PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GUIDED DISCOVERY TERHADAP SIKAP ILMIAH SISWA KELAS V PADA MATA PELAJARAN IPA DI SDN TRIWIDADI.

(1)

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GUIDED DISCOVERY TERHADAP SIKAP ILMIAH SISWA KELAS V

PADA MATA PELAJARAN IPA DI SDN TRIWIDADI

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh: Restu Waras Toto NIM 13108241031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


(2)

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GUIDED DISCOVERY TERHADAP SIKAP ILMIAH SISWA KELAS V

PADA MATA PELAJARAN IPA DI SDN TRIWIDADI

Oleh:

Restu Waras Toto NIM 13108241031

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran guided discovery terhadap sikap ilmiah siswa kelas V pada mata pelajaran IPA di SDN Triwidadi.

Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan bentuk nonequivalent control group design. Populasi subjek penelitian ini adalah 34 siswa kelas V tahun ajaran 2016/2017 yang terbagi ke dalam dua kelas. Kelas V A sebagai kelompok kontrol dan kelas V B sebagai kelompok eksperimen dengan jumlah masing-masing siswa setiap kelas adalah 17 siswa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket dan observasi. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan rata-rata skor sikap ilmiah awal dan akhir kedua kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran guided discovery terhadap sikap ilmiah siswa kelas V pada mata pelajaran IPA di SDN Triwidadi. Rata-rata perolehan skor hasil angket sikap ilmiah awal siswa kelompok kontrol dan eksperimen secara berturut-turut adalah 64,29 (kategori B) dan 64,47 (kategori B), sedangkan rata-rata perolehan skor hasil angket sikap ilmiah akhir siswa kelompok kontrol dan eksperimen secara berturut-turut adalah 64,12 (kategori B) dan 72,74 (kategori A). Rata-rata perolehan skor hasil observasi sikap ilmiah awal siswa kelompok kontrol dan eksperimen secara berturut-turut adalah 57,65 (kategori B) dan 56,35 (kategori B), sedangkan rata-rata perolehan skor hasil observasi sikap ilmiah akhir siswa kelompok kontrol dan eksperimen secara berturut-turut adalah 60,03 (kategori B) dan 72,65 (kategori A).


(3)

THE EFFECT OF GUIDED DISCOVERY LEARNING MODEL APPLICATION TOWARDS THE FIFTH GRADERS’

SCIENTIFIC ATTITUDES ON SCIENCE IN SDN TRIWIDADI

By:

Restu Waras Toto NIM 13108241031

ABSTRACT

This research aims to find out about how the application of guided discovery learning model affects the fifth graders‟ scientific attitudes on science in SDN Triwidadi.

This research was a quasi-experimental research in a form of nonequivalent control group design. The population of this research subjects were 34 fifth graders in the academic year of 2016/2017 divided into two classes. Class V A as the control group and class V B as the experimental group each with the same number of 17 students. The data was collected through questionnaire and observation. The data analysis was done by comparing the mean of the initial and final scientific attitudes scores of both groups.

The results of the research show the effect of guided discovery learning model application towards the fifth graders‟ scientific attitudes on science in SDN Triwidadi. The average scores acquired using questionnaire on the students‟ initial scientific attitudes of the control and experimental group are 64.29 (B category) and 64.47 (B category) respectively, whereas the average scores acquired using questionnaire on the students‟ final scientific attitudes of the control and experimental group are 64.12 (B category) and 72.74 (A category) respectively. The average scores acquired using observation on the students‟ initial scientific attitudes of the control and experimental group are 57.65 (B category) and 56.35 (B category) respectively, whereas the average scores acquired using observation on the students‟ final scientific attitudes of the control and experimental group are 60.03 (B category) and 72.65 (A category) respectively.


(4)

(5)

(6)

(7)

HALAMAN MOTTO

“The future belongs to those who prepare for it today.” (Malcolm X)


(8)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk :

1. Ibu, Bapak, Mbak Heni, Mas Suryo, Dek Nia, dan segenap keluarga besar yang tidak henti-hentinya memberikan doa dan motivasi dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini.

2. Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Nusa, Bangsa, Agama, dan Ilmu Pengetahuan.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery terhadap Sikap Ilmiah Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran IPA di SDN Triwidadi” dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Ikhlasul Ardi Nugroho, M.Pd selaku Dosen Pembimbing TAS yang telah banyak memberikan semangat, dorongan, dan bimbingan selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

2. Bapak Ikhlasul Ardi Nugroho, M.Pd selaku Validator instrumen penelitian TAS yang memberikan saran/masukan perbaikan sehingga penelitian TAS dapat terlaksana sesuai dengan tujuan.

3. Bapak Ikhlasul Ardi Nugroho, M.Pd, Ibu Rahayu Condro Murti, M.Si, dan Ibu Dr. Insih Wilujeng, M.Pd selaku Ketua Penguji, Sekretaris, dan Penguji yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif terhadap TAS ini.

4. Bapak Drs. Suparlan, M.Pd.I selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar beserta dosen dan staf yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya TAS ini.

5. Bapak Dr. Haryanto, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang memberikan persetujuan pelaksanaan Tugas Akhir Skripsi.

6. Bapak Drs. Agus Slamet Riyadi selaku Kepala SDN Triwidadi yang telah memberi izin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian Tugas Akhir Skripsi ini.

7. Para guru dan staf SDN Triwidadi yang telah memberi bantuan dalam memperlancar pengambilan data selama proses penelitian Tugas Akhir Skripsi ini.


(10)

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

SURAT PERNYATAAN... iv

LEMBAR PERSETUJUAN... v

LEMBAR PENGESAHAN ... vi

HALAMAN MOTTO. ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN. ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 4

C.Pembatasan Masalah ... 5

D.Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian... 6

F. Manfaat Penelitian... 6

BAB II. KAJIAN TEORI A.Tinjauan tentang Pembelajaran IPA ... 9

1. Hakikat IPA ... 9

2. Komponen-Komponen IPA ... 11

3. Pembelajaran IPA di SD ... 16

4. Tujuan Pembelajaran IPA di SD ... 20

B.Tinjauan tentang Karakteristik Siswa SD ... 22

C.Tinjauan tentang Sikap Ilmiah ... 26

1. Hakikat Sikap Ilmiah ... 26

2. Sikap Ilmiah Siswa SD ... 29

3. Pengembangan Sikap Ilmiah ... 31

4. Pengukuran Sikap Ilmiah ... 33

D.Tinjauan tentang Model Pembelajaran Guided Discovery ... 36

1. Hakikat Model Pembelajaran Guided Discovery ... 36

2. Landasan Pemikiran Model Pembelajaran Guided Discovery . 39 3. Prinsip Dasar Model Pembelajaran Guided Discovery ... 44


(12)

5. Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery dalam

Mata Pelajaran IPA Materi Pesawat Sederhana ... 57

E. Kajian Penelitian yang Relevan ... 59

F. Kerangka Berpikir ... 60

G.Hipotesis Penelitian ... 62

BAB III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Penelitian ... 63

B.Desain Penelitian ... 63

C.Tempat dan Waktu Penelitian ... 66

D.Populasi Penelitian ... 66

E. Definisi Operasional Variabel ... 67

F. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 68

G.Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 76

H.Teknik Analisis Data ... 80

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 83

B.Deskripsi Hasil Penelitian ... 84

1. Data Hasil Observasi Aktivitas Guru dan Siswa... 84

a. Data Hasil Observasi Aktivitas Guru dan Siswa Kelompok Kontrol ... 84

b. Data Hasil Observasi Aktivitas Guru dan Siswa Kelompok Eksperimen ... 93

2. Data Hasil Angket dan Observasi Sikap Ilmiah Siswa ... 102

a. Data Hasil Angket Sikap Ilmiah Siswa Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 103

b. Data Hasil Observasi Sikap Ilmiah Siswa Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 107

C.Hasil Uji Hipotesis ... 112

D.Pembahasan ... 114

E. Keterbatasan Penelitian ... 130

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A.Simpulan... 132

B.Implikasi ... 132

C.Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 134


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Sintesis Peneliti terkait Sikap Ilmiah Siswa SD... 31

Tabel 2. Dimensi dan Indikator Sikap Ilmiah ... 34

Tabel 3. Sintaks Model Pembelajaran Guided Discovery Menurut Jamil Suprihatiningrum (2012) ... 49

Tabel 4. Sintaks Model Pembelajaran Guided Discovery Menurut Syah ... 53

Tabel 5. Populasi Siswa Kelas V SDN Triwidadi Tahun Ajaran 2016/2017 .. 67

Tabel 6. Kisi-Kisi Lembar Angket Sikap Ilmiah Sebelum Uji Coba ... 70

Tabel 7. Kisi-Kisi Lembar Angket Sikap Ilmiah Setelah Uji Coba ... 71

Tabel 8. Kisi-Kisi Awal Lembar Observasi Sikap Ilmiah ... 73

Tabel 9. Kisi-Kisi Akhir Lembar Observasi Sikap Ilmiah ... 74

Tabel 10. Kisi-Kisi Lembar Observasi Aktivitas Siswa ... 75

Tabel 11. Kisi-Kisi Lembar Observasi Aktivitas Guru ... 76

Tabel 12. Hasil Uji Validitas Instrumen Angket ... 78

Tabel 13. Interpretasi Nilai r ... 79

Tabel 14. Pengkategorian Rata-Rata Perolehan Skor Hasil Angket dan Observasi Sikap Ilmiah Siswa ... 81

Tabel 15. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok Kontrol Pertemuan Pertama ... 85

Tabel 16. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok Kontrol Pertemuan Pertama ... 86

Tabel 17. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok Kontrol Pertemuan Kedua ... 88

Tabel 18. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok Kontrol Pertemuan Kedua ... 89

Tabel 19. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok Kontrol Pertemuan Ketiga ... 91

Tabel 20. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok Kontrol Pertemuan Ketiga ... 92

Tabel 21. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok Eksperimen Pertemuan Pertama ... 94

Tabel 22. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok Eksperimen Pertemuan Pertama ... 95

Tabel 23. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok Eksperimen Pertemuan Kedua ... 97

Tabel 24. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok Eksperimen Pertemuan Kedua ... 98

Tabel 25. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok Eksperimen Pertemuan Ketiga ... 100

Tabel 26. Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok Eksperimen Pertemuan Ketiga ... 101

Tabel 27. Rekapitulasi Perolehan Skor Angket Sikap Ilmiah Kelompok Kontrol. ... 104


(14)

Tabel 28. Rekapitulasi Perolehan Skor Angket Sikap Ilmiah Kelompok

Eksperimen. ... 105 Tabel 29. Rekapitulasi Perolehan Skor Observasi Sikap Ilmiah Kelompok

