118 pembelajaran dengan pendekatan problem based learning lebih efektif daripada
pembelajaran dengan pendekatan problem posing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah.
Pengujian yang kedua adalahh pendekatan problem based learning lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan problem posing jika persentase siswa di
kelompok problem based learning yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan KKM lebih tinggi daripada di kelompok problem posing. Di kelas
eksperimen pertama yang diberi perlakuan problem based learning, persentase siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan KKM sebesar 92,30
sedangkan di kelas eksperimen kedua yang diberi perlakuan problem posing, persentase siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan KKM
sebesar 80,77. Berdasarkan pengujian keefefektifan tersebu diperoleh kesimpulan bahwa
pendekatan problem based learning lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan problem posing. Hasil analisis uji hipotesis ketiga dapat dilihat pada
lampiran 4.6 halaman 448-449.
B. Pembahasan 1. Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Based Learning Efektif
Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
Kelas eksperimen pertama diberikan perlakuan pembelajaran matematika dengan pendekatan problem based learning. Pembelajaran dengan pendekatan
problem based learning dikatakan efektif jika rata-rata nilai nilai post-test kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen pertama lebih dari atau
sama dengan 75 dan minimal 75 siswa dikelas memperoleh nilai lebih dari atau
119 sama dengan KKM. Berdasarkan kriteria efektif pertama yaitu rata-rata nilai nilai
post-test kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen pertama lebih dari atau sama dengan 75, menunjukkan bahwa hasil pengujian hipotesis pertama
dengan bantuan IBM SPSS Statistic 21 diperoleh bahwa nilai signifikansi adalah 0,000. Nilai signifikansi ini kurang dari taraf signifikansi
05 ,
maka H ditolak
artinya pembelajaran dengan pendekatan problem based learning efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah. Bedasarkan kriteria efektif yang kedua
yaitu minimal 75 siswa dikelas memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan KKM, hasil perhitungan menunjukkan 92,30 siswa dikelas memperoleh nilai
lebih dari atau sama dengan KKM. Efektivitas pembelajaran dengan pendekatan problem based learning
ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah didukung oleh penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan pendapat para ahli. Penelitian sebelumnya telah
dilakukan oleh Dyah Sartika Putri 2013 yang menunjukkan bahwa strategi pembelajaran berbasis masalah efektif dalam pembelajaran matematika ditinjau
dari kemampuan pemecahan masalah. Pembelajaran berbasis masalah dengan strategi Polya dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa Arifin, 2014: 9. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunantara, Suarjana, dan Riatini menunjukan bahwa pembelajaran problem based learning dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada mata pelajaran matematika. Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan pembelajaran dengan pendekatan
problem based learning pada penelitian ini efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah seperti penjelasan berikut ini.
120 Pada awal pembelajaran, guru menyajikan masalah kepada siswa. Masalah
yang disajikan merupakan masalah yang menantang, dibuat menarik dan dekat dengan kehidupan nyata. Penyajian masalah yang dibuat menarik diharapkan
dapat memancing siswa agar antusias mengikuti pembelajaran dan menunjukkan kepada siswa bahwa materi yang akan dipelajari bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hillman 2003: 3, Barret Moore 2005, Hmelo-Silver 2004: 236, bahwa dalam pada pembelajaran
problem based learning, siswa disajikan masalah yang menantang bagi siswa dan siswa harus menyelesaikannya. Sejalan pula dengan Duch 2001: 48 dan Untarti
2015: 19, masalah pada pembelajaran dengan pendekatan problem based learning haruslah masalah yang menarik dan menunjukkan kepada siswa bahwa
materi yang akan dipelajari berguna dalam kehidupan sehari-hari. Siswa belajar materi melalui permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sehingga akan
memudahkan siswa untuk memahami masalah, dengan demikian memberi kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki
untuk memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan Rokhmawati, Djatmika,
Wardana 2016: 53, yang menyatakan bahwa adanya penyajian masalah yang dekat dengan kehidupan sehari akan memudahkan siswa dalam memahami
masalah. Salah satu contoh masalah yang disajikan pada pertemuan ketiga yaitu
“Seorang wisatawan Jogja ingin mengukur tinggi Tugu Pal Putih. Ia berdiri sejauh 13 meter dari pusat bagian bawah tugu Tugu Pal Putih. Penampang bagian bawah
tugu berbentuk persegi dengan panjang sisi 1 m. Wisatawan tersebut memandang
121 ke arah puncak Tugu Jogja dengan sudut elevasi
. Jarak mata wisatawan dari tanah adalah 150 cm. Bantulah wisatawan tersebut untuk mengukur tinggi Tugu
Pal Putih ”. Materi yang dipelajari yaitu nilai perbandingan trigonometri sudut
khusus, penerapan materi tersebut adalah bagaimana mengukur tinggi Tugu Pal Putih disertai dengan informasi yang mendukung.
