15
kosong akan terbentuk karena tidak adanya pengaturan akan posisi bangunan untuk mendapatkan area yang sesuai dan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
2.2 Keadaan Sosial di Permukiman Tidak Terencana
Dalam suatu permukiman tidak terencana, keadaan sosial dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya daerah tersebut. Keadaan sosial
tersebut dapat didorong oleh persamaan perilaku, aktivitas ekonomi maupun interaksi antar penghuni yang kemudian membentuk suatu ruang hunian Hurskainen, 2004.
Perbedaan kriteria pada suatu permukiman tidak terencana terlihat pada aspek fisik, hubungan spasial, sosial dan perilaku penghuni. Kenyataannya, pertumbuhan
penghuni ilegal terjadi sangat pesat dengan menempati area tertentu maupun membangun tempat tinggal permanen. Populasi yang berkembang umumnya
didukung oleh keadaan sosial dan latar belakang ekonomi yang sama. Sehingga, setiap permukiman tentu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam membentuk
area huniannya. Dalam suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana sebagian besar didominasi oleh suatu persamaan keadaan sosial didalamnya. Adanya
hubungan spasial membentuk suatu ruang yang dapat digunakan para penghuni untuk berinteraksi atau sebagai area hunian. Pertumbuhan permukiman tidak terencana juga
akan mengalami peningkatan apabila terdapat persamaan sosial pada penghuninya. Semakin banyak pertumbuhan populasi pada suatu kawasan juga akan mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
16
perkembangan permukiman tidak terencana. Keadaan sosial sering sekali membentuk suatu ruang yang kemudian berkembang menjadi permukiman yang tidak terencana.
Pada permukiman tersebut, tentu akan ditemukan pola-pola yang berkaitan dengan ruang hunian, ruang berkumpul, pola jalan dan bentuk permukiman. Selain itu, setiap
daerah juga akan akan mempunyai pola yang berbeda karena dapat dipengaruhi lingkungan, topografi lahan maupun fungsi yang berbeda. Adanya perkembangan
suatu permukiman yang tidak terencana pasti terjadi secara spontan dan tidak mempunyai perencanaan maupun pengaturan terlebih dahulu. Walaupun, pada
dasarnya suatu permukiman tidak terencana terjadi atas persamaan keadaan sosial, tetapi tidak akan pernah ditemukan karakteristik yang benar-benar identik pada
kawasan-kawasan tersebut Fernandez, 2002.
Gambar 2.2 Pola Grid di permukiman kumuh, Lima, Peru Sumber: Fernandez, 2002
Pada permukiman tersebut terlihat jelas adanya pola permukiman yang terjadi membentuk persegi panjang mengikuti garis-garis jalan gambar 2.2. Susunan pada
Universitas Sumatera Utara
17
area hunian juga teratur dan berorientasi ke jalan. Tetapi, secara keseluruhan pola grid tersebut tidak terjadi secara teratur dan lurus karena adanya kondisi lingkungan
yang tidak mendukung pola tersebut. Sehingga, kawasan tersebut terlihat membentuk sebagian pola grid teratur dengan persegi dan terdapat juga grid yang tidak lurus.
Gambar 2.3 Pola grid permukiman kumuh Tarna Rosa, Lima, Peru. Sumber: Fernandez, 2002
Pada contoh permukiman lainnya yang terlihat pada gambar 2.3, sangat jelas terlihat pola grid yang teratur membentuk ruang-ruang hunian secara persegi panjang.
Sirkulasi jalan terbentuk secara teratur dan saling berhubungan menjadikan akses pada daerah tersebut lebih mudah untuk dijangkau. Adapun, ruang-ruang hunian
berorientasi pada sirkulasi jalan. Sehingga, setiap bangunan akan mendapatkan posisi bangunan yang menghadap ke jalan. Dengan adanya pola grid yang jelas akan
membentuk sudut-sudut jalan yang akan banyak dilewati. Pada permukiman tersebuta
Universitas Sumatera Utara
18
tersebut area hunian terbagi menjadi 2 blok permukiman. Salah satu blok terbentuk menjadi pola persegi panjang dan mempunyai akses sirkulasi yang sejajar dan jelas.