Kontrol. ... 108 Tabel 30. Rekapitulasi Perolehan Skor Observasi Sikap Ilmiah Kelompok

Eksperimen ... 109 Tabel 31. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian Sikap Ilmiah Kelompok Kontrol


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Siklus Model Pembelajaran Guided Discovery menurut Carin &

Sund (1989) ... 54 Gambar 2. Bagan Kerangka Pikir Penelitian ... 61 Gambar 3. Skema Nonequivalent Control Group Design ... 64 Gambar 4. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok

Kontrol Pertemuan Pertama ... 85 Gambar 5. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok

Kontrol Pertemuan Pertama ... 87 Gambar 6. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok

Kontrol Pertemuan Kedua ... 88 Gambar 7. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok

Kontrol Pertemuan Kedua ... 90 Gambar 8. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok

Kontrol Pertemuan Ketiga ... 91 Gambar 9. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok

Kontrol Pertemuan Ketiga ... 93 Gambar 10. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok

Eksperimen Pertemuan Pertama ... 94 Gambar 11. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok

Eksperimen Pertemuan Pertama ... 96 Gambar 12. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok

Eksperimen Pertemuan Kedua ... 97 Gambar 13. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok

Eksperimen Pertemuan Kedua ... 99 Gambar 14. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Guru Kelompok

Eksperimen Pertemuan Ketiga ... 100 Gambar 15. Diagram Perolehan Skor Observasi Aktivitas Siswa Kelompok

Eksperimen Pertemuan Ketiga ... 102 Gambar 16. Diagram Kategori Skor Hasil Pengukuran Sikap Ilmiah Awal

melalui Angket pada Kelompok Kontrol dan Kelompok

Eksperimen ... 106 Gambar 17. Diagram Kategori Skor Hasil Pengukuran Sikap Ilmiah Akhir

melalui Angket pada Kelompok Kontrol dan Kelompok

Eksperimen ... 107 Gambar 18. Diagram Kategori Skor Hasil Pengukuran Sikap Ilmiah Awal

melalui Observasi pada Kelompok Kontrol dan Kelompok

Eksperimen ... 110 Gambar 19. Diagram Kategori Skor Hasil Pengukuran Sikap Ilmiah Akhir

melalui Observasi pada Kelompok Kontrol dan Kelompok


(16)

Gambar 20. Diagram Rata-Rata Perolehan Skor Hasil Pengukuran Sikap Ilmiah Awal melalui Angket pada Kelompok Kontrol maupun Kelompok Eksperimen ... 117 Gambar 21. Diagram Rata-Rata Perolehan Skor Hasil Pengukuran Sikap

Ilmiah Awal melalui Observasi pada Kelompok Kontrol maupun Kelompok Eksperimen ... 118 Gambar 22. Diagram Rata-Rata Perolehan Skor Hasil Pengukuran Sikap

Ilmiah Akhir melalui Angket pada Kelompok Kontrol maupun Kelompok Eksperimen ... 123 Gambar 23. Diagram Rata-Rata Perolehan Skor Hasil Pengukuran Sikap

Ilmiah Akhir melalui Observasi pada Kelompok Kontrol maupun Kelompok Eksperimen ... 123


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Kontrol... 139

Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Eksperimen.155 Lampiran 3. Pedoman Langkah Percobaan. ... 183

Lampiran 4. Lembar Kerja. ... 187

Lampiran 5. Materi Ajar. ... 199

Lampiran 6. Lembar Angket Sikap Ilmiah Sebelum Uji Coba. ... 203

Lampiran 7. Lembar Angket Sikap Ilmiah Setelah Uji Coba. ... 206

Lampiran 8. Pedoman Observasi Sikap Ilmiah Awal. ... 208

Lampiran 9. Pedoman Observasi Sikap Ilmiah Akhir. ... 214

Lampiran 10. Lembar Observasi Sikap Ilmiah Awal... 219

Lampiran 11. Lembar Observasi Sikap Ilmiah Akhir. ... 222

Lampiran 12. Data Hasil Uji Coba Angket. ... 224

Lampiran 13. Hasil Uji Validitas Instrumen Angket. ... 226

Lampiran 14. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Angket. ... 228

Lampiran 15. Data Hasil Observasi Aktivitas Guru Kelompok Kontrol. .. 229

Lampiran 16. Data Hasil Observasi Aktivitas Siswa Kelompok Kontrol. . 232

Lampiran 17. Data Hasil Observasi Aktivitas Guru Kelompok Eksperimen. ... 235

Lampiran 18. Data Hasil Observasi Aktivitas Siswa Kelompok Eksperimen. ... 238

Lampiran 19. Data Hasil Perolehan Skor Angket Sikap Ilmiah Awal Siswa Kelompok Kontrol (Pertemuan Pertama). ... 241

Lampiran 20. Data Hasil Perolehan Skor Angket Sikap Ilmiah Akhir Siswa Kelompok Kontrol (Pertemuan Kedua). ... 242

Lampiran 21. Data Hasil Perolehan Skor Angket Sikap Ilmiah Akhir Siswa Kelompok Kontrol (Pertemuan Ketiga). ... 243

Lampiran 22. Data Hasil Perolehan Skor Observasi Sikap Ilmiah Awal Kelompok Kontrol (Pertemuan Pertama). ... 244

Lampiran 23. Data Hasil Perolehan Skor Observasi Sikap Ilmiah Akhir Kelompok Kontrol (Pertemuan Kedua). ... 245

Lampiran 24. Data Hasil Perolehan Skor Observasi Sikap Ilmiah Akhir Kelompok Kontrol (Pertemuan Ketiga). ... 246

Lampiran 25. Data Hasil Perolehan Skor Angket Sikap Ilmiah Awal Kelompok Eksperimen (Pertemuan Pertama). ... 247

Lampiran 26. Data Hasil Perolehan Skor Angket Sikap Ilmiah Akhir Kelompok Eksperimen (Pertemuan Kedua). ... 248

Lampiran 27. Data Hasil Perolehan Skor Angket Sikap Ilmiah Akhir Kelompok Eksperimen (Pertemuan Ketiga) ... 249

Lampiran 28. Data Hasil Perolehan Skor Observasi Sikap Ilmiah Awal Kelompok Eksperimen (Pertemuan Pertama). ... 250

Lampiran 29. Data Hasil Perolehan Skor Observasi Sikap Ilmiah Akhir Kelompok Eksperimen (Pertemuan Kedua) ... 251


(18)

Lampiran 30. Data Hasil Perolehan Skor Observasi Sikap Ilmiah Akhir

Kelompok Eksperimen (Pertemuan Ketiga). ... 252

Lampiran 31. Contoh Pengerjaan Lembar Kerja oleh Siswa. ... 253

Lampiran 32. Contoh Pengerjaan Angket Sikap Ilmiah oleh Siswa. ... 257

Lampiran 33. Contoh Pengerjaan Soal Latihan oleh Siswa. ... 263

Lampiran 34. Daftar Siswa Kelas V SDN Triwidadi Tahun Ajaran 2016/2017 ... 265

Lampiran 35. Foto-Foto Dokumentasi Penelitian. ... 267


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses pembelajaran adalah mata rantai dari proses penyelenggaraan pendidikan. Tingkat keberhasilan dari satuan pendidikan dalam menyongsong tercapainya tujuan pendidikan tak lepas dari proses belajar mengajar. Siswa mempelajari sejumlah mata pelajaran untuk mengakomodasi usaha untuk mengembangkan kompetensi mereka pada ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dimanifestasikan sebagai suatu pokok bahasan terstruktur berdasarkan bidang kajian tertentu.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains adalah salah satu mata pelajaran utama di Sekolah Dasar (SD). Objek kajian dari mata pelajaran IPA meliputi seluruh benda hidup dan tak hidup yang ada di jagat raya. Dalam pembelajaran IPA yang ideal, siswa tidak sebatas menjalani aktivitas kognitif saja. Idealisme dalam pembelajaran IPA ini sejalan dengan pendapat Bundu (2006: 11) bahwa IPA memiliki tiga komponen, yaitu (1) proses ilmiah, misalnya mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang dan melaksanakan eksperimen, (2) produk ilmiah, misalnya prinsip, hukum, dan teori, serta (3) sikap ilmiah, misalnya sikap ingin tahu, hati-hati, jujur, dan objektif. Siswa harus dibekali dengan pengalaman belajar yang berisi aktivitas penyelidikan untuk menghimpun pengetahuan baru, yang disebut dengan proses IPA. Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam proses IPA hingga terhimpunnya kesimpulan berupa pengetahuan-pengetahuan baru harus mengabaikan asumsi-asumsi subjektif dari


(20)

individu maupun kelompok. Oleh karena itu, siswa harus mampu menunjukkan sikap-sikap yang mengedepankan empirisme dan objektivitas dalam menjalani proses IPA, yaitu sikap ilmiah (scientific attitudes).

Sikap ilmiah penting untuk dikembangkan karena cara berpikir, sikap ilmiah, dan minat juga diperoleh dan dikembangkan selama belajar di sekolah, dan aspek-aspek ini yang justru akan menetap dalam diri siswa (Bundu, 2006: 39). Sikap ilmiah tetap efektif dan dapat teramati jauh sesudah berbagai mata pelajaran telah disampaikan atau bahkan ketika substansi kognitif dari pembelajaran sudah dilupakan siswa.

Pembelajaran yang berbasis pada penyelidikan dan penemuan mendorong siswa agar proaktif mencari penjelasan atas suatu fenomena, bukan sekedar menerima pengetahuan baru dengan menyimak penjelasan guru atau membaca literatur. Melalui aktivitas penyelidikan menuju pada suatu penemuan, siswa mengalami proses bagaimana pengetahuan baru dapat terhimpun. Sikap ilmiah siswa lebih optimal jika model pembelajaran yang diterapkan mampu mengakomodasi proses penyelidikan dan penemuan.

Pemilihan model pembelajaran adalah salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan sejak rencana pembelajaran disusun. Terdapat banyak model pembelajaran yang dapat diterapkan. Setiap model pembelajaran memiliki hakikat, landasan filosofis, prinsip, dan sintaks yang berbeda. Guru sebagai pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran harus bijaksana dalam menerapkan model pembelajaran. Sesuai dengan urgensi


(21)

terhadap tujuan pengembangan sikap ilmiah siswa, model pembelajaran yang diterapkan harus berpengaruh positif terhadap sikap ilmiah siswa.

