1. MODEL DAN PEMBELAJARAN KOGNITIF.pdf

Sarbaini Sarbaini Sarbaini Sarbaini Sarbaini MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN

BERBASIS KOGNITIF MORAL: BERBASIS KOGNITIF MORAL: BERBASIS KOGNITIF MORAL: BERBASIS KOGNITIF MORAL: BERBASIS KOGNITIF MORAL: Dari Teori ke Aplikasi Dari Teori ke Aplikasi Dari Teori ke Aplikasi Dari Teori ke Aplikasi Dari Teori ke Aplikasi

Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Lambung Mangkurat

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

Sarbaini Sarbaini Sarbaini Sarbaini Sarbaini

MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KOGNITIF MORAL: BERBASIS KOGNITIF MORAL: BERBASIS KOGNITIF MORAL: BERBASIS KOGNITIF MORAL: BERBASIS KOGNITIF MORAL: Dari Teori ke Aplikasi Dari Teori ke Aplikasi Dari Teori ke Aplikasi Dari Teori ke Aplikasi Dari Teori ke Aplikasi

Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Lambung Mangkurat

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KOGNITIF MORAL KOGNITIF MORAL KOGNITIF MORAL KOGNITIF MORAL KOGNITIF MORAL

Sarbaini Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Banjarmasin 2011

All right reserve Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit

x + 160 Halaman; 14,5 x 21 cm ISBN: 979-26-8544-8

Rancang Sampul: Agvenda Penata Isi: Lusiana Susanti

Diterbitkan oleh: Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Lambung Mangkurat

Cetakan 1. Laboratorium PPKn (2001) Cetakan 2. Edisi Revisi (2011)

Dicetak oleh: ASWAJA PRESSINDO Jl. Plosokuning V No. 73 Minomartani Ngaglik Sleman Yogyakarta Telp.: (0274) 4462377 e-mail: aswajapressindo@gmail.com

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji Syukur kepada Allah SWT, atas rahmat, nikmat dan karunia Allah semata, dapatlah diselesaikan penyusunan salah satu buku pegangan untuk mahasiswa dalam mata kuliah Dasar-Dasar Pendidikan Moral dan Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarga- negaraan SMP dan SMA, khususnya Model Pembelajaran Berbasis Teori Perkembangan Moral Kognitif pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNLAM.

Materi buku ini, selain berisi beberapa artikel tentang pendidikan moral dalam tataran teoritis dan praktis, juga memuat cakupan materi dari buku “Moral Reasoning: A Teaching Handbook for Adapting Kohlberg to th Classroom”, karya Ronald E Galbraith dan Thomas M.Jones, terutama pada bab VII, VIII dan IX, dan implementasinya dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), disertai dengan beberapa model dan bentuk cerita tentatifnya.

Terima kasih kepada pihak yang telah membantu penyelesaian buku ini, khususnya para guru PKn SMP yang telah menyelesaikan tugas perkuliahan dalam bentuk membuat model pembelajaran PKn yang berbasis kognitif

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

moral. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas bantuan yang diberikan. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) FKIP UNLAM pada tanggal 17 Juni 2001, namun atas permintaan teman-teman guru mata pelajaran PKn dan memenuhi kebutuhan literatur untuk mahasiswa dalam mata kuliah Dasar-Dasar Pendidikan Moral dan Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarga- negaraan SMP dan SMA, sekaligus revisi terhadap berbagai koreksi dalam teknis pengetikan, maka diterbitkan kembali buku sebagai edisi revisi. Mudah-mudahan buku ini berguna bagi kita semua.

Banjarmasin, Maret 2011 Penyusun,

SARBAINI

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

BAB I PENDAHULUAN

M asalah moral, demikian pula pembelajaran moral, atau

karakter moral masa sekarang, agaknya hangat dibicarakan, terutama dikaitkan dengan kualitas karakter moral manusia di era reformasi ini. Tingkatan kualitas karakter moral manusia Indonesia, selain menghadapi masalah rancunya atau anomali nilai moral yang terjadi di masyarakat, juga diduga tengah menuju pada pada tataran yang paling rendah dalam kulitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan sempat pula dipertanyakan, apakah masih ada moral (yang baik) pada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia ini? Sekarang nilai moral sudah diputarbalikkan untuk memenuhi kepentingan pribadi, kepentingan kelompok dan kepentingan kekuasaan sesaat, dan kepentingan itu, tidak ada ujung pangkalnya. Kepentingan negara, kepentingan rakyat dan kepentingan masyarakat pada umumnya diletakkan pada kepentingan pribadi, kekuasaan dan kelompoknya. Di sinilah muara tumbuhnya kerancuan nilai moral, pada gilirannya memuntahkan dilema moral yang terjadi di masyarakat, khususnya terhadap generasi muda yang sedang tumbuh, berkembang dan mencari jawaban moral dalam kehidupannya.

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

Dalam menghadapi kerancuan nilai moral yang terjadi di dalam masyarakat, sekaligus melahirkan dilema moral bagi subjek yang menghadapinya, maka kebiasaan konvensional yang berlaku masyarakat, terutama bagi orang tua adalah memberikan contoh atau nasehat tentang moral yang baik dan moral yang buruk, maupun dengan cara memberikan ganjaran, jika moral yang baik dipatuhi, dan menghukum, kalau moral yang buruk dilanggar. Namun demikian menurut studi Hartshorne dan May (dalam Duska dan Whelan, 1982: 15-16) bahwa dalam pendidikan karakter moral, maka prinsip-prinsip yang diajarkan dengan cara memberi contoh, menasehati, memberi hadiah dan memberi hukum adalah tidak efektif untuk menghasilkan tingkah laku moral yang dikehendaki. Dengan kata lain, bahwa metode konvensional dalam pendidikan karakter moral warga negara (civics virtue)., tidak memadai lagi, maka diperlukan suplemen metode agar pendidikan karakter moral warga negara (civ- ics virtue ). menjadi lebih efektif. Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh para orang tua serta para pendidik supaya hal itu menjadi lebih efektif?

Jawaban terhadap permasalahan pendidikan karakter moral warga negara (civics virtue) sekarang, salah satunya, paling tidak secara ilmiah terdapat pada karya Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg. Penemuan-penemuan mereka menunjang keyakinan bahwa pertimbangan moral berkembang dengan melalui rentetan reorganisasi kognitif yang disebut tahap-tahap. Setiap tahap mempunyai bentuk, pola dan organisasi yang dapat diidentifikasi. Tahapan tersebut merupakan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif, dan perubahan tersebut tergantung dari perkembangan kognitif dan rangsangan dari lingkungan sosial ( Duska dan Whelan, 1982: 16-17 ).

