1
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi
operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga itu harus
dilindungi, dihormati, dan dipertahankan Kustawan, 2013: 1. Ada berbagai macam hak asasi yang dimiliki manusia, yakni hak asasi pribadi yang
berkaitan dengan kehidupan pribadi manusia, hak asasi politik yang berkaitan dengan kehidupan politik, hak asasi hukum yang berkaitan dengan hukum
juga pemerintahan, hak asasi ekonomi yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian, hak asasi peradilan yang berkaitan dengan perlakuan yang
sama terhadap tata cara pengadilan, dan hak asasi sosial budaya yang berkaitan dengan kehidupan dalam bermasyarakat. Salah satu contoh hak
asasi sosial budaya adalah mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan merupakan hal yang penting dalam membangun peradaban
bangsa. Pendidikan adalah satu-satunya aset untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas Shoimin, 2014:20. Pendidikan dapat diperoleh
melalui 3 jalur, yaitu pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah- sekolah pada umumnya; pendidikan nonformal yang terdapat di luar
pendidikan formal bisa sebagai tambahan belajar, sekolah pada usia dini, kursus, dan sebagainya yang dapat diselenggarakan secara terstruktur dan
berjenjang; dan pendidikan informal merupakan pendidikan dalam keluarga dan lingkungan. Jalur pendidikan tersebut dapat dimanfaatkan untuk
menambah wawasan, pengetahuan, pengalaman, serta meningkatkan akademik maupun nonakademik yang dimiliki karena pendidikan formal,
nonformal, dan informal ini dapat saling melengkapi untuk mengembangkan potensi diri. Potensi diri dapat dikembangkan melalui meningkatkan
akademik juga nonakademik, sehingga sumber daya manusia semakin berkualitas dan dapat membangun peradaban bangsa yang semakin maju.
UNESCO dalam Kustawan, 2013: 3
The International Commission on Education for the Twenty-first Century
, mengingatkan bahwa kebijakan pendidikan harus dirancang agar dapat merespon keberagaman kebutuhan
peserta didik dan harus menghindari atau tidak menyebabkan munculnya ekslusivismepemisahkan dan diskriminasi. Sementara
Salamanca Statement
dan
framework for Action
dalam Kustawan, 2013 : 17
,
menjelaskan bahwa sekolah regular yang berorientasi inklusif adalah cara yang paling efektif
untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat inklusif dan mencapai cita-cita pendidikan untuk
semua. Pendidikan hendaknya mampu memberikan wadah dan juga fasilitas
belajar yang layak untuk semua peserta didik tanpa membeda-bedakan kebutuhan, penampilan fisik, suku, ras, agama, ekonomi, dan lainnya. Bagi
pihak sekolah harus bisa menghilangkan sikap diskriminasi yang sering menjadi kekhawatiran bagi orangtua yang akan menyekolahkan anaknya.
Semua orangtua menginginkan pendidikan yang terbaik bagi anaknya, pendidikan yang mampu merespon keberagaman kebutuhan peserta didik.
Sekolah hendaknya tidak membedakan siswa yang tidak memiliki kebutuhan khusus dan siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Setiap sekolah wajib
menerima semua peserta didik tanpa prasyarat tertentu dan menerima dengan keterbukaan.
Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 menyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan
secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Konsep pendidikan inklusi merupakan konsep
pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk
memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara. Pendidikan inklusi didefinisikan sebagai konsep yang menampung semua anak yang
berkebutuhan khusus maupun anak yang memiliki kesulitan membaca dan menulis Ilahi, 2013: 23.
Di Sekolah Dasar SD dan Madrasah Ibtidaiyah MI yang menyelenggarakan pendidikan inklusi akan terjadi perubahan praktis yang
memberi kesempatan kepada semua anak dengan latar belakang dan
kemampuan yang berbeda untuk belajar bersama Kustawan, 2013: 61. Sekolah Dasar Inklusi juga terselenggara di Kabupaten Sleman dengan
jumlah sebanyak 32 sekolah. Sekolah yang ditunjuk dianggap mampu untuk menyelanggarakan sekolah inklusi. Sekolah tersebut tersebar di beberapa
kecamatan di Kabupaten Sleman, yakni di Kecamatan Seyegan, Mlati, Tempel, Turi, Pakem, Cangkringan, Ngemplak, Ngaglik, Moyudan, Godean,
Gamping, Depok, Kalasan, dan Prambanan. Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi memberi
tanggungjawab kepada semua pihak sekolah untuk bertanggungjawab juga mengupayakan bantuan dalam berbagai hal dalam kegiatan sekolah dan
hubungannya dengan masyarakat, dengan tujuan untuk memberikan pendidikan yang layak bagi peserta didik. SDMI harus mampu
mengakomodasi semua peserta didik tanpa membedakan dari sudut pandang apapun. Pihak sekolah diharapkan mampu merancang model, fasilitas,
kurikulum, tenaga pendidik, administrami, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan sekolah dengan baik agar menjadikan sekolah yang ramah
anak, terbuka, dan tidak mendiskriminasi. Kepala SDMI harus memahami atau menguasai filosofi dan konsep
pendidikan inklusi yang diyakininya dan harus berani menjamin dan bertanggungjawab tugas mulianya atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan
yang dapat mengakomodasi semua anak ketika dalam pelaksanaannya ada tantangan atau permasalahan Kustawan, 2013: 60. Berdasarkan data yang
didapatkan dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sleman
sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi berjumlah 32 sekolah yang tersebar di beberapa kecamatan. Jumlah sekolah dasar ini sudah cukup
memadai untuk menampung siswa yang mengalami kebutuhan khusus di wilayah Kabupaten Sleman. Berdasarkan penelitian terdahulu dari Supardjo
2016 bertujuan
mendeskripsikan pengelolaan
pembelajaran anak
berkebutuhan khusus dalam sistem inklusi di sekolah dasar penyelenggaraan pendidikan
inklusi dari
perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran di SD Negeri III Giriwono
Wonogiri dan penelitian terdahulu dari Ery Wati 2014 yang menyatakan di SD Negeri 32 Kota Banda Aceh ditemukan adanya kesalahan-kesalahan
terkait aspek pemahaman, kebijakan internal sekolah, kurikulum, serta tenaga kependidikan dan pembelajarannya mendorong peneliti untuk melakukan
penelitian yang relevan di Wilayah Kabupaten Sleman. Peneliti terdorong untuk melanjutkan penelitian tersebut dengan menambahkan prinsip-prinsip
penyelenggaraan pendidikan inklusi pada penelitian ini untuk mengetahui kondisi penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di Wilayah Kabupaten
Sleman. Berakar dari latar belakang yang disebutkan di atas, peneliti ingin meneliti dengan judul “Survei Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di
Wilayah Kabupaten Sleman”.
B. Rumusan Masalah