Peran peer counselor dalam rehabilitasi korban napza di Panti Sosial Pamardi Putra Galih Pakuan Bogor

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Disusun Oleh:

Nurjanah NIM. 1110052000026

JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014 M/ 1435 H


(2)

(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Agustus 2014

Nurjanah


(5)

NIM.1110052000026

Peran Peer Counselor dalam Rehabilitasi Korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra “GalihPakuan” Bogor.

Proses rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA merupakan upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Dalam mencapai tujuan dari proses tersebut dibutuhkan suatu layanan bantuan berupa peran peer counselor. Hal ini didasari bahwa tidak semua klien yang mengikuti program rehabilitasi memiliki masalah yang sama (walaupun sama-sama pengguna). Adanya peer counseling tersebut tentunya memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai, dasar komunikasi dalam peran peer counselor, dan keberhasilan yang dicapai dalam peer counselor. Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih Pakuan” Bogor merupakan panti sosial yang mengadakan program TC rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan NAPZA.

Dari uraian di atas, maka penulis dalam penelitian ini mengkaji mengenai peran peer counselor dalam rehabilitasi korban NAPZA di PSPP “Galih Pakuan” Bogor. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi dan pengamatan. Sedangkan analisis data menggunakan teknik triagulasi.

Hasil dari penelitian ini yaitu peran peer counselor dalam proses rehabilitasi korban NAPZA merupakan bagian integral dalam program pemulihan bagi residen di PSPP “Galih Pakuan” Bogor. Dalam proses rehabilitasi kebanyakan residen tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan mereka tidak mengetahui kelemahan dan kekuatan/ kelebihan mereka sendiri. Sehingga diperlukanlah suatu upaya bantuan guna membantu residen dalam proses pemulihannya, yaitu salah satunya dengan mereka memiliki peran

peer counselor. Hal ini dapat terlihat dari harapan dan tujuan peran peer counselor

yang sejalan dengan upaya rehabilitasi terutama mengarah pada aspek psikologis dan sosial. Peran peer counselor juga disediakan sesuai dengan kebutuhan residen selama mengikuti rehabilitasi sehingga mempermudah residen dalam menyampaikan masalah yang dialaminya kepada konselor setiap saat. Sedangkan pada pendekatan peer counseling yang digunakan adalah peran peer counselor.


(6)

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah membimbing saya dengan petunjuk-petunjuk-Nya, sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, dan kepada seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.

Skripsi ini berhasil saya selesaikan, bukan dengan tidak melibatkan banyak pihak. Untuk itu sudah sepantasnya saya mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A selaku Rektor Universitas Islam Negeri, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak. Dr. Arief Subhan, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku Ketua Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Sugiharto, MA selaku Sekretaris Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Untuk kedua orang tua ku, aku bersyukur telah dilahirkan kedunia ini. Terima kasih telah memberikan semuanya, merawat, membesarkan, menyayangi, mendidik, menyekolahkan, memotivasi, memberi masukan, dan lain sebagainya yang tak terhingga sampai-sampai tidak bisa terucapkan oleh kata-kata. Suatu saat pasti akan aku buktikan, aku bisa berdiri tegak dengan kedua kakiku sendiri, dengan segala apa


(7)

6. Ibu H. Dr. Elidar Husein, MA selaku pembimbing skripsi peneliti yang tanpa beliau mungkin skripsi ini hanya menjadi setumpuk kertas yang tidak berharga. Betapa beliau sungguh bersabar, rendah hati, terbuka, mendidik peneliti dengan baik, membimbing dengan bijaksana, memberikan segudang ilmunya, menyediakan waktunya, memberikan peneliti kesempatan untuk mencoba hal-hal baru, dan segala halnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa memberikan Ibu yang terbaik, seperti ibu memberikannya kepada saya. 7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi umumnya dan khususnya dosen dan staff pengajar pada jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Juga kepada Civitas Akademik FIDKOM yang telah berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman selama saya menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Bapak Iwan selaku Sekretaris PSPP. Terima kasih untuk kesan pertama yang terbuka, untuk pintu PSPP yang selalu terbuka lebar untuk saya, untuk semua pengalaman, ilmu, kesabaran, bapak dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang kadang membingungkan. Terimakasih ya pak. Semoga Allah senantiasa memudahkan segala urusan bapak dan selalu Allah jaga keluarga bapak menjadi keluarga yang selalu harmonis.

9. Bapak Ahmadin S.Pd.i.M.Si, Ibu Sumi, Bapak Supri, Ustad Asep dan seluruh pihak Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan”-Bogor yang


(8)

10.Sahabat-sahabat saya, Juayriah, Siti Choirunnisa, Elva Ristiawan, Dewi Haneh dan Meylia Cahyaningrum. Terimakasih untuk segalanya, bahagia itu sederhana “aku dan sahabatku” saling berbagi cerita dan kita berbuat kekonyolan. Teruntuk Syarif Hidayatullah saya sebenarnya bingung memanggil dia teman atau sahabat, mungkin bisa dikatakan lebih dari kedua-dua nya hehe, terimakasih banyak atas support yang diberikan, selalu menyisihkan waktumu, telah menemani selama penelitian berlangsung. Tiada kata yang bisa terucap selain syukron katsiran ya habibi.

11.Temen-temen BPI seperjuangan Siti Nurlaila Awaliyah, Haula Sofiana, Sabatini Ayu Sentani, Sri Mulyanti dkk, terimakasih kalian sudah menjadi teman-teman seperjuangan yang solid, canda tawa telah kita lakukan di dalam kelas yang ramai dengan suara-suara emas meskipun jika sedang terhening disaat diskusi karna bingung mau ngomong apa hehe.. sukses terus untuk kita semua.

12.Untuk keluarga besarku Mang Arip, Umi Uhah, Umi Titim, K.H. Adit, Umi Euroh, Umi „Ae, yang memberikan motivasi, do’a dan kasih sayang kepada saya. dan Adeku Rifqi Anshori, Syahrul Hidayat yang selalu membuat saya termotivasi untuk bisa mandiri dan terus melangkah menggapai masa depan.

Terakhir kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah ikut berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini.


(9)

yang terbaik untuk kita semua. Akhirnya kepada-Nyalah saya serahkan segala urusan ini. Saya berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menambah khazanah pengetahuan walaupun belum sepenuhnya sempurna.

Jakarta, 22 Agustus 2014

Nurjanah NIM. 1110052000026


(10)

ABSTRAK

KATAPENGANTAR... ... i

DAFTAR ISI... ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Teknik Penulisan ... 15

F. Tinjauan Pustaka ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Peran... ... 19

1. Pengertian Peran ... 19

2. Bentuk dan Macam-macam Peran... 20

3. Tujuan dan Manfaat Peran ... 23

B. Peran Peer Counselor dan Peer Counseling ... ... 23


(11)

C. Rehabilitasi Sosial ... 30

1. Pengertian rehabilitasi ... 30

2. Tujuan dan sasaran rehabilitasi sosial ... 31

3. Proses rehabilitasi sosial... 32

D. Korban NAPZA... 36

1. Pengertian korban NAPZA ... 36

2. Pengertian NAPZA ... 41

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA A. Sejarah Berdirinya ... 52

B. Visi, Misi, Moto ... 52

1. Visi ... 52

2. Misi ... 53

3. Motto ... 53

C. Tugas Pokok Panti Sosial Pamardi Putra”Galih Pakuan” Bogor ... 53

1. SDM (Sumber Daya Manusia) pelaksanaan dan peserta ... 54

2. Tujuan, waktu pelaksanaan kegiatan, maklumat, pelayanan dan indikator... 55

D. Metode Pelayanan Rehabilitasi Sosial di PSPP “Galih Pakuan” Bogor ... 57

1. Tahap penerimaan ... 57


(12)

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA

A. Identitas Informan dan Subjek Penelitian ... 66

1. Informan penelitian ... 66

2. Terbimbing/ subjek penelitian ... 68

B. Analisis Hasil Temuan ... 74

1. Peran Peer Counseling terhadap korban NAPZA ... 74

2. Komunikasi dalam peer counseling ... 84

3. Manfaat yang di dapatkan peer counselor setelah melaksanakan perannya di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor ... 88

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

DAFTAR TABEL Tabel 1 Interaksi triadik antara konselor ahli dengan konseli ... 28

Tabel 2 Subjek pekerja PSPP “Galih Pakuan” Bogor ... 66

Tabel 3 Subjek berdasarkan agama ... 68


(13)

Tabel 7 Subjek penelitian ... 70

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Proses Pelayanan dan Rehabilitasi Korban NAPZA di dalam PSPP “Galih Pakuan”-Bogor ... 60

Gambar 2 Proses pelayanan ... 61

Gambar 3 Lanjutan ... 62

Gambar 4 Lanjutan ... 63

Gambar 5 Lanjutan ... 64

Gambar 6 Struktur organisasi PSPP “Galih Pakuan” Bogor ... 65

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Transkip Wawancara 2. Surat Izin Penelitian

3. Surat Keterangan Melakukan Penelitian 4. Dokumentasi


(14)

A. Latar Belakang

Pada zaman sekarang, bangsa-bangsa di dunia sedang berada dalam alam modernisasi. Tentu saja hal tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi perjalanan kehidupan hampir seluruh negara-negara berkembang termasuk negara Indonesia. Sebagaimana dampaknya dapat dilihat dari pola kehidupan masyarakat sehari-hari.1

Perubahan yang terjadi di masyarakat modern ditandai dengan perkembangannya kapitalisasi di berbagai bidang kehidupan. Terjadi pergeseran nilai, selera, dan gaya hidup kearah yang lebih beorientasi pada sifat konsumeris, individualis, keduniawian yang mudah menimbulkan frustasi, ketegangan jiwa, stress dan kecemasan diri.

