REPRESENTASI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica).

(1)

Video Klip Lagu “Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur

OLEH :

TEDDY FAJAR MAHARDHIKA

NPM. 0643010162

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

Lagu ”Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica)

Disusun Oleh :

TEDDY FAJAR MAHARDHIKA NPM. 0643010162

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Pembimbing

Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2 00 1

Mengetahui, DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2 00 1


(3)

TEDDY FAJAR MAHARDHIKA NPM. 0643010162

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada 21 Mei 2010

Menyetujui, Pembimbing Utama

Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2 00 1

Tim Penguji : 1. Ketua

Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2 00 1 2. Sekretaris

Drs. Kusnarto, MSi NIP. 19580801 198402 1 00 1

3. Anggota

Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 3 6601 94 0027 1

Mengetahui, D E K A N

Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2 00 1


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi yang berjudul : REPRESENTASI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji” dipopulerkan oleh Agnes Monica).

Penulis menyadari bahwa terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari usaha dan bantuan dari Ibu Dra. Sumardjijati, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dorongan dalam pengerjaan laporan skripsi ini.

Serta atas dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran sehingga terselesaikannya laporan skripsi ini. Tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini, karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 2. Ibu Dra. Sumardjijati, MSi, dosen pembimbing penulis yang selalu dengan

sabar meluangkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis.

3. Bapak Juwito, S. Sos, MSi, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.


(5)

v

4. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, MSi, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 5. Bapak dan Ibu dosen pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

6. Kedua orang tua ku (Papa dan Mama) dan 2 kakak ku (Yenni dan Lenny), terima kasih yang tidak terhingga untuk semua doa, semangat dan pengorbanan yang telah diberikan.

7. My One Special, yang selalu memberikan dukungan, semangat dan perhatiannya.

8. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan penulis (Dedek, Icha Tarra, Momo, Pika Jegeg, Ry. Poernomo, Mbak La, Kista, Rina Ribeth, Rizka, Mamiek “Manohanna”, Cik Linda, Fauka, Dila, Atika, Mbak Evie) terima kasih atas dukungan dan semangatnya. Maaf kalau ada yang tidak disebutkan.

9. Sahabat penulis : Allen (thanks udah nyari’in video klipnya), Selvy (thanks atas informasinya), dan semuanya terima kasih atas motivasinya. 10.Dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam menyusun skripsi ini, untuk itu kritik dan saran membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi ini

Surabaya, April 2010 Penulis


(6)

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii

KATA PENGANTAR………...………... iv

DAFTAR ISI ……….………... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN………..….………... x

ABSTRAKSI... xi

BAB I PENDAHULUAN………..….………... 1

1.1. Latar Belakang Masalah………...……….…… 1

1.2. Perumusan Masalah...……...……….. 12

1.3. Tujuan Penelitian...………....……...….. 12

1.4. Manfaat Penelitian...………... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………...……….………... 14

2.1. Landasan Teori...….…….……...……. 14

2.1.1. Video Klip Musik Sebagai Alat Promosi... 14

2.1.2. Video Klip dan Film...……...………..………... 16

2.1.3. Kekerasan...…...…………... 17

2.1.3.1. Pengertian Kekerasan... 17

2.1.3.2. Jenis-Jenis Kekerasan... 19

2.1.3.3. Faktor Pendorong Tindakan Kekerasan... 21

2.1.3.4. Teori-Teori Kekerasan... 22 vi


(7)

2.1.6. Semiotika... 35

2.1.7. Semiotika Roland Barthes... 37

2.1.8. Pendekatan Semiotik Dalam Film... 42

2.2. Kerangka Berpikir... 48

BAB III METODE PENELITIAN... 50

3.1. Metode Penelitian...……...………….... 50

3.2. Kerangka Konseptual...……….…...………. 51

3.2.1. Corpus...…….……...……….... 51

3.2.2. Definisi Operasional...……...……...……….……….... 52

3.2.2.1. Representasi... 52

3.2.2.2. Kekerasan... 52

3.2.2.3. Kategori Kekerasan... 53

3.2.2.4. Video Klip... 54

3.3. Unit Analisis... 55

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 55

3.5 Teknik Analisis Data... 56

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 58

4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data...………. 58

4.1.1. Gambaran Umum Objek...…….……...……….... 58

4.1.2. Penyajian Data...……...……….……….... 60

4.1.3. Hasil Analisis Data... 62


(8)

viii

4.2.1.2. Setting... 74

4.2.1.3. Dialog... 77

4.2.2. Pada Level Representasi...……...………..………... 82

4.2.2.1. Teknik Kamera... 83

4.2.2.2. Pencahayaan... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....…………..….………... 91

5.1. Kesimpulan...………...……….…… 91

5.2. Saran...……...……….. 94

DAFTAR PUSTAKA………...………... 96


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar Peta Tanda Roland Barthes………... 40

Gambar 4.1 Kostum dan Penampilan Pemain... 69

Gambar 4.2 Kamar Tidur……….. 74

Gambar 4.3 Dialog yang Memicu Kekerasan………... 77

Gambar 4.4 Laki-Laki yang terjatuh ke lantai……….. 83

Gambar 4.5 Kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki…………. 85

Gambar 4.6 Ekspresi kesakitan laki-laki……… 87

Gambar 4.7 Ekspresi kesakitan laki-laki……… 88

Gambar 4.8 Kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki…………. 88

Gambar 4.9 Laki-Laki terluka secara fisik……… 89


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Gambar Penggalan Scene Video Klip... 99 Lampiran 2. Dialog yang Memicu Aksi Kekerasan... 102 Lampiran 3. Lirik Lagu Janji Janji... 104


(11)

LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica)

Penelitian ini menaruh perhatian pada masalah kekerasan yang terdapat pada video klip “Janji Janji”. Kekerasan yang dimaksud berupa kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal berupa perkataan, olokan, umpatan, kata-kata yang membuat lawan bicara menjadi tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan kekerasan non verbal berupa intonasi, kecepatan suara, tindakan, fisik, body language yang membuat seseorang menjadi putus asa, marah dan tersinggung. Secara tidak langsung kekerasan verbal dan non verbal di video klip ini terjadi juga kekerasan lainnya seperti kekerasan fisik (pemukulan, menampar, menonjok, menendang, menarik paksa, dan lain-lain). Kekerasan psikis terlihat dimana kekerasan tersebut mengakibatkan seseorang menjadi tidak berdaya, takut, trauma, tersinggung, emosi dan marah. Dalam hal ini, peneliti akan merepresentasikan kekerasan terhadap laki-laki yang ada pada video klip tersebut.

Metode yang digunakan adalah analisis semiotik yang termasuk dalam penelitian kualitatif dengan cara merepresentasikan tanda-tanda di video klip “Janji Janji”. Semiotik film adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada film. Film yang dimaksud dalam penelitian ini adalah video klip yang merupakan salah satu bentuk dari jenis film lain, yakni yang menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus, serta disajikan dengan musik. Data yang dianalisis menggunakan satuan pembacaan atau leksia dengan menggunakan lima kode pembacaan Roland Barthes yaitu kode Hermeneutik, kode Semik, kode Simbolik, kode Proaretik, dan kode Gnomik, kemudian dibagi lagi melalui penjelasan peta tanda Roland Barthes. Analisis tersebut digunakan untuk menunjukkan adanya perilaku kekerasan dalam video klip “Janji Janji” ini. Penggunaan pendekatan semiotik dalam film yang dikemukakan oleh John Fiske digunakan untuk membantu penjelasan analisis leksia dengan tampilan scene yang memiliki relevansi dengan perilaku kekerasan. Analisis ini dibagi menjadi level realitas (reality) dan level representasi (representation). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi dan pengamatan secara langsung terhadap beberapa scene dalam video klip “Janji Janji” yang mengandung unsur kekerasan terhadap laki-laki.

