HUBUNGAN POLA ASUH ANAK YANG DITINGGAL ORANGTUANYA DAN HARGA DIRI DENGAN KEMANDIRIAN SISWA SMP NEGERI DI WILAYAH KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG TAHUN PELAJARAN 2008/2009.

(1)

HUBUNGAN POLA ASUH ANAK YANG DITINGGAL

ORANGTUANYA DAN HARGA DIRI DENGAN

KEMANDIRIAN SISWA SMP NEGERI DI WILAYAH

KECAMATAN PABELAN

KABUPATEN SEMARANG

TAHUN PELAJARAN 2008/2009

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh:

SUNU PANCARIATNO

NIM: 1103506087

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI BI MBI NGAN DAN KONSELI NG

2009


(2)

ii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya,

Nama : Sunu Pancariatno

NIM : 1103506087

Program Studi : Bimbingan dan Konseling

Menyatakan bahwa yang tertulis di dalam tesis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhanya. Pendapat maupun temuan orang lain yang terdapat dalam tesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 25 Februari 2009

Yang membuat pernyataan,


(3)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur patut penulis panjatkan kehadirat Bapa di surga atas berkat yang dianugerahkanNya sehingga dapat terselesaikan penulisan tesis dengan judul ” Hubungan Pola Asuh Anak Yang ditinggal Orang Tuanya dan

Harga Diri dengan Kemandirian Siswa SMP Negeri Di Wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008/2009”. Penulisan tesis

ini digunakan untuk memenuhi salah satu syarat yang diperlukan dalam menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang.

Tesis ini dapat penulis selesaikan atas dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr. Maman Rachman, M. Sc selaku Direktur Pascasarjana Unnes Semarang yang telah memberikan kesempatan yang berharga untuk menimba ilmu pengetahuan hingga terwujudnya tesis ini.

2. Bapak Drs. J.T. Lobby Loekmono, Ph.D selaku pembimbing tesis, yang dengan sepenuh hati membimbing dengan sungguh-sungguh, penuh kesabaran dan kecermatan membaca tesis ini secara detail dengan memberikan saran-saran konstruktif, meluruskan pola pikir, mengoreksi bahasa dan tanda baca serta memberikan wawasan yang luas melalui diskusi pembimbingan.

3. Bapak Prof. Dr. Haryono, M. Psi., selaku pembimbing yang juga dengan penuh kesabaran, ketulusan dan keiklasan dalam memberikan pengarahan dan pembimbingan tesis ini

4. Bapak Prof. Dr. DYP. Sugiharto, M.Pd, Kons., selaku pengajar dan sekaligus konsultan yang memberikan dorongan awal penulis untuk bisa melanjutkan pendidikan di Unnes ini.

5. Seluruh dosen dan staf administrasi Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang yang telah membekali ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis


(4)

iv

6. Rekan-rekan Assosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Provinsi Jawa Tengah yang juga memberikan arahan dan dorongan serta semangat yang luar biasa kepada penulis.

7. Dra. Siti Basthiyah selaku mantan Kepala SMPN 2 Pabelan yang memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi di Program Pascasarjana jurusan Bimbingan dan Konseling di Universitas Negeri Semarang.

8. Rekan - rekan S 2 angkatan tahun 2006 yang juga memberikan semangat dan dorongan serta bantuan baik secara material maupun imaterial hingga dapat terselesainya tesis ini.

9. Ibunda yang tercinta selaku orang tua dan saudara-saudara penulis dengan penuh pengertian, dorongan dan dukungan doa yang luar biasa sehingga menambah kekuatan tersendiri dalam penyelesaian tesis ini.

10. Istri dan kedua anak penulis dengan penuh setia dan pengertian sehingga mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada semua pihak yang belum sempat disebutkan satu persatu dalam tesis ini. Semoga semua jasa dan kebaikan dari Bp/Ibu/Sdr memperoleh berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya konstruktif penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 25 Februari 2009


(5)

v

PENGESAHAN KELULUSAN

Tesis ini telah dipertahankan di dalam Sidang Panitia Ujian Tesis Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang pada

hari : Jumat

tanggal : 20 Maret 2009

Panitia ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Maman Rachman, M. Sc. Dr. Anawar Sutoyo, M.Pd

NIP 130529514 NIP 131570758

Penguji I Penguji II/ Pembimbing II

Prof. Dr. DYP. Sugiharto, M.Pd, Kons Prof. Dr. Haryono, M.Psi

NIP 131570049 NIP 131570050

Penguji III/Pembimbing I


(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.

(Effesus 6:4)

Untuk Istri dan kedua anakku

Prisca Candra Dewi


(7)

vii

Sari

Pancariatno, Sunu. 2009. Hubungan Pola Asuh Anak Yang Ditinggal Orang

Tuanya dan Harga Diri dengan Kemandirian Siswa SMP Negeri Di Wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008/2009”.

Kata kunci: Kemandirian siswa, Pola asuh , dan Harga diri.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Pola asuh apa yang mempunyai hubungan signifikansi dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan. (2) Signifikansi hubungan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan. (3) Signifikansi hubungan pola asuh anak yang ditinggal orangtuanya dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan. Populasi penelitian ini adalah 195 orang siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.yang ibunya bekerja di luar negeri/kota secara berturut-turut minimal 2 (dua) tahun, dengan jumlah sampel 123 orang siswa.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Variabel pola asuh otoriter tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rx1.1.y = - 0,108 dengan p = 0, 234 > 0,05; (2) Variabel pola asuh permisif tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rx1.2.y = 0,092 dengan p = 0, 312 > 0,05; (3) Variabel pola asuh demokratis mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rx1.3.y = 0,244** dengan p = 0, 006 < 0,05; (4) Variabel harga diri mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rx2.y = 0,562** dengan p = 0, 000 < 0,05, pada taraf signifikansi 5 persen; (5) hubungan bersama-sama antara variabel pola asuh tipe demokratis dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri yang ditinggal orang tua di wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang memiliki koefisien korelasi jamak atau multiple correlation (R) sebesar Rx1.3.2.y = 0,572; F = 29,103 dengan p =0,000 < 0,05. Artinya ada hubungan yang

signifikan antara variebel pola asuh tipe demokratis dan harga diri secara bersama dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan. Dengan demikian tujuan penelitian ini dapat dicapai.


(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Era globalisasi merupakan era dimana persaingan individu semakin ketat dan perubahan sosial dalam masyarakat terjadi sangat cepat. Untuk menghadapi era globalisasi ini diperlukan dan dibutuhkan suatu sumber daya yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang kreatif, ulet, berkemauwan kuat serta memiliki kemandirian yang tinggi, agar mampu menghadapi persaingan dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam upaya untuk peningkatan masyarakat dan bangsa, langkah yang perlu dipersiapkan adalah membenahi dan mempersiapkan generasi muda sebagai tumpuan kelangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Untuk itu salah satu yang perlu dipersiapkan untuk generasi muda sebagai tumpuan kelangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa adalah melatih sedini mungkin generasi muda khususnya remaja untuk menjadi individu yang mandiri. Banyak pihak mencemaskan keadaan remaja sekarang ini yang dinilai kurang memiliki sifat kristis, kurang kreatif, kurang memiliki tanggung jawab dan kurang mampu mengatasi


(9)

persoalan-persolan dirinya sendiri yang kesemuanya itu menunjukkan kurangnya kemandirian pada remaja.

Mandiri atau sering disebut juga berdiri di atas kaki sendiri, merupakan kemampuan seseorang untuk tidak bergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Secara umum kemandirian bisa dilihat dari tingkah laku seperti berusaha memenuhi kebutuhan sendiri, namun kemandirian tidak selalu berbentuk fisik yang ditampilkan dalam tingkah laku. Kemandirian juga dapat dilihat dari cara berpikirnya bagaimana seseorang memecahkan masalahnya, apakah seseorang tersebut bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya dan dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan dan norma masyarakat.

Kemandirian sebagai salah satu aspek kepribadian sangat penting dimiliki oleh generasi muda khususnya anak remaja. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Masrun (!986:8) bahwa kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia dalam mengarahkan dan mengatur perilakunya sendiri, menyelasaikan masalah tanpa bantuan orang lain, sehingga memungkinkan seseorang untuk dapat bertindak bebas, melakukan sesuatu untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri atas dorongan sendiri, mengejar prestasi dengan penuh ketekunan serta mengejar sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir original, menghargai keadaan diri sendiri dan memperolah kepuasaan atas usahanya.

Peserta didik sebagai individu sedang berada dalam proses tumbuh kembang kearah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai


(10)

kematangan, peserta didik SMP memerlukan bimbingan karena mereka belum memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya, lingkungannya dan pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Dikarenakan dalam proses perkembangan individu itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut maka peranan konselor diperlukan.

Pada hakikatnya manusia selalu membutuhkan bantuan dari manusia lain untuk dapat membantu mencukupi kebutuhan dirinya. Begitu pula seorang anak, membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupannya, dan orang lain tersebut yang pertama adalah keluarganya sendiri, terutama orang tuanya. Orang tua mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak baik secara fisik maupun psikis. Gunarsa (2004:299) menyatakan bahwa sebuah keluarga seharusnya dapat memberikan keakraban dan kehangatan bagi anak-anaknya, memberi rasa aman, memupuk rasa percaya diri dan membantu mempersiapkan anak-anaknya untuk mandiri.

Pengertian keluarga menurut Djamarah (2004:16) dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam hubungan darah merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh hubungan darah satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan keluarga besar dan keluarga inti. Keluarga inti terdiri dari seorang ayah, seorang ibu atau istri, dan anak-anak mereka (kandung/angkat) yang tinggal satu rumah dan belum menikah. Sedangkan keluarga besar merupakan sebuah keluarga yang terdiri dari keluarga inti,


(11)

kakek, nenek, keponakan, sepupu dan hanya saudara lain yang tinggal dalam satu rumah. Sedangkan keluarga dalam hubungan sosial, merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah (Djamarah, 2004:3).

Sedangkan menurut Soelaeman (dalam Djamarah, 2004:16) menyatakan keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri.