Pendahuluan

Materi buku ini pada mulanya ditujukan terhadap mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, karena Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan selain bertujuan untuk menyiapkan tenaga calon guru PKn, juga bertujuan membentuk mahasiswanya menjadi warga negara yang mempunyai karakter moral yang baik. Namun demikian dalam perkembangannya, materi buku menumbuhkan minat para guru dan praktisi pendidik karakter moral warga negara (civics virtue) di sekolah, terutama, baik dalam kaitannya dengan pengembangan karakter moral peserta didik, juga berhubungan dengan pengembangan model pembelajaran karakter moral, khususnya model pembelajaran karakter moral warganegara dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Karakter moral warga negara tersebut hendaknya mengarah kepada karakter moral bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.

Menurut Udin S Winataputra (2000) secara substantif dan pedagogis, program civic education dirancang sebagai wahana pendidikan yang bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik, agar dapat memgembangkan dirinya menjadi warga negara yang cerdas, bertanggungjawab, dan berkeadaban atau “smart and good citizens”.

Menurut Endang Sumantri (2008: 34) yang amat lebih penting adalah bahwa pendidikan kewarganegaraan memperlihatkan potensi yang kuat untuk mengembangkan secara lengkap baik fisik maupun mental manusia dan mendorong pengembangan keterampilan-keterampilan, pengetahuan dan perilaku yang akan memungkin mereka untuk meningkatkan kondisi-kondisi kehidupan mereka. Tujuan yang diharapkan dari pendidikan kewarganegaraan sekarang akan menerima oleh posisi-posisi ideologis, religius dan kultural sebagai elemen-elemen esensial dalam tujuan-

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

tujuan pendidikan kewarganegaraan. Hal demikian diperkuat oleh pendapat Barret (1980) tentang ideologi, Kohlberg (1986) tentang religi, dan Giroux Krech, Crutchfield & Ballachey (1962) tentang kultur (dalam Endang Sumantri, 2008),

Udin S Winataputra (2000) dan Endang Sumantri (2008), nampaknya sepakat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan baik sebagai program, proses, fase dan produk memadukan secara integral aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, fisik dan mental, individu dan kolektif dalam perilaku untuk menjadi warga negara yang demokratis, sekaligus menjadi warga negara yang baik.

Buku ini bertujuan agar mahasiswa, guru dan praktisi pendidikan karakter moral warga negara (civics virtue) dapat memahami dasar-dasar dan konsep-konsep pendidikan karakter moral pada umumnya, dan khususnya untuk kepentingan pengembangan pendidikan karakter moral dalam kaitannya dengan pengembangan etika kewargane- garaan yang mendukung watak/karakter kewarganegaraan, sehingga terbentuk warga negara yang baik guna menuju masyarakat madani. Dalam kegiatan pembelajarannya telah dilaksanakan berbagai model pembelajaran yang berorientasi pada karakter moral warga negara (civics virtue), seperti model konsiderasi, model pembentukan rasional, model perkembangan kognitif, model analisis nilai, model klarifikasi nilai, dan model aksi sosial. Dari berbagai model pembelajaran karakter moral warga negara (civics virtue), ada dua model yang lebih kaitannya dengan problem kerancuan dan dilema nilai moral, yaitu model perkembangan kognitif dan model klarifikasi nilai.

Dalam pelaksanaan kedua model tersebut, peserta didik, mahasiswa, guru dan praktisi pendidikan karakter moral, dan pendidikan kewarganegaraan di sekolah dihadapkan dengan

Pendahuluan

kasus-kasus aktual dalam berbagai aspek kehidupan. Namun dari kedua model tersebut yang cendrung berperan dalam pengembangan struktur kognitifnya adalah model per- kembangan kognitif. Meskipun model pembelajaran kognitif kurang begitu dipopulerkan sebagaimana model klarifikasi nilai, dalam pembelajaran karakter moral warga negara (civ- ics virtue )., akan tetapi paling tidak, model perkembangan kognitif sesuai dengan upaya pemerintah sekarang. Karena pemerintah sekarang dalam bidang pendidikan berupaya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pem- bentukan sumber daya manusia dalam pendidikan adalah upaya untuk mengaktifkan struktur kognitif peserta didik, agar dapat membangun makna dari apa yang dipelajari. Di sinilah terdapat kesejajaran dan kesamaan orientasi untuk mengaktifkan struktur kognitif peserta didik, dengan model perkembangan kognitif sebagai model pembelajaran karakter moral warga negara. Di samping itu pengaktifan struktur kognitif juga memerlukan proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif pula. Perubahan dan pengaktifan struktur kognitif akan mempengaruhi perkembangan kognitif, dan semua itu rangsangan dari lingkungan sosial. Masalahnya adalah apakah rangsangan lingkungan sosial tersebut dapat mengaktifkan atau merubah struktur kognitif peserta didik, dan jika terjadi perubahan, pada tingkat apa perkembangannya, cendrung meningkat atau menurun? Jika pun terjadi perubahan, bagaimana pengaruhnya terhadap kemampuan melakukan pertimbangan karakter moral sebagai landasan dari perubahan atau perkembangan karakter moral peserta didik.

Adanya perubahan dan perkembangan karakter moral akan menuju pada peluang terbentuknya kemampuan

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

melakukan pertimbangan-pertimbangan moral yang matang. Maka dengan pertimbangan moral yang matang, tentu seseorang akan mencapai kematangan moral. Kematangan moral merupakan karakteristik dari seseorang yang mempunyai pendirian moral yang benar dan bertindak sesuai dengan pendiriannya itu. Kematangan moral selain menyangkut faktor pengetahuan yang mendalam tentang benar dan salah, juga berkaitan dengan watak atau kemauan bertindak sesuai dengan cara berpikir yang lurus, baik dan benar.

BAB II MORALITAS MENURUT PERSPEKTIF TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF MORAL

P ara pakar teori perkembangan kognitif moral meneliti

bagaimana perubahan kondisi karakter moral dikaitkan dengan pertambahan usia. Mereka percaya bahwa peningkatan kematangan kognitif dan pengalaman sosial, secara perlahan membimbing anak untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang tingkatan-tingkatan kerja sama sosial yang mengatur tanggungjawab moral.

