Analisis manfaat ruang terbuka hijau untuk peningkatan kualitas ekosistem kota Bogor dengan menggunakan metode GIS

(1)

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK

MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR

DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS

ARIEV BUDIMAN

A34203009

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(2)

RINGKASAN

ARIEV BUDIMAN. A34203009. Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk Meningkatkan Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS. Dibimbing oleh Dr. Ir. BAMBANG SULISTYANTARA, MAgr.

Bogor sebagai salah satu kota besar di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pembangunan yang signifikan. Korelasi dari pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatnya pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan masyarakat meningkat, indek kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota makin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan, kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau (RTH) semakin berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan industri yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas ekosistem Kota Bogor.

Pada penelitian ini akan dikaji dan dianalisis sejauh mana manfaat RTH untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem di Kota Bogor melalui pendekatan kuantitatif terhadap kualitas udara, penyimpanan karbon, dan daya serap karbon. Penelitian ini pada prinsipnya ingin menyampaikan bahwa RTH memberikan pelayanan ekosistem pada Kota Bogor yang dapat diukur, sehingga dapat memberikan gambaran kepada pemerintah Kota Bogor bahwa betapa pentingnya menjaga serta meningkatkan luasan RTH yang dimiliki sebagai sebuah aset berharga. Disamping itu juga memberikan pemahaman kepada masyarakat umum untuk menjaga dan melestarikan RTH yang berada pada disekitar lingkungan mereka.

Penelitian ini menggunakan metode GIS untuk menganalisis manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bogor ditinjau dari ekosistemnya. Metode GIS yang dimaksud adalah menggunakan data spasial yang berupa citra satelit Quickbird tahun 2006 dan data atribut berupa curah hujan, kelembaban, topografi, tataguna lahan, jenis tanah, kualitas udara, hidrologi, dll. Proses analisis GIS dibantu oleh perangkat lunak ArcView 3.2 serta ekstensi CITYgreen 5.4, Xtool, Image Analyst, Spatial Analyst. Hasil dari analisis GIS untuk Kota Bogor menghasilkan peta RTH dan distribusi penutupan lahan serta tingkat pelayanan RTH yang dihitung berdasarkan kualitas udara, kapasitas penyimpanan karbon, dan daya serap karbon

Peta RTH Kota Bogor yang dihasilkan terdiri dari dua klasifikasi yaitu canopy (wilayah yang terdiri dari kanopi pohon yang didigitasi berdasarkan tampak atas citra satelit quickbird tahun 2006) dan noncanopy (wilayah yang didigitasi terdiri dari semak, lahan pertanian, sawah, padang rumput, perumahan, daerah industri, daerah perdagangan, serta badan air yang berasal dari citra satelit quickbird tahun 2006). Distribusi penutupan lahan Kota Bogor dengan menggunakan citra satelit quickbird tahun 2006 yaitu: Tanaman Pangan/ Pertanian : 8% (985,99 ha); Ruang Terbuka/ Padang Rumput/ Sawah : 18% (2.112,34 ha); Semak : 5% (551,99 ha); Kanopi


(3)

Pohon (komponen utama RTH) : 17% (2.005,21 ha); Lahan Perkotaan : 49% (5.807,70 ha); Badan Air : 2 % (220,63 ha).

Kualitas udara didapatkan dari hasil perhitungan kemampuan ekologis RTH Kota Bogor pada tahun 2006 dalam menyerap polutan diudara yang terdiri dari gas NO2 sebesar 14,587 ton/tahun, SO2 sebesar 14,599 ton/tahun, CO sebesar 0,620

ton/tahun, O3 sebesar 90,463 ton/tahun dan materi partikel yang kurang dari 10

mikron (Pb dan debu) sebesar 72,438 ton/tahun. Total polutan yang dapat diserap pertahun sebesar 213,949 ton atau setara dengan Rp. 11.255.040.000,-. Pada tahun yang sama kemampuan RTH Kota Bogor dalam menyerap karbon (gas CO2) sebesar

758 ton/tahun dan kapasitas penyimpanan karbon sebesar 267.220 ton.