Pada fase orientasi masalah melalui kegiatan penyajian masalah, siswa belajar memahami masalah dengan membuat sketsa berdasarkan masalah,
mendata informasi apa saja yang tersedia kemudian membuat model matematika, dan mengetahui apa yang ditanyakan. Kegiatan memahami masalah tersebut
sesuai dengan aspek kemampuan pemecahan masalah yang pertama. Kegiatan memahami masalah dalam pembelajaran dengan pendekatan problem based
learning ini sesuai dengan pernyataan Duch, Groh, Allen 2001: 7 dan Hmelo- Silver 2004: 236 bahwa problem based learning menumbuhkan kemampuan
untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan untuk penerapan masalah tertentu, melalui langkah identifikasi ini membantu siswa menggambarkan
masalah. Problem based learning meningkatkan penerapan pengetahuan siswa, pemecahan masalah, dan keterampilan belajar mandiri dengan mengharuskan
mereka untuk secara aktif mengartikulasikan, memahami, dan memecahkan masalah Jonassen Hung, 2008: 10.
Pembelajaran dengan pendekatan problem based learning ini dibantu dengan adanya LKS pada pertemuan kedua sampai keenam yang isinya terdapat
masalah yang harus siswa pahami kemudian siswa mempelajari materi agar dapat memecahkan masalah, selanjutnya siswa menyelesaiakan masalah tersebut sesuai
122 dengan langkah pemecahan masalah, langkah pemecahan masalah ini diharapkan
dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Juliana, Sugiatno Romal 2015: 10 bahwa
faktor pendukung agar pembelajaran dengan pendekatan problem based learning dapat terlaksana dengan baik adalah dengan merancang suatu LKS yang
berisi masalah-masalah yang akan diselesaikan oleh siswa. Masalah yang disajikan pada LKS merupakan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
menyelesaikan masalah tersebut, siswa diminta untuk mengidentifikasi informasi yang diketahui dan ditanyakan, membuat rencana penyelesaian, melakukan
penyelesaian, dan mengecek penyelesaian menggunakan cara lain jika ada kemudian menyimpulkan hasil penyelesaian masalah. Hal tersebut menjadikan
LKS yang dibuat dapat digunakan untuk melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.
Pada fase pengorganisasian belajar, kelas di bagi dalam kelompok kecil sebagai kelompok diskusi. Pada fase ini, siswa dapat mulai menyusun rencana
untuk menyelesaikan masalah Adanya kelompok diskusi ini, siswa bertukar pikiran untuk memecahkan masalah, saling membantu untuk menjelaskan masalah
yang belum bisa dipahami, dalam satu kelompok bertanggung jawab terhadap pembelajaran yang dilakukan agar dapat memecahkan masalah. Hal ini sejalan
dengan Untarti 2015: 10 bahwa pada saat fase mengorganisasikan siswa, siswa mulai menyusun logistik atau rencana untuk menyelesaikan masalah dengan
memanfaatkan berbagai sumber belajar untuk menyusun rencana penyelesaian. Arends 2007: 75 berpendapat bahwa diskusi kelas untuk mencapai beberapa
123 tujuan di antaranya meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan membantu
mengkonstruksi pemahaman terhadap apa yang siswa pelajari dan meningkatkan keterlibatan siswa untuk bertanggungjawab atas pembelajaran yang diikuti, dan
membantu siswa terampil berkomunikasi. Hal tersebut sesuai pula dengan pendapat Duch, Groh, Allen 2001: 7 dan Hmelo-Silver 2004: 236 bahwa
dalam pendekatan problem based learning, siswa bekerja dalam kelompok belajar kecil,
bersama-sama memperoleh
pengetahuan, berkomunikasi,
dan mengumpulkan informasi.