Pemahaman anak-anak tentang tingkatan-tingkatan sosial berkembang dari hal yang sederhana, yaitu pemahaman kongkrit tentang kewajiban antara manusia kepada hal yang lebih abstrak, yaitu apresiasi pemahaman tentang lembaga sosial yang lebih luas dan sistem pembuatan hukum sebagaimana pemahaman masyarakat dan perubahan-perubahan struktur sosial. Karakter moral anak yang ideal adalah konsepsi mereka tentang apa yang sebenarnya dilakukan ketika kebutuhan dan keinginan manusia saling bertentangan satu sama lain, juga perbaikan- perbaikan lainnya, seperti perbaikan terhadap peningkatan penyelesaian secara jujur, adil, dan seimbang terhadap masalah-masalah moral (Rest, 1983, dalam Beck, 1989).

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

Perkembangan kognitif tidak bisa dianggap sebagai laporan karakter moralitas yang lengkap. Hal ini disebabkan oleh pemikiran tentang apakah karakter moral tidak menjamin orang bersikap yang sesungguhnya sesuai dengan tingkat kognitifnya. Berbagai contoh mucul untuk menunjuk- kan, bahwa anak-anak dan orang dewasa sering mengkom- promikan ide-ide tentang kejujuran, memenuhi keinginannya untuk mendapatkan kepuasan, walaupun mereka tahu, bahwa hal itu tidak benar. Beberapa dekade yang lalu, dalam penelitian klasiknya tentang perilaku moral, Harthson dan May menemukan bahwa terdapat hubungan yang rendah antara penalaran moral anak dengan tingkah laku mereka yang sesungguhnya dalam kondisi yang beragam (Harthson, May dan Shuttleworth, 1930, dalam Beck, 1989)

Meskipun demikian, bagian integral dari pendekatan perkembangan kognitif adalah bahwa pemahaman moral tidak mempengaruhi dorongan moral. Karenanya kognitif seharusnya menunjang hubungan-hubungan terhadap tindakan moral, meskipun tidak sempurna. Kalangan teorisi perkembangan kognitif percaya bahwa ketika anak-anak mulai mengerti tujuan dan fungsi tingkatan-tingkatan kerja- sama sosial, mereka mengembangkan kemampuan kerjasama untuk mereka sendiri dan orang-orang yang bekerja melindungi dan membantu mereka. Hasilnya, mereka sedikit demi sedikit menyadari bahwa sikap dan cara berpikir adalah bagian penting dari keberadaan dan pertahan- an dalam dunia sosial (Rest, 1893, Beck, 1989). Berdasarkan pendapat tersebut, pendekatan perkembangan kognitif memperkirakan suatu hubungan yang sangat spesifik antara pemikiran moral dan perilaku moral, keduanya sebaiknya saling berdekatan sebagai kemajuan setiap individu ke arah tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi dari pemahaman moral.

Moralitas Menurut Perspektif Teori Perkembangan Kognitif Moral

Sebuah alasan penting yang dinyatakan pada penelitian Harthson dan May (Harthson, May dan Shuttleworth, 1930, dalam Beck, 1989), seperti dikemukakan di atas adalah ditemukannya hubungan yang sangat kecil antara penalaran moral dengan perilaku yang terjadi, karena subjek-subjeknya tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam perkembangan moral. Untuk memiliki pemikiran yang inte- gral dengan tindakan, bukti-bukti baru kini mengindikasikan bahwa di antara anak-anak yang lebih tua, remaja dan dewasa, terdapat konsistensi yang cukup antara kondisi moral dan sikap moral. Oleh karena itu, pikiran moral bukan tidak bergantung dan tidak relevan dengan tindakan moral. Tetapi hal demikian merupakan faktor penting di antara jumlah besar faktor lainnya yang membantu menjelaskan mengapa manusia berkelakuan seperti yang mereka lakukan.

A. Pandangan Piaget

Piaget dalam penelitiannya meminta anak-anak untuk menilai kenakalan suatu tokoh yang telah memutuskan suatu rangkaian tindakan moral. Kemudian Piaget mengemukakan bahwa pemahaman terhadap resiprositas moral (moral timbal balik) adalah penting dalam rangka memperlakukan orang lain sebagaimana seseorang yang memerlukan perlakuan. Hal ini menggaris- bawahi terjadinya perubahan dari karakter moral kepatuhan terhadap otoritas kepada moralitas untuk kerjasama sosial. Meskipun Piaget mengemukakan bahwa penghargaan anak terhadap resiprositas berkembang antara usia 6-12 tahun, tetapi dia tidak begitu memper- hatikan grafik perkembangan.

Resiprositas bisa dipahami dalam dua cara yang berbeda, pertama, pada pandangan kongkrit, yaitu sebagai suatu hal hubungan (pertukaran) sejajar di antara orang-

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

orang. Seorang yang memahami resiprositas dengan cara ini, percaya bahwa keadilan dianjurkan manakala kebaikan atau ketidakbaikan (keramahan atau kekasaran) dari orang lain yang dibahas dengan hal yang serupa. Resiprositas juga bisa dihayati melalui sudut pandang yang lebih abstrak dan idealistik. Moralitas didasarkan pada memperlakukan orang lain sebagaimana mestinya. Pembahasan tentang bagaimana kamu sebaiknya ingin diperlakukan, jika kamu dan orang lain harus bertukar posisi seperti teori ‘ Kompleksnya Selman”, yaitu keterampilan perspektif timbal balik yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, kita tidak akan bisa mengharapkan kepada anak untuk memiliki tingkat penghargaan yang tinggi terhadap resiprositas sampai memasuki tahun-tahun pertama remaja.

Pada usia 5 tahun, anak-anak memandang resiprositas kongkrit sebagai dasar yang penting pada penilaian moral, dan terjadilah perpindahan perkembangan menjadi masa resiprositas yang ideal pada akhir masa anak-anak dan tahun-tahun awal masa remaja. Baldwin dan Baldwin (1970, dalam Beck, 1989) memberikan anak-anak pasang- an cerita-cerita yang dirancang untuk menilai macam- macam tingkah laku. Cerita pertama menyuruh anak mengidentifikasikan dari dua tingkah laku, yang manakah yang lebih baik; membalas kebaikan untuk kebaikan yang diterima di masa lalu, atau melakukan kebaikan terlepas dari kemurahan hati dari tingkah laku yang lalu. Kebanyakan anak-anak menilai sebuah hubungan timbal balik seperti itu adalah baik. Tetapi kemampuan menilai ini lebih berkembang pada pertengahan masa anak-anak dan awal masa remaja, dan kecendrungan ini disetujui oleh penelitian-penelitian lainnya (Peterson, Hartmann dan Gelfand, dalam Beck,1989).

Moralitas Menurut Perspektif Teori Perkembangan Kognitif Moral

Temuan di atas menandakan bahwa pemahaman anak terhadap resiprositas menjadi lebih abstrak dan idealistis pada masa-masa sekolah dasar. Tetapi belum begitu jelas mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perubahan tersebut, karena resiprositas yang ideal memerlukan berbagai kemampuan, yakni perkembangan kognitiflah yang paling berperan dalam pembentukan kemampuan-kemampuan tersebut. Namun demikian pengalaman-pengalaman juga bisa menentukan pembentukan kemampuan perkembangan kognitif terhadap resiprositas ideal.

B. Pandangan Kohlberg

Kohlberg dalam penelitiannya memberikan subjek penelitiannya dilema-dilema moral hipotesis, berupa pertimbangan moral yang saling beradu mungkin terjadi, dan meminta mereka untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan si tokoh dan mengapa harus. Kohlberg meminta subjeknya untuk tidak hanya memutuskan, tetapi juga membenarkan rangkaian tindakan, Kohlberg bisa memperoleh ide yang lebih jelas tentang penalaran di mana keputusan moral subjek didasarkan.

Bagi Kohlberg (1969; 1976, dalam Beck, 1989) dan pem- buat teori perkembangan kognitif lainnya (Damon,1977; Selman,1977, Beck, 1989) telah berargumentasi bahwa perkembangan moralitas tergantung pada kognitif dan keterampilan-keterampilan pemilihan pandangan pada cara spesifik. Setiap tahapan moralitas diasumsikan menuntut pemerolehan kognitif tertentu dan tahap-tahap pemilihan pandangan. Namun pembuat teori per- kembangan kognitif juga percaya bahwa perkembangan moral tidak sepenuhnya dikurangi sampai pada segi-segi pertumbuhan kognitif lainnya.

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

Pemahaman moral diasumsikan melibatkan beberapa pengorganisasian ulang kognitif tambahan yang seluruhnya unik terhadap domain moral. Sebagai akibatnya, Kohlberg dan lainnya telah menghipotesiskan bahwa tahap-tahap pemilihan pandangan dari kognitif

adalah penting tapi bukan kondisi yang mencukupi

untuk tiap tahapan moralitas. Jika Kohlberg benar bahwa asumsi yang penting, tapi tidak mencukupi, juga berlaku terhadap perkembangan moral, maka kematangan moral tidak hanya sejajar, tapi juga ketinggalan dari pemerolehan tahap kognitif dan pemilihan pandangan yang terkait, namun tak pernah mendahuluinya.

Selain faktor kognitif non-sosial berupa prestasi pemilihan pandangan sebagai bangunan penting bagi penalaran moral, maka faktor kognitif berupa pengalaman juga sangat penting. Pengalaman yang menyebabkan ketidakseimbangan kognitif adalah sangat penting bagi perubahan moral, yakni menghadapkan orang pada informasi yang menyebabkan konflik sedikit di atas tingkat moral mereka. Konflik-konflik moral biasanya dilandasi oleh prinsip-prinsip keterbukaan, kesamaan, resiprositas, dan keadilan. Konflik tersebut akan menantang mereka untuk memperbaharui penalaran mereka pada arah pemikiran moral yang lebih maju. Sejumlah penghasil teori ini, percaya bahwa konflik kognitif adalah bahan paling dasar bagi perubahan pengalaman moral (Berkowitz, 1965; Haan, Aerts dan Cooper, 1985; Kohlberg, 1984; Turiel. 1977, dalam Beck, 1989), dan faktor paling kritis yang menjembatani jarak antara kognitif, perolehan pilihan pandangan dan tahap moral seseorang. Dengan kata lain, menurut Duska dan Whelan (1984) kematangan kognitif yang lebih besar, disertai berbagai macam pengalaman sosial, akan

Moralitas Menurut Perspektif Teori Perkembangan Kognitif Moral

memperluas perspektif moral seseorang. Perkembangan moral, bukanlah suatu proses menanamkan bermacam- macam peraturan dengan sifat-sifat baik, tetapi suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif tergantung dari perkembangan kognitif dan rangsangan dari lingkungan sosial.

Dengan demikian menurut Kohlberg, moralitas pada dasarnya mengalami perkembangan dan berpusat pada ranah kognitif, bersifat interaksional dan dilandasi oleh prinsip-prinsip keterbukaan, kesamaan, resiprositas, dan keadilan. Moral bagi Kohlberg dibatasi oleh satu konstruk lain yang disebut pertimbangan (judgment), terutama karakter formal dari pertimbangan dan bukan isinya.

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

BAB III KONSEP PERKEMBANGAN DAN PERTIMBANGAN MORAL

A. Perkembangan Moral (Moral Development)

Pada mulanya manusia itu belum memiliki kesadaran moral, tidak memiliki moral, tetapi mempunyai potensi moral. Moral dapat dimiliki seseorang dari hasil pergaulan dengan lingkungan, masyarakat dan orang tua. Per- kembangan moral seseorang itu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor ditumbuhkembangkan melalui berbagai model/pola, yaitu kognitif, afektif dan behavioristik. Kesemuanya ini dikembangkan secara terpadu.

Secara keseluruhan moral yang dianut seseorang itu dipengaruhi/dilandasi oleh nilai agama, nilai sosial budaya, dan pada hal-hal tertentu bisa juga dari nilai-nilai metafisika, hukum dan ilmu pengetahuan. Tumbuh- kembangnya nilai moral berlangsung sejak prenatal sampai akhir hayat. Dalam kehidupan nyata terutama dalam situasi yang mengandung konflik moral, maka moral yang dianut seseorang akan tergantung pada situasi yang dirasakan atau dialaminya. Apabila situasinya dalam keadaan kritis dan ekstrim, maka moral yang dimiliki (moral sense) seseorang cendrung lebih rendah dibanding- kan dengan moral seseorang yang berada dalam situasi

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

yang santai/berandai-andai, maka moralnya cendrung tinggi. Bahwa dalam proses pendidikan karakter moral, maka orientasinya bukan seperti mencetak (proses print- ing ), tetapi seperti menggambar (drawing), artinya potensi anak/orang yang harus banyak bicara.

Moral yang dianut dan diyakini seseorang tidaklah berjalan stagnan (diam-menetap), tetapi mengalami tahapan-tahapan perkembangan moral (moral development stages ). Menurut Kohlberg moral development stages adalah laju perkembangan landasan moral seseorang dari apa yang sebaiknya, atau menurut Melden sebagai laju per- kembangan motivasinya (dalam Djahiri dan Wahab, 1996: 44). Salah satu dari landasannya adalah aspek kognitif, atau menurut Loevinger (dalam Karger, 1983, dikutip Djahiri dan Wahab, 1996: 46) melalui integrasi perkem- bangan kepribadian dengan the inner logic of the cognitif structure .