Data dari Master Plan RTH Kota Bogor tahun 2007, Kota Bogor menghasilkan polutan udara gas NO2 sebesar 52,377 ton/tahun, SO2 sebesar 14,599

ton/tahun, CO dan CO2 sebesar 477 ton/tahun, O3 sebesar 7,11 ton/tahun dan materi

partikel yang kurang dari 10 mikron (Pb dan debu) sebesar 102,51 ton/tahun (pengukuran dilakukan tahun 2005). Jika dibandingkan dengan hasil analisis GIS secara keseluruhan keberadaan RTH Kota Bogor yang ada masih bisa menjaga kualitas udara di Kota Bogor, namum ada beberapa ambien yang melebihi kapasitas penyerapan oleh RTH Kota Bogor yaitu ambien NO2 dan materi partikel yang kurang

dari 10 mikron (Pb dan debu) sehingga penambahan luasan RTH dan pemilihan pohon yang memiliki daya serap polutan yang tinggi sangat diperlukan sekali untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor .

Pada lahan perkotaan bila diteliti lebih lanjut akan mendapatkan manfaat tambahan karena dari struktur lahan perkotaan di Kota Bogor terdapat juga RTH selain dari pohon. RTH tersebut antara lain lahan pertanian, sawah, semak, rumput, dan pohon kecil. Manfaat yang didapat sangat besar sekali jika semua komponen RTH dianalisis untuk meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor.


(4)

©Hak Cipta Milik Ariev Budiman, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya


(5)

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK

MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR

DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS

Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ARIEV BUDIMAN A34203009

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk

Meningkatkan Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS

Nama Mahasiswa : Ariev Budiman

NRP : A34203009

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. NIP : 19601022-198601-1-001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. NIP : 19571222-198203-1-002


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 16 Maret 1985, merupakan anak pertama dari empat bersaudara dalam keluarga Zainal Arifin dan Eniyarti.

Pendidikan dasar diselesaikan di SD Negeri 14 Marunggi, Kota Pariaman pada tahun 1997. Pendidikan menengah diselesaikan di SLTP Negeri 1 Kota Pariaman pada tahun 2000 dan SMU Negeri 1 Kota Pariaman pada tahun 2003.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2003 pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama masa perkuliahan penulis aktif di lembaga keprofesian di Studio Pro Arsitektur Lanskap dan bersama teman-teman angkatan 40 serta kakak kelas angkatan 39, 38, 37, 36 membentuk suatu wadah keprofesian ditingkat mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap yang bernama Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) serta pernah mengikuti kongres pertama pembentukan Perhimpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap Indonesia (PERHIMALI) di Bogor. Penulis juga aktif di Lembaga Dakwah Kampus diantaranya Lembaga Studi Islam Faperta (eL-SIFA) dan Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM), serta pernah

menjadi ketua panitia pada acara Islamic Civilization Exhibition di koridor utama

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Pada pertengahan tahun 2007 penulis sudah mulai merintis karir dari surveyor pada pekerjaan Penyusunan Database Pohon untuk DKI Jakarta, beberapa bulan kemudian menjadi surveyor utama untuk pengerjaan Master Plan Kawasan Peternakan Sapi untuk Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur.

Pada awal tahun 2008, penulis mendapat pekerjaan desain, pelaksanaan dan pemeliharaan di perusahaan PT. Rajawali Nusantara Indonesia PG Subang sebagai pimpinan proyek. Pertengahan April 2008, penulis dilibatkan dalam pengerjaan Master Plan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu sebagai pembantu tenaga ahli. Penulis dapat kepercayaan kembali sebagai surveyor utama pada pengerjaan Master Plan PKK Sampoerna tahap II dari PT HM Sampoerna Pandaan, Jawa Timur bekerja sama dengan PT. Primakelola IPB dan pengerjaan Master Plan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kabupaten Halmahera Barat. Pada tahun 2009, penulis masih berkecimpung dibidang surveyor sampai akhrinya


(8)

diterima bekerja di perusahaan nasional yang bergerak dibidang pariwisata alam dan alhamdulillah sekarang menjadi salah satu manajer diperusahaan tersebut.

