Dukungan Peraturan Perundang-undangan dan Kelembagaan

85 kepada pemahaman wilayah pesisir coastal zone. Ruang lingkup dan batasan kawasan konservasi laut sangat terbatas pada wilayah pasang surut, walaupun didalamnya termasuk kawasan pesisir dan pulau pulau kecil. Batasan ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi pengertian KKL. Pertama, pengertian KKL dimaksud sangat sempit, hanya mencakup wilayah pasang surut intertidal zone. Kedua, definisi di atas belum mengakomodasikan pengertian KKL untuk perairan di dalam dan di luar 12 mil laut serta perairan laut dalam high seas. Saat ini sedang dibahas inisiasi pembentukan KKL di perairan laut dalam oleh para pakar konservasi dunia melalui forum pertemuan internasional, sehingga definisi yang dirumuskan FGD belum mengantisipasi wacana yang berkembang. Sejalan dengan pengertian KKL menurut IUCN dan rumusan tim pakar, serta mengantisipasi perkembangan KKL ke depan, maka penulis menyampaikan gagasan definisi KKL sebagai kawasan pesisir dan lautan tertentu, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara-cara lain yang efektif, baik sebagian maupun seluruh lingkungan alamnya . Pengertian kawasan pesisir mengacu pada kesepakatan umum di dunia yang dikemukakan Dahuri et al. 2001 dengan memodifikasi kata wilayah menjadi kawasan, definisi kawasan pesisir adalah suatu kawasan peralihan antara daratan dan lautan. Penggunaan istilah kawasan konservasi laut KKL disepakati pula sebagai terjemahan resmi dari marine mrotected area MPA. KKL dapat mencakup areal yang cukup luas seperti taman nasional 1 juta ha, maupun kawasan konservasi laut yang berskala kecil seperti daerah perlindungan laut 10 ha. Dengan demikian pengertian KKL di Indonesia antara lain meliputi KSA, KPA, kawasan konservasi laut daerah KKLD serta daerah perlindungan laut DPL pada skala desa. Penulis menyarankan pula penggunaan satuan ukuran luas KKL dari hektar menjadi satuan luas km2 dengan satuan jarak mil laut. Penggunaan satuan luas hektar umumnya digunakan di daratan.

