Evaluasi penggunaan antibiotika pada penyakit infeksi saluran pernafasan akut kelompok pediatri di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013.

(1)

INTISARI

Jumlah penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada pediatri sangat tinggi dan menempati urutan pertama penyebab kematian di Indonesia. Penelitian di Jawa Timur dan Jawa Tengah menunjukkan penggunaan antibiotika kurang rasional mencapai 80%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi penggunaan antibiotika pasien ISPA periode Juli-September 2013.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif non-eksperimental, dengan pengambilan data secara retrospektif. Kriteria inklusi meliputi umur ≤14 tahun yang menerima terapi antibiotika dan menjalani rawat inap di RSPR Yogyakarta yang mendapat diagnosis utama keluar ISPA tanpa penyakit penyerta. Kriteria eksklusi meliputi pasien pediatri yang mendapatkan diagnosis akhir ISPA dengan penyakit penyerta dan data rekam medis tidak lengkap. Dari 69 pasien ISPA, yang memenuhi kriteria inklusi adalah 16 pasien. Data dianalisis dengan metode kualitatif secara deskriptif dan dibandingkan dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.

Hasil penelitian menunjukkan pasien ISPA terbanyak pada laki-laki 11 pasien (68,75%), usia terbanyak ≤4 tahun 14 pasien (87,5%). Pasien dengan diagnosis akhir ISPA tanpa penyakit penyerta 16 pasien (42,11%), dan lama hari perawatan 3 hari sebanyak 6 pasien (37,5%). Pola penggunaan antibiotika untuk sub golongan terbanyak yaitu golongan sefalosporin generasi III sebanyak 13 jumlah antibiotika (68,42%) dengan jenis antibiotika tertinggi yaitu sefiksim sebanyak jumlah 7 antibiotika (36,84%). Durasi penggunaan antibiotika tertinggi adalah sefiksim selama 3 hari sebanyak 3 jumlah antibiotika (15,80%). Evaluasi antibiotika menunjukan adanya ketidaktepatan dosis, dosis kurang sebanyak 6 jumlah antibiotika (33,33%) dan dosis lebih sebanyak 3 jumlah antibiotika (16,67%). Tidak ditemukan ketidaktepatan rute pemberian, dan dapat dilihat rute pemberian peroral sebanyak 12 jumlah antibiotika (63,16%) dan parenteral sebanyak 7 jumlah antibiotika (36,84%). Tidak ditemukan ketidaktepatan frekuensi/interval waktu.

Kesimpulannya yaitu dosis dan frekuensi/interval waktu penggunaan antibiotika masih belum sesuai dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan yang disarankan.


(2)

ABSTRACT

The number of patients with Acute Respiratory tract Infection (ARI) in pediatric very high and ranks first cause of death in Indonesia. Research in East Java and Central Java showed less rational antibiotic use reached 80%. The aim of this study was to evaluate the use of antibiotics patients ISPA period from July to September, 2013.

This study is a descriptive non-experimental evaluative, with retrospective data collection. Inclusion criteria included age ≤14 years who received antibiotic therapy and hospitalized in RSPR Yogyakarta that got out primary diagnosis of ISPA without concomitant diseases. Exclusion criteria included pediatric patients who receive a late diagnosis of ISPA with concomitant diseases and incomplete medical records. From 69 patients with ISPA, which meet the criteria for inclusion is 16 patients. Data were analyzed with descriptive qualitative method and compared with the Pharmaceutical Care for Respiratory Infection Diseases.

Results showed ISPA patients most is in men with 11 patients (68.75%), the age of majority ≤4 years 14 patients (87.5%). Patients with a final diagnosis of ISPA without concomitant diseases 16 patients (42.11%), and duration of treatment days is 3 days as many as six patients (37.5%). The pattern of use of antibiotics for most sub-groups, namely third-generation cephalosporins as much as 13 number of antibiotics (68.42%) with the highest type of antibiotic cefixime as number 7 antibiotics (36.84%). The duration of antibiotic use is highest cefixime for 3 days as much as 3 number of antibiotics (15.80%). Evaluation of antibiotics showed the presence of imprecision dose, dose less as 6 number of antibiotics (33.33%) and as much as 3 doses over the amount of antibiotics (16.67%). Not found inaccuracies route of administration, and the oral route of administration can be seen by 12 the amount of antibiotics (63.16%) and parenteral antibiotics were 7 number (36.84%). Not found inaccuracies frequency/interval.

In conclusion, namely dosage and frequency / interval of antibiotic use is still not in accordance with the Pharmaceutical Care for Respiratory Infection Diseases suggested.


(3)

i

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT KELOMPOK PEDIATRI

DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JULI-SEPTEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Diajukan oleh : Anastasia Hilda Fajarwati

NIM : 108114156

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karena MASA DEPAN sungguh ada

dan HARAPANMU tidak akan hilang – Amsal 23:18 -

TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu

di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu;

Engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air

yang tidak pernah mengecewakan – Yesaya 58:11-

Karya kecil ini ku persembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan St. Yoseph

Bapak dan Ibu

Kakak dan Adiku

Sahabat-sahabatku

Teman-teman FKK B 2010

Teman-teman angkatan 2010

Serta


(7)

(8)

(9)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013” dengan lancar sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Dra. Th.B. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Ph.D., Apt selaku Dosen Pembimbing atas bimbingan, kesabaran, perhatian, dukungan, serta saran-saran yang telah diberikan selama proses penyusunan skripsi ini.

2. Direktur Rumah Sakit, Unit Personalia, Unit Rekam Medik serta seluruh staff Rumah Sakit Panti Rapih yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. dan Ibu Dita Maria Virginia, M. Sc., Apt. selaku Dosen Penguji atas bimbingan dan saran-saran dalam penulisan skripsi. 4. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma beserta seluruh staff.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.


(10)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 3


(11)

ix

3. Manfaat penelitian ... 8

B. Tujuan Penelitian ... 8

1. Tujuan umum ... 8

2. Tujuan khusus ... 8

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 10

A. Antibiotika... 10

B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)... 14

1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian atas ... 15

a. Otitis media ... 16

b. Faringitis ... 17

c. Sinusitis ... 18

2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian bawah ... 19

a. Pneumonia ... 19

b. Bronkiolitis ... 21

c. Bronkitis akut ... 21

C. Penggunaan Obat yang Rasional ... 24

D. Keterangan Empiris ... 25

BAB III. METODE PENELITIAN... 27

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27

B. Definisi Operasional... 27

C. Subjek Penelitian ... 29


(12)

x

E. Instrumen Penelitian... 30

F. Tata Cara Penelitian ... 31

1. Tahap perencanaan ... 31

2. Tahap analisis situasi ... 31

3. Tahap pengumpulan data ... 31

4. Tahap pengolahan data ... 32

G. Analisis Hasil ... 32

H. Keterbatasan Penelitian ... 34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Karakteristik Demografi Pasien ... 36

1. Jumlah pasien ISPA berdasarkan jenis kelamin ... 36

2. Jumlah pasien ISPA berdasarkan usia ... 37

3. Jumlah pasien ISPA berdasarkan diagnosis ... 39

4. Jumlah pasien ISPA berdasarkan lama perawatan ... 41

B. Pola Penggunaan Antibiotika ... 42

1. Penggunaan antibiotika berdasarkan sub golongan dan jenis antibiotika ... 42

2. Gambaran durasi penggunaan antibiotika ... 45

C. Gambaran Ketidaktepatan Penggunaan Antibiotika ... 47

1. Gambaran ketidaktepatan penggunaan antibiotika berdasarkan dosis ... 47

2. Gambaran ketidaktepatan penggunaan antibiotika berdasarkan rute pemberian ... 49


(13)

xi

3. Gambaran ketidaktepatan penggunaan antibiotika

berdasarkan interval/frekuensi waktu ... 50

4. Rangkuman evaluasi antibiotika ... 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

LAMPIRAN ... 59


(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Guideline Dosis Antimikroba pada Faringitis ... 18 Tabel II. Terapi Antibiotika pada Sinusitis Akut ... 19 Tabel III. Persentase Distribusi diagnosis akhir pasien ISPA

kelompok pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti

Rapih Yogyakarta periode Juli- September 2013 ... 40 Tabel IV. Persentase Distribusi Golongan Antibiotika yang

digunakan oleh pasien ISPA Kelompok Pediati di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta

Periode Juli-September 2013 ... 45 Tabel V. Persentase Durasi penggunan Antibiotika pada Pasien

ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS.

Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013 ... 46 Tabel VI. Persentase Distribusi Jumlah Ketidaktepatan Dosis

Antibiotika berdasarkan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan pada Pasien ISPA kelompok umur Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS


(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan ... 15 Gambar 2. Terapi Antibiotika Pneumonia pada Pediatri ... 20 Gambar 3. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok

Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013 Berdasarkan

Jenis Kelamin ... 37 Gambar 4. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok

Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli- September 2013 Berdasarkan

Usia ... 39 Gambar 5. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok

Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli- September 2013 Berdasarkan

Lama Perawatan ... 41 Gambar 6. Persentase Distribusi jenis antibiotika untuk

pengobatan ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta periode

Juli-September 2013 ... 43 Gambar 7. Persentase Distribusi profil penggunaan terapi


(16)

xiv

ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS.

Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013 ... 44 Gambar 8. Persentase Distribusi rute pemberian antibiotika pada

pasien ISPA kelompok pediatri di Instalasi Rawat Inap


(17)

xv DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Demografi dan Data Pemeriksaan Pasien ... 60 Lampiran 2. Data Perawatan Pasien dan Penggunaan Antibiotika ... 62 Lampiran 3. Dosis dan Interval Waktu Antibiotika yang Diberikan

pada Pasien ISPA ... 67 Lampiran 4. Surat Izin Penelitian ... 70


(18)

xvi INTISARI

Jumlah penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada pediatri sangat tinggi dan menempati urutan pertama penyebab kematian di Indonesia. Penelitian di Jawa Timur dan Jawa Tengah menunjukkan penggunaan antibiotika kurang rasional mencapai 80%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi penggunaan antibiotika pasien ISPA periode Juli-September 2013.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif non-eksperimental, dengan pengambilan data secara retrospektif. Kriteria inklusi meliputi umur ≤14 tahun yang menerima terapi antibiotika dan menjalani rawat inap di RSPR Yogyakarta yang mendapat diagnosis utama keluar ISPA tanpa penyakit penyerta. Kriteria eksklusi meliputi pasien pediatri yang mendapatkan diagnosis akhir ISPA dengan penyakit penyerta dan data rekam medis tidak lengkap. Dari 69 pasien ISPA, yang memenuhi kriteria inklusi adalah 16 pasien. Data dianalisis dengan metode kualitatif secara deskriptif dan dibandingkan dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.

Hasil penelitian menunjukkan pasien ISPA terbanyak pada laki-laki 11 pasien (68,75%), usia terbanyak ≤4 tahun 14 pasien (87,5%). Pasien dengan diagnosis akhir ISPA tanpa penyakit penyerta 16 pasien (42,11%), dan lama hari perawatan 3 hari sebanyak 6 pasien (37,5%). Pola penggunaan antibiotika untuk sub golongan terbanyak yaitu golongan sefalosporin generasi III sebanyak 13 jumlah antibiotika (68,42%) dengan jenis antibiotika tertinggi yaitu sefiksim sebanyak jumlah 7 antibiotika (36,84%). Durasi penggunaan antibiotika tertinggi adalah sefiksim selama 3 hari sebanyak 3 jumlah antibiotika (15,80%). Evaluasi antibiotika menunjukan adanya ketidaktepatan dosis, dosis kurang sebanyak 6 jumlah antibiotika (33,33%) dan dosis lebih sebanyak 3 jumlah antibiotika (16,67%). Tidak ditemukan ketidaktepatan rute pemberian, dan dapat dilihat rute pemberian peroral sebanyak 12 jumlah antibiotika (63,16%) dan parenteral sebanyak 7 jumlah antibiotika (36,84%). Tidak ditemukan ketidaktepatan frekuensi/interval waktu.

Kesimpulannya yaitu dosis dan frekuensi/interval waktu penggunaan antibiotika masih belum sesuai dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan yang disarankan.


(19)

xvii ABSTRACT

The number of patients with Acute Respiratory tract Infection (ARI) in pediatric very high and ranks first cause of death in Indonesia. Research in East Java and Central Java showed less rational antibiotic use reached 80%. The aim of this study was to evaluate the use of antibiotics patients ISPA period from July to September, 2013.

This study is a descriptive non-experimental evaluative, with retrospective data collection. Inclusion criteria included age ≤14 years who received antibiotic therapy and hospitalized in RSPR Yogyakarta that got out primary diagnosis of ISPA without concomitant diseases. Exclusion criteria included pediatric patients who receive a late diagnosis of ISPA with concomitant diseases and incomplete medical records. From 69 patients with ISPA, which meet the criteria for inclusion is 16 patients. Data were analyzed with descriptive qualitative method and compared with the Pharmaceutical Care for Respiratory Infection Diseases.

Results showed ISPA patients most is in men with 11 patients (68.75%), the age of majority ≤4 years 14 patients (87.5%). Patients with a final diagnosis of ISPA without concomitant diseases 16 patients (42.11%), and duration of treatment days is 3 days as many as six patients (37.5%). The pattern of use of antibiotics for most sub-groups, namely third-generation cephalosporins as much as 13 number of antibiotics (68.42%) with the highest type of antibiotic cefixime as number 7 antibiotics (36.84%). The duration of antibiotic use is highest cefixime for 3 days as much as 3 number of antibiotics (15.80%). Evaluation of antibiotics showed the presence of imprecision dose, dose less as 6 number of antibiotics (33.33%) and as much as 3 doses over the amount of antibiotics (16.67%). Not found inaccuracies route of administration, and the oral route of administration can be seen by 12 the amount of antibiotics (63.16%) and parenteral antibiotics were 7 number (36.84%). Not found inaccuracies frequency/interval.

In conclusion, namely dosage and frequency / interval of antibiotic use is still not in accordance with the Pharmaceutical Care for Respiratory Infection Diseases suggested.


(20)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dapat menyerang semua umur, baik orang dewasa, remaja, atau balita. ISPA pun tidak mengenal tempat baik di negara maju maupun negara yang kurang berkembang. Oleh karena itu, penderita ISPA didunia sangat tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA yakni faktor intrinsik (umur, status gizi, status imunisasi, jenis kelamin) dan faktor ekstrinsik (perumahan, sosial ekonomi dan pendidikan). Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% (Rasmaliah, 2004). Kunjungan ISPA pada anak balita meningkat pada tahun 2008 - 2011 (25,94%-27,13%), sedangkan 15%-20% merupakan kematian anak balita yang disebabkan oleh ISPA ( Ernawati, 2012).

Antibiotika sangat berguna untuk mengobati infeksi walaupun antibiotika bukan merupakan obat penyembuh infeksi, tetapi antibiotika dapat mempersingkat waktu hospes untuk sembuh (Mansjoer, 2000). Dalam kenyataannya, peresepan antibiotika yang berlebihan tersebut terdapat pada infeksi saluran pernafasan khususnya infeksi saluran pernafasan atas akut, meskipun sebagian besar penyebab dari penyakit ini adalah virus. Salah satu penyebabnya adalah ekspektasi yang berlebihan para klinisi terhadap antibiotika terutama untuk mencegah infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, yang


(21)

sebetulnya tidak bisa dicegah. Dampak dari semua ini adalah meningkatnya resistensi bakteri maupun peningkatan efek samping yang tidak diinginkan (Depkes RI, 2005).

Resistensi bakteri terhadap antibiotika sudah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Penelitian di dua rumah sakit besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 2001 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika secara tidak bijak mencapai 80%. Kasus di RSU Dr. Soetomo, angka resisten terhadap antibiotika lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa mencapai 90% dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50% (Bisht, 2009). Salah satu cara mengatasi penggunaan antibiotika secara kurang rasional yaitu melakukan monitoring dan evaluasi penggunaan antibiotika di rumah sakit secara sistematis di pusat-pusat kesehatan masyarakat, bila perlu melakukan intervensi untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotika (Sadikin,2011).

Penggunaan secara tidak rasional merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang (Gaash, 2008). Tahun 2004, WHO melaporkan tingkat penggunaan antibiotika yang tidak perlu mencapai 50%. Studi lain menunjukan penggunaan antibiotika secara berlebihan di Indonesia sebesar 43% (WHO, 2010). Hal ini menjadi penyebab utama terjadinya resistensi antibiotika (Gaash, 2008).

Menurut WHO (2011), kriteria penggunan obat yang rasional meliputi tepat indikasi (sesuai dengan indikasi penyakit), tepat obat, diberikan dengan


(22)

dosis yang sesuai (tepat dosis) dan cara pemberian, tepat pasien, serta waspada efek samping dan alergi obat.

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta karena rumah sakit ini termasuk salah satu rumah sakit swasta kelas B dengan 370 tempat tidur yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas. RS Panti Rapih Yogyakarta menerima rujukan dari puskesmas dan beberapa kabupaten di wilayah Yogyakarta. Selain itu, RS Panti Rapih Yogyakarta melayani pasien yang menggunakan asuransi kesehatan sosial. Sehingga diperkirakan banyak pasien yang berobat di rumah sakit ini. Dengan jumlah pasien yang cukup banyak, khususnya pasien pediatri, dapat memberikan gambaran yang cukup lengkap dan jelas mengenai penggunaan antibiotika untuk diagnosis ISPA. Kemudian menurut penelitian yang dilakukan oleh Marthinie (2004), dapat diketahui bahwa dari 85 pasien ditemukan 122 antibiotika masih terdapat masalah yang berkaitan dengan ketidaktepatan antibiotika yaitu kurang tepat indikasi, kurang tepat obat, kurang tepat aturan pakai, kurang tepat pasien, dan adanya interaksi dengan obat lain. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah di RS Panti Rapih (RSPR) Yogyakarta pada periode Juli-September 2013 masih terdapat adanya ketidaktepatan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis ISPA.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa permasalahan yang ditemukan antara lain:


(23)

a. Seperti apa karakteristik demografi pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta berdasarkan usia, jenis kelamin, diagnosis, dan lama perawatan?

b. Seperti apa pola penggunaan antibiotika pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta meliputi sub golongan dan jenis antibiotika, serta durasi antibiotika?

c. Seperti apa kesesuaian pola penggunaan antibiotika dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005) pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta berdasarkan dosis, rute pemberian, dan frekuensi/interval waktu? 2. Keaslian penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, beberapa penelitian yang terkait “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013” antara lain :

a. Infeksi Saluran Nafas Akut pada Balita di Daerah Urban Jakarta oleh Nasution, dkk (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Nasution, dkk merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang yang dilakukan di RW 04 Kelurahan Pulo Gadung, Jakarta Timur pada Desember 2008. Sebelumnya dilakukan uji coba pengumpulan data dan validasi kuisioner, sedangkan sampel diambil secara purposive sampling. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasution, dkk terletak pada tahun