Kesimpulan dalam penelitian ini tentang kekerasan terhadap laki-laki yang terdapat dalam video klip “Janji Janji” adalah menyadarkan kepada masyarakat bahwa sesungguhnya laki-laki dapat menjadi korban kekerasan dari perempuan. Hal ini dikarenakan adanya kesetaraan gender yang mengakibatkan laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam posisi yang sama dan keduanya saling mendominasi. Dengan demikian pada dasarnya kekerasan dapat dilakukan dan menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam penelitian ini kekerasan dilakukan oleh perempuan dan menimpa laki-laki, kekerasan inipun tidak terjadi begitu saja ada beberapa faktor perempuan melakukan kekerasan salah satunya dikarenakan laki-laki dalam video klip mengkhianati perempuan dengan berselingkuh pada perempuan lainnya hingga memicu kemarahan perempuan. Selain itu, video klip ini mampu merepresentasikan kekerasan terhadap laki-laki sesuai dengan fenomena yang tengah terjadi didalam masyarakat.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Ketika kita membayangkan seorang laki-laki maka yang akan muncul dalam benak kita adalah sifat-sifat maskulinitas seorang laki-laki seperti : jantan, kuat, tampan, berbadan kekar, tinggi, dan sebagainya. Secara tidak sadar kita akan selalu mengasosiasikan bahwa laki-laki yang ideal adalah laki-laki yang memiliki sifat maskulin. Dan bila ada seorang laki-laki yang mempunyai sifat feminin seperti : sensitif, emosional, lemah lembut, akan tidak dianggap sebagai laki-laki, karena sifat tersebut sewajarnya dimiliki oleh perempuan. Perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan seperti ini telah melekat dalam masyarakat yang juga dikonstruksi berdasarkan kepercayaan, tradisi, bahkan budaya yang ada pada masyarakat. Peran maskulin dan feminin seperti ini menurut Wijaya (1991 : 156) disebut juga dengan stereotipe gender.

Istilah gender diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan. Sedangkan sex (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia, baik laki-laki dan perempuan tanpa bisa dipertukarkan atau bisa dikatakan sebagai kodrat (ketentuan Tuhan). Sebaliknya, menurut Mansour Fakih (1999 : 9) dalam konsep gender menunjuk pada suatu ciri-ciri dan sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal


(13)

lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dan sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sehingga ada saja laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan, sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa.

Istilah maskulinitas selalu dipertentangkan dengan feminitas dan tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai perbedaan gender (gender differences). Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar dari orang tua atau orang-orang disekitar lingkungan kita bahwa “perempuan itu harus pandai memasak dan mengurus anak” atau “seorang laki-laki tidak boleh menangis”. Ini merupakan contoh sederhana dari apa yang kita sebut sebagai perbedaan gender (genderdifferences) (Fakih, 1999 : 9).

Maskulinitas dan feminitas merupakan stereotipe yang didasarkan atas perbedaan biologis, tapi itu tidak melekat sejak lahir, ini dibuat oleh masyarakat sendiri. Stereotipe laki-laki sebagai kaum yang agresif, rasional, terbuka, aktif, dan dinamis. Sedangkan, perempuan sebagai kaum yang lebih irasional atau mendahulukan pertimbangan emosi, permisif dan pasif, serta lebih tertutup. Hasil dari konstruksi sosial budaya tersebut menghasilkan peran dan tugas yang berbeda sehingga menyebabkan perempuan tertinggal dan laki-laki selalu terdepan. Sehingga, setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe. Seperti pendapat Mansour Fakih (1999 : 16) yang menyatakan :

“Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan


(14)

ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang diletakkan kepada mereka”.

Ketidakadilan gender merupakan hal yang menarik sehingga memunculkan berbagai teori dan penelitian. Berbagai penelitian dilakukan untuk membuka kesadaran masyarakat atas kesetaraan gender. Laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama dalam struktur sosial. Akan tetapi dalam kehidupan di masyarakat menurut beberapa teori dan perspektif seringkali kedudukan tersebut dipahami sebagaimana layaknya kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.

Kelas sosial menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi terhadap laki-laki. Tatanan kelas sosial yang demikian ditandai dengan kesenjangan kekuasaan dibidang ekonomi, sosial, kesenjangan politik. Laki-laki cenderung memperoleh akses lebih besar daripada perempuan pada sumber-sumber ekonomi, sosial, dan politik karena mereka berada pada puncak hierarki dalam sebuah kelas sosial di masyarakat (Bainar, 1998 : 41).

Meski banyak teori dan penelitian bermunculan dalam kaitannya dengan masalah gender, namun kuatnya budaya patriarki yang ada dalam masyarakat kita yang menganggap bahwa kelas sosial laki-laki lebih berkuasa daripada kelas sosial perempuan, meskipun diantara mereka saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hal ini mengakibatkan laki-laki masih mendominasi dalam setiap sisi kehidupan dan masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang lemah dalam struktur sosial masyarakat.


(15)

Seringkali kita mendengar, membaca, dan juga menemukan di media massa mengenai berita tentang tindak kekerasan yang dialami seorang perempuan yang dilakukan oleh laki-laki. Mulai dari sekedar kekerasan yang dilakukan oleh orang dekat (orang tua, suami, saudara, teman, pacar) sampai yang dilakukan oleh orang jauh atau tak dikenal sekalipun. Dari semua itu, peneliti melihat sangat mudah sosok laki-laki mendapatkan citra sebagai pihak yang selalu banyak melakukan kekerasan dan menjadi pihak yang lebih sebagai penyebab, sedangkan perempuan selalu digambarkan sebagai korban atau objek kekerasan saja.

Fenomena diatas ditenggarai karena pengaruh konstruksi gender secara sosial dan kultural dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, yang membedakan peran perempuan dan laki-laki secara tegas. Di sisi lain, budaya

patriarki yang dianut oleh masyarakat sudah mengakar kuat dan cukup memiliki peranan sentral. Seperti pendapat Mansour Fakih yang menyatakan bahwa posisi subordinasi, stereotipe ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh ideologi dan kultural patriarki, yakni ideologi kelaki-lakian (Fakih, 1999 : 151).

Adanya stereotipe bahwa laki-laki itu lebih berkuasa, perkasa, dominan di dalam lingkungan rumah tangga, menjadikan laki-laki adalah pihak yang biasanya mencari nafkah sehingga secara ekonomis atau finansial lebih superior, dan oleh karena stereotipe yang sudah tertanam dalam benak masyarakat yang mengakibatkan perempuan menjadi subordinat dari laki-laki. Maka pelecehan dan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan akan lebih mudah terjadi dalam lingkungan rumah tangga.


(16)

Seiring dengan perkembangan jaman saat ini laki-laki tidak selalu mendominasi kaum perempuan, adanya kesetaraan gender mengakibatkan laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama dan keduanya mempunyai potensi untuk mendominasi. Sehingga anggapan masyarakat tentang keharusan bagi laki-laki maskulin dan perempuan feminin menjadi semakin rancu. Seiring dengan perkembangan pandangan masyarakat yang lebih permisif tersebut, maka sangat mungkin bagi seorang laki-laki menjadi feminin.

Dengan demikian laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan perempuan. Hanya karena yang sering muncul dalam media itu lebih sering perempuan yang menjadi objek kekerasan dan dilecehkan oleh laki-laki. Tapi ternyata laki-laki juga bisa mendapatkan kekerasan dari perempuan. Hal itu, karena data laki-laki sebagai korban tidak ada berbeda halnya dengan banyaknya data yang tersedia yang menyebutkan perempuan sebagai korban (http://www.multiply.com diakses 20 Januari 2010, 14:00 WIB). Sepertinya masyarakat harus sedikit memperbaiki pemahaman soal kekuatan, kekuasaan, superioritas, machoisme, dan kata-kata sifat lain yang biasa menjadi atribut laki-laki.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan, dan paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan (Poerwadarminta, 1999 : 102). Sedangkan dalam Bahasa Inggris, kekerasan (violence) berarti sebagai suatu serangan/invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang (Englander dalam Saraswati, 2006 : 13).