Dalam suasana ketegangan, konflik dan tekanan pikiran batin yang tidak terdamaikan seringkali penyelesaian yang ditempuh adalah dengan jalan pintas, yakni dengan mengkonsumsi adiksi obat. Dan dimulai dengan menggunakan pil tidur sebagai obat penenang sampai mengkonsumsi NAPZA.

Di tengah-tengah kegalauan itu remaja, mereka menginginkan lari dari masalah dan hidup nikmat maka dengan cara yang instant, mereka terperangkap oleh NARKOBA. Narkoba adalah bagian dari khamr yang telah banyak dinyatakan dalam al-Qur’an yakni:

1

Agoes Dariyo, Psikologi Perkrmbangan Remaja, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), Cet-1, h. 14


(15)

                            

Artinya: Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang

khamar dan judi. Katakanlah, “pada keduanya terdapat dosa besar dan

beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.(QS. Al-Baqara: 219)2

Beberapa masalah yang menjadi masalah putra-putri generasi muda kita sekarang ini. Masalah-masalah tersebut adalah :3

1. Ketidakpastian masa depan.

Sebagian besar putra-putri kita tidak memiliki kejelasan masa depan. Akan menjadi apa besok tidak dapat mengetahuinya. Tak ada sekolah yang menjamin kerja alumninya kecuali sejumlah lembaga pendidikan tertentu yang jumlahnya sangat sedikit.

2. Persaingan hidup yang semakin ketat

Kita lihat fenomena ketika dibuka lowonga kerja. Satu peluang bisa diperebutkan oleh ratusan bahkan ribuan orang.

3. Beban seksual dan narkoba.

Maksud hati pengin menikah tetapi belum bekerja, akibatnya tertunda. Padahal seiring dengan meningkatnya nilai gizi dan berbagai rangsangan seksual, putra-putri kita semakin

2

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, ( Jakarta: CV. Bayan Qur’an, 2009), h. 34

3

Dr. Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), (Bandung: cv. Mandar Maju, 2007), h.232-233


(16)

cepat dewasa secara seksual, tetapi untuk melampiaskannya harus menanti punya pekerjaan lebih dulu. Umur 9 tahun sudah mimpi basah/haid pertama, untuk melampiaskannya menanti sampai umur 30 tahun karena baru dapat pekerjaan. Bayangkan 21 tahun harus ngempet. Mana tahan, amat berat.

4. Iseng-iseng sebagai remaja

Banyak anak puber dan adolesens yang menggunakan bahan narkotika oleh keisengan. Anak-anak muda tersebut mencoba-coba memakainya, didorong oleh rasa ingin tahu; atau karena diolok-olok kawan sebaya, sehingga ikut-ikutan meniru. Dari langkah permulaan yang iseng, kemudian jadi kebiasaan dan kecanduan yang kronis.4

5. Salah satu cara pemberontakkan (jiwa remaja)

Ketika pada usia puberitas dan adolesenis mereka dihadapkan pada macam-macam kesulitan hidup dan konflik-konflik jiwani, maka hati pengecutnya mendorong mereka untuk

melarikan diri dari setiap kesulitan hidup. Mereka lalu menggunakan ganja, morphine, dan bahan narkotika lainnya sebagai alat “penenang” bagi ketakutan dan kerisauan hatinya. Lebih-lebih jika mental yang labil dan lemah pada saat kritis semasa puberitas dan adolesensi itu mendapatkan stimuli ekstern

4

Dr. Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), (Bandung: cv. Mandar Maju, 2007), h.232-233


(17)

yang buruk. Atau mendapatkan tekanan dan paksaan-paksaan dari luar yang bertujuan dengan sengaja merusak moral dan jasmani generasi anak muda, dengan tujuan subversive dan kriminal. Maka korban-korban dari narkotika ini bertambah dengan cepat sekali; dan dibanyak negara diperkirakan pertambahannya bergerak diantara 30%-100% setiap tahunnya.

Siswa yang memiliki masalah akan lebih mudah berdiskusi dan bertanya kepada teman yang berkemampuan lebih (konselor). Model ini juga dapat menghindari kefrustrasian siswa yang menyukai tantangan (bagi siswa yang akan berperan sebagai konselor), karena siswa tersebut mendapat tantangan yang lebih banyak untuk membantu teman lainnya yang kurang mampu memecahkan masalahnya sendirian. Dia merasa mendapatkan kepercayaan dan perhatian sehingga merasa lebih diberdayakan. Perasaan semacam ini diharapkan dapat memacu dan menumbuhkan semangat untuk berprestasi yang lebih baik, sehingga muncul konselor-konselor sebaya yang berkompeten.5

Anak yang kebanyakan sudah menganggap dirinya sebagai pribadi yang dewasa pun, tidak jarang menghadapi permasalahan-permasalahan hidup. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya, manusia hidup selalu dihadapkan pada masalah-masalah tertentu, baik itu termasuk ke dalam kategori ringan, sedang, ataupun berat.

5

http://raneebk.blogspot.com/2011/06/konselor-sebaya-peer-counseling-untuk.html,


(18)

Manusia mengaggap bahwa hubungan dengan teman sebaya (peer counselor) menjadi bertambah penting dan selanjutnya lebih banyak memberikan pengaruh dalam berbagai aspek perkembangannya. Pada masa remaja, mereka membentuk kelompok-kelompok dengan efektifitas yang lebih terarah dan bertujuan. Misalnya Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), olah raga, seni dan sebagainya. Pada saat remaja berinteraksi dengan kelompok ini, mereka dapat melihat sejauh mana nilai-nilai yang ada didalam kelompok dapat diikuti. Selain itu, remaja juga mendapatkan kesempatan untuk memainkan berbagai macam peranan, yaitu sebagai pemimpin, anggota, deviant, ataupun sebagai conformist. Adanya nilai dan norma tingkah laku dalam kelompok dapat memberikan kesempatan kepada remaja untuk dapat memperoleh berbagai perspektif mengenai nilai dan sikapnya sendiri.

Pada prinsipnya hubungan teman sebaya, sangatlah berarti penting bagi kehidupan. Selaras dengan uraian diatas, Piaget dan Sullivan (1976) menyatakan bahwa melalui hubungan teman sebaya remaja belajar tentang hubungan timbal balik yang simetris. Remaja mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui peristiwa pertentangan dengan teman sebaya, mereka juga mempelajari secara aktif kepentingan-kepentingan dan perspektif teman sebaya (peer counselor) dalam rangka memuluskan integrasi dirinya dalam aktivitas teman sebaya yang berkelanjutan.

Dalam perkembangannya, tak selamanya masalah-masalah yang datang tersebut selalu bisa diselesaikan sendirian oleh anak yang bersangkutan. Adakalanya terdapat masalah-masalah tertentu yang tidak


(19)

bisa dipecahkan sendirian, melainkan membutuhkan bantuan dari orang lain untuk membantu memecahkannya. Kelompok sebaya, bagi anak sebagai individu, penting sekali untuk membantu anak belajar menemukan identitas diri termasuk di dalamnya pemecahan masalah. Kelompok sebaya, akan membantu anak sebagai individu untuk menjadi intermediasi agar tujuan anak yang bersangkutan dapat tercapai, sehingga terjadilah suatu alur kehidupan yang positif.

Peran peer counselor adalah langkah awal residen mendapatkan kesempatan untuk memainkan berbagai macam peranan, yaitu sebagai pemimpin, anggota, deviant, ataupun sebagai conformist. Adanya nilai dan norma tingkah laku dalam kelompok dapat memberikan kesempatan kepada remaja untuk dapat memperoleh berbagai perspektif mengenai nilai dan sikapnya sendiri. Itu semua dapat membantu perubahan tingkah laku residen korban NAPZA, serta untuk menentukan keberhasilan dari program rehabilitasi guna memberikan kesembuhan korban dari ketergantungan obat, karena dengan residen punya peran untuk menjadi konseling teman sebayanya (peer counseling) yang baik, dan seseorang mampu memposisikan dirinya untuk menjalani segala tahap-tahap dalam program rehabilitasi. Penyesuaian diri korban NAPZA dalam rehabilitasi juga dapat menjadi tinjauan untuk melakukan proses bimbingan dan penyuluhan dalam tahap-tahap rehabilitasi, dimana seorang penyuluh atau pembimbing harus bisa melihat korban dapat merespon dengan baik atau tidak ketika mereka menjalani pembinaan fisik, mental, sosial, agama, dan keterampilan. Maka peer counselor (konseling teman sebaya) dalam


(20)

rehabilitasi korban NAPZA sangat perlu diperhatikan demi keberhasilan proses rehabilitasi.