(24)

penelitian, tempat penelitian, dan metode penelitian yaitu penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang menggunakan data retrospektif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotika untuk melihat kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

b. Gambaran Pengetahuan Ibu Balita Tentang Penyakit ISPA di Puskesmas Pembantu Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Deket Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan oleh Fitrianingrum, dkk (2011). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pemilihan sampel dilakukan dengan tehnik sampling non probability sampling tipe purposive sampling. Pengumpulan data dengan lembar kuesioner tertutup, kemudian data dilakukan editing, coding, tabulating, scoring, prosentase dan dinarasikan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitrianingrum, dkk terletak pada tahun penelitian, tempat penelitian, dan metode penelitian yaitu penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang menggunakan data retrospektif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotika untuk melihat kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

c. Hubungan Tingkat Kesehatan Rumah dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di Desa Labuhan Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa oleh Safitri dan Keman (2007). Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilakukan secara cross sectional dan bermaksud untuk menganalisis hubungan antara tingkat kesehatan rumah terhadap kejadian ISPA pada anak Balita di


(25)

Desa Labuhan Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa. Besar sampel dihitung memakai rumus simple random sampling dari Cochran, sedangkan pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai Juli 2006. Analisis data menggunakan uji statistik Chi Square untuk menganalisis hubungan antara tingkat kesehatan rumah terhadap kejadian ISPA pada anak Balita. Selanjutnya terhadap variable penyusun komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku yang berhubungan dengan ISPA secara signifikan, dilanjutkan analisisnya dengan uji Regresi Logistik untuk mengetahui variabel kesehatan rumah manakah yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian ISPA pada anak Balita. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Safitri dan Keman terletak pada tahun penelitian, tempat penelitian, dan metode penelitian yaitu penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang menggunakan data retrospektif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotika untuk melihat kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

d. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Bayi oleh Widarini dan Sumasari (2010). Penelitian ini merupakan penelitian observasional, menggunakan rancangan case-control study dengan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian terdiri atas subjek kasus yaitu bayi berumur 6-12 bulan yang selama 1 bulan terakhir mempunyai riwayat menderita ISPA. Subjek kontrol adalah bayi berumur 6-12 bulan yang selama 1 bulan terakhir tidak mempunyai riwayat ISPA. Responden penelitian adalah ibu bayi yang


(26)

terpilih sebagai kasus dan kontrol. Besar sample yang diperlukan untuk kasus dan kontrol masing-masing sebanyak 36 subjek dan pengambilan sample secara simple random sampling. Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara langsung kepada responden (ibu bayi) dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder didapatkan dari buku KIA atau KMS. Analisis data terdiri dari analisis univariat, bivariat menggunakan uji chi square. Hasil yang diperoleh pada analisis bivariat ini adalah nilai chi square, nilai p value, nilai OR dan confidence interval (CI) 95%. Tingkat kemaknaan pada penelitian ini dengan nilai α<0,05. Analisis multivariate menggunakan uji regresi logistic (back ward stepwise logistic regression). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Widarini dan Sumasari, yaitu penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-September 2013 di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dan penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang menggunakan data retrospektif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotika untuk melihat kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian tentang “Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih pada periode Juli-September 2013” belum pernah dilakukan.


(27)

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan sebagai sumber informasi dan untuk menambah referensi pengetahuan mengenai gambaran penggunaan antibiotika pada pasien ISPA, serta dapat digunakan sebagai data-data acuan untuk penelitian tentang penggunaan antibiotika berikutnya.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk melihat karakteristik demografi dan pola penggunaan antibiotika pada pasien ISPA serta evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien ISPA terkait dengan ketidaktepatan penggunaan antibiotika yang dilihat berdasarkan dosis, rute pemberian, dan frekuensi/interval waktu.

B. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penggunaan antibiotika pada pasien dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

Penelitian ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi karakteristik demografi pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta berdasarkan usia, jenis kelamin, diagnosis, dan lama perawatan


(28)

b. Mengidentifikasi pola penggunaan antibiotika pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta meliputi sub golongan dan jenis antibiotika, serta durasi antibiotika.

c. Membandingkan pola penggunaan antibiotika dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005) pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta berdasarkan dosis, rute pemberian, dan frekuensi/interval waktu.


(29)

10 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Antibiotika

Antibiotika adalah suatu zat atau senyawa obat alami maupun sintesis yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan jamur yang memiliki khasiat untuk menghambat perkembangbiakan atau membunuh mikroorganisme (Sutedjo,2008). Obat yang digunakan untuk membunuh mikroba harus memiliki sifat toksisitas selektif, yang artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik bagi mikroba namun tidak menimbulkan efek toksik pada manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antabiotika yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba dikenal sebagai bakteriostatik dan antibiotika yang bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai bakterisid (Setiabudy, 2008).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dapat dibagi dalam 5 kelompok, antara lain antibiotika yang dapat menghambat sintesis dinding sel dengan merusak lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri Gram positif maupun Gram negatif, contohnya penisilin, sefalosporin, vankomisin, dan isoniazid (INH); mengganggu metabolisme dengan adanya substansi yang secara kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme karena memiliki struktur yang mirip dengan substrat normal bagi enzim metabolisme, contohnya kotrimoksasol; merusak membran sel plasma dengan cara mengganggu permeabilitas membran plasma sel bakteri yang menyebabkan sel tidak mampu lagi berfungsi sebagai barrier dan mengganggu proses biosintesis yang diperlukan oleh membran, contohnya polimiksin dan nistatin; menghambat sintesis protein dengan cara


(30)

berikatan pada ribosom subunit 30S sehingga terjadi kesalahan pembacaan mRNA dan tidak terjadi sintesis protein, contohnya golongan aminoglikosida; dan menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA) pada fase transkripsi dan replikasi bakteri, contohnya rifampin dan golongan kuinolon (Schmitz, 2009).

Berdasarkan luas aktivitasnya, jenis antibiotika dapat dibagi dalam dua golongan yaitu antibiotika berspektrum luas (Broad Spectrum) dan antibiotika yang berspektrum sempit (Narrow Spectrum). Antibiotika berspektrum luas bekerja terhadap lebih banyak jenis kuman, baik jenis kuman Gram negatif maupun jenis kuman Gram positif. Contoh antibiotika spektrum luas adalah turunan tetrasiklin, turunan aminoglikosida, beberapa turunan penisilin, dan sebagian besar turunan sefalosporin. Antibiotika yang berspektrum sempit adalah antibiotika yang hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri gram negatif saja atau gram positif saja. Contoh antibiotika spektrum sempit adalah streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat hanya aktif terhadap kuman Gram negatif (Tan dan Rahardja, 2003).

Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotika secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan


(31)

perkembangan bakteri. Penyebab resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan ataupun profilaksis (Utami, 2012).

Penggunaan antibiotika secara luas serta penyalahgunaan antibiotika untuk pengaturan klinis dan nonklinis telah mengakibatkan munculnya sejumlah bakteri multiresisten seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-intermediate Staphylococcus aureus (VISA), vancomycin-resistant Enterococcus spp., carbapenem-resistant Mycobacterium tuberculosis, extended spectrum β-laktamase producing Escherichia coli, atau highly virulent antibiotic-resistant Clostridium difficille. Munculnya resistensi antibiotika terhadap bakteri disebabkan oleh kesalahan penggunaan antibiotika. Hal ini memberikan gambaran terjadinya seleksi Darwinian berupa hasil dari tekanan evolusi spesifik dalam beradaptasi dengan munculnya antimikroba. Telah dilaporkan bahwa mengonsumsi antimikroba yang terkandung dalam hewan pedaging dapat mengakibatkan terjadinya antibiotic multidrug resistance (AMR) baik pada manusia maupun pada hewan. Peristiwa ini membuat resistensi infeksi antibiotika menghasilkan risiko yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat dalam skala global, karena terkadang agen antimikroba yang tersedia untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen Gram-positif dan Gram-negatif tidak efektif. Masalah multiresisten bakteri yang terus meningkat harus menjadi perhatian karena berkurangnya jumlah antimikroba baru dalam praktik klinis. Adanya kebutuhan akan pengembangan antibiotika baru atau alternatif baru terhadap agen antimikroba konvensional karena adanya peningkatan infeksi


(32)

umum dan penyembuhan yang semakin sulit. Perlu diperhatikan bahwa resistensi antimikroba tidak hanya ditemukan pada bakteri tetapi juga pada patogen lain seperti virus (yang menyebabkan hepatitis B kronis atau influenza), parasit (penyebab malaria), dan jamur (infeksi Candida) yang resisten terhadap agen antimikroba (Phoenix, Harris, dan Dennison, 2013).

Resistensi antimikroba bagi kesehatan dapat berdampak pada kondisi ekonomi pasien, penyedia kesehatan, dan kondisi ekonomi masyarakat secara umum akibat meningkatnya biaya pengeluaran untuk kesehatan. Resistensi juga dapat menyebabkan kegagalan respon terapi sehingga penyembuhan semakin lama dan resiko kematian semakin besar. Selain itu, resistensi dapat meningkatkan waktu rawat pasien di rumah sakit, meningkatkan angka kesakitan, kematian dan kebutuhan pembedahan (Deshpande dan Mohini, 2011).

Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dalam hal indikasi, maupun cara pemberian dapat merugikan penderita dan dapat memudahkan terjadinya resistensi terhadap antibiotika serta dapat menimbulkan efek samping. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi anak-anak, cara pemberian, indikasi, kepatuhan, jangka waktu yang tepat dan dengan memperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping yang akan terjadi (Bueno dan Stull, 2009).

Anak memiliki risiko mendapatkan efek merugikan lebih tinggi akibat infeksi bakteri karena tiga faktor. Pertama, karena sistem imunitas anak yang belum berfungsi secara sempurna, kedua, akibat pola tingkah laku anak yang lebih


(33)

banyak berisiko terpapar bakteri, dan ketiga, karena beberapa antibiotika yang cocok digunakan pada dewasa belum tentu tepat jika diberikan kepada anak karena absorbs, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat termasuk antibiotika pada anak berbeda dengan dewasa, serta tingkat maturasi organ yang berbeda sehingga dapat terjadi perbedaan respon terapetik atau efek sampingnya (Shea, Florini, dan Barlam, 2011).