(17)

Kekerasan sering dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang dianggap lebih kuat atau yang lebih dominan dan memiliki otoritas tertentu. Mereka yang memiliki wewenang lebih itu cenderung akan melakukan kekerasan bila merasa wewenang mereka ada yang melanggar dan tidak dipatuhi. Dengan kata lain, sesungguhnya kekerasan itu dapat dilakukan dan menimpa siapapun tanpa melihat dari stasus sosial, pendidikan, profesi maupun jenis kelaminnya. Hal ini disebabkan, pola relasi di antara kedua belah pihak menunjukkan adanya ketidakseimbangan, yang satu memiliki otoritas yang lebih besar daripada yang lainnya. Kekerasan itu pada dasarnya merupakan setiap tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain secara fisik. Selain itu, kekerasan juga dapat dilakukan sebagai bentuk balas dendam atau membela diri dari sebuah serangan.

Selama ini memang banyak kekerasan yang dialami oleh perempuan karena perempuan selalu dianggap sebagai kaum yang lemah. Tetapi ada juga kekerasan yang dialami oleh laki-laki yang tidak terungkapkan karena ada rasa malu dan tidak etis apabila dibicarakan dan diketahui oleh banyak orang, karena ini merupakan aib bagi laki-laki. Hal tersebut bisa saja terjadi dalam konteks hubungan pertemanan, percintaan, persaudaraan, dan juga hubungan suami istri. Salah satu kasus kekerasan terhadap laki-laki yang terjadi dan diduga pelakunya perempuan adalah peristiwa ditemukannya potongan tubuh pria bertato kepala macan (Hasan Basri) 2 tahun yang lalu, di dalam kantong plastik merah yang ditemukan di dalam bus Mayasari Bakti dan ditenggarai pelakunya adalah seorang perempuan yang ternyata tidak lain merupakan pacar dari korban


(18)

(http://www.kompas.com diakses 28 Januari 2010, 10:32 WIB). Selain itu, kasus kekerasan dalam lingkungan rumah tangga adalah peristiwa istri (Siyah) membacok suami (Asmat Hasan) hingga ususnya terburai yang terjadi di Dusun Krajan, Desa Sindetlami, Besuk, Kabupaten Probolinggo alasan terjadinya kekerasan tersebut ditenggarai karena istrinya menolak untuk dimadu (Jawa Pos, Senin 15 Februari 2010). Berdasarkan fenomena tersebut membuktikan bahwa ternyata laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan perempuan. Karena sejak kecil ia sudah dididik untuk menjadi penakluk, tegar, jantan, kuat, tidak cengeng, dan sebagainya. Maka ketika mengalami kekerasan, laki-laki tidak mempunyai keberanian untuk melaporkannya. Karena khawatir ditertawakan banyak orang, dimana seharusnya hal ini menjadi haknya sebagai korban. Adanya fenomena ini sangat perlu untuk disampaikan pada masyarakat bahwa laki-laki bisa juga menjadi korban kekerasan dari perempuan.

Kebanyakan kekerasan media difokuskan pada televisi, tetapi kekerasan semakin bertambah di media lain, seperti film, video klip, musik rock maupun video game. Dan media ini juga berpotensi dalam meningkatkan kekerasan. Kekerasan di media bukan kondisi yang cukup untuk menghasilkan perilaku agresif, dan bukan kondisi yang niscaya. Perilaku agresif dipengaruhi banyak faktor, dan kekerasan media adalah salah satunya saja. Akan tetapi, jelas bahwa kekerasan media dapat memberi kontribusi pada beberapa tindakan agresif pada beberapa individu (Bushman & Anderson, 2001), baik laki-laki maupun perempuan yang hampir sama untuk saling melakukan serangan fisik.


(19)

Video klip tidak dapat dipisahkan dari musik dan lagu yang merupakan salah satu kegiatan komunikasi, karena didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari pembuat video klip (video clipper) kepada khalayak sebagai penikmat musik. Pesan yang terkandung dalam sebuah video klip merupakan representasi dari pikiran atau perasaan dari pembuat video klip (video clipper) sebagai orang yang mengirim pesan. Pesan yang disampaikan biasanya bersumber dari latar belakang pengetahuan ( frame of reference) dan pengalaman ( field of experience). Sebagai salah satu hal terpenting dalam sebuah lagu adalah aktualisasinya ke layar lebar dalam bentuk video klip, karena melalui video klip, pembuat video klip (video clipper) dapat menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, dimana dia berinteraksi didalamnya. Video klip dapat digunakan sebagai sarana promosi untuk mengenalkan dan memasarkan produk (lagu) agar masyarakat dapat mengenal dan selanjutnya membeli kaset, CD, dan DVD (Effendy, Heru, 2002 : 14). Selain itu, sebuah video klip juga dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Karena itu, ketika sebuah video klip ditampilkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebarluasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu.

Dari beragamnya tema video klip di Indonesia yang akhir-akhir ini ada, muncul video klip bertema kekerasan yang menjadikan sosok laki-laki sebagai objek atau korban dan perempuan sebagai pelaku kekerasan. Oleh karena itu, sangatlah perlu adanya suatu media untuk menyampaikan informasi tersebut


(20)

kepada masyarakat dan salah satu media massa yang bisa digunakan adalah video klip.

Seperti dalam video klip Agnes Monica dari album “Sacredly Agnezious” yang berjudul “Janji Janji”, dimana Agnes Monica menjadi pelaku kekerasan. Video klip ini ternyata memiliki 2 versi : Pertama, dalam video klip menampilkan banyak sekali adegan kekerasan tanpa sensor. Kedua, versi editan yang agak dikurangi adegan kekerasannya, namun tetap saja ada adegan pukul-pukulan, dan darah yang mengalir dari kepala aktor laki-lakinya setelah dipukul dengan linggis oleh Agnes. (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2628855 diakses 11 Februari 2010, 09:00 WIB).

Dalam penelitian kali ini, peneliti menggunakan video klip Agnes Monica “Janji Janji” yang versi kedua (editan). Isi video klip ini menceritakan tentang kemarahan seorang perempuan karena terus-menerus diberi janji-janji palsu (dibohongi) dan dikhianati oleh laki-laki sehingga menimbulkan pemberontakan sebagai bentuk dari sebuah kekerasan. Dalam video klip ini juga menampilkan adegan perkelahian antara perempuan dan laki-laki. Perkelahian ini dilakukan sebagai salah satu bentuk perlawanan dari penindasan dan ketidakadilan yang diperbuat laki-laki. Adegan perkelahian dalam video klip ini ditampilkan secara jelas, bahkan terkesan sedikit vulgar dan tidak pantas untuk ditampilkan, dimana sosok perempuan melakukan kekerasan dengan cara menendang, mendorong, memukul dengan menggunakan senjata (bangku dan linggis), dan meninju sampai laki-laki terjatuh dan kepalanya mengeluarkan darah.


(21)

Inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengambil objek penelitian ini karena dalam video klip ini laki-laki mendapatkan kekerasan fisik yang cenderung eksplisit, berlebihan, dan vulgar. Dimana, lembaga penyiaran melarang adanya klip video musik yang mengandung muatan pesan menggelorakan atau mendorong kekerasan yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran pasal 36 ayat 5, yang berbunyi : “Isi siaran dilarang : (a) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong; (b) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau (c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.

Selain itu, tema video klip ini juga menyadarkan pada masyarakat bahwa ternyata seorang laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan dari perempuan. Tanpa melihat sifat maskulinitas dari laki-laki, karena dalam video klip ini sosok laki-laki memiliki sifat-sifat maskulinitas tapi tetap saja menjadi korban kekerasan dari perempuan. Hal ini, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu bagaimana kekerasan terhadap laki-laki direpresentasikan dalam video klip lagu “Janji Janji”.

Representasi sendiri adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 28 Januari 2010, 12:15 WIB). Video klip merupakan bagian dari jenis film yang terdiri atas kode-kode yang beraneka ragam, meliputi verbal dan non verbal (visual). Karena itu, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan


(22)

pendekatan semiotika. Disini peneliti ingin mengekplorasi makna dari bentuk-bentuk visual yang tampak dalam video klip tersebut.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna (Sobur, 2006 : 15). Sebuah tanda menunjuk pada sesuatu selain dirinya sendiri yang mewakili barang atau sesuatu yang lain itu, dan sebuah makna merupakan penghubung antara suatu objek dengan suatu tanda (Hartoko & Rahmanto, 1986 : 131). Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilan film serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan film.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan film, disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara yang satu dengan lainnya.

