Alat Pengumpulan Data Analisis Data

17 b. Bahan hukum sekunder adalah hasil penelitian para ahli hukum yang termuat dalam literatur, jurnal maupun artikel, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pasal-pasalnya mengatur dan berhubungan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus umum, ensiklopedia hukum yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan sistematisasi literatur yang berkaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan tentang hak warisan anak angkat yang masih di bawah umur. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan penelitian yang dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan cara menelaah dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar belakang pemikiran tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam pengurusan dan pengelolaan harta warisan milik anak angkat.

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data adalah Universitas Sumatera Utara 18 proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. 28 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis yang bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks karena terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi keragaman. 29 Dengan demikian kegiatan analisis data ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang diharapkan dapat memberikan kesimpulan solusi yang baik dan benar yang dilakukan dengan menggunakan metode analisa dedukatif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya mengambil hal- hal yang khusus sebagai kesimpulan sekaligus jawaban dari permasalahan dan tujuan penelitian ini. 30 28 Lexy J. Moleong, Opcit, hal. 103 29 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Pengurusan Modal Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 53 30 Sumadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal.16. Universitas Sumatera Utara 19

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT

DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA

A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata

Sejak diundangkannya Staatblad. 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917 juncto Staatblad. 1924-557 yang diundangkan pada tanggal 1 Maret 1975 dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum keluarganya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak berlaku juga bagi golongan Timur Asing Tionghoa 31 . Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUH Perdata tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang pengangkatan anak. Pengangkatan anak di kalangan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan karena menurut tradisi, seorang laki-laki harus mempunyai anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunannya. 32 Pengangkatan atas 3 tiga orang anak di bawah umur yang berada di bawah perwalian Nyonya Amini Nurdin masing-masing bernama Viviani, Vincent dan Vernia Everlim menggambarkan bahwa pengangkatan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak lagi mengharuskan mengangkat anak laki-laki. 31 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 78. 32 I b i d, hal. 79. 19 Universitas Sumatera Utara 20 Semula pengangkatan anak bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa diharuskan mengangkat anak laki-laki. Namun dalam perkembangannya dimungkinkan pengangkatan anak perempuan yaitu berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 9071963 tertanggal 29 Mei 1963 yang menetapkan tentang pengangkatan anak perempuan, dalam hal ini secara otomatis kedudukan anak angkat perempuan ini dipersamakan dengan anak angkat laki-laki. Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung, 33 dan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga apabila orangtua angkat meninggal dunia maka anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya tersebut. Akibat hukum yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian orangtua angkat adalah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orangtua angkat yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak dan kewajiban tersebut diatur oleh hukum kewarisan. 34 Hukum kewarisan memuat ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan berwujud atau tidak berwujud dari pewaris kepada para ahli warisnya. 35 33 Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya, Bandung, 1992, hal. 52. 34 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 1995, hal. 1 35 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 8 Universitas Sumatera Utara 21 Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari dua jenis, yaitu ahli waris ab intestato menurut undang-undang dan ahli waris testamentair menurut surat wasiat. 36 Mengenai ahli waris, dalam KUH Perdata digolongkan menjadi 4 empat golongan, yaitu : 1. Anak atau keturunannya dan isteri suami yang masih hidup; 37 2. Orang tua bapak dan ibu dan saudara pewaris; 38 3. Kakek dan nenek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas. 39 4. Sanak keluarga dalam garis kesamping sampai derajat ke enam. 40 Sebagaimana diketahui bahwa masalah pengangkatan anak adopsi tidak diatur dalam KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata yang diatur hanyalah pengakuan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada BUKU I Bab XII bagian III Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 KUH Perdata. Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan saat ini, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin, tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas. 41 Pengangkatan anak dalam hukum perdata barat dikenal dengan istilah adopsi yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917, yang merupakan satu-satunya pelengkap bagi KUH Perdata yang memang tidak mengatur 36 Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta Khusus Warisan, Medan Pustaka Bangsa Press, 2010, hal. 23. 37 Pasal 852 KUH Perdata 38 Pasal 854, 856 dan 857 KUH Perdata 39 Pasal 853 KUH Perdata 40 Pasal 861 ayat 1 KUH Perdata 41 Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakata, 2007, hal.174. Universitas Sumatera Utara 22 masalah adopsi. Adopsi yang termuat dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut di atas hanya berlaku untuk golongan Timur Asing Tionghoa. Pasal 5 huruf a Ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut menyebutkan, “Suami, istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis keturunan laki-laki, baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya dari seorang janda cerai mati yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat”. Pasal 6 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Yang boleh diangkat adalah anak tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak serta tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain”. Pasal 7 ayat 1 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “ Usia anak laki-laki yang diangkat harus 18 delapanbelas tahun lebih muda dari suami dan 15 limabelas tahun lebih muda dari istri. Pasal 10 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa, “Adopsi harus dilakukan atas dasar kata sepakat, dan pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris”. Pasal 15 ayat 1 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak”. Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan”. Secara yuridis formal, motif pengangkatan anak tidak ada ketentuannya, akan tetapi secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat tionghoa adalah agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki- Universitas Sumatera Utara 23 laki. “Selanjutnya Pasal 15 ayat 2 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum. Disamping itu adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal demi hukum”. Akibat hukum pengangkatan anak adalah bahwa anak angkat tersebut mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat seperti anak yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus. Penerimaan anak angkat sebagai keluarga adoptan datang tidak hanya dari keluarga adoptan, tetapi juga dari masyarakat lingkungannya. 42 Ada 3 tiga akibat hukum dari pengangkatan anak yaitu: 43 a. Memberikan ketentuan bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya b. Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal, penderajatan keluarga sedarah dan semenda dalam bidang hukum perkawinan, Ketentuan pidana didasarkan atas keturunan, perhitungan biaya perkaradan penyanderaan, mengenai pembuktian dengan saksi, mengenai saksi dalam pembuatan akta otentik. Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi terputus, maka hal ini berakibat pula pada hukum waris, yaitu anak angkat tersebut tidak lagi mewaris 42 J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Angkat Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.192-193 43 I b i d, hal 194. Universitas Sumatera Utara 24 dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Pasal 11 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah, “Anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”. Selanjutnya Pasal 12 ayat 1 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa, “Anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekuensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsinya”. Anak adopsi dipersamakan kedudukan dan derajatnya dengan anak sah yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengadopsi anak tersebut dengan segala konsekuensi hukumnya, khususnya di bidang hukum waris, dimana anak adopsi tersebut berhak mewarisi harta kekayaan orang tua yang mengadopsinya bersama-sama dengan anak sah yang dilahirkan dari perkawinan suami-istri yang mengadopsinya. 44 Dalam kasus ini Viviani, Vincent dan Vernia Everlim selaku Anak Angkat yang sah diangkat berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri memiliki status dan kedudukan yang sama dengan anak kandung sehingga merupakan ahli waris golongan pertama. Artinya mereka akan menutup atau menghalangi hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. 44 Herwando Pramanto, Hak Mewaris Anak Angkat Menurut KUH Perdata, Pustaka Ilmu, Surabaya, 2006, hal.28. Universitas Sumatera Utara 25 Golongan ahli waris ditetapkan secara berurutan tetapi tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewaris semua harta peninggalan pewaris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan kedualah yang berhak sebagai ahli waris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan kedua, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan ketigalah yang berhak mewaris. Jika semua golongan ini tidak ada barulah mereka yang termasuk dalam golongan ke empat secara bertingkat berhak mewaris. Jika semua golongan ini sudah tidak ada, maka negaralah yang mewaris semua harta peninggalan pewaris. 45