Oleh karena itu, banyak masyarakat mendirikan panti-panti rehabilitas, seperti Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan-Bogor”,

disamping dapat mendatangkan pendapatan dan disisi lain juga merupakan upaya rehabilitasi terhadap pemakai NAPZA. Sebagaimana langkah-langkah para ahli psikologi. Mencoba mencari solusi dalam penanggulangan korban penyalahgunaan NAPZA yang akhirnya memerlukan suatu pemikiran dalam menetapkan upaya-upaya mengatasi berbagai permasalahan remaja korban penyalahgunaan NAPZA.

Untuk mengantisipasi lebih parahnya kasus penyalahgunaan NAPZA, dibutuhkan kerja sama yang sinergis antara institusi pendidikan, aparat penegak hukum, lingkungan, termasuk disini orang tua dan generasi muda. Untuk itulah berdasarkan pada uraian diatas maka penulis tertarik untuk menulis proposal penelitian dengan judul “Peran Peer Counselor

Dalam Rehabilitasi Korban NAPZA Di Panti Sosial Pamaradi Putra “Galih Pakuan” Bogor.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut: Batasan masalah dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup penelitian pada peer counselor kepada teman sebayanya agar saling


(21)

mendukung untuk bertingkah laku lebih baik dan aktif berbicara serta mendukung proses pemulihan korban NAPZA dengan bentuk saling memahami masalah teman sebayanya pada korban NAPZA akan tetapi tidak lepas dari bimbingan pekerja sosial (PEKSOS) di

Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan-Bogor, Putat Nutug” agar tidak melebar jauh dan penelitian ini dapat difokuskan untuk memperoleh data-data yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang ini sebagaimana yang diuraikan diatas, dalam pembahasan selanjutnya agar lebih mengarah dan mencapai hasil yang maksimal, maka penulis mengambil alternatif dari rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah peran peer counselor dalam rehabilitasi korban NAPZA di PSPP “Galih Pakuan-Bogor?

b. Apa sajakah dasar-dasar komunikasi yang di terapkan oleh peer counselor dalam rehabilitasi korban Napza di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor? c. Manfaat apa yang di dapatkan peer counselor setelah

melaksanakan perannya di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor?


(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui peran peer counselor dalam rehabilitasi korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih pakuan” Putat Nutug-Bogor.

b. Untuk mengetahui dasar komunikasi dalam peer counselor

dalam rehabilitasi korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor.

c. Untuk mengetahui manfaat apa sajakah yang di dapatkan peer counselor dalam rehabilitasi korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor.

2.Manfaat

a. Secara akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan pengalaman dan menambah pelajaran atau pengetahuan dan menambah wawasan mengenai peran peer counselor dalam rehabilitasi korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih Pakuan” Bogor.

b. Secara peraktis hasil penlitian ini diharapkan bisa menjadi acuan mendasar khususnya bagi pihak lembaga Panti Sosial Pamardi Putra dan umumnya untuk seluruh panti sosial terutama dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai bimbingan kelompok terhadap pasien penyalahgunaan NAPZA sehingga dapat membantu mereka sembuh dari ketergantungan.


(23)

c. Terhadap jurusan, penelitian ini agar dapat bermanfaat menjadi bahan referensi dan memberi masukan kepada Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam mengenai peran peer counseling (konseling teman sebaya) terhadap korban NAPZA dalam rehabilitasi sosial.

D. Metodologi penelitian 1. Metode penelitian

Dalam menentukan metode penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan dekriptif analisis, yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan menggambarkan apa adanya suatu peristiwa. Sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Meleong bahwa penelitian deskriptif adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, menggambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian, isi laporan peneliti akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.6

Dalam hal ini penulis melakukan observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan dianalisa serta disajikan dalam suatu pandangan yang utuh, yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian. seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa setiap penelitian memiliki langkah-langkah yang perlu dilalui secara bertahap, maka langkah-langkah yang akan digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah sebagai berikut:

6 J Moleong Lexsy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bndung: PT Remaja Rosda Karya 1922, h. 11


(24)

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah di Lembaga PSPP “Galih Pakuan” Putat Nutug-Bogor”. Alasan peneliti mengambil penelitian di lembaga tersebut karena lembaga ini merupakan tempat rehabilitasi korban NAPZA dengan mengadakan kegiatan Peer Counselor. Disini juga merupakan lembaga milik pemerintah yang bernaung di bawah Kementrian Sosial.

b. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan dari 27 Februari 2014 sampai dengan 05 Juni 2014.

3. Subjek dan Oubjek Penelitian a. Subjek Penelitian

Sujek penelitian adalah pelaku yang memberi informasi atau data dalam suatu penelitian.7 Subjek penelitian ini adalah 3 residen, 2 peksos/Pembina dan 1 kepala seksi program dan advokasi sosial di panti lembaga PSPP “Galih Pakuan”.

Kemudian objek penelitian adalah peer counselor

dalam rehabilitasi korban NAPZA pada residen. 4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan maka peneliti menggunakan teknik dan alat pengumpul data sebagai berikut:

7


(25)

a. Observasi atau pengamatan

Observasi adalah suatu kegiatan pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.8

Model observasi yang sudah biasa dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pertama, Obsevasi secara langsung dan ikut terlibat dalam peristiwa yang sedang dijadikan obyek observasi. Dan kedua, observasi non partisipan, yakni pembimbing berada di luar obyek atau peran yang sedang diidentifikasi, bisa dari jarak dekat atau jarak jauh.Artinya, pihak observer hanya mengamati dan mencatat fakta atau kejadian-kejadian yang tampak sebagaimana layaknya orang yang sedang mengamati sesuatu.9

Peneliti menggunakan observasi sebagai teknik pengumpulan data. Adapun observasi itu adalah penelitian melakukan proses penanggulangi korban NAPZA di PSPP (Panti Sosial Pamardi Putra) Galih Pkuan Putat Nutug-Bogor. Dalam hal ini penulis akan mengobservasi

8E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi,( Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, LPSP3 UI, 1983), h. 62.

9M. Lutfi. MA, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan (konseling) Islam,( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2008), h. 124.


(26)

pembimbing dan klien korban NAPZA di PSPP (Panti Sosial Pamardi Putra) Galih Pkuan Putat Nutug-Bogor. b. Wawancara

Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, antara interviewer

mengajukan pertanyaaan dan interviewee memberiksn jawaban atas pertanyaan itu.10 Wawancara juga merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.Dalam penelitian kualitatif yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam, dimana seorang responden atau kelompok responden mengkomunikasikan bahan-bahan dan mendorong untuk didiskusikan secara bebas.11 Wawancara dilakukan dengan residen dan peksos/Pembina untuk menggali informasi mengenali peer counsor dalam rehabilitasi korban NAPZA.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.12 Data diperoleh dari dokumen-dokumen berupa catatan formal, literature, majalah, Koran dan arsip lain yang berhubungan dengan

10

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), h. 186

11

Elvinaro Ardianto, M.Si, Metodologi Penelitian untuk Public Relation, ( Bandung: SIMBIOSA REKATAMA MEDIA, 2010), cet. Ke-1, h. 61.

12


(27)

administrasi dan data-data PSPP (Panti Sosial Pamardi Putra) “Galih Pkuan” Bogor.sebagai pendukung dari hasil wawancara.

5. Sumber data

Adapun yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek dari penelitian dimaksud. 13 Sumber data yaitu subjek utama dalam proses penelitian masalah di atas. Adapun sumber-sumber data dari penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari informan, dalam bentuk wawancara dengan 3 Residen, 1 Pekerja Sosial/ Pembina dan 1 kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial

b. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, literatur, brosur dan artikel yang memiliki relevansi terhadap objek penelitian ini.

6. Analisi Data

Teknik analisis data yaitu proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan di interprestasikan.14 Data-data yang dikumpulkan dengan cara observasi dan wawancara dan diolah dengan menggunakan penelitian kualitatif.

13 M. Subana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, ( Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 115. 14 Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metodologi Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. Ke-1, h. 263


(28)

E. Teknik penulisan

Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertai) yang disusun oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh CeQDA Center for Quality Development and Assurance) tahun 2007. F. Tinjauan Pustaka

Setelah penulis melakukan tinjauan pustaka diperpustakaan umum Universitas Islam Negri Jakarta dan di perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Menurut pengamatan penulis dari hasil observasi yang dilakukan, sampai saat ini, penulistidak menemukan skripsi yang membahas tentang “Peran Peer Counseling Terhadap Korban Napza Di Panti Sosial Paramadi Putra Galih Pakuan-Bogor” Putat Nutug”, hanya saja, sebelumnya ada beberapa skripsi yang membahas mengenai korban napzayang telah dilakukan oleh mahasiswa terdahulu, untuk mengetahui materi penelitiannya, dibawah ini diuraikan sebagai berikut;

1. Judul skripsi “Interaksi sosial para pengguna napza dalam mengikuti metode therapeautic community di PSPP (Panti Sosial Paramadi Putra” Galih Pakuan Putat Nutug-Bogor)” Penulis Nina Riyanti Januarita, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

2. Judul skripsi: “evaluasi program penyuluhan sosial dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Banten” Penulis Siti Soviatul


(29)

Muquomah, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

3. Judul skripsi “Peranan KH.Muhammad Djunaidi dalam menangani

korban penyalahgunaan narkoba di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ienSawangan Depok”, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

Yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang telah disebutkan diatas adalah bahwa, penelitian yang dilakukan sebelumnya adalah:

Pertama, ingin mencari tahu bagaimana interaksi sosial para pengguna napza dalam metode therapeautic community di PSPP “Galih Pakuan Putat Nutug-Bogor. Kedua, seperti apa evaluasi program penyuluhan sosial dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Banten. Ketiga, ingin mengetahui bagaimana peranan KH,Muhammad Djuandi dalam menangani korban penyalahgunaan narkoba di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ienSawangan Depok.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian ini penulis ingin mencari tahu “Peran Peer Counseling

Terhadap Korban NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra Putat Nutug-Bogor”. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk menelitinya dan apa yang penulis lakukan pada dasarnya tidak ada


(30)

tulisan yang dijaadikan pembanding terhadap skripsi ini, sehingga skripsi yang ada ini murni hasil karya penulis.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam skripsi ini, maka penulis membuat rancangan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan. Meliputi, penegasan judul, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian

BAB II: Landasan Teori. Meliputi pengertian peran, selain itu juga membahas pengertian peer counseling, pengertian NAPZA dan korban NAPZA.

