substansif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut
perspektif ini, tahapan – tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa
itu terjadi melalui beberapa tahap.
10
Yakni sebagai berikut : 1.
Tahap menyiapkan materi konstruksi, ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni : keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan
semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. 2.
Tahap sebaran konstruksi, prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara
tepat berdasarkan agenda media. Sesuatu yang dipandang oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas, pembentukan konstruksi
berlangsung melalui konstruksi realitas pembenaran, kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa, sebagai pilihan konsumtif.
4. Tahap konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton
atau pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas
yang dipilihnya. Di sebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah
realitas yang telah dikonstruksikan. Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-relaitas sehingga membentuk sebuah
10
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, h. 206-207.
“cerita’. Setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha mengkonstruksikan realitas.
Konteks dari riset ini bertujuan untuk membahas proses konstruksi yang dibangun oleh Kompas.com dalam memberitakan program deradikalisasi.
Karena seperti yang telah diketahui proses konstruksi yang berlangsung di media massa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, begitu pula
dengan media Kompas.com sendiri, faktor internal dan eksternal tentu tidak bisa lepas dari pada media tersebut. Faktor internal yang mempengaruhi salah
satunya adalah kebijakan redaksional, setiap media massa memiliki kebijakan redaksionalnya masing-masing.
Kebijakan redaksional merupakan dasar pertimbangan suatu lembaga media massa untuk menyiarkan atau tidaknya suatu berita. Sedangkan faktor
eksternalnya meliputi tekanan pembaca, sisitem politik yang berlaku serta kekuatan-kekuatan lainaya. Faktor-faktor inilah yang memungkinkan media
massa tidak lagi menjadi media yang objektif.
B. Definisi Terorisme
Kata ‘terorisme’ berasal dari kata terror dalam bahasa Inggris, atau terrere dalam bahasa latin, artinya membuat gemetar atau menggetarkan. Ada pula
yang memaknainya sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan.
11
Kata terrere adalah kata kerja dari kata terrorem yang berarti rasa takut yang luar biasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, kata teror
11
Agus SB,Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan Lokal Melawan Radikalisasi dan Terorirsme Jakarta: Daulatpress, 2016, h. 66
sebagai usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
12
Terorisme adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat, dengan ancaman atau
cara kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan atau psikologis dalam waktu yang
berkepanjangan, sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime dan kejahatan terhadap kemanusiaan crime
against humanity.
13
Teorisme menurut B. N. Marbun dalam kamus politik 2002: 530, diartikan sebagai “penggunaan kekerasan biasanya untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu, aksi teror tersebut digunakan sebagai media promosi kepentingan politiknya, sehingga dunia menjadi tahu apa yang mereka
perjuangkan”.
14
Selama ini, sudah banyak ahli telah mengemukakan definisi terorisme, dari definisi tersebut unsur yang selalu ada adalah penggunaan kekerasan atau
mengancam dengan kekerasan terhadap masyarakat atau keamanan nasional dengan berbagai macam motif, sehingga menimbulkan ketakutan dan perasaan
terancam. Korban yang berjatuhan akibat tindak terorisme seringkali menimpa orang-orang yang tidak bersalah, kaum teroris hanya ingin menciptakan
sensasi agar masyarakat luas memperhatikan perjuangan mereka.
12
Hasan Alwi et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 2001. h. 1185.
13
Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009. h. 6.
14
Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, h. 2.
Beberapa pakar berusaha menjelaskan perbedaan antara teror dan terorisme. Sebagian berpendapat bahwa terorisme adalah bentuk pemikiran,
sedangkan teror adalah aksi atau tindakan yang terorganisasi. Dari beberapa definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
terorisme adalah suatu tindakan yang melawan hukum dengan menggunakan aksi kekerasan untuk mencapai tujuan politik tertentu atau mengobarkan jihad
yang disalahartikan yang dapat mengancam keamanan dan kenyamanan masyarakat.
C. Konseptualisasi Deradikalisasi
1. Definisi Deradikalisasi
Deradikalisasi berasal dari kata “radikal” dengan imbuhan “de” yang
berarti mengurangi atau mereduksi, dan kata “isasi”, dibelakang kata radikal berarti proses, cara atau perbuatan. Jadilah deradikalisasi adalah
suatu upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisir paham- paham radikal bagi mereka yang terlibat aksi teroris dan simpatisanya
serta anggota masyarakat yang terekspose paham-paham radikal teroris. Program deradikalisasi di sini melibatkan semua pihak: narapidana,
mantana narapidana, individu militan radikal yang pernah terlibat, keluarga, simpatisanya, dan masyarakat umum.
15
Kebijakan deradikalisasi yang digagas pemerintah sungguh bukanlah berfokus pada langkah-langkah penegakan hukum dan beresiko
memunculkan pandangan negatif tentang Islam. Apalagi sebagaimana ada
15
Agus SB,Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan Lokal Melawan Radikalisasi dan Terorirsme, h. 141-142.
tuduhan bahwa deradikalisasi berarti deislamisasi. Kebijakan ini bukanlah kebijakan yang mengasingkan umat Islam dari Agama Islam itu sendiri.
Dari sisi pemahaman terhadap ajaran Islam, Muhammad Harfin Zuhdi melihat deradikalisasi sebagai upaya menghapuskan pemahaman yang
radikal terhadap ayat-ayat Al- Qur’an dan Hadist, khususnya ayat atau
hadis yang berbicara mengenai konsep jihad, perang melawan kaum kafir, dan seterusnya. Berdasarkan pemaknaan tersebut maka deradikalisasi
bukan dimaksudka n sebagai upaya untuk menyampaikan “pemahaman
baru” tentang Islam, dan bukan pula pendangkalan akidah. Tetapi lebih kepada sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pandangan
yang benar tentang apa dan bagaimana Islam. Deradikalisasi sebagai proses less radical, ini meliputi tingkah laku
dan pandangan orang tersebut. Berkaitan dengan tingkah laku ditandai dengan aktivitas-aktivitas radikal dan tidak ada lagi komentar yang bersifat
radikal. Sementara berkaitan dengan pandangan, hal ini meliputi meningkatnya kepercayaan pada sistem, keinginan untuk menjadi bagian
dari masyarakat lagi, dan penolakan pada cara-cara yang tidak demokratis. Dari pemaparan di atas mengenai deradikalisasi, penulis dapat
mengambil kesimpulan, bahwa deradikalisasi sesungguhnya berakar dari persoalan paham radikal yang disalah artikan atau menyimpang, yang
kemudian digunakan sebagai suatu metode yang dapat digunakan untuk mengubah pemahaman yang radikal menjadi tidak radikal.