Gambar 2.4 Pola grid pada permukiman kumuh Dos de Mayo et Primero de Mayo Slums, Lima – Peru
Sumber: Fernandez, 2002
Kemudian, terdapat 2 pola grid yang terbentuk pada kawasan yang terlihat pada gambar 2.4. Pola grid yang sejajar telihat pada sisi permukiman di bagian kiri,
sedangkan pada area kanan terbentuk garis pola yang tidak sejajar. Pola pada area bagian kanan terbentuk secara abstrak dan tidak berbentuk persegi. Adapun, ruang
hunian yang terbentuk pada area kanan, terlihat mempunyai dmensi yang berbeda- beda. Sirkulasi pada daerah tersebut juga terbentuk secara abstrak karena mengikuti
bentuk lahan yang tidak lurus.
Gambar 2.5 Pola permukiman kumuh Cerro El Agustino dan Santa Clara de Bella Luz Slums di Lima – Peru.
Universitas Sumatera Utara
19
Sumber: Fernandez, 2002
Selanjutnya pada permukiman kumuh lainnya yang terdapat di Lima, Peru terbentuk pola yang berbeda yaitu terbentuk secara organik gambar 2.5. Pola
organik yaitu pertumbuhan permukiman yang terjadi secara alami. Pola dari ruang- ruang hunian dan sirkulasi terbentuk secara abstrak. Tidak ada pola grid yang teratur
pada permukiman tersebut. Dimensi-dimensi dari ruang hunian yang terbentuk juga terjadi secara tidak teratur.
Gambar 2.6 Pola linear pada permukiman kumuh di Mamede Salvador de Bahia – Brazil
Sumber: Fernandez, 2002
Pada gambar 2.6, terlihat pola yang terbentuk merupakan permukiman yang terjadi dengan mengikuti tofografi lahan. Adapun ruang hunian dan sirkulasi jalan
terbentuk dengan adanya bentuk kontur yang berbeda-beda pada kawasan tersebut. Ruang hunian dibangun mengelilingi garis kontur di kawasan tersebut. Ruang hunian
yang terbentuk mengikuti garis kontur. Semakin rendah ketinggian kontur tanah akan
Universitas Sumatera Utara
20
semakin banyak dibangun ruang hunian dan begitu juga sebaliknya. Sehingga terlihat pada gambar tersebut, di garis kontur yang lebih tinggi bangunan juga semakin
sedikit ditemui. Adapun akses jalan yang lebih besar untuk dilalui terdapat pada ketinggian yang lebih rendah. Maka dari itu, terlihat bangunan-bangunan juga lebih
banyak tumbuh didaerah dengan ketinggian rendah dan dekat dengan jalan.
Gambar 2.7 Pola radial pada permukiman kumuh di Vila Natal Sumber: Physical And Spatial Characteristic of Slum Territories Vulnerable to Natural Disaster
Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.7, sebagian besar bangunan berorientasi ke kontur yang lebih tinggi. Pola yang terbentuk yaitu radial, dengan
adanya ruang-ruang yang terbentuk dengan pola bertingkat sesuai dengan ketinggian tanah yang berbeda. Pola radial membagi 5 blok permukiman secara tegak lurus
walaupun tofografi pada lahan tidak rata. Pada permukiman tersebut, dapat terlihat pola seperti terasering yang disusun bertingkat dan sesuai dengan ketinggian
konturnya.
Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 2.8 Pola paralel yang mengikuti garis kontur. Sumber: Fernandez, 2002
Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.8, ruang hunian akan terbentuk secara diagonal dari garis kontur. Sehingga, ruang hunian yang tercipa akan
mempunyai kemiringan yang sama dengan level kontur. Permukiman ini tidak mengikuti garis kontur secara horizontal, tetapi membentuknya dengan garis vertikal.
Adapun, ruang yang terbentuk umumnya tidak dibangun secara berdekatan tetapi hanya berdiri beberapa rumah pada ketinggian tertentu.