Keluarga sebagai lingkungan primer bagi anak mengajarkan tentang berbagai macam hal misalnya peraturan, norma dan kebiasaan-kebiasaan. Apa yang setiap hari diajarkan oleh lingkungan keluarga tentang sesuatu yang baik maupun buruk akan memberikan pengaruh baik dan buruk terhadap pertumbuhan kepribadian anak. Disinilah muncul fungsi penting dari orang tua yaitu sebagai peletak dasar utama dan pertama dalam penerapan nilai-nilai yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian anak. Oleh karena itu keluarga memiliki peran yang sangat penting bagi tumbuh dan kembangnya anak yang pada akhirnya akan banyak berperan di dalam lingkungan masyarakat.

Menurut Meichati (dalam Dayaksini, 1998:14-17) keluarga merupakan ikatan masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan mungkin sanak saudara yang lain. Didalam keluarga hubungan keluarga


(12)

dengan anak diikat oleh rasa cinta kasih, dan pengalaman yang dialami anak dimulai sejak masa bayi melalui usaha-usaha pertama dari orangtua untuk membimbing dan mengatur. Orangtua sebagai pimpinan dalam keluarga sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar kepribadian berupa pengenalan nilai-nilai dan kebiasaan kepada anak melalui sikap, perilaku dan kebiasaannya. Dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya, orangtua adalah sumber pemenuhan kebutuhan psikologis dan dan berperan sebagai pemberi teladan anak-anaknya Gunarsa (2004:297).

Terbentuknya suatu keluarga tidak lepas dari kerja sama yang baik antara ayah dan ibu, mereka hendaknya bersama-sama bertanggung jawab dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. Sebab kekompakan ayah dan ibu sangat diharapkan, sehingga tugas-tugas seorang ayah dalam suatu keluarga tidak hanya pencari nafkah tetapi sebagai pelindung dan pendidik anak-anaknya. Meskipun dalam kenyataannya ayah lebih banyak menghabiskan waktunya di luar keluarganya, tetapi kasih sayang dan perhatian terhadap keluarga harus tetap diberikan. Sedangkan hubungan anak dan ibu bersifat kompleks bila dibandingkan hubungan antara anak dan ayah. Karena ibu adalah satu-satunya figur yang dapat diidentifikasi anak sampai anak memasuki usia sekolah (Walgito, 1993:21).

Ibu, orang yang paling sering berhubungan dengan anak pada usia kanak-kanak. Hal ini senada dengan pendapat Haditono (1990:37) bahwa pola asuh orangtua merupakan cerminan dalam peranan dan bantuan orangtua terhadap penyesuaian anak dan pada lingkungannya. Kohn (dalam


(13)

Yulianti, 2004:18) menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Sedangkan Hurlock (1999:26) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah metode yang digunakan orang tua dalam hubungannya dengan anak. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan berarti orangtua mendidik, membimbing dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Penanaman nilai dan aturan dipengaruhi oleh pendidikan dan latar belakang kehidupan dari orangtua termasuk juga faktor ekonomi. Kebiasaan dan pendidikan yang sebelumnya diterima orangtua akan menjadi pola asuh seseorang dalam mendidik anaknya. Dengan keberagaman latar belakang pendidikan, budaya maupun faktor lain akan membentuk berbagai macam pola asuh.

Menurut Hurlock (1999:17) ada tiga pola asuh yakni, pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, dan pola asuh permisif. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) adalah suatu gaya yang membatasi dan menghukum serta menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar


(14)

kepada anak-anak untuk bermusyawarah. Anak yang dididik dalam pola otoriter cenderung untuk pasif, kurang inisiatif, motivasi belajar kurang, tidak percaya diri, merasa rendah diri, tidak berani memikul tanggung jawab, pesimis, dan mudah putus asa.

Pola asuh autoritatif (authoritative parenting) mempunyai ciri mendorong anak-anaknya agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Aturan dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga, orang tua memperhatikan keinginan dan pendapat anak, selalu berdiskusi untuk mengambil keputusan. Dengan pola asuh ini anak akan berkembang sesuai tingkat perkembanganya, kreatif, mudah mengeluarkan pendapat, mereka akan merasa aman dengan kasih sayang dari orang tua sehingga memunculkan sikap percaya diri memiliki rasa tanggung jawab, penuh gairah dan optimis dalam hidupnya.

Pola asuh permisif (permissive parenting) dengan ciri tidak adanya bimbingan dan aturan dari orang tua, tidak ada tuntutan kepada anak, tidak ada pengontrolan dari orang tua sehingga anak diberi kebebasan dan diizinkan untuk membuat keputusan untuk dirinya. Anak yang dididik dalam keluarga ini akan merasa kurang menikmati kasih sayang dari orang tua, sering menentang, tidak mau belajar, anak merasa tidak bertanggung jawab apabila ditugaskan suatu pekerjaan tanpa bantuan orang lain.

Menurut Shanti (2002:1) pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak. Lebih jelasnya, yaitu bagaimana sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak. Termasuk caranya


(15)

menerapkan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sehingga dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Oleh beberapa unsur seperti kasih sayang, rasa aman dan perhatian. Apabila dalam hubungan antara orang tua dengan anak tidak disertai dengan adanya perhatian, tidak ada toleransi, kurangnya kasih sayang dan sikap orang tua yang selalu mengekang keinginan anak, dapat menciptakan situasi konflik yang akan menghambat pembentukan sikap mandiri pada anak. Hal ini sependapat dengan Bee (dalam Yulianti, 2004:13) pola asuh orangtua terhadap remaja banyak memberikan pengaruh pada perkembangan konsep diri, kemandirian dan identitas ego. Orangtua yang memiliki anak, ingin memelihara, membesarkan, dan mendidiknya dan berusaha mencukupi segala kebutuhan anak karena anak merupakan buah hati dan tumpuan di masa depan.

Data Kaukus Parlemen untuk HAM yang dirilis media pers Indonesia selama semester pertama pada tahun 2007 telah terjadi 45 kasus kekerasan dan 102 kasus kematian Tenaga Kerja Wanita di luar negeri. Artinya bahwa para wanita yang bekerja menjadi tenaga kerja di luar negeri banyak mengalami masalah.

Hasil survai yang penulis lakukan di SMP Negeri 2 Pabelan Kabupaten Semarang ada 116 orang siswa yang orangtuanya bekerja di luar kota atau luar negeri. Dengan penyebaran untuk siswa kelas 7 ada 39 orang siswa yang orangtuanya menjadi Tenaga Kerja Wanita, kelas 8 ada 50 orang siswa yang orangtuanya menjadi Tenaga Kerja Wanita, dan di kelas 9 ada 27


(16)

orang siswa. Dan bila dihitung secara prosentase ada 25,38 % dengan penyebaran siswa kelas 7 sekitar 8,53 %, kelas 8 sekitar 10,94 % dan 6,06 % . Sedangkan data yang diperoleh dari SMP Negeri 1 Pabelan ada 34 orang siswa dan 45 orang siswa untuk siswa SMP Negeri 3 Pabelan yang orang tuanya bekerja di luar kota atau luar negeri minimal 2 tahun berturut-turut. Mereka bekerja kebeberapa kota atau negara antara lain ; Jakarta, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Timur Tengah, Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Malaysia.

Dari keberagaman kota atau negara juga berimbas pada keberagaman masalah dalam keluarga mereka yang sangat dirasakan oleh anak. Dari catatan konseling ada anak yang sudah 10 tahun tidak bertemu ibunya. Ada 2 (dua) orang anak (korban perceraian) yang sudah 8 tahun tidak bertemu ibunya tanpa berita apapun, mereka mencoba berharap dengan berkirim surat akan tetapi tidak ada balasan padahal suratnya tidak kembali. Anak berpikir kalau suratnya tidak kembali berarti ibunya belum pindah pekerjaan, disisi lain nenek yang dulu mendampinginya juga sudah meninggal dunia sehingga anak hidup dengan orang lain. Anak-anak yang ditinggal ibunya bekerja secara finasial mereka lebih baik dari pada yang tidak kerja, dengan catatan bila ayahnya di rumah benar-benar bisa mengatur keuangan. Karena dari beberapa anak ada yang justru dengan ibunya bekerja ayahnya malah punya Wanita Idaman Lain (WIL) sehingga anak-anaknya tidak diurus, mereka dibiarkan hidup sendiri tanpa pendampingan orangtuanya. Secara psikologis anak-anak yang ditinggal ibunya bekerja


(17)

lebih tinggi tingkat kemandirian bila dibandingkan dengan anak-anak yang hidupnya ditunggui oleh orangtuanya.

Namun dari aspek harga diri anak ada 25 anak yang menyatakan bahwa dengan kepergian ibunya bekerja justru meningkatkan harga diri mereka dikarenakan secara finansial mereka dapat memiliki segala sesuatu dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi bagi anak-anak yang orangtuanya “bermasalah“ akibat dari kepergian ibunya bekerja di luar negeri justru sebaliknya merasa dirinya tidak berharga baik dimata teman-teman maupun di masyarakat, karena menjadi beban keluarga dekat atau tetangganya.

Harga diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang berkembang dari feeling of belonging (perasaan diterima oleh kelompok sosialnya), feeling competent (perasaan kompeten, efisien, produktif) dan feeling worthwhile (perasaan berharga, cantik, pandai, baik) (Felker, 1998: 187). Jadi Harga diri seseorang bisa dikatakan baik apabila ia merasa diterima oleh kelompok sosialnya, merasa mampu dan merasa berharga. Setiap orang tua yang merasa memiliki anak dengan perasaan diterima oleh kelompok sosialnya, produktifitas tinggi dan berperilaku baik tentu bangga dan rasanya tidak sia-sia membesarkan anak dan rasanya apa yang telah diperbuatnya kepada anak memang adalah hal yang benar. Hal ini sesuai pendapat Coopersmith (dalam Hardy & Heyes, 1985 : 137-139) bahwa cara bagaimana orangtua memperlakukan anak-anak mereka akan mempengaruhi harga diri (self esteem) anak.