B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Infeksi saluran pernafasan akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari yang bersifat kompleks dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai penyebab dan dapat mengenai sepanjang saluran pernafasan. Saluran pernafasan atas berfungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian atas ini disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, dan sinusitis. Saluran pernafasan bagian bawah lebih mudah terkena infeksi karena langsung berhubungan dengan lingkungan. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian bawah meliputi trakeitis, bronkitis akut, bronkiolitis, dan pneumonia (Merson, 2012).


(34)

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2012).

Penyakit saluran pernafasan akut disebabkan oleh agen infeksius. Meskipun spektrum gejala infeksi saluran pernapasan akut sangat bervariasi, timbulnya gejala biasanya cepat, mulai dari jam ke hari setelah timbulnya infeksi. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering sakit tenggorokan, pilek, sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas. Patogen yang menyebabkan penyakit ini termasuk virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, respiratory syncytial virus (RSV) dan severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) (WHO, 2014).

a. Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Atas

Contoh Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian atas antara lain Otitis Media, Faringitis, dan Sinusitis. Faringitis akut dan infeksi pada telinga sering kali berkembang menjadi komplikasi yang parah pada anak-anak seperti ketulian dan


(35)

demam rematik akut (Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi, dan Kusnandar, 2009).

1) Otitis Media

Otitis Media adalah peradangan dan/atau infeksi telinga tengah dimana adanya ketidaknormalan fungsi tuba eustakius sehingga menyebabkan refluks cairan transudat di bagian telinga tengah dan menjadi tempat perkembangan bakteri yang secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu otitis media akut dan otitis media efusi. Otitis media akut dapat terjadi bila ada infeksi bakteri atau virus di cairan telinga tengah yang menyebabkan produksi cairan/nanah. Gejala dan tandanya lebih dari satu serta muncul secara cepat seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, gelisah, lemah, anoreksia, muntah. Pada otitis media efusi, terjadi penumpukan cairan di bagian ruang tengah telinga. Hal ini terjadi karena adanya perubahan membran timpani seperti kemerahan, keruh, cahaya yang tidak dapat direfleksi, menonjol, dan tidak bergerak saat dilakukan otoskopi pneumatik (Betz dan Sowden, 2009).

Bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya otitis media antara lain Streptococcus pnemoniae (35%), Haemophilus influnzae (25%), Moxarella catarrhalis (10%), dan sekitar 20-30% diduga etiologi oleh virus. Antimikroba oral amoksisilin menjadi pilihan pertama untuk mengatasi otitis media (Sukandar dkk, 2009).

Antimikroba pilihan pertama untuk terapi otitis media adalah amoksisilin dosis tinggi (80-90 mg/kgBB/hari) terbagi dalam dua dosis setiap harinya. Pasien


(36)

alergi penisilin dapat menggunakan sefdinir, sefuroksim, sefpodoksim, azitromisin, dan klaritromisin. Jika gejalanya parah, misalnya suhu tubuh di atas 390C dan terjadi otalgia yang parah maka pilihan pertamanya adalah amoksisilin-klavulanat dan antimikroba alternatifnya klindamisin (Dipiro, Talbert, Yee. Matzke, Wells, dan Posey, 2008).

2) Faringitis

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan jaringan limfoid di sekitarnya akibat infeksi bakteri atau virus. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan rhinitis, tonsillitis, dan laryngitis. Faringitis dapat disebabkan oleh virus seperti rhinovirus, adenovirus, parainfluenza, coxsackievirus dan oleh bakteri seperti grup A β-hemolytic Streptococcus (paling sering), Chlamydia, Corynebacterium diphtheria, Hemophilus influenza, Neisseria gonorrhoeae. Gejala yang timbul akibat bakteri seperti demam yang muncul secara tiba-tiba, disfagia (kesulitan menelan), sakit tenggorokan, dan mual. Jika infeksi yang terjadi akibat bakteri Group A streptococcus/GAS maka ditandai dengan adanya pembengkakan kelenjar limfa, tidak batuk, demam dengan suhu tubuh > 380C. Gejala yang timbul akibat virus seperti demam, nyeri menelan, batuk, kongesti nasal, faring posterior hiperemis atau bengkak, onset radang tenggorokannya lambat dan progresif (Sukandar dkk, 2009).

Antimikroba pilihan pertama untuk terapi faringitis akibat Streptococcus adalah penisilin. Jika alergi terhadap penisilin maka dapat digunakan makrolida, contohnya eritromisin atau sefalosporin generasi pertama, contohnya sefaleksin.


(37)

Jika terjadi resistensi terhadap makrolida, dapat digunakan klindamisin. Guideline dosis antimikroba untuk faringitis dapat dilihan pada table I (Dipiro et al, 2008).

Tabel I. Guideline Dosis Antimikroba pada Faringitis

Antibiotika Dosis Pediatri Durasi

Penisilin VK Penisilin benzatin Penisilin G prokain dan campuran benzatin Amoksisilin Eritromisin Estolat Eritromisin Stearat Eritromisin Etilsuksinat Sefaleksin

50 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis

0,6 juta unit untuk BB<27 kg (50.000 unit/ kg)

1,2 juta unit (benzatin 0,9 juta unit, prokain 0,3 juta unit)

40-50 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis

20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 2-4 kali sehari ( maksimal 1 gram/hari)

Tidak direkomendasikan

40 mg/kg/hari terbagi dalam 2-4 kali sehari (maksimal 1

gram/hari)

25-50 mg/kg/hari terbagi dalam 4 dosis 10 hari Dosis sekali pakai Dosis sekali pakai 10 hari 10 hari 10 hari 3) Sinusitis

Peradangan satu atau lebih dari rongga sinus paranasal, kemungkinan disebabkan alergi, virus, bakteri, atau jamur (jarang). Sinusitis merupakan infeksi pada sinus yang terjadi secara akut (sampai dengan 4 minggu). Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumonia (30-40%), Haemophilus influenza (20-30%), Moxarella catarrhalis (12-20%), Streptococcus pyogenes, dan Staphylococcus aureus. Gejalanya yaitu keluarnya cairan kental berwarna dari hidung, sumbatan di hidung, nyeri muka, sakit gigi, dan demam. Terapi utamanya adalah dengan antimiroba. Sinusitis tanpa komplikasi bisa diobati dengan amoksisilin atau kotrimoksazol. Jika terjadi resistensi maka bisa


(38)

digunakan azitrimisin, klaritromisin, sefuroksim, sefiksim, sefaklor, dan fluorokuinolon (Sukandar dkk, 2009). Pemilihan antimikroba terapi sinusitis akut karena bakteri dapat dilihat pada table II (Dipiro et al, 2008).

Tabel II. Terapi Antibiotika pada Sinusitis Akut

Kondisi Klinis Antibiotika

Sinusitis Tanpa Komplikasi Tanpa Komplikasi dan alergi terhadap penisilin

Terapi gagal

Resisten terhadap

Streptococcus pneumoniae

Amoksisilin

Non immediate type hypersensitivity: beta laktamase-stable Sefalosporin

Immediate-type hypersensitivity: Klaritromisin atau Azitromisin atau Trimetoprim-Sulfametoksazol atau Doksisiklin atau Fluorokuinolon

Pilihan pertama: Amoksisilin-klavulanat dosis tinggi atau beta laktamase-stable Sefalosporin

Pilihan kedua: Fluorokuinolon Pilihan pertama: Amoksisilin atau Klindamisin

Pilihan kedua: Fluorokuinolon

b. Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Bawah

Penyebab yang paling sering adalah virus RSVs dan virus parainfluenza. Infeksi Saluran Pernafasan bagian bawah meliputi pneumonia, bronkiolitis, dan bronkitis.

1) Pneumonia

Gejala pneumonia antara lain demam yang meningkat tajam, batuk produktif dengan sputum berwarna atau berdarah, nyeri dada, takikardi, takipnea, dan O2 arteri rendah. Berdasarkan jenis pneumonia gejalanya ditandai dengan: (1). Pneumonia anaerobik, gejalanya adalah batuk, demam ringan, hilang berat badan, dan sputum yang berabu menjadi ciri khas. Abses paru berkembang dalam


(39)

1-2 minggu pada 20% pasien. (2). Pneumonia mikoplasma, gejalanya adalah demam bertahap, sakit kepala, malaise, batuk yang awalnya nonproduktif, sakit leher, sakit telinga, rhinorrhea dan ronkhi. Gejala ekstrapulmonal bisa terjadi yaitu mual, muntah, diare, myalgia, atralgia, arthritis, poliarticular rash, miokarditis, pericarditis, dan anemia hemolitik. (3). Pneumonia virus, gambaran klinis bervariasi, diagnosis dilakukan dengan tes serologi. (4). Pneumonia nosokomial, faktor utamanya adalah pengguna ventilator, yang meningkatkan pengguna antibiotika, pengguna antagonis reseptor H2, dan penyakit berat (Sukandar dkk, 2009).

Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumonia (pneumococcus) atau Haemophilus influenza, dan Staphylococcus aureus atau Streptococcus lainnya. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumonia menyebabkan pneumonia atipikal (Dipiro et al, 2008).


(40)

2) Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah infeksi virus akut pada saluran pernafasan bawah bayi yang menunjukan pola musiman yang tetap, puncaknya selama musim dingin dan menetap sampai awal musim semi. Penyakit tersebut umumnya memengaruhi bayi yang berusia 2-10 bulan. Penyebab utamanya adalah virus Respiratory syncytial, penyebab kedua adalah virus parainfluenzae. Bakteri sebagai patogen sekunder hanya terjadi pada sedikit kasus. Gejalanya adalah gelisah, nafas cepat, demam, batuk, wheezing (mengi), muntah, diare, dan hidung memerah. Bronkiolitis dapat sembuh sendiri dan umumnya tidak memerlukan terapi, selain menghilangkan kecemasan dan sebagai antipiretik, kecuali bila bayi hipoksia atau dehidrasi (Sukandar dkk, 2009).

