Hambatan dan Upaya Mengatasinya

51 berkumpul dalam satu wadah dengan ibu-ibu yang usianya jauh lebih tua dari mereka atau lazim disebut nenek-nenek. 3. Kurangnya dukungan dari suami Ada sebagian suami yang tidak atau kurang mendukung istri mereka untuk mengikuti pengajian, karena mereka mengganggap istri ditakdirkan hanya untuk menjaga atau mengurus rumah dan anak-anak. Mereka tidak mengijinkan istrinya untuk beraktivitas di luar rumah karena tidak dapat lagi mengurus rumah dan anak-anak. 4. Perbedaan pendapat karena perbedaan usia. Seringkali dalam satu perencanaan kegiatan terdapat perbedaan pendapat atau keinginan dikarenakan perbedaan usia. Dalam merencanakan suatu kegiatan, para ibu muda biasanya memiliki pembaharuan dari kegiatan-kegiatan sebelumnya. Mereka ingin melaksanakan kegiatan dengan menambah unsur modernisasi tanpa meninggalkan tradisi, sementara ibu-ibu yang usianya jauh lebih tua tidak mau mencampur modernisasi, mereka tetap berpegang pada tradisi saja. 5. Faktor mencari nafkah Tidak bisa menghadiri pengajian karena bersamaan waktunya dengan jam kerja sebagian pemulung yang terpaksa bekerja mencari nafkah untuk membantu suami ataupun karena sudah tidak memiliki suami sehingga pagi hari mereka harus berangkat bekerja dan tidak bisa menghadiri pengajian. Ada pula beberapa ibu yang memang berkarir sesuai profesinya masing-masing sesuai keinginan sendiri. Adapun upaya untuk mengatasinya yaitu : 51 52 1. Membuat program kegiatan dengan memadukan unsur modern dan tradisional yang mengubah image bahwa pengajian membuat mengantuk, membosankan dan tidak menarik; 2. Menyelanggarakan pengajian pada komposisi waktu yang tepat, yaitu memulai pengajian tidak terlalu pagi dan berakhir tidak terlalu siang, sehingga cukup waktu bagi ibu-ibu untuk mengurus dan merapihkan rumah tangga mereka; 3. Lebih giat lagi berdakwah dan meyakinkan masyarakat untuk menyeimbangkan kehidupan duniawi dengan ukhrowi dan tidak lebih mementingkan kepentingan duniawi daripada kepentingan ukhrowi.

F. Profil Pemulung Di Bantargebang Bekasi

Kota Bekasi terkenal dengan kesemrawutan lalu lintas dan kemacetan yang terjadi setiap hari, juga padatnya lahan perumahan dan pertokoan. Bantargebang yang bermasalah sebagai TPA Sampah warga DKI Jakarta, padahal Bantargebang bisa dibilang menjadi urat nadi perekonomian kota. Kota Bekasi menjadi kota yang supersibuk, karena selain harus melayani warga dari daerah sendiri, juga dari wilayah-wilayah yang mengelilinginya seperti DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi. Luas wilayah Kecamatan Bantargebang Bekasi adalah adalah 4.478.803 Ha yang terdiri dari lahan perumahan dan permukiman 1.640.899 Ha, lahan sawah seluas 1.206.036 Ha, pertanian darat 1.336.735 Ha, dan penggunaan lain-lain seluas 295.131 Ha. Dari delapan desa yang ada di tiga 52 53 kecamatan diperuntukkan sebagai lokasi pemusnahan akhir sampah seluas 108 Ha, yaitu Desa Ciketingudik, Desa Cikiwul, dan Desa Sumurbatu. Berdasarkan fungsinya, Desa Bantargebang diperuntukkan untuk jalur industri ringan, Desa Padurenan, Desa Mustikajaya dan Desa Mustikasari diperuntukkan sebagai jalur perumahan dan Desa Sumurbatu untuk area holtikurtura. Penggunaan lahan terbesar di Kecamatan Bantargebang adalah lahan pemukiman mencapai 52,60, sebanyak 30 lahan pertanian darat dan 11,60 lahan sawah telah dijadikan lahan perumahan untuk menampung para pendatang, karena Kota Bekasi merupakan daerah penyangga bagi Provinsi DKI Jakarta. Kecamatan Bantargebang merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kota Bekasi. Kecamatan ini berdiri pada tahun 1981 dan merupakan pemekaran dari Kecamatan Setu. Kecamatan Bantargebang secara geografis terletak antara 107 21-107 10 Bujur Timur dan 6 17-6 27 Lintang Selatan dengan batas-batas sebagai berikut : 1. Sebelah utara berbatasan dengan daerah Tambun; 2. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor; 3. Sebelah timur berbatasan dengan daerah Setu; 4. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Daerah Bantargebang dan sekitarnya dilalui oleh jalur utama Jalan Raya Bekasi-Bogor dan sekaligus daerah industri, permukiman, dan pertanian. Setiap harinya ada sekitar 700 truk yang membuang sampah sekitar 5.000 ton sampah DKI Jakarta dalam lima zona seluas 110 hektar di TPA yang sekarang berganti nama menjadi TPST. Ada sekitar lima ribu pemulung setiap hari dan 53