Pada fase penyelidikan secara berkelompok, siswa menerapkan pengetahuan atau materi matematika yang mereka yang sudah pernah pelajari
dikaitkan dengan materi yang baru dipelajari untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut seperti pernyataan Hamruni
2012 dan Duch, Groh, Allen 2001: 49 bahwa problem based learning membantu siswa mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah
dalam kehidupan nyata menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan konsep baru, dan menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep dalam memecahkan
masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Ketika berdiskusi, siswa mendiskusikan langkah-langkah untuk menemukan solusi, dan mengumpulkan
rumus yang akan digunakan jika ada. Fase penyelidikan tersebut mengarahkan siswa dalam suatu kelompok
mendiskusikan solusi yang tepat atau membuat penyelesaian dari masalah sesuai dengan aspek kemampuan pemecahan masalah yang ketiga yaitu membuat
penyelesaian masalah. Hal ini sejalan dengan Loyens Paas 2011: 4 bahwa
124 dalam kelompok, siswa mencoba untuk membangun pemahaman tentang masalah
dan mendiskusikan kemungkinan penjelasan atau solusi. Kegiatan siswa yang dihadapkan pada masalah yang berkaitan dengan kehidupan menjadikan siswa
aktif mau berdiskusi dan berpikir agar dapat menemukan pemecahan, memilih langkah agar langkah yang digunakan itu tepat. Hal tersebut menunjukkan bahwa
melalui pembelajaran dengan pendekatan problem based learning, memberi masalah matematika kepada siswa dan meminta mereka menyelesaikannya,
membuat mereka akan memperoleh keyakinan dan melihat bahwa mereka berhasil memahami masalah yang diberikan Cazzola, 2008: 4-6. Problem based learning
sangat cocok untuk membantu siswa menjadi pelajar aktif karena menempatkan pembelajaran dalam masalah dunia nyata dan membuat siswa bertanggung jawab
atas pembelajaran mereka Rokhmawati, Djatmika, Wardana, 2016: 510. Selama siswa mengerjakan LKS untuk memecahkan masalah, guru
berkeliling ke semua kelompok untuk membimbing siswa yang merasa kesulitan dan mencermati langkah-langkah pemecahan masalah yang dilakukan siswa. Hal
ini sesuai dengan pendapat Eggen Kauchak 2012 dan Hmelo-Silver 2004: 236 bahwa guru mendukung dan membimbing proses siswa dalam bekerja
menyelesaikan masalah. Kegiatan setelah siswa membuat penyelesaian dari masalah, beberapa
kelompok mempresentsikan hasil pemecahan masalah yang mereka diskusikan bersama kelompok. Siswa yang tidak presentasi, memperhatikan kelompok yang
sedang presentasi. Memperhatikan langkah-langkah yang digunakan, mengecek apakah langkah penyelesaian dan perhitungannya benar, dan melihat hasil diskusi
125 kelompokya sendiri apakah cara dan hasilnya sama. Kelompok lain yang tidak
presentasi, dipersilakan untuk memberikan tanggapan terhadap hasil pemecahan masalah dari kelompok yang presentasi. Kegiatan selanjutnya setelah presentasi
adalah guru dan siswa menganalisis dan megevaluasi proses pemecahan masalah. Guru menyampaikan kekurangan pemecahan masalah siswa dan memberi
apresiasi pada pemecahan masalah yang dilakukan dengan siswa. Adanya kegiatan presentasi kemudian presentasi siswa dianalisis dan dievaluasi oleh guru
dan siswa maka siswa dapat meneliti kembali hasil pekerjaan mereka dan menarik kesimpulan yang benar. Hal ini sejalan dengan Untarti 2015: 11 bahwa pada fase
menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah dengan bimbingan guru, siswa berusaha untuk menarik kesimpulan dari masalah yang telah disajikan
hlm 11. Namun, pada proses pembelajaran ada beberapa siswa yang menunjukkan
kurang tertarik dengan pembelajaran dengan pendekatan problem based learning karena merasa sulit dalam memecahkan masalah yang tidak terbiasa mereka
lakukan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sanjaya 2006: 220 yang menyatakan ketika siswa tidak memiliki minat atau kepercayaan bahwa masalah
yang dipelajari sulit dipecahkan, mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing Efektif Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
Kelas eksperimen kedua diberikan perlakuan pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing. Pembelajaran dengan pendekatan problem
posing dikatakan efektif jika siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan
126 KKM yaitu 75 dan minimal 75 siswa di kelas memperoleh nilai lebih dari atau
sama dengan KKM. Berdasarkan kriteria efektif pertama yaitu Rata-rata nilai nilai post-test kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen pertama lebih dari
atau sama dengan 75, menunjukkan bahwa hasil pengujian hipotesis pertama dengan bantuan IBM SPSS Statistic 21 diperoleh bahwa nilai signifikansi adalah
0,006. Nilai signifikansi ini kurang dari taraf signifikansi maka H
ditolak artinya pembelajaran dengan pendekatan problem posing efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah. Bedasarkan kriteria efektif yang kedua
yaitu minimal 75 siswa dikelas memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan KKM, hasil perhitungan menunjukkan 80,77 siswa dikelas memperoleh nilai
lebih dari atau sama dengan KKM. Kesimpulan tersebut sejalan dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti.
