Kakao ……… 9

2.2. Analisis Sistem Tataniaga Kakao (Biji Kakao) ...……. 11

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ……… 16

3.1.1. Konsep Tataniaga ……….. 16

3.1.2. Lembaga-lembaga Tataniaga ……… 17

3.1.3. Saluran Tataniaga ………..……….... 19

3.1.4. Fungsi-Fungsi Tataniaga ………... 20

3.1.5. Struktur Pasar ……….. 21

3.1.6. Perilaku Pasar ………..… 22

3.1.7. Keragaan Pasar ………. 23

3.1.8. Efisiensi Tataniaga ………...… 24

3.1.9. Margin Tataniga ……… 25

3.1.10. Farmer’s Share ……….. 27

3.1.11.Rasio Keuntungan Pada Biaya ………. 27

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ………. 27

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………..…… 30

4.2. Metode Pengumpulan Data ………...…….. 30

4.3. Metode Pengambilan Data ………...….. 30

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data …………..……. 31

4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga ……….. 31

4.4.2. Analisis Lembaga Tataniaga ……….…... 31

4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ………..… 32


(12)

4.4.5. Analisis Farmer’s Share ………...…….. 34

4.4.6. Analisis Rasio Keuntungan Biaya ………... 34

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Kondisi Geografi dan Demografi ... 35

5.2. Karakteristik Petani Responden ... ... 38

5.2.1. Umur ... .... 38

5.2.2. Tingkat Pendidikan ... .... 39

5.2.3. Mata Pencaharian Responden ……….. 40

5.2.4. Pengalaman Bertani ... ... 40

5.2.5. Pohon yang Dimiliki Petani Kakao ………….. 41

5.3. Karakteristik Pedagang Responden ... 42

5.3.1. Umur dan Pengalaman Bertani ... 43

5.3.2. Tingkat Pendidikan ... ... 44

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Saluran Tataniaga ………..… 46

6.1.1. Saluran Tataniaga I ………..…. 47

6.1.2. Saluran Tataniaga II………..…. 48

6.1.3. Saluran Tataniaga III……….….... 48

6.1.4. Saluran Tataniaga IV………. 49

6.1.5. Saluran Tataniaga V……….. 49

6.2. Analisis Lembaga dan Fungsi………..…… 49

6.2.1. Petani………..…… 51

6.2.2. Pedagang Desa………..…….. 52

6.2.3. Pedagang Kecamatan……….. 53

6.2.4. Pedagang Kabupaten……….. 55

6.2.5. Pedagang Besar………...……… 57

6.3. Analisis Struktur Pasar………. 58

6.3.1. Petani………..………. 59

6.3.2. Pedagang Desa………. 59

6.3.3. Pedagang Kecamatan………. 59

6.3.4. Pedagang Kabupaten………….………. 60

6.3.5. Pedagang Besar………... 60

6.4. Perilaku Pasar……….……… 60

6.4.1. Paraktek Pembelian dan Penjualan…….…….. 60

6.4.2. Sistem Penentuan Harga………. 61

6.4.3. Sistem Pembayaran………..……….. 61

6.4.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga….…….. 62

6.5. Analisis Keragaaan Pasar……….. 62

6.5.1. Analisis Margin Tataniaga………….………… 62

6.5.2. Farmer’s Share……… 67

6.5.3. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya.…………. 68


(13)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan ……….. 72

7.2. Saran ………. 73


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai Biji Kakao Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2012... 1 2. Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Kakao Tahun 2000-2011... 2 3. Produksi Kakao di Daerah Sentra Tahun 2012………... 3 4. Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Komoditas Kakao

di Jawa Timur Tahun 2007-2011 ... 3 5. Wilayah Pengembangan Kakao di Jawa Timur Tahun 2012 ... 4 6. Luas Lahan dan Produksi Kakao Per Kecamatan

di Kabupaten Madiun Tahun 2011 – 2012 …………... 5 7. Penelitian Terdahulu Mengenai Kakao …………...…………... 11 8. Penelitian Terdahulu Mengenai Analisis Sistem Tataniaga ... 15 9. Karakteristik Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjualan dan

Sudut Pembelian ... 21 10.Fungsi-fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh

Lembaga-Lembaga Tataniaga Biji Kakao ... 32 11.Karakteristik Struktur Pasar ………...………... 33 12.Luas Daerah Berdasarkan Kemiringan Lereng di Kabupaten

Madiun Tahun 2012 ... 35 13.Penggunaan Lahan Wilayah Kabupaten Madiun Tahun 2012... 35 14.Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Madiun

Tahun 2012 ... 36 15.Jumlah Penduduk Kabupaten Madiun Tahun 2009 ... 37 16.Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur Tahun 2012 .... 38 17.Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tahun 2012 ... 39 18.Jumlah Petani Responden Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun

2012 ……… 40

19.Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani Tahun 2012 ... 41 20.Jumlah Petani Responden Berdasarkan Banyaknya Pohon


(15)

21.Jenis Pedagang di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang

Tahun 2012 ………. 42

22.Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan Umur dan

Pengalaman Berdagang Tahun 2012 ... 44 23.Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tahun 2012 ... ... 45 24.Fungsi Tataniaga Masing-Masing Lembaga Tataniaga Biji Kakao

Tahun 2012………. 50

25.Biaya Tataniaga, Margin Tataniaga, Harga Penjualan dan Harga

Pembelian di Masing-Masing Saluran Tataniaga……….. 63 26. Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Biji Kakao Kering di

Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang……….. 67

27.Rasio Keuntungan Pada Setiap Saluran Tataniaga……….... 69 28.Nilai Efisiensi Tataniaga Masing-Masing Saluran di Kecamatan


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Marjin Tataniaga ... 26

2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 29

3. Saluran Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Tahun 2012 ……….……….. 46

4. Saluran Tataniaga I ……….……… 47

5. Saluran Tataniaga II ……….……….. 48

6. Saluran Tataniaga III ………. 48

7. Saluran Tataniaga IV ………. 49


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam pembangunan sub sektor perkebunan antara lain untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun sebagai komoditi ekspor penghasil devisa negara. Selain itu para pedagang terutama trader asing lebih senang mengekspor dalam bentuk Biji Kakao non olahan. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok utama Kakao dunia (13,6 persen) setelah Pantai Gading (38,3 persen) dan Ghana (20,2 persen)1. Permintaan dunia terhadap komoditas Kakao semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2011, ICCO (International Cocoa Organization) memperkirakan produksi Kakao dunia akan mencapai 4,05 juta ton, sementara konsumsi akan mencapai 4,1 juta ton, sehingga akan terjadi defisit sekitar 50 ribu ton per tahun (ICCO, 2011). Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik bagi Indonesia karena sebenarnya Indonesia berpotensi untuk menjadi produsen utama Kakao dunia. Berikut merupakan Negara - negara yang menjadi tujuan ekspor Biji Kakao terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Biji Kakao Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2012 (000US$)

Negara 2005 2006 2007 2008 2009

Malaysia 153.440,14 234.811,72 296.882,02 468.788,27 451.582,51 Amerika

Serikat 297.204,10 163.986,70 83.287,00 128.154,10 297.012,90 Singapura 36.231,25 57.824,63 74.093,09 102.529,08 139.238,80 Brazil 35.693,50 83.771,80 75.021,90 68.173,00 103.380,40 Jerman 2.135,10 13.416,60 1.827,10 1.493,70 20.714,90 Negara lain 60.694,60 65.205,30 91.489,20 85.446,70 75.555,20 Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia 2012

Perkebunan Kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan Kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan Kakao tersebut sebagian besar (87,4 persen)

1

ICCO. 2011. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. http://www.icco.org/about-us/icco-news/197-may-2012-quarterly-bulletin-of-cocoa-statistics.html. [11 Oktober 2012]


(18)

2 dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6 persen dikelola perkebunan besar negara serta 6,7 persen perkebunan besar swasta yang dimana luas lahan, produksi dan produktivitasnya yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Kakao Indonesia Tahun 2000 – 2011

