1954-1965 Asal – mula Desa

47 Karanganyar dan Sidomulyo tentang kesediaannya kembali bekerja di kebun seperti sebelum pengusaha Belanda pergi atau jika tidak bisa terlibat dalam pekerjaan kebun kembali bisa mengolah tanah yang sudah diduduki dan dimiliki oleh masyarakat.

4. 1954-1965

Di areal Perkebunan Padang Halaban tidak hanya berdiri PT.Plantagen AG, tapi juga beroprasi NV.Sumcama dan PT.Sarikat Putra. Perusahaan- perusahaan perkebunan ini beroprasi dengan memperkerjakan buruh yang berasal dari penduduk sekitar. Kondisi ekonomi, hidup masyarakat di perkebunan Padang Halaban sangat bergantung dengan kegiatan produksi mengelolah tanah. Setelah pengusiran Jepang dari tanah Indonesia dan ditandainya kemerdekaan Indonesia, masyarakat mulai bisa mengusahai tanah bekas perkebunan asing secara bebas. Tanah-tanah negara bebas mulai dikerjakan oleh masyarakat secara berkelompok untuk membuka lahan-lahan baru dan dibagi secara merata melalui kegiatan pemancengan. Rata-rata kesanggupan masyarakat ketika itu untuk mengerjakan lahan seluas 2 Ha. Masyarakat bergantung pada kegiatan bertani, mengolah tanah untuk kebutuhan tanaman pangan berkelanjutan. Untuk mengolah tanah masyarakat bergantung pada perubahan cuaca dalam perkembangan bulan. Jika musim penghujan, tanah di kelola untuk tanaman padi. Ketika musim kemarau tanah digunakan untuk menanam jagung. Dari dua tanaman ini masyarakat di kawasan Universitas Sumatera Utara 48 perkebunan padang halaban memenuhi kebutuhan pangan harian. Disamping itu untuk menutupi kebutuhan pangan utama lainnya masyarakat menanam ubi jalar maupun ubi kayu di sekitar pekarangan rumah. Masyarakat juga menanam tanaman sayur-mayur untuk kebutuhan tambahan pangan maupun diperjual belikan. Beberapa sayur yang ditanam ketika itu, ada bayam, kangkung, daun ubi, genjer, mentimun, terong, daun kemangi, paria, dan labu. Selain sayur berbagai tanaman buah juga tumbuh subur, beberapa tanaman buah seperti semangka, bengkoang, durian, pisang, nangka, mangga, rambutan mudah sekali dijumpai. Sehingga tidak heran jika setiap harinya di stasiun Padang Halaban disediakan 2 sampai 3 buah gerbong kereta api untuk mengangkut hasil pertanian masyarakat ke Rantau Prapat-Labuhan batu. Kondisi tanah yang berbukit-bukit dengan beberapa lembah dan daratan yang luas membuat wilayah perkebunan Padang Halaban subur untuk tumbuh- tumbuhan. Lembah-lembah yang ada berubah menjadi rawa sebagai sumber air untuk kebutuhan irigasi maupun habitat bagi beberapa jenis ikan. Beberapa ikan rawa yang lazim ditangkap oleh masyarakat untuk kebutuhan lauk pauk diantaranya ikan lembat, siluang, betook, lele, sepat, gabus, dan belut. Masyarakat melakukan penangkapan ikan dengan memancing dengan metode taut atau getek, memasang bubu, dan menjala. Kondisi kebudayaan, masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan kegiatan ekonomi. Di sela-sela kegiatan untuk mengolah tanah beberapa kegiatan untuk meningkatkan pola pikir, sikap dan tindakan diselenggarakan. Secara moral Universitas Sumatera Utara 49 kegiatan keagamaan mampu memberikan motivasi kepada masyarakat untuk selalu berfikir positif dalam hubungannya antar sesama manusia atau dengan Tuhan. Kegiatan keagamaan dibangun berdasarkan keyakinan masyarakat yang mayoritas memeluk agama islam. Di setiap desa terdapat Langgar mushola dan satu buah masjid sebagai tempat beribadah dan menjalankan kegiatan mengaji. Hasil dari praktek sosial masyarakat beberapa kegiatan seni dan budaya lahir, diantaranya Jaran Kepang, Ludruk, Wayang, Tari-tarian tradisional, dan kesenian reog lahir dengan sendirinya. Seperti di Aek Korsik dikenal dengan desa tempat berdirinya kesenian Ludruk dengan nama Sakerah, kesenian Jaran Kepang dengan nama Wiryaji dan seorang dalang wayang kulit dengan nama mbah Dalang. Karenanya wajar jika di tahun-tahun sebelum peristiwa 1965, kawasan perkebunan Padang Halaban aktif menyelenggarakan pentas budaya bernuansakan kearifan lokal. Beberapa sekolah tingkat dasar berdiri di setiap desa, yang dikenal kemudian oleh rakyat dengan Sekolah Rakyat SR. Hanya ada satu sekolah tingkat menengah di daerah Kecamatan Marbau saat ini. Sebagian kecil masyarakat yang berusia antara 7-13 tahun kala itu menyelesaikan Sekolah Rakyat dan kesulitan untuk melanjutkan ke tingkatan selanjutnya karena jarak dan keterbatasan alat trasportasi. Hanya beberapa warga yang memiliki lereng sepeda untuk alat trasportasi dari satu tempat ke tempat lainnya, dan termasuk alat trasportasi mewah pada kala itu. Universitas Sumatera Utara 50 Keadaan politik, di setiap desa memiliki pusat administratif yang di kepalai oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh wakil. Kepala desa yang ada ketika itu memimpin masyarakat dalam banyak hal, mulai dari penataan kampung sampai penataan aktivitas kemasyarakatan, tidak hanya memimpin kegiatan administratif. Kepala desa ditunjuk oleh masyarakat dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap masyarakat. Kepala desa sangat dihormati ketika itu, karena ketauladanan, pengaruh politiknya dalam menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat maupun kemampuan ilmu sepiritualnya. Setiap kepala desa menjadi salah satu anggota dari organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi yang ada ketika itu, diantaranya Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia SARBUPRI, Pemuda Pancasila PP, Pemuda Marhaen, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia BTI, Gerakan Wanita Indonesia GERWANI, GUBSI, Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra dan PERKAPEN. Organisasi-organisasi yang ada bersifat massal, atau organisasi massa dengan keanggota yang luas. Sehingga tidak heran keberadaan Partai Politik ketika itu berusaha untuk mendekati organisasi-organisasi massa yang ada. Ada tiga partai besar ketika itu, diantaranya Partai Nasionalis Indonesia PNI, Partai Masyumi dan Partai Komunis Indonesia PKI. Masyarakat di kawasan Padang Halaba tidak asing dengan nama-nama organisasi massa maupun partai yang ada. Karena bagi mereka organisasi maupun partai tersebut wadah untuk bersosialisasi dan membangun persaudaraan diantara sesama. Sebelum 1965, setiap orang yang tinggal di areal perkebunan memiliki organisasinya sendiri-sendiri. Universitas Sumatera Utara 51 Sejak diusirnya kolonial Belanda dan pendudukan Fasis Jepang di tahun 1945, para lascar-laskar rakyat dan masyarakat disekitar perkebunan Padang Halaban mengambil alih tanah. Usaha rakyat ini diperkuat oleh seruan dari Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam seruannya menyampaikan “perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat rakyat agar areal-areal atau tanah bekas perkebunan asing yang ditinggalkan pengelolanya supaya diberikan atau dibagikan kepada rakyat Indonesia termasuk bekas kuli bangsa Jepang untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logitik lascar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka”. Berdasarkan seruan tersebut, pada tahun 1945 hampir seluruh areal lahan di Perkebunan Padang Halaban seluas 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyatdesa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 dua HaKK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa SidodadiAek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa PurworejoAek Ledong, Tanah di bekas Divisi Universitas Sumatera Utara 52 IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa KartosentonoBrussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa SukadamePanigoran Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah yang dikeluarkan oleh KRPT Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah IPEDA oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha HGU Perkebunan Padang Halaban saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA. Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 19691970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa merebaknya penggarap liar. Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran. Bahkan pada tahun 1962, setelah sekitar 17 tujuh belas tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo Universitas Sumatera Utara 53 yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung Sitepu yang langsung turun atau datang ke Desa Sidomulyo untuk menyerahkan Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo saat itu, yaitu bapak alm Langkir.

2.1.4. Jumlah dan Susunan Penduduk

Dokumen yang terkait

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

4 50 123

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 9

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 0 2

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 34

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 1 18

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 5

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 21

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN 2.1 Gambaran Umum Desa Padang Halaban 2.1.1 Letak Lokasi dan Batas-batas Wilayah - Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Ha

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 36

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 12