Antibiotika yang digunakan untuk mengatasi bronkiolitis adalah ribavirin, namun bentuk sediaannya aerosol sehingga membutuhkan peralatan khusus. Akademi Pediatrik Amerika merekomendasikan untuk mempertimbangkan penggunaan ribavirin karena kesalahan terapi dengan ribavirin akan menyebabkan pasien lebih lama dirawat di rumah sakit, semakin lama di ICU, dan semakin lama menggunakan ventilasi mekanik (Dipiro et al, 2008).

3) Bronkitis akut

Bronkitis akut sebenarnya penyakit yang dapat sembuh sendiri dan jarang menimbulkan kematian. Penyebabnya biasanya adalah virus seperti rhinovirus, adenovirus dan coronavirus. Bakteri yang sering menyebabkan bronkitis akut adalah Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia, dan Bordetella pertussis.


(41)

Gejalanya adalah batuk lebih dari 5 hari dengan sputum purulen, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam dengan suhu tubuh >390C. Antibiotika pilihan pertama yang digunakan untuk terapi bronkitis akut adalah azitromisin, sedangkan antibiotika alternatif yaitu golongan fluorokuinolon seperti levofloxacin. Jika penyebabnya virus influenza A dapat digunakan amantadin, rimantadin, zanamivir, oseltamivir (Dipiro et al, 2008).

Penyebab infeksi saluran pernafasan akut meliputi virus, bakteri, maupun senyawa renik lainnya. Bakteri yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut termasuk Gram-positif yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus pnemoniae, sedangkan yang termasuk Gram-negatif adalah Haemophillus influenza, Pseudomonas aeruginosa, dan Pnemonia aureus (Misnadiarly, 2008).

Perjalanan klinis ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Virus masuk ke saluran pernafasan sebagai antigen dan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak mendorong virus ke arah faring, jika gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran pernafasan sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk. Infeksi sekunder bakteri dapat menyerang saluran pernafasan bawah


(42)

sehingga bakteri yang biasanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri. Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran pernafasan terutama dalam hal sistem imun di saluran pernafasan yang sebagian besar terdiri dari mukosa. Sistem imun saluran pernafasan yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas sistem imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa imunoglobulin A (IgA) memegang peranan pada saluran pernafasan atas sedangkan imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan bawah. Sekretori IgA sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran pernafasan (Sheffy,2009).

Infeksi saluran pernapasan akut adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas akibat penyakit menular di seluruh dunia, khususnya yang mempengaruhi anak-anak dan orang dewasa di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh virus sendiri atau infeksi bakteri yang disertai dengan virus yang dapat menular dan menyebar dengan cepat. Meskipun pengetahuan tentang cara penularan yang selalu berkembang, bukti saat ini menunjukkan bahwa cara penularan infeksi saluran pernapasan akut yang paling utama adalah melalui droplet, tapi penularan melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh inokulasi) atau aerosol pernapasan infeksius dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk beberapa patogen dalam keadaan tertentu. Dua cara penularan agen infeksi yaitu penularan secara langsung dan penularan secara tidak langsung. Penularan secara langsung meliputi


(43)

kontak langsung antarpermukaan tubuh dan perpindahan mikroorganisme antara orang yang terinfeksi dengan orang yang rentan terinfeksi. Penularan secara tidak langsung meliputi kontak dari orang yang rentan terinfeksi dengan objek perantara yang terkontaminasi (misalnya tangan yang terkontaminasi) yang membawa mikroorganisme (WHO, 2014).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut berdasarkan derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu ISPA ringan dengan satu atau lebih gejala seperti batuk, pilek dengan atau tanpa demam; ISPA sedang meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala pernafasan cepat, mengi (sakit dan keluar cairan lewat telinga), bercak kemerahan, dan panas 390C atau lebih; ISPA berat meliputi gejala ISPA ringan/sedang ditambah satu atau lebih gejala seperti penarikan dada ke dalam pada saat menarik nafas (Merson, 2012).

C. Penggunaan Obat yang Rasional

Penggunaan obat yang rasional meliputi pasien menerima obat sesuai dengan kondisi klinisnya, dosis sesuai dengan kebutuhan individual, periode waktu yang tepat, dan biaya yang terendah untuk individu dan komunitasnya (WHO, 2012). Kriteria penggunaan obat yang rasional adalah tepat diagnosis yaitu obat diberikan sesuai dengan diagnosis karena apabila diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah; tepat indikasi penyakit yaitu obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit; tepat pemilihan obat yaitu obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit; tepat dosis yaitu dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat karena bila salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi akan mengakibatkan


(44)

efek terapi tidak tercapai. Tepat jumlah yaitu jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup. Tepat cara pemberian, misalkan antibiotika tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan sehingga menurunkan efektifitasnya. Tepat interval waktu pemberian hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Tepat lama pemberian harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing; tepat penilaian kondisi pasien yaitu penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien dan harus memperhatikan kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia atau bayi; waspada terhadap efek samping yaitu obat dapat menimbulkan efek samping yang merupakan efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulnya mual, muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya; efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau, untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi; tepat tindak lanjut (follow up) yaitu apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut konsultasikan ke dokter; tepat penyerahan obat (dispensing) yaitu resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat; pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan (Depkes RI, 2008).

D. Keterangan Empiris

Prevalensi Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada pediatri cukup tinggi sehingga diperlukan suatu terapi antibiotika yang efektif. Adanya peristiwa yang tidak diinginkan juga seringkali terjadi pada pasien terkait terapi antibiotika yang diberikan. Oleh karena itu, hasil penelitian akan menunjukkan adanya


(45)

kemungkinan permasalahan terkait ketidaktepatan terapi antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosa Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013.


(46)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental dan menggunakan rancangan penelitian deskriptif evaluatif dengan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Jenis penelitian non-eksperimental karena observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada intervensi serta perlakuan dari peneliti terhadap subjek yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010). Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif evaluatif karena bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat menggambarkan fakta atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang terjadi, kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah dikumpulkan berdasarkan pedoman/standar yang ada (Hasan, 2002). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu yang diambil dari rekam medis pasien pada periode tertentu (Notoatmodjo, 2010).

B. Definisi Operational

1. Pasien pediatri adalah pasien anak yang berusia ≤14 tahun sesuai dengan klasifikasi RS Panti Rapih dan mendapatkan diagnosis utama keluar ISPA. 2. Pembagian klasifikasi umur menjadi ≤4 tahun, 5-11 tahun, 12-14 tahun

berdasarkan klasifikasi umur pada penatalaksanaan terapi dalam Pharmacotheraphy : A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition tahun 2005.


(47)

3. Infeksi Saluran Pernafasan Akut yaitu Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian atas meliputi otitis media, faringitis, dan sinusitis sedangkan untuk Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian bawah meliputi pneumonia, bronkiolitis, dan bronkitis.

4. Total kasus merupakan total semua kasus ISPA kelompok pediatri yang ada di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada periode Juli- September 2013.

5. Diagnosis yang digunakan adalah diagnosis keluar pasien yaitu ISPA dan ISPA dengan penyakit penyerta.

6. Durasi antibiotika adalah jumlah hari dimana pasien ISPA mendapatkan antibiotika selama perawatan di rumah sakit.

7. Lama perawatan pasien adalah jumlah hari yang menunjukan bahwa pasien ISPA dirawat, dihitung mulai dari pasien masuk menginap di rumah sakit hingga pasien keluar/ pulang dari rumah sakit.

8. Kriteria penggunaan obat yang rasional adalah:

1) Dosis yaitu banyaknya antibiotika yang diberikan dalam satu hari pemakaian yang dinyatakan dalam satuan mg/ml. Berdasarkan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005) dan berdasarkan terapi antibiotika yang diberikan untuk pasien pada data rekam medik. Contoh: pemberian Sporetik (Sefiksim 100 mg/5 ml) sebanyak 2,5 ml.

2) Rute pemberian adalah cara pemberian antibiotika secara per oral (p.o) dan intravena (i.v). Dilihat berdasarkan terapi antibiotika yang


(48)

diberikan untuk pasien pada data rekam medik. Contoh: Sporetik (Sefiksim 100 mg/5 ml) diberikan secara per oral (p.o).

3) Frekuensi/Interval waktu pemberian antibiotika adalah berapa kali pasien menggunakan antibiotika dalam sehari. Berdasarkan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005) dan berdasarkan terapi antibiotika yang diberikan untuk pasien pada data rekam medik. Contoh: Sporetik (Sefiksim 100 mg/5 ml) diberikan 2 kali dalam sehari.

9. Rekam medis adalah catatan yang berisi data pasien meliputi nomor rekam medis, nama pasien, usia, jenis kelamin, tanggal masuk dan tanggal keluar pasien, lama perawatan, keluhan, diagnosis masuk, diagnosis keluar, data non laboratorium dan data laboratorium, nama obat yang digunakan, dosis, frekuensi, serta cara pemberian terhadap antibiotika.

C. Subjek Penelitian

Subyek penelitian meliputi pasien anak yang mendapatkan diagnosis ISPA di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013.

1. Kriteria inklusi subyek adalah pasien pediatri berumur ≤14 tahun yang menerima terapi antibiotika dan menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang mendapat diagnosis utama keluar Infeksi Saluran Pernafasan Akut tanpa penyakit penyerta.