BAB III: Gambaran Umum Panti Sosial Paramadi Putra Galih Pakuan-Bogor” Putat Nutug”, gambaran umum ini meliputi tentang profil lembaga, sejarah berdirinya, visi dan misi, Tujuan, Tugas Pokok, dan Fungsi Panti, landasan hukum, Struktur Organisasi, mekanisme kerja, komposisi pegawai, sasaran dan garapan lembaga, Persyaratan Calon Keluarga Panti Sosial, Prosedur Pelayanan, Proses layanan, Jenis Pembinaan, pembiayaan operasional, Mitra Kerja Sama, sarana dan prasarana, jumlah W a r g a Binaan tahun 2011.

BAB VI: Temuan dan Analisis Data, bab ini akan menguraikan analisa hasil penelitian mengenai proses bimbingan keterampilan dalam meningkatkan perubahan tingkah laku


(31)

terhadap korban napza di Panti Sosial Paramadi PutraGalih Pakuan-Bogor” Putat Nutug”

BAB VI: Penutup, dalam penutup ini penulis akan berusaha memberikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan skripsi ini serta Saran terhadap tujuan dan manfaat yang diharapkan dapat diambil dari tulisan.


(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Peran

1. Pengertian Peran

Dalam kamus bahasa Indonesia kata peran yang berarti tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.1 Dalam kamus ilmiah popular, peran diartikan fungsi, kedudukan, bagian kedudukan.2 Kata “peran”, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama”.3

Peran menurut Levinson sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekamto, sebagai berikut:

Peran adalah “suatu konsep prihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peran meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan”.4

Menurut Grass Massam dan A. W. Mc. Eachen yang dikutip oleh David Berry mendefinisikan “peran sebagai

1

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-2, h. 854

2

Pius.A.Pratanto dan M.Dahlan AL Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola), h. 585

3

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1985), h. 73

4


(33)

seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu”.5

masih menurut David Berry, harapan-harapan merupakan hubungan dari norma-norma sosial. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa “peran itu ditentukan oleh norma-norma didalam masyarakat, artinya seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat didalam pekerjaannya”.

Dalam ilmu Psikologi sosial peran diartikan sebagai suatu prilaku atau tindakan yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang memiliki suatu status didalam kelompok tertentu.6

Dari penjelasan mengenai pengertian peran diatas penulis dapat simpulkan bahwa peran adalah tingkah laku yang dimiliki seseorang, yang memiliki harapan-harapan penting bagi residen korban NAPZA dan mempunyai fungsi bagi struktur kehidupan masyarakat.

2. Bentuk dan macam-macam peran a. Bentuk peran

Melihat dari pengertian mengenai peran maka bentuk peran bisa dilihat dalam bentuk individu, norma atau aturan, intisusi atau lembaga dan lain sebagainya tergantung fungsi dan kegunaan serta harapan-harapan yang

5

N. Gress W. S, Masson and A. W. Mc. Eachen, Exploration Role Analysis, dikutip oleh Davit Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke 3, h. 99


(34)

diinginkan oleh masyarakat itu sendiri, misalkan seorang pemain sepak bola yang kawakan akan berbeda dengan seorang pemain music yang bermain music untuk mengisi waktu luang saja.

b. Macam-macam peran

Peran yang ada dalam masyarakat dapat diklasifikasikan menurut bermacam-macam cara sesuai dengan banyaknya sudut pandang. Berbagai macam peran dapat disebutkan sebagai berikut:

1) Berdasarkan pelaksanaannya peranan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

a) Peranan yang diharapkan (exected roles), yaitu cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. masyarakat menghendaki peran yang diharapkan secermat-cermatnya dan peran ini tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan seperti yang ditentukan. Peran jenis ini antara lain peran hakim, peran protokoler diplomatic, dan sebagainya.

b) Peranan yang disesuaikan (actual roles), yaitu cara bagaimana sebenarnya


(35)

peranan itu dijalankan. Peranan ini pelaksanaannya lebih luas, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. peran yang disesuaikan mungkin tidak cocok dengan situasi setempat, tetapi kekurangan yang muncul dapat dianggap wajar oleh masyarakat.7

2) Berdasarkan cara memperolehnya

Sementar itu berdasarkan cara memperolehnya, peranan dapat dibedakan menjadi:

a. Peranan bawaan (ascribed roles), yaitu peranan yang diperoleh secara otomatis, bukan karena usaha misalnya peranan sebagai nenek, anak, bupati dan lain sebagainya.

b. Peranan pilihan (achives role), yaitu peranan yang diperoleh atas dasar keputusan sendiri, misalnya seseorang yang menentukan untuk memilih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial, Politik, Universitas Airlangga dan menjadi mahasiswa progran studi sosiologi.8

7

J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. Ke-3, h. 160

8


(36)

3. Tujuan dan Manfaat Peran

Setiap peran bertujuan agar antar individu yang melaksanakan peranan dengan orang-orang sekitarnya yang berhubungan dengan peranan tersebut terdapat hubungan yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan di taati oleh kedua belah pihak.9

Peranan dapat membimbing seseorang dalam berprilaku, karena manfaat peran sendiri adalah sebagai berikut:

a. Memberi arah pada proses sosialisasi.

b. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan.

c. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat. d. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol,

melestarikan kehidupan masyarakat.10 B. Pengertian Peer Counselor dan peer counseling

1. Peer Counselor

Menurut Sudarsono, teman sebaya berarti teman-teman yang sesuai dan sejenis, perkumpulan atau kelompok pra puberitas yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan terdiri dari satu jenis. Sedangkan kelompok sebaya adalah kelompok persahabatan yang mempunyai nilai-nilai dan pola hidup sendiri, dimana persahabatan dalam periode sebaya penting sekali karena merupakan dasar

9

Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), Cet.Ke-1, h. 64 10 J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Op.cit, h. 160


(37)

pokok mewujudkan nilai-nilai dalam suatu kontak sosial. Jadi teman sebaya merupakan media bagi remaja untuk mewujudkan nilai-nilai sosial tersendiri dalam melakukan prinsip kerjasama, tanggung jawab dan kompetisi.

Peer konselor adalah siswa yang berasal dari sekolah (SMP/SMA/Sederajat), karang taruna, poskestren, pemuda masjid/greja/keagamaan lainnya, pekerja industri, anak jalanan, penyalahguna NAPZA dan lain-lain yang dilatih dengan materi tertentu sehingga mampu memberikan informasi dan membantu menyelesaikan masalah kesehatan pada teman sebayanya. Peer counselor merupakan strategi yang efektif untuk menyelesaikan masalah remaja dengan resiko penyalahgunaan NAPZA. Kelompok sebaya dapat menurunkan remaja/siswa terhadap resiko penyalahgunaan zat adiktif sehingga siswa yang berprilaku negatif akan berkurang.11

Menurut irma ada tiga alasan peer counselor merupakan strategi yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan NAPZA pada remaja/dewasa yaitu pertama; mendiskusikan masalah dengan teman sebaya dirasakan lebih enak dan aman, kedua; teman sebaya memiliki cara pandang dan gaya hidup yang mirip sehingga dianggap lebih memahami, ketiga; situasi diskusi bisa lebih bebas atau curhat (express feeling). Keefektifan peer counselor telah dibuktikan oleh Barker dan Geller melalui studi kasus di Zambia

11

Hitchcock, Schobert, dan Thomas, Community Health Nursing: Caring in Action, USA: Delmar Publisher, SA 1999, h. 45


(38)

tentang perilaku siswa terkait kekerasan dan penyalahgunaan obat terlarang menyimpulkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan terhadap perilaku kekerasan dan penyalahgunaan obat terlarang di sekolah.12

Dari beberapa teori diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa peer counselor dapat membangun hubungan saling percaya dan komunikasi terbuka sehingga mendorong siswa/remaja dan dewasa untuk berprilaku positif dan mencegah remaja/dewasa untuk menyalahgunakan NAPZA.

