Negara mencampuri wilayah forum internum. UU ini mem-

49 dengan tahun 1999, Kejaksaan diberbagai daerah telah mengelu- arkan 37 keputusan tentang aliran kepercayaankeagamaan, dan kepolisian menyatakan 39 aliran kepercayaan dinyatakan sesat.

3. Koersi. Untuk penganut agama-agama lokal, penganutkeba-

tinan dalam penjelasan UU dinyatakan “Terhadap badanaliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Selanjutnya dalam GBHN ditegaskan kembali bahwa kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaan- nya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Akibatnya para penganut kepercayaan, kebatinan atau agama lokal menjadi sasaran penyebaran ”aga- ma-agama diakui” atau ”dikembalikan ke agama induknya”. Akibatnya penganut kepercayaan, kebatinan dan agama adat untuk mendapatkan hak-hak dasarnya harus menundukkan diri ke salah satu dari enam agama. Kebijakan ini merupakan ben- tuk pemaksaan koersi negara terhadap penganut agama lokal penghayat.

4. Diskriminatif. Bagi seseorang yang tidak menundukkan diri

terhadap salah satu dari enam agama yang diakui, maka ia akan kehilangan haknya sebagai warga negara. Misalkan untuk mendapatkan dokumen kependudukan KTP, KK, Akta Kelahiran, Akta Pernikahan, dan dilarang untuk menyatakan agamanya dalam surat-surat resmi. Perkawinan yang dilangsungkan menu- rut keyakinan atau adat tidak dianggap sah sehingga anak-anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak luar kawin, dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Hal ini beraki- bat tidak dipenuhinya hak-hak yang lain, seperti pendidikan, ke- sehatan, kesempatan kerja yang sama, kesempatan menduduki jabatan-jabatan publik, maupun pemakaman sesuai agamanya. Kondisi ini menunjukkan negara telah melakukan perbedaan diskriminasi berdasarkan agamakepercayaannya. 5. Menghukum keyakinanpenafsiran yang berbeda dengan keyakinanpenafsiran mainstream. UU Penodaan Agama di- gunakan pula untuk menghukum orang-orang yang memiliki penafsirankeyakinan berbeda dari penafsirankeyakinan main- 50 stream. Seperti terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia JAI karena dinilai melakukan “kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran islam” mengalami persekusi, atau Syiah di Sampang-Madura. UU Penodaan Agama juga mengkriminalkan para penganut agama yang secara damai meyakini dan melak- sanakan agama atau keyakinannya. Mengapa tindak pidana penodaan agama menjadi penting dalam pemenuhan hak kebebasan beragamaberkeyakinan ? Dalam unsur-unsur tindak pidana penodaan agama menu- rut UU Penodaan agama yaitu “permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan agama”, memiliki makna dalam hukum sebagai berikut : 1 Frasa permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap suatu agama tidak cukup untuk menjelaskan perbuatan-per- buatan apa yang dimaksud atau yang dapat dikategorikan se- bagai bersifat permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan; 2 Frasa permusuhan, penyalahgunaan ataupun penodaan agama merupakan tindakan yang tidak terukur karena terkait de- ngan suatu proses penilaian mengenai sifat, perasaan atas aga- ma, kehidupan beragama dan beribadah yang sifatnya subyektif; Rumusan Pasal yang demikian membuat pelaksanaannya mengharuskan mengambil satu tafsir tertentu dalam agama ter- tentu untuk menentukan batasan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama. Berpihaknya negarapemerintah kepada salah satu tafsir tertentu adalah diskriminasi terhadap alirantafsir lain yang hidup pula di Indonesia. Akibatnya praktek pemidanaan yang menggunakan Pasal 156a KUHP menjadi berbeda- beda dan sewenang-wenang untuk kepentingan agama yang mapan.