Efektivitas pembelajaran dengan pendekatan problem posing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah pada penelitian ini sejalan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya dan pendapat ahli. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Prihantini 2015, penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa pendekatan
problem posing efektif diterapkan di kelas X SMA N 1 Kasihan pada materi geometri bidang terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri
siswa. penelitian sbeleumnya dilakukan juga dilakukan oleh Rahmawati 2015 memperoleh hasil bahwa pembelajaran dengan model problem posing tipe pre
solution dan tipe post solution efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa SMP dalam pembelajaran matematika. Problem posing secara
positif mempengaruhi pembelajaran siswa terhadap pengetahuan dan pemecahan
127 masalah mereka selanjutnya sehingga problem posing merupakan sarana untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa Silver, 1994: 23. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing efektif ditinjau dari kemampuan
pemecahan masalah diduga karena didukung oleh beberapa kegiatan pembelajaran di kelas, hal ini diuraikan sebagai berikut.
Pada saat kegiatan pembuatan soal, siswa diberikan informasi terlebih dahulu. Informasi tersebut merupakan suatu situasi yang ada di kehidupan. Ketika
siswa menerima situasi tersebut, siswa segera memahami dengan cermat informasi atau data yang diberikan. Situasi yang diberikan misalnya pada
pertemuan ketiga LKS 1 bagian tantangan 1.2 yaitu “Seorang pejalan kaki melihat ke arah puncak pohon setinggi 6,9 m. sehingga terbentuk sudut elevasi sebesar
sudut . Bila diketahui . Jika ketinggian mata pejalan kaki 1,7 m dari
tanah. Buatlah soal yang berkaitan dengan perbandingan trigonometri berdasarkan informasi tersebut”. Ketika siswa menerima situasi yang diberikan guru maka
siswa sedang melalui tahap kognitif accepting atau menerima, tahap menerima adalah suatu kegiatan dimana siswa dapat menerima situasi-situasi yang diberikan
guru atau situasi-situasi yang sudah ditentukan Brown Walter, 2005: 12. Pada tahap kognitif accepting, siswa mengidentifikasi informasi dari suatu fenomena.
Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa dalam mengamati atau memahami situasi yang sudah diberikan guru. Ketika siswa memahami situasi atau masalah,
mereka mengidentifikasi informasi yang diketahui, membuat ilustrasi berdasarkan masalah, dan merancang pertanyaan yang sesuai dengan situasi tersbut. Hal ini
128 mendukung siswa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dalam
memahami masalah. Melalui situasi yang diberikan misalnya pada pertemuan kedua LKS 1
pada tantangan 1.2, siswa merumuskan atau membuat soal dimana perumusan soal dibuat sebelum solusi diperoleh dari suatu situasi. Hal ini sesuai pula dengan
pernyataan Silver 1994: 19-20 bahwa problem posing mengacu pada kegiatan menciptakan masalah baru atau merumuskan kembali masalah sesuai dengan
situasi yang diberikan, dengan demikian, perumusan masalah dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah solusi diperoleh dari suatu masalah.
Berdasarkan informasi pada LKS 1 pada tantangan 1.2, soal yang dibuat siswa misalnya pada Gambar 29 dan Gambar 30. Soal pada gambar tersebut sudah
sesuai dengan informasi yang disajikan dan soal dapat di kerjakan.
Saat kegiatan membuat soal, beberapa kelompok mengalami kebingungan dan kesulitan membuat soal. Misalnya, suatu kelompok kurang bisa memahami
masalah sehingga bingung untuk membuat soal, siswa mencoba membuat ilustrasi berdasarkan informasi yang diberikan pada LKS 1 tantangan 1.2 sebelum
membuat soal seperti yang disajikan pada gambar 31.