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin memaknai video klip “Janji Janji”, oleh karena itu yang sesuai adalah dengan menggunakan metode semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Dengan menggunakan metode ini


(23)

memungkinkan peneliti untuk mengetahui dan melihat lebih jelas bagaimana sebuah pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami.

Penelitian ini mengambil judul REPRESENTASI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji” dipopulerkan oleh Agnes Monica).

1. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah repesentasi kekerasan terhadap laki-laki dalam video klip lagu “Janji Janji” yang dipopulerkan oleh Agnes Monica dalam album Sacredly Agnezious.

1. 3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuandalam penelitian ini adalahuntuk mengetahui bagaimanakah kekerasan terhadap laki-laki direpresentasikan dalam video klip lagu Janji Janji yang dipopulerkan oleh Agnes Monica dalam album Sacredly Agnezious.


(24)

1. 4. Manfaat Penelitian

Manfaat Akademis

1. Menambah literatur penelitian kualitatif dan diharapkan dapat memberikan sumbangan landasan pemikiran pada Ilmu Komunikasi mengenai studi analisis semiotik Roland Barthes.

2. Pemahaman ilmiah bahwa video klip musik sebagai media komunikasi akan dipahami secara berbeda sesuai konteks budaya masing-masing individu.

3. Memperkaya wawasan tentang perspektif kekerasan dalam tema video klip di Indonesia.

Manfaat Praktis

1. Memberikan pemahaman tentang representasi kekerasan terhadap laki-laki dalam video klip lagu “Janji Janji” yang dipopulerkan oleh Agnes Monica. 2. Sebagai masukan dan evaluasi bagi tim produksi video klip lagu “Janji

Janji”, guna menjaga keseimbangan antara kreatifitas seni dan tanggung jawab sosial.

3. Sebagai bahan referensi atas keterkaitan penelitian ini dengan larangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada pasal 36 ayat 5 tentang permasalahan kekerasan dalam sebuah video klip lagu.


(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2. 1. Landasan Teori

2. 1. 1. Video Klip Musik Sebagai Alat Promosi

Video klip musik merupakan suatu perekaman lagu populer dalam sebuah video, yang pada umumnya ditemani oleh penari atau suatu cerita yang tidak lengkap atau terpisah-pisah dan kadang-kadang memanfaatkan sebuah konser yang dilakukan penyanyi lagu tersebut. Umumnya dibuat berdurasi selama 3 hingga 5 menit, video musik sering terdiri dari potongan-potongan berdurasi cepat, diatur, fantastis dan sering juga diumpamakan erotis, serta menggunakan grafik komputer (Columbia Encyclopedia, http://www.answers.com/topic/music-video?cat=entertainment diakses 4 Februari 2010, 12:00 WIB).

Di Indonesia video musik lebih populer dengan sebutan video klip, video

(1) Picture portion of an electronic visual system. (2) All-inclusive term for electronic visual reproduction, cablevision, corporate media, and video recording. Yang artinya bahwa video adalah (1) Porsi gambar dari sebuah sistem visual elektronik. (2) Mencakup seluruh istilah untuk sistem praproduksi hasil visual elektronik, termasuk televisi, saluran televisi kabel, badan media dan video rekaman.

The term video can refer to a three-to five minute popular song with accompanying visual on a videotape or a CD-ROM. Yang artinya adalah, video musik adalah istilah yang berkenaan dengan sebuah lagu populer berdurasi waktu


(26)

3 – 5 menit, yang disertai dengan gambar visual, dalam bentuk kaset video atau CD-ROM. Video klip adalah sarana promosi bagi produser musik untuk mengenalkan dan memasarkan produk (lagu) lewat medium televisi, sehingga group band ataupun penyanyi yang sedang membawakan lagu tersebut bisa lebih dikenal masyarakat, dan diharapkan masyarakat selanjutnya membeli kaset, CD, dan DVD dari group band atau penyanyi tersebut (Effendy, Heru, 2002 : 14).

Video klip sendiri adalah bagian dari Program Acara Televisi Nondrama yang paling mudah untuk diingat. Hampir semua televisi mempunyai Acara Musik dengan format Repacking Video yang menggunakan materi video klip sebagai pengisi acara (Naratama, 2004 : 193).

Istilah “video musik” pertama kali populer pada awal 1980-an melalui saluran televisi MTV. Kemudian, klip tersebut telah dideskripsikan oleh berbagai terminologi yang mencakup “film promosional” atau “klip promosional”. Video Musik sering disebut sebagai video promo atau hanya sebagai promosi, dalam kaitan dengan fakta bahwa mereka selalu merupakan alat promosional. Kadang-kadang, video musik dimasukkan dalam bentuk film pendek atau video yang mendampingi alunan musik, umumnya sebuah lagu. Video musik modern berfungsi sebagai alat pemasaran untuk mempromosikan sebuah album rekaman (http://www.wikipedia.com/videomusik diakses 4 Februari 2010, 13:00 WIB).

Video klip musik populer disebut dengan ‘klip promo’, ‘gambaran musik’, atau hanya sesederhana ‘sebuah video’, adalah suatu dampak substansiil atas kesadaran banyak orang atau masyarakat sepanjang awal 1980-an. Sebagai suatu medium, didefinisikan disini untuk menggambarkan atau mengartikan lagu pop


(27)

dalam beberapa menit dengan peluncuran film untuk menemani lagu tersebut, sebagai pengganti berlangsungnya berbagai jenis program video seperti konser, pendokumentasian, rekapitulasi penampilan film atau televisi (Toward, http://www.shsu.edu/~lis_fwh/book/other_notable_genres/Video%20Clips2.htm diakses 4 Febuari 2010, 14:15 WIB).

2. 1. 2. Video Klip dan Film

Dalam wawancara yang dilakukan oleh Christina Tilmann dan telah dipublikasikan dalam harian ’Tagespiegel’ tanggal 19 April 2006, Apakah sejatinya ada ’seni video’? Apa bedanya seni video dengan film pendek atau klip musik, dengan film televisi atau film dokumenter?

Bagi kami tidak ada definisi yang sempit, tapi bidang yang luas, hingga Beckett atau Bob Wilson ada dalam edisi kami. Bruce Naumann dan Catherin David misalnya sangat tertarik pada karya Beckett. Pada proses pembuatannya tidak ada yang bilang itu karya seni video atau seni televisi. Tapi pengaruhnya sangat besar. Ada banyak hubungannya dengan televisi, misalnya permainan televisi atau film. Membiarkan kamera secara pelan merekam berbagai kenyataan seperti yang ditunjukkan Corinna Schnitt, adalah seni video, tapi karya ini juga diikutsertakan pada ajang pekan film pendek di Oberhausen. Dimana batasannya? Kami lebih suka melampaui batasannya. (http://www.goethe.de/ins/id/lp/prj/art/ksd/med/id2062514.htm diakses 4 Februari 2010, 14:25 WIB).

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar. Tapi Turner menolak perpektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat. Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film


(28)

membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya (Irawanto dalam Sobur, 2004 : 127-128).

2. 1. 3. Kekerasan

2. 1. 3. 1. Pengertian Kekerasan

Saat ini semakin banyak kekerasan yang dimunculkan dalam berbagai media, seperti halnya kekerasan naratif, agresivitas, kekerasan virtual, pornografi, kekerasan simbolik, dan kekerasan lembut yang manipulatif. Kekerasan memiliki berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Menurut P. Lardellier, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan (P. Lardellier, 2003 : 18). Sedangkan menurut S. Jehel :

”Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi pihak lain dalam berbagai bentuknya : fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Penggunaan kekuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan ungkapan nyata kekerasan. Logika kekerasan merupakan logika kematian karena bisa melukai tubuh, melukai secara psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman terhadap integritas pribadi”. (S. Jehel, 2003 : 123)

Definisi lain kekerasan menurut Francois Chirpaz :

”Kekerasan adalah kekuatan yang sedekimian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai bagi jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan entah dengan memisahkan orang dari kehidupannya atau dengan menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan kepada orang lain”. (Francois Chirpaz, 2000 : 226)

Sedangkan Robert Baron (dalam Koswara, 1988) menyatakan bahwa kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau


(29)

mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu : tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku.

Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi apabila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kata-kata kunci yang perlu diterangkan yaitu aktual (nyata) dan potensial (mungkin), dibiarkan serta dibatasi tanpa disingkirkan.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan (Poerwadarminta, 1999 : 102). Sedangkan dalam Bahasa Inggris, kekerasan (violence) berarti sebagai suatu serangan/invasi fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Englander dalam Saraswati, 2006 : 13).

Ada dua jenis kekerasan menurut Kompas (1993) dalam penelitian Paul Joseph I. R (1996 : 37) yaitu kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang berbentuk kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi umpatan, olok-olok, hinaan dan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan, kekerasan non verbal adalah kekerasan melalui bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan kecepatan suara.


(30)

2. 1. 3. 2. Jenis-Jenis Kekerasan

Kekerasan (violence) secara sederhana dapat dimaknai sebagai serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia, pada dasarnya berasal dari berbagai sumber penyebabnya. Salah satunya kekerasan bisa terjadi karena stress (frustasi) yang bisa menimpa siapa saja mulai dari anak, orang tua maupun situasi tertentu. Stress (frustasi disertai stimulus pendukung) merupakan keadaan tidak tercapainya tujuan perilaku yang mampu menciptakan suatu motif untuk agresi, biasanya terjadi karena ada kelainan fisik, mental, dan psikologis pada orang yang bersangkutan situasi tertentu seperti adanya pemutusan hubungan kerja, pengangguran, perpindahan ke tempat tinggal baru dan ketidakharmonisan dalam keluarga juga bisa memicu terjadinya kekerasan. Kekerasan tidak hanya bisa mengakibatkan cedera fisik namun juga bisa menimbulkan trauma, serta gangguan psikologis yang sulit dipulihkan.

Menurut pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dibagi menjadi beberapa jenis (Fokusmedia, 2004 : 5-6), dalam penelitian Ariani, Skripsi Semiotika pada Novel ”Genting” :

1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya respon, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, malu, tersinggung dan penderitaan psikis berat pada seseorang.


(31)

3. Kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis.

4. Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penghinaan secara ekonomi, terlantarnya anggota kelompok dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu kepada binatang dan harta-benda. Istilah ”kekerasan” juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak, seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme.

Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.


(32)

Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya. Transkulturasi, karena teknologi modern, telah berperan dalam mengurangi relativisme moral yang biasanya berkaitan dengan nasionalisme, dan dalam konteks yang umum ini, gerakan ”antikekerasan” internasional telah semakin dikenal dan diakui peranan.

Kekerasan sering kita jumpai, yang kita lihat secara telanjang ternyata hanyalah satu bagian dari kekerasan itu sendiri. Galtung memisahkan menjadi tiga bentuk kekerasan. Kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Pembedaan akan tiga hal ini digambarkan seperti gempa. Gempa, retakan bumi dan pergeseran lempeng. Gempa adalah peristiwa, sesuatu yang terjadi langsung. Retakan bumi adalah proses, dan pergerakan adalah sesuatu yang permanen (kultural). (http://www.wikipedia.org/kekerasan diakses 8 Februari 2010, 17:45 WIB).

2. 1. 3. 3. Faktor Pendorong Tindakan Kekerasan

Tindakan kekerasan tidak terjadi begitu saja akan tetapi terdapat beberapa faktor individu/kelompok melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan secara verbal ataupun non verbal. Beberapa faktor individual/kelompok dalam melakukan tindak kekerasan antara lain :

a. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang dianggap lebih kuat atau lebih dominan dan memiliki otoritas tertentu. Mereka


(33)

cenderung akan melakukan kekerasan bila merasa wewenang mereka ada yang melanggar dan tidak dipatuhi.

b. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang memiliki kekuasaan dan kedudukan. Mereka cenderung melakukan kekerasan apabila kekuasaan mereka ada yang mengancam atau ingin merebut kekuasaan dan kedudukan mereka.

c. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga dengan alasan penegakan disiplin.

d. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang dikarenakan perbedaan status sosial dan ekonomi.

e. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga dengan alasan pembelaan dan usaha penyelamatan diri.

f. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga berdasarkan karakter agresifitas yang dimiliki dan pengalaman masa lalu.

g. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang memang sengaja melakukan kekerasan dengan alasan balas dendam dan kepuasan. h. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang

dikarenakan pengaruh oleh media massa. 2. 1. 3. 4. Teori-Teori Kekerasan

1. Teori Katharsis

Katharsis dalam bahasa Yunani berarti ”pencucian” atau ”pembersihan”. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan (meskipun hanya tipuan kamera/fiksi) atau tindakan brutal dalam acara TV atau


(34)

film memberikan efek positif bagi penonton. Ketika penonton melihat tayangan tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan yang dialami para tokoh di dalam TV/film, penonton ikut terlibat berjuang. Dengan ”happy ending”, penonton puas, rasa takut yang ada di bawah sadar penonton hilang berubah menjadi berani. Dengan demikian kekerasan yang ditayangkan dalam TV/film memberikan efek positif pada tingkah laku real penonton. Jadi, menurut teori ini, kekerasan dalam TV/film tidak membawa efek negatif (merusak), sebaliknya justru membawa efek positif bagi penonton.

2. Teori Imitasi

Pengikut teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam TV/film mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniru. Bantingan tipuan seperti dalam Smack Down, tindakan sadis oleh para tokoh pujaan, pembunuhan, dan lain-lain, akan menjadi pendorong bagi penontonnya untuk melakukan tindakan yang sama dalam kehidupan real sehari-hari. Padahal di dalam film hanyalah fiksi. Sebagai contoh, apabila para aktor Smack Down menjadi idola anak/remaja, ada kecenderungan anak/remaja terdorong untuk mengimitasikan diri seperti tokoh mereka, ingin bermainan Smack Down, meniru gerakan para aktor tersebut. Anak-anak paling suka berlaku seperti itu. Dan penampilan itu tentu saja sangat berbahaya. Bahaya lain, menurut teori imitasi adalah bahwa seringkali dalam film laga ditampilkan kekerasan dan pembunuhan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah. Happy endingnya adalah tokoh idola akhirnya tampil sebagai pemenang setelah berjuang sedemikian berat. Ia tampil sebagai pahlawan. Cara penyelesaian masalah dengan kekerasan ala para tokoh idola menjadi model bagi anak remaja


(35)

(tidak jarang juga bagi orang tua) dalam penyelesaian masalah. Tawuran antar pelajar bukan tidak mungkin dipicu oleh keinginan tampil sebagai hero membela almamater atau teman, seperti tindakan heroik pada tokoh film yang dijadikan idola bagi anak/remaja.

3. Teori Kekerasan Struktural

Teori “kekerasan struktural” dari Johan Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori kekerasan “sobural”. Dengan “sobural” berarti suatu akronim dari (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat).

Teori “kekerasan struktural” jika diimplementasikan secara empirik realistik, telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto (Orde Baru) melalui Angkatan Bersenjata dan organisasi politik yang berkuasa berbaju kultur Jawa. Secara singkat, Soeharto bisa dibanding dengan Ken Arok, hanya zaman dan teknologi (bersenjata) yang berbeda (dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Hasta Mitra, Jakarta, 2002). Kekerasan struktural sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abad ke 21 dan bukan pula solusi baru melalui kekerasan struktural terhadap kekerasan. Yargon awam tentang kekerasan bahwa kekerasan identik dengan (perbuatan) fisik, sesungguhnya tidak selalu harus berarti demikian. Perbuatan kekerasan apalagi yang struktural tidak harus selalu dengan menggunakan secara fisik. Bisa berupa sesuatu yang non fisik, yang psikologis berupa stigmatisasi, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis dengan diskriminasi ethnis, yang struktural, bahkan dari yang berwajib/berkuasa secara


(36)

psikis, sampai pada yang bersifat naratif seperti berita-berita pers mengenai Sadam dan Kadafi (Turpin dan Kurtz, 1997 : 91). Bahkan, secara logika mungkin sulit diterima kalau dikatakan bahwa bentuk penipuan yang jelas secara kasat mata bukan kekerasan, pada asasnya menurut yargon awam, ujung-ujungnya adalah “kekerasan”. Suatu kekerasan struktural yang sangat “naif” dan terselubung dengan maksud-maksud yang tidak etis.