(18)

Berdasarkan hasil penelitian Indrawati 2002 (http://digilib. unikom.ac.id/go.php?id=jiptumm-gdl-s1-2002-erna-8665-pola asuh) dengan menggunakan Analisis Regresi, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan ( F = 13, 146 dengan P < 0,010) antara pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja. Ada pengaruh yang signifikan antara pola asuh orang tua yang authoritative terhadap kemandirian remaja. Sedangkan pola asuh orang tua yang kurang menunjang kemandirian remaja adalah pola asuh orang tua yang permissive dan pola asuh orang tua yang authoritarian. Dari pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja yang bertipe authoritative sebesar 12,016%, untuk pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja yang bertipe permissive sebesar 1,520%, untuk pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja bertipe authoritarian sebesar 7,731%. Jadi jumlah keseluruhan dari pola asuh orang tua adalah 21,3%. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SLTP Muhammadiyah 6 Dau Malang. Teknik pengambilan sempelnya adalah jumlah dari populasi total, dimana siswa-siswi kelas I, II secara keseluruhan.

Sejalan dengan hasil penelitian Indrawati, Ningsih (http://digilib.

upi.edu/pasca/available/etd-0223106-102800) mengadakan penelitian

tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kemandirian Siswa, hasilnya pola asuh orang tua authoritative yang dirasakan siswa dengan kemandirian emosinya memiliki hubungan yang signifikan. Sedangkan pola asuh authoritarian yang dirasakan siswa dengan kemandirian emosinya


(19)

memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan arah negatif; dan pola asuh orang tua permissive yang dirasakan siswa memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan kemandirian emosinya.

Sedangkan hasil penelitian Anisa 2005 (http://digilib.unnes.

ac.id/gsdl/ collect/wrdpdf.e/index/assoc/HASHO1a3/5489fec.diri) tentang

Kontribusi Pola Asuh Orang tua terhadap Kemandirian Siswa Kelas II SMA Megeri I Balapulang Kabupaten Tegal Tahun Pelajaran 2004/2005.

Hasil uji signifikansi koefesien korelasi ganda dengan uji F diperoleh diperoleh F hitung = 15,108 > F tabel = 2,71 dan hasil analisis memperoleh koefisien korelasi 0,4163 menunjukan bahwa (a) pola asuh orang tua tipe demokratis dan tipe permisif berkorelasi terhadap kemandirian siswa, (b) pola asuh orang tua tipe otoriter tidak berkolerasi terhadap kemandirian

Hasil penelitian Rini (2002:1) tentang hubungan jumlah anggota keluarga, harga diri remaja menunjukkan bahwa, ada korelasi negatif yang signifikan, yang ditunjukkan dengan nilai (r = - 0,459; p < 0,05) antara ukuran jumlah anggota keluarga dengan harga diri pada remaja. Hal itu menunjukkan bahwa semakin sedikit jumlah anggota keluarga dari remaja maka semakin tinggi harga dirinya, sebaliknya semakin banyak jumlah anggota keluarga dari remaja maka akan semakin rendah harga dirinya. Artinya remaja yang berasal dari keluarga kecil mempunyai harga diri lebih tinggi dari pada remaja yang berasal dari keluarga besar, karena mereka hidup dalam lingkungan keluarga yang lebih demokratis dan dapat membangkitkan semangat sehingga akan membantu anak mencapai tingkat


(20)

kematangan yang lebih tinggi dan pada akhirnya berpengaruh pada kepribadiannya terutama harga dirinya.

Hasil penelitian Arifianto (http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id= jtptums-gdl-s1-2007- kurniawanw-7949) tentang Hubungan antara Harga Diri dengan Kemandirian, dengan subjek penelitian ini adalah siswa-siswa kelas 2 SMK PGRI 2 Salatiga berjumlah 40 siswa untuk try out dan 78 siswa untuk penelitian, dengan menggunakan cluster random sample. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah skala harga diri dan skala kemandirian. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,670 dengan p < 0,01, hal ini berarti ada hubungan positif yang signifikan antara harga diri dengan kemandirian. Artinya, semakin tinggi skor harga diri maka semakin tinggi skor kemandirian dan sebaliknya.

Peranan atau sumbangan efektif harga diri terhadap kemandirian sebesar 44,9% yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinan (r2) sebesar 0,449. Hal ini berarti masih terdapat 55,1% faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemandirian di luar variabel harga diri seperti faktor pola asuh orangtua, interaksi teman sebaya, pendidikan, jenis kelamin, usia. Hasil penelitian ini menunjukkan kemandirian pada subjek penelitian tergolong tinggi, ditunjukkan oleh rerata empirik sebesar 133,205 dan rerata hipotetik sebesar 107,5. Harga diri pada subjek penelitian tergolong tinggi, ditunjukkan oleh rerata empirik sebesar 114,462 dan rerata hipotetik sebesar 90. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini


(21)

adalah ada hubungan positif antara harga diri dengan kemandirian remaja. Semakin tinggi skor harga diri maka semakin tinggi pula skor kemandirian pada remaja, sebaliknya semakin rendah skor harga diri maka semakin rendah pula skor kemandirian pada remaja.

Berdasarkan hasil penelitian Indrawati (2002:1) dan Ningsih (2006:1) tentang hubungan pola asuh dengan kemandirian dinyatakan bahwa pola asuh authoritative memiliki korelasi signifikan dengan kemandirian, akan tetapi pola asuh outhoritarian dan permissive tidak berkorelasi dengan kemandirian. Sedangkan hasil penelitian Anisa (2005:1) menyatakan pola asuh demokratis dan permisif berkorelasi signifikan terhadap kemandirian. Dengan adanya perbedaan temuan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ulang tentang hubungan pola asuh anak yang ditinggal orang tuanya dan harga diri dengan kemandirian siswa dengan mengambil populasi penelitian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan pada semester II tahun pelajaran 2008/2009.

1.2 Rumusan

Masalah

Berdasarkan uraian di latar belakang maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1.2.1 Pola asuh anak yang ditinggal orang tuanya apa yang mempunyai hubungan signifikan dengan kemandirian siswa di SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan?


(22)

1.2.2 Adakah hubungan yang signifikan antara harga diri dengan kemandirian siswa di SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan? 1.2.3 Adakah hubungan yang signifikan antara pola asuh anak yang

ditinggal orangtuanya dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1.3.1 Mengetahui pola asuh anak yang ditinggal orang tuanya yang mempunyai hubungan signifikansi dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan.

1.3.2 Mengetahui signifikansi hubungan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan.

1.3.3 Mengetahui signifikansi hubungan pola asuh anak yang ditinggal orangtuanya dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat memberi manfaat secara teoritik maupun praktik.

1.4.1 Secara Teoritik

Apabila dalam penelitian ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh anak yang ditinggal orangtuanya dengan


(23)

kemandirian siswa SMPN 2 Pabelan, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Bee (dalam Yulianti, 2004:13) dan penelitian Indrawati (2002). Bila tidak ditemukan adanya hubungan signifikan, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Anisa (2005). Dan bila dalam penelitian ditemukan adanya hubungan signifikan antara harga diri dengan kemandirian siswa SMPN 2 Pabelan, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rini (2000:1) dan Arifianto (2007). Bila ditemukan tidak ada hubungan signifikan, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kusumawati (2005).

1.4.2 Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan bahan referensi ke Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang dan khususnya pada SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan dalam rangka pengembangan diri siswa dan peningkatan kuailitas pendidikan di sekolah dan di rumah/keluarga.


(24)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kemandirian

2.1.1 Pengertian Kemandirian

Istilah kemandirian sering disebut sebagai autonomy atau independency. Angyal (dalam Masrun, 1986:8) autonomy merupakan tendensi untuk mencapai sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap lingkungan, dan merencanakan serta mewujudkan harapan-harapannya. Sedangkan independency menurut Bhatia (dalam Masrun, 1986:8) diartikan sebagai perilaku yang aktifitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain, dan bahkan mencoba memecahkan atau menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Bernadib (dalam Yulianti, 2004:9) mendifinisikan kemandirian adalah keadaan jiwa seseorang yang mampu memilih norma dan nilai-nilai atas keputusan sendiri, mampu bertanggung jawab atas segala perilaku dan perbuataan individu yang bersangkutan. Kemandirian yang dimiliki, menjadikan sesorang ketergantungan pada pihak lain menjadi minimal.

Menurut Greenberger (dalam Masrun dkk, 1986:10) menyatakan bahwa kemandirian mencakup beberapa istilah antara lain autonomy, independency dan sefl reliance. Autonomy dimaksudkan sebagai tendensi untuk mencapai sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif


(25)

terhadap lingkungannya dan merencanakan serta berusaha mewujudkan harapan-harapannya yang timbul karena kekuatan dorongan dari dalam. Secara fungsional autonomy dapat diartikan juga sebagai tendensi untuk bersikap secara bebas dan original dalam arti tidak mengantungkan kepada orang lain.

Independency diartikan sebagai gerak yang mengarah pada kesesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan persepsi atau pendapat sendiri pada daripada merespons terhadap tuntutan lingkungan atau pengaruh orang lain, aktivitas yang dilakukan diarahkan kepada diri sendiri dan kritis terhadap pengarahan ataupun pengaruh dari orang lain. Bahkan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya cenderung mencoba memecahkan dan menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa minta bantuan orang lain, Bhatia (dalam Masrun, 1986:8). Sedangkan self reliance merupakan perilaku yang didasarkan percaya pada diri sendiri dimana pusat kendali berasal dari dalam diri sendiri.

Menurut Brawer (dalam Djamal, 2004:18) kemandirian adalah perasaan otonom, perilaku yang terdapat dalam diri seseorang yang timbul karena ketaatan dorongan dari dalam yang tidak bergantung orang lain, sehingga dapat menyelesaikan masalah sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejalan pendapat Brawer, Masrun (1986:8) pengertian kemandirian sebagai salah satu kompenen kepribadian yang mendorong individu untuk dapat mengarahkan dan mengatur perilakunya sendiri, menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain. Selain itu Masrun menyatakan juga


(26)

bahwa kemandirian adalah suatu sifat yang memungkinkan seseorang untuk dapat bertindak bebas, melakukan sesuatu untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri atas dorongan sendiri , mengejar prestasi dengan penuh ketekunan serta keinginan mengejar sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir dan bertindak original, menghargai keadaan diri sendiri dan memperoleh kepuasaan atas usahanya. Budiharjo (dalam Utomo, 2006:9) mengatakan bahwa kemandirian (autonomy) adalah kecenderungan untuk tidak bergantung pada orang lain dalam membuat keputusan.

Selanjutnya Irene (2002:21) mendifinisikan kemandirian sebagai suatu sikap yang dapat menerima dan menjadi diri sendiri, percaya pada kemampuan diri sendiri serta tidak bergantung pada orang lain. Sedangkan menurut Kartadinata (1988:88) kemandirian diartikan sebagai kekuatan motivasi dalam diri individu untuk mengambil keputusan dan menerima tanggung jawab atau konsekuensi keputusan itu, yang tingkat perkembangannya dinyatakan dalam tingkat: impulsive, konformistik, sadar diri, seksama, individulistik dan mandiri. Dalam kamus psikologi kata autonomy (otonomy) diartikan kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menemukan dirinya sendiri (Chaplin, 2006:48)

Dari berbagai pengertian para ahli, terlihat bahwa subtansi kemandirian terdiri atas:


(27)

1) Kemampuan untuk menggali dan mengembangkan potensi diri dan lingkungan.

2) Kemampuan untuk berdiri sendiri dan mengatasi kesulitan.

3) Kemampuan menerima konsekuensi atas segala keputusan yang diambil.

Ketiga subtansi kemandirian tersebut di atas, sejalan dengan pernyataan Rogers (Burns, 1993:53) bahwa kemandirian menunjukan kepada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain. Artinya bahwa individu dapat melakukan sendiri kegiatan-kegiatan dan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Individu yang mandiri menurutnya memiliki karakteristik tertentu yang ditandai dengan inisiatif, tanggung jawab, mampu mengambil keputusan dengan memperhitungkan resikonya dan tanggap terhadap peluang-peluang baru yang bisa dikerjakan sesuai kapasitasnya. Selain itu, dapat dikatakan bahwa kemandirian menunjukkan kepada bagaimana individu mampu menunjukkan kreativitasnya, mandiri, memiliki harga diri dan kepercayaan diri sendiri, sehingga memungkinkan individu untuk berkarya, bersaing, bekerja sama dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya, memecahkan masalah-masalahnya serta melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Kepercayaan pada diri sendiri agar mampu mandiri merupakan modal utama bagi individu untuk menghadapi tantangan


(28)

kehidupan dalam upaya memenuhi kebutuhan dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapinya.

Dalam teori yang dikembangkan Steinberg (1989: 270) istilah independency dan autonomy sering dipertukarkan secara bergantian sesuai dengan penggunaan konsep kedua istilah tersebut. Secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yakni kemandirian, tetapi secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda dengan perbedaan yang sangat tipis. Dalam bahasa Inggris independence berarti kemerdekaan atau kebebasan, sedangkan secara konseptual mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Steinberg (1989: 270) menyatakan bahwa independence generally refers to individual’s capacity to behave on their own. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa independence menunjukkan pada kapasitas seseorang untuk memperlakukan dirinya sendiri. Berdasarkan pernyataan tersebut, Steinberg menjelaskan bahwa anak yang sudah memiliki independence akan mampu melakukan sendiri aktivitas dalam kehidupan tanpa adanya pengaruh dan pengawasan orang lain terutama orang tua. Kemandirian yang mengarah pada konsep independence ini merupakan bagian dari perkembangan autonomy selama masa masa remaja, namun autonomy mencakup dimensi yang lebih luas lagi yaitu dimensi emosional, behavioral, dan nilai. Steinberg (1989: 270) menegaskan the growth of independence is surely a part of becoming autonomous during


(29)

adolescence, yaitu pertumbuhan independence merupakan bagian dari menjadi autonomy (mandiri) selama masa remaja.

Pada masa remaja, kemandirian merupakan salah satu tugas perkembangan yang fundamental. Hal ini sesuai tugas perkembangan yang diungkapkan oleh Havighurst (Hurlock,1980:10) yang mana salah satu tugas perkembangan tersebut adalah mencapai perkembangan kemandirian secara emosional dari orang tua. Steinberg (1989: 270) becoming an autonomous person-a self governing persons- is one of the fundamental developmental tasks of the adolescent years. Artinya bahwa individu yang mandiri, yang mampu mengelola diri sendiri merupakan satu tugas perkembangan yang mendasar pada masa remaja. Disebut fundamental karena pencapaian kemandirian pada anak sangat penting artinya dalam kerangka menjadi individu dewasa. Bahkan pentingnya kemandirian harus dicapai pada masa remaja sama pentingnya dengan pencapaian identitas diri. Steinberg (1989: 270)

Tidak mudah bagi remaja (usia anak SMP) untuk memperoleh kemandiriannya. Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan ikatan emosional yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak. Bahkan pemutusan ikatan emosional ini sering menimbulkan reaksi yang sulit dipahami (misunderstood) oleh remaja dan orang tua. Terkadang remaja sering mengalami kesulitan dalam memutuskan ikatan tersebut secara logis dan objektif. Dalam upaya memutuskan ikatan emosional dari orang tuaanya, kadang remaja harus


(30)

menentang keinginan dan aturan orang tua. Dan orang tua sering mempersepsikan upaya pemutusan ikatan emosional yang dilakukan anak sebagai bentuk pemberontakan.

2.1.2 Tipe-tipe Kemandirian

Steinberg (1989: 273) membedakan kemandirian kedalam tiga tipe, yaitu kemadirian emosional (emotional autonomy), kemandirian perilaku (behavioral autonomy), kemandirian nilai (values autonomy).

1) Kemandirian emosional (emotional autonomy)

Kemandirian emosional adalah seberapa besar ketidak bergantungan individu terhadap dukungan emosional orang lain, terutama orang tua dalam mengelola dirinya. Pemudaran hubungan anak dengan orang tua pada masa remaja terjadi dengan sangat cepat. Percepatan pemudaran hubungan terjadi sering dengan semakin mandirinya anak dalam mengurus diri sendiri. Proses ini secara tidak langsung memberikan peluang bagi anak untuk mengembangkan kemandiriannya terutama kemandirian emosional.

Proses psikososial lainnya yang menuntut anak mengembangkan kemandirian emosional adalah perubahan pengungkapan kasih sayang, meningkatnya pendistribusian kewenangan, tanggung jawab, menurunnya interaksi verbal dan kesempatan bertemu dengan orang tua, serta semakin larutnya anak dalam pola-pola hubungan dengan teman sebaya untuk menyelami hubungan kehidupan di luar kehidupan yang baru di luar


(31)

keluarga. Semua proses psikososial tersebut lambat laun akan memudarkan ikatan emosional anak dengan orang tua.

Anak yang mandiri secara emosional mempunyai indikator- indikator dalam beberapa hal seperti 1). Anak yang mandiri tidak serta merta lari kepada orang tua ketika dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, atau membutuhkan bantuan, 2). Anak tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui atau menguasai segala-galanya, 3). Anak sering memiliki energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar keluarga dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman daripada orang tua, 4). Anak mampu memandang dan berinteraksi dengan orang tua sebagai pada umumnya bukan semata-mata sebagai orang tua.

2) Kemandirian perilaku (Behavioral autonomy)

Kemandirian perilaku merupakan kemampaun seseorang melakukan aktivitas, sebagai manisfestasi dari berfungsinya kebebasan dengan jelas, menyangkut peraturan-peraturan yang wajar mengenai perilaku dan pengambilan keputusan seseorang. Mandiri dalam perilaku berarti bebas untuk bertindak/ berbuat sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan/pertolongan orang lain. Secara psikologis anak ingin mendapatkan kemandirian perilaku ini secara perlahan-lahan. Hal ini dimulai dari pendistribusian wewenang yang diberikan oleh orang tuanya terhadap anaknya. Pemberian kepercayaan secara sedikit demi sedikit


(32)

terhadap anak akan memberikan situasi yang kondusif terhadap peningkatan kemandirian.

Kemandirian perilaku pada anak ditandai dengan beberapa indikator yakni, 1). Kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta/mempertimbangkan nasehat orang lain selama hal itu sesuai, 2). Mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian sendiri dan saran-saran orang lain, 3). Mencapai suatu keputusan yang bebas tentang bagaimana harus bertindak/melaksanakan keputusan dengan penuh percaya diri

3) Kemandirian nilai (Values autonomy)

Kemandirian nilai adalah kemampuan individu untuk menolak tekanan atau tuntutan orang lain yang berkaitan dengan keyakinan dalam bidang nilai. Dengan demikian individu memiliki seperangkat prinsip tentang benar, salah serta penting dan tidak penting dalam memandang sesuatu dilihat dari sisi nilai. Terdapat tiga perubahan kemandirian nilai yang terjadi mada masa remaja, yaitu keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief), keyakinan akan nilai semakin bersifat prinsip (principled belief), dan keyakinan akan nilai-nilai yang berbentuk dalam diri remaja bukan dalam sistem nilai yang diberikan oleh orang tua atau orang dewasa lainnya tetapi lebih pada keyakinan yang dimilikinya sendiri (indepent belief).


(33)

Kemandirian nilai pada anak ditandai dengan beberapa indikator yakni, 1). Cara anak dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin abstrak, 2). Keyakinan-keyakinan anak menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang dimiliki beberapa basis idiologis, 3). Keyakinan-keyakinan anak menjadi semakin bertambah tinggi dalam nilai-nilai mereka sendiri dan bukan hanya dalam suatu sistem nilai yang ditanamkan oleh orang tua atau figur pemegang kekuasaan lainnya.

