terhadap antibiotika tersebut. Penggunaan antibiotika dalam penelitian ini juga tidak semuanya sesuai dengan standar terapi antibiotika yang digunakan.
Kesesuaian penggunaan antibiotika dengan standar terapi yang digunakan disajikan dalam tabel XXI.
Tabel XXI. Kesesuaian terapi antibiotika dengan standar terapi pada pasien ulkus DM di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta periode 2005
Kesesuaian dengan standar terapi Jumlah kasus
Persentase Terapi antibiotika absolut
Sesuai standar terapi 14
33,33 Tidak sesuai standar terapi
- -
Terapi antibiotika empirik
Sesuai standar terapi 24
57,14 Tidak sesuai standar terapi
4 9,53
Jumlah 42
100
C. Drug Related Problems DRP
Evaluasi DRP dilakukan dengan membandingkan penggunaan antibiotika dengan standar terapi yang digunakan dan melihat antibiotika yang digunakan
pasien sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas tes atau tidak pada pasien yang melakukan kultur dan sensitivitas tes. Jika sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas tes maka disebut sebagai terapi antibiotika absolut. Namun, jika tidak sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas tes yang ada dan tidak sesuai dengan
standar terapi yang digunakan maka kasus tersebut termasuk DRP. Terapi antibiotika absolut pada pasien ulkus DM dalam penelitian ini seluruhnya sesuai
dengan hasil kultur dan sensitivitas tes dan standar terapi yang digunakan. Sehingga pada terapi antibiotika absolut tidak ada yang mengalami DRP. Terapi
antibiotika empirik terdapat 4 kasus yang mengalami DRP karena tidak sesuai dengan standar terapi yang digunakan. Berikut diuraikan kasus DRP yang terjadi.
Tabel XXII. Evaluasi DRP pada kasus ulkus DM I di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta periode 2005
Subyektif: Bapak FXS, nomor rekam medik RM 072107, umur 52 tahun menjalani rawat inap I di RSPR
selama 27 hari dengan ulkus di telapak kaki kanan. Pasien masuk RS tanggal 01 04 2005. Tiga tahun yang lalu telah dilakukan amputasi jari kelingking kaki kanan. Diagnosis masuk:
hipertensi dan DM ganggren pedis dextra. Pasien menderita komplikasi hipertensi, neuropati, nefropati, dan mempunyai penyakit hepatitis A. Tindakan: tanggal 06 04 2005 dilakukan
operasi debridemen ulkus telapak kaki kanan. Obyektif:
01 04 2005: URE : 89; CREAT : 6,7; AS.URT : 7,0;
GLOB : 4,24; GDS : 297; HbA
1c
: 9,3 05 04 2005: URE : 108; CREAT : 6,6; GDP : 165;
GDPP : 250 12 04 2005: URE : 112; CREAT : 7,6; GDP : 213;
GDPP : 95 22 04 2005: WBC : 14,40; URE : 113; CREAT : 7,5;
GDP : 147 Suhu: 36 – 37,5 °C
Nadi: 76 – 105 kali menit Tidak dilakukan kultur dan sensitivitas tes
Nilai normal: WBC : 4,00 – 11,00 x 103ul
URE : 10 – 50 mgdl CREAT : 0,5 – 0,9 mgdl
AS.URT : 3,4 – 7,0 mgdl GLOB : 3,20 – 3,90 Ul
HbA
1c
: 4,5 – 6,5 GDS : 70 – 100 mgdl
GDP : 70 – 110 mgdl GDPP : 100 – 140 mgdl
Penatalaksanaan: Infeksi: trimetoprim dan sulfametoksasol 2 x 480 mg diberikan tanggal 04 – 17 04 2005,
19 04 2005, dan 22 – 24 04 2005 secara oral. Antibiotika ini merupakan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksasol dengan perbandingan 1:5 digunakan untuk terapi infeksi.
Penilaian:
a. Penggunaan trimetoprim dan sulfametoksasol tidak tepat pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal karena potensial meningkatkan gangguan fungsi hati dan ginjal reaksi obat yang merugikan.
b. Sulfonilurea diberikan tanggal 23 – 26 04 2005. Penggunaan trimetoprim dan
sulfametoksasol bersama sulfonilurea dapat meningkatkan efek sulfonilurea reaksi obat yang merugikan.
c. Dosis pemakaian trimetoprim dan sulfametoksasol tersebut terlalu tinggi pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal yang dapat mengakibatkan akumulasi obat di ginjal dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi:
a. Berikan doksisiklin yang boleh digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. b. Berikan doksisiklin yang tidak berinteraksi dengan sulfonilurea.
c. Berikan doksisiklin yang boleh digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Tabel XXIII. Evaluasi DRP pada kasus ulkus DM II di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta periode 2005
Subyektif: Ny. SH, nomor RM 127069, umur 65 tahun menjalani rawat inap II di RSPR selama 13 hari.