Model pembelajaran penemuan terbimbing atau guided discovery merupakan salah satu model pembelajaran. Model pembelajaran guided discovery adalah suatu model pembelajaran di mana siswa menemukan konsep-konsep atau hubungan-hubungan secara mandiri tetapi bimbingan guru masih diberikan agar aktivitas lebih terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan. Guru memberikan petunjuk, anjuran, dan atau pertanyaan agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti alur pembelajaran. Model pembelajaran guided discovery dilandasi oleh paham konstruktivisme bahwa dalam belajar, siswa secara aktif terlihat, orientasi induktif lebih ditekankan daripada deduktif, kemudian siswa menemukan atau mengonstruksi pengetahuan mereka sendiri.

Siswa kelas tinggi juga cenderung menunjukkan minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret (Yusuf, 2004: 24). Dengan demikian, paham konstruktivisme memiliki ketersinambungan dengan tuntutan pembelajaran IPA agar sesuai dengan tingkat perkembangan siswa SD kelas tinggi – bahwa dalam membangun pengetahuannya sendiri, siswa harus dilibatkan pada aktivitas langsung pada objek konkret yang dikaji.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap guru kelas VA dan V B SDN Triwidadi, diperoleh informasi bahwa model pembelajaran guided discovery belum pernah diterapkan. Pembelajaran dengan metode ceramah masih dominan diterapkan untuk materi-materi pada mata pelajaran IPA yang sebenarnya dapat melibatkan siswa untuk melakukan aktivitas langsung kemudian


(22)

diarahkan agar siswa dapat menemukan dan membangun pengetahuan baru. Selain itu, penggunaan buku paket dan buku latihan soal menjadi acuan utama dalam pembelajaran IPA. Akibatnya, sikap ilmiah siswa belum muncul secara optimal saat pembelajaran IPA di kelas V A dan V B SDN Triwidadi.

Fakta-fakta terkait pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas VA dan V B SDN Triwidadi SDN Triwidadi menunjukkan bahwa model pembelajaran guided discovery merupakan model pembelajaran nonkonvensional pada lingkup kedua kelas tersebut. Dengan demikian, pengaruh penerapan model pembelajaran guided discovery terhadap sikap ilmiah siswa belum pernah digali dan diketahui di SDN Triwidadi. Oleh karena itu, perlu diadakan pembuktian secara empiris melalui penelitian.

Berdasarkan idealisme pembelajaran IPA, pentingnya sikap ilmiah, hasil observasi dan wawancara, serta belum diketahuinya pengaruh penerapan model pembelajaran guided discovery terhadap sikap ilmiah siswa kelas V pada mata pelajaran IPA di SDN Triwidadi, maka peneliti melakukan penelitian ini. Peneliti melakukan penelitian dengan judul penelitian, yaitu “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery Terhadap Sikap Ilmiah Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran IPA di SDN Triwidadi”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, berikut ini adalah beberapa permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian ini.


(23)

1. Pembelajaran dengan metode ceramah dan berpusat pada buku paket masih diterapkan pada materi-materi pada pembelajaran IPA di SDN Triwidadi yang sebenarnya dapat melibatkan siswa untuk melakukan aktivitas langsung kemudian dibimbing agar siswa dapat menemukan dan membangun pengetahuan baru.

2. Belum diketahuinya pengaruh penerapan model pembelajaran guided discovery terhadap sikap ilmiah siswa kelas V pada mata pelajaran IPA di SDN Triwidadi.

C. Pembatasan Masalah

Berdasaran identifikasi masalah, peneliti membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu belum diketahuinya pengaruh penerapan model pembelajaran guided discovery terhadap sikap ilmiah siswa kelas V pada mata pelajaran IPA di SDN Triwidadi.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah penelitian ini, yaitu “apakah model pembelajaran guided discovery berpengaruh terhadap sikap ilmiah siswa kelas V SDN Triwidadi pada mata pelajaran IPA?”.


(24)

E. Tujuan Penelitan

Berdasarkan uraian pembatasan masalah, tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh model pembelajaran guided discovery terhadap sikap ilmiah siswa kelas V pada mata pelajaran IPA di SDN Triwidadi.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis bagi peneliti, siswa, serta guru.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat teoretis sebagai berikut.

a. Mengembangkan pembelajaran yang bermakna.

b. Memberikan informasi bahwa ada model pembelajaran pembelajaran nonkonvensional yang dapat diterapkan dalam pembelajaran IPA, yaitu model pembelajaran guided discovery.

c. Memberikan informasi terkait penggunaan model pembelajaran guided discovery dalam pembelajaran IPA di SDN Triwidadi.

d. Memberikan informasi terkait pengukuran sikap ilmiah dalam pembelajaran IPA.

e. Memberikan informasi terkait pengaruh penerapan model pembelajaran guided discovery terhadap sikap ilmiah siswa kelas V dalam mata pelajaran IPA di SDN Triwidadi.


(25)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat praktis kepada peneliti, siswa, dan guru.

a. Bagi Peneliti

Bagi peneliti, manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian.

2) Hasil penelitian diharapan memberikan sumbangan pemikiran maupun masukkan bagi peneliti lain.

b. Bagi Siswa

Bagi siswa, manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Menyadarkan siswa terhadap haknya untuk mendapatkan pembelajaran IPA yang dapat mengakomodasi pengembangan sikap ilmiahnya.

2) Membantu siswa dalam mengembangkan sikap ilmiahnya sebagai bekal kecakapan siswa dalam kehidupan nyata.

3) Melatih kemampuan siswa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah.

c. Bagi Guru

Bagi guru, manfaat praktis yang diharapkan dari terlaksananya penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Memotivasi guru agar menggunakan model pembelajaran yang mampu mengakomodasi pemunculan sikap ilmiah siswa dalam mata pelajaran IPA.


(26)

2) Memberikan pengetahuan guru terkait penerapan model pembelajaran guided discovery dalam pembelajaran IPA.

3) Memberikan pengetahuan terkait pengukuran sikap ilmiah siswa pada pembelajaran IPA di SD.


(27)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan tentang Pembelajaran IPA 1. Hakikat IPA

Sains atau IPA berasal dari akar frasa dalam bahasa Inggris, yaitu natural science. Bundu (2006: 9) mengungkapkan bahwa natural artinya alamiah dan berhubungan dengan alam, sedangkan science artinya ilmu pengetahuan, sehingga IPA atau sains secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan tentang alam atau yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Samatowa (2010: 3) yang menjelaskan bahwa IPA merupakan ilmu pengetahuan yang membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis dengan didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia.

Jika ditinjau dari fisiknya, IPA adalah suatu ilmu pengetahuan yang objek telaahnya adalah alam dengan segala isinya, meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan, termasuk juga bumi (Daryanto, 2014: 160). Abruscato & Derosa (2010: 11) mengungkapkan pendapat serupa bahwa “science seeks explanation of the natural world”. IPA berusaha untuk menggali atau menghimpun penjelasan logis dan empiris yang melatarbelakangi terjadinya fenomena alam yang menjadi objek kajian. Selain itu, Wonorahardjo (2011: 12) menjelaskan bahwa IPA atau sains adalah sekumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui metode tertentu di mana proses penyelidikan ilmiah yang dilaksanakan telah diuji kebenarannya secara bersama-sama oleh beberapa ahli sains dan pemirsanya. Oleh karena itu,


(28)

IPA sangat menjunjung tinggi empirisme dalam memahami suatu gejala alam. Empirisme dalam IPA didukung oleh Chalmers (2013: 1) yang mengungkapkan bahwa, “science is to be based on what we can see, hear, and touch rather than on personal opinions or speculative imagings”. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak dapat diindera oleh manusia bukanlah objek kajian sains. IPA sama sekali tidak didasarkan pada opini-opini pribadi atau gambaran spekulatif.

Kober (1993: 13) mengemukakan pendapat yang berbeda bahwa, “…science is more than a body of knowledge; it is a way of looking at the world and ordering one's experience”. IPA bukanlah sekedar sekumpulan pengetahuan. Namun, IPA juga merupakan cara pandang seseorang terhadap fenomena yang terjadi di dunia untuk mengolah pengalaman seseorang dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi suatu pengetahuan yang dipahami. Kober (1993: 13) juga mengemukakan bahwa, “the study of science presents an incomparable opportunity to open young minds to new vistas and to equip them with intellectual tools that will guide learners for the rest of their lives. Dengan mempelajari IPA memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk membuka pemikiran terhadap pandangan-pandangan baru dan memberikan bekal intelektual kepada pembelajar sebagai petunjuk sepanjang sisa kehidupannya.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam secara empiris, rasional, dan objektif. Penjelasan logis, empiris, dan rasional atas gejala-gejala alam tersebut dihimpun melalui proses pengamatan dan penyelidikan yang dilaksanakan secara sistematis dan objektif. IPA sama sekali


(29)

tidak didasarkan pada opini-opini pribadi atau gambaran spekulatif manusia. IPA bukan sekedar kumpulan pengetahuan akan gejala alam tetapi juga tentang proses mencari tahu hingga pengetahuan baru dapat terhimpun. IPA menjadi bekal bagi seseorang untuk menjalani kehidupan sepanjang hayatnya.

2. Komponen-Komponen IPA

Abruscato & Derosa (2010: 11) menjelaskan bahwa IPA tediri dari dua komponen, yaitu “a systematic quest for explanations” dan “the dynamic body of knowledge generated through quest for explanations”. Proses mencari penjelasan logis dan empiris melalui metode ilmiah dijalankan secara sistematis. Dengan demikian, IPA merupakan serangkaian proses yang diwujudkan dalam metode ilmiah yang digunakan untuk menghimpun kebenaran dan memahami alam semesta dengan segala isinya. Produk IPA tidaklah muncul secara instan melainkan melalui dihasilkan dari penyelidikan (proses IPA) yang dilaksanakan secara empiris, sistematis, dan terstruktur melalui metode-metode ilmiah, bukan berdasarkan atas asumsi-asumsi pribadi maupun kelompok yang tentunya dipengaruhi subjektivitas.

Hungerford, Vold & Ramsey, 1990 (Fatonah & Prasetyo, 2014: 7) mengungkapkan bahwa IPA meliputi beberapa komponen, yaitu proses memperoleh informasi melalui metode empiris, informasi yang diperoleh melalui penyelidikan yang telah ditata secara logis dan sistematis, dan suatu kombinasi proses berpikir kritis sebagai sikap yang menghasilkan informasi yang dapat dipercaya dan valid. Hungerford, Vold & Ramsey (Fatonah & Prasetyo, 2014: 7) juga menyatakan bahwa IPA mengandung dua elemen utama yaitu proses dan


(30)

produk yang saling mengisi dalam derap kemajuan dan perkembangan IPA. Keberadaan metode empiris yang merupakan ciri khas dari IPA berguna untuk menjamin agar kesimpulan dari penyelidikan tidak bersifat bisa dan terbebas dari asumsi-asumsi subjektif atas kehendak individu maupun kelompok.

