1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki motivasi yang melatarbelakangi berbagai macam tingkah laku dalam kehidupannya. Di antara sekian banyak motivasi yang
melatarbelakangi tingkah laku manusia salah satunya adalah motivasi belajar. Motivasi pada dasarnya terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang harus
dipenuhi. Motivasi merupakan syarat mutlak untuk belajar. Di sekolah seringkali ada anak yang malas, tidak menyenangkan, suka membolos, suka
mencontek saat ujian dan lain sebagainya. Permasalahan yang dihadapi oleh siswa adalah kurangnya motivasi untuk mendorong siswa agar dapat belajar
dengan segenap tenaga dan pikirannya dan dapat mencapai prestasi yang diharapkan.
Menurut Winkel 1987 faktor yang mendasari motivasi belajar siswa menurun adalah :
1. kehidupan diluar sekolah menawarkan banyak bentuk rekreasi yang dapat membuat orang merasa puas, meskipun rasa puas itu tidak dapat bertahan
lama 2. pengaruh dari teman-teman yang tidak menghargai prestasi tinggi dalam
belajar di sekolah dan prestasi di bidang lain. 3. kekaburan mengenai cita-cita kehidupan sesudah tamat sekolah
4. keadaan keluarga yang kurang menguntungkan, karena sejak kecil anak kurang ditantang untuk memberikan prestasi yang patut dibanggkan atas
dasar usahanya sendiri. 5. sikap kritis sejumlah orang muda terhadap masyarakat, sehingga mereka
meragukan kegunaan dari belajar di sekolah.
Dalam proses belajar, motivasi sangat dibutuhkan karena siswa yang tidak memiliki motivasi dalam belajar tidak akan memiliki semangat dalam
melakukan belajar. Siswa yang termotivasi dalam belajar menunjukkan minat, kegairahan dan ketekunan yang tinggi dalam belajar Prayitno,1989.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil remaja berusia berusia 14-15 tahun sebagai subyek penelitian, dimana masa remaja adalah masa transisi atau
peralihan dari kanak-kanak menuju kedewasaan Calon dalam Monks,2001 karena masa remaja belum memperoleh status orang dewasa tapi tidak lagi
memiliki status kanak-kanak. Pada umumnya remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya
yang baru
sebagai orang
dewasa Clarke-StewartFriedman,1987;
Ingersoll,1989. Remaja dituntut untuk menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai bagi orang-orang seusianya.
Individu dalam pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungannya. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak hanya berasal dari keluarga
melainkan dapat berasal dari kelompoknya maupun lingkungan sosialnya, yaitu kelompok teman sebaya. Remaja pada umumnya mudah terpengaruh oleh
kelompok teman sebayanya. Oleh karena itu masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger kehausan sosial, yang ditandai dengan adanya keinginan
untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya peer group. Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia
sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia
akan merasa
bangga dan
memiliki kehormatan
dalam dirinya.
http:komunitasmahasiswa.infocategoryteori-psikologi-sosial Menurut Ali 2004 kelompok teman sebaya memegang peranan penting
dalam kehidupan remaja. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Remaja merasa ada kelekatan dan
kebersamaan dengan kelompok sebaya, oleh karena itu sering kita melihat adanya kebudayaan remaja yaitu kesamaan dalam cara berpakaian, cara
berbicara yang sama, mempunyai hobi yang sama serta sikap dan perilaku yang sama pula termasuk di dalamnya perilaku belajar. Menurut prinsip motivasi
dari teori behavioristik menyatakan seorang siswa yang duduk di sekolah tingkat pertama lebih termotivasi belajar jika penguatan dari teman sebaya
dibandingkan guru Prayitno, 1989. Dengan adanya motivasi, akan memberi arah pada perilaku sosial remaja. Siswa mampu menyalurkan energinya untuk
menyelesaikan tugas akademis, mengembangkan hubungan sosialnya dengan teman sebaya serta meningkatkan rasa mampu karena siswa termotivasi untuk
memenuhi kekurangan dalam dirinya. Menurut Santosa, di dalam kelompok teman sebaya tidak dipentingkan
adanya struktur organisasi, namun diantara anggota kelompok merasakan adanya tanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya 1999.
Kenyataan di lapangan, sebagian siswa berusaha menguasai bahan pelajaran atau belajar dengan giat untuk memperoleh pembenaran atau penerimaan dari
teman-teman kelompoknya. Bagi remaja awal, ada unsur-unsur yang menjadi standar dalam memilih kelompok teman sebaya. Diantaranya pola tingkah
laku, minat atau kesenangan, kepribadian atau nilai yang dianut. Apa yang mereka jadikan standar dilihatnya tentang keserasian dan kesamaannya.
Semakin besar atau banyak keserasian yang mereka miliki maka semakin erat pula persahabatan diantara mereka. Dalam kelompok teman sebaya, teman
adalah tempat berkaca, sebagai orang yang paling dekat dan teman bisa member gambaran tentang diri sendiri dari dekat.
Seperti halnya terjadi di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta, menurut informasi guru pembimbing dan observasi di lapangan, para siswa di sekolah ini telah
memiliki kelompok teman sebayanya sendiri-sendiri, yang dalam pemilihannya tidak ditentukan oleh jenjang kelas sekolah dan tidah harus dalam satu kelas.
Selain itu rata-rata dalam satu kelompok memiliki minat atau kesenangan serta pola tingkah laku yang sama. Sehingga jika dalam suatu kelompok, ada
anggota kelompok yang memiliki prestasi yang baik, maka anggota lainnya akan termotivasi untuk meraih hasil yang tidak jauh beda. Hal ini selaras
dengan penelitian sebelumnya oleh Lestari 2003 yang menyatakan bahwa teman-teman sekelas yang sudah memiliki motivasi belajar yang tinggi
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam membantu memotivasi siswa yang belum termotivasi belajarnya, sehingga siswa yang mengalami motivasi
belajar rendah merasa ingin juga memiliki motivasi tinggi seperti teman-teman yang telah memperoleh prestasi.
Problema perilaku sosial remaja tidak hanya terjadi dengan kelompok sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua dan dewasa lainnya,
termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada masa remaja,
khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat
menentukan pilihannya sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua, terutama secara ekonomis.
Melihat hal diatas, mendorong penulis untuk mengetahui sejauh mana hubungan perilaku sosial dalam kelompok teman sebaya dengan motivasi
belajar. Mengingat subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SLTP yang termasuk pada masa remaja awal, dimana kohesi kelompok cenderung kuat.
Sehingga pengambilan keputusan dan perilakunya ditentukan oleh teman sebaya.
B. Rumusan Masalah