Kohlberg memberikan rumusan pengertian moral de- velopment stages ini dengan rumusan yang lebih melebar, yakni sebagai “laju perkembangan landasan moral sese- orang dari is to ought”. Sedangkan Richard Mleden (1977) memberikan rumusan sebagai “ sensitivity in thought, feel- ing and action towards o thers “. Selanjutnya Melden menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sensitivity ialah “laju perkembangan motivasinya”, terutama per- hitungan yang menjadi landasan sensitivity ini. Menurut- nya ada dua landasan yakni perhitungan-perhitungan yang menyangkut aspek kognitif dan aspek afektual, baik menyangkut dirinya maupun orang lain. Loevinger (Krager, 1983) menjelaskan bahwa:” Moral development stages adalah ego development, yakni perubahan kualitatif diri melalui berbagai tahapan perkembangan, antara lain

Konsep Perkembangan dan Pertimbangan Moral

melalui berbagai tahapan perkembangan personality dengan the inner logic of the cognitive stucture”.

Masalah orientasi moral sebenarnya adalah mem- bicarakan dasar landasan orientasi pola perkembangan moral atau hal yang mendasari perhitungan ketaatan dan kepatuhan seseorang) atau dasar penilaian seseorang terhadap sesuatu (nilai moral). Oleh karenanya “moral orientation” ini oleh Peter (1979) diidentikan dengan Moral Self (moral position; ketetapan hati). Ketetapan hati seseorang terhadap suatu nilai moral didasari oleh dua landasan perhitungan/penilaian,yaitu:

a. Cognitive motivation aspects , yang memuat perhitungan antisipatif resiko-resiko yang ditimbulkan akibat suatu keputusan, baik bagi dirinya maupun orang lain.

b. Affective motivational aspects , yakni perhitungan hal-hal emosional yang diakibatkan keputusan tersebut baik bagi dirinya maupun orang lain.

Peter sebagai pengkuti aliran Kohlberg beranggapan bahwa pada akhirnya kemampuan struktur kognitif akan lebih dominan sebagai dasar motivasi ketetapan hati. Pandangan ini tidak selamanya benar dan tidak selalu bisa diterapkan. Banyak faktor lain yang turut bicara dalam menentukan ketetapan hati, antara lain:

a. Kondisi diri dan lingkungan

b. Kualitas kelompok dan peringkat kedudukan diri bila kita ada dalam suatu kelompok.

c. Pola tatanan nilai dan moral yang mengikatnya.

d. Kepentingan (interest) dan kualitas diri yang bersangkutan itu sendiri.

Dalam mempelajari teori-teori perkembangan moral, maka ada tiga sudut tinjauan yang harus dijadikan acuan, yaitu:

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

a. Tingkah laku moral (moral behavior), yaitu dengan melihat tingkah laku dari moral itu sendirti, lalu datanya dikumpulkan, kemudian dibanding-bandingkan sehingga jadi sebuah teori.

b. Pernyataan moral (moral statement), caranya dengan memperhatikan pernyataan moral, kemudian dibanding-bandingkan sehingga menjadi sebuah teori.

c. Pertimbangan moral (moral judgement ), caranya dengan mencari suatu alasan, komentar yang menyangkut tingkah laku

Perkembangan moral dapat dikatakan terjadi karena adanya aspek motivasi, salah satunya adalah aspek kog- nitif. Landasan perkembangan moral, kadangkala disebut juga orientasi moral, karena orientasi moral membicarakan dasar dari landasan orientasi pola perkembangan moral, atau hal yang mendasari perhitungan ketaatan/kepatuhan seseorang terhadap sesuatu nilai, dasar penilaian seseorang terhadap nilai moral, atau yang menjadi acuan dalam upaya memecahkan persoalan yang mengandung dilema moral. Oleh karena itu, “moral orientation” oleh Peter (1979, dalam Djahiri dan Wahab, 1996: 46) diidentikkan dengan moral self (moral position; ketetapan hati), moral stages (tahap-tahap moral), development of moral orientation (perkembangan orientasi moral), dan moral judgement (pertimbangan moral)

Jadi perkembangan moral dapat dikatakan mencakup pengertian tentang laju perkembangan landasan moral seseorang, khususnya yang menjadi landasan orientasi moralnya. Laju perkembangan moral pada prinsipnya mengacu pada adanya tahap perkembangan moral (moral stages ), sehingga tahapan perkembangan moral adalah membahas tahapan atau pola perkembangan kejiwaan

Konsep Perkembangan dan Pertimbangan Moral

manusia dalam menginternalisasi, mempersonalisasi dan mengembangkan serta dalam mematuhi, melaksanakan atau menentukan pilihan, menyikapi atau menilai, dan melakukan ajukan nilai moral.

B. Pertimbangan Moral (Moral Judgement)

Pertimbangan merupakan suatu urusan yang begitu kompleks terutama kalau berhadapan dengan adanya dilema moral. Untuk melakukan pertimbangan moral diperlukan adanya kemampuan mengevaluasi kepentingan- kepentingan yang berbeda berdasarkan kriteria atau prinsip maupun standar yang diakui oleh umum, yang konsisten, bukan atas dasar situasi tertentu atau pertimbangan tentatif semata, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan tentang karakter moralitas, apakah itu kita anggap baik atau buruk. Dengan demikian pertimbangan moral merupakan manifestasi untuk membuat kesimpulan atau keputusan tentang sesuatu, baik yang berkaitan dengan berbagai dilema/konflik moral antar hal yang harus menjadi kenyataan, maupun yang berhubungan pula dengan pihak lain, antara lain Tuhan, manusia lain dan diri sendiri.

Pertimbangan moral sangat tergantung kepada perhatian, akan tetapi pertimbangan moral juga tidak lepas dari tuntutan-tuntutan intelektual. Untuk melakukan pertimbangan moral, diperlukan pengetahuan moral yang memadai tentang sesuatu. Pengetahuan akan mem- pengaruhi rasional untuk melakukan pertimbangan guna mencapai moralitas. Berbeda dengan perhatian yang mementingkan masalah efektif, maka pertimbangan moral tidak terlepas dari perhatian dan tuntutan rasional.