Gambar 16. Contoh Soal yang Dibuat Siswa 2 Gambar 15. Contoh Soal yang Dibuat Siswa 1
129 Gambar 31 menunjukkan masih terdapat kesalahan dalam membuat
ilustrasi. Kesalahan tersebut adalah siswa salah dalam menempatkan perbandingan nilai cosinus sudut θ, angka tiga pada perbandingan tersebut
dianggap sebagai jarak dari pengamat ke pohon sehingga di tuliskan 3 m, dan gambar tersebut seharusnya bisa diperjelas dengan memberi nama titik sudut. Hal
ini menunjukkan bahwa kelompok yang memperoleh tugas untuk membuat tantangan 1.2 belum dapat memahami masalah berdasarkan informasi yang
disajikan. Kondisi tersebut sejalan dengan Thobroni Mustofa 2011: 350 yang menyatakan bahwa pada pembelajaran problem posing, tidak semua siswa
terampil membuat soal. Apabila siswa mengalami kebingungan saat membuat soal, guru
membimbing siswa untuk menemukan soal apa yang bisa dibuat berdasarkan situasi yang diberikan. Guru meminta siswa untuk memahami kembali situasi
yang diberikan, untuk memudahkan memahami situasi, siswa diarahkan untuk membuat sketsa berdasarkan situasi tersebut dengan benar lalu guru menanyakan,
kira-kira soal apa yang bisa dibuat. Aktivitas pembuatan soal tersebut sesuai dengan pernyataan Silver 1997 bahwa pembuatan soal berdasarkan situasi atau
informasi yang diberikan atau yang dinamakan aktivitas kognitif pre-solution
Gambar 17. Contoh Ilustrasi Situasi yang Dibuat Siswa
130 posing. Aktivitas kognitif yang dimaksud adalah siswa mampu membuat soal
berdasarkan situasi atau keadaan yang diberikan oleh guru kemudian siswa juga harus mampu menyelesaikan soal yang telah dibuatnya, dalam menyelesaikan soal
yang dibuat, siswa harus mampu memahami masalah hingga bisa menyimpulkan pemecahan masalah yang diperoleh. Hal ini mendukung siswa mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah dalam memahami masalah, membuat rencana penyelesaikan, dan melakukan rencana penyelesaian.
Pendekatan problem posing memberikan kesempatan pada siswa untuk lebih menggunakan keterampilan bertanya melalui pembuatan soal. Siswa bisa
membuat soal apabila siswa dapat memahami situasi atau informasi yang disajikan. Melalui kegiatan membuat soal ini, dapat dikatakan bahwa siswa dapat
memahami masalah, kegiatan ini sesuai dengan indikator kemampuan pemecahan masalah yaitu memahami masalah. Siswa dari kelompok yang membuat soal juga
harus bisa membuat penyelesaian dari soal tersebut sebelum soal ditukar ke kelompok lain. Setelah tiap kelompok membuat soal, soal tersebut ditukar dengan
kelompok lain kemduian mengerjakan soal yang dibuat oleh kelompok lain. Tiap kelompok harus mengerjakan soal yang dibuat kelompok lain hingga menemukan
solusi dari soal yang diajukan. Pada proses mengerjakan soal tersebut siswa menuliskan langkah-langkah yang dilakukan untuk menemukan solusi,
berdasarkan langkah-langkah tersebut, mereka melakukan penyelesaian soal untuk menemukan pemecahan masalahnya. Menurut pernyataan Aydogdu Ayaz
2008: 544 yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika melalui langkah pemecahan masalah siswa dapat diminta untuk membuat masalah mereka sendiri
131 yang dapat membantu untuk meningkatkan pemahaman mereka. Hal ini didukung
pula oleh pernyataan Mahmudi 2008: 8 bahwa terdapat keterkaitan antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pembuatan soal problem
posing. Ketika siswa membuat soal, siswa dituntut untuk memahami soal dengan baik. Hal ini merupakan tahap pertama dalam penyelesaian masalah. Mengingat
soal yang dibuat siswa juga harus diselesaikan, tentu siswa berusaha untuk dapat membuat perencanaan penyelesaian berupa pembuatan model matematika untuk
kemudian menyelesaikannya, hal ini juga merupakan tahapan penyelesaian masalah seperti dikemukakan Polya. Problem posing menitik beratkan pada
proses pemecahan masalah, seperti mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dari masalah dan bagaimana siswa menghubungkan hal-hal tersebut untuk menuju
penyelesaian masalah Sheikhzade, 2008: 2. Menurut Rosli, Capraro Capraro 2014: 238 secara umum, siswa yang terlibat dalam kegiatan problem posing
dapat memiliki manfaat pada prestasi matematika siswa, kemampuan memecahkan masalah, tingkat masalah yang disajikan, dan sikap terhadap
matematika
.
