1. 7. Semiotika Roland Barthes REPRESENTASI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica).

2. 1. 7. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama : eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi Sastra. Bertens 2001 : 208 menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960- an dan 70-an Sobur, 2001 : 63. Barthes mengatakan suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks atau wacana naratif yang terdiri atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraf Kurniawan, 2001 : 93. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam memaknai sebuah “teks”, pembaca mempunyai kekuasaan absolut untuk memberikan makna dan penafsiran terhadap suatu hasil karya sastra novel yang dilihatnya – bahkan tidak harus sama dengan maksud sang pengarang. Pembaca memiliki beberapa pilihan dalam memberikan makna, bisa dengan membedah bacaannya, memfokuskan pada teks dan terkadang dapat pula melupakan sang pengarang, sehingga pembaca tersebut melakukan interpretasi sendiri terhadap bacaannya. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin jelas pula karya novel itu memberikan maknanya. Dalam suatu naskah atau teks, terdapat lima kode yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes untuk menilai suatu naskah realis. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik kode teka-teki, kode semik makna konotatif, kode simbolik, kode proaretik logika tindakan, dan kode gnomik yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu Sobur, 2006 : 65. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita Sobur, 2006 : 65. Kode ini merupakan kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum pemecahan atau jawaban Budiman, 2003 : 55. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” Sobur, 2006 : 65-66. Kode ini memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kiasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu Budiman, 2003 : 56. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah- istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes Sobur, 2006 : 66. Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan saran tekstual Budiman, 2003 : 56. Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak dimana masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi sekuans yang bersangkutan Budiman, 2003 : 56. Kode ini dianggap Barthes sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakukan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi Sobur, 2006 : 66. 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED PENANDA KONOTATIF PETANDA KONOTATIF Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Bisa berupa kode- kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu Sobur, 2006 : 66. Barthes secara panjang lebar sering mengulas tentang sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004 : 69. Peta Tanda Roland Barthes Sobur, 2004 : 69 Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif 1. Signifer 2. Signified Penanda Petanda 3. Denotative sign tanda denotatif 6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin Sobur, 2004 : 69. Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara sederhana disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini. Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atau kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah Budiman, 1999 : 22. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu Budiman, 2001 : 28. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Dalam kririk kebudayaan dan satranya, Barthes menggunakan konsep semiotik konotatif untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks. Dalam Mythologies-nya 1957 : 131, dia mendefinisikan sistem-sistem makna sekunder semacam ini sebagai mitos, kemudian Barthes mendeskripsikan bidang konotasi ini sebagai ideologi. Media massa menciptakan mitologi-mitologi atau ideologi-ideologi sebagai sistem-sistem konotatif sekunder dengan berupaya memberikan landasan kepada pesan-pesan mereka dengan alam, yang dianggap sebagai denotatif primer. Pada tataran denotatif, mereka mengekspresikan makna “alami” primer. Pada tataran konotatif, media massa mengungkapkan makna ideologis sekunder. Gagasan lapisan denotasi primer yang secara ideologis tidak berdosa ini kemudian ditinggalkan. Dalam SZ, Barthes mendefinisikan denotasi kembali sebagai hasil akhir proses konotatif, efek penutupan semiotik Noth, 2006 : 316.

2. 1. 8. Pendekatan Semiotik Dalam Film

Dokumen yang terkait

REPRESENTASI HUBUNGAN AYAH ANAK DALAM VIDEO KLIP(Analisis Semiotik Video Klip Lagu ‘Tatkala Letih Menunggu‘dari Ebiet G. Ade)

1 54 2

VIDEO KLIP SEBAGAI INTERPRETASI LIRIK LAGU (Analisis Semiotik Video Klip Lagu ‘My Facebook’ oleh GIGI)

3 32 56

REPRESENTASI KUASA LAKI-LAKI DALAM LIRIK LAGU TARLING CIREBONAN

1 29 8

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN PRODUKPERAWATAN TUBUH UNTUK LAKI-LAKI REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN PRODUK PERAWATAN TUBUH UNTUK LAKI-LAKI.

0 2 15

PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

5 38 114

REPRESENTASI SENSUALITAS DALAM VIDEO KLIP (Studi Semiologi Tentang Representasi Sesualitas dalam Video Klip ”Cinta Satu Malam” Yang dipopulerkan Oleh Melinda).

9 25 81

REPRESENTASI STEREOTIP LAKI-LAKI PADA IKLAN TELEVISI. (Studi Semiotik Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic rasa Lebih Hitam di Televisi).

0 3 86

KATA PENGANTAR - REPRESENTASI STEREOTIP LAKI-LAKI PADA IKLAN TELEVISI. (Studi Semiotik Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic rasa Lebih Hitam di Televisi)

0 0 18

REPRESENTASI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica)

0 0 24

PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

0 0 20