Pertimbangan moral seseorang terhadap sesuatu, menurut Kohlberg tidak sama, tetapi berada dalam rangkaian tahapan yang beragam, tergantung pada tahapan perkembangan

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

kognitifnya. Kohlberg (dalam Galbraith dan Jones, 1976), mengemukakan bahwa individu-individu menyusun kembali kemampuan rasionalnya tentang masalah moral dan sosial bersamaan dengan perkembangan struktur kognitif dari yang sangat kongkrit ke yang lebih abstrak. Pertimbangan moral yang dilakukan pada akhirnya akan menghasilkan penilaian moral, dan penilaian moral yang dilakukan seseorang terhadap sesuatu tergantung dan menggambarkan tahapan perkembangan moralnya.

Perkembangan moral demikian dialami oleh seseorang, dan setiap pertimbangan moral yang dilakukan terhadap sesuatu hal, termasuk masalah moral dan sosial, tidaklah terlepas dari pertimbangan moral yang menjadi landasan orientasi penilaian moralnya. Pertimbangan moral dan landasan orientasi moral seseorang, menurut Kohlberg akan dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran yang menekankan pada perkembangan kognitif.

Terhadap masalah perkembangan dan pertimbangan moral dari aspek kognitif ini, teoritikus yang mendalami, umumnya pakar barat, yang tentu dasar berpikir, objek studi dan landasan teoritik serta nilai moralnya adalah juga sesuai dengan nilai moral anutan mereka, Di antara teoritisi ini, antara lain adalah; John Dewey, Nurman Y.Bull, Piaget, Lawrence Kohlberg, Mc Dougal, R.M.Liebert, Barbara Stange, Eckenberger, Loevinger, dan Gilligan. Teoritisi yang paling dominan dalam membahas teori perkembangan moral adalah Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg. Namun demikian, pal- ing tidak kita telah memiliki wacana tentang perkembangan dan pertimbangan moral dari perspektif kognitif moral. Wacana ini mudah-mudahan memacu dan memicu kita untuk menelaah perkembangan dan pertimbangan moral dalam tataran kognitif berbasis budaya masyarakat Indo- nesia.

BAB IV TEORI PERTIMBANGAN MORAL KOHLBERG

A. Enam Tahap Pertimbangan Moral

Di akhir tahun 1950-an, Lawrence Kohlberg mulai mengumpulkan data yang berkaitan dengan pertanyaan- pertanyaan tentang moral. Kohlberg telah mengkaji hasil kerja terdahulu dari Jean Piaget dalam perkembangan kognitif dan moral, serta menggunakannya sebagai landasan kajian selama 15 tahun tentang pertimbangan moral. Kajian Piaget terutama menitikberatkan pada pengungkapkan tahapan kognitif. Kajian Kohlberg juga mengacu pada suatu rentang perkembangan tahap-tahap dan mengungkapkan bagaimana seseorang membentuk pemikiran mereka tentang pertanyaan sosial dan moral sebagaimana mereka membentuk struktur kesadaran dari hal yang paling nyata hingga bersumber kepada hal yang paling abstrak.

1. Tingkat Pre-Konvensional

Pada tingkatan ini anak peka terhadap peraturan- peraturan yang berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik-buruk, benar-salah, tetapi mengarti- kannya dari aspek akibat-akibat fisik suatu tindakan, atau dimensi enak-tidaknya akibat-akibat itu

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

(hukuman, ganjaran disenangi orang), atau dari sudut ada-tidaknya kekuasaan fisik dari yang memberikan peraturan-peraturan atau memberi penilaian baik- buruk itu. Dalam tingkat ini dibagi dalam dua tahap:

a. Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan Akibat-akibat fisik tindakan akan menentukan

baik-buruknya tindakan itu, entah apa pun arti atau nilai akibat-akibat itu bagi manusia. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan (tanpa mempersoalkannya ) mempunyai nilai pada dirinya, bukan atas dasar hormat pada peraturan moral yang mendasarinya, tetapi karena hukuman dan otoritas.

b. Tahap 2: Orientasi Relativis Instrumental Tindakan benar adalah tindakan sebagai alat

dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang- kadang juga memenuhi kebutuhan orang-orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagaimana hubungan orang di pasar. Unsur-unsur sikap adil, hubungan timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian terhadap kondisi yang sudah ada, tapi semuanya dimengerti secara fisik dan pragmatis. Hubungan timbal balik antar manusia adalah soal “ kalau kamu menggarukkan pungggungku, saya akan garukkan punggungmu “, sebagai hubungan pragmatis, bukan karena loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau keadilan.

2. Tingkat Konvensional (Kebiasaan)

Pada tingkatan ini, memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, tidak perduli apa pun akibat-akibat yang langsung dan yang

Teori Pertimbangan Moral Kohlberg

kelihatan. Sikap ini bukan hanya mau menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tertentu atau ketertiban sosial, tetapi sikap ingin loyal, sikap ingin menjaga, menunjang dan memberi pembenaran pada ketertiban itu dan sikap ingin mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada di dalamnya. Pada tingkat kebiasaan ini terdapat dua tahap, yaitu:

a. Tahap 3: Orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”

Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang menyenangkan atau membantu orang-orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Ada banyak usaha menyesuaikan diri dengan gambaran- gambaran stereotipe yang ada pada mayoritas atau dengan tingkah laku yang dianggap lazim “umum”. Tingkah laku sering kali dinilai menurut intensinya. “ Dia bermaksud baik “ untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang berusaha untuk diterima oleh lingkungan dengan bersikap “manis”.

b. Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban Ada orientasi kepada otoritas, peraturan-

peraturan yang sudah pasti, dan usaha memelihara ketertiban sosial. Tingkah laku yang benar berupa kewajiban, menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, dan memelihara ketertiban sosial yang sudah ada demi ketertiban itu sendiri.

3. Tingkat Post-Konvensional (Post-Kebiasaan)

Pada tingkat ini, ada usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan, terlepas dari otoritas

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip tersebut dan terlepas dari apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok-kelompok itu atau tidak. Tingkat ini mempunyai dua tahap:

a. Tahap 5: Orientasi kontrak-sosial legalistis. Biasanya dengan tekanan mementingkan ke-

gunaannya (utilitaristis). Tindakan benar cendrung dimengerti dari segi hak-hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Ada kesadaran yang jelas bahwa nilai-nilai dan opini pribadi itu relatif dan oleh karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai konsensus. Di samping apa yang telah disetujui secara konstitusio- nal dan secara demokratis, hak tak lain merupakan nilai-nilai dan opini pribadi. Akibatnya ada tekanan pada pandangan legalistis, tetapi juga menekankan bahwa hukum dapat diubah atas dasar rasional demi kemaslahatan masyarakat (tidak secara kaku mau mempertahankannya seperti dalam tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban). Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat dari kewajiban. Itulah moralitas “resmi” dari pemerintah dan konstitusi.

b. Tahap 6: Orientasi asas etika universal Benar diartikan dengan keputusan suara hati,

sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri, dengan berpedoman pada kekom- prehensipan logis, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (Golden Rule, hukum emas, imperatif kategoris ) dan bukan peraturan-peraturan moral yang kongkrit. Pada

Teori Pertimbangan Moral Kohlberg

intinya itulah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak (reciprocity) dan kesamaan hak asasi manusia dan penghormatan kepada martabat manusia sebagai pribadi (person).