Berdasarkan pendapat Batia, Bernadib, Greenberger maupun Brawer, maka dalam penelitian ini kami menggunakan teori kemandirian dari Steinberg (1989:270) yang menyatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan individu dalam mengelola dirinya sendiri. Jadi individu yang mandiri adalah individu yang mampu mengelola dirinya sendiri (self governing person). Kemampuan dalam mengelola diri sendiri ini ditandai dengan kemampuannya untuk tidak bergantung kepada dukungan orang lain terutama orang tua, mampu mengambil keputusan secara sendiri dan mampu menerima akibat keputusan tersebut, serta memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting

2.1.3 Proses perkembangan kemandirian

Kemandirian adalah kondisi psikologis yang dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan terus- menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan disesuaikan dengan usia


(34)

serta kemampuan anak. Misalnya: untuk anak-anak usia 3-4 tahun latihan kemandirian dapat berupa membereskan mainan yang telah dipakainya. Menurut Watson dan Lindgren (dalam Suparmi,1991:31) anak mulai menunjukan mandiri pada usia sekitar 2 – 3 tahun. Pada usia ini anak banyak menunjukkan tingkah laku negatif dan menentang. Hal ini disebabkan anak mulai menyadari ”aku”nya antara lain berusaha mandiri dengan menolak bantuan orang lain, menentang petunjuk-petunjuk orang dewasa, dan lain sebagainya.

Setelah anak memasuki remaja (usia anak SMP) ada beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Selain kematangan fisik, seorang remaja juga harus mencapai tugas-tugas perkembangan psikis, yaitu secara bertahap mencapai kemandirian dari orang tua, penyesuaian dengan kematangan sosial, mempertahankan kerjasama dengan teman sebaya tanpa mendominasi teman-temannya, memutuskan dan menyiapkan pekerjaan yang berarti. Kebutuhan akan kemandirian nyata benar pada usia remaja. Mereka selalu ingin menunjukkan bahwa mereka dapat mengambil keputusan sendiri, tidak mau didikte dan tidak mau terikat dengan aturan orang tua. Mereka sebaiknya diberi kebebasan untuk memilih model dan warna baju, jam berapa ia harus bangun dan tidur malam, dengan siapa anak tersebut bergaul walaupun sedikit masih dalam pengawasan orang tua. Dengan memberikan latihan tersebut, diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertambah pula kemampuan anak untuk berpikir secara objektif, tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil


(35)

keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain dengan demikian kemandirian akan berkembang dengan baik.

Dengan kemandirian tersebut anak harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya, dengan kata lain mereka melepaskan diri sendiri secara bertahap dari ikatan ketergantungan orang tua. Hal ini juga diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dengan teman sebaya. Melalui hubungan pertemanan mereka belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima atau menolak pandangan atau nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Bila didalam kelompoknya mereka merasa nyaman dan bisa diterima dan dihargai akan keberadaannya dan sebaliknya bila di lingkungan rumah tidak menerimanya maka akan terjadi hambatan atau masalah. Sebab anak akan berpikir kalau mereka melepaskan dari ikatan orang tua maka segala kebutuhan atau keinginan tidak dapat terpenuhi secara finansial, sebaliknya bila mereka mengikuti irama kelompok secara psikologis akan mendapat kepuasaan tersendiri . Agar terjadi perkembangan kemandirian anak maka orang tua hendaknya:

1 Berkomunikasi dua arah antara orang tua dengan anak. Dengan melakukan berkomunikasi orang tua dapat mengetahui pandangan- pandangan dan kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya


(36)

anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orang tuanya.

2. Memberikan kesempatan kepada anaknya untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambilnya, bahkan mengusahakan sendiri apa yang diperlukan dan biarkan juga mereka mengatasi sendiri berbagai masalah yang muncul. Peran orang tua hanya sebagai pengamat dan bisa melakukan intervensi jika tindakan anak dianggap dapat membahayakan dirinya maupun orang lain.

3. Memberi tanggung jawab terhadap tindakan yang diperbuat anak merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggung jawab anak akan belajar untuk tidak mengulang hal-hal yang memberikan dampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya.

4. Adanya konsistensi orang tua dalam menerapkan kedisiplinan dan menanamkan nilai-nilai kepada anak dan sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan bagi remaja untuk mengembangkan kemandirian berpikir secara dewasa. Orang tua yang konsisten dalam menerapkan kedisiplinan akan memudahkan anak dalam membuat rencana hidupnya sendiri dan dapat memilih berbagai alternatif yang menjadi salah satu ciri anak mandiri.


(37)

2.2 Pola Asuh

2.2.1 Pengertian Pola Asuh

Menurut Jersild (1978:230) memandang pola asuh orang tua merupakan pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya untuk mencapai tujuan keluarga. Hal ini didukung pendapat Gunarsa (1995:116) pola asuh orang tua sebagai cara mendidik anak yang sesuai dengan sifat dan titik berat orang tua dalam hubungan antara anak dan orang tua.

Haditono (1990:128) mengartikan pola asuh orang tua adalah cara khas orang tua dalam memperlakukan anak-anak mereka yang berhubungan erat dengan terbentuknya kepribadian. Sedangkan Handayani (2002:33) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah cara orang tua dalam mengasuh anaknya dengan memberikan aturan-aturan atau disiplin dengan tujuan membentuk watak, kepribadian dan memberikan nilai-nilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

Dari beberapa definisi tersebut di atas penulis mengemukakan pola asuh orang tua adalah daya upaya dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, perlakuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari, serta orang tua dalam keluarga mempunyai peranan penuh untuk mengatur dan mendidik anak-anaknya.

Pola asuh orang tua bermacam-macam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hurlock (1999:17-18), menyatakan ada tiga cara yang


(38)

digunakan oleh orang tua dalam mendidik putra-putrinya, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Dalam penerapannya tidak bisa dibedakan secara tegas sehingga kecenderungan pola asuh tertentu yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Ketiga pola asuh tersebut mempuanyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pola asuh otoriter

Adanya kontrol yang ketat dari orang tua, aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak, anak harus berperilaku sesuai aturan yang telah ditetapkan orang tua, orang tua tidak mempertimbangkan pandangan atau pendapat anak dan orang tua memusatkan perhatian pada pengendalian secara otoriter yaitu berupa hukuman fisik.

Pada pola asuh ini orang tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak tanpa memberi alasan atau penjelasan tentang alasannya. Apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberi kesempatan untuk memberi alasan atau penjelasan sebelum hukuman diterima. Sebaliknya orang tua tidak pernah memberikan hadiah atau pujian apabila anak berbuat sesuai dengan orang tua.

Pola asuh ini anak mempunyai sifat submisif, anak tidak mempunyai inisiatif karena takut berbuat salah, anak menjadi penurut, tidak mempunyai kepercayaan diri dan tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Pada pola asuh ini kontrol orang tua sangat ketat, namun dipihak lain orang tua menuntut agar anak lebih bertanggung


(39)

jawab sesuai dengan perkembangannya, tetapi anak merasa terkekang dalam mencari kemandirian. Karena itu sering terjadi konflik antara anak dan orang tua, anak tidak mau berkomunikasi dengan orang tua, akhirnya terjadi jurang pemisah antara anak dengan orang tua.

2. Pola asuh demokratis

Aturan dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga, orang tua memperhatikan keinginan dan pendapat anak, selalu mengadakan diskusi untuk mengambil suatu keputusan, anak mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan diberi kepercayaan serta bimbingan dan kontrol dari orang tua. Apabila anak harus melakukan tugas tertentu, orang tua memberikan penjelasan atau alasan mengapa perlunya hal tersebut dilakukan dan bila anak melanggar peraturan yang telah ditetapkan, anak diberi kesempatan untuk memberikan alasan mengapa ketentuan itu dilanggar sebelum anak menerima hukuman. Hukuman yang diberikan berkaitan dengan perbuatannya dan berat ringannya hukuman tergantung pada pelanggarannya. Hadiah dan pujian diberikan oleh orang tua untuk perilaku yang diharapkan. Pada pola asuh ini hubungan anak dan orang tua harmonis, kontrol orang tua terhadap anak tidak berlebihan. Ada dialog diantara mereka sehingga anak merasa dihargai untuk mengeluarkan pendapat, karena itu anak dengan orang tua saling bertukar pikiran, orang tua menghargai anak dan respek terhadap orang tua. Anak tidak takut akan


(40)

membuat kesalahan, dengan demikian rasa percaya diri anak akan berkembang dengan baik dan anak mempunyai rasa tanggung jawab. 3. Pola asuh permisif

Tidak adanya bimbingan dan aturan dari orang tua, tidak ada tuntutan kepada anak, tidak ada pengendalian atau pengontrolan dari orang tua. Orang tua tidak memberikan aturan kepada anaknya, anak diberi kebebasan dan diizinkan untuk membuat keputusan untuk dirinya sendiri, anak harus belajar sendiri untuk berperilaku dalam lingkungan sosial, anak diperkenankan berbuat sesuai dengan apa yang dipikirkan anak.Tidak ada hukuman dari orang tua meskipun anak melanggar peraturan dan tidak diberi hadiah bila berperilaku baik.

Pada pola asuh permisif semua serba boleh, karena tidak ada kontrol dari orang tua, anak berbuat sekehendak hatinya, maka anak kurang respek terhadap orang tua, kurang menghargai apa yang diberbuat orang tua untuknya. Anak yang diasuh dan dididik dengan pola ini biasanya mendapat proteksi yang berlebihan, sehingga apapun yang dilakukan anak dibiarkan oleh orang tua. Dengan demikian perhatian serta hubungan orang tua dengan anak akan terganggu, karena tidak ada pengarahan atau informasi dari orang tua, maka anak tidak mengerti apa yang sebaiknya dikerjakan dan mana sebaiknya yang ditinggalkan.

Anak kurang mempunyai tanggung jawab dan biasanya anak sulit dikendalikan serta berbuat hal-hal yang sebenarnya tidak dibenarkan.


(41)

Perilaku sering melanggar norma- norma masyarakat karena itu akan terbentuk sikap penolakan dari lingkungan dan akibatnya kepercayaan diri goyah serta penghargaan pada diri sendiri kurang baik.