Di bidang akademik penulis pernah menjadi asisten untuk mata kuliah Rekayasa Lanskap pada TA 2007-2008 dan 2008-2009 serta ditunjuk kembali untuk TA 2009-2010. Selain itu, pada saat ini penulis juga sedang menyusun buku panduan pratikum lapang untuk mata kuliah Rekayasa Lanskap bersama Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. dan Ir. Indung Siti Fatimah, MSi.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga pelaksanaan dan penyusunan tulisan skripsi dengan

judul : Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk Meningkatkan

Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS dapat terlaksana dengan baik.

Tulisan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan dan penulisan dilakukan melalui kegiatan Penelitian di Kota Bogor dari bulan Oktober 2009 sampai bulan Desember 2009.

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibunda Hj. Eniyarti dan Ayahanda Zainal Arifin yang telah memberikan

kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

2. Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. yang telah membimbing saya dalam

menyelesaikan penelitian ini.

3. Dr. Ir. Nurhayati HSA, MSc. sebagai pembimbing akademik selama

kuliah.

4. Ir. Indung Siti Fatimah, MSi. dan Ir. Qodarian Pramukanto, MSi. yang telah bersedia menjadi dosen penguji.

5. Dosen – dosen lanskap lainnya yang telah memberikan ilmunya kepada

penulis.

6. Teman – teman lanskap angkatan 40 yang telah menjadi teman baik

penulis selama ini serta kakak kelas angkatan 39, 38, 37, 36, 35, 34.

Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi berbagai pihak yang memerlukan. Dan semoga kita selalu dalam limpahan rahmat Allah SWT.

Bogor, Januari 2010


(10)

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ... viii

DAFTAR TABEL... ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... ... 2

1.4 Batasan Penelitian ... ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Ruang Terbuka Hijau ... 4

2.2.1 Definisi ... 4

2.2.2 Tujuan, Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau ... 6

2.2.3 Luas dan Jenis Ruang Terbuka Hijau ... 22

2.2 Ekosistem Kota Bogor ... 25

2.3 Proses Fisiologis RTH Kota Bogor ... 27

2.3.1 Proses Fotosintesis ... 27

2.3.2 Proses Respirasi ... 35

2.3.3 Proses Translokasi ... 37

2.3.4 Rumah Tangga Air ... 39

2.3.5 Proses Transpirasi ... 41

2.3.6 Interaksi Lingkungan dan Persyaratan Fisiologis ... 43

2.4 Geographic Information System ... 45

2.5 Kapasitas Penyimpanan dan Daya Serap Karbon serta Kualitas Udara ... 46

BAB III METODOLOGI ... 48

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

3.2 Bahan dan Alat ... 49

3.3 Kerangka Pikir Penelitian ... 49


(11)

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK

MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR

DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS

ARIEV BUDIMAN

A34203009

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(12)

RINGKASAN

ARIEV BUDIMAN. A34203009. Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk Meningkatkan Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS. Dibimbing oleh Dr. Ir. BAMBANG SULISTYANTARA, MAgr.

Bogor sebagai salah satu kota besar di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pembangunan yang signifikan. Korelasi dari pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatnya pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan masyarakat meningkat, indek kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota makin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan, kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau (RTH) semakin berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan industri yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas ekosistem Kota Bogor.

Pada penelitian ini akan dikaji dan dianalisis sejauh mana manfaat RTH untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem di Kota Bogor melalui pendekatan kuantitatif terhadap kualitas udara, penyimpanan karbon, dan daya serap karbon. Penelitian ini pada prinsipnya ingin menyampaikan bahwa RTH memberikan pelayanan ekosistem pada Kota Bogor yang dapat diukur, sehingga dapat memberikan gambaran kepada pemerintah Kota Bogor bahwa betapa pentingnya menjaga serta meningkatkan luasan RTH yang dimiliki sebagai sebuah aset berharga. Disamping itu juga memberikan pemahaman kepada masyarakat umum untuk menjaga dan melestarikan RTH yang berada pada disekitar lingkungan mereka.