Thn Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

PR PBN PBS PR PBN PBS PR PBN PBS

2000 641.133 52.690 56.094 363.628 34.790 22.724 1,76 1,51 2,47 2001 710.044 55.291 56.114 476.924 33.905 25.975 1,49 1,63 2,16 2002 798.628 54.815 60.608 511.379 34.083 25.693 1,56 1,61 2,36 2003 861.099 49.913 53.211 634.877 32.075 31.864 1,36 1,56 1,67 2004 1.003.252 38.668 49.040 636.783 25.830 29.091 1,58 14,97 0,17 2005 1.081.102 38.295 47.649 693.701 25.494 29.633 1,56 1,50 1,61 2006 1.219.633 48.930 52.257 702.207 33.795 33.384 1,74 0,14 1,57 2007 1.272.781 57.343 49.155 671.370 34.643 33.993 18,96 1,66 1,45 2008 1.326.784 50.584 47.848 740.681 31.130 31.783 1,79 16,25 23,30 2009 1.491.808 49.489 45.839 741.981 34.604 32.998 2,01 1,43 22,49 2010 1.555.596 50.104 45.839 773.707 36.844 34.075 2,01 1,36 1,35 2011 1.641.130 54.443 50.216 828.255 38.068 36.769 1,98 1,43 1,37 Keterangan :

PR = Perkebunan Rakyat PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta Sumber : Ditjenbun, 2012 (diolah)

Jenis tanaman Kakao yang dihasilkan oleh petani sebagian besar adalah jenis Biji Kakao kering. Biji Kakao kering ini adalah Biji Kakao kering asalan yang dijemur di bawah terik matahari dimana Biji Kakao yang berasal dari Buah Kakao yang sudah matang dan kadang ada juga yang belum dicampur menjadi satu. Sentra produksi utama Biji Kakao kering adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.


(19)

3 Tabel 3. Produksi Kakao Di Daerah Sentra Tahun 2012

No Provinsi Produksi Kakao (ton)

2006 2007 2008 2009 2010

1 Aceh 17.071 19.249 27.295 29.130 28.429

2 Sumatera Utara 58.949 64.782 60.253 78.255 69.106 3 Sumatera Barat 18.623 20.725 32.183 33.430 34.099

4 Lampung 25.611 24.671 25.690 26.037 25.919

5 Jawa Timur 19.672 16.613 18.270 22.677 23.056

6 Sulawesi Tengah 131.942 146.778 151.949 138.149 187.179 7 Sulawesi Selatan 144.533 119.293 112.037 164.444 177.472 8 Sulawesi Barat 112.927 88.436 149.458 96.860 101.012 9 Sulawesi Tenggara 125.279 135.113 116.994 132.189 146.650 Jumlah 769.386 740.006 694.129 721.171 792.922 Sumber : Ditjenbun (2012)

Jawa Timur merupakan salah satu sentra perkebunan rakyat di pulau Jawa. Di Jawa Timur, komoditi Kakao merupakan komoditi strategis untuk mengangkat martabat masyarakat dengan meningkatkan pendapatan petani perkebunan dan tumbuhnya sentra ekonomi regional. Komoditi Kakao dikembangkan pada Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 30,14 persen , Perkebunan Besar Negara (PTPN) sebesar 26,48 persen dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 4,54 persen. Berikut ini data perkembangan areal, produksi dan produktivitas komoditi Kakao di Jawa Timur dalam kurun waktu 2007- 2011 pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Komoditi Kakao di Jawa Timur Tahun 2007-2011

Tahun Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Kg/Ha)

2007 44.313 19.672 1.065

2008 52.537 18.269 681

2009 54.007 22.667 842

2010 54.657 23.192 884

2011 61.167 23.522 846

Sumber : Ditjenbun Jatim (2012)

Sentra penanaman Kakao pada Perkebunan Rakyat di Jawa Timur terbagi atas 20 Kabupaten. Sedangkan yang memiliki Luas lahan yang cukup besar diantaranya adalah Kabupaten Madiun 4.184 Ha, Pacitan 3.619 Ha, Trenggalek 3.093 Ha, Blitar 2.544 Ha, serta 16 kabupaten lain di Jawa Timur seperti Ponorogo, Malang dan


(20)

lain-4 lain. Untuk lebih lengkapnya untuk melihat luas lahan disetiap Kabupaten hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Wilayah Pengembangan Kakao di Jawa Timur Tahun 2012

No Kabupaten Luas Lahan

1 Bangkalan 4

2 Banyuwangi 490

3 Blitar 3.201

4 Bondowoso 78

5 Gresik 45

6 Jember 2.119

7 Jombang 1.523

8 Kediri 1.550

9 Lumajang 252

10 Madiun 4.393

11 Magetan 565

12 Malang 2.475

13 Nganjuk 2.089

14 Ngawi 2.290

15 Pacitan 3.855

16 Pamekasan 1

17 Ponorogo 1.723

18 Sumenep 140

19 Trenggalek 3.657

20 Tulungagung 523

Jumlah 30.973

(Sumber Dinas Perkebunan Jawa Timur,2012) (diolah)

Dapat dilihat pada tabel luas perkebunan rakyat di daerah Kabupaten Madiun memiliki luas lahan yang paling besar yaitu 4.393 Ha. Hal tersebut di dukung dengan kondisi iklim dan keadaan tanah yang subur yang terletak diantara Gunung Wilis dan Gunung Lawu. Kabupaten Madiun memiliki 15 Kecamatan yang menghasilkan produksi Biji Kakao. Tiga Kecamatan yang berpotensi dan memiliki lahan dan produksi yang tinggi diantaranya adalah Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Untuk lebih lengkapnya data dapat dilihat pada Tabel 6.


(21)

5 Tabel 6. Luas Lahan dan Produksi Kakao Per Kecamatan di Kabupaten Madiun

Tahun 2011 – 2012 No Kecamatan

2011 2012

Luas (Ha) Produksi

(Ton) Luas (Ha)

Produksi (Ton)

1 Kebonsari 70 6,79 62 8

2 Geger 9 0,6 9 1

3 Dolopo 523 43,16 523 71

4 Dagangan 1.120 147,32 1.165 275

5 Wungu 43 2,03 30 8

6 Kare 1.422,7 142,28 1.739 209

7 Gemarang 880 59,87 1.114 91

8 Saradan 31 1,2 9 6

9 Pilangkenceng 12 1,43 22,5 4

10 Mejayan 17 0,56 24 1

11 Wonoasri 9 0,9 7 1

12 Balerejo 13 0,3 6,5 -

13 Madiun 12 0,3 10 1

14 Sawahan 7 - 5 0,5

15 Jiwan 13,5 0,66 15 1

Jumlah 4.184 407,37 4.741 677,5

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun (2012) (diolah)

Sebagai tiga kecamatan sentral Kakao yaitu Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang merupakan daerah sentra yang menghasilkan produksi Kakao terbesar. Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang memproduksi Biji Kakao dengan volume yang besar hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan volume dari tahun 2011 sampai dengan 2012. Peningkatan volume produksi Kakao tersebut dikarenakan tanaman Kakao yang belum menghasilkan Buah Kakao mulai menghasilkan Buah Kakao setelah lima sampai enam tahun kedepan sehingga pada tahun 2012 mengalami peningkatan produksi Kakao yang hampir dua kali lipat dari tahun 2011. Dengan volume produksi yang besar yang nantinya akan dikirimkan sampai ke konsumen akhir. Dalam pendistribusian Biji Kakao sampai ke konsumen akhir tataniaga Biji Kakao sangat berperan. Pendistribusian tataniaga Biji Kakao juga di pengaruhi oleh keadaan infrastruktur di masing-masing kecamatan yang menyebabkan biaya-biaya tataniaga berbeda yang nantinya berdampak pada efisiensi tataniaga yang berada di setiap saluran tataniaga.


(22)

6 1.2. Perumusan Masalah

Pembudidayaan tanaman Kakao (Theobroma cacao) di Kabupaten Madiun awalnya dimulai di wilayah Kecamatan Dagangan pada tahun 1991 dengan luas 250 ha. Pada tahun 2010 luas lahan tanaman Kakao naik menjadi 3374 ha. Dari perkembangan luas lahan tersebut terdapat 3 kecamatan dari 15 kecamatan yang memiliki luas lahan cukup luas dan dapat dikatakan sebagai daerah sentra yaitu Kecamatan Dagangan (943 ha), Kecamatan Kare (1324 ha) dan Kecamatan Gemarang (729 ha). Selain itu, produksi Kakao dari 15 kecamatan yang menjadi sentra produksi terdapat 3 kecamtan yang terbesar diantara Kecamatan Dagangan (225 ton), Kecamatan Kare (169 ton) dan Kecamatan Gemarang (69 ton).