2. Peer counseling

Pada awalnya Peer Counseling muncul dengan konsep peer support yang dimulai pada tahun 1939 untuk membantu para penderita alkoholik.13 Dalam konsep tersebut diyakini bahwa individu yang pernah kecanduan alkohol dan memiliki pengalaman berhasil mengatasi kecanduan tersebut akan lebih efektif dalam membantu individu lain yang sedang mencoba mengatasi kecanduan alkohol. Dari tahun ke tahun konsep Peer Counseling

(konseling teman sebaya) terus merambah ke sejumlah setting dan issue. Pada dasarnya Peer Counseling (konseling teman sebaya) merupakan suatu cara bagi para siswa belajar bagaimana

12

Irma, Konseling pada Remaja, Jakarta: Pustaka Imam, 2009, h. 33

13 T. D,Carter, Peer Counseling: Roles, Functions, Boundaries. ILRU Program, 2005, h. 2


(39)

memperhatikan dan membantu anak-anak lain, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.14

Menurut Tindall & Gray, konseling teman sebaya mencakup hubungan membantu yang dilakukan secara individual (one-to-one helping relationship), kepemimpinan kelompok, kepemimpinan diskusi, pemberian pertimbangan, tutorial, dan semua aktivitas interpersonal manusia untuk membantu atau menolong.15

Menurut (Corey1986, Herman Nirwana 1997, Shertzer & Stone, 1981), peer counseling (konseling teman sebaya), untuk ini diperlukan adanya hubungan yang saling percaya diantara konselor dan konseli, Terciptanya komunikasi yang saling terbuka dan terjadinya pemberdayaan konseli agar mampu mengambil keputusan. Penciptaan hubungan diantara keduanya (konselor dan konseli) sangat penting, sebab hubungan konselor dengan konseli merupakan “jantung” dari keseluruhan proses konseling. Hubungan konselor dengan konseli menjadi dasar dalam keseluruhan proses konseling. Bahkan, menurut pendekatan eksistensialis, dalam keseluruhan proses konseling yang paling utama adalah hubungan konselor dengan konseli, karena situasi hubungan tersebut merupakan stimulus untuk tercapainya tujuan

14 R.A.Carr, Theory and Practice of Peer Counseling, (Ottawa : Canada Employment and Immigration Commission, 1981) h. 3

15 J.D. Tindall, and H.D. Gray, Peer Counseling: In-Depth Look At Training Peer Helpers, (Muncie : Accelerated Developmen t Inc,1985), h. 5


(40)

konseling yang diharapkan, yaitu terjadinya perubahan ke arah yang positif, dan terciptanya satu kondisi agar konseli merasa bebas melakukan eksplorasi diri, penyesuaian diri daan kesehatan mental, kebabasan secara psikologis tanpa mengabaikan tanggungjawab sosial.

Dengan sederhana penulis dapat mendefinisikan bahwa

peer counseling adalah layanan bantuan konseling yang diberikan oleh teman sebayanya (biasanya seusia/tingkatan pendidikannya hampir sama) yang telah terlebih dahulu diberikan pelatihan-pelatihan untuk menjadi konselor sebaya sehingga diharapkan dapat memberikan bantuan baik secara individual maupun kelompok kepada teman-temannya yang bermasalah ataupun mengalami berbagai hambatan dalam perkembangan kepribadiannya.

3. Dasar-dasar komunikasi dalam Peer Counselor

Dasar-dasar komunikasi tersebut meliputi:16

a. Acceptance, merupakan teknik yang digunakan konselor untuk menunjukkan minat, pemahaman terhadap hal-hal yang dikemukakan konseli dan sikap menerima pribadi konseli sebagai suatu keseluruhan

b. Attending, yaitu perilaku yang secara langsung berhubungan dengan respek, yang ditunjukan ketika konselor/helper

16

R.A.Carr, Theory and Practice of Peer Counseling, (Ottawa : Canada Employment and Immigration Commission, 1981) h. 5-12


(41)

memberikan perhatian penuh pada konseli/helpee, melalui komunikasi verbal maupun non verbal, sebagai komitmen untuk fokus pada konseli

c. Summarizing, ketrampilan konselor untuk mendapatkan kesimpulan atau ringkasan mengenai apa yang telah dikemukakan oleh konseli

d. Questioning, yaitu teknik mengarahkan pembicaraan dan memberikan kesempatan pada konseli uniuk mengelaborasi, mengeksplorasi atau memberikan jawaban dari berbagai kemungkinan sesuai dengan keinginan konseli dan bersifat mendalam

e. Genuineness, adalah mengkomunikasikan secara jujur perasaan sebagai cara meningkatkan hubungan dengan dua atau lebih individu

f. Assertiveness, kemampuan mengekspresikan pemikiran dan perasaan secara jujur, yang ditunjukkan dengan cara berterus terang, dan respek pada orang lain

g. Confrontation, adalah ekspresi konselor tentang ketidakcocokannya dengan perilaku konseli. Dengan kata lain, konfrontasi adalah ketrampilan konselor untuk menunjukkan adanya kesenjangan dan inkongruensi dalam diri konseli

h. Problem Solving, adalah proses perubahan sesorang dari fase mengeksplorasi satu masalah, memahami sebab-sebab


(42)

masalah, dan mengevaluasi tingkah laku yang mempengaruhi penyelesaian masalah itu

Dengan paparan diatas penulis mendefinisikan, konseling teman sebaya secara kuat menempatkan keterampilan-keterampilan komunikasi untuk memfasilitasi eksplorasi diri dan pembuatan keputusan. “Konselor” sebaya bukanlah konselor profesional atau ahli terapi. “Konselor” sebaya adalah para siswa yang memberikan bantuan kepada siswa lain di bawah bimbingan konselor ahli. Dalam konseling sebaya, peran dan kehadiran konselor ahli tetap diperlukan. Pada hakekatnya peer counseling adalah counseling through peers. Dalam model konseling teman sebaya, terdapat hubungan Triadik antara Konselor ahli, “konselor” sebaya dan konseli. Hubungan Triadik tersebut dapat digambarkan melalui gambar:

Tabel 1

Interaksi Triadik antara Konselor Ahli, ”Konselor” Teman Sebaya, dengan ”Konseli” Teman Sebaya.17

Keterangan:

- Interaksi antara konselor ahli dengan konseli melalui

“konselor” teman sebaya.

17

Suwarjo, Suwarjo, Model Konseling Teman Sebaya Untuk Pengembangan Daya (Yogyakarta: 2008), h. 83

Konselor Ahli


(43)

Interaksi langsung antara konselor ahli dengan konseli atas rujukan “konselor” teman sebaya. “Konselor” sebaya terlatih yang direkrut dari jaringan kerja sosial memungkinkan terjadinya sejumlah kontak yang spontan dan informal. Kontak-kontak yang demikian memiliki multiplying impact pada berbagai aspek dari remaja lainnya. Kontak-kontak tersebut juga dapat memperbaiki atau meningkatkan iklim sosial dan dapat menjadi jembatan penghubung antara konselor profesional dengan para siswa (remaja) yang tidak sempat atau tidak bersedia berjumpa dengan konselor.

C. Rehabilitasi Sosial

1. Pengertian Rehabilitasi Sosial

Dalam Peraturan Mentri Sosial Republik Indonesia Nomor 5/ HUK/2009 tetang pelayanan dan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya, pengertian rehabilitasi sosial tertulis pada pasal 10 yaitu: Rehabilitasi Sosial merupakan serangkaian kegiatan profesional yang meliputi aspek fisik, mental, spritual, mental, dan vokasional untuk mengembangkan kemampuan dan memulihkan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya agar dapat melaksankan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.18

Rehabilitasi juga dapat diartikan sebagai suatu rangkaian proses pelayanan yang ditujukan untuk pemulihan kepercayaan diri, harga diri, kesadaran peranan serta tanggung jawab sosial korban

18

Peraturan Mentri Sosial Republik Indonesia Nomor 5/ HUK/2009. Tetang Pelayanan dan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya, bagian ke dua pasal 10.


(44)

penyalahgunaan narkotika terhadap masa depannya, baik bagi dirinya, keluarganya, maupun masyarakat dan lingkungannya.19

2. Tujuan dan Sasaran Rehabilitasi Sosial a. Tujuan Rehabilitasi Sosial:

Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial korban NAPZA bertujuan untuk dapat dipulihkannya kondisi fisik, mental, psikologi dan kondisi sosial serta fungsi dan kualitas sosial korban NAPZA sehingga mereka dapat hidup secara wajar dimasyarak serta menjadi SDM (sumber daya manusia) yang berguna dan produktif.20

b. Sasaran Rehabilitasi Sosial

Sasaran program rehabilitasi sosial korban NAPZA adalah:

1. Korban Penyalahgunaan NAPZA, usia disesuiakan dengan persyaratan yang berlaku dalam panti/ lembaga penyelenggara dan telah bebas dari ketergantungan fisik terhadap NAPZA. 2. Orang tua/keluarga korban

3. Lingkungan social  Lingkungan sebaya

 Lingkungan sekolah/pekerjaan

 Lingkungan masyarakat sekitar korban.21

19

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Korban NAPZA Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, Panduan Pelayanan Rehabilitasi Sosial Bagi Korban Penyalahgunaan NAPZA. (Jakarta, 2003) h. 5

20

Ibid., h.7 21

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Korban NAPZA Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, Panduan Pelayanan Rehabilitasi Sosial Bagi Korban Penyalahgunaan NAPZA. (Jakarta, 2003). h. 7


(45)

3. Proses Rehabilitasi Sosial

Keseluruhan rangkaian proses rehabilitasi sosial terdiri atas beberapa tahap kegiatan yang dilaksanakan secara beraturan, sejak perkenalan program sampai dengan klien kembali ke lingkungan keluarganya/lingkungan masyarakat.

Proses rehabilitasi sosial tersebut terdiri atas 6 (enam tahapan yang meliputi berbagai kegiatan yaitu:

a) Tahap pendekatan awal/tahap persiapan rehabilitasi yaitu tahap kegiatan yang mengawali keseluruhan proses rehabilitasi dan dilaksanakan di masyarakat, untuk mempersiapkan pelaksanakan kegiatan rehabilitasi baik yang diselenggarakan didalam panti maupun diluar panti. b) Tahap penerimaan (intake)

Pada tahap ini terjadi proses pertukaran informasi mengenai apa yang dibutuhkan oleh calon klien dan pelayan apa yang ada pada panti/ lembaga dalam membantu memenuhi kebutuhan klien atau memecahkan masalah yang dialaminya.

c) Tahap assessment

Assessment merupakan penilaian atau penafsiran terhadap situasi dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Sebagai suatu proses pengungkapan dan pemahaman masalah, assessment akan membantu pekerja sosial


(46)

mendefinisikan masalah, membuat keputusan tentang aspek-aspek mana dari situasi itu yang akan dihadapi, merumuskan tujuan perubahan, dan menetapkan cara untuk mencapai tujuan tersebut.

d) Tahap pembinaan dan bimbingan

Salah satu prinsip dasar philosophi utama pelayanan manusia adalah bahwa “yang mendasari perubahan harus datang dari dalam, tetapi kekuatan-kekutan dari luar dapat membantu untuk mewujudkan terjadinya perubahan tersebut”. Tahap pembinaan dan bimbingan adalah inti dari proses pelayanan dan rehabilitasi sosial korban NAPZA, pelibatan klien secara aktif (working with clien) merupakan hal yang sangan penting sesuai dengan prinsip di atas untuk mengoptimalkan hasil-hasil yang ingin dicapai.

e) Tahap resosialisasi/reintegrasi

Hasil akhir dari proses pelayan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA adalah mengembalikan dan meningkatkan keberfungsian sosial klien.

f) Tahap pembinaan lanjut

Tahap pembinaan lanjut adalah usaha yang sangat penting dalam rangka memelihara dan memantapkan


(47)

kondisi kesembuhan dan kepulihan klien dari ketrgantungan terhadap NAPZA.22

Secara umum ada beberapa tahapan yang harus dilewati. Masing-masing tahapan tersebut memakan waktu bervariasi: ada yang seminggu, sebulan dan bahkan berbulan tergantung tingkat ketergantungan, tekat korban, dan juga dukungan berbagai pihak terutama keluarga dalam seluruh proses tersebut. Setiap tahapan tersebut disusun dan dibuat untuk mengantar pasien secara bertahap melepaskan dari ketergantungan narkoba.

Beberapa tahapan rehabilitasi ini disajikan berikut sudah teruji dapat menyembuhkan/ memulihkan korban narkoba secara maksimal.

a. Tahap Transisi

Penekanan dalam tahap ini lebih kepada informasi awal tentang korban seperti: latar belakang korban, lama ketergantungan, jenis obat yang dipakai, akibat-akibat ketergantungan dan informasi lainnya. b. Tahap Intensif

Setelah melewati masa transisi (pengumpulan informasi tentang keadaan korban dan latar belakangnya) baru masuk pada fase berikutnya yakni proses

22

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Korban NAPZA Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, Panduan Pelayanan Rehabilitasi Sosial Bagi Korban Penyalahgunaan NAPZA. (Jakarta, 2003), h. 7-30


(48)

penyembuhan secara psikis. Motivasi dan potensi dirinya dibangun dalam tahap ini.

c. Tahap Rekonsiliasi

Tahap berikut yang harus dilewati dan sangat vital adalah tahap rekonsilitas. Para korban tidak langsung berinteraksi secara bebas dengan masyarakat, akan tetapi terlebih dahulu ditampung disebuah lingkungan khusus selama beberapa waktu sampai pasien benar-benar siap secara mental dan rohani kembali ke lingkungannya semula.

d. Pemeliharaan Lanjut

Pada tahap ini walaupun secara fisik yang bersangkutan sudah dinyatakan sehat dan secara psikis pun sudah pulih, namun masih ada kemungkinan mereka akan tergelincir kembali, lebih-lebih saat mereka bernostalgia dengan kenikmatan narkoba. Saat ini juga rawan. Karena itu setiap korban yang memasuki tahap ini dipersiapkan sungguh-sungguh agar dapat melewati dan mengatasi situasi rawan ini dengan melewati tiga titik ini yakni:

1) Mengubah, menghilangkan, atau menjauhi hal-hal yang bersifat nostalgia kesenangan narkoba.

2) Setia mengikuti program-program dan acara-acara aftercere (pemelihara lanjut).


(49)

3) Dapat juga melibatkan diri dalam gerakan atau kelompok bersih narkoba dan peduli penanggulangannya.23

D. Korban NAPZA

1) Pengertian korban NAPZA

Pembahasan tentang korban penting diberikan untuk membantu menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan pandangan. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum nasional dan internasional mengenai korban kejahatan.

a. Menurut Arief Gosita, korban adalah: “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.24

b. Mulai di menyatakan bahwa korban (victims) adalah: Orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau ganguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental,

23

EM. Giri Prastomo, Rehabilitasi bagi Korban Narkoba, (Tangerang: Visimedia, 2006), h. 28-34

24


(50)

melalui suatu perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.25

c. Dalam perspektif viktimologi, pada fase new victimolog

Zvonimir Paul Separovic dalam bukunya yang berjudul “victimology, Studies Of Victims” memberikan

pengertian tentang korban sebagai berikut:

…those person who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of another (man, structure, organization, or institution) and consequently, a victim would be any one who has suffered from or been threatened by punishable act (ot only criminal act but also other punisable acts as misdemeanors, economic offenses, non-fulfilment of work duties) or from an accident (accident at work, at home, trafict accident, etc). Suffering may be caused by another man (man made victim) or another structure where people are also involved.26

d. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mendefinisikan korban: “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk ahli warisnya”.

e. Definisi korban menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah: “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Dari pengertian diatas, jelas bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan karena sesuatu hal. Yang dimaksud

25 Muladi, “HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”,

dalam Muladi (ed) Hak Asasi Manusia, hakekat konsep dan implikasinya dalam perspektif hukum dan masyarakat, Refika Aditama, Bandung: 2005, h. 108

26


(51)

dengan sesuatu hal disini adalah meliputi orang, institusi atau lembaga, struktur.

Korban pada dasarnya tidak hanya orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.27

a. Korban NAPZA dalam Perspektif Vitimologi

Dalam perspektif viktimologi terutama mengenai tipologi korban, terdapat beberapa pendapat ahli hukum mengenai korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, maka korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika menurut Ezzat Abdul Fateh, adalah dalam tipologi; “false victims yaitu mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri’. Dari perspektif tanggungjawab korban, menurut Stephen Schafer menyatakan:

27


(52)

Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban, akan tetapi, pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2 hal, yaitu penjahat dan korban. Sebagai contoh dari self-victimizing victims adalah: pecandu obat bius (koersif-penulis), alkoholisme, homoseks, judi. Hal ini berarti pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus merupakan korban.28

Menurut Sellin dan Wolfgang, korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah merupakan: “mutual

victimization yaitu yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri. Misalnya: pelacuran, perzinahan, narkotika.29

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum mengenai tipologi korban dalam perspektif viktimologi dapat dinyatakan, bahwa pecandu narkotika dan psikotropika adalah merupakan self-victimizing victims, yaitu seseorang yang menjadi korban karena perbuatannya sendiri. Namun, ada juga yang mengelompokannya dalam victimless crime atau kejahatan

28

E. Sahetapy, (ed), Bunga Rampai Viktimisasi, cet.1, Bandung: 1995, h. 14-125 29


(53)

tanpa korban karena kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban, semua pihak terlibat. 30

Hal ini senada dengan Rumusan teoritis Savitz bahwa suatu perbuatan dinyatakan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain. Di sini timbul pertanyaan, bagaimana bila korban tersebut adalah diri sendiri? Dalam criteria Savitz, apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban bukan sebagai kejahatan. Apabila seorang pengguna narkoba menggkonsumsi barang haram itu, hanya untuk dirinya sendiri, dalam konteks criteria Savitz, pengguna tersebut bukan pelaku tindak pidana.

Dari hukum nasional yang mengatur mengenai tindak pidana NAPZA, juga ada penegasan pecandu NAPZA selain adalah pelaku kejahatan juga adalah sebagai korban:

Dalam konteks UU no. 5/1997 tentang psikotropika dan UU no. 22/1997 tentang Narkotika dinyatakan sebagai berikut:

a) pasal 37 ayat 1 UU no. 5/1997 menyatakan: “pengguna

psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan dan atau perawatan”.