Trowbridge & Bybee, 1990 (Fatonah & Prasetyo, 2014: 7) mengemukakan bahwa, “science is manifestation of the extent body of scientific knowledge, the values of science, and the methods and processes of science”. IPA merupakan perwujudan dari tiga komponen, meliputi produk IPA, nilai-nilai IPA, dan metode-metode dan proses-proses IPA. Pandangan ini lebih luas daripada pengertian yang dikemukakan Hungerford, Volk & Ramsey (1990) karena Trowbridge & Bybee (1990) selain memandang IPA sebagai proses dan metode (process and method) serta produk IPA (body of scientific knowledge), tetapi juga melihat bahwa IPA memuat seperangkat nilai. Hal ini diperkuat oleh Bundu (2006: 11) bahwa IPA memiliki tiga komponen, yaitu (a) proses ilmiah, misalnya mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang dan melaksanakan eksperimen, (b) produk ilmiah, misalnya prinsip, hukum, dan teori, serta (c) sikap ilmiah, misalnya sikap ingin tahu, hati-hati, jujur, dan objektif.

Pendapat di atas mengimplikasikan beberapa hal, yaitu (a) IPA merupakan proses mengumpulkan informasi tentang alam sekitar, (b) IPA juga merupakan pengetahuan yang dihimpun melalui proses kegiatan tertentu, dan (c) IPA dicirikan oleh nilai-nilai dan dan sikap-sikap yang dimiliki oleh seseorang yang menggunakan proses IPA untuk menghimpun pengetahuan. Hal ini sejalan dengan


(31)

pendapat Carin & Sund (Samatowa, 2010: 20) bahwa IPA merupakan kesatuan dari tiga komponen yaitu, produk, proses, dan sikap.

a. IPA sebagai produk

Pengetahuan-pengetahuan bersifat teoretis maupun praktis yang dipelajari manusia merupakan produk IPA. Iskandar (Bundu, 2006: 11) mengemukakan bahwa IPA sebagai produk merupakan kumpulan hasil kegiatan empirik dan analitis yang dilakukan para ilmuwan dalam bentuk fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori-teori IPA.

1) Fakta; fakta merupakan kebenaran-kebenaran terhadap objek kajian dan sudah dibuktikan secara objektif dan teruji.

2) Konsep; konsep merupakan hubungan antara fakta-fakta yang saling berkorespondensi.

3) Prinsip; prinsip merupakan generalisasi tentang hubungan konsep-konsep. 4) Hukum; hukum merupakan prinsip-prinsip yang sudah diterima kebenarannya

secara luas bersifat tentantif, tetapi memiliki daya uji yang kuat sehingga dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.

5) Teori; teori merupakan kerangka hubungan yang lebih luas antara fakta, konsep, prinsip, dan hukum, berupa gambaran yang dibuat para ilmuwan untuk menjelaskan gejala alam.

Rezba, Sprague, McDonnough et al (2007: 11) mengungkapkan bahwa “scientific knowledge is never proven, it is tentative but durable”. Pendapat serupa diungkapkan oleh Abruscato & Derosa (2010: 11) bahwa “the scientific body of knowledge is not static”. Walaupun sudah teruji kebenarannya, produk IPA masih


(32)

bersifat tentatif atau dinamis, sehingga produk IPA yang sudah ada dapat direvisi atau bahkan tidak berlaku lagi jika ditemukan suatu hasil penelitian atau temuan baru yang berlawanan dengan produk IPA yang sudah lebih dahulu ada.

b. IPA sebagai proses

Dalam melaksanakan penyelidikan untuk menggali pengetahuan baru berdasarkan fenomena alam yang sedang dikaji. Proses IPA merupakan perwujudan nyata dari metode ilmiah sehingga kegiatan penyelidikan dilaksanakan secara sistematis, empiris, dan terencana. Penguasaan proses IPA adalah perubahan dalam dimensi afektif dan psikomotor dengan mengetahui sejauh mana siswa mengalami kemajuan dalam keterampilan proses IPA.

Keterampilan proses sains terdikotomi menjadi dua kelompok, yaitu keterampilan proses IPA dasar dan keterampilan proses IPA terintegrasi (Rezba, Sprague, McDonnough et al, 2007: 4 – 5). Keterampilan proses IPA dasar kecakapan yang digunakan ketika melaksanakan kegiatan berbasis IPA. Keterampilan proses IPA dasar secara urut, meliputi (a) mengamati, (b) mengomunikasikan, (c) mengklasifikasikan, (d) mengukur secara metris, (e) menginferensi, dan (f) memprediksi. Keterampilan proses IPA terintegrasi bergantung pada keterampilan proses IPA dasar. Keterampilan proses IPA dasar menyediakan dasar bagi keterampilan proses IPA terintegrasi yang lebih kompleks. Keterampilan proses IPA terintegrasi secara urut, meliputi (a) mengidentifikasi variabel, (b) menyusun tabel data, (c) menyusun grafik, (d) menggambarkan hubungan-hubungan antar variabel-variabel, (e) menghimpun dan memproses data, (f) menganalisis penyelidikan, (g) menyusun hipotesis, (h)


(33)

mendefinisikan variabel-variabel secara operasional, (i) merancang eksperimen, serta (j) melaksanakan eksperimen.

c. IPA sebagai sikap

Dawson (Sarkim, 2009: 134) mengelompokkan sikap ke dalam dua kelompok besar yaitu seperangkat sikap yang apabila diikuti akan membantu proses pemecahan masalah dan seperangkat sikap yang menekankan sikap tertentu terhadap IPA sebagai suatu cara memandang dunia serta dapat berguna bagi pengembangan karir di masa mendatang. Sikap yang termasuk pada kelompok pertama, meliputi (1) kesadaran akan perlunya bukti ketika mengemukakan suatu pernyataan, (2) kemauan untuk mempertimbangkan interpretasi atau pandangan lain, (3) kemauan untuk melakukan eksperimen atau percobaan dengan hati-hati, dan (4) menyadari keterbatasan dalam penemuan keilmuan.

Sikap yang termasuk pada kelompok dua, meliputi (1) rasa ingin tahu terhadap dunia fisik dan biologis serta cara kerjanya, (2) pengakuan bahwa IPA dapat membantu pemecahan masalah individu dan global, (3) memiliki rasa antusiasme untuk menguasai pengetahuan dengan metode ilmiah, (4) pengakuan pentingnya pemahaman keilmuan, (5) pengakuan bahwa IPA merupakan aktivitas manusia, dan (6) pemahaman hubungan antara IPA dengan bentuk aktivitas manusia yang lain. Sikap-sikap tersebut sangat jelas berhubungan dengan IPA dan potensial untuk dikembangkan dalam pembelajaran IPA.

Nilai-nilai yang menjadi ciri khas IPA, yaitu (1) kebenaran atau truth, (2) kebebasan atau freedom, (3) keragu-raguan atau skepticism, (4) urutan atau order, (5) keaslian atau originality, dan (6) komunikasi atau communication (Abruscato


(34)

& Derosa, 2010: 14). Nilai-nilai tersebut harus dimunculkan dalam setiap kegiatan dalam menggali dan menyimpulkan penjelasan atas fenomena-fenomena yang terjadi di alam. Wujud konkret dari tertanamnya nilai-nilai tersebut tercermin dari sikap ilmiah yang ditunjukkan oleh individu sebagai pelaku IPA.

Berdasarkan pendapat para pakar yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen IPA, meliputi produk-produk IPA, proses IPA, dan sikap IPA atau sikap ilmiah. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan satu sama lain. Gejala-gejala alam yang menjadi objek IPA diselidiki dengan melaksanakan proses IPA dengan menerapkan keterampilan proses dan menjunjung sikap ilmiah sehingga terhimpun pengetahuan-pengetahuan baru sebagai produk IPA yang yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 3. Pembelajaran IPA di SD

Pembelajaran IPA sebagai disiplin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat membuat pendidikan IPA penting, tetapi penyajian pembelajaran IPA perlu disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa, prinsip ini berlaku dalam pembelajaran IPA di jenjang SD (Samatowa, 2010: 5). Prinsip ini menjadi pertimbangan karena struktur pemikiran siswa SD tidak dapat disamakan dengan struktur pemikiran ilmuwan atau orang dewasa.

Empat dimensi umum yang harus hadir dalam pembelajaran IPA, meliputi IPA sebagai cara berpikir (science as a way of thinking), IPA sebagai cara melakukan penyelidikan (science as a way of investigating), IPA sebagai produk (science as a body of knowledge), dan IPA beserta interaksinya dengan teknologi serta masyarakat (science and its interaction with technology and society)


(35)

(Chiappetta & Koballa, 2010: 105). Siswa harus dilibatkan dalam pembelajaran IPA yang mampu mengakomodasi keempat dimensi tersebut, sehingga dapat diperoleh pengalaman belajar yang utuh.

Bambang Suminto (Fatonah & Prasetyo, 2014: 11) mengemukakan bahwa pengajaran IPA sebagai mata pelajaran di sekolah akan mempunyai dampak yang penting karena hal ini berhubungan erat dengan keberlangsungan umat manusia di dunia, khususnya yang berhubungan dengan pilihan tindakan yang bijak terhadap isu-isu global (pemanasan global, rekayasa genetik, dll) dan tuntutan angkatan kerja dalam lingkungan ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan serta teknologi (knowledge based economy). Oleh karena itu, pembelajaran IPA melatih siswa untuk memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam menangani sumber daya di sekitarnya dengan mempertimbangkan keselarasan antara alam dan keberadaan manusia.

Pembelajaran IPA harus melibatkan siswa untuk mengikuti alur dalam proses IPA hingga menemukan pengetahuan baru terkait fenomena yang ada. Hal ini didukung oleh Kober (1993: 13) yang mengemukakan bahwa, “In the effective science classroom, the activity of finding out is as important as knowing the answer”. Dalam pembelajaran IPA, aktivitas siswa untuk mencari tahu penjelasan atas fenomena melalui penyelidikan sama pentingnya dengan jawaban dari kegiatan penyelidikan sebagai pengetahuan baru.

Samatowa (2010: 10) mengemukakan bahwa terdapat beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan guru dalam memberdayakan siswa dalam pembelajaran IPA di SD, yaitu (a) pentingnya memahami bahwa pada saat


(36)

memulai kegiatan pembelajaran, siswa telah memiliki berbagai konsepsi, pengetahuan yang relevan dengan apa yang akan mereka pelajari, (b) aktivitas anak melalui berbagai kegiatan nyata dengan alam menjadi hal utama dalam pembelajaran IPA, (c) dalam setiap pembelajaran IPA, kegiatan bertanya menjadi bagian yang penting, bahkan menjadi bagian yang paling utama dalam pembelajaran, serta (d) pembelajaran IPA memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam menjelaskan suatu masalah.