Pasien masuk RS tanggal 06 07 2005. Saat masuk RS pasien mengeluh nyeri senut – senut pada luka di kaki kiri. Diagnosis masuk dan keluar: ulkus DM. Tindakan: tanggal 09 07 2005
dilakukan debridemen luka di kaki kiri. Obyektif:
06 07 2005: WBC : 20,48; SGOT : 105,2; SGPT : 58,1;
URE : 81; CREAT : 1,5; AS.URT : 10,8 08 07 2005: GDS : 152
13 07 2005: GDP : 123; GDS : 156 Suhu: 36 – 38,3 °C
Nadi: 78 – 120 kali menit Frekuensi pernapasan: 16 – 21 kali menit
Hasil kultur dan sensitivitas tes: 08 07 2005: hasil pembiakan : Enterobacter sp.
cefepime S, cefoperazone–sulbactam S, cefotaxime I, ceftazidime S, ceftriaxone
S, imipenem S
Nilai normal: WBC : 4,00 – 11,00 x 103ul
SGOT : 0,0 – 38,0 Ul SGPT : 0,0 – 41,0 Ul
URE : 10 – 50 mgdl CREAT : 0,5 – 0,9 mgdl
AS.URT : 3,4 – 7,0 mgdl GDP : 70 – 110 mgdl
GDS : 70 – 100 mgdl
Penatalaksanaan: Infeksi: sefotiam 2 x 200 mg diberikan tanggal 18 – 19 07 2005 secara oral. Sefotiam
merupakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga digunakan untuk terapi infeksi. Penilaian:
a. Penggunaan sefotiam tidak sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas tes yang ada
sehingga tidak sensitif membasmi bakteri penyebab infeksi salah obat. b.
Berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas tes, sefotiam tidak sensitif terhadap kuman penginfeksi perlu terapi obat tambahan.
Rekomendasi:
a. Hentikan penggunaan sefotiam dan ganti dengan antibiotika lain yang sensitif terhadap
kuman penginfeksi sesuai hasil kultur dan sensitivitas tes yang telah dilakukan. b.
Berikan antibiotika sesuai hasil kultur dan sensitivitas tes agar sensitif membasmi kuman penginfeksi.
Tabel XXIV. Evaluasi DRP pada kasus ulkus DM III di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta periode 2005
Subyektif: Bapak W, nomor RM 464343, umur 37 tahun dirawat di RSPR selama 36 hari. Pasien masuk
RS tanggal 15 02 2005. Keluhan saat masuk RS, pasien merasa sakit perut, perut terasa panas, muntah–muntah, BAB cair 5–7 kali, dan terdapat luka pada jari II dan jari III kaki kanan.
Pasien menderita DM sejak 5 tahun yang lalu. Diagnosis masuk: ulkus DM dan pancreatitis. Tindakan: tanggal 22 02 2005 dilakukan amputasi jari III kaki kanan dan tanggal 02 03
2005 dilakukan debridemen luas pada luka. Pasien pulang APS dengan alasan keberatan biaya.
Obyektif: 25 02 2005: WBC : 18,47; LIM : 5,4; GDP : 193
01 03 2005: WBC : 14,81; NEUT : 89,5; LIM : 3,2; URE : 50; CREAT : 2,4; GDP : 228
11 03 2005: WBC : 17,86; LIM : 5,4; URE : 75; CREAT : 2,9
14 03 2005: WBC : 24,92; LIM : 6,3 16 03 2005: WBC : 28,14; LIM : 7,5
Suhu: 35,6 – 39,9 °C Nadi: 70 – 108 kali menit
Hasil kultur dan sensitivitas tes: 02 03 2005: hasil pembiakan : Enterobacter sp.
cefoperazone–sulbactam I, imipenem S, meropenem S
21 03 2005: hasil pembiakan : Pseudomonas aeruginosa
Nilai normal: WBC : 4,00 – 11,00 x 103ul
NEUT : 35,0 – 88,7 LIM : 12,0 – 44,0
URE : 10 – 50 mgdl CREAT : 0,5 – 0,9 mgdl
GDP : 70 – 110 mgdl
Penatalaksanaan: Infeksi: siprofloksasin 2 x 500 mg diberikan tanggal 16 – 17 02 2005 secara oral untuk
mengobati infeksi kuman gram positif dan gram negatif. Seftriakson 2 x 1 g merupakan antibiotika sefalosporin generasi ketiga diberikan tanggal 18 – 24 02 2005 secara iv untuk
mengobati infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Sefotaksim 3 x 1 g golongan sefalosporin generasi ketiga diberikan tanggal 25 02–06 03 2005 secara iv untuk profilaksis
bedah. Metronidazol 3 x 100 ml diberikan tanggal 01 – 06 03 dan 15 03 2005 dengan cara infus digunakan untuk infeksi kuman anaerob. Imipenem 2 x 500 mg diberikan tanggal
08 – 10 03 2005 dan 18 – 23 03 2005 secara iv untuk mengobati infeksi kuman gram positif, gram negatif, aerob, anaerob, dan sebagai antibiotika profilaksis pada pembedahan.