Kendala yang dialami peneliti ketika melaksanakan pembelajaran problem posing adalah peneliti harus memberikan bimbingan yang lebih kepada beberapa
siswa merasa kesulitan dalam membuat soal. Ada pula kondisi dimana suatu kelompok sudah bisa memahami situasi masalah yang diberikan, namun kurang
bisa dalam membuat soal. Hal-hal tersebut menjadikan waktu pada proses pembuatan soal menjadi lebih lama dari yang direncanakan.
132
3. Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Based Learning Lebih Efektif daripada Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing
Setelah dilakukan pengujian hipotesis pertama dan kedua maka dilakukan analisis selanjutnya untuk mengetahui pendekatan manakan yang lebih efektif
antara pendekatan problem based learning dan problem posing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah. Analisis yang digunakan adalah uji Independent
Sampe t-Test. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh adalah 0,048. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05 yang artinya pendekatan
problem based learning lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan problem posing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah. Hasil analisis tersebut
sejalan dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti. Pendekatan problem based learning lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan problem posing ditinjau
dari kemampuan pemecahan masalah didukung oleh beberapa hal seperti penjelasan berikut.
Pada pendekatan problem based learning, siswa belajar materi melalui permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memberi kesempatan pada
siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki untuk memecahkan masalah yang disajikan yang berkaitan dengan kehidupan. Masalah
yang disajikan merupakan masalah yang diusahakan menarik dan berkaitan dengan materi yang akan di bahas yaitu perbandingan trigonometri pada sudut
khusus. Penyajian masalah yang dibuat menarik diharapkan dapat memancing siswa agar antusias mengikuti pembelajaran dan menunjukkan kepada siswa
bahwa materi yang akan dipelajari bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sejalan dengan Duch 2001: 48 dan Untarti 2015: 19 bahwa masalah
133 pada pembelajaran dengan pendekatan problem based learning haruslah masalah
yang menarik dan menunjukkan kepada siswa bahwa materi yang akan dipelajari berguna dalam kehidupan sehari-hari. Adanya penyajian masalah yang dekat
dengan kehidupan sehari akan memudahkan siswa dalam memahami masalah tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa melalui pembelajaran dengan
pendekatan problem based learning, memberi masalah matematika kepada siswa dan meminta mereka menyelesaikannya, membuat mereka akan memperoleh
keyakinan dan melihat bahwa mereka berhasil memahami masalah yang diberikan Cazzola, 2008: 4-6.
Melalui masalah yang disajikan, siswa memahami masalah tersebut kemudian mengaitkannya dengan materi pelajaran, selanjutnya menemukan
pemecahan masalah bersama kelompok diskusi. Menurut Sanjaya 2006: 220-221 problem based learning merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih
memahami isi pelajaran. Pendukung pembelajaran dengan pendekatan problem based learning
adalah dengan adanya Lembar Kegiatan Siswa LKS yang berisi masalah yang harus siswa selesaikan. Lembar Kegiatan Siswa ini berisi masalah yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, pengorganisasian materi yang berkaitan dengan masalah, dan lembar pemecahan masalah. Siswa mengerjakan LKS tersebut ketika
proses pembelajaran secara berkelompok. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Juliana, Sugiatno Romal 2015: 10 bahwa faktor pendukung agar
pembelajaran dengan pendekatan problem based learning dapat terlaksana dengan baik adalah dengan merancang suatu LKS yang berisi masalah-masalah.