Paling tidak ada empat pendekatan yang biasanya digunakan baik oleh peneliti Indonesia maupun peneliti dari luar, yaitu :

a. Pertama, esensialisme, yaitu anggapan bahwa konflik disebabkan oleh adanya permusuhan antara dua kelompok (etnik) yang berbeda. Teori ini menegaskan adanya perbedaan esensial diantara tiap-tiap kelompok etnik. Biasanya, penelitian yang menggunakan pendekatan ini cenderung mencari kekuatan intrinsik dari dan kelompok-kelompok yang berbeda. b. Kedua, instrumentalisme, yaitu pendekatan yang lebih melihat pada

peranan elit dalam menggunakan identitas etnik untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Pendekatan ini berusaha mencari aktor-aktor (elit) yang ada dibalik terjadinya suatu konflik kekerasan. Konflik, dengan demikian, dipandang sebagai produk dari konflik antar elit yang menggunakan identitas etnik untuk memobilisasi dukungan bagi kepentingannya.

c. Ketiga, konstruktivisme, yaitu anggapan bahwa modernitas telah merubah makna identitas dengan membawa massa ke dalam kerangka kesadaran yang lebih luas dan ekstra lokal. Hal ini membuat identitas dan komunitas


(37)

menjadi lebih luas dan terinstitusional. Sebagian peneliti menyebut bahwa konflik yang terjadi di beberapa negara berkembang merupakan akibat dari kolonialisme. Penelitian seperti ini biasanya berusaha menjawab pertanyaan mengapa beberapa sistem politik justru menimbulkan konflik sedangkan sistem yang lain tidak.

d. Keempat, institusionalisme, yaitu anggapan bahwa konflik terjadi karena tidak adanya lembaga-lembaga/institusi-institusi yang bekerja secara baik untuk mengakomodasi segala bentuk kepentingan antar elit atau kelompok.

Akiko menggunakan berbagai pendekatan, yaitu : Pertama, psychological theory of violence (teori psikologi tentang kekerasan) yang mendiskusikan teori frustasi dan agresi, teori relative deprivation, dan social identity theory. Sebagian peneliti menganggap bahwa konflik kekerasan merupakan respon dari kekecewaan (rasa kecewa atau deprivasi), baik yang absolut (alasan material) maupun relative (alasan psikologis). Karena itu, beberapa individu berjuang untuk membentuk identitas dirinya dan identitas kelompok.

Kedua, human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan penelitian untuk melihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil bekerja, termasuk apakah ada perlindungan terhadap individu, kelompok atau komunitas dari ancaman dari luar. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada kehidupan masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal dan informal (civic engagement), dan hubungan antar kelompok masyarakat sipil.


(38)

Ketiga, social movement theory, yang berupaya untuk menjelaskan gerakan massa dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan yaitu collective behaviour dari Durkheim, grievance and frustration model yang dikembangkan dari teori deprivasinya Ted Gurr, rational choice dari Olson, dan

resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori-teori tersebut digunakan untuk melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi.

(http://www.google.co.id/kekerasan diakses 16 Februari 2010, 18:36 WIB). 2. 1. 3. 5. Kekerasan Berbasis Gender

Kekerasan terhadap sesama manusia memiliki sumber ataupun alasan yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme, dan ideologi gender. Salah satu penyebab timbulnya kekerasan adalah karena adanya ideologi gender, kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan gender-relatif violence (Saraswati, 2006 : 16).

Untuk memahami ideologi atau keyakinan gender, terlebih dahulu harus dipahami pengertian gender dengan kata sex (jenis kelamin). Secara bahasa, kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Women’s Studies Encyclopedia, dikutip oleh Mufidah Ch (2003 : 3), dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender : an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.


(39)

Pengertian lain tentang gender menurut Mansour Fakih (1999 : 9) adalah suatu ciri-ciri dan sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya : bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dan sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jadi, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan, sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Sedangkan sex (jenis kelamin) merupakan pembagian jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan secara permanen tanpa bisa dipertukarkan atau bisa dikatakan sebagai kodrat (ketentuan Tuhan) (Fakih, 1999 : 8).

Organ biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan dengan organ tubuh yang dimiliki dikonstruksikan oleh budaya untuk memiliki sifat yang halus, penyabar, penyayang, lemah lembut, dan sejenisnya. Sifat inilah yang sering disebut dengan feminim. Sementara laki-laki dengan perangkat fisiknya diberi atribut sifat yang maskulin yaitu sifat kuat, perkasa, jantan bahkan kasar. Dengan demikian gender merupakan konsep sosial yang harus diperankan oleh kaum laki-laki atau perempuan sesuai dengan ekspektasi-ekspektasi sosio-kultural yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat yang kemudian


(40)

melahirkan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan sebagai peran gender (Ridwan, 2006 : 17-19).

Sejarah perbedaan gender (gender difference) antara manusia jenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural, baik melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan (Fakih, 1999 : 9).

Perbedaan gender prinsip dasarnya adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sunnatullah sebagai sebuah fenomena kebudayaan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) (Fakih, 1999 : 12).

Kekerasan apapun yang terjadi dalam masyarakat, sesungguhnya berangkat dari satu ideologi tertentu yang mengesahkan penindasan disatu pihak


(41)

baik perseorangan maupun kelompok terhadap pihak lain yang disebabkan oleh anggapan ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat. Pihak yang tertindas disudutkan pada posisi yang membuat mereka berada dalam ketakutan melalui cara penampakan kekuatan secara periodik (College dalam Ridwan, 2006 : 49).

Seiring dengan perkembangan jaman saat ini laki-laki tidak selalu mendominasi kaum perempuan, adanya kesetaraan gender mengakibatkan laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama dan keduanya mempunyai potensi untuk mendominasi. Sehingga anggapan masyarakat tentang keharusan bagi laki-laki maskulin dan perempuan feminin menjadi semakin rancu. Seiring dengan perkembangan pandangan masyarakat yang lebih permisif tersebut, maka sangat mungkin bagi seorang laki-laki menjadi feminin dan perempuan menjadi maskulin.

Dengan demikian laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan perempuan. Hanya karena yang sering muncul dalam media itu lebih sering perempuan yang menjadi objek kekerasan dan dilecehkan oleh laki-laki. Tapi ternyata laki-laki juga bisa mendapatkan kekerasan dari perempuan. Hal itu, karena data laki-laki sebagai korban tidak ada berbeda halnya dengan banyaknya data yang tersedia yang menyebutkan perempuan sebagai korban (http://www.multiply.com diakses 20 Januari 2010, 14:00 WIB).

2. 1. 4. Representasi

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep


(42)

ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 28 Januari 2010, 12:15 WIB).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut 'pengalaman berbagi'. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam 'bahasa' yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 28 Januari 2010, 12:15 WIB).

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang 'sesuatu' yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, 'bahasa', yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam 'bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem


(43)

'peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara 'sesuatu', ‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi.

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 28 Januari 2010, 12:15 WIB).

Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya (circuit of culture). Melalui representasi, maka makna (meaning) dapat berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda-tanda (signs). Tanda-tanda (signs) tersebut seperti bunyi, kata-kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dan sebagainya merupakan bagian dari dunia material kita (Hall, 1997). Tanda-tanda tersebut merupakan media yang membawa makna-makna tertentu dan merepresentasikan ‘meaning’ tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda-tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pembacaan terhadap tanda-tanda tersebut tentu saja dapat


(44)

(http://www.readingculture.net/index.php?option=com_content&task=view&item id=43 diakses 28 Januari 2010, 12:45 WIB).