Senada pendapat Hurlock, menurut Baumrid dikutip oleh McKay (2006 : 10) juga membagi pola asuh ke dalam tiga kategori berdasarkan pada kehangatan, yakni tingkat keterlibatan, dukungan dan respon orang tua pada anak, dan kontrol yang meliputi tuntutan atau ekspetasi orang tua pada anak serta tingkat pengawasan anak

Pola asuh jenis pertama adalah Authoritative dimana orang tua menunjukan kehangatan dan kontrol tinggi. Ekspektasi dan aturan yang konsisten, jelas serta rasional dipadukan dengan kehangatan dan komunikasi yang baik. Orang tua dengan pola asuh ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampui kemampuan anak dan juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

Selanjutnya pola asuh outhoritarian menggabungkan kontrol yang tinggi dengan kehangatan yang rendah. Pola asuh jenis ini memungkinkan orang tua memberikan perintah dan ekspetasi yang tinggi pada anak dengan partisipasi anak yang sangat terbatas. Orang tua cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakn oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak, dan tidak kenal kompromi dan dalam komunikasi


(42)

bersifat satu arah serta tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti menganai anaknya.

Pola asuh jenis ketiga adalah pola asuh permissive, pola asuh jenis ini memadukan tingkat kehangatan yang tinggi dengan tingkat kontrol yang rendah. Orang tua terlalu memanjakan anak dan tidak memberikan tuntutan apapun pada anak. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua.

Dari pendapat Hurlock dan Baumrid, kami selaku peneliti menggunakan dasar teori Hurlock yang menyatakan bahwa pola asuh adalah cara/strategi pendidikan dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya dalam kehidupan sehari-hari serta peranan penuh orang tua untuk mengatur dan mendidik anaknya. Menurut Hurlock (1999:17-18) ada tiga tipe pola asuh, yaitu pola asuh otoriter dengan ciri adanya kontrol yang ketat dari orang tua, aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak, anak harus berperilaku sesuai dengan standar orang tua, dan memungkinankan adanya hukuman fisik dari orang tua. Pola asuh kedua, adalah pola asuh demokratis dengan ciri aturan dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga, orang tua memperhatikan keinginan dan pendapat anak, menggunakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah, adanya kepercayaan dan kontrol serta pengawasan dari orang tua. Sedangkan pola asuh ketiga yaitu pola asuh


(43)

permisif dengan ciri anak diberi kebebasan penuh, tidak ada pengawasan dan kontrol serta bimbingan dari orang tua

2.2.2 Aspek-aspek pola asuh orang tua

Aspek – aspek pola pengasuhan orang tua menurut Hurlock (1999:124) adalah sebagai berikut:

a) Peraturan dan hukum

Peraturan dan hukum ini dibuat dengan fungsi sebagai pedoman dalam melakukan penilaian terhadap perilaku anak.

b) Hukuman

Hukuman diberikan bagi individu karena pelanggaran yang dilakukan terhadap peraturan dan hukum.

c) Hadiah

Hadiah diberikan untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berperilaku sosial yang baik.

Senada pendapat Hurlock,Gunarsa (1995:41) Aspek – aspek dari pola asuh orang tua adalah:

a) Aspek kognitif, yang dimaksud adalah menanamkan disiplin tidak lepas dari pengembangan pengertian-pengertian dan karena itu harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan.

b) Kasih sayang, sebagai dasar untuk menciptakan hubungan dengan anak, agar anak tidak merasa dipaksa untuk berbuat sesuatu di luar kemampuannya.


(44)

c) Hukuman yang diartikan sebagai sikap tegas, konskuen dan konsisten dengan dasar yang dihukum bukan anak atau perasaan anak tetapi merupakan perbuatan yang melanggar aturan

2.3 Harga Diri

2.3.1 Pengertian harga diri

Harga diri merupakan satu aspek kepribadian yang dianggap penting dan memberi sumbangan besar bagi keberhasilan seseorang. Penelitian – penelitian menunjukan bahwa harga diri akan mempengaruhi proses berpikir dan bertindak individu, sehingga akan mempengaruhi seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku..

Menurut Loekmono (1992:5) harga diri merupakan suatu kebutuhan yang ada dalam diri setiap manusia yang memerlukan pemenuhan dan kepuasaan. Apabila kebutuhan harga diri dipenuhi maka diharapkan seseorang mempunyai sikap percaya diri, rasa berharga, dan rasa mampu. Sebaliknya apabila kebutuhan harga diri tidak terpenuhi akan mengakibatkan rasa rendah diri, merasa lemah, tidak mampu, merasa tidak berguna, merasa hampa dalam hidupnya, merasa putus asa dan ragu-ragu dalam bertindak.

Frey (dalam Aditomo dan Retnowati, 2004:5) mengatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang menjelaskan keputusan positif, negatif, netral dan kabur, yang merupakan salah satu bagian dari konsep diri. Konsep diri yang baik akan membentuk harga diri yang baik pula. Sehingga individu mampu menerima keadaan dirinya secara baik dan


(45)

wajar, mampu mengekspresikan pendapatnya lewat jalur yang baik dan benar, dan memiliki emosi yang stabil, tidak mudah terpengaruh, karena lebih jelas dalam membedakan hal yang positif dan negatif.

Menurut Harris dan Reynold (1995:23) bahwa harga diri akan muncul apabila individu mempunyai sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat, rasa mampu, dan perasaan berguna. Dan apabila individu tidak memiliki perasaan tersebut, ia akan merasakan hampa dalam kehidupan ini, penuh keragu-raguan, putus asa dan rendah diri terhadap orang lain. Atau dengan kata lain bahwa harga diri sebagai motif berperilaku yang berasal dari keyakinan dan perasaan tentang diri sendiri. Dan menurutnya ada tiga motif berperilaku. Motif pertama, seorang anak akan bertindak dengan cara-cara yang meningkatkan perasaan harga diri dan kepuasan, seperti melakukan hal-hal yang disukainya dan dilakukan dengan baik, menghindari tugas-tugas yang mungkin gagal, menyenangkan orang lain, mengharapkan pujian dan ijin. Motif kedua, seorang anak akan bereaksi dengan cara-cara yang mengkonfirmasikan citra dirinya oleh orang lain dan dirinya. Jika individu percaya bahwa dirinya seorang yang baik, individu akan berusaha dikritik dan dihukum. Motif ketiga, seorang anak akan bereaksi sedemikian rupa untuk mempertahankan citra diri yang konsisten tanpa mempedulikan lingkungan yang berubah. Ketiga motif tersebut mempengaruhi cara anak berperilaku dan seringkali diungkapkan secara bersama walaupun saling bertentangan.


(46)

Harga diri menurut Clemes (1995: 8) adalah perasaan yang selalu terungkap sendiri dengan cara orang bereaksi, sehingga harga diri merupakan apa yang dirasakan mengenai dirinya dan menjadi kompenen utama dalam menentukan suatu visi dan misi kehidupan. Sejalan dengan pendapat Clemes, menurut Klass dan Hodge (dalam Ling dan Dariyo, 2002:36) yang menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu, yang diperoleh dari interaksi individu dengan lingkungan serta penerimaan, penghargaan, dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut.

Menurut Coopersmith (dalam Goble,1987:264) mendefinisikan self-esteem merupakan penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri; penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan, dan menunjukan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga.

Ditegaskan pula oleh Worchel,dkk (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003:69) bahwa harga diri merupakan kompenen evaluatif dari konsep diri, yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang dirinya sendiri yang dimiliki seseorang

Loekmono (1992:13) menjelaskan bahwa jika seseorang mempunyai harga diri yang rendah maka cenderung mengarah pada merusak (merendahkan) dirinya sendiri dan ingin dapat sama dengan orang pada umumnya, sedangkan seorang yang harga dirinya tinggi atau


(47)

positif dapat menerima kualitas-kualitas dalam kebersamaan dan dapat mendekati orang lain dengan percaya diri tanpa merasa ditolak.

Menurut Pudjijogyanti (1985:56) menyatakan bahwa harga diri merupakan bagian yang membentuk konsep diri tentang siapakah saya dan apakah saya. Hal ini dapat diketahui apabila individu mengadakan interaksi dengan orang lain.

Calhoun (alih bahasa RS. Satmoko, 1995: 71) menjelaskan definisi yang paling tepat untuk menggambarkan self-esteem adalah seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Semakin kita menyukai diri kita semakin baik kita akan bertindak dalam bidang apapun yang kita tekuni.

Aldridge (1993:20) menyebutkan “ Self-esteem is the feeling of self-worth and high self-regard.” Lebih lanjut Brecht ( 2000: 4) menerangkan “self-esteem is the acceptance of ourselves, by ourselves, for who and what we are at any time in our live. It is associated with the belief that we are worthwile, capable and useful no matter what has happened in our life, what is happening, or what may happen.”

Menurut Maslow ( 1984:51) mengungkapkan individu dengan harga diri tinggi akan menghasilkan sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat, rasa mampu, dan berguna sehingga memiliki sikap positip terhadap perkembangan diri yang lebih lanjut dan berusaha memperbaiki serta mengatasi kekurangan yang dimiliki.

Kesadaran adanya kelemahan diri menyebabkan seseorang berusaha keras untuk mengatasinya, yang dikenal dengan istilah over


(48)

compensation. Over compensation membuat individu menjadi unggul dalam suatu bidang tertentu mungkin tidak dapat diatasi dengan over compensation tetapi diatasi dengan usaha mengadakan kompensasi (menge jar keunggulan pada bidang lain). Kompensasi dapat bersifat positip jika hasilnya berbentuk prestasi yang menonjol di baidang lain, namun dapat pula bersifat negatif jika hasilnya berbentuk sikap dan berperilaku merusak, sombong dan sengaja membuat keributan untuk menarik perhatian orang lain.

Dari pendapat Coopersmith, Maslow, Calhoun, Aldridge, maka peneliti menyimpulkan bahwa harga diri adalah suatu penilaian diri seseorang secara keseluruhan tentang rasa keberhargaannya yang kemudian diekspresikan dalam sikap menerima ataupun menolak, dan hal ini menunjukan sejauhmana seseorang percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil maupun berharga.