Keenam tahap di atas menghadirkan suatu pola pemikiran yang menyatu pada setiap pengalaman seseorang dan pandangannya atas hal-hal yang khusus tentang moral. Sekali pun setiap orang boleh menjadi mampu mengingat kaidah umum (civic virtues) tertentu, tidak setiap orang akan berpikir tentang isu-isu umum (civic issue) yang penting dengan cara yang sama atau bertindak sesuai kaidah yang telah sama “dipelajari”. Oleh karena itu, tidak hanya mengajar ketentuan moral yang berhubungan dengan situasi tertentu, para guru juga perlu menolong siswa menguji alasan yang biasa digunakan untuk mengatasi moral atau masalah moral yang ada. Para guru membantu siswa menguji pertimbangan moral yang mereka miliki dan pertimbangan orang lain dengan menyelenggarakan diskusi tentang situasi-situasi dilema.

Suatu diskusi tentang dilema moral menitikeratkan pada perbedaan pertimbangan yang digunakan untuk mengatasi suatu masalah dibanding pula pada tingkah laku yang disarankan dari karakter tokoh utama. Peserta yang menyarankan tingkah laku sama sering memiliki alasan berbeda untuk saran-saran mereka. Menguji perbedaan ini menjadi kunci bagi penelitian Kohlberg dalam perkembangan moral. Tanggapan-tanggapan dalam diskusi terhadap kasus “ Sebuah Surat Peringatan “ berikut akan menunjukkan bagaimana tanggapan setiap individu dari perbedaan tahap orientasi-orientasi tingkatan Kohlberg.

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

B. Beberapa Kesimpulan Terhadap Teori Kohlberg

Kohlberg memperoleh tahapan-tahapan pertimbangan moral secara empiris dari kajian-kajian yang panjang di Amerika Serikat. Teori tahapan itu juga telah divalidasi melalui kajian-kajian lintas-budaya dan program-program penelitian terkait lainnya selama dekade yang lalu. Bekerja sama dengan Lawrence Kohlberg, berbagai kelompok pendidik dan psikolog lebih lanjut memperbaiki teori itu selama 15 tahun melalui penelitian yang memperhatikan cara setiap individu dalam melakukan pertimbangan mengenai problema-problema moral. Berikut beberapa generalisasi yang dikemukakan dari hasil-hasil penelitian:

1. Tahapan merupakan lintas-budaya Dalam kajian-kajian lintas-budaya melibatkan

sejumlah pria kota kelas menengah di AS, Taiwan dan Mexico, dan para petani kelas bawah yang tinggal di Turki dan Yukatan, hasil-hasilnya memperkuat teori perkembangan. Meskipun berbeda latar belakang budaya, sosial dan religi, para subjek bergerak melalui tahapan yang sama dalam perkembangan moral dan dalam rangkaian yang sama. Sementara kecepatan pergerakan bervariasi antara berbagai budaya, konsep dasar dari tahapan-tahapan universal perkembangan moral telah tumbuh dengan nyata.

2. Pergerakan tahapan-tahapan meningkat melalui urutan yang sama, dan tahapan-tahapan tidak dapat dilewati.

Buktinya memberi kesan bahwa setiap individu berkembang melalui urutan yang sama dari tahapan- tahapan. Pencapaian tahapan yang lebih tinggi akan

Teori Pertimbangan Moral Kohlberg

selalu didahului oleh pencapaian seluruhan tahapan- tahapan yang lebih rendah. Karena setiap tahap mensyaratkan pertimbangan dari setiap dan masing- masing tahapan sebelumnya, itu tidak mungkin untuk melewati tahapan-tahapan perkembangan. Sebagai contoh, pertimbangan tahap 1 dan 2 mesti telah terpadu dengan mode berpikir tahap 3, dan oleh karena itu, seseorang tidak dapat melompat dari tahap 2 ke tahap 4.

3. Perkembangan terjadi karena daya tarik dari tahapan yang lebih tinggi berikutnya dari dari pertimbangan.

Individu mempunyai kapasitas untuk memahami pertimbangan yang dikemukakan pada tahapan yang lebih tinggi berikutnya. Karena pertimbangan barang- kali nampak lebih logis dan komprehensif, dan oleh karena itu, lebih memadai dalam berhadapan dengan situasi dilema, setiap individu mungkin tertarik pada tahapan pertimbangan selanjutnya. Itu tidak dimaksud- kan bahwa tahapan yang lebih tinggi selalu diadopsi atau bahkan diungkapkan, tetapi pendengar mungkin mulai memadukan elemen-elemen tahapan yang lebih tinggi terhadap solusi-solusi masa depan terhadap problema- problema moral. Pertimbangan secara konstan dan restrukturisasi pertimbangan moral memberikan elemen dasar bagi perkembangan teori.

4. Ada perbedaan-perbedaan individu dalam kecepatan perkembangan moral dan dalam mencapai tingkat yang tertinggi dari kematang moral.

Walaupun anak-anak dan para remaja berkembang dalam berbagai tingkat kecepatan melewati tahap-tahap, pra-remaja bergerak melewati tingkat pra-konvensional

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

dan para orang dewasa berkembang ke arah post- konvensional dari berpikir. Namun demikian, setiap individu dapat menjadi diam tak berkembang pada beberapa tingkat. Sebetulnya, kurang lebih 20% dari populasi orang dewasa berpikir pada tingkat post-konvensional. Tahap 4, berorientasi pada hukum dan ketertiban, adalah senantiasa merupakan tahap yang lebih umum, dan itu mungkin bagi para orang dewasa untuk berpikir pada tahapan yang lebih rendah dari perkembangan moral.