30


(54)

b) pasal 44 ayat 1 UU no. 22/1997 tentang Narkotika, intinya menegaskan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawatan pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika, dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara sah. Pada pasal 45 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan.(kursif: penulis).

2) Pengertian NAPZA a. Narkotika

Narkoba berasal dari bahasa inggris

narcotics yang berarti obat yang menidurkan atau obat bius,31 sedangkan menurut istilah menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 pasal 1 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis atau bukan sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. adalah zat yang apabila digunakan sesuai dengan fungsinya yaitu untuk kepentingan medis dan kepentingan ilmiah akan memberikan manfaat kepada umat manusia. Ada beberapa jenis zat

31

S Warjowarsito dan Tito W, Kamus LengkapBahasa Inggris- Indonesia, Indonesia-Inggris, (Bandung 1980), h.122


(55)

sebagai sarana kebutuhan medis yang penggunaannya secara terukur dibawah kendali ahli medis. Baik untuk kepentingan penelitian maupun pertolongan kesehatan. Namun demikian, dalam perkembangannya menjadi barang yang berbahaya karena telah diedarkan secara gelap dan disalahgunakan untuk kepentingan di luar medis dan berdampak terhadap gangguan kesehatan.

Sebelum tahun 1976 istilah narkotika belum dikenal dalam perundang-undangan Indonesia. Peraturan yang

berlaku waktu itu, yaitu “Verdovende Middelen

Ordonnantie(Staatsblad 1927 No. 278 jo. No. 536), yang diubah terakhir tahun 1949 (L.N 1949 No. 337), bukan menggunakan istilah “narkotika”, melainkan “obat yang membiuskan” (Verdovende middelen), oleh karena itu peraturan iersebut dikenal sebagai Ordonansi Obat Bius.

Namun dalam rangka pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelanggar hukum narkotika, istilah “narkotika” sudah mulai dikenal sekitar akhir decade 60-an. Boleh dikatakan baik “obat bius” maupun “narkotika” tidaklah berbeda, merupakan obat yang diperlukan dalam dunia penelitian. oleh karena itu tidak dilarang penggunaan obat bius (narkotika) untuk kepentingan kedokteran dan ilmu pengetahuan.


(56)

Dampaknya sangat membahayakan kesehatan dan bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Dan tidak hanya itu, kini nyata-nyata telah semakin berdampak dahsyat. Membuat hancur dan matinya karakter bangsa. Yang diawali dengan rusaknya sel-sel syaraf otak sebagai dampak menggunakan Narkoba illegal. Kerusakan syaraf otak ini akan berpengaruh buruk pada kepribadian, tempramen dan karakter manusia.

Jadi, pada hakekatnya Narkoba memiliki dua dampak yakni positif dan negative. Positif adalah demi kepentingan medis, sedangkan negative adalah untuk kepentingan bisnis illegal oleh kalangan mafia yang tidak bertanggung jawab. Menghancurkan kehidupan manusia dan menjadi musuh bersama seluruh bangsa beradab dimuka bumi ini. Terkait dengan ini maka perlunya membangun karakter manusia sebagai embiro karakter bangsa. Karakter bangsa yang kuat akan mampu memiliki daya imunitas yang lebih baik untuk menghadapi peredaran gelap Narkoba. Dengan daya tahan yang handal, maka pengaruh negative Narkoba dapat di cegahnya.32

32

Drs. V. Sambudiyono, MM, Peran Serta Masyarakat Di Bidang P4GN, (Jakarta: 2012), h. 5-6


(57)

Di dalam pasal 6 undang-undang No 35tahun 2009 Narkotika dikelompokan kedalam tiga golongan yaitu :33

1. Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Heroin, Kokain, Ganja dan lain sebagainya.

2. Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin.

3. Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengebangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Codein.

b. Psikotropika

Menurut UU RI No 5 / 1997, Psikotropika adalah : zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang


(58)

menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.Psikotropika terdiri dari 4 golongan :34

1. Golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Ekstasi.

2. Golongan II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalan terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amphetamine.

3. Golongan III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Phenobarbital.

4. Golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Diazepam, Nitrazepam ( BK, DUM ).

c. Zat Adiktif

Zat Adiktif adalah : bahan /zat yang berpengaruh psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika, meliputi :

34

DR. Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba & Musuhi Penyalahgunaannya, (T. Tp: LKP Yayasan Karya Bahakti, 2004), h. 13-16


(59)

1) Minuman Alkohol : mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan bersamaan dengan Narkotika atau Psikotropika akan memperkuat pengaruh obat / zat itu dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman beralkohol

a) Golongan A : kadar etanol 1 – 5 % ( Bir ).

b) Golongan B : kadar etanol 5 – 20 % ( Berbagai minuman anggur )

c) Golongan C : kadar etanol 20 – 45 % ( Whisky, Vodca, Manson House, Johny Walker).

2) Inhalasi ( gas yang dihirup ) dan solven ( zat pelarut ) mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor, dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalahgunakan adalah : Lem, Tiner, Penghapus Cat Kuku, Bensin.

3) Tembakau : pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat.

Dalam upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.


(60)

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan dari NAPZA dapat digolongkan menjadi 3 golongan :

a) Golongan Depresan ( Downer ). Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat pemakainya menjadi tenang dan bahkan membuat tertidur bahkan tak sadarkan diri. Contohnya: Opioda ( Morfin, Heroin, Codein ), sedative ( penenang ), Hipnotik (obat tidur) dan Tranquilizer (anti cemas ). b) Golongan Stimulan ( Upper ). Adalah jenis NAPZA yang

merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini menbuat pemakainnya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Contoh: Amphetamine (Shabu, Ekstasi), Kokain.

c) Golongan Halusinogen. Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan, pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh persaan dapat terganggu. Contoh: Kanabis ( ganja ).35

d. Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

Penyebabnya sangatlah kompleks akibat interaksi berbagai faktor:

35

DR. Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba & Musuhi Penyalahgunaannya, (T. Tp: LKP Yayasan Karya Bahakti, 2004),h. 3-10


(61)

1) Faktor individual :

Kebanyakan dimulai pada saat remaja, sebab pada remaja sedang mengalami perubahan biologi, psikologi maupun sosial yang pesat. Ciri–ciri remaja yang mempunyai resiko lebih besar menggunakan NAPZA :

a) Cenderung memberontak

b) Memiliki gangguan jiwa lain, misalnya : depresi, cemas. c) Perilaku yang menyimpang dari aturan atau norma yang

ada.

d) Kurang percaya diri.

e) Mudah kecewa, agresif dan destruktif. f) Murung, pemalu, pendiam.

g) Merasa bosan dan jenuh.

h) Keinginan untuk bersenang–senang yang berlebihan. i) Keinginan untuk mencaoba yang sedang mode. j) Identitas diri kabur.

k) Kemampuan komunikasi yang rendah. l) Putus sekolah.


(62)

2) Faktor Lingkungan :

Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik sekitar rumah, sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat.

-Lingkungan Keluarga :

a) Komunikasi orang tua dan anak kurang baik b) Hubungan kurang harmonis

c) Orang tua yang bercerai, kawin lagi d) Orang tua terlampau sibuk, acuh e) Orang tua otoriter

f) Kurangnya orang yang menjadi teladan dalam hidupnya

g) Kurangnya kehidupan beragama.

-Lingkungan Sekolah :

a) Sekolah yang kurang disiplin

b) Sekolah terletak dekat tempat hiburan

c) Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif d) Adanya murid pengguna NAPZA.

-Lingkungan Teman Sebaya :


(63)

b) Tekanan atau ancaman dari teman.

-Lingkungan Masyrakat / Sosial :

a) Lemahnya penegak hokum

b) Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung.

3) Faktor Ketersediaan

Antara lain: tersedia dimana-mana dan mudah diperoleh karena maraknya peredaran narkoba, bahkan Indonesia sudah sebagai produsen narkoba, karena bisnis narkoba yang menjanjikan keuntungan besar , lalu penegakan hokum di Indonesia yang belum tegas dan konsisten.36

Faktor – faktor tersebut diatas memang tidak selalu membuat seseorang kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor–faktor diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.

36 BNN RI, Pedoman Pelaksanaan P4GN Melalu Peran Serta Kepala Desa/Lurah, (Jakarta: 2007), h. 30-31


(64)

BAB III

GAMBARAN UMUN LEMBAGA A. Sejarah Berdirinya

Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor berdiri sejak tahun 1982 dan mulai beroperasi pada tahun 1983 berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial Nomor : KEP.007/RPS-4/1983, dengan nama Panti Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika “Putat Nutug”. Tanggal 28 Februari 1989 panti ini ditetapkan sebagai panti tipe “A” berdasarkan KEPMENSOS Nomor: 06/HUK/1989. Dan sejak tanggal 26 April 1994 dengan berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial Nomor: 06/KEP/BRS/IV/1994 panti ini dinamakan Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan”.