B. Perwalian Anak Di Bawah Umur

Menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia setiap orang dapat menjadi subyek hukum, akan tetapi ada subyek hukum yang tidak sempurna artinya bahwa subyek hukum itu hanya mempunyai kehendak tetapi tidak mampu untuk menuangkan kehendaknya di dalam perbuatan hukum. Subyek hukum yang tidak sempurna tersebut diantaranya adalah : a. Orang-orang yang belum dewasaanak di bawah umur; b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 45 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, Bandung, hal. 266. Universitas Sumatera Utara 26 c. Orang-orang perempuan wanita dalam perkawinan. 46 Mengenai subyek hukum yang tidak sempurna, yaitu orang-orang yang belum dewasa, menurut Pasal 330 KUH Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin sebelumnya, 47 sedangkan wanita dalam perkawinan sejak dikeluarkannya SEMA Nomor 03 Tahun 1963, maka kedudukan wanita dalam perkawinan dianggap cakap menurut hukum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hal anak angkat masih di bawah umur, maka ketika orangtua angkat meninggal dunia negara berkewajiban dan bertanggungjawab untuk menjamin kepentingan anak-anak di bawah umur tersebut. Tanggungjawab negara terhadap anak-anak di bawah umur diwujudkan dengan menetapkan wali perwalian bagi anak-anak tersebut melalui penetapan Hakim. Perwalian voogdij adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua sehingga pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang- undang. 48 Perwalian adalah pengawasan anak di bawah umur. 49 Perwalian merupakan suatu perbuatan hukum yang melahirkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban sehingga dalam pelaksanaannya dituntut harus sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Bahwa mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah 46 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Internusa, Bandung, 1994, hal. 341. 47 R. Subekti dan R.Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 90 48 R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2003, hal.42 49 Ibid, hal.53 Universitas Sumatera Utara 27 kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab kelimabelas. 50 Sistem perwalian menurut KUH Perdata dikenal beberapa asas, yakni :

1. Asas tak dapat dibagi-bagi

Dokumen yang terkait

Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

18 243 107

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian menurut undang-undang no.23 th.2002 tentang perlindungan anak : ( analisis putusan perkara mahkamah agung no.349 K/AG/2006 )

0 12 88

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata - Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus P

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2161 K/PDT/2011)

0 0 18

Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2161 K/PDT/2011)

0 0 16