Petani Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang merupakan sebagai pihak penerima harga (price taker). Berdasarkan informasi yang diperoleh dilapangan harga Biji Kakao kering di tingkat petani berfluktuatif yaitu Rp 11.000,00

– Rp 14.500,00/ kilogram. Sedangkan harga yang diterima pedagang besar (konsumen perantara) mencapai Rp 17.500,00 – Rp 20.500,00. Perbedaan tersebut di pengaruhi oleh keadaan infrastruktur yang kurang baik dimana keadaan lokasi penelitian terjal dan relatif jauh jarak satu tempat ke tempat lainnya. Oleh karena itu, berpindahnya barang-barang niaga dari pusat produksi kepusat konsumsi kadang-kadang membutuhkan waktu yang cukup lama. Adanya jarak ini memungkinkan timbulnya resiko yang perlu ditangani dan berhubungan dengan masalah biaya-biaya pemasaran yang harus dikeluarkan. Selama tenggang waktu tersebut, haruslah ada lembaga tataniaga yang dapat menjembataninya. Oleh karena itu, dalam tataniaga Biji Kakao tersebut diperlukannya analisis mengenai saluran tataniaga yang mengingat bervariasinya saluran tataniaga yang ditempuh petani Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang.

Analisis Tataniaga pada pola saluran Biji Kakao perlu dilakukan sehingga dapat diketahui saluran mana yang lebih efisien. Dengan adanya pola saluran yang efisien dapat diketahui saluran tataniaga yang dapat memberikan maanfaat bagi petani dan lembaga yang terlibat dari saluran tataniaga yang efisien dengan melihat keadaan infrastruktur yang berada di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang.


(23)

7 Dengan melihat permasalahan di atas yang terjadi di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang maka penelitian ini akan mengangkat topik mengenai analisis tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang di Kabupaten Madiun dengan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana saluran tataniaga Biji Kakao dan fungsi – fungsi tataniaga Biji Kakao yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada komoditas Biji Kakao? 2. Bagaimana struktur dan perilaku pasar pada masing – masing lembaga tataniaga

Biji Kakao yang terlibat?

3. Bagaimana efisiensi saluran tataniaga Biji Kakao berdasarkan margin tataniaga,

farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi saluran tataniaga Biji Kakao dan fungsi – fungsi tataniaga Biji Kakao yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada komoditas Biji Kakao.

2. Mengidentifikasi struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga Biji Kakao yang terlibat.

3. Mengidentifikasi efisiensi saluran tataniaga Biji Kakao berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diantaranya adalah :

1. Sebagai bahan informasi bagi petani dan lembaga tataniaga dalam pembentukan saluran tataniaga Biji Kakao yang menguntungkan kedua belah pihak.

2. Sebagai bahan acuan lebih lanjut bagi penelitian serupa untuk mengetahui perkembangan pemasaran Kakao.

3. Bagi peneliti sebagai penerapan ilmu atau teori yang telah didapat selama masa perkuliahan dan dapat diterapkan dalam permasalahan yang terjadi di masyarakat dan dapat memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut.


(24)

8 1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan analisis tataniaga di Kabupaten Madiun Kecamatan Kare, Dagangan, dan Gemarang terhadap Biji Kakao. Hal ini dikarenakan Biji Kakao merupakan hasil dari perkebunan yang memiliki harga jual yang tinggi dan fluktuasi harga di tingkat petani hingga di pedagang besar (konsumen perantara). Harga yang dijadikan acuan merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian. Analisis efisiensi tataniaga menggunakan indikator ukuran efisiensi operasional (teknis) yaitu analisis margin tataniaga, analisis farmer’s share, serta analisis rasio keuntungan dan biaya. Biji Kakao yang dijadikan obyek dalam penelitian ini adalah hasil dari Kakao perkebunan rakyat.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Komoditas Kakao

Indonesia merupakan negara penghasil Kakao terbesar ke-3 dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Ditinjau dari segi produktivitas, Indonesia masih berada di bawah produktivitas rata-rata negara lain penghasil Kakao. Selama ini Kakao lebih banyak diekspor dalam wujud biji kering. Kegiatan budidaya Kakao meliputi : pemangkasan, penyiangan, pemupukan, penyiraman, pemberantasan hama dan penyakit dan panen2.

Kakao Indonesia memiliki daya saing yang rendah (tidak memiliki keunggulan komparatif) pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dan daya saing tinggi (memiliki keunggulan komparatif) pada tahun 1996 sampai dengan 2006, faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri pengolahan Kakao nasional adalah infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditi primer serta kualitas Biji Kakao yang rendah, faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan Kakao Indonesia adalah harga ekspor, volume ekspor dan krisis ekonomi, sedangkan faktor yang tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan Kakao Indonesia adalah tingkat produktivitas industri pengolahan Kakao (Rahmanu, 2009).

Idris (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku menjelaskan bahwa kinerja finansial dan ekonomi memperlihatkan usahatani Kakao rakyat di Kabupaten Buru layak untuk di kembangkan, hal tersebut ditunjukkan dengan diperoleh nilai B/C ratio yang lebih besar dari satu, NPV yang positif dan nilai IRR yang jauh lebih besar dari suku bunga bank yang berlaku. Walaupun pada kenyataannya dalam analisis finansial cukup sensitif terhadap suku bunga bank. Integrasi pasar komoditi Kakao di tingkat petani dengan pasar referensi dalam jangka pendek terjadi keterpaduan pasar, namun dalam jangka panjang tidak terjadi keterpaduan, sehingga distribusi profit marjin yang diterima petani lebih kecil dibandingkan yang diterima pedagang pengumpul dan pedagang besar. Luas

2

Dinas Perkebunan. 2012. Budidaya Kakao. http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/dinas-perkebunan.html. [10 Oktober 2012]


(26)

10 areal sangat respon terhadap perubahan harga Kakao, luas areal sebelumnya dan pengaruh kebijakan otonomi daerah, yang memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun lebih banyak infrastruktur, sehingga memudahkan petani dalam mengakses informasi pasar dan memperbaiki harga komoditi perkebunan, pada akhirnya semakin memotivasi petani dalam meningkatkan nilai usahanya. Dalam pengembangan usahatani Kakao rakyat di Kabupaten Buru belum tampak adanya kebijakan pemerintah yang berarti bagi petani terhadap proteksi harga input produksi, seperti peralatan usahatani, pupuk, pestisida, serta pembangunan infrastruktur yang kurang memadai. Sehingga petani mengalami kehilangan surplus seharusnya diterimanya dan kehilangan surplus petani ini, ternyata dinikmati oleh pelaku pasar input dan output.

Penelitian Ali dan Rukka (2011) yang berjudul peran pedagang Kakao dalam peningkatan efisiensi pasar di Sulawesi Selatan, hasil analisis mengenai efisiensi pemasaran pada setiap tingkatan pedagang dan saluran pemasaran Biji Kakao besarnya margin pemasaran, didasarkan atas tingkat harga Biji Kakao basah adalah Biji Kakao yang masih memiliki kadar air kira-kira 25 persen dengan harga Rp 9.315 per kilogram dan harga Biji Kakao kering adalah Biji Kakao yang memiliki kadar air kira-kira 10 persen Rp 23.000 per kilogram. Sementara harga di tingkat eksportir didasarkan pada tingkat harga US$ 3.000 per ton atau US$ 3 per kilogram (Rp 28.800 pada kurs Rp 9.600 per US$ 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa margin terbesar diperoleh lembaga pemasaran eksportir yang mencapai Rp 5.570 per kilogram pada kurs US$ 1 = Rp 9.600. Semakin menjauhi sentra produksi, cenderung semakin kecil margin pemasaran yang diterima pedagang, kecuali eksportir karena berhubungan langsung dengan permintaan luar negeri dan ditunjang dengan kurs dollar yang tinggi.

Berdasarkan penelitian Idris (2006), Rahmanu (2009) dan Ali dan Rukka (2011), mengenai Kakao diketahui bahwa Kakao memiliki daya saing, layak dikembangkan untuk peningkatan efisiensi pasar namun harus didukung oleh berbagai pihak mulai dari petani hingga pemerintah daerah. Sehingga dengan adanya keterkaitan tersebut dapat menciptakan saluran tataniaga Biji Kakao yang efisien. Tabel 7 menunjukkan penelitian terdahulu mengenai Kakao.