Representasi berasumsi bahwa praktik pemaknaan berbentuk menjelaskan atau menguraikan objek atau praktik lain di dunia nyata. Representasi membangun kebudayaan, makna, dan pengetahuan (Barker, Chris, 2004 : 414). Bagaimana dunia dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh individu. Mengharuskan adanya ekplorasi pembentukan makna tekstual. Serta menhendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah dan program televisi. Representasi diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu (Barker, Chris, 2004 : 9).

Dalam penelitian ini, representasi menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda verbal yang terdapat pada video klip lagu “Janji Janji” dengan mengacu pada pendekatan atau konsep kekerasan, ideologi laki-laki yang mengalami kekerasan dalam hidupnya dan simbol-simbol yang terdapat dalam video klip “Janji Janji”.

2. 1. 5. Respon Psikologi Warna

Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna juga boleh dianggap sebagai suatu fenomena psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna (http://www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.html diakses 11 Februari 2010, 11:43 WIB) :


(45)

1. Merah

Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya. Warna merah jika dikombinasikan dengan putih akan mempunyai arti ’bahagia’ di budaya Oriental.

2. Biru

Kepercayaan, konservatif, keamanan, tekhnologi, kebersihan, dan keteraturan.

3. Hijau

Alami, sehat, keberuntungan, pembaharuan. 4. Kuning

Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran, pengecut (untuk budaya barat), pengkhianatan.

5. Unggu atau Jingga

Spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekerasan, keangkuhan. 6. Orange

Energi, keseimbangan, kehangatan. 7. Coklat

Tanah atau bumi, reliability, comfort, daya tahan. 8. Abu-abu

Intelek, masa depan (seperti warna milenium), kesederhanaan, kesedihan.

9. Putih


(46)

10.Hitam

Power, seksualitas, kecanggihan, kematian, misteri, ketakutan, kesedihan, keanggunan.

Warna dan artinya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sesuatu yang dilekatinya. Warna juga memberi arti terhadap suatu objek, hampir semua bangsa didunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni (Cangara, 2005 : 109).

2. 1. 6. Semiotika

Secara etimologis, istilah Semiotik berasal dari kata Yunani Semeion

yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979 : 16 dalam Alex Sobur, 2002 : 95).

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1976 : 6 dalam Alex Sobur, 2002 : 95). Pengertian lain yang dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs) pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu


(47)

sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982 : ix dan Budiman, 2004 : 3).

Di dalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua induk yang memiliki dua tradisi dasar yang berbeda. Pertama, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf Amerika yang hidup di peralihan abad yang lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Peirce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005 : 33).

Logika, secara umum, adalah (…) sekedar nama lain dari semiotika (…), suatu doktrin formal atau quasinecessary tentang tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini sebagai “quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter-karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu, dan dari pengamatan tadi (…) kita arahkan kepada pernyataan-pernyataan yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali tidak niscaya (Peirce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34).

Di sisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure (1857-1913), sebagai seorang sarjana linguistik di Perancis.

Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan, ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan, sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya beri nama semiologi (dari bahasa Yunani semeion ‘tanda’). Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya (Saussure, 1966 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35).


(48)

2. 1. 7. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama : eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi Sastra. Bertens (2001 : 208) menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an d1960-an 70-1960-an (Sobur, 2001 : 63).

Barthes mengatakan suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks atau wacana naratif yang terdiri atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraf (Kurniawan, 2001 : 93).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam memaknai sebuah “teks”, pembaca mempunyai kekuasaan absolut untuk memberikan makna dan penafsiran terhadap suatu hasil karya sastra (novel) yang dilihatnya – bahkan tidak harus sama dengan maksud sang pengarang. Pembaca memiliki beberapa pilihan dalam memberikan makna, bisa dengan membedah


(49)

bacaannya, memfokuskan pada teks dan terkadang dapat pula melupakan sang pengarang, sehingga pembaca tersebut melakukan interpretasi sendiri terhadap bacaannya. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin jelas pula karya novel itu memberikan maknanya.

Dalam suatu naskah atau teks, terdapat lima kode yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes untuk menilai suatu naskah realis. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik

yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu (Sobur, 2006 : 65).

Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2006 : 65). Kode ini merupakan kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum pemecahan atau jawaban (Budiman, 2003 : 55).

Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.


(50)

Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” (Sobur, 2006 : 65-66). Kode ini memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kiasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003 : 56).

Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes (Sobur, 2006 : 66). Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan saran tekstual (Budiman, 2003 : 56).

Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak dimana masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi sekuans yang bersangkutan (Budiman, 2003 : 56). Kode ini dianggap Barthes sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakukan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi (Sobur, 2006 : 66).


(51)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)

Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu (Sobur, 2006 : 66).

Barthes secara panjang lebar sering mengulas tentang sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004 : 69).

Peta Tanda Roland Barthes (Sobur, 2004 : 69)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif

1. Signifer 2. Signified (Penanda) (Petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif)


(52)

adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Sobur, 2004 : 69).

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara sederhana disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini. Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atau kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999 : 22).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001 : 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,


(53)

petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Dalam kririk kebudayaan dan satranya, Barthes menggunakan konsep semiotik konotatif untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks. Dalam Mythologies-nya (1957 : 131), dia mendefinisikan sistem-sistem makna sekunder semacam ini sebagai mitos, kemudian Barthes mendeskripsikan bidang konotasi ini sebagai ideologi. Media massa menciptakan mitologi-mitologi atau ideologi-ideologi sebagai sistem-sistem konotatif sekunder dengan berupaya memberikan landasan kepada pesan-pesan mereka dengan alam, yang dianggap sebagai denotatif primer. Pada tataran denotatif, mereka mengekspresikan makna “alami” primer. Pada tataran konotatif, media massa mengungkapkan makna ideologis sekunder.

Gagasan lapisan denotasi primer yang secara ideologis tidak berdosa ini kemudian ditinggalkan. Dalam S/Z, Barthes mendefinisikan denotasi kembali sebagai hasil akhir proses konotatif, efek penutupan semiotik (Noth, 2006 : 316).

2. 1. 8. Pendekatan Semiotik Dalam Film

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran


(54)

makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna) (Fiske, 2006 : 9).

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda (Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk) studi ini tidak hanya mengarah pada ‘tanda’ dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tesebut dikomunkasikan dalam kode-kode (Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk).


(55)

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan (Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128). Memang, ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur, 2004 : 128).

Menurut Fiske dalam bukunya berjudul Television Cultural, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada film ke dalam tiga kategori, yakni kode-kode sosial (social codes), kode-kode teknis (technical codes), dan kode-kode representasi (representational codes).


(56)

kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks (Fiske, 1990 : 40, dalam Mawardhani, 2006 : 39). Analisis yang dilakukan pada video klip ”Janji Janji” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu :

1. Level Realitas (reality)

Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis (Fiske, 1990 : 40).

2. Level Representasi (representation)

Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya. Level representasi meliputi :

a. Teknik Kamera

Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi :

1. Long Shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu

Extreme Long Shot (ELS), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body


(1)

93

Tindakan kekerasan tampak nyata ditampilkan pada model laki-laki yang mewakili sosok laki-laki yang menjadi objek kekerasan yang dilakukan perempuan yang digambarkan mendapatkan perlakuan kasar hingga mengakibatkan rasa sakit atau menderita baik secara fisik maupun psikis.

Representasi kekerasan dalam video klip lagu ”Janji Janji” ini, beberapa scenenya menggunakan bahasa simbolik. Karena video clipper ingin memberikan ruang berpikir bagi khalayaknya untuk memahami makna yang disampaikan lewat video klip tersebut yang ditonjolkan melalui ekspresi wajah dan sikap dalam beberapa scene yang diambil dengan berbagai jenis shot. Penyampaian makna kekerasan jika disampaikan bahasa simbolik, maka membuat pesan yang ingin disampaikan terkadang dangkal sebagaimana yang diharapkan. Ditambah lagi wacana kekerasan sendiri sudah menjadi budaya tersendiri bagi masyarakat dalam menyelesaikan masalah.