2.3.2 Pembentukan harga diri

Harga diri terbentuk setelah anak lahir, ketika anak-anak berhadapan dengan dunia luas dan berinteraksi dengan orang- orang di sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya apa adanya, sehingga individu punya perasaan harga diri (Burns, 1993:78)


(49)

Harga diri mengandung pengertian ” siapa dan apa diri saya” segala sesuatu yang berhubungan dengan seseorang selalu mendapat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekat dalam diri individu akan mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinterkasi di mana proses ini dapat menguji individu, yang memperlihatkan standar dan nilai diri yang terinternalisasi dari masyarakat dan orang lain.

Bagaimana lingkungan menilai diri seseorang akan berpengaruh bagaimana seseorang menilai keadaan dirinya. Apabila lingkungan menerima keadaan seseorang, apabila lingkungan menyenangi seseorang, maka orang tersebut akan menerima dan menyenangi dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya, apabila orang lain menghargai diri seseorang, maka orang tersebut juga akan menghargai dirinya secara baik. Oleh karena itu, hubungan seseorang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya merupakan hal yang sangat penting dalam terbentuknya harga diri.

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

Faktor- faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu: (1) pengalaman; (2) pola asuh; (3) lingkungan; (4) sosial ekonomi (Coopersmith, dalam Burns, 1993:122)

Pengalaman merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, kajadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup individu. Pola asuh merupakan sikap


(50)

orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya yang meliputi cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara memberikan perhatiannya serta tanggapan terhadap anaknya (Shochib, 1998: 18). Lingkungan memberikan dampak besar kepada anak melalui hubungan yang baik antara anak dengan orang tua, teman sebaya, dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga dirinya. Sosial ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari.

Sejalan pendapat Coopersmith, Bretch (2000: 15) berpendapat mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri antara lain:

1) Orang tua

Orang tua adalah sumber yang mempengaruhi kualitas harga diri pada anak, perilaku orang tua terhadap anak akan menimbulkan kesan tersendiri bagi anak. Orang tua yang selalu memberikan perhatian ketika anak berkelakuan baik, memberikan penghargaan untuk usaha anak dalam arti bukan hanya hasil yang dicapai, mengkritik perilaku anak bukan terhadap anak itu sendiri, memberi dorongan kepada anak untuk berbaur dengan anak-anak lain, serta sering memeluk, merangkul anak akan menumbuhkan harga diri yang sehat pada anak. Tetapi kadangkala orang tua yang terlalu perhatian dan kasih sayang sebenarnya justru merusak harga diri anak tanpa disadari, meskipun mempunyai maksud yang baik. Sebagai contoh terlalu memanjakan anak atau terlalu membatasi pergaulan anak. Hasil penelitian Coopersmith menunjukkan bahwa anak yang memiliki harga diri tinggi pada umumnya berlatar belakang orang tua yang memberikan kehangatan dan kasih sayang dengan menerapkan batasan-batasan serta model-model disiplin yang tegas.

2) Teman sebaya

Harga diri dapat ditingkatkan melalui kelompok teman sebaya yang menerima anak apa adanya. Jika kelompok teman sebaya memperhatikan seorang anak atas hasil yang telah dicapai akan


(51)

memandang seorang anak sebagai ahli pada bidang tertentu. Memuji seorang anak karena pandai dalam suatu hal maka hal ini dapat memabantu peningkatan harga diri pada anak. Jika kebutuhan untuk teman yang menyenangkan tidak terpenuhi maka anak dapat memiliki harga diri rendah. Hubungan anak dan teman sebaya saling mendukung rasa harga diri masing-masing. Bila dalam kelompok pergaulan individu terhadap perilaku negatif, maka individu tersebut akan berperilaku negatif juga, karena hal ini menyangkut harga diri dalam kelompok tersebut dengan tujuan agar diterima dalam kelompok.

3) Prestasi

Kemampuan untuk menetapkan tujuan yang realistis dan penghargaan terhadap diri sendiri pada setiap langkah yang dicapai. Prestasi juga merupakan pendorong untuk meningkatkan harga diri pada anak. Seorang anak yang mengembangkan suatu pola tertentu untuk berprestasi dalam jumlah bidang maka anak cenderung percaya bahwa dirinya mampu, dirinya bisa, maka hal ini akan menimbulkan rasa senang dan bangga pada diri sendiri.

4) Diri sendiri merupakan sumbangan terpenting bagi peningkatan harga diri. Karena seseorang dituntut untuk mengevaluasi diri terhadap apa yang telah dilakukan maupun dari penilaian orang lain. Anak yang memiliki harga diri tinggi akan mengutamakan apa yang dapat dilakukan dan apa yang telah dilakukan, dapat menghargai diri sendiri, mengkritik perilaku bukan diri sendiri. Sebaliknya anak yang bersikap sinis, negatif, pesimis, mengkritik diri sendiri bukan perilaku, menetapkan tujuan yang tidak realistis, serta melakukan kemauwan kelompok meskipun berorientasi negatif dengan harapan tidak kehilangan teman, merupakan golongan anak yang memiliki harga diri rendah. Baik buruknya perilaku anak dapat dipengaruhi oleh keadaan harga diri pada anak.

2.3.4 Tingkat Harga Diri

Menurut Coopersmith (dalam Buss, 1995: 174) berpendapat bahwa orang dengan harga diri tinggi akan mempengaruhi kepercayaan dirinya, mengembangkan potensinya secara realistik dan memiliki keyakinan untuk meraih sukses. Penelitian yang dilakukan oleh Baumister


(52)

dan Breenberg (dalam Leary dkk, 1995:529) juga mendukung pendapat di atas yaitu anak yang memiliki harga diri tinggi akan dapat melawan kecemasan dalam dirinya, dapat mengatasi masalah serta kondisi fisik.

Sedangkan menurut Pirera (dalam Mawardi, 2005:21) orang yang memiliki harga diri rendah meramalkan hasil yang negatif dan karenanya mengabaikan potensi-potensi yang dimilikinya. Hal ini juga diperkuat pendapat Sigal dan Bould (dalam Indrayani, 1998:26) yang menyatakan bahwa harga diri rendah cenderung menyebabkan anak berperilaku kurang terpuji karena adanya perasaan kurang mantap terhadap kemampuannya.

Coopersmith (dalam Harsini, 2001:23) menjelaskan bahwa harga diri setiap individu berbeda-beda tingkatannya antara individu yang satu dengan individu yang lain. Ada yang tinggi, menengah, dan rendah. Individu dengan harga diri tinggi memiliki ciri : mandiri, kreaktif, yakin akan gagasan-gagasan dan pendapatnya sendiri, mempunyai kepribadian yang stabil, tingkat kecemasan rendah, lebih berorientasi kepada kebutuhan, melihat dirinya sebagai orang yang berguna dan mempunyai harapan (exspectation) yang tinggi. Individu dengan harga diri menengah memiliki ciri umum seperti individu yang memiliki harga diri tinggi, namun disertai sifat-sifat : memandang dirinya lebih baik dari kebanyakan orang, kurang yakin terhadap dirinya, dan sangat tergantung pada penilaian orang terhadap dirinya. Sedangkan individu dengan harga diri rendah memiliki ciri: kurang mandiri, kurang kreaktif, memiliki kecemasan yang tinggi, merasa kurang berguna, kurang berorientasi


(53)

kepada kebutuhan, memiliki ekspektasi yang rendah, kurang percaya diri, malas menyatakan diri terutama kalau memiliki gagasan –gagasan baru.

Senada pendapat tentang tingkatan harga diri ini Loekmono (1993:13) menggolongkan dua tingkatan harga diri yaitu harga diri tinggi dan rendah. Orang dengan harga diri tinggi memiliki ciri-ciri : berpikir cukup tinggi terhadap dirinya, mampu menerima dirinya sendiri dan orang lain, mampu mengontrol akibat, berharap sukses daripada gagal, lebih menaruh keprihatinan pada potensi penghargaan dari lingkungan daripada diri sisi keuangan atau finansial. Sedangkan orang yang memiliki harga diri rendah dengan ciri-ciri : merasa ragu tentang dirinya, menilai dirinya lebih negatif sehingga cenderung mengarah pada merusak dirinya dan ingin dapat sama dengan orang pada umumnya, lebih berorientasi pada finasial, kesulitan dalam menerima orang lain .

Sedangkan Yuniarti (1993 : 25) menggolongkan harga diri tinggi , menengah dan harga diri rendah. Orang yang memiliki harga diri tinggi memiliki ciri: ekspresif, aktif, sukses dalam bidang akademik dan sosial, dalam pergaulan cenderung memimpin, bebas mengeluarkan pendapat, tidak menghindari kritik, serta tidak mudah cemas. Orang yang memiliki harga diri menengah memiliki ciri-ciri kurang yakin terhadap diri sendiri dan sangat tergantung pada apa yang dikatakan orang lain terhadap dirinya. Sedangkan orang yang memiliki harga diri rendah memiliki ciri- ciri mudah putus asa, merasa tidak berguna, terisolir, kemauwan untuk


(54)

mengatasi kekurangan diri sangat lemah, takut mengeluarkan pendapat, takut terhadap kritik, serta mudah tersinggung.

2.3.5 Aspek-aspek Harga Diri

Menurut Coopersmith ( dalam Buss, 1995: 178) mengemukakan bahwa harga diri meliputi beberapa aspek, yaitu :

1). Rasa diterima, berarti merasa sebagai bagian dari suatu kelompok, dihargai dan diterima oleh anggota kelompok lainnya.

2). Rasa mampu, berarti merasa mampu untuk melakukan sesuatu yang penting karena akan mendorong kemajuan.

3). Rasa dibutuhkan, berarti merasa berharga, berarti dan bernilai.

Senada dengan pendapat Coopersmith, Maslow ( 1984:51) harga diri meliputi beberapa aspek yatu :

1). Perasaan untuk dianggap mampu dan berguna bagi orang lain.

2). Perasaan untuk dihormati, seseorang dihormati oleh orang lain, merasa bahwa dirinya berharga.