134 Kelompok diskusi ini, siswa bekerja sama memecahkan masalah, belajar
bersama, berkomunikasi, dan bertanggung jawab terhadap pembelajaran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Duch, Groh, Allen 2001: 7 dan Hmelo-Silver
2004: 236 bahwa dalam pendekatan problem based learning, siswa bekerja dalam kelompok belajar kecil, bersama-sama memperoleh pengetahuan,
berkomunikasi, dan mengumpulkan informasi. Dengan demikian, problem based learning membantu siswa dalam menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan
masalah. Seperti yang dinyatakan oleh Jonassen Hung 2008: 10 bahwa problem based learning meningkatkan penerapan pengetahuan siswa, pemecahan
masalah, dan keterampilan belajar mandiri dengan mengharuskan mereka untuk secara aktif mengartikulasikan, memahami, dan memecahkan masalah.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing tidak lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan problem based learning
diduga disebabkan karena beberapa kegiatan ketika pembelajaran berlangsung. Beberapa siswa yang menerima pembelajaran dengan pendekatan problem posing
merasa bahwa membuat soal merupakan kegiatan yang sulit karena belum terbiasa dan situasi yang disajikan merupakan soal yang membutuhkan pemahaman yang
lebih. Ketika siswa diberi situasi masalah, siswa harus memahami dahulu maksud dari situasi tersebut sebelum membuat soal. Jika siswa tidak bisa memahami maka
siswa tidak bisa membuat soal dengan tepat. Kurang pahamnya siswa terhadap situasi masalah yang diberikan, terkadang menjadikan siswa ragu melanjutkan
pembuatan soal. Hal ini sejalan dengan pendapat Arikan Unal 2015: 27, Arikan, Unal Ozdemir 2012: 930 dan Cai Hwang 2002: 403 yang
135 menyatakan bahwa beberapa siswa membuat soal pada tingkat yang lebih rendah
dari yang diharapkan dikarenakan siswa belum bisa memahmi situasi yang diberikan dan belum terbiasa dengan membuat soal berdasarkan situasi masalah
seperti pada kegiatan problem posing. Dengan demikian, siswa yang belum bisa membuat soal berdasarkan situasi yang diberikan maka siswa tersebut belum bisa
memecahkan masalah. Hal tersebut dikarenakan siswa belum mampu untuk memahami masalah dimana memahami masalah ini merupakan aspek pertama
dalam kemampuan pemecahan masalah sehingga menjadikan siswa belum tepat untuk
melanjutkan kemampuan
pemecahan masalah
yang seanjutnya
merencanakan penyelesaian masalah, melakukan penyelesaian masalah, dan mengecek kembai dan menyimpulkan.
Ada pula kondisi dimana suatu kelompok sudah bisa memahami situasi masalah yang diberikan, namun kurang bisa dalam membuat soal. Kelompok
dalam kondisi demikian, siswa diminta kembali untuk memahami kembali situasi masalah yang diberikan dan dikaitkan dengan materi yang sedang dipelajari.
Kondisi tersebut sejalan dengan Thobroni Mustofa 2011: 349-350 yang menyatakan bahwa pada pembelajaran problem posing, tidak semua siswa
terampil bertanya. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah bisa mencapai aspek kemampuan pemecahan masalah yang pertama yaitu memahami masalah. Namun,
siswa belum bisa membuat soal maka siswa belum bisa melakukan kegiatan selanjutnya yaitu merencanakan penyelsaian masalah, melakukan penyelesaian
masalah, dan mengecek kembali dan menyimpulkan.
136 Keadaan demikian menjadikan waktu yang dibutuhkan dalam membuat
soal lama. Walapun lama, siswa bisa membuat soal berarti siswa sudah bisa memahami masalah yang merupakan aspek kemampuan pemecahan masalah yang
pertama. Membutuhkan waktu pula untuk membuat penyelesaiaannya kemudian soal yang dibuat baru bisa ditukar dengan kelompok lain. Siswa yang sudah bisa
membuat penyelesaian maka siswa telah merencanakan penyelsaian masalah, melakukan penyelesaian masalah, dan mengecek kembali dan menyimpulkan
Setelah itu, soal yang diterima dari kelompok lain harus dikerjakan untuk menemukan solusi. Siswa yang bisa mengerjakan soal dari kelompok lain maka
siswa sudah menempuh aspek kemampuan pemecahan masalah mulai dari memahami masalah, merencanakan penyelsaian masalah, melakukan penyelesaian
masalah, dan
mengecek kembali
dan menyimpulkan.
Selanjutnya memperesentasikan soal dan solusi Hal tersebut sejalan dengan penyampaian
Thobroni Mustofa 2013: 350 bahwa pada problem posing waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan penyelesaiannya sehingga waktu
untuk evaluasi hanya sebentar. Waktu yang digunakan untuk membuat soal sampai bisa menyelesaikan masalah memerlukan waktu yang cukup banyak
sehingga pada fase memeriksa jawaban memperoleh alokasi waktu yang singkat.
137
C. Keterbatasan Penelitian