5. Tingkatan-tingkatan bukan sejumlah keyakinan- keyakinan kultural yang diajarkan pada para siswa.

Satu analisis terhadap teori perkembangan moral. khususnya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mengajar, menunjukkan bahwa tahapan-tahapan tidak memperlihatkan sejumlah pepatah moral yang dapat diajarkan kepada anak-anak oleh orang dewasa. Tahapan menunjukkan abstraksi-abstraksi, yaitu anak-anak (kemudian orang dewasa) berkembang pada diri mereka sendiri sebagai kematangan-kematangan kecerdasan mereka dan mereka berupaya untuk menguasai secara konsisten terhadap dilema-dilema yang muncul dan argumentasi yang mereka dengar. Penelitian Leary (1972) menunjukkan bahwa penyajian yang bersifat mendidik dari dilema moral punya sedikit atau tidak berakibat terhadap tingkat perkembangan berpikir siswa.

6. Kematangan moral meningkatkan kemampuan seseorang untuk memecahkan konflik-konflik moral.

Dengan kematangan-kematangan invidual dapat melakukan empati terhadap sejumlah besar individu dalam berbagai situasi-situasi dilema. Pada tingkat

Teori Pertimbangan Moral Kohlberg

perkembangan moral yang lebih tinggi, banyak pandangan ditempatkan ke dalam catatan per- timbangan tentang konflik-konflik moral.

7. Pertimbangan moral berhubungan dengan perilaku.

Meskipun bukti tambahan harus dikumpulkan lebih lanjut untuk mendukung generalisasi ini, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kematangan pertim- bangan moral yang diperlihatkan oleh setiap individu yang juga bertindak dengan cara-cara moral yang sesungguhnya. Berbagai penelitian terbatas berkaitan dengan aktivitas dan kepatuhan siswa menunjukkan korelasi antara tindakan-tindakan dengan orientasi tahapan tertentu dari subjek.

8. Perkembangan moral dapat distimulasi dalam kelas

Penelitian Kohlberg dan koleganya juga menetap- kan bahwa siswa-siswa yang berpartisipasi secara tetap dalam berbagai diskusi dilema-dilema moral sering diawali dengan mengemukakan pertimbangan tahap perkembangan yang lebih tinggi. Khususnya, dalam diskusi-diskusi yang mempromosikan beberapa perubahan atau kematangan dalam bentuk pertim- bangan moral untuk beberapa peserta diskusi. Diskusi- diskusi yang mempromosikan banyak perubahan melibatkan para peserta diskusi yang berbeda, tetapi dengan tahap-tahap yang berdekatan. Oleh karena itu, diskusi yang aktif di antara peserta diskusi pada tingkat yang berbeda nampaknya akan menghasilkan perubahan.

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

Beberapa generalisasi memberikan arah bagi bentuk non-indoktrinasi baru dari pendidikan moral. Per- tumbuhan moral ditentukan oleh kesadaran individu dari pandangan-pandangan yang melampaui kepentingan diri sendiri. Pertumbuhan moral memperlihatkan kemampuan untuk melihat sisi orang lain dan berfokus pada isu-isu besar. Selanjutnya dalam pertumbuhan moral, setiap individu membutuhkan kesempatan berperan menjadi orang lain dalam situasi-situasi dilema. Setiap individu, khususnya para siswa, membutuhkan kesempatan untuk menggunakan sarana diskusi-diskusi tentang problema- problema sosial dan moral. Para peserta diskusi dalam berbagai diskusi membutuhkan kesempatan untuk mengemukakan pertimbangan mereka sendiri dan untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain.

Pemahaman terhadap teori Kohlberg tentang per- timbangan moral ini mengimplikasikan strategi mengajar yang khusus untuk menstimulasi perkembangan moral. Diskusi dari dilema moral akan memberikan para siswa kesempatan-kesempatan berikut:

1. Mempertimbangkan problema-problema moral sesungguhnya.

2. Mengalami konflik-konflik kognitif dan sosial sesungguhnya selama diskusi problema moral

3. Mengaplikasikan tingkat berpikir tertentu mereka terhadap situasi-situasi problematis.

4. Terbuka terhadap tingkat berpikir berikutnya yang lebih tinggi.

5. Menghadapkan ketidakkonsistenan pertimbangan mereka sendiri terhadap berbagai isu-isu moral tanpa seseorang yang menekankan pada jawaban benar atau salah.

Teori Pertimbangan Moral Kohlberg

Materi-materi kurikulum mengutamakan kisah-kisah dilema yang dirancang untuk menghadapkan para siswa dengan problema-problema sesungguhnya. Menciptakan situasi di mana para siswa tidak sepakat terhadap tindakan yang tepat terhadap tokoh utama yang menghadirkan konflik kognitif dan sosial sesungguhnya. Diskusi kelas dengan fokus pertimbangan-pertimbangan untuk mereko- mendasi wacana tertentu terhadap tindakan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengaplikasi tingkat tertentu dari kemampuan berpikir mereka. Sebuah diskusi yang aktif di antara para siswa juga menciptakan suasana yang membuka tingkat-tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Akhirnya, meminta para siswa untuk belajar melalui sejumlah problema sosial dan moral sepanjang pengalaman pendidikan mereka memberikan kesempatan untuk mereka untuk menghadapi berbagai ketidakkonsistenan mereka dalam berpikir.

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

BAB V

TEORI DAN KONSEP PERKEMBANGAN KOGNITIF UNTUK PEMBELAJARAN MORAL

A. Teori Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral

Moralitas individu dapat dipengaruhi oleh pengetahu-

an moral, kuantitas dan kualitas pengetahuan nilai moral ,

serta “tidak selalu menjamin” kualitas perilaku moral seseorang, sehingga tidak selalu berkorelasi (moral knowl- edge `” moral behavior), akan tetapi dapat membantu perkembangan moral. Karena pengetahuan (aspek kognitif) yang bisa mempengaruhi sikap seseorang “ penting”, pengetahuan (aspek kognitif) merupakan “ awal” dari perubahan perilaku

Berdasarkan teori perkembangan moral kognitif, maka perkembangan tahapan kognitif moral menurut Kohlberg terdiri dari tiga tingkatan, masing- masing tahapan terdiri dari dua tahapan, yaitu;

1. Tingkatan Prekonvensional

a. Tahapan 1, berorientasi pada hukuman dan kepatuhan (otoritas)

b. Tahapan 2, berorientasi pada relativis instrumen- tal (praktis-pragmatis)

Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral: Dari Teori ke Aplikasi

2. Tingkatan Konvensional

a. Tahapan 3, berorientasi konformitas terhadap citra stereotipe mayoritas (orientasi masuk kelompok “godboy” dan “nicegirls”)