6.3 Dukungan Peraturan Perundang-undangan dan Kelembagaan

Aspek regulasi yang mengatur KKL dikelompokan sebagai sumber hukum utama yang mengatur secara langsung kawasan konservasi laut dan sumber 86 hukum pendukung. Sumber hukum utama TN Bunaken adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Khusus untuk DPL Blongko diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat dan Peraturan Desa Blongko. Beberapa produk legalitas lainnya yang terkait dengan kawasan konservasi di Indonesia, baik produk nasional seperti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden atau peraturan presiden maupun dalam bentuk produk daerah seperti peraturan daerah, keputusanperaturan bupati, serta keputusan desa. Menurut Knight dan Lowry 2003 serta Patlis 2003, terdapat 22 undang-undang yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Terdapat 3 tiga undang-undang yang menjadi sumber hukum utama yang terkait langsung dengan KKL, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAH dan E, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Ketiga undang-undang tersebut memiliki kesamaan pada obyek pengaturan konservasi. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan bahwa UU No 5 Tahun 1990 lebih menekankan pada perlindungan biodiversitas dengan bertumpu pada tiga misi strategi konservasi dunia tetapi tidak memberikan pengaturan yang tegas bagi masyarakat lokal untuk pemanfaatan perikanan. Pendekatan manajemen yang dikembangkan sangat sentralistis. Pasal 13 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan secara jelas memberikan mandat bahwa dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetika ikan. Dengan demikian pengelolaan kawasan konservasi laut merupakan bagian yang tidak terpisahkan inherent dari perikanan berkelanjutan. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang sedang disusun sebagai turunan dari Undang Undang Perikanan memberikan mandat kepada pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupatenkota untuk mengelola kawasan konservasi laut yang berada di wilayah kewenangannya, termasuk kawasan konservasi sekala desa maupun lingkungan masyarakat adat. 87 Pasal 18 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas memberikan mandat dan legitimasi yang kuat kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut yang menjadi kewenangan daerah, termasuk konservasi. Taman Nasional Bunaken yang memiliki luas lebih kurang 89.065 Ha, pengelolaannya dirancang dengan sistem zonasi. Pengelolaan kawasan dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Bunaken, Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Secara historis sektor kehutanan dan perikanan berada dalam satu atap, yaitu berada dibawah Departemen Pertanian. Kehutanan berkembang lebih awal menjadi departemen tersendiri dan melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi sejak tahun 1970-an. Strategi konservasi laut dikembangkan mengacu pada strategi konservasi dunia sebagai berikut: 1 Perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; 2 Pengawetan keanekaragaman jenis sumberdaya alam laut dan ekosistemnya, yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia; 3 Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam laut dan ekosistemnya, yaitu pengendalian cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam laut dan ekosistemnya yang dilakukan secara serasi dan seimbang, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Namun demikian, fakta di lapangan masih sering terjadi konflik antara masyarakat lokal yang bermata pencaharian sebagai nelayan dengan pengelola kawasan taman nasional yang bertugas mengamankan kawasan konservasi. Untuk mengantisipasi konflik dengan masyarakat nelayan, perlu adanya perubahan kebijakan dan paradigma pengelolaan TN Bunaken yang dapat memberikan peluang bagi mata pencaharian nelayan melalui pengaturan zonasi dan alat tangkap yang selektif di TN Bunaken. Sejalan dengan mandat Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2001, Departemen Kelautan 88 dan Perikanan DKP memiliki tugas pokok dan fungsi serta tanggung jawab melaksakan konservasi sumberdaya ikan, termasuk didalamnya menetapkan taman nasional laut. Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi di atas, DKP telah membentuk Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K. DKP memfasilitasi pemerintah daerah untuk membangun kawasan konservasi laut sesuai dengan kewenangannya. Sampai dengan akhir tahun 2006 terdapat 17 bupati yang telah mendeklarasikan kawasan konservasi laut daerah KKLD dengan luas keseluruhan lebih kurang 2 juta hektar, termasuk kawasan konservasi laut berskala kecil yang dikukuhkan oleh peraturan desa. Terbitnya sumber hukum yang memberikan mandat kepada departemen teknis yang berlainan tupoksi dalam mengelola kawasan konservasi, terkesan telah menimbulkan dualisme pengelolaan KKL. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan secara historis telah merintis upaya konservasi, khususnya pengelolaan kawasan konservasi daratan hutan memiliki kekuatan hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam untuk mengelola kawasan konservasi, termasuk di dalamnya kawasan konservasi di perairan. DKP sebagai departemen teknis memiliki tanggung jawab dan kewenangan di bidang kelautan dan perikanan DPL Blongko merupakan kawasan konservasi laut yang memiliki luas kawasan relatif kecil sekitar 25 ha, berfungsi sebagai daerah perlindungan bagi habitat sumberdaya ikan. Pengelolaan DPL Blongko dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut berdasarkan Keputusan Hukum Tua Desa Blongko. Pengawasan daerah perlindungan dilakukan oleh kelompok masyarakat yang dibentuk masyarakat Desa Blongko sendiri, sehingga dapat lebih efektif. Aktifitas penangkapan ikan dilakukan diluar daerah perlindungan laut. Melalui pengaturan desa yang disepakati bersama, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi ditangani oleh kelompok pengelola DPL dengan penggunaan anggaran biaya relatif lebih kecil. Penanganan perkara dimulai dengan pemberian peringatan 1 sampai 3 dan proses pengadilan dilaksanakan apabila pelaku pelanggaran tidak mengindahkan peringatan sebelumnya. 89 Tujuan utama penetapan DPL blongko sangat jelas, yaitu untuk kepentingan perikanan, sedangkan tujuan penetapan TN Bunaken lebih berorientasi pada pengembangan pariwisata bahari. Kesadaran tentang manfaat konservasi laut telah dimiliki oleh masyarakat Desa Blongko, bahkan mereka menyebut kawasan DPL sebagai daerah tabungan ikan yang harus mereka jaga dan lindungi untuk masa depan anak cucu mereka. Pengembangan kawasan konservasi laut berbasis masyarakat semacam ini agar tetap dipertahankan dan dikembangkan agar dapat mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, karena secara ekologis akan menghasilkan habitat yang tidak terganggu untuk pemijahan, meningkatkan jumlah stok ikan, serta dapat memperbanyak jumlah induk dan larva ikan. Pengembangan kawasan konservasi laut yang dikembangkan masyarakat tidak hanya terbatas pada pola budaya masyarakat setempat seperti penerapan adat istiadat yang sudah lama dikenal dan dipraktekan, akan tetapi juga mencakup pada pola-pola yang dikembangkan oleh para praktisi lingkungan bersama-sama dengan masyarakat setempat. Oleh karena itu pada era otonomi daerah ini, pengembangan kawasan konservasi laut dengan rancangan multi-tujuan sangatlah tepat, karena akan menyeimbangkan antara semangat untuk melindungi, memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya alam laut di daerah. Perda pengelolaan wilayah pesisir juga sangat dibutuhkan untuk memayungi pengembangan konservasi laut di daerah.

6.4 Faktor Dominan, Strategi dan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut