Latar Belakang Kajian Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Yang Menunjang Perikanan Berkelanjutan Pada Era Otonomi Daerah (Kasus Taman Nasional Bunaken dan Daerah Perlindungan Laut Blongko Sulawesi Utara)

1 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam yang dapat pulih seperti perikanan, mangrove dan terumbu karang dengan berbagai jenis asosiasinya, serta sumberdaya alam yang tidak dapat pulih seperti minyak bumi dan gas serta mineral yang mendukung perekonomian bangsa Indonesia. Kekayaan alam yang telah dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia sejak berabad-abad lalu tersebut memiliki potensi yang besar sebagai modal dasar pembangunan nasional. Sejalan dengan perkembangan waktu, pertambahan penduduk, serta desakan ekonomi yang semakin kuat menuntut manusia untuk mengekploitasi sumberdaya ikan secara maksimal, sebagian bahkan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Terkait dengan perkembangan dunia perikanan, Myers dan Worm 2003 menunjukkan data perikanan dunia yang semakin menurun sejak tahun 1960-2000. Hal ini diperkuat hasil penelitian Jackson et al. 2001 yang mengemukakan sejarah perikanan yang mengalami overfishing dan collapse pada wilayah pesisir dan laut, akibat mendapat tekanan berat dan derasnya desakan masyarakat yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Pengalaman penulis selama 20 tahun dalam menangani permasalahan- permasalahan di kawasan konservasi laut, menunjukkan bahwa kasus penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak bom dan bahan kimia beracun sering terjadi hampir di sebagian besar kawasan konservasi laut di Indonesia. Beberapa kasus yang menonjol bahkan terjadi di dalam kawasan konservasi seperti yang terjadi di Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Karimun Jawa, Taman Nasional Bunaken, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Taka Bonerate serta Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang. Ternyata selain desakan kebutuhan ekonomi, derasnya arus eksploitasi di kawasan konservasi laut disebabkan juga oleh sistem pengelolaan yang kurang akomodatif dengan perkembangan situasi pemerintahan dan kebutuhan masyarakat lokal. 2 Pengelolaan kawasan konservasi laut saat ini cenderung bersifat sentralistik. Mekanisme dan seluruh tahapan proses penetapan kawasan konservasi serta perencanaan sumberdaya manusia dan sistem pendanaan bersifat top-down , dilaksanakan oleh pemerintah pusat cq Departemen Kehutanan. Peran pemerintah daerah sangat terbatas dan masyarakat lokal kurang dilibatkan. Beberapa permasalahan dan pelanggaran pelanggaran yang terjadi di lapangan belum ditangani dengan baik oleh pengelola kawasan konservasi dan kurang mendapat dukungan kuat dari pemerintah daerah. Kebijakan dan peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi laut yang ada saat ini belum menunjukkan visi dan misi yang menunjang pembangunan yang berwawasan lingkungan, dan bahkan terkesan bahwa kebijaksanaan di bidang konservasi sering kali tidak berdaya dan terkalahkan manakala dihadapkan pada persoalan penambanganeksploitasi yang menjanjikan keuntungan ekonomi yang secara langsung dapat diukur dengan nilai rupiah. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa dukungan kebijakan pemerintah pusat belum menempatkan kondisi yang setara antara kepentingan konservasi dengan kepentingan ekonomi. Perkembangan sistem pemerintahan dewasa ini dengan mengedepankan pendekatan desentralistik dalam sistem pemerintahan modern, telah menempatkan eksistensi, legitimasi pemerintah daerah dan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi laut semakin jelas. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan lingkungan bagi kehidupan yang sehat dan keterkaitan pengelolaan kawasan konservasi laut yang memiliki nilai penting untuk menunjang pembangunan perikanan. Untuk membuktikan nilai penting dan peran kawasan konservasi laut bagi kepentingan ekonomi, khususnya dalam pembangunan perikanan, telah dilakukan berbagai penelitian di beberapa negara Pisco, 2002. Berikut ini resume peranan kawasan konservasi laut bagi perikanan hasil penelitian di beberapa negara yang dipresentasikan oleh Sumardja 2002 pada lokakarya dengan topik MPA, yang diselenggarakan pada bulan Mei 2002 di Bangkok, Thailand sebagai berikut : 3 1 Peningkatan produksi telur ikan di dalam kawasan konservasi laut hingga 10 kali lipat. 2 Kelimpahan jumlah ikan di dalam kawasan konservasi laut hingga 2 sampai 9 kali lipat. 3 Peningkatan ukuran rata-rata ikan di dalam kawasan konservasi laut antara 33 – 300 . 4 Peningkatan keanekaragaman species di dalam kawasan konservasi laut antara 30 – 50 . 5 Peningkatan hasil tangkapan ikan di luar cagar alam antara 40 – 90 . Hasil lokakarya World Commission and Protection Areas di Bangkok, Thailand, antara lain merekomendasikan untuk merancang kembali kawasan konservasi laut sejalan dengan perkembangan regulasi yang berkembang. Untuk merespon hal ini, Indonesia telah menindaklanjuti dengan menyelenggarakan Lokakarya Pre-Konas III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir yang diselenggarakan di Bali dengan tema utama Konservasi dan Daerah Perlindungan Laut di Indonesia. Ancaman dan permasalahan kerusakan sumberdaya hayati laut yang terjadi di berbagai wilayah tentunya akan berdampak serius dan menyebabkan degradasi sumberdaya, apabila tidak ditangani dengan baik serta tidak dirumuskan dalam sebuah kebijakan pengelolaan yang mampu mendukung keberlanjutan pembangunan perikanan dan kelautan. Untuk menjawab tantangan ke depan tentunya memerlukan pemikiran untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan masyarakat lokal agar lebih banyak berkiprah dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi laut yang mendukung perikanan berkelanjutan. 1.2 Perumusan Masalah Ancaman serius terhadap sektor kelautan dan perikanan antara lain: 1 Pemanfaatan berlebih over exploitation terhadap sumber daya hayati, 2 Penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, 3 Perubahan dan degradasi fisik habitat, 4 Pencemaran, 5 Introduksi spesies asing, 6 Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya 4 dan 7 Perubahan iklim global serta bencana alam. Akar permasalahan munculnya beberapa ancaman terhadap tersebut disebabkan karena tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan kemiskinan, tingkat konsumsi berlebihan dan penyebaran sumberdaya yang tidak merata, kelembagaan, kurangnya pemahaman tentang ekosistem, dan kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam. Untuk mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi laut yang efektif, ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan kunci yang relevan dengan tesis ini: Apa batasan atau definisi serta ruang lingkup teknis kawasan konservasi laut dalam kontek paradigma baru?; Prinsip-prinsip pengelolaan kawasan konservasi laut yang perlu dikembangkan?; Lembaga mana yang relevan dengan arah pengelolaan kawasan konservasi laut ke depan?; Bagaimana bentuk dan berapa ukuran luas kawasan konservasi laut yang ideal?; Peraturan perundangan- undangan dan persiapan seperti apa yang perlu dipersiapkan untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi laut?; Faktor-faktor kekuatan dan kelemahan apa yang dominan mempengaruhi keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi laut?; Bagaimana upaya untuk memaksimalkan peluang dan kekuatan pengelolaan kawasan konservasi laut untuk mewujudkan perikanan yang berkelanjutan?; serta kebijakan seperti apakah yang paling tepat untuk mencapai pengelolaan kawasan konservasi laut yang mampu mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan? Mengingat permasalahan yang dihadapi sangat kompleks, maka penelitian ini memfokuskan pada faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi laut serta merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan kawasan konservasi laut yang menunjang perikanan yang berkelanjutan pada era otonomi daerah dengan mengambil lokasi penelitian di Taman Nasional Bunaken dan Daerah Perlindungan Laut Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.

1.3 Tujuan Penelitian