Sesuai uraian sebelumnya, siswa telah memiliki konsepsi awal yang berkaitan dengan apa yang akan mereka pelajari. Konsepsi awal tersebut bisa saja mengandung miskonsepsi. Osborne (Fatonah & Prasetyo, 2014: 10) menyarankan beberapa hal yang berkaitan dengan upaya mengubah gagasan awal siswa, yaitu (a) menemukan dan mengidentifikasi pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa tentang suatu fenomena dan atau suatu situasi, hal yang mereka pikirkan, alasannya, serta penjelasannya; (b) menangani pengetahuan awal siswa dengan serius kemudian memberikan siswa kesempatan untuk menguji pengetahuan awal melalui penyelidikan atau pengamatan objek atau situasi tertentu; (c) mengajak siswa berdiskusi tentang temuan yang mereka peroleh; (d) melaksanakan diskusi kelas untuk memperoleh pendapat yang berbeda tentang hal yang sama; (e) memberi kesempatan siswa untuk memperhatikan pendapat yang bebeda dengan pendapatnya sendiri; (f) menawarkan pandangan ilmiah kepada siswa untuk mengupayakan agar mereka dapat menggali sendiri nilai yang terkandung dalam suatu hal; serta (g) memberi siswa tantangan agar mereka menggunakan


(37)

pengetahuannya untuk memecahkan masalah baru atau memperoleh pengalaman baru.

Guru memiliki peran sentral dalam pembelajaran IPA. Peran guru dalam pembelajaran IPA SD secara lengkap telah dikemukakan oleh Abruscato & Derosa (2010: 11) dalam pendapat berikut.

As an elementary school science teacher, you will teach process skills, values, and attitudes associated with seeking scientific explanations as well as the body of knowledge that constitutes current scientific explanations of natural phenomenon.

Produk IPA atau pengetahuan baru hanya sebatas hasil akhir dari rangkaian kegiatan yang dijalani siswa selama pembelajaran IPA. Peran guru SD dalam pembelajaran IPA adalah mengajarkan keterampilan proses IPA, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diasosiasikan dengan pencarian atas penjelasan-penjelasan ilmiah atau produk IPA yang tentang penjelasan-penjelasan ilmiah terkini dari gejala alam.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penyajian pembelajaran IPA di SD perlu disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa. Pembelajaran IPA di SD harus menghadirkan aktivitas langsung siswa untuk menghimpun pengetahuan baru dengan menerapkan keterampilan proses. Aktivitas siswa untuk menghimpun pengetahuan sama pentingnya dengan pengetahuan baru itu sendiri. Dalam menjalankan aktivitas langsung tersebut, sikap ilmiah perlu untuk ditunjukkan agar pengetahuan baru yang diperoleh bersifat empiris, objektif, dan logis. Guru berperan untuk mengajarkan keterampilan proses IPA, nilai-nilai, dan sikap-sikap. Dengan demikian, guru tidak perlu untuk mentransfer pengetahuan baru tersebut melalui pembelajaran


(38)

langsung yang cenderung bersifat klasikal jika pokok bahasan memungkinkan untuk disajikan melalui aktivitas langsung agar siswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih baik dan bermakna.

4. Tujuan Pembelajaran IPA di SD

Tujuan pembelajaran IPA di SD merupakan pencapaian dari segi produk, proses, dan sikap keilmuan (Bundu, 2006: 18). Berikut adalah penjelasannya. a) Dari segi produk, siswa diharapkan dapat memahami konsep-konsep IPA dan

keterkaitannya dalam kehidupan sehari-hari.

b) Dari segi proses, siswa diharapkan memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan, gagasan, serta mengaplikasikan konsep yang diperoleh untuk menjelaskan dan memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari hari.

c) Dari segi sikap dan nilai, siswa diharapkan mempunyai minat untuk mempelajari benda-benda di lingkungannya, bersikap ingin tahu, tekun, kritis, mawas diri, bertanggung jawab, dapat bekerjasama dan mandiri, serta mengenal dan memupuk rasa cinta terhadap alam sekitar, sehingga menyadari keagungan Tuhan Yang Maha Esa.

Yager, 1996 (Fatonah & Prasetyo, 2014: 10) mengemukakan bahwa terdapat lima domain yang harus dikembangkan dalam pembelajaran IPA, yaitu domain konsep, proses, kreativitas, sikap, dan aplikasi. Pendapat ini koheren dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, bahwa terdapat lima kompetensi pembelajaran IPA SD/MI berikut.


(39)

a) Menguasai pengetahuan tentang berbagai jenis dan perangai lingkungan alam dan lingkungan buatan dalam kaitan dengan pemanfaatannya bagi kehidupan sehari-hari;

b) Mengembangkan keterampilan proses sains;

c) Mengembangkan wawasan, sikap, dan nilai-nilai yang berguna bagi siswa untuk meningkatkan kualitas hidup sehari-hari;

d) Mengembangkan kesadaran tentang keterkaitan yang saling mempengaruhi antara kemampuan sains dan teknologi dengan keadaan lingkungan serta pemanfaatannya bagi kehidupan nyata sehari-hari; dan

e) Mengembangkan kemampuan siswa untuk menerapkan iptek serta keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.

Harlen & Qualter (2004: 10) juga mengungkapkan pendapat berikut.

The overall goal of primary science is to help children to make sense of the phenomena and events in the world around, so it is important for the children (and not just the teacher) to see that what is being investigated helps in understanding their everyday experiences.

Dalam kehidupan sehari-hari, siswa menemui berbagai fenomena di alam sekitar. Namun, siswa kadang belum memiliki atau mampu memberikan penjelasan yang masuk akal tentang bagaimana fenomena tersebut dapat terjadi. Keseluruhan tujuan pembelajaran IPA di SD adalah membangkitkan keikutsertaan penuh antara siswa dan guru untuk memahami secara nyata objek yang sedang diselidiki membantu mereka dalam memahami pengalaman-pengalaman sehari-hari.

Aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran IPA adalah upaya agar semua domain yang ada dalam pembelajaran sains yang terdiri atas kognisi, keterampilan proses IPA, aplikasi IPA, sikap IPA, dan pengembangan kreativitas IPA hendaknya dioptimalkan untuk dikembangkan secara simultan (Fatonah & Prasetyo, 2014: 10). Pembelajaran IPA harus memacu siswa agar


(40)

memiliki andil dalam memahami konsep melalui pengalaman langsung, menggali informasi, mengorganisasikan informasi, dan menguji pendapat.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran IPA di SD meliputi, meningkatan kognisi, keterampilan proses, aplikasi IPA, sikap ilmiah, dan pengembangan kreativitas IPA. Objek IPA adalah gejala-gejala alam yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Siswa didorong untuk memahami objek yang sedang dikaji, sehingga membantu mereka dalam memahami pengalaman-pengalaman sehari-hari.

B. Tinjauan tentang Karakteristik Siswa SD

Izzaty, dkk (2013: 110) menjelaskan bahwa emosi kebahagiaan, rasa ingin tahu, suka cita, tidak saja membantu perkembangan anak tetapi merupakan sesuatu yang sangat penting dan dibutuhkan bagi perkembangan anak. Rasa ingin tahu sebagai salah satu sikap ilmiah menjadi modal awal dalam pengembangan sikap ilmiah karena rasa ingin tahu yang tinggi adalah bentuk motivasi siswa untuk mempelajari suatu hal secara lebih jauh. Rasa ingin tahu tak lepas dari aktivitas pengamatan oleh anak. Stern (Ahmadi & Sholeh, 2005: 115) membagi pengamatan anak ke dalam empat masa, meliputi (1) masa mengenal benda (sampai usia 8 tahun), di mana pengamatannya masih bersifat global, tetapi telah dapat membedakan benda tertentu; (2) masa mengenal perbuatan (8-9 tahun), di mana anak telah memperhatikan perbuatan manusia dan hewan; (3) masa mengenal hubungan (9-10 tahun), di mana anak mulai mengenal sifat benda, manusia, dan hewan, hubungan antara waktu, tempat, dan sebab akibat; dan (4)


(41)

masa mengenal sifat (10 tahun ke atas), di mana anak mulai menganalisis pengamatannya, sehingga ia mengenal sifat-sifat benda, manusia, dan hewan.

Sumantri & Sukmadinata (2008: 6.4) mengungkapkan bahwa bagi anak SD, penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih mudah dipahami jika anak melakukan sendiri, sama halnya dengan pemberian contoh pada orang dewasa, sehingga guru hendaknya merancang pembelajaran yang melibatkan anak agar terlibat langsung selama proses belajar mengajar. Keterlibatan anak secara langsung tentu mendukung pengembangan sikap ilmiah. Guru perlu menerapkan model pembelajaran yang sesuai, sehingga siswa dapat memahami makna dari pembelajaran secara utuh.

Sumantri & Sukmadinata (2008: 6.4) mengemukakan bahwa anak usia SD senang bekerja dalam kelompok. Melalui interaksinya dengan teman sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi, yaitu belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak bergantung pada orang dewasa, belajar bekerja sama, mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lingkungannya, belajar tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sportif, serta belajar keadilan dan demokrasi.

Wilayah perkembangan siswa yang berada pada jenjang SD sering disebut sebagai masa intelektual atau masa usia yang sesuai untuk bersekolah. Yusuf (2004: 24) membagi menjadi dua fase, yaitu masa kelas-kelas awal SD dan masa kelas-kelas akhir SD.

1. Masa kelas-kelas awal SD, yaitu usia 6 atau 7 tahun sampai umur 9 atau 10 tahun. Beberapa sifat anak pada masa, yaitu: (a) Adanya hubungan positif


(42)

yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi (apabila jasmaninya sehat maka banyak prestasi yang diperoleh; (b) Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional; (c) Adanya kecenderungan memuji diri sendiri (menyebut nama sendiri); (d) Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak yang lain; (e) Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting; (f) Pada kurun waktu 6 – 8 tahun, anak menghendaki nilai rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang diberi nilai baik atau tidak.

2. Masa kelas-kelas akhir SD, yaitu usia 9 atau 10 sampai 12 atau 13 tahun. Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini, yaitu: (a) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis; (b) Amat realistik, ingin mengetahui, ingin belajar; (c) Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli yang mengikuti teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor (bakat-bakat khusus); (d) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas umur ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya; (e) Pada masa ini, anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat dan sebaik-baiknya untuk mengukur prestasi di sekolah.