(49)

2. Kriteria eksklusi subyek adalah pasien pediatri yang mendapatkan diagnosis akhir ISPA dengan penyakit penyerta dan pasien pediatri yang data rekam medisnya tidak lengkap.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah data rekam medis pasien pediatri yang mendapat diagnosis utama keluar ISPA tanpa penyakit penyerta yang terdapat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan adalah standar/acuan yang meliputi Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005) yang digunakan untuk mengevaluasi ketidaktepatan dosis, rute pemberian, dan frekuensi/interval waktu.

69 populasi

pasien ISPA

Inklusi 16

pasien

Eksklusi 53

pasien

11 pasien berumur diatas 14

tahun

2 pasien yang rekam medisnya

tidak lengkap. 18 pasien tidak

mendapatkan terapi antibiotika

22 pasien mendapatkan diagnosis akhir ISPA

dengan penyakit penyerta


(50)

F. Tata Cara Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap berikut : 1. Tahap perencanaan

Proses yang dilakukan pada tahap ini adalah mencari informasi mengenai prevalensi penyakit ISPA melalui media cetak maupun media internet seperti buku, penelitian, dan jurnal, kemudian mengajukan proposal dan surat ijin penelitian untuk dapat melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih. Setelah permohonan penelitian disetujui oleh pihak rumah sakit, maka penelitian dapat dilakukan pada bagian rekam medik rumah sakit tersebut.

2. Tahap analisis situasi

Tahap analisis situasi dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai jumlah pasien ISPA yang sedang menjalani rawat inap pada tahun 2013. Berdasarkan hasil printout nomor rekam medis dan jumlah pasien ISPA tersebut, didapatkan jumlah pasien pediatri yang mendapatkan diagnosis ISPA baik diagnosis utama keluar dan diagnosis lain/komplikasi sebanyak 69 kasus. Sebanyak 69 pasien, hanya 16 pasien yang memenuhi kriteria penelitian inklusi. Terdapat 53 pasien tidak memenuhi kriteria inklusi karena 11 pasien berumur diatas 14 tahun, 18 pasien tidak mendapatkan terapi antibiotika, 22 pasien mendapatkan diagnosis akhir ISPA dengan penyakit penyerta, dan 2 pasien yang rekam medisnya tidak lengkap.

3. Tahap pengumpulan data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan pencatatan data pasien ISPA dari rekam medik. Data yang diperoleh dari rekam medik meliputi nomor rekam


(51)

medis, nama pasien, jenis kelamin, umur, berat badan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit, diagnosis (meliputi diagnosis awal dan akhir), lama rawat inap, keluhan, hasil pemeriksaan non laboratorium dan data laboratorium, nama obat yang diberikan, dosis obat yang diberikan, frekuensi pemberian, serta lama pemberian.

4. Tahap pengolahan data

Dalam tahap ini, data yang sudah ada kemudian dikelompokan dan dijelaskan secara deskriptif, sebagai berikut:

a. Gambaran karakteristik demografi pasien ISPA yang meliputi jenis kelamin, usia, diagnosis, dan lama perawatan.

b. Gambaran pola peresepan antibiotika pada pasien ISPA meliputi sub golongan dan jenis antibiotika, dan durasi pemberian antibiotika.

c. Identifikasi jumlah ketidaktepatan pemberian antibiotika berdasarkan dosis, rute pemberian, serta frekuensi/interval waktu.

G. Analisis Hasil

Analisis data dilakukan secara deskriptif evaluatif sebagai berikut : a. Karakteristik demografi pasien

Karakteristik pasien ISPA diidentifikasi dengan mengelompokkan data yang diperoleh berdasarkan jenis kelamin, umur, diagnosis dan lama perawatan.

1.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada


(52)

setiap kelompok jenis kelamin dengan jumlah pasien secara kesluruhan dikali 100 %.

2.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan kelompok umur yang dibagi menjadi umur ≤4 tahun, umur 5-11 tahun, dan umur 12-≤14 tahun. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada setiap kelompok umur dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%.

3.) Distribusi diagnosis dikelompokkan berdasarkan diagnosis akhir yaitu ISPA tanpa penyakit penyerta dan ISPA dengan penyakit penyerta. Kemudian persentase dihitung dengan membagi jumlah pasien pada setiap banyaknya diagnosis dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%.

4.) Distribusi lama hari rawat dikelompokkan berdasarkan lamanya hari rawat pasien. Kemudian persentase dihitung dengan membagi jumlah pasien pada setiap banyaknya lama hari rawat dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%.

b. Pola Penggunaan Antibiotika Pada Pasien ISPA

1) Penggunaan antibiotika pada pasien ISPA berdasarkan sub golongan dan jenis antibiotika. Persentase masing-masing sub golongan dan jenis antibiotika dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap golongan dan jenis antibiotika dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%

2) Gambaran durasi penggunaan antibiotika pada pasien ISPA. Persentase masing-masing kelompok durasi penggunaan antibiotika dihitung dengan


(53)

cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

c. Gambaran Ketidaktepatan Penggunaan Antibiotika

1) Ketidaktepatan dosis yaitu dosis kurang dan dosis lebih. Persentase dosis kurang dan dosis lebih dihitung dengan cara menghitung jumlah antibiotika yang dosisnya rendah/ dosisnya lebih dibagi dengan jumlah total antibiotika dan dikalikan 100%

2) Ketidaktepatan rute pemberian yaitu cara pemberian antibiotika harus yang tidak sesuai. Persentase ketidaktepatan rute pemberian dihitung dengan cara menghitung jumlah antibiotika yang tidak tepat rute pemberiannya dibagi dengan jumlah total antibiotika dan dikalikan 100%. Cara pemberian antibiotika terdiri dari peroral (PO) dan intravena (IV). Persentase masing-masing kelompok cara pemberian antibiotika dihitung dengan cara menghitung jumlah antibiotika pada tiap jenis antibiotika dibagi dengan jumlah total antibiotika dan dikalikan dengan 100%.

3) Ketidaktepatan interval waktu pemberian dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar dapat ditaati oleh pasien. Persentase ketidaktepatan interval waktu dihitung dengan cara menghitung jumlah antibiotika yang tidak tepat interval waktunya dibagi dengan jumlah total antibiotika dan dikalikan 100%.

H. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang menggunakan sumber data retrospektif memungkinkan terjadinya error pada saat mencatat sumber data. Hal ini dapat disebabkan karena


(54)

kesulitan dalam pembacaan data rekam medis dengan tulisan perawat atau dokter yang kurang jelas.

Rumah Sakit tempat penelitian tidak mengijinan dalam peminjaman Standar Pelayanan Medik yang digunakan sebagai pedoman dalam menentukan antibiotika yang digunakan untuk pasien pediatri diagnosis ISPA. Maka data yang didapat dievaluasi menggunakan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005).


(55)

36 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian disajikan secara sistematis, mulai dari karakteristik demografi pasien, pola peresepan antibiotika, hingga gambaran ketidaktepatan pemberian antibiotika.

A. Karakteristik Demografi Pasien ISPA

Karakteristik demografi pasien yang akan dibahas meliputi jenis kelamin, usia, dan diagnosis. Hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Jumlah pasien ISPA berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, jumlah pasien yang didapatkan sebagai subyek penelitian sebanyak 16 pasien. Dari total pasien ISPA sejumlah 16 pasien, 11 diantaranya adalah laki-laki sebesar 68,75%. Hal ini dikarenakan anak laki-laki lebih suka bermain di tempat yang kotor, berdebu, dan banyak bermain diluar rumah, sehingga kontak dengan penderita ISPA lain yang memudahkan penularan dan anak terkena ISPA (Suyami dan Sunyoto, 2004). Proses penularan penyakit ISPA ternyata tidak merata untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini berkaitan dengan faktor penularan ISPA yang tidak hanya akibat terpapar lingkungan. ISPA dapat juga ditularkan melalui kontak langsung dengan anggota keluarga penderita ISPA.

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Puskesmas I Purwareja Klampok oleh Hapsari dan Astuti (2007) juga menemukan pasien laki-laki lebih


(56)

banyak daripada pasien ISPA yang berjenis kelamin perempuan, dimana penderita dengan jenis kelamin laki-laki (55,8%) jumlahnya lebih banyak daripada penderita dengan jenis kelamin perempuan (44,2%). Hal ini diperkuat dengan pendapat Hapsari (2004) bahwa pneumonia lebih sering terkena pada laki-laki berusia kurang dari 6 tahun, hal ini berkaitan dengan respon pada anak, karena secara biologis sistem pertahanan tubuh laki-laki berbeda dengan anak perempuan.

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada gambar 3 sebagai berikut:

Gambar 3. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September

2013 Berdasarkan Jenis Kelamin (n=16)

2. Jumlah pasien ISPA berdasarkan usia

Subyek penelitian ini adalah pasien pada kelompok pediatri yang menderita ISPA. Pembagian klasifikasi umur menjadi ≤ 4 tahun, 5-11 tahun, 12-14 tahun. Hasil penelitian mendapatkan bahwa kasus ISPA di RS Panti Rapih

68.75


(57)

Yogyakarta paling banyak terjadi pada kelompok usia anak-anak yaitu umur ≤ 4 tahun sebesar 87,5% dengan banyak pasien yaitu 14 pasien (n=16). Hasil penelitian ini mendukung beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Penelitian Berawi (2013) menunjukkan bahwa selama periode Januari-Oktober 2013 di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung terdapat 184 kasus infeksi saluran pernafasan akut pada balita dan semuanya 100% didiagnosis sebagai penderita pneumonia. Data yang tercatat berdasarkan umur menunjukkan bahwa penderita kelompok umur 12 - 35 bulan paling banyak yakni 52,2%. Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas 2 tahun. Hal ini disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang relatif sempit. Selain itu, pada pediatri kondisi tubuh anak masih lemah, dimana fungsi hampir seluruh sistem organ masih dalam perkembangan sehingga kelompok pasien ini mempunyai kemungkinan lebih besar terinfeksi oleh agen infektan ISPA.