Di dalam beberapa scene tersebut divisualisasikan bagaimana kekerasan tersebut dialami oleh laki-laki yang mendapatkan tindakan kekerasan fisik dari seorang perempuan yang melampiaskan kemarahannya sebagai bentuk kekesalan atas perlakuan yang tidak menyenangkan yang mengakibatkan sosok laki-laki tidak berdaya dan menderita secara fisik dengan ditandai keluarnya darah di bagian kepala laki-laki tersebut.

Aktivitas-aktivitas simbolik ini mengandung makna, dimana kekerasan mengacu pada arti yang sama yang telah diungkapkan dalam kamus (Poerwadarminta, 1999 : 102), kekerasan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Sedangkan paksaan berarti membawa kekuatan, paksaan


(2)

dan tekanan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kekerasan berarti sebagai suatu serangan atau invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang (Englander dalam Saraswati, 2006 : 13).

Secara psikologis, jika seseorang mengalami kekerasan maka akan cenderung bersikap trauma, sakit hati, ketakutan, hilangnya respon dan hilangnya kemampuan bertindak, rasa tak berdaya, malu, tersinggung, emosi dan marah pada seseorang. Hal ini bisa dikatakan orang tersebut mengalami kekerasan psikis. Pada dasarnya siapapun setiap manusia pernah mengalami kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.

Dari uraian singkat diatas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa video klip tersebut menampilkan sebuah fenomena kekerasan. Video klip lagu ”Janji Janji”, menawarkan sebuah kekerasan yang berbeda dari tema kekerasan yang biasanya. Disini kekerasan yang ditampilkan lebih berbeda karena dalam video klip ini menyampaikan kekerasan yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki, karakter yang dimainkan, aktivitas-aktivitas yang dilakukan menjadi representasi kekerasan dalam video klip ini berhasil disampaikan kepada khalayak.

5. 2. Saran

Dalam penelitian mengenai REPRESENTASI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU ”JANJI JANJI” (Studi Semiotik tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip


(3)

95

Lagu ”Janji Janji” dipopulerkan oleh Agnes Monica), peneliti dapat memberikan saran berkaitan dengan tujuan penelitian ini, yakni :

1. Ide dan alur cerita dari video klip lagu ”Janji Janji” memang berbeda dengan apa yang selama ini ada, namun seharusnya alur cerita yang digunakan dalam video klip tersebut menggunakan alur yang jelas agar tidak membingungkan khalayak dalam memaknai isi cerita dibalik video klip tersebut.

2. Peneliti juga menyarankan agar video klip sejenis ini dapat lebih kreatif dan jeli dengan menampilkan tema-tema sosial. Teknik kamera, pencahayaan dalam video klip ini khususnya lebih diperhatikan agar pesan sosial lebih sampai pada khalayaknya.


(4)

Biran, H, Misbach Yusa, 2006. Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Dunia Pustaka : Jakarta.

Cangara, Harsied, 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Praja Grafindo Persada : Jakarta.

Effendy, Heru, 2002. “Mari Membuat Film Panduan Untuk Menjadi Produser”, Panduan dan Pustaka Konfiden : Yogjakarta.

Fakih, Mansour, 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar : Yogjakarta.

Fiske, John, 2006. Cultural and Communication Studies. Suatu Pengantar Paling Komprehensif, Jalasutra : Yogjakarta.

Fokusmedia, 2004. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Fokusmedia : Bandung. Fokusmedia, 2003. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang

Undang-Undang Penyiaran dan Pers, Fokusmedia : Bandung.

Hartoko, Dick Rahmanto, B, 1986. Pemandu di Dunia Sastra, Kanisius (IKAPI) : Yogjakarta.

Irawanto, Budi, 2002. Ideology dan Militer dalam Sinema Indonesia, Media Presindo : Yogjakarta.

Kingdem Gorham and Robert B. Mus burger, Introduction to Media Production The Path to Digital Media Production Third Edition, Focal Press, page 303. Kurniawan, 2001. Semiologi Roland Barthes, Yayasan Indonesiatera : Magelang. Mawardhani, Agustina, 2006. Representating dalam Film, Bandung.

Moleong, Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung.

Mufidah, Ch, 2003. Paradigma Gender, Bayumedia Publishing : Malang.

Mulyana, Dedi, 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung


(5)

97

Naratama, 2004. Menjadi Sutradara Televisi dengan Single dan Multi Camera, PT. Gramedia Widiasarana : Jakarta.

Piliang, Yasraf Amir, 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra : Yogjakarta.

Poerwadarminta, WJS, 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan : Jakarta.

Ridwan, M. Ag, 2006. Kekerasan Berbasis Gender, Pusat Studi Gender (PSG) : Purwokerto.

Saraswati, Rika, 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.

Sobur, Alex, 2001. Analisis Teks Media, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung. Sobur, Alex, 2003. Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung. Taylor, Shelley. E, 2009. Psikologi Sosial, Kencana Prenada Media Group : Jakarta. Tri Dayakisni, Hudaniah, 2006. Psikologi Sosial, UMM : Malang.

Internet :

http://www.multiply.com diakses 20 Januari 2010, 14:00 WIB http://www.kompas.com diakses 28 Januari 2010, 10:32 WIB

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2628855 diakses 11 Februari 2010, 09:00 WIB

http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 28 Januari 2010, 12:15 WIB Columbia Encyclopedia,

http://www.answers.com/topic/music-video?cat=entertainment diakses 4 Februari 2010, 12:00 WIB http://www.wikipedia.com/videomusik diakses 4 Februari 2010, 13:00 WIB

Toward,http://www.shsu.edu/~lis_fwh/book/other_notable_genres/Video%20Clips2. htm diakses 4 Febuari 2010, 14:15 WIB


(6)

http://www.goethe.de/ins/id/lp/prj/art/ksd/med/id2062514.htm diakses 4 Februari 2010, 14:25 WIB).

http://www.wikipedia.org/kekerasan diakses 8 Februari 2010, 17:45 WIB http://www.google.co.id/kekerasan diakses 16 Februari 2010, 18:36 WIB

http://www.readingculture.net/index.php?option=com_content&task=view&itemid= 43 diakses 28 Januari 2010, 12:45 WIB

http://www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.html diakses 11 Februari 2010, 11:43 WIB

Non Buku :

Syafitri, Ariani Rakhman Nurul, 2007. Kekerasan Terhadap Laki-Laki (Analisis Semiotik Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Pada Karakter Tokoh Genting dan Murron Dalam Buku Lelaki yang Menangis Karya Rini Nurul Badriah), IKOM FISIP, UPN ”Veteran” Jawa Timur.


Dokumen yang terkait

REPRESENTASI HUBUNGAN AYAH ANAK DALAM VIDEO KLIP(Analisis Semiotik Video Klip Lagu ‘Tatkala Letih Menunggu‘dari Ebiet G. Ade)

1 54 2

VIDEO KLIP SEBAGAI INTERPRETASI LIRIK LAGU (Analisis Semiotik Video Klip Lagu ‘My Facebook’ oleh GIGI)

3 32 56

REPRESENTASI KUASA LAKI-LAKI DALAM LIRIK LAGU TARLING CIREBONAN

1 29 8

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN PRODUKPERAWATAN TUBUH UNTUK LAKI-LAKI REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN PRODUK PERAWATAN TUBUH UNTUK LAKI-LAKI.

0 2 15

PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

5 38 114

REPRESENTASI SENSUALITAS DALAM VIDEO KLIP (Studi Semiologi Tentang Representasi Sesualitas dalam Video Klip ”Cinta Satu Malam” Yang dipopulerkan Oleh Melinda).

9 25 81

REPRESENTASI STEREOTIP LAKI-LAKI PADA IKLAN TELEVISI. (Studi Semiotik Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic rasa Lebih Hitam di Televisi).

0 3 86

KATA PENGANTAR - REPRESENTASI STEREOTIP LAKI-LAKI PADA IKLAN TELEVISI. (Studi Semiotik Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic rasa Lebih Hitam di Televisi)

0 0 18

REPRESENTASI KEKERASAN TERHADAP LAKI-LAKI DALAM VIDEO KLIP LAGU “JANJI JANJI” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Terhadap Laki-Laki Dalam Video Klip Lagu “Janji Janji” Dipopulerkan oleh Agnes Monica)

0 0 24

PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

0 0 20