(43)

Piaget (Izzaty, dkk, 2013: 104 – 105) mengungkapkan bahwa siswa yang berada pada usia 7 – 12 tahun berada pada tahap operasional konkret di mana konsep yang semula samar-samar dan tidak jelas menjadi lebih konkret, mampu memecahkan masalah-masalah aktual, mampu berpikir logis. Ciri khas siswa SD dibagi menjadi dua masa yaitu masa anak-anak yang berada di kelas rendah, dan masa anak-anak di kelas tinggi (Izzaty, dkk, 2013: 115). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SDN Triwidadi, sehingga subjek tergolong dalam siswa kelas tinggi. Adapun ciri-ciri anak di kelas tinggi, yaitu (1) perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari, (2) ingin tahu, ingin belajar, dan realistis, (3) timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus, (4) anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah, serta (5) anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk bermain bersama, mereka membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya (Izzaty, dkk, 2013: 115).

Pendapat tentang perkembangan siswa kelas tinggi juga diungkapkan oleh Samatowa (2006: 6) bahwa pada masing-masing fase atau masa SD kelas tinggi memiliki karakteristik, yaitu (1) adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin belajar, (3) munculnya minat khusus terhadap hal-hal atau mata pelajaran khusus, (4) pada masa ini anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (5) anak-anak gemar membentuk kelompok sebaya, serta (f) peran manusia idola sangat penting pada masa ini. Karakteristik siswa kelas tinggi juga diuraikan oleh Asy’ari (2006: 42) bahwa ciri-ciri siwa kelas atas yang berada pada kelas 4 sampai dengan 6 berada pada tahap operasional konkret. Karakteristik yang dimiliki siswa SD


(44)

kelas tinggi, yaitu (1) dapat berpikir reversibel atau bolak-balik, (2) dapat mengelompokkan dan menentukan urutan, dan (3) mampu melakukan operasi logis tetapi pengalaman yang dimiliki masih terbatas.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh siswa kelas tinggi antara, yaitu (1) mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, (2) muncul minat khusus pada hal-hal atau mata pelajaran khusus, (3) gemar membentuk kelompok sebaya, (4) membutuhkan benda-benda konkret dalam pembelajaran, (5) rasa egoisnya masih tinggi, (6) berada pada taraf kognitif operasional konkret, (7) dapat mengelompokkan dan menentukan urutan, (8) mampu melakukan operasi logis tetapi pengalaman yang dimiliki masih terbatas, (9) dapat berpikir reversibel, (10) adanya minat terhadap suatu hal, serta (11) anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat dan sebaik-baiknya untuk mengukur prestasi di sekolah. Dengan memperhatikan karakteristik peserta didik dapat memberikan gambaran bagaimana proses pembelajaran yang tepat. Selain itu, pengetahuan ini juga dapat memudahkan guru memilih pendekatan, metode, strategi dalam pembelajaran, dan memberikan rasa nyaman bagi siswa.

C. Tinjauan tentang Sikap Ilmiah 1. Hakikat Sikap Ilmiah

Penanaman sikap ilmiah siswa adalah salah satu fokus dalam pembelajaran IPA. Sikap ilmiah, sikap sains, atau sikap IPA (scientific attitudes) perlu dibedakan dengan sikap terhadap IPA (attitudes towards science). Sikap terhadap IPA sebatas fokus pada sikap suka atau tidak suka siswa terhadap pembelajaran


(45)

sains, misalnya persepsi siswa bahwa IPA merupakan mata pelajaran yang dianggap sukar dipelajari, kurang menarik, membosankan, atau sebaliknya (Bundu, 2006: 13). Sikap positif terhadap pembelajaran IPA tentunya memberikan kontribusi dalam pembentukan sikap ilmiah siswa tetapi masih ada faktor-faktor lain yang turut menyumbangkan kontribusi.

Sikap ilmiah adalah sikap yang dimiliki para ilmuwan dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan baru, misalnya objektif terhadap fakta, hati-hati, bertanggung jawab, keterbukaan, semangat untuk selalu meneliti, dan sebagainya (Bundu, 2006: 13). Pendapat ini diperkuat oleh Hamdani (2011: 108) yang menjelaskan bahwa sikap ilmiah adalah sikap yang harus ditunjukkan oleh ilmuwan dalam upaya mencapai suatu pengetahuan ilmiah sebagai suatu kebenaran bersifat objektif dari suatu permasalahan.

Tini Gantini (Hamdani, 2011: 150) menyebutkan delapan ciri dari sikap ilmiah, yaitu (a) mempunyai rasa ingin tahu yang mendorong untuk meneliti fakta-fakta baru, (b) tidak berat sebelah (adil) dan berpandangan luas terhadap kebenaran, (c) terdapat kesesuaian antara apa yang diobservasi dengan laporannya, (d) keras hati dan rajin mencari kebenaran, (e) mempunyai sifat ragu sehingga terus mendorong upaya pencarian kebenaran atau tidak pesimis, (f) rendah hati dan toleran terhadap hal yang diketahui dan tidak diketahui, (g) kurang mempunyai ketakutan, serta (h) berpikiran terbuka terhadap kebenaran-kebenaran baru.

Sikap ilmiah meliputi beberapa aspek, yaitu (a) rasa ingin tahu atau kuriositas yang tinggi dan kemampuan belajar yang besar, rasa ingin tahu lebih


(46)

lanjut mengenai apa, bagaimana, dan mengapa peristiwa atau gejala tersebut terjadi; (b) tidak dapat menerima kebenaran tanpa bukti, setiap pendapat atau gagasan harus disertai data dan cara data tersebut diperoleh sehingga dapat diverifikasi atau dicek kembali; (c) jujur, hasil pengamatan harus secara objektif; (d) terbuka, mau menerima gagasan baru dan mengujinya sebelum menerima atau menolak gagasan tersebut; (e) toleran, mau menerima gagasan orang lain setelah diuji kebenarannya; (f) skeptis, bersikap hati-hati dan menyelidiki bukti-bukti yang melatarbelakangi suatu kesimpulan; (g) optimis, selalu beranggapan baik akan kebenaran suatu teori; (h) pemberani, berani melawan ketidakbenaran berdasarkan fakta-fakta; serta (i) kreatif dan swadaya, mengembangkan ketidaksempurnaan hasil teori yang telah diperolehnya dalam belajar (Ribkahwati dkk, 2012: 9).

Olasehinde & Olatoye (2014: 446) mengungkapkan bahwa, “to be scientific mean that one has such attitudes as curiosity, rationality, willingness to suspend judgment, open-mindedness, critical mindedness, objectivity, honesty, and humility”. Sikap ilmiah yang harus dimiliki seseorang yaitu rasa ingin tahu, rasionalitas, kesediaan untuk menangguhkan keputusan, berpikir terbuka, berpikir kritis, objektif, kejujuran, dan rendah hati.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap-sikap yang harus ditunjukkan oleh individu sebagai ilmuwan dalam mencapai atau mengembangkan pengetahuan ilmiah dengan senantiasa berlandaskan pada rasa ingin tahu, objektivitas, jujur, pemberani, optimis, rendah hati, skeptis, respek terhadap data, tanggung jawab, keterbukaan, berpikir kritis,


(47)

toleran, menghormati etika, kreatif dan swadaya, serta semangat untuk meneliti. Sikap ilmiah berbeda dengan sikap terhadap IPA yang memiliki kecenderungan terhadap minat terhadap IPA.

2. Sikap Ilmiah Siswa SD

Gega, 1977 (Bundu, 2006: 139) mengemukakan bahwa terdapat empat sikap utama yang harus dikembangkan dalam pembelajaran IPA di SD, meliputi (a) rasa ingin tahu atau curiosity, (b) sikap penemuan yang baru atau inventiveness, (c) pemikiran kritis atau critical thinking, dan (d) tekun atau persistence. Keempat sikap tersebut memiliki hubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sikap ingin tahu (curiosity) mendorong suatu penemuan yang baru (inventiveness) melalui pemikiran kritis (critical thinking), sehingga meneguhkan pendirian (persistence) dan berani untuk memiliki pendapat yang berbeda karena memiliki bukti berupa penjelasan berdasarkan proses IPA dengan menerapkan metode ilmiah.

Menurut de Boo (Loxley, Lyn, Nicholls, et al, 2010: 51), sikap ilmiah yang harus dikembangkan di SD, meliputi (a) perseverance atau sikap tekun, (b) cooperation atau sikap kerja sama, (c) respect for evidence atau sikap respek terhadap bukti, (d) creativity and inventiveness atau sikap kreativitas dan penemuan, (e) open mindedness atau sikap berpikiran terbuka, serta (f) respect for living things atau sikap respek terhadap makhluk hidup. Pendapat lebih lengkap dijabarkan oleh Harlen, 1989 (Fatonah & Prasetyo, 2014: 31 – 33) bahwa sikap ilmiah yang penting dimiliki oleh semua tingkatan pendidikan IPA di SD, yaitu (a) curiosity atau sikap ingin tahu, (b) respect for evidence atau sikap respek


(48)

terhadap data, (c) critical reflection atau sikap refleksi kritis, (d) perseverance atau sikap ketekunan, (e) creativity and inventiveness atau sikap kreatif dan penemuan, (f) open mindedness atau sikap berpikiran terbuka, (g) cooperation with others atau sikap kerja sama dengan siswa lain, (h) willingness to tolerate atau sikap keinginan menerima ketidakpastian, serta (i) sensitivity to environment atau sikap sensitif terhadap lingkungan.

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli yang telah dijelaskan terkait sikap ilmiah siswa SD, penulis melakukan sintesis sebagai tolak ukur dalam pengukuran dan penilaian sikap ilmiah siswa SD dalam penelitian ini. Berikut ini adalah tabel yang memuat rangkuman dari berbagai dimensi sikap ilmiah menurut para ahli dan hasil sintesis yang dilakukan peneliti.


(49)

Tabel 1. Sintesis Peneliti terkait Sikap Ilmiah Siswa SD Harlen (1989) Gega (1977) de Boo

(2006) Sintesis Peneliti Sikap ingin tahu Rasa ingin tahu - Sikap ingin tahu

Sikap refleksi

kritis Pemikiran kritis -

Sikap berpikir kritis Sikap kerja sama

dengan siswa lain - Sikap kerja sama Sikap kerja sama Sikap ketekunan Sikap tekun Sikap tekun Sikap tekun Sikap kreatif dan

penemuan

Sikap penemuan yang baru

Sikap kreativitas dan penemuan

Sikap kreatif dan penemuan Sikap respek

terhadap data -

Sikap respek terhadap bukti Sikap respek terhadap data Sikap keinginan menerima

ketidakpastian - Sikap berpikir

terbuka Sikap berpikiran terbuka Sikap berpikiran terbuka Sikap sensitif terhadap lingkungan - Sikap respek terhadap makhluk hidup Sikap peka terhadap lingkungan Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap ilmiah yang harus dikuasai oleh siswa SD, meliputi sikap ingin tahu, sikap berpikir kritis, sikap kerja sama, sikap tekun, sikap kreatif dan penemuan, sikap respek terhadap data, sikap berpikiran terbuka, serta sikap peka terhadap lingkungan.