Pada masa balita belum mempunyai daya tahan tubuh yang kuat untuk melawan kuman/virus yang masuk ke dalam tubuh. Batuk dan pilek merupakan salah satu bentuk ISPA yang sering menyerang balita. ISPA paling banyak terjadi pada usia fase awal balita hingga usia 6-7 tahun. Pada masa ini balita cenderung memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Hal ini bisa sebagai perantara masuknya kuman ke dalam tubuh. Pengawasan dari keluarga sangat diperlukan. Disamping


(58)

itu, lingkungan keluarga harus mendukung agar balita dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Ngastiyah, 2002).

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada gambar 4 sebagai berikut:

Gambar 4. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli- September

2013 Berdasarkan Usia (n=16)

3. Jumlah pasien ISPA berdasarkan diagnosis

Pengelompokan ISPA di rumah sakit Panti Rapih didasarkan pada diagnosis awal, maupun diagnosis akhir. Diagnosis akhir berbeda dengan diagnosis awal, karena selain berdasarkan pemeriksaan fisik, juga dilakukan pemeriksaan laboratorium, sehingga pada penelitian ini digunakan diagnosis akhir.

Berdasarkan hasil penelitian yang ditinjau dari diagnosis akhir, pasien ISPA dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu pasien ISPA tanpa penyakit

0

12.5

87.5


(59)

penyerta dan pasien ISPA dengan penyakit penyerta. Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien ISPA dengan penyakit penyerta paling banyak terjadi yaitu sebesar 57,89% sebanyak 22 pasien, sedangkan pasien ISPA tanpa penyakit penyerta yaitu sebesar 42,11% sebanyak 16 pasien.

Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada tabel III sebagai berikut:

Tabel III. Persentase Distribusi diagnosis akhir pasien ISPA kelompok pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta

periode Juli- September 2013 No Diagnosis

Jumlah kasus (n=38) Persen-tase (%) Jenis Antibiotika

1 ISPA tanpa penyakit

penyerta 16 42,11

Amoksisilin, sefiksim, seftriakson, sefotaksim, eritomisin, paromomisin sulfat

2 ISPA dengan penyakit

penyerta 22

a. Dengue Hemoragic

Fever (DHF) 3 7,89 Kloramfenikol, sefiksim b. Gastroenteritis Akut

(GEA) 6 15,80

Sefiksim, seftriakson, eritromisin, paromomisin sulfat

c. Asma Bronkial 1 2,63 Sefotaksim

d. Epilepsi 1 2,63 Eritromisin

e. Kejang Demam (KD) 5 13,16 Eritromisin, sefiksim, sefotaksim

f. Stomatitis 1 2,63 Sefiksim

g. Rhinitis Alergika 1 2,63 Sefotaksim

h. GEA+KD 2 5,26 Sefotaksim, sefiksim,

sefadroksil, metronidasol i. Infeksi Saluran

Kemih (ISK)+KD 1 2,63

Amoksisilin, seftriakson, gentamisin

j. Asma Bronkial+KD 1 2,63 Sefiksim


(60)

4. Jumlah pasien ISPA berdasarkan lama perawatan

Lama perawatan berkisar 1-7 hari, dengan paling banyak selama 3 hari. Lama perawatan yang tidak panjang dan pemulangan yang lebih awal membuat pasien dapat segera kembali melakukan aktifitas normalnya. Selain itu, dapat pula mencegah terjadinya infeksi nosokomial dan mengurangi biaya rumah sakit. Menurut Penelitian Puteri (2012), lama rawat inap pasien ISPA kelompok umur pediatri yang dirawat di instalasi rawat inap IRNA Anak RSUP DR. M. Djamil Padang dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kategori efektif yaitu dengan lama rawat inap ≤ 9 hari dan kategori tidak efektif dengan lama rawat inap ≥ 10 hari. Penelitian ini termasuk dalam kategori efektif karena lama perawatan berkisar 1-7 hari dan paling banyak selama 3 hari terdapat 6 pasien (37,5%) yang berarti lama perawatan ≤ 9 hari.

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada gambar 5 sebagai berikut:

Gambar 5. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September

2013 Berdasarkan Lama Rawat (n=16) 31.25 37.5 18.75 12.5 0 5 10 15 20 25 30 35 40

1 2 3 4 5 6 7

Lama Hari Rawat

Ju m la h Pa sie n Lama Hari Rawat


(61)

B. Pola Penggunaan Antibiotika Pada Pasien ISPA

1. Penggunaan antibiotika pada pasien ISPA berdasarkan sub golongan dan jenis antibiotika

Semua pasien di dalam penelitian ini menggunakan antibiotika sebagai terapi. Hasil penelitian berkaitan dengan persentase jenis antibiotika yang diresepkan dalam penatalaksanaan terapi ISPA. Hal ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan golongan antibiotika apa saja yang diresepkan dokter kepada pasien ISPA di RS. Panti Rapih Yogyakarta.

Berdasarkan data dari rekam medis, antibiotika yang digunakan dari total 16 pasien ISPA terdiri dari 6 jenis yaitu sefiksim, amoksisilin, seftriakson, sefotaksim, eritromisin, dan paromomisin sulfat. Penggunaan jenis antibiotika yang paling tinggi adalah jenis sefiksim yaitu sebanyak 36,84%.

Sefiksim dipercaya sebagai antibiotik spektrum luas dengan berbagai indikasi. Sefiksim memiliki keberhasilan yang sangat baik (92%) dalam pemberantasan mikroorganisme dan efek samping yang terjadi sama dengan sefalosporin lainnya (Dreshaj et al, 2011). Sefiksim bersifat bakterisid dan berspektrum luar terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif, seperti golongan sefalosporin oral yang lain, sefiksim mempunyai aktivitas yang poten terhadap mikroorganisme gram positif seperti Streptococcus sp., Streptococcus pneumoniae, dan gram negatif seperti Branhamella catarrahalis, Escherichia coli, Proteus sp., Haemophilus influenza (Dexa, 2009).

Sefiksim bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel. Sefiksim memiliki afinitas tinggi terhadap Penicillin-binding-protein (PBP) 1 (1a, 1b, dan


(62)

1c) dan 3, dengan tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis organismenya. Sefiksim stabil terhadap β-laktamase yang dihasilkan oleh beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang baik terhadap organisme penghasil β-laktamase, yang berikatan dengan PBP yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian bakteri (Depkes, 2005).

Paromomisin sulfat digunakan untuk terapi amubiasis intestinal ringan sampai sedang (akut maupun kronik) yang disebabkan Entamoeba histolytica dan sebagai terapi penunjang untuk koma hepatikum. Dosis pada amubiasis adalah 25-35 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3 dosis, selama 5-10 hari dan pada koma hepatikum adalah 4g sehari dalam dosis terbagi, 5-6 hari (BPOM Republik Indonesia dan Ikatan Apoteker Indonesia, 2013). Pada penelitian ini, antibiotika paromomisin sulfat tidak direkomendasikan untuk pengobatan ISPA, sehingga tidak dapat dievaluasi penggunaan antibiotikanya.

Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada gambar 6 sebagai berikut:

Gambar 6. Persentase Distribusi jenis antibiotika untuk pengobatan ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta

periode Juli-September 2013 (n=19) 10.53

10.53 15.79

21.05

36.84

5.26

sefiksim amoksisilin seftriakson sefotaksim eritromisin paromomisin sulfat


(63)

Pada beberapa kejadian, pasien menerima terapi lebih dari 1 (satu) jenis antibiotika. Tujuan pemberian antibiotika lebih dari satu jenis ini dimaksudkan sebagai terapi kombinasi (sefiksim dengan paromomisin sulfat) maupun sebagai antibiotika pengganti (sefiksim diganti dengan seftriakson). Terapi antibiotika kombinasi digunakan pada kasus khusus dan untuk beberapa tujuan tertentu seperti mencegah adanya resistensi bakteri terhadap antibiotika yang sifatnya mendadak, mendapatkan manfaat dari dua atau lebih antibiotika yang mekanisme kerjanya saling bersinergi, menangani kemungkinan adanya infeksi yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri, dan untuk menangani suatu kasus antibiotika yang berat (Murray et al., 2009). Hasil penelitian menunjukan sebanyak 13 pasien (81,25%) menerima terapi antibiotika tunggal yaitu amoksisilin dan seftriakson masing-masing 2 pasien (12,5%) dan sefotaksim, sefiksim, dan eritromisin masing-masing 3 pasien (18,75%) dan sebanyak 3 pasien (18,75%) menerima terapi antibiotika kombinasi yaitu sefiksim dengan sefotaksim, sefiksim dengan paromomisin sulfat, sefiksim dengan seftriakson masing-masing 1 pasien (6,25%). Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada gambar 7 sebagai berikut:

Gambar 7. Persentase Distribusi profil penggunaan terapi Antibiotika Tunggal dan Kombinasi untuk pengobatan ISPA Kelompok Pediatri di

Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013 (n=16)

81.25 18.75

Terapi Tunggal Terapi Kombinasi


(64)

Penggunaan antibiotika pada pasien ISPA yang tertinggi yaitu antibiotika dengan sub golongan sefalosporin generasi III sebanyak 13 jumlah antibiotika (68,42%) yang terdiri dari sefiksim sebanyak 7 jumlah antibiotika sefiksim, sefotaksim sebanyak 4 jumlah antibiotika sefotaksim, dan seftriakson sebanyak 2 jumlah antibiotika seftriakson, sub golongan makrolida yaitu eritromisin sebanyak 3 jumlah antibiotika eritomisin (15,79%), sub golongan penisilin yaitu amoksisilin sebanyak 2 jumlah antibiotika amoksisilin (10,53%), dan sub golongan aminoglikosida yaitu paromomisin sulfat sebanyak 1 antibiotika paromomisin sulfat (5,26%). Sefalosporin generasi III banyak digunakan karena memiliki aktivitas spektrum yang luas serta aktif terhadap bakteri gram negatif.

Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada tabel IV sebagai berikut:

Tabel IV. Persentase Distribusi Golongan Antibiotika yang digunakan oleh pasien ISPA Kelompok Pediati di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih

Yogyakarta Periode Juli-September 2013 No Nama Golongan Jenis

Antibiotika

Jumlah kasus (n=16)

Persentase (%) 1 Sefalosporin

generasi III

Sefiksim 7 68,42

Seftriakson 2

Sefotaksim 4

2 Makrolida Eritromisin 3 15,79

3 Penisilin Amoksisilin 2 10,53

4 Aminoglikosida Paromomisin sulfat

1 5,26

Jumlah 19 100

2. Gambaran durasi penggunaan antibiotika pada pasien ISPA

Durasi pemberian antibiotika berkaitan dengan proses pembunuhan bakteri penginfeksi. Masing-masing antibiotika memiliki waktu optimum untuk membunuh suatu bakteri atau mikroorganisme tertentu. Sefotaksim optimal untuk


(65)

pengobatan ISPA apabila digunakan selama kurang lebih 5-10 hari. Sefotaksim diasumsikan dapat membunuh bakteri penyebab ISPA dalam waktu kurang lebih 5-10 hari. Apabila durasi pengobatan ditambah, efek yang akan dihasilkan tidak jauh berbeda dengan durasi optimal bahkan bisa meningkatkan resiko resistensi bakteri apabila penggunaan antibiotika melebihi waktu optimal (Anonim, 2012).

Durasi ataupun lama penggunaan antibiotika untuk pasien ISPA tidak sama untuk setiap golongan antibiotika. Menurut Departemen kesehatan (2005), durasi pengobatan ISPA menggunakan amoksisilin adalah 10-14 hari, durasi pengobatan ISPA menggunakan antibiotika eritromisin adalah paling sedikit 3 minggu, sedangkan durasi pengobatan ISPA menggunakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson selama 4-14 hari dan sefiksim selama 10 hari.

Hasil penelitian menunjukan bahwa durasi penggunaan antibiotika pada pasien ISPA paling sering digunakan adalah sefiksim selama 3 hari yaitu sebanyak 3 jumlah antibiotika sefiksim (15,80%).

Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada tabel V sebagai berikut:

Tabel V. Persentase durasi penggunan Antibiotika pada Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta

Periode Juli-September 2013

No. Antibiotika Durasi

(hari)

Jumlah Kasus (n=16)

Persentase (%)

1 Sefiksim 2 2 10,53

3 3 15,80

4 2 10,53

2 Sefotaksim 2 1 5,26

4 1 5,26

5 2 10,53

3 Eritromisin 2 1 5,26


(1)

No

Lama Peraw-atan

Pengobatan Antibiotika Golongan Antibiotika

Rute

Pember-ian

Dosis sekali pemberian

Frekuensi pemberian

perhari

Tanggal pemberian

Lama

pember-ian Proris®


(2)

Lampiran 3. Dosis dan interval waktu antibiotika yang diberikan pada pasien ISPA No. No. Rekam Medis Berat Badan (kg)

Nama Antibiotika Dosis

pemberian Dosis menurut literatur

Tepat dosis/ tidak tepat dosis Tepat interval waktu/ tidak tepat interval waktu

1 817549 7,5

Amoxan® drop (Amoksisilin 100 mg/1

ml )

3 x 1 ml anak: 25-50 mg/ kgBB/ hari

terbagi dalam 3 dosis Tepat dosis

Tepat interval waktu

2 688891 13 Seftriakson Na 1 g 2 x 500 mg anak: 50 mg/ kgBB; max 1

g; i.m Tepat dosis

Tepat interval waktu

3 854609 18

Sporetik® (Sefiksim 100 mg/5 ml)

Clacef® (Sefotaksim 500 mg, 1 g)

2 x 2,5 ml

2 x 500 mg

anak: 8 mg/ kgBB/ hari terbagi dalam 1-2 dosis

anak: 50-75 mg/ kgBB/ hari

Dosis kurang Tepat dosis Tepat interval waktu Tepat interval waktu 4 854887 21 Clacef® (Sefotaksim 500

mg, 1 g) 2 x 500 mg anak: 50-75 mg/ kgBB/ hari Dosis kurang

Tepat interval waktu 5 855767 9,9 Sporetik® (Sefiksim 100

mg/5 ml) 2 x 2,5 ml

anak: 8 mg/kgBB/hari

terbagi dalam 1-2 dosis Dosis lebih

Tepat interval waktu 6 781313 10,7 Clacef® (Sefotaksim 500

mg, 1 g) 2 x 250 mg anak: 50-75 mg/ kgBB/ hari Dosis kurang

Tepat interval waktu 7 856960 10,5 Erysanbe® (Eritromisin

stearat chewable 200 3 x 125 mg

Anak: 30-50 mg/ kgBB/ hari

terbagi dalam 3-4 dosis Tepat dosis

Tepat interval waktu


(3)

No. No. Rekam Medis Berat Badan (kg)

Nama Antibiotika Dosis

pemberian Dosis menurut literatur

Tepat dosis/ tidak tepat dosis Tepat interval waktu/ tidak tepat interval waktu mg)

8 857570 9,3

Erysanbe® (Eritromisin stearat chewable 200

mg)

3 x 150 mg Anak: 30-50 mg/ kgBB/ hari

terbagi dalam 3-4 dosis Tepat dosis

Tepat interval waktu

9 760718 15 Amoxan® (Amoksisilin

Na 500 mg, 1 g) 3 x 250 mg

anak: 25-50 mg/ kgBB/ hari

terbagi dalam 3 dosis Tepat dosis

Tepat interval waktu 10 754999 12 Starcef® (Sefiksim 50

mg, 100 mg, 200 mg) 2 x 40 mg

anak: 8 mg/kgBB/hari

terbagi dalam 1-2 dosis Dosis kurang

Tepat interval waktu

11 858416 9,5

Erysanbe® (Eritromisin stearat chewable 200

mg)

3 x 150 mg Anak: 30-50 mg/ kgBB/ hari

terbagi dalam 3-4 dosis Tepat dosis

Tepat interval waktu

12 859008 11 Sefotaksim 500 mg, 1 g 2 x 250 mg anak: 50-75 mg/ kgBB/ hari Dosis kurang Tepat interval waktu 13 768063 12,5 Starcef® (Sefiksim 50

mg, 100 mg) 2 x 40 mg

anak: 8 mg/kgBB/hari

terbagi dalam 1-2 dosis Tepat dosis

Tepat interval waktu 14 771543 24 Cefspan® (Sefiksim 100

mg/5 ml) 2 x 5 ml

anak: 8 mg/kgBB/hari

terbagi dalam 1-2 dosis Dosis kurang

Tepat interval waktu 15 702630 15 Cefspan® (Sefiksim 100

mg/5 ml) 2 x 4 ml

anak: 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam 1-2 dosis

Dosis lebih Tepat interval waktu


(4)

No.

No. Rekam

Medis

Berat Badan

(kg)

Nama Antibiotika Dosis

pemberian Dosis menurut literatur

Tepat dosis/ tidak tepat

dosis

Tepat interval waktu/ tidak tepat interval

waktu Seftriakson Na 1 g 3 x 250 mg anak: 50 mg/ kgBB; max 1

g; i.m Tepat dosis

Tepat interval waktu 16 734907 15 Cefspan® (Sefiksim 50

mg, 100 mg, 200 mg) 2 x 75 mg

anak: 8 mg/kgBB/hari

terbagi dalam 1-2 dosis Dosis lebih

Tepat interval waktu


(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Anastasia Hilda Fajarwati merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Libertus Didik Prayitno dan Emirita Karti Wismawati. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 17 Juli 1992. Pendidikan Formal diawali di Taman Kanak-Kanak Pangudi Luhur Yogyakarta pada tahun 1996-1998, kemudian dilanjutkan ke jenjang pendidikan di Sekolah Dasar Pangudi Luhur Yogyakarta pada tahun 1998-2004. Selanjutnya ke jenjang pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Pangudi Luhur I Yogyakarta tahun 2004-2007, kemudian naik ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas Pangudi Luhur Yogyakarta pada tahun 2007-2010. Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan pendidikan Perguruan Tinggi Fakultas Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjalani perkuliahan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma, penulis pernah memberikan penyuluhan sebagai kegiatan Pengabdian Masyarakat Universitas Sanata Dharma di perumahan Minomartani (2012), menjadi volunteer pada pelaksanaan “Aksi Hari Kesehatan dan Lingkungan Hidup” (2012), dan menjadi asisten praktikum Pharmaceutical Care (2014).


Dokumen yang terkait

Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih Rawat Inap di Rumah Sakit Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan Tahun 2006-2010

2 30 113

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2011-2012.

0 3 13

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2011-2012.

0 6 17

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRP’s) PADA PASIEN ANAK INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Evaluasi Drug Related Problems (DRP’S) Pada Pasien Anak Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap Rumah

0 0 14

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRP’s) PADA PASIEN ANAK INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Evaluasi Drug Related Problems (DRP’S) Pada Pasien Anak Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap Rumah

0 1 18

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2009.

0 5 26

EVALUASI DOSIS PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI Evaluasi Dosis Penggunaan Obat pada Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Assalam Gemolong Sragen Tahun 2008-2009.

0 0 14

Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien ulkus diabetes mellitus di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 2005.

1 7 116

Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Desember 2010 - USD Repository

0 3 153

Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien ulkus kaki diabetika di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 2012 - USD Repository

0 1 69