(27)

11 Tabel 7. Penelitian Terdahulu Mengenai Kakao

No Nama Topik Bahasan

1. Idris (2006) Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku

Pengembangan Kakao

2. Rahmanu (2011)

Analisis Daya Saing Industri

Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia

Analisis Daya Saing

3. Ali dan Rukka (2011)

Peran Pedagang Kakao dalam

Peningkatan Efisiensi Pasar di

Sulawesi Selatan

Peningkatan Efisiensi Pasar

2.2 Analisis Sistem Tataniaga Kakao (Biji Kakao)

Penelitian Putri (2009) berjudul Penanganan Pasca Panen dan Pemasaran Biji Kakao di Kecamatan Simpang Alahan Mati Kabupaten Pasaman ini mengidentifikasi perbedaan penanganan pasca panen antara Biji Kakao fermentasi dan Biji Kakao non fermentasi dari aspek teknis dan ekonomis serta untuk menganalisa saluran pemasaran dan margin tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Simpang Alahan Mati. Kegiatan pemasaran menurut peneliti ini dilakukan secara berantai dari tingkat petani sampel hingga tingkat eksportir di Padang. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh, bahwa pengolahan Biji Kakao fermentasi secara teknis membutuhkan waktu 9 - l1 hari, sedangkan Biji Kakao non fermentasi membutuhkan waktu 4 – 6 hari. Secara ekonomis, harga Biji Kakao fermentasi sekitar Rp.21.500 - Rp.23.000 per kilogram dan Biji Kakao non fermentasi sekitar Rp. 19.000 - Rp. 2l .000 per kilogram. Pada daerah penelitian, ditemukan dua bentuk pola saluran pemasaran, yaitu pola I : Petani - Pedagang Pengumpul - Pedagang Antar Daerah - Eksportir sebanyak 71,92 persen dan pola II : Petani - Pedagang Antar Daerah - Eksportir sebanyak 28,080 . Pendapatan petani dalam 100 kilogram Biji Kakao basah pada pola saluran l, dalam bentuk Biji Kakao fermentasi Rp. 1.265.179 dan dalarn bentuk non fermentasi Rp. 1.326.104,22. Sedangkan pada pola saluran II, dalam bentuk fermentasi Rp. 1.308.492 dan non fermentasi Rp. 1.385.236. Hal ini terlihat, bahwa pendapatan petani yang menjual Biji Kakao non fermentasi, baik pada pola saluran I dan II lebih tinggi dibandingkan petani yang menjual dalam bentuk Biji Kakao fermentasi. Dari segi teknis, pengolahan Biji Kakao secara fermentasi membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pengolahan secara non


(28)

12 fermentasi. Pada daerah penelitian, peranan kelompok tani dalam bidang pemasaran belum optimal.

Penelitian Sisfahyuni, Ludin, Taufik, Yantu MR (2008) berjudul Efisiensi Tataniaga Komoditas Kakao Biji Asal Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah ini bertujuan menghitung efisiensi tataniaga komoditas Biji Kakao asal Kabupaten Parigi. Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti menggunakan analisis margin tataniaga. Asumsi yang digunakan oleh peneliti adalah bahwa efisiensi tataniaga komoditi Kakao biji berbanding lurus dengan efektivitas pasar komoditi tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa tataniaga Biji Kakao di Kabupaten Parigi tergolong efisien, karena pasangan efektif yang diindikasikan oleh persentase harga yang diterima oleh petani Kakao lebih besar daripada 75 persen yaitu 83 persen. Namun, dalam penelitian disebutkan bahwa sebenarnya efisiensi pasar tersebut adalah semu, karena berdasarkan kontrak (kemitraan petani dengan pedagang pengumpul) di mana petani harus menjual kepada pedagang pengumpul tertentu, karena telah meminjam uang. Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti bahwa Biji Kakao petani di hargai dengan harga berlaku, tetapi petani harus membayar bunga pinjaman yang diistilahkan bonus kepada pedagang pengumpul setiap transaksi dan bonus yang disetorkan adalah menyerahkan bonus 4 kilogram setiap transaksi, hal tersebut berarti bahwa persentase harga Biji Kakao yang diterima petani sebenarnya secara riil adalah rendah. Jadi, bentuk kemitraan yang berlangsung selama ini sebenarnya merugikan petani Biji Kakao.

Penelitian Septria (2011) berjudul Analisis Perbandingan Tingkat Keuntungan Petani dengan Tingkat Keuntungan Perdagangan dalam Pemasaran Kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok tentang analisa perbandingan tingkat keuntungan petani dengan tingkat keuntungan pedagang dalam pemasaran Kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok telah dilaksanakan di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa terdapat dua saluran tataniaga Kakao di Kecamatan Kubung, yaitu 1) petani menjual kepada pedagang pengumpul, pedagang pengumpul menjual Kakao kepada pedagang besar, dan terakhir pedagang besar menjual Kakao kepada eksportir, dan 2) petani menjual Kakaonya kepada pedagang besar, kemudian


(29)

13 pedagang besar menjual kembali kepada eksportir. Diantara 2 saluran ini saluran II merupakan saluran tataniaga Kakao yang efisien karena saluran yang dilalui lebih pendek sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh oleh petani lebih tinggi dibandingkan dengan saluran I. Petani memperoleh keuntungan yang paling besar dibandingkan dengan pedagang perantara baik pada saluran tataniaga Kakao I (saluran I) maupun saluran tataniaga Kakao II (saluran II). Pada saluran tataniaga Kakao I (saluran I), tingkat keuntungan yang diperoleh oleh petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan eksportir berturut – turut adalah sebesar 41,10 persen, 6,36 persen, 4,48 persen, dan 6,43 persen terhadap harga ekspor dengan total keuntungan yang diperoleh lembaga niaga sebesar Rp. 16.926,66 per kilogram. Saluran tataniaga Kakao II (saluran II) tingkat keuntungan petani, pedagang besar, dan eksportir berturut – turut sebesar 41,77 persen, 9,29 persen, dan 8,15 persen terhadap harga ekspor dengan total keuntungan yang diperoleh lembaga niaga sebesar Rp. 17.171,59 per kilogram.

Penelitian Wally (2001) berjudul Analisis Ekonomi Tataniaga Kakao Rakyat dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Opsi Kelembagaan Tataniaga Petani Kakao Kabupaten Jayapura ini bertujuan menganalisis struktur dan sistem tataniaga dan faktor-faktor yang mempengaruhi serta dampaknya terhadap peningkatan produksi Kakao rakyat. Serta menganalisis bentuk-bentuk kelembagaan tataniaga Kakao rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhi opsi petani terhadap kelembagaan tataniaga dalam menjual Biji Kakao. Dari hasil peneletian menunjukkan bahwa struktur pasar Biji Kakao di daerah penelitian bersifat oligopsonistik yang mempunyai kecenderungan mengarah ke pasar lebih bersaing. Sedangkan untuk margin tataniaga pada kelembagaan kemitraan jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kelembagaan tradisional. Harga Biji Kakao di tingkat petani pada kelembagaan kemitraan lebih dominan dipengaruhi oleh persentase perubahan yang terjadi pada harga di pasar lokal, sedangkan pada kelembagaan tradisional pembentukan harga dipengaruhi oleh tingkat harga FOB (Free On Board) di Jayapura sebagai pasar acuan.

Penelitian Rahman, Kadir (2006) berjudul Analisis Saluran dan margin Pemasaran Kakao di Desa Timbuseng Kecamatan Pattalassang Kabupaten Gowa ini bertujuan untuk menganalisis saluran pemasaran Kakao dan besarnya margin


(30)

14 yang diterima oleh petani pada setiap lembaga pemasaran. Hasil analisis terdapat tiga saluran pemasaran yang dimana dari ketiga saluran tersebut menunjukan saluran yang ketiga menunjukkan saluran pemasaran III sangat menguntungkan yaitu sebesar Rp. 11.045,- dengan margin pemasaran sebesar 20,11 persen atau Rp 655 per kilogram dimana petani langsung menjual Kakaonya ke pedagang besar (eksportir). Petani Kakao masih perlu bimbingan secara berketerlanjutan terutama dalam hal pemasaran.

Berdasarkan dari penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan untuk tataniaga Biji Kakao saluran pemasarannya tidak terlalu panjang yaitu paling panjang hanya sampai saluran tiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk saluran pemasaran Biji Kakao memiliki karakteristik yang hampir sama di tempat yang berbeda.