3). Perasaan yang dibutuhkan oleh orang lain, sehingga akan merasa bahwa dirinya diterima oleh lingkungan.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Buss (1995: 178) bahwa aspek- aspek harga diri yaitu :

1). Rasa diterima, berarti seorang individu merasa sebagai bagian dari lingkungan sosialnya, dihargai dan diterima oleh lingkungan sosialnya, serta dapat menerima keadaan dirinya sendiri.


(55)

2). Rasa mampu, berarti seorang individu merasa mampu untuk melakukan sesuatu yang penting bagi diri sendiri dan orang lain, karena akan mendorong kemampuan dirinya.

3). Rasa dibutuhkan, berarti seorang individu merasa dirinya berharga, bernilai dan dibutuhkan dalam lingkup sosialnya. Sedangkan menurut Hjella dan Ziegler (1992: 453) mengemukakan ada enam aspek yang mempengaruhi seorang individu menilai dirinya yaitu aspek : pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik dan pengertian.

Pendapat lain dikatakan Nemiah (dalam Aswagati, 2001:17) mengatakan ada tiga aspek yang mempengaruhi terbentuknya harga diri, yaitu :

1). Aspek fisik meliputi : penerimaan diri yang ditujukkan oleh kemampuan individu untuk menghargai diri sendiri, percaya diri, dan menerima apa adanya atas keadaan yang sebenarnya.

2). Aspek psikologis meliputi : parasaan mampu, ditujukkan oleh kemampuan individu bahwa dirinya mampu dan memiliki sikap optimis dalam menghadapi masalah kehidupan.

3). Aspek sosial meliputi: perasaan dibutuhkan, ditujukkan oleh kemam puan individu bahwa dirinya diterima oleh lingkungannya dan dirinya dianggap berguna bagi orang lain.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka dalam penelitian ini kami menggunakan dasar teori Coopersmith yang menyatakan bahwa aspek


(1)

NO

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

total

77

0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1

16

78

1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0

10

79

0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1

17

80

0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0

6

81

0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

17

82

1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1

21

83

0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0

14

84

1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1

18

85

0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1

14

86

0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 1

13

87

1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0

18

88

1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1

14

89

0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 0

12

90

0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1

5

91

1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

22

92

1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

23

93

1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

23

94

0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1

9

95

0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0

9

96

1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1

9

97

1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0

14

98

1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1

22

99

1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1

16

100

1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1

16

101

1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0

13


(2)

137

NO

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

total

103

1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1

13

104

1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1

14

105

0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0

12

106

0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0

8

107

0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1

16

108

0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 0

14

109

1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

19

110

0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1

13

111

1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1

20

112

0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1

16

113

0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1

10

114

1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

17

115

0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1

16

116

0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1

15

117

0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

18

118

1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1

21

119

1 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1

17

120

0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1

16

121

1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

24

122

1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

22


(3)

138

TRY OUT POLA ASUH

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted

VAR00001 21.9063 36.6038 .4552 .8141

VAR00002 21.7188 36.2732 .3345 .8156

VAR00003 21.9063 39.8942 -.4435 .8314

VAR00004 21.0938 37.5071 .2006 .8192

VAR00005 21.5938 35.5393 .4260 .8125

VAR00006 21.3750 35.4677 .4460 .8119

VAR00007 21.4375 35.9315 .3537 .8150

VAR00008 21.8438 36.8458 .2994 .8168

VAR00009 21.7188 35.6280 .4559 .8119

VAR00010 21.8750 36.8226 .3401 .8161

VAR00011 21.8750 37.0806 .2759 .8175

VAR00012 21.5625 35.8024 .3757 .8142

VAR00013 21.8438 37.0393 .2555 .8179

VAR00014 21.3125 35.1250 .5331 .8092

VAR00015 21.4375 36.3831 .2772 .8175

VAR00016 21.9063 37.2490 .2727 .8178

VAR00017 21.9375 36.5766 .5666 .8132

VAR00018 21.7500 36.5161 .3033 .8166

VAR00019 21.0313 37.7087 .2684 .8187

VAR00020 21.2813 36.5313 .2866 .8171

VAR00021 21.0938 36.7329 .4184 .8149

VAR00022 21.3125 36.8024 .2272 .8190

VAR00023 21.9063 36.2813 .5476 .8123

VAR00024 21.9375 38.7702 -.1659 .8251

VAR00025 21.9063 38.6683 -.1177 .8253

VAR00026 21.3125 37.3185 .1360 .8218

VAR00027 21.7813 36.7571 .2728 .8175

VAR00028 21.2500 36.0000 .4033 .8136

VAR00029 21.3125 36.6089 .2618 .8179

VAR00030 21.4063 36.6361 .2380 .8188

VAR00031 21.5313 36.1280 .3179 .8162

VAR00032 21.4375 36.5766 .2447 .8186

VAR00033 21.6875 36.1573 .3432 .8153

VAR00034 21.0938 36.9264 .3635 .8160

VAR00035 21.3125 36.7379 .2387 .8186

VAR00036 21.8438 39.6845 -.3223 .8316

VAR00037 21.2813 36.5313 .2866 .8171

VAR00038 21.0938 36.8619 .3818 .8156

VAR00039 21.2813 36.5313 .2866 .8171

VAR00040 21.4063 36.5716 .2489 .8185

VAR00041 21.1563 36.9103 .2847 .8172

VAR00042 21.1563 37.1038 .2409 .8183

VAR00043 21.7188 36.6603 .2628 .8178

VAR00044 21.1563 36.8458 .2994 .8168

VAR00045 21.2188 36.1119 .4030 .8138

Reliability Coefficients N of Cases = 32.0 N of Items = 45 Alpha = .8207


(4)

139

TRY OUT HARGA DIRI

*****Method 1 (space saver) will be used for this analysis ****** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A)

VAR00001 13.0313 18.7409 .3428 .7508

VAR00002 13.0625 18.9637 .2965 .7537

VAR00003 12.5938 19.2813 .2883 .7544

VAR00004 13.0313 19.1925 .2339 .7577

VAR00005 12.6250 19.4032 .2332 .7572

VAR00006 12.8438 19.2974 .2012 .7599

VAR00007 12.9375 18.3831 .4146 .7459

VAR00008 13.2188 19.2087 .3097 .7533

VAR00009 12.9375 19.0927 .2466 .7570

VAR00010 12.9063 19.0554 .2546 .7565

VAR00011 12.8125 18.8669 .3060 .7531

VAR00012 12.7500 18.9677 .2955 .7538

VAR00013 12.7188 18.7893 .3506 .7504

VAR00014 13.0313 18.9990 .2802 .7547

VAR00015 13.2500 19.0968 .3752 .7504

VAR00016 12.5625 19.3508 .2944 .7543

VAR00017 12.8750 18.6935 .3403 .7509

VAR00018 13.0938 19.3780 .2033 .7593

VAR00019 12.9375 18.3831 .4146 .7459

VAR00020 12.7188 19.0474 .2855 .7544

VAR00021 12.9375 18.8992 .2918 .7541

VAR00022 12.7813 19.1442 .2454 .7569

VAR00023 12.8750 19.2097 .2196 .7587

VAR00024 12.5938 19.4748 .2316 .7573

VAR00025 12.6250 18.7581 .4145 .7474

Reliability Coefficients N of Cases = 32.0 N of Items = 25 Alpha = .7615


(5)

TRY OUT KEMANDIRIAN

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted

VAR00001 30.6591 44.8346 .4540 .8655

VAR00002 29.9545 47.5793 -.0150 .8721

VAR00003 30.4773 44.5344 .4233 .8660

VAR00004 30.4318 45.5534 .2624 .8696

VAR00005 30.0000 46.2326 .2877 .8686

VAR00006 29.9545 46.0444 .4283 .8671

VAR00007 30.6364 46.7484 .1087 .8722

VAR00008 29.8864 47.5914 .0000 .8708

VAR00009 30.2955 44.3990 .4443 .8655

VAR00010 30.0227 44.9530 .5409 .8645

VAR00011 29.9773 46.1158 .3522 .8678

VAR00012 30.1136 46.2891 .1946 .8704

VAR00013 30.1136 46.4286 .1702 .8709

VAR00014 29.9545 45.9514 .4556 .8668

VAR00015 30.1136 44.2426 .5620 .8634

VAR00016 30.1591 45.4392 .3209 .8681

VAR00017 30.7273 45.9704 .2958 .8684

VAR00018 30.5000 43.9767 .5162 .8638

VAR00019 30.0682 46.2511 .2239 .8697

VAR00020 30.1818 44.6638 .4401 .8656

VAR00021 30.2955 44.2595 .4661 .8650

VAR00022 30.2727 43.5053 .5915 .8621

VAR00023 30.4545 44.8584 .3698 .8672

VAR00024 29.9318 46.9952 .1910 .8698

VAR00025 29.9318 46.3441 .4193 .8676

VAR00026 30.0455 45.0211 .4901 .8652

VAR00027 30.4318 44.4371 .4319 .8658

VAR00028 30.0909 46.7822 .1151 .8718

VAR00029 29.9318 46.7627 .2722 .8690

VAR00030 29.9773 46.9995 .1273 .8707

VAR00031 30.0455 45.3002 .4326 .8661

VAR00032 30.4091 45.6892 .2411 .8701

VAR00033 30.1136 46.3356 .1865 .8706

VAR00034 30.6136 45.2193 .3580 .8673

VAR00035 30.1136 44.4752 .5194 .8642

VAR00036 30.0000 45.9070 .3635 .8675

VAR00037 30.0227 46.7669 .1483 .8707

VAR00038 29.9318 47.2743 .0941 .8707

VAR00039 30.1364 44.9577 .4157 .8662

VAR00040 30.3409 45.7183 .2378 .8702

VAR00041 30.0682 44.9022 .4852 .8651

VAR00042 30.2955 43.4688 .5909 .8621

VAR00043 30.0909 45.1078 .4228 .8661

VAR00044 30.3409 45.0671 .3358 .8680

Reliability Coefficients N of Cases = 44.0 N of Items = 44 Alpha = .8703


(6)

141