Penilaian:
a. Penggunaan sefotaksim dan metronidazol tidak sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas tes yang ada sehingga tidak sensitif membasmi bakteri penginfeksi salah obat.
b. Penggunaan metronidazol tidak sensitif terhadap kuman penginfeksi dan tidak ada
indikasi untuk mengobati kuman penginfeksi terapi obat tanpa indikasi.
Rekomendasi:
a. Ganti sefotaksim dan metronidazol dengan antibiotika lain yang sensitif terhadap
kuman penginfeksi sesuai hasil kultur dan sensitivitas tes yang telah dilakukan. b.
Berikan antibiotika sesuai jenis kuman penginfeksi Gram negatif aerob yang ada yaitu trimetoprim dan sulfametoksasol kuinolon gentamisin.
Tabel XXV. Evaluasi DRP pada kasus ulkus DM IV di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta periode 2005
Subyektif: Bapak MN, nomor RM 469332, umur 60 tahun dirawat di RSPR selama 11 hari. Pasien masuk
RS tanggal 24 03 2005. Kondisi pasien saat masuk RS terdapat luka coklat – coklat dan nyeri pada telapak kaki kanan. Pasien kencing tidak terasa dan BAB tidak lancar. Pasien juga
mengeluh kadang–kadang pusing. Tidak terjadi hipoglikemia atau hiperglikemia kadar glukosa darah stabil. Diagnosis masuk dan keluar: ulkus DM.
Obyektif: 24 03 2005: WBC : 15,22; NEUT : 84,3; LIM : 4,5;
SGOT : 38,5; SGPT : 45,0 25 03 2005: GDP : 115; GDPP : 101
29 03 2005: GDP : 123 02 04 2005: GDP : 110
Suhu: 36,6 – 39 °C Nadi: 80 – 112 kali menit
Hasil kultur dan sensitivitas tes: 27 03 2005: hasil pembiakan : Enterobacter sp.
cefoperazone–sulbactam I, eritromisin I, gentamisin S, imipenem S, meropenem
S, netilmisin S
Nilai normal: WBC : 4,00 – 11,00 x 103ul
NEUT : 35,0 – 88,7 LIM : 12,0 – 44,0
SGOT : 0,0 – 38,0 Ul SGPT : 0,0 – 41,0 Ul
GDP : 70 – 110 mgdl GDPP : 100 – 140 mgdl
Penatalaksanaan: Infeksi: amoksisilin 3 x 500 mg diberikan tanggal 25 – 26 03 2005 secara oral. Amoksisilin
merupakan antibiotika golongan penisilin spektrum luas digunakan untuk terapi infeksi kuman Gram positif dan Gram negatif. Sulbenisilin 3 x 1 g diberikan tanggal 26 03 – 03 04 2005
secara iv digunakan untuk mengobati infeksi Pseudomonas aeruginosa. Metronidazol 3 x 500 mg diberikan tanggal 31 03 – 04 04 2005 secara oral untuk infeksi kuman anaerob.
Penilaian:
a. Penggunaan sulbenisilin dan metronidazol tidak sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas tes yang ada salah obat. b.
Sulbenisilin merupakan antibiotika golongan penisilin antipseudomonas dan metronidazol merupakan antibiotika anaerob yang digunakan untuk membasmi bakteri
anaerob. Pemberian sulbenisilin dan metronidazol tidak sesuai untuk kuman Enterobacter sp
. yang merupakan bakteri Gram negatif aerob terapi obat tanpa indikasi.
c. Antibiotika yang diberikan pada pasien tidak ada yang sensitif terhadap kuman
penginfeksi yang ada perlu terapi obat tambahan.
Rekomendasi:
a. Sebaiknya mengganti dengan antibiotika yang sensitif terhadap kuman penginfeksi
sesuai hasil kultur dan sensitivitas tes yang ada. b.
Berikan antibiotika yang sesuai untuk kuman Enterobacter sp. yaitu trimetoprim dan sulfametoksasol kuinolon imipenem gentamisin.
c. Berikan antibiotika sesuai hasil kultur dan sensitivitas tes sehingga sensitif terhadap
kuman penginfeksi dan dapat mempercepat proses penyembuhan infeksi.