PSPP “Galih Pakuan-Bogor sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Departemen Sosial RI, melaksanakan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Korban Penyalahgunaan NAPZA, mempunyai visi dan misi sebagai berikut:

B. Visi, Misi, dan Moto

1. Visi: Panti sebagai pusat Pelayanan, Perlindungan dan Rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA berstandar Nasional, Profesional, Berkualitas, Tahun 2014


(65)

2. Misi:

a. Menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyalahgunaan NAPZA dalam sistem panti menggunakan pendekatan multi disipliner, teknik pelayanan yang unggul dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

b. Menyelenggarakan pengkajian model pelayanan dan rehabilitasi sosial penyalahgunaan NAPZA.

c. Memfasilitasi tumbuh kembangnya motivasi dan usaha masyarakat dalam penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.

d. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan SDM dalam rangka meningkatkan pelayanan Rehabilitasi Sosial korban Penyalahgunaan NAPZA yang berkualitas.

3. Motto“kami Peduli. Anda Pulih dan Dunia Indah Tanpa Narkoba”

C. Tugas Pokok PSPP “Galih Pakuan” Bogor

Memberikan bimbingan, pelayanan, dan rehabilitasi sosial yang bersifat kuratif, rehabiltatif, promotif dalam membentuk bimbingan pengetahuan dasar, pendidikan, fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi eks korban Napza dan pengguna Psikotropika Sindroma ketergantungan agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.


(66)

1. SDM (Sumber Daya Manusia) Pelaksana dan Peserta 1) Pelaksana

a. Pejabat Struktural : 4 orang b. Fungsional Pekerja Sosial : 15 orang c. Fungsional Arsiparis : 2 orang

d. Instruktur : 3 orang

e. Pelaksanaan Sub.Bag.TU :11orang

f. Pelaksana Rensos : 4 orang

g. Pelaksana PAS : 4 orang

2) Peserta

PSPP “Galih Pkuan”-Bogor menyelenggarakan kegiatan

pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahguna NAPZA dari semua golongan sosial maupun ekonomi. Adapun persyaratan peserta adalah sebagai berikut:

a. Remaja laki-laki

b. Usia 14 tahun keatas dan diutamakan belum menikah c. Menyerahkan pas photo berwarna ukuran 4x6 cm 2 lembar d. Foto kopi ijazah/STTB terakhir

e. Mengisi formulir pendaftaran, surat permohonan dan surat pernyataan

f. Surat keterangan dokter yang menyatakan informasi tentang kesehatan klien


(67)

g. Pernyataan orang tua/wali klien atas kesediaannya menitipkan anaknya untuk dibina di PSPP “Galih Pakuan” -Bogor

2. Tujuan, waktu pelaksanaan kegiatan, maklumat pelayanan dan indikator

a. Tujuan

Tujuan program pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA yang dilaksanakan di PSPP “Galih Pkuan”-Bogor yaitu pemulihan kondisi fisik, mental psikis, sosial, sikap dan perilaku penyalahguna NAPZA, agar mereka mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar dalam keluarga maupun masyarakat.

b. Waktu pelaksanaan kegiatan

Pelaksanaan kegiatan pelayanan rehabilitasi sosial di PSPP “Galih Pakuan”-Bogor disusun untuk waktu 12-24 bulan, tetapi dalam proses pelaksanaan pelayanannya bergantug pada perkembangan dan performa klien.

c. Maklumat pelayanan dan indikator 1) Maklumat pelayanan


(68)

“DENGAN INI KAMI MENYATAKAN SANGGUP MENYELENGGARAKAN REHABILITASI SOSIAL BAGI

KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA SESUAI

DENGAN STANDAR PELAYANAN YANG TELAH DITETAPKAN DAN APABILA TIDAK MENEPATI JANJI INI, KAMI SIAP MENERIMA SANKSI SESUAI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG

BERLAKU” 2) Indikator

a. Melakukan pelayanan dengan segera, benar dan memuaskan.

b. Memberikan pelayanan secara terpadu dan tuntas.

c. Berorientasi pada pemenuhan harapan penerima pelayanan. d. Peduli, perhatian dan memahami kebutuhan penerima

pelayanan.

e. Sopan, ramah dan pofesional dalam memberikan pelayanan.

f. Memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap penerima manfaat.


(1)

8. Apakah hubungan anda dengan teman-teman anda yang lain baik-baik saja dalam hal berkomunikasi?

Baik-baik aja sih,

9. Keterampilan apa saja yang anda miliki untuk memberi arahan/motivasi terhadap teman sebaya anda yang lain?

Sebenernya kalo gue bilang bukan kearah keterampilan yah, tapi saya berkaca dengan pengalaman hidup saya kemarin dan saya bagi ke mereka, karna kita disini balik lagi kita merubah mainset mereka pola pikir mereka karna pola pikir kita bisa dapet dari pengalaman ya kan, pengalaman kan guru yang paling baik.

10.Apa motivasi anda selama mengikuti kegiatan Peer Counseling (konseling teman sebaya) ini?

Motivasi saya, ya saya bisa berbagi trik dan intrik bagaimana menyikapi suatu masalah dengan cara yang baik positif dan benar, kita yang disini cari kan winwin solution

11.Upaya apa saja yang dilakukan oleh anda untuk membantu teman sebaya anda agar teman sebaya anda bertingkah laku lebih baik terhadap teman sebaya yang lainnya? Saya pertama tegor, sindir, dan blash marah ya kan, kalo semua itu gak bisa kita punya tritment-tritmen khusus sendiri, tritment-tritment khususlah pokonya tritment ini mengarahkan mereka ke kebersamaan karna kita semua disini punya gimana ya bisa dibilang motto ya kan all for one one for all disini

12.Selama mengikuti Peer Counselor (konseling teman sebaya), ada atau tidak keinginan untuk mengkonsumsi NAPZA?


(2)

13.Bagaimana keadaan anda sebelum dan sesudah menjalani proses Peer Counseling (konseling teman sebaya) atau rehabilitasi?

Kalo saya sih banyak yang udah saya dapet disini, bagaimana caranya kita menghindari gitu loh, bagaimana caranya kabur istilahnya kan, kalo ada yang begitu-gitu disini diajarin semua trik intriknya.

14.Apa tujuan anda selama mengikuti kegiatan Peer Counseling (konseling teman sebaya)?

Jawab: tujuan saya untuk pulih

15.Hambatan/kendala apa yang anda rasakan selama menjalani Peer Counselor ini? Jawab: engga ada

16.Manfaat apa yang telah dicapai dalam peer counselor oleh PSPP “Galih Pakuan -Bogor”?

Yang bisa kita dapat disini sebenarnya kepercayaan, kepercayaan dari luar sana baik itu dari keluarga atau di lingkungan masyarakat karna dalam note gimana ya karna dalam pola pikir orang kalau kita udah di rehab berarti kita udah bener, itu kan salah satu cara kita buka jalan kita untuk kembali ke mereka dengan baik.

Nama : sukma


(3)

Tanggal Wawancara : 16 Mei 2014

Pukul : 13.00-13.44 WIB

Tempat Wawancara : Saung primary 1

1. Bagaimana sejarah awal pengenalan anda terhadap NAPZA? Awalnya saya coba-coba aja gitu

2. Sejak kapan dan sudah berapa lama anda mengkonsumsi NAPZA? Pas lulus STM dari mulai tahun 1998-2013

3. Jenis NAPZA apa saja yang anda pakai? Minum alkohol, ganja, putau

4. Selama mengikuti kegiatan Peer Counseling (konseling teman sebaya), bagaimana respon anda?

Yaaa memberi feed back, motivasi-motivasi aja gitu

5. Selama mengikuti kegiatan Peer counseling (konseling teman sebaya), apakah pengaruh positif/negatif yang anda terima?

Positif-positif aja

6. Bagaimana anda memperhatikan dan membantu teman-teman anda yang lain? Yaa lebih perhatian aja kalo engga ya di tegor aja gitu untuk menjadi lebih baik 7. Apakah hubungan anda dengan teman-teman anda yang lain baik-baik saja dalam hal

berkomunikasi?

Awal ada, sekarang sih baik-baik aja ya

8. Keterampilan apa saja yang anda miliki untuk memberi arahan/motivasi terhadap teman sebaya anda yang lain?


(4)

9. Apa motivasi anda selama mengikuti kegiatan Peer Counseling (konseling teman sebaya) ini?

Untuk pulih

10.Selama mengikuti Peer Counseling (konseling teman sebaya), ada atau tidak keinginan untuk mengkonsumsi NAPZA?

Kadang masih ada

11.Upaya apa saja yang dilakukan oleh anda untuk membantu teman sebaya anda agar teman sebaya anda bertingkah laku lebih baik terhadap teman sebaya yang lainnya? Untuk membangun diri, membangun untuk maju

12.Selama mengikuti Peer Counselor, ada atau tidak keinginan untuk mengkonsumsi NAPZA?

Kadang masih ada

13.Bagaimana keadaan anda sebelum dan sesudah menjalani proses Peer Counseling (konseling teman sebaya) atau rehabilitasi?

Sebelum itu ngerasa gundah, susah tidur ya gitu aja, dan kalo sesudahnya jadi merasa lebih baik aja sama membuka pikiran juga

14.Apa tujuan anda selama mengikuti kegiatan Peer Counseling (konseling teman sebaya)?

Line up

15.Hambatan/kendala apa yang anda rasakan selama menjalani Peer Counselor ini? Mau home life, dan membahagiakan orang tua

16.Manfaat apa yang telah dicapai dalam peer counselor oleh PSPP “Galih Pakuan -Bogor”?


(5)

(6)