(31)

15 Tabel 8 . Penelitian Terdahulu Mengenai Analisis Sistem Tataniaga

No Nama Topik Metode

1. Putri (2009) Penanganan Pasca Panen dan

Pemasaran Biji Kakao di

Kecamatan Simpang Alahan Mati Kabupaten Pasaman

Margin tataniaga,

farmer’s share dan

rasio keuntungan dan biaya

2. Sisfahyuni, Ludin, Taufik, Yantu (2008)

Efisiensi Tataniaga Komoditas Kakao Biji Asal Kabupaten

Parigi Moutong Provinsi

Sulawesi Tengah

- Margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. - Analisis

regresi linear berganda 3. Septria (2011) Analisis Perbandingan Tingkat

Keuntungan Petani dengan

Tingkat Keuntungan

Perdagangan dalam Pemasaran Kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok

Margin tataniaga,

farmer’s share dan

rasio keuntungan dan biaya

4. Wally (2001) Analisis Ekonomi Tataniaga Kakao Rakyat dan Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Opsi

Kelembagaan Tataniaga Petani Kakao Kabupaten Jayapura

Margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya

5 Rahman dan

Kadir (2006)

Analisis Saluran dan margin

Pemasaran Kakao di Desa

Timbuseng Kecamatan

Pattalassang kabupaten Gowa


(32)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian yang akan dilakukan. Batasan-batasan tersebut terkait dengan variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah analisis tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Kare, Kecamatan Dagangan dan Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun terdiri dari saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu variabel yang akan diteliti meliputi margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya untuk menilai efisiensi pemasaran secara operasional.

3.1.1. Konsep Tataniaga

Istilah tataniaga diartikan sama dengan istilah pemasaran. Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2002).

Tataniaga merupakan rangkaian tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau membentuk input produk mulai dari titik produsen sampai konsumen akhir. Serangkaian fungsi tersebut terdiri dari proses produksi, pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran oleh grosir, pedagang pegecer sampai konsumen (Dahl dan Hammond, 1977).

Kohls dan Uhl (2002), mendefinisikan pemasaran maupun tataniaga pertanian merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang atau jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir, yang mencangkup aspek input dan output pertanian. Kohls dan Uhl (2002) menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis sistem tataniaga yaitu :

1. Pendekatan Fungsi (The Fungsional Approach)

Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi tataniaga apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga.


(33)

17 Fungi-fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar).

2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach)

Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui beberapa macam lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pelaku-pelaku ini adalah pedagang perantara (menchant middleman) yang terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur dan organisasi lainnya yang terlibat.

3. Pendekatan Sistem (The Behavior System Approach)

Merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan untuk mengetahui aktivitas-aktivitas dalam proses tataniaga, seperti perilaku lembaga yang terlibat dalam tataniaga dan kombinasi dari fungsi tataniaga. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power system dan the communication system.

Menurut Limbong dan Sitorus (1987), tataniaga merupakan serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang ditujukan untuk menyalurkan barang-barang atau jasa-jasa dari titik produsen ke konsumen. Konsep yang paling mendasar yang melandasi pemasaran adalah kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia adalah pernyataan rasa kehilangan, berdasarkan kebutuhan inilah maka konsumen akan memenuhi kebutuhannya dengan mempertukarkan produk dan nilai dari produsen. Suatu produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk memenuhi keinginan konsumen.

3.1.2. Lembaga-Lembaga Tataniaga

Lembaga tataniaga adalah bagian-bagian yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dengan mana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah dan Saefuddin, 1986). Golongan produsen adalah golongan yang tugas utamanya menghasilkan barang- barang. Golongan produsen ini adalah petani ikan, nelayan, dan pengolahan hasil perikanan. Di samping berproduksi, golongan produsen sering kali aktif melaksanakan beberapa fungsi tataniaga tertentu untuk menyalurkan hasil


(34)

18 produksinya kepada konsumen. Perorangan, perserikatan atau perseroan yang berusaha dalam bidang tataniaga dikenal sebagai pedagang perantara (middlemen,

atau intermediary). Lembaga ini membeli dan mengumpulkan barang-barang

yang berasal dari produsen dan menyalurkannya kepada konsumen.

Lembaga pemberi jasa (facilitating agencies) adalah beberapa lembaga yang memberi jasa atau fasilitas untuk memperlancar fungsi tataniaga yang dilakukan produsen atau pedagang perantara. Contoh dari lembaga ini antara lain bank, usaha pengangkutan, biro iklan dan sebagainya.

Limbong dan Sitorus (1987) mendefinisikan lembaga-lembaga tataniaga dapat digolongkan berdasarkan fungsi yang dilakukannya seperti penguasaan terhadap barang, kedudukan dalam struktur pasar, dan bentuk usaha.

1. Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dibedakan atas: a. Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi fisik pemasaran, meliputi: lembaga pengolahan, lembaga pengangkutan, pergudangan; b. Lembaga perantara tataniaga yaitu suatu lembaga yang khusus mengadakan fungsi pertukaran, seperti: pedagang pengecer, grosir, dan lembaga perantara lainnya; c. Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi fasilitas seperti: Bank, Badan Perkreditan, dan KUD.

2. Berdasarkan penguasaan suatu badan terhadap barang dan jasa, lembaga tataniaga terdiri dari: a. Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, antara lain agen, perantara dan broker; b. Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti pedagang pengumpul pedagang pengecer, pedagang besar, eksportir dan importir; c. Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, seperti badan transportasi, pergudangan, dan asuransi.

3. Penggolongan lembaga tataniaga menurut kedudukannya dalam struktur pasar dapat digolongkan sebagai berikut; a. Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti pedagang pengecer rokok, pengecer beras, dan lain-lain; b. Lembaga tataniaga bersaing monopolistik, seperti pedagang asinan, pedagang benih, pedagang bibit, dan lain-lain; c. Lembaga tataniaga oligopolis; dan d. Lembaga tataniaga monopolis.


(35)

19 4. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan bentuk usahanya, dapat

digolongkan atas; a. Berbadan hukum; b. Tidak berbadan hukum.

Hanafiah dan Saefuddin (1986) mengungkapkan bahwa peranan lembaga tataniaga sangat penting terutama untuk komoditas pertanian yang bersifat cepat atau mudah rusak (perishable). Barang-barang hasil pertanian adalah organisme hidup dan karenanya mudah atau cepat mengalami kerusakan atau pembusukkan akibat dari kegiatan bakteri, enzimatis dan oksidasi. Karena itulah, membutuhkan usaha atau perawatan khusus dalam proses tataniaganya guna mempertahankan mutu untuk menentukan harga pasar. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan, diperlukan koordinasi lembaga tataniaga dalam melaksanakan fungsi-fungsi untuk mencapai efisiensi tataniaga yang tinggi serta efektif, dengan cara;

a. Integrasi vertikal, yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi yang berbeda dihubungkan satu dengan yang lainnya menurut saluran barang tersebut. Integrasi vertikal akan menurunkan pengeluaran tataniaga sehingga barang dapat dijual dengan harga lebih murah, hal ini dikarenakan perbedaan harga antara tingkat produsen dengan tingkat konsumen tidak terlalu besar sehingga dapat menguntungkan konsumen.

b. Integrasi horizontal, dimana lembaga-lembaga tataniaga yang menyelenggarakan fungsi yang sama disatukan di dalam suatu tindakan pemasaran suatu barang. Integrasi horizontal dapat merugikan konsumen, karena integrasi semacam ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi dan menghindari adanya persaingan dari perusahaan atau lembaga tataniaga yang sejenis sehingga lembaga tersebut dapat mengontrol harga barang.

3.1.3. Saluran Tataniaga

Limbong dan Sitorus (1987) mendefinisikan saluran tataniaga sebagai suatu himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang dan jasa tertentu selama barang dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga yaitu a) adanya pertimbangan pasar, yang meliputi konsumen sebagai tujuan akhir mencakup pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis,


(36)

20 volume pesanan dan kebiasaan membeli; b). Pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar dan berat barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, dan apakah barang tersebut untuk memenuhi pesanan atau pasar; c). Pertimbangan internal perusahaan yang meliputi sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman penjualan; d). Pertimbangan terhadap lembaga perantara, yang meliputi pelayanan lembaga perantara, kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan produsen dan pertimbangan biaya.