RINGKASAN DRP
Tabel XXVI. Perlu terapi obat tambahan need for additional drug therapy
Kasus Obat – Problem
Penilaian Rekomendasi
2 Sefotiam – tidak
sensitif terhadap kuman
penginfeksi. Berdasarkan hasil kultur dan
sensitivitas tes, sefotiam tidak sensitif terhadap kuman
penginfeksi. Berikan antibiotika sesuai hasil
kultur dan sensitivitas tes agar sensitif membasmi kuman
penginfeksi.
4 Antibiotika yang
diberikan – tidak ada yang sensitif
terhadap Enterobacter sp
. Antibiotika yang diberikan
pada pasien tidak ada yang sensitif terhadap kuman
penginfeksi yang ada. Berikan antibiotika sesuai hasil
kultur dan sensitivitas tes sehingga sensitif terhadap
kuman penginfeksi dan dapat mempercepat proses
penyembuhan infeksi.
Tabel XXVII. Terapi obat tanpa indikasi unnecessary drug therapy
Kasus Obat – Problem
Penilaian Rekomendasi
3 Metronidazol –
tidak sensitif dan tidak ada indikasi
untuk kuman penginfeksi.
Penggunaan metronidazol tidak sensitif terhadap kuman
penginfeksi dan tidak ada indikasi untuk mengobati
kuman penginfeksi. Berikan antibiotika sesuai jenis
kuman penginfeksi Gram negatif aerob yang ada yaitu
trimetoprim dan sulfametoksasol kuinolon
gentamisin.
4 Sulbenisilin dan
metronidazol – tidak sesuai untuk
Enterobacter sp .
Sulbenisilin merupakan antibiotika golongan penisilin
antipseudomonas dan metronidazol merupakan
antibiotika anaerob yang digunakan untuk membasmi
bakteri anaerob. Pemberian sulbenisilin dan metronidazol
tidak sesuai untuk kuman Enterobacter sp
. yang merupakan bakteri Gram
negatif aerob. Berikan antibiotika yang sesuai
untuk kuman Enterobacter sp. yaitu trimetoprim dan
sulfametoksasol kuinolon imipenem gentamisin.
Tabel XXVIII. Salah obat wrong drug
Kasus Obat – Problem
Penilaian Rekomendasi
2 Penggunaan
sefotiam – tidak sesuai dengan hasil
kultur dan sensitivitas tes
yang telah dilakukan.
Penggunaan sefotiam tidak sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas tes yang ada sehingga tidak sensitif
membasmi bakteri penyebab infeksi.
Berikan antibiotika sesuai hasil kultur dan sensitivitas tes agar
sensitif membasmi kuman penginfeksi.
3 Penggunaan
sefotaksim dan metronidazol –
tidak sesuai dengan hasil kultur
dan sensitivitas tes yang telah
dilakukan. Penggunaan sefotaksim dan
metronidazol tidak sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas tes yang ada sehingga tidak sensitif
membasmi bakteri penginfeksi.
Ganti sefotaksim dan metronidazol dengan
antibiotika lain yang sensitif terhadap kuman penginfeksi
sesuai hasil kultur dan sensitivitas tes yang telah
dilakukan.
4 Penggunaan
sulbenisilin dan metronidazol –
tidak sesuai dengan hasil kultur
dan sensitivitas tes yang ada.
Penggunaan sulbenisilin dan metronidazol tidak sesuai
dengan hasil kultur dan sensitivitas tes yang ada.
Sebaiknya mengganti dengan antibiotika yang sensitif
terhadap kuman penginfeksi sesuai hasil kultur dan
sensitivitas tes yang ada.
Tabel XXIX. Reaksi obat yang merugikan adverse drug reaction
Kasus Obat – Problem
Penilaian Rekomendasi
1 Trimetoprim dan
sulfametoksasol – pasien mengalami
gangguan fungsi hati dan ginjal.
Penggunaan trimetoprim dan sulfametoksasol tidak tepat
pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal karena
potensial meningkatkan gangguan fungsi hati dan
ginjal. Berikan doksisiklin yang boleh
digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
1 Trimetoprim dan
sulfametoksasol – pasien mengalami
gangguan fungsi hati dan ginjal.
Sulfonilurea diberikan tanggal 23 – 26 04 2005.
Penggunaan trimetoprim dan sulfametoksasol bersama
sulfonilurea dapat meningkatkan efek
sulfonilurea. Berikan doksisiklin yang tidak
berinteraksi dengan sulfonilurea.
Tabel XXX. Dosis terlalu tinggi dose too high
Kasus Obat – Problem
Penilaian Rekomendasi
1 Trimetoprim dan
sulfametoksasol – pasien mengalami
gangguan fungsi hati dan ginjal.
Dosis pemakaian trimetoprim dan sulfametoksasol tersebut
terlalu tinggi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
yang dapat mengakibatkan akumulasi obat di ginjal.
Berikan doksisiklin yang boleh digunakan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
D. Outcome Terapi Pasien Ulkus DM