3. Pengembangan Sikap Ilmiah

Sikap berkembang dari interaksi antarindividu dengan lingkungan masa lalu dan masa kini (Cassio & Gibson; Bundu, 2006: 138). Melalui proses kognisi dari integrasi dan konsistensi sikap dibentuk menjadi komponen kognisi, emosi, dan kecenderungan bertindak. Setelah sikap terbentuk akan mempengaruhi perubahan lingkungan yang ada dan perubahan-perubahan yang terjadi menuntun pada perubahan sikap yang dimiliki.


(50)

Sikap ilmiah menunjukkan bahwa arah tujuan yang hendak dicapai seseorang yang hendak menumbuhkan sikap ilmiah dirinya dan tidak ada seorang pun dilahirkan dengan memiliki sikap ilmiah (Jasin, 2010: 54). Sikap ilmiah adalah aspek tingkah laku yang tidak dapat diajarkan melalui satuan pembelajaran tertentu, tetapi merupakan tingkah laku (behavior) yang ditangkap melalui contoh-contoh positif yang harus didukung, dipupuk, dan dikembangkan, sehingga dapat dikuasai oleh siswa. Salah satu tujuan pengembangan sikap ilmiah adalah untuk mencegah munculnya sikap negatif dalam diri siswa (Bundu, 2006: 42). Made Slamet Sugiartana, Dewa Nyoman Sudana, dan Ni Wayan Arini, 2012 (Samatowa, 2010: 56) mengemukakan bahwa penanaman sikap ilmiah pada siswa melalui pembelajaran IPA di sekolah dasar secara tidak langsung akan berpengaruh positif terhadap motivasi belajarnya serta meningkatkan kesadaran siswa untuk menjadi pribadi yang berbudi pekerti baik.

Pemikiran tentang pembelajaran sains melalui pengembangan sikap ilmiah merupakan alternatif yang sangat tepat berkenaan dengan kondisi negara saat ini (Samatowa, 2010: 96 – 97). Sikap ilmiah secara langsung berpengaruh pada budi pekerti individu yang bersangkutan karena sikap ilmiah meliputi sifat jujur, terbuka, luwes, tekun, logis, kritis, dan kreatif adalah wajib untuk ditunjukkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sikap-sikap ini adalah cerminan seseorang yang berbudi pekerti luhur. Dengan demikian, sikap ilmiah perlu dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan karakteristik pembelajaran sains di SD.


(51)

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap ilmiah dapat dipupuk, didukung, dan dikembangkan, sehingga siswa dapat menguasai sikap ilmiah. Pembelajaran IPA harus mampu mengakomodasi aktivitas langsung kegiatan belajar untuk mengkaji fenomena-fenomena alam di lingkungan siswa karena sikap berkembang dari interaksi antarindividu dengan lingkungannya. Oleh karena itu, pembelajaran IPA menjadi wahana yang cocok dalam pembentukan dan pengembangan sikap ilmiah.

4. Pengukuran Sikap Ilmiah

Peneliti melakukan sintesis terhadap dimensi dan indikator sikap ilmiah menurut Bundu (2006) dengan hasil sintesis dari dimensi-dimensi sikap ilmiah dari para ahli pada sub-subbab sebelumnya. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan hasil sintesis peneliti terkait pengelompokkan/dimensi sikap ilmiah beserta indikatornya.


(52)

Tabel 2. Dimensi dan Indikator Sikap Ilmiah

No Dimensi Indikator

1. Sikap ingin tahu

Perhatian pada objek yang diamati. Antusias pada proses sains.

Memperhatikan penjelasan guru. 2. Sikap respek terhadap

data/fakta

Mengambil keputusan sesuai fakta. Tidak mencampur fakta dengan pendapat. Objektif/jujur.

3. Sikap berpikir kritis

Menanyakan setiap perubahan/hal baru. Tidak mengabaikan data meskipun kecil. Meragukan temuan teman

Meragukan anggapan/miskonsepsi umum

4. Sikap penemuan dan kreativitas

Menggunakan fakta-fakta untuk dasar kesimpulan.

Menunjukkan laporan berbeda dengan teman kelas.

Menguraikan kesimpulan baru hasil pengamatan. 5. Sikap berpikiran

terbuka

Menghargai pendapat teman/orang lain. Menerima bimbingan guru.

6. Sikap kerja sama Berpartisipasi aktif dalam kelompok Interaksi dengan anggota kelompok

7. Sikap tekun

Konsistensi melakukan kegiatan inkuiri.

Memeriksa langkah-langkah yang telah dilaksanakan.

Mengikuti petunjuk kerja sesuai arahan guru. Memeriksa kelengkapan hasil kerja.

8. Sikap peka terhadap lingkungan sekitar

Perhatian terhadap peristiwa sekitar. Partisipasi terhadap kegiatan sosial.

Seluruh dimensi sikap ilmiah diukur dalam penelitian ini. Bundu (2006: 142 – 149) mengemukakan bahwa sikap ilmiah dapat diukur dengan bentuk penilaian nontes meliputi, pengamatan atau observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi. Berikut ini adalah penjelasan terkait metode-metode pengukuran sikap ilmiah tersebut.

a. Pengamatan (observasi)

Pengamatan adalah cara mengumpulkan data dengan mengadakan pencatatan terhadap objek atau subjek yang menjadi sasaran pengamatan.


(53)

Pengamatan dapat dilaksanakan secara partisipatif maupun nonpartisipatif. Keuntungan penilaian dengan pengamatan adalah data diperoleh secara langsung sehingga lebih objektif menggambarkan keadaan yang sesunggunya dari objek atau subjek yang diamati. Pengolahan hasil juga lebih akurat karena hanya terfokus pada sikap khusus masing-masing siswa. Kelemahan pengamatan adalah cenderung agak sulit dilaksanakan untuk jumlah siswa yang banyak karena memerlukan waktu yang lama dan sikap/perilaku yang diamati mungkin dapat berubah dari waktu ke waktu.

b. Wawancara (interview)

Wawancara adalah teknik pengumpulan data/informasi yang dilaksanakan dengan tanya jawab secara lisan. Terdapat dua jenis wawancara yaitu, wawancara terpimpin dan wawancara tidak terpimpin. Kelebihan yang dimiliki karena guru/penilai atau pewawancara dapat berhubungan langsung dengan siswa/peserta didik sehingga dapat diperoleh hasil yang lengkap dan mendalam. Kelemahan dari wawancara adalah sukar dan membutuhkan waktu yang lama untuk dilaksanakan pada penelitian yang memiliki banyak subjek.

c. Menyebarkan angket (kuesioner)

Angket hampir sama dengan wawanara terstruktur, hanya saja angket tidak perlu saling berhadapan (face to face) antara penilai (guru) dengan yang dinilai (siswa). Meskipun tanpa berhadapan langsung, penggunaan angket lebih praktis, menghemat tenaga, dan waktu. Hanya saja angket perlu disusun sebaik mungkin agar dapat menjaring semua informasi/data yang diperlukan karena pertanyaan dan jawaban tidak dapat diulangi.


(54)

d. Dokumentasi

Secara khusus penilaian sikap ilmiah mungkin agak sulit dengan teknik dokumentasi tetapi rekaman peristiwa tentang sikap tertentu yang dimiliki siswa sering sangat diperlukan pada saat tertentu. Data tersebut dapat direkam pada saat siswa mulai masuk sekolah dan ditambah serta diperbarui pada setiap ada perubahan data siswa.

Pengukuran sikap ilmiah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah angket dan observasi. Pengukuran sikap ilmiah melalui observasi memanfaatkan jasa observer, sehingga data yang diperoleh tidak terpengaruh subjektivitas peneliti. Selain itu, pengukuran sikap ilmiah juga dilakukan melalui angket yang diisi oleh siswa. Metode wawancara tidak digunakan karena tidak memungkinkan untuk mengadakan wawancara secara individual terhadap subjek penelitian sebanyak 34 siswa kelas V SDN Triwidadi Tahun Ajaran 2016/2017.

D. Tinjauan tentang Model Pembelajaran Guided Discovery 1. Hakikat Model Pembelajaran Guided Discovery

Model pembelajaran guided discovery atau penemuan terbimbing adalah variasi dari model pembelajaran penemuan (guided learning) di mana aspek yang membedakan guided discovery dengan pembelajaran penemuan adalah keberadaan guidance (bimbingan). Wilcox (Hosnan, 2014: 281) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, serta guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan


(55)

percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.

Model pembelajaran guided discovery cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran IPA di SD. Carin & Sund (1989: 93) mengungkapkan bahwa,

What you can do with your students, though, is to combine some of these free discovery or inquiry processes with exposition teaching methods. This will result in a learning model called guided discovery, which is very appropiate for elementary school children.

Model pembelajaran guided discovery bertolak pada kegiatan penemuan dengan dipandu oleh guru (guided discovery) agar siswa dapat bekerja lebih terarah dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Suprihatiningrum, 2014: 245). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Eggen, Jacobson & Kauchak (2009: 209) bahwa selama penerapan model pembelajaran guided discovery, guru masih memberikan susunan (structure) dan bimbingan (guidance) untuk memastikan bahwa abstraksi yang sedang dipelajari sudah akurat dan lengkap. Dengan demikian, ciri khas dari model pembelajaran guided discovery adalah adanya bimbingan dari guru selama aktivitas penemuan dalam kegiatan pembelajaran.

Eggen & Kauchak (2012: 177) memaparkan bahwa penerapan model pembelajaran guided discovery membutuhkan peran guru dalam memberikan contoh-contoh topik spesifik dan memandu siswa untuk memahami topik tersebut. Pendapat senada juga diungkapkan Brosnahan (2001: 3) bahwa “guided discovery is a teaching model where the teacher guides students through open ended activities in order to encourage them to discover concepts for themselves”. Penemuan terbimbing adalah model pembelajaran di mana guru membimbing


(56)

siswa melalui aktivitas terbuka guna mendorong siswa untuk menemukan konsep-konsep untuk diri mereka sendiri.

Bimbingan guru dapat diwujudkan melalui berbagai cara. Westwood (2008: 29) mengemukakan bahwa “during the activities, the teacher may make suggestions, raise questions, or provide hints. Bimbingan guru yang diberikan dapat berwujud anjuran-anjuran, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan memberikan petunjuk. Westwood (2008: 29) mengemukakan lebih lanjut bahwa, “This form of „scaffolding‟ keeps students on track and ensures that understanding, rather than confusion, is achieved”. Bimbingan yang diberikan guru dalam model guided discovery bertujuan untuk membantu dan menjamin para siswa tidak mengalami kesulitan di tengah pembelajaran. Pendapat ini didukung oleh Sholeh (2014: 229) bahwa guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu siswa agar menggunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru.