3.1.4. Fungsi-Fungsi Tataniaga

Fungsi tataniaga merupakan suatu kegiatan ataupun tindakan yang dapat memperlancar dalam proses penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Fungsi tataniaga dapat dikelompokkan atas tiga fungsi yaitu:

1. Fungsi Pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dan jasa yang di pasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri dari dua fungsi yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Pembelian merupakan kegiatan melakukan penetapan jumlah dan kualitas barang, mencari sumber barang, menetapkan harga dan syarat-syarat pembelian. Kegiatan penjualan diikuti mencari pasar, menetapkan jumlah, kualitas serta menentukan saluran tataniaga yang paling sesuai.

2. Fungsi Fisik adalah suatu tindakan langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi ini terdiri dari a) fungsi penyimpanan yaitu untuk membuat komoditi selalu tersedia pada saat konsumen menginginkannya, b) fungsi pengangkutan yaitu pemindahan, melakukan kegiatan membuat komoditi selalu tersedia pada tempat tertentu yang diinginkan. dan c) fungsi pengolahan yaitu untuk komoditi pertanian, kegiatan yang dilakukan merubah bentuk melalui proses yang diinginkan sehingga dapat meningkatkan kegunaan, kepuasan dan merupakan usaha untuk memperluas pasar dari komoditi asal.

3. Fungsi Fasilitas adalah semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari : a) Fungsi standarisasi dan grading yaitu mempermudah pembelian barang, mempermudah pelaksanaan jual beli, mengurangi biaya


(37)

21 pemasaran dan memperluas pasar. b) Fungsi penanggungan resiko dengan menerima kemungkinan kehilangan dalam proses pemasaran yang disebabkan resiko fisik dan resiko pasar. c) Fungsi pembiayaan yaitu kegiatan pembayaran dalam bentuk uang untuk memperluas proses tataniaga. dan d) Fungsi informasi pasar dengan mengumpulkan interpretasi dari sejumlah data sehingga proses pemasaran menjadi lebih sempurna.

3.1.5. Struktur Pasar

Struktur pasar adalah dimensi yang menjelaskan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan, jumlah perusahaan, dalam suatu pasar, konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat-syarat masuk pasar (Limbong dan Sitorus, 1987).

Struktur pasar adalah sifat-sifat atau karakteristik pasar. Ada empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar : a) jumlah atau ukuran pasar : b) kondisi atau keadaan produk : c) kondisi keluar atau masuk pasar : d) tingkat pengetahuan informasi pasar yang memiliki oleh partisipan dalam pemasaran misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antar partisipan (Dahl dan Hammond, 1977).

Tabel 9. Karakteristik Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjual Dan Sudut Pembeli

No

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah Pembeli dan Penjual Sifat Produk Keluar Masuk Pasar Pengendalian Harga Sudut Penjual Sudut Pembeli 1 Banyak Standarisasi

Homogen Mudah Tidak Ada

Persaingan Murni Persaingan Murni 2 Banyak

Diferensiasi Relatif Mudah Tergantung Tingkat Perbedaan Persaingan Monopolistik Persaingan Monopolit ik 3 Sedikit Standar Sulit Cenderung

Stabil

Oligopoli Murni

Oligopoli Murni 4 Sedikit Diferensiasi Sulit Cenderung

Stabil Oligopoli

Oligopoli

5

Satu

Unik Sulit Ada Diferensiasi

Monopoli

Diferensia si Monopoli Sumber : Dahl dan Hammond, (1977)

Struktur pasar persaingan sempurna murni memiliki ciri-ciri sebagai berikut : terdapat banyak penjual dan pembeli. Setiap pembeli maupun penjual menguasai sebagian kecil dari barang/jasa yang ada di pasar. Pembeli dan penjual


(38)

22 sebagai penerima harga (price taker), bebas keluar masuk pasar dan barang atau jasa homogen.

Pasar monopolistik terdapat banyak pembeli dan penjual yang melakukan transaksi pada berbagai tingkat harga dan bukan atas dasar satu harga pasar. Produk yang dijual tidak homogen, produk dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gaya, pelayanan yang berbeda, perbedaan pengepakan warna bungkus dan harga. Penjual melakukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling.

Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga perusahaan lainnya. Produk dapat berupa produk homogen (baja, alumunium) atau berupa produk heterogen (mobil, komputer). Sedikitnya jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan. Hambatan ini seperti paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan dan lokasi yang langka. Seorang oligopoli tidak pernah merasa pasti apa yang akan dinikmati secara tetap dari penurunan harga. Sebaliknya jika suatu perusahaan oligopolis menaikkan harga, pesaing tidak mengikutinya. Perusahaan yang oligopolis harus memberikan perhatian penuh pada taktik pesaing serta keinginan langganan. Tingkat harga pada dasar oligopolistik relatif stabil.

Pasar monopoli terjadi ketika suatu industri atau pasar hanya memiliki satu produsen. Pemasok tunggal menikmati kendali penuh atas harga produk-produknya. Halangannya hanya terletak pada menurunnya permintaan pelanggan dalam menanggapi meningkatnya harga (Griffin dan Elbert, 2003).

Pada struktur pasar dijelaskan bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan selanjutnya akan menunjukkan keragaan yang terjadi dari struktur dan perilaku pasar (market performance ) yang ada di dalam sistem tataniaga tersebut.

3.1.6. Perilaku Pasar

Perilaku pasar adalah pola tingkah laku dari lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga dan kerjasama antara lembaga pemasaran (Hammond dan Dahl, 1977).


(39)

23 Menurut Asmarantaka (2006), bahwa perilaku pasar ada tiga cara yaitu 1) penentuan harga dan setting level of output : menetapkan penentuan harga tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, melainkan ditetapkan secara bersama-sama oleh penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga. 2) product promotion policy ; melalui pameran dan iklan atas nama peusahaan. 3) predatory and exlusivenary factics; strategi ini bersifat illegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini berusaha menguasai bahan baku, sehingga perusahaan pesaing tidak berproduksi dengan menggunakan bahan baku yang sama.

Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa dalam menggambarkan perilaku pasar, terdapat empat hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) Input-output system, sistem input-output ini menerangkan bagaimana tingkah laku perusahaan dalam mengelola sejumlah input menjadi satu set output, (2) Power system, sistem kekuatan ini menjelaskan bagaimana suatu perusahaan dalam suatu sistem tataniaga, misalnya kedudukan perusahaan dalam suatu sistem tataniaga sebagai perusahaan yang memonopoli suatu produk sehingga perusahaan tersebut dapat sebagai penentu harga, (3) Communications system, sistem komunikasi ini mempeiajari tentang perilaku perusahaan mengenai mudah tidaknya mendapatkan informasi dan, (4) System for adapting to internal and external change, sistem adaptif menerangkan bagaimana perilaku perusahaan dalam beradaptasi pada suatu sistem tataniaga agar dapat bertahan di pasar.

3.1.7. Keragaan Pasar

Keragaan pasar menunjukkan akibat keadaan struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan harga, biaya, volume, produksi yang akhirnya memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga (Dahl dan Hammond, 1977). Analisis terhadap keragaan pasar dapat diketahui melalui analisis perkembangan harga, margin tataniaga dan penyebaran korelasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen, elastisitas transmisi dan integrasi pasar.


(40)

24 3.1.8. Efisiensi Tataniaga

Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan Sitorus, 1987). Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tertentu tanpa mengurangi kepuasaan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukkan efisiensi. Setiap kegiatan fungsi tataniaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Lembaga tataniaga menaikkan harga per satuan kepada konsumen atau menekan harga di tingkat produsen. Dengan demikian efisiensi tataniaga perlu dilakukan melalui penurunan biaya tataniaga. Mubyarto (1995) menambahkan efisiensi tataniaga dapat terjadi jika:

1. Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya.

2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu.

Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara yaitu efisiensi operasional dan harga. Menurut Dahl dan Hammond (1977) efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik dan fasilitas. Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga. Dengan menggunakan konsep biaya tataniaga, suatu sistem tataniaga dikatakan efisiensi bila dapat dilaksanakan dengan biaya yang rendah.

Hanafiah dan Saefuddin (1986), menambahkan bahwa pasar yang tidak efisien akan terjadi jika biaya pemasaran semakin besar dan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Karena itu efisiensi pemasaran akan terjadi apabila biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan


(41)

25 produsen dapat lebih tinggi, dan tersedia fasilitas fisik pemasaran, serta adanya kompetisi pasar yang lebih sehat.

3.1.9. Margin Tataniaga

Margin tataniaga didefinisikan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Semua kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang disebut biaya tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987). Biaya tataniaga meliputi semua jenis biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem tataniaga Biji Kakao.

Menurut Dahl dan Hammond (1977) mendefinisikan margin tataniaga sebagai perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga pedagang pengecer (Pr). Nilai margin tataniaga (value or marketing margin) merupakan perkalian antara margin tataniaga dengan volume produk yang terjual (Pr-Pf) x Qrf yang mengandung pengertian marketing cost (biaya-biaya pemasaran) dan marketing

changes (lembaga pemasaran).

Dari Gambar 1 tersebut dapat dilihat besarnya nilai Margin Tataniaga yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (dalam hal ini selisih harga eceran dengan harga petani) dengan jumlah produk yang dipasarkan. Semakin besar perbedaan harga antara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat, terutama antara harga yang terjadi di tingkat eceran dengan harga yang diterima petani, maka semakin besar pula margin tataniaga dari komoditi yang bersangkutan.


(42)

26 Keterangan :

Pr = Harga di tingkat konsumen akhir Pf = Harga di tingkat petani

Sr = Penawaran di konsumen akhir Sf = Penawaran di tingkat petani Dr = Permintaan di konsumen akhir Df = Permintaan di tingkat petani

Qr, f = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan konsumen akhir Gambar 1. Margin Tataniaga

Sumber : Asmarantaka (2012)

Terkadang tinggi atau rendahnya margin tataniaga menjadi salah satu perbandingan apakah kegiatan tataniaga tersebut sudah efisien atau belum. Menurut Limbong dan Sitorus (1987) tinggi atau rendahnya margin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Tingginya margin tataniaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus, 1987).

Nilai dari perbedaan nilai margin antara harga di tingkat pedagang dan di tingkat petani diukur berdasarkan komoditi per unit. Margin tataniaga terdiri dari dua komponen yaitu biaya dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga adalah semua jumlah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga suatu komoditi mulai dari produsen hingga ke konsumen.

Secara umum suatu sistem pemasaran dikatakan efisiensi, apabila dalam memasarkan suatu komoditi yang sama terdapat penyebaran margin yang merata

Q r,f

Sf Sr

Dr

Df Pf

Pr P


(43)

27 di semua pelaku pemasaran. Dalam kondisi ini diharapkan terjadi suatu keadaan dimana masing-masing pihak memiliki keuntungan, baik pada produsen, pelaku pemasaran dan konsumen.

3.1.10. Farmer’s share

Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share ) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir. Bagian yang diterima lembaga tataniaga dinyatakan dalam bentuk persentase (Limbong dan Sitorus, 1987).

Kohls dan Uhl ( 1985) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usaha tani yang dilakukannya dalam menghasilkan produk. Dalam analisis efisiensi pemasaran

farmer’s share lebih sering digunakan sebagai alat analisis yang baik.

3.1.11. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Tingkat efisiensi tataniaga dapat juga diukur melalui besarnya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga ialah untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan pada lembaga tataniaga. Dengan demikian semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga semakin efisien (Limbong dan Sitorus,1987).

3.2.Kerangka Pemikiran Operasional

Pada usahatani Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang memerlukan saluran tataniaga yang terjadi pada suatu pasar komoditi Biji Kakao, hal ini terbentuk dengan beberapa lembaga pemasaran yang terlibat. Diantara lembaga pemasaran pada sistem pemasaran tersebut dapat terbentuk adanya perbedaan harga yang cukup besar di tingkat petani Kakao dan harga ditingkat pedagang pengumpul, dimana antara petani dan pedagang pengumpul terdapat lembaga pemasaran yang terlibat.

Penelitian mengenai tataniaga Biji Kakao dilakukan dengan analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi analisis fungsi-fungsi tataniaga, saluran tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar mulai dari petani sampai dengan pedagang pengumpul. Analisis


(44)

28 kuantitatif meliputi analisis margin tataniaga untuk mengetahui perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran yang terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran, untuk mengetahui perolehan petani digunakan analisis farmer’s share dengan membandingkan harga yang dibayarkan konsumen akhir dan dinyatakan dalam persentase. Analisis rasio keuntungan dan biaya untuk mengetahui merata tidaknya penyebaran rasio keuntungan dan biaya di setiap lembaga pemasaran.

Untuk mengetahui efisiensi tataniaga dapat diukur melalui efisiensi operasional dengan memperhatikan nilai Margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik dan fasilitas.

Dengan melihat hasil dari efisiensi operasional sehingga dapat dilihat saluran tataniaga mana yang efisien dan dapat meningkatkan pendapatan petani dengan perbedaan harga yang tidak terlalu berbeda dan harga yang terjadi konstan.


(45)

29

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional

Terdapat perbedaan harga Biji Kakao di tingkat petani dengan pedagang besar (konsumen perantara) di Kec. Dagangan,Kare

dan Gemarang, Kab. Madiun

Identifikasi Saluran Pemasaran

Analisis Kuantitatif 1. Margin Tataniaga

2. Farmer’s Share

3. Rasio Keuntungan dan Biaya

Analisis Kualitatatif

1. Saluran tataniaga dan lembaga tataniaga

2. Fungsi-fungsi tataniaga 3. Struktur Pasar

4. Perilaku Pasar


(46)

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut termasuk penghasil biji kering Kakao terbanyak di Pulau Jawa. Penelitian dilakukan pada bulan November-Desember 2012.

4.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pembagian daftar pertanyaan yang telah di siapkan dengan teknik wawancara langsung kepada petani serta lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat seperti pedagang pengumpul, dan pedagang pengecer. Pengamatan responden dilakukan dengan menggunakan metode informasi dari pelaku pasar pada saat penelusuran saluran tataniaga, sehingga responden yang diambil adalah responden yang benar-benar memasok Kakao ke pasar. Penarikan sampel petani dilakukan secara sengaja yaitu petani yang sedang memproduksi atau melakukan penjualan Kakao pada saat penelitian sedang dilakukan.

Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun, Badan Pusat Statistik, serta literatur-literatur dan sumber –sumber lain yang terkait dengan judul penelitian.

4.3 Metode Pengambilan Data

Petani dan pedagang yang terpilih sebagai responden berasal dari anggota kelompok tani yang berasal dari 3 kecamatan ( Dagangan, Kare dan Gemarang). Jumlah responden secara snowball sampling dipilih 30 orang. Pemilihan responden karena keadaan petani Kakao didaerah tersebut terjal dan kondisi infrastruktur yang kurang bagus sehingga penggambilan responden berdasarkan informasi hasil wawancara Dinas Perkebunan Kab. Madiun dan ketua kelompok tani di setiap kecamatan. Sehingga dengan jumlah responden 30 orang dianggap telah dapat menggambarkan kondisi petani Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Proporsi petani yang diambil di setiap Kecamatan yaitu


(47)

31 Kecamatan Dagangan sebanyak 15 orang, Kecamatan Kare 9 orang dan Kecamatan Gemarang 6 orang.

Sedangkan, pemilihan pedagang responden menggunakan metode

snowball sampling yang berdasarkan informasi hasil wawancara sebelumnya yang diperoleh dari petani responden karena tidak diketahui kerangka sampelnya (sampling frame) pedagang responden berjumlah 20 orang. Proporsi pedagang yang diambil yaitu pedagang desa 9 orang, pedagang kecamatan 6 orang, pedagang kabupaten 3 orang dan pedagang besar 2 orang (Blitar dan PT. Pagilaran).

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Proses analisis data kualitatif menggambarkan secara deskriptif yang terdiri dari saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga serta struktur dan perilaku pasar. Sedangkan analisis data kuantitatif dipergunakan untuk menganalisis besaran margin tataniaga, farmers’s share dan rasio keuntungan biaya. Alat analisis data kuantitatif yang digunakan berupa kalkulator, program komputer Microsof Excel.

4.4.1 Analisis Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga Kakao di tiga Kabupaten Madiun diamati mulai dari petani dengan menghitung persentase pasokan sampai pedagang pengecer dan hingga pada akhirnya sampai ke konsumen akhir. Jalur tataniaga tersebut akan menggambarkan peta saluran tataniaga. Saluran tataniaga Biji Kakao di tiga Kabupaten Madiun dianalisis dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga berperan sebagai pihak perantara dalam proses penyampaian produk dari produsen ke konsumen serta pembentukan peta saluran tataniaga.

4.4.2 Analisis Lembaga Tataniaga

Analisis lembaga tataniaga dilakukan untuk mengetahui fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Analisis fungsi-fungsi tataniaga digunakan untuk mengevaluasi biaya tataniaga. Manfaat lain dari analisis fungsi dari tataniaga adalah sebagai bahan perbandingan biaya


(48)

32 yang dihasilkan oleh setiap lembaga pemasaran. Perbandingan biaya tersebut terdapat hubungan diantara lembaga tataniaga.

Fungsi tataniaga merupakan kegiatan-kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam proses tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga diamati melalui kegiatan pokok yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga dalam proses penyaluran komoditas Kakao dari titik produsen ke titik konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Fungsi-fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga-Lembaga Tataniaga Biji Kakao

Fungsi Tataniaga

Lembaga Tataniaga Petani Perdagangan

Pengumpulan

Pedagang Besar

Pedagangan Pengecer 1. Fungsi Pertukaran

Penjualan Pembelian 2. Fungsi Fisik

Penyimpanan Pengangkutan Pengolahan 3. Fungsi Fasilitas

Standarisasi dan Grading

Penanggungan Risiko

Pembiayaan Informasi Pasar

Sumber : Limbong dan Sitorus, 1987

4.4.3 Analisis Struktur dan Perilaku Pasar

Metode analisis struktur pasar digunakan untuk mengetahui apakah struktur pasar cenderung mendekati bentuk pasar persaingan sempurna atau tidak sempurna. Untuk mengetahui struktur pasar Kakao dapat dilakukan pengamatan dan penelusuran terhadap jumlah lembaga tataniaga, mudah tidaknya memasuki pasar, sifat produk dan sistem informasi pasar dapat dilihat pada Tabel 10.

Metode analisis perilaku pasar dilakukan melalui pengamatan terhadap praktek penjualan dan pembelian sistem penentuan. Selain itu perilaku pasar dapat


(1)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari analisis tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang di Kabupaten Madiun yaitu :

1. Terdapat lima saluran pemasaran biji kakao kering di Kecamatan Daganagan, Kare dan Gemarang yang keseluruhannya melibatkan lembaga tataniaga sebelum sampai ke tangan konsumen akhir. Lembaga tataniaga yang terlibat adalah pedagang desa terdapat 9 pedagang, pedagang kecamatan terdapat 6 pedagang, pedagang kabupaten terdapat 3 pedagang dan pedagang besar terdapat 2 pedagang. Pada pedagang besar terdapat 2 pedagang yaitu pedagang besar dari Blitar dan pedagang besar dari PT. Pagilaran. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga tersebut meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi penyediaan fasilitas sudah dilakukan dengan baik tapi masih kurang tepat.

2. Struktur pasar yang terjadi di pasar biji kakao kering adalah struktur pasar bersaing sempurna (competitive market) dan struktur pasar oligopoli. Penentu harga pada Biji Kakao kering dalah berasal dari pedagang besar. Kerjasama yang dilakukan antara petani dengan lembaga tataniaga dan antar lembaga tataniaga berdasarkan kepercayaan karena tidak adanya kontrak kerjasama tertulis.

3. Berdasarkan hasil analisis efisien menunjukkan bahwa margin di setiap lembaga berbeda-beda. Perbedaan tersebut dikarenakan kondisi daerah yang berbeda-beda. Semua saluran efisien.


(2)

73 7.2. Saran

1. Untuk mendapatkan efisiensi tataniaga Biji Kakao yang lebih maksimal perlu diadakan perbaikan infrastruktur yang baik. Sehingga untuk efisiensi tataniaga Biji Kakao bisa lebih maksimal.

2. Koperasi lebih diaktifkan lagi karena sebagai solusi untuk membantu petani dalam menampung Biji Kakao sehingga petani yang mempunya kebun dan rumah yang terjal bisa menjadi solusi bahwa peran koperasi disini bisa membantu tataniaga Biji Kakao yang tidak terlalu memakan biaya yang besar jika ingin meningkatkan pendapatan petani.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali D, Rukka Rusli M. 2011. Peran Pedagang Kakao Dalam Peningkatan Efisiensi Pasar di Sulawesi Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Volume : 8 Nomor 1

Arleen. 2006. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Kakao Indonesia. [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Asmarantaka, Ratna W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Editor Nunung Kusnadi,dkk. Bogor: IPB press.

Asmarantaka, RatnaW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor : Departemen Agribisnis FEM-IPB

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Nilai Biji Kakao Indonesia Menurut Negara Tujuan. Jakarta : Badan Pusat Statistik

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kecamatan Dalam Angka Kabupaten Madiun.

Kabupaten Madiun : Badan Pusat Statistik

Dahl, D.C. and J.W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis The Agricultura Industries. McGraw-Hill Book Company. New York.

Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. UI Press. JakartaSalvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta

Dinas Pertanian dan Kehutanan. 2012. Pengertian Perkebunan. Purworejo

Dinas Perkebunan dan Kehutanan . 2012. Buku Tahunan Kakao . Kabupaten Madiun

Dinas Perkebunan. 2012. Budidaya Kakao.

http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/dinas-perkebunan.html. [10 Oktober 2012]


(4)

75 [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan.2012. Luias Lahan, Produksi dan

Produktivitas Kakao .Jakarta : Departemen Perkebunan

Putri, Maira D. 2009. Penanganan Pasca Panen dan Pemasaran Biji Kakao di Kecamatan Simpang Alahan Mati Kabupaten Pasaman. [Skripsi]. Padang :Fakultas Pertanian, Universitas Andalas.

Griffin, R.W., R.J. Elbert. 2003. Bisnis. Edisi keenam. Prehallindo. Jakarta.

Hanafiah dan Saefuddin. 1986. Tataniaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia.Jakarta

[ICCO] International Cocoa Organization. 2011. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol. XXXIV, No.3, Cocoa Year 2009/10. London: ICCO Annual Report.

Loilatu, Idris. 2006. Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. [tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 1985. Marketing Of Agricultural Products. MacMillian Publishing Company. New York. uuu

Kotler, P. and G. Armstrong. 1991. Principles of Marketing. Fifth Edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey.

Kotler, P. 2003. Marketing Management. Eleventh Edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey.

Kotler, P. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi Kesepuluh. Jakarta: PT. Prenhalindo.

Kohls, R..L. dan J.N Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. London: New York an Coller Macmillan Publishing.

Limbong, W.H. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(5)

76 Napitupulu, Simon.K.V. 2008. Evaluasi Perkembangan Usahatani Kakao di Kabupaten Tapanuli Utara (Studi Kasus : Desa Pagaran Pisang Kecamatan Adian Koting Kabupaten Tapanuli Utara). [Skripsi]. Medan : Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

Nurdiyani, Fitri. 2007. Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao Terhadap Intergrasi Pasar Kakao Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Nurland, F. 1986. Pemasaran Produk Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin. Makasar : Lembaga Penerbit UNHAS

Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian (Cetakan Keempat,Agustus 1995).Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Pambudi, A.D. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia Ke Malaysia Dan Singapura. [Skripsi]. Semarang : Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro

Rahmanu, Riza. 2009. Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Rahman, Kadir Edi. 2006. Analisis Saluran dan margin Pemasaran Kakao di Desa Timbuseng Kecamatan Pattalassang kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem : Vol. 4 No. 2 (Desember 2008)

Saragih, Bungaran. 1998. Agribisnis (Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian). CV Nasional. Jakarta

Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasinal. Erlangga. Jakarta.

Septria, Yel. 2011. Analisis Perbandingan Tingkat Keuntungan Petani dengan Tingkat Keuntungan Perdagangan dalam Pemasaran Kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok. [Skripsi]. Padang :Fakultas Pertanian, Universitas Andalas

Sisfahyuni, Ludin, Taufik, Yantu. 2008. Efisiensi Tataniaga Komoditas Kakao Biji Asal Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. J. Agrisains 9 (3): 150-159


(6)

77 Wally, Frits. 2001. Analisis Ekonomi Tataniaga Kakao Rakyat dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Opsi Kelembagaan Tataniaga Petani Kakao Kabupaten Jayapura. [Tesis]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.