Dari beberapa contoh tersebut, dapat dilihat banyaknya pola-pola yang terbentuk pada permukiman kumuh yang terjadi secara tidak terencana. Namun, tidak
semua permukiman kumuh mengakomodasi wujud kemiskinan pada perkotaan dan atau dengan kata lain semua penduduk setempat selalu miskin. Dalam menghadapi
tantangan dari daerah kumuh, peraturan yang berhubungan dengan keberlanjutan kondisi permukiman harus memiliki sistem yang jelas. Hal tersebut dapat dilakukan
Universitas Sumatera Utara
22
dengan cara mengamati aktifitas sosial yang berjalan di daerah tersebut, melakukan pendekatan dengan penghuni lokal dan merencanakan peningkatan dari ruang hunian,
infrastruktur dan kondisi lingkungan Onyekachi, 2014. Hal 424. Pada dasarnya, suatu permukiman yang terbentuk secara tidak terencana selalu dikaitkan dengan
sosial-ekonomi dari penghuni setempat. Dalam hal ini, sebagian besar penghuni dari permukiman tersebut berasal dari tingkat ekonomi yang rendah. Tetapi, bukan berarti
pada setiap permukiman tidak terencana selalu menggambarkan wujud kemiskinan pada kota yang ditempatinya. Permukiman tidak terencana dapat terbentuk dari
berbagai alasan dan tidak hanya berasal dari masalah perekonomian. Keadaan sosial tentu memberi pengaruh pada terbentuknya permukiman tersebut, tetapi tetap tidak
dapat dijadikan alasan utama. Pemerintah juga mempunyai andil atas terbentuknya permukiman tidak terencana. Hal tersebut dapat dimulai dengan tidak adanya
perencanan yang tepat atas suatu lahan maupun penangaan dan solusi atas pertumbuhan populasi yang semakin banyak. Maka dari itu, sangat diperlukan adanya
pendekataan pada penghuni dari permukiman tidak terencana. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, sehingga kemudian dapat mencari
solusi untuk memperbaiki maupun melakukan perencanaan pada daerah tersebut. Tetapi, sebagian besar permasalahan atas suatu permukiman tidak terencana selalu
dapat mengandalkan peran pemerintah dalam mencari solusi. Sering sekali suatu permukiman tidak terencana mulai terbentuk menjadi lebih besar tanpa terdapat peran
pemerintah dalam pengembangannya. Para penduduk suatu permukiman tentu tidak
Universitas Sumatera Utara
23
dapat terus menggantungkan setiap kebutuhan pada pemerintah maupun otoritas lokal. Penduduk juga diharuskan memiliki pengetahuan akan permasalahan,
penyebab dan solusi yang memungkinkan untuk daerah huniannya. Penduduk tentu mempunyai kesempatan dalam memanfaatkan dan mengolah ruang hunian mereka.
Penduduk juga tetap memerlukan pengawasan, pelatihan maupun bimbingan dari pihak berwenang. Hal tersebut dilakukan, agar penduduk suatu permukiman dapat
mengambil langkah dan cara sendiri untuk memperbaiki daerahnya, tetapi masih tetap berada pada peraturan yang telah disepakati Hurskainen, 2004. Pada permukiman
tidak terencana, sering sekali ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan infrastuktur di kawasannya. Hal tersebut terjadi karena suatu
permukiman yang tumbuh secara tidak terencana tentu memerlukan fasilitas-fasilitas sosial yang sebelumnya tidak dirancang. Sehingga, ketika suatu permukiman itu
mulai berkembang, sangat diperlukan adanya infrastruktur yang mendukung dan fasilitas sosial yang memadai. Tetapi, pada suatu permukiman tidak terencana hal
tersebut tidak direncakanan terlebih dahulu. Para penghuni hanya berfikir untuk membangun huniannya dan tidak merencanakan untuk mengatur ruang-ruang publik
maupun sarana yang diperlukan nantinya. Sehingga, ketika suatu permukiman tidak terencana kemudian mengalami suatu kebutuhan ataupun permasalahan, pemerintah
tidak dapat selalu memberikan bantuan langsung pada daeah tersebut. Hal tersebut juga didasari atas kepemilikan lahan yang tidak resmi oleh para penghuni. Sehingga,
sering sekali pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi
Universitas Sumatera Utara
24
permasalahan. Maka dari itu, para penghuni setempat perlu memahami permasalahan yang terjadi di daerahnya sendiri agar solusi bagi ruang hunian tersebut dapat
ditemukan.
2.3 Pengaruh Aspek Ekonomi Terhadap Terbentuknya Permukiman Tidak