Dalam kaitannya dengan bimbingan guru pada penerapan model pembelajaran guided discovery, Westwood (2008: 29) mengemukakan pendapat berikut ini.

The teacher usually explains the lesson objectives to the students, provides initial input or explanation to help students begin the task efficiently, and may offer suggestions for a step-by step procedure to find out the target information or to solve the problem.

Guru dalam menerapkan model pembelajaran guided discovery umumnya menjelaskan tujuan pembelajaran kepada para siswa di kegiatan awal, memberikan masukan atau penjelasan awal untuk membantu para siswa memulai pekerjaan secara efisien, dan dapat menawarkan anjuran-anjuran dalam bentuk


(57)

langkah-langkah prosedur untuk menemukan informasi yang diharapkan atau menyelesaikan permasalahan. Pendapat ini sejalan dengan Abell, Appleton & Hanuscin (2010: 122) bahwa, “a common expectation in guided discovery is that the activity will provide the students with „the answer‟ to the problem they are investigating”. Aktivitas penyelidikan menjadi upaya siswa untuk menemukan jawaban atas fenomena yang dikaji.

Penerapan model pembelajaran guided discovery memiliki implikasi positif terhadap sikap ilmiah. Smith (2012: 290) mengungkapkan bahwa “… the students exposed to Guided Discovery Learning improved their scientific attitudes when compared to the conventional classrooms”. Model pembelajaran guided discovery terbukti mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional yang umumnya masih diterapkan di SD.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa model guided discovery adalah model pembelajaran yang menerapkan asas di mana siswa menemukan konsep-konsep atau hubungan-hubungan secara mandiri tetapi guru tetap memberikan bimbingan yang dapat berupa anjuran, pertanyaan, dan atau petunjuk. Bimbingan guru diperlukan agar siswa tidak mengalami kesulitan dan atau kebingungan di tengah pembelajaran.

2. Landasan Pemikiran Model Pembelajaran Guided Discovery

Pemikiran konstruktivis yang dicetuskan oleh Dewey, Vygotsky, Piaget, dan Bruner melandasi model pembelajaran guided discovery. Secara umum, dalam penerapan model pembelajaran guided discovery, siswa terlihat lebih aktif, orientasi induktif lebih ditekankan daripada deduktif, kemudian siswa menemukan


(58)

atau mengonstruksi pengetahuan mereka sendiri (Suprihatiningrum, 2012: 242). Berikut ini adalah penjelasan terkait pandangan konstruktivisme dan kaitannya dengan pembelajaran guided discovery menurut beberapa tokoh peletak dasar paham konstruktivisme.

a. Konstruktivisme dalam Guided Discovery menurut Dewey

Dewey adalah peletak dasar paham konstruktivisme, sehingga dikenal sebagai bapak konstruktivisme. Ide-ide Dewey digunakan sebagai dasar metode konstruktivisme dan discovery learning (Sugihartono, dkk, 2013: 108). Guru bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai anggota kelompok dan diadakan kegiatan diskusi dan review oleh teman. Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran dan terdapat pengujian hipotesis, sehingga mirip dengan penelitian ilmiah (Trianto, 2009: 32).

b. Konstruktivisme dalam Guided Discovery menurut Piaget

Dalam teori belajar konstruktivisme yang menjiwai model pembelajaran guided discovery, terdapat tiga prinsip fundamental yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran sebagaimana diungkapkan oleh Piaget. Abruscato & Derosa (2010: 29) dan Sugihartono, dkk (2013: 109 – 110) secara bersamaan memaparkan bahwa tiga prinsip fundamental konstruktivisme, meliputi (1) konsepsi naif atau naïve conception, (2) asimilasi atau assimilation, dan (3) akomodasi atau accomodation.

Konsepsi naif merupakan keyakinan yang dibangun siswa atas suatu fenomena. Keyakinan tersebut belum tentu benar karena bisa saja dipengaruhi


(59)

oleh asumsi-asumsi yang bersifat subjektif sehingga memaksa siswa untuk mendalami tahap lebih lanjut, yaitu asimilasi. Asimilasi adalah usaha untuk memahami pengetahuan-pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan-pengetahuan dalam skemata (struktur pemikiran) yang sudah lebih dulu ada. Apabila pengetahuan-pengetahuan baru dan skemata yang ada tidak menunjukkan hubungan yang logis, maka akomodasi harus ditempuh. Akomodasi adalah mengubah skemata yang ada dengan skemata baru yang diperoleh dari situasi baru yang logis dan empiris.

Piaget (Santrock, 2009: 41) juga menambahkan prinsip disequilibrium dan equilibrium di samping tiga prinsip fundamental yang sebelumnya telah diuraikan sebelumnya dalam pendapat berikut.

A mechanism that Piaget proposed to explain how children shift from one stage of thought to the next. The shift occurs as children experience cognitive conflict, or disequilibrium in trying to understand the world. Eventually, they resolve the conflict and reach a balance, or equilibrium, of thought.

Prinsip disequilibrium dan equilibrium adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium terjadi ketika pengetahuan baru yang dikenal tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada, sedangkan proses restrukturisasi struktur kognitif untuk disesuaikan dengan pengetahuan baru, sehingga pengetahuan baru tersebut dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi skemata baru disebut equilibrium (Sugihartono, dkk, 2013: 110).


(60)

c. Konstruktivisme dalam Guided Discovery menurut Vygotsky

Pokok pikiran paham konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vygotsky berbeda dengan konstruktivisme kognitif Piaget. Konstruktivisme sosial dilaksanakan agar kegiatan belajar anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik, sehingga discovery lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya (Sugihartono, dkk, 2013: 113).

Pelaksanaan guided discovery tak pernah lepas dari bimbingan guru. Bimbingan ini sejalan dengan prinsip scaffolding dalam teori konstruktivisme Vygotsky. Bimbingan guru merupakan wujud scaffolding agarsiswa selalu berada dalam alur pembelajaran yang sedang dan akan dijalani. Westwood (2008: 4) mengungkapkan bahwa “in addition, giving students support in the form of hints and advice has become known as „scaffolding‟.”Scaffolding diberikan agar siswa tidak mengalami kesulitan atau kebingungan di tengah pembelajaran.

d. Konstruktivisme dalam Guided Discovery menurut Bruner

Bruner secara lebih lanjut menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip dalam siswa adalah dengan mengonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari (Sugihartono, dkk, 2013: 111). Belajar adalah proses yang bersifat aktif terkait dengan ide discovery learning, yaitu siswa berinteraksi dengan lingkungannya melalui eksplorasi dan manipulasi objek, membuat pertanyaan, serta menyelenggarakan eksperimen (Sugihartono, dkk, 2013: 111).

Nur, 2005 (Suprihatiningrum, 2012: 248) mengemukakan bahwa guru yang menganut tujuan pokok Bruner, yaitu menjadikan siswa mampu berdiri sendiri,


(61)

harus mendorong siswa agar memiliki kemandirian sedini mungkin dari awal sekolah. Peningkatan kemandirian siswa yang sesuai dengan penerapan guided discovery adalah memberikan siswa kebebasan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya atau menemukan sendiri melalui kegiatan berbasis kelompok. Guru bukan hanya sekedar secara langsung memberitahu jawaban dari penyelesaian masalah yang dihadapi siswa, sehingga kemandirian dan kemampuan analitis siswa untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri tidak berkembang.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan model pembelajaran guided discovery adalah paham konstruktivisme. Empat tokoh pioner dan peletak dasar paham konstruktivisme, yaitu Dewey, Vygotsky, Piaget, serta Bruner mendukung penerapan guided discovery dalam pembelajaran. Siswa harus didorong untuk secara aktif membangun pengetahuannya sendiri dengan bimbingan guru, terutama bagi siswa SD, sehingga siswa tidak mengalami kebingungan dalam mengikuti alur pembelajaran. Pembelajaran yang penuh dengan aktivitas langsung menjadi ekosistem yang baik agar sikap ilmiah siswa dapat muncul dan berkembang. Penerapan pembelajaran kooperatif sebagai wujud konstruktivisme sosial dapat membangkitkan sikap kerja sama. Kegiatan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri juga membangkitkan sikap ingin tahu, sikap berpikir kritis, sikap tekun, sikap kreatif dan penemuan, sikap respek terhadap data, serta sikap sensitif terhadap lingkungan.


(1)

270


(2)

Lampiran 36. Surat-Surat Penelitian


(3)

272

Surat Permohonan Izin Penelitan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul


(4)

(5)

274


(6)

Dokumen yang terkait

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GUIDED INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA PELAJARAN IPA DI KELAS V SDN 101765 BANDAR SETIA T.A 2016/2017.

0 3 26

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBING-PROMPTING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS V SDN 101775 SAMPALI TAHUN AJARAN 2016/2017.

0 3 28

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SDN 091473 PLUS TIGABALATA.

0 2 27

PENERAPAN PEMBELAJARAN MODEL SNOWBALL THROWING PADA MATA PELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS Penerapan Pembelajaran Model Snowball Throwing Pada Mata Pelajaran IPA Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Dan Hasil Belajar Siswa Kelas V SDN 03

1 1 12

PENERAPAN PEMBELAJARAN MODEL SNOWBALL THROWING PADA MATA PELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS Penerapan Pembelajaran Model Snowball Throwing Pada Mata Pelajaran IPA Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Dan Hasil Belajar Siswa Kelas V SDN 03 Tohuda

0 1 11

PENERAPAN METODE GUIDED DISCOVERY DALAM PEMBELAJARAN SENAM GULING DEPAN PADA SISWA KELAS IV SDN JATIWANGI I PENERAPAN METODE GUIDED DISCOVERY DALAM PEMBELAJARAN SENAM GULING DEPAN PADA SISWA KELAS IV SDN JATIWANGI I PENERAPAN METODE GUIDED DISCOVERY DALAM

1 2 46

PENGARUH PENERAPAN MODEL QUANTUM TEACHING TERHADAP KREATIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS V SDN JUMO.

0 0 249

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP SIKAP ILMIAH SISWA PADA PEMBELAJARAN IPA DI KELAS V SD NEGERI SALAMAN 1.

0 3 221

PENERAPAN MODEL GUIDED DISCOVERY DAN GUIDED INQUIRY TERHADAP HASIL KOGNITIF, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN SIKAP ILMIAH SISWA PADA MATERI HUKUM NEWTON DI SMPN 3 PALANGKA RAYA IMPLEMENTATION GUIDED DISCOVERY MODEL AND GUIDED INQUIRY MODEL TOWARD COGNITIVE

1 1 12

UPAYA MENINGKATKAN SIKAP ILMIAH DAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS V PADA MATA PELAJARAN IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING DI SDN 3 KERTAYASA - repository perpustakaan

0 0 16