Penelitian ini menggunakan metode GIS untuk menganalisis manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bogor ditinjau dari ekosistemnya. Metode GIS yang dimaksud adalah menggunakan data spasial yang berupa citra satelit Quickbird tahun 2006 dan data atribut berupa curah hujan, kelembaban, topografi, tataguna lahan, jenis tanah, kualitas udara, hidrologi, dll. Proses analisis GIS dibantu oleh perangkat lunak ArcView 3.2 serta ekstensi CITYgreen 5.4, Xtool, Image Analyst, Spatial Analyst. Hasil dari analisis GIS untuk Kota Bogor menghasilkan peta RTH dan distribusi penutupan lahan serta tingkat pelayanan RTH yang dihitung berdasarkan kualitas udara, kapasitas penyimpanan karbon, dan daya serap karbon

Peta RTH Kota Bogor yang dihasilkan terdiri dari dua klasifikasi yaitu canopy (wilayah yang terdiri dari kanopi pohon yang didigitasi berdasarkan tampak atas citra satelit quickbird tahun 2006) dan noncanopy (wilayah yang didigitasi terdiri dari semak, lahan pertanian, sawah, padang rumput, perumahan, daerah industri, daerah perdagangan, serta badan air yang berasal dari citra satelit quickbird tahun 2006). Distribusi penutupan lahan Kota Bogor dengan menggunakan citra satelit quickbird tahun 2006 yaitu: Tanaman Pangan/ Pertanian : 8% (985,99 ha); Ruang Terbuka/ Padang Rumput/ Sawah : 18% (2.112,34 ha); Semak : 5% (551,99 ha); Kanopi


(13)

Pohon (komponen utama RTH) : 17% (2.005,21 ha); Lahan Perkotaan : 49% (5.807,70 ha); Badan Air : 2 % (220,63 ha).

Kualitas udara didapatkan dari hasil perhitungan kemampuan ekologis RTH Kota Bogor pada tahun 2006 dalam menyerap polutan diudara yang terdiri dari gas NO2 sebesar 14,587 ton/tahun, SO2 sebesar 14,599 ton/tahun, CO sebesar 0,620

ton/tahun, O3 sebesar 90,463 ton/tahun dan materi partikel yang kurang dari 10

mikron (Pb dan debu) sebesar 72,438 ton/tahun. Total polutan yang dapat diserap pertahun sebesar 213,949 ton atau setara dengan Rp. 11.255.040.000,-. Pada tahun yang sama kemampuan RTH Kota Bogor dalam menyerap karbon (gas CO2) sebesar

758 ton/tahun dan kapasitas penyimpanan karbon sebesar 267.220 ton.

Data dari Master Plan RTH Kota Bogor tahun 2007, Kota Bogor menghasilkan polutan udara gas NO2 sebesar 52,377 ton/tahun, SO2 sebesar 14,599

ton/tahun, CO dan CO2 sebesar 477 ton/tahun, O3 sebesar 7,11 ton/tahun dan materi

partikel yang kurang dari 10 mikron (Pb dan debu) sebesar 102,51 ton/tahun (pengukuran dilakukan tahun 2005). Jika dibandingkan dengan hasil analisis GIS secara keseluruhan keberadaan RTH Kota Bogor yang ada masih bisa menjaga kualitas udara di Kota Bogor, namum ada beberapa ambien yang melebihi kapasitas penyerapan oleh RTH Kota Bogor yaitu ambien NO2 dan materi partikel yang kurang

dari 10 mikron (Pb dan debu) sehingga penambahan luasan RTH dan pemilihan pohon yang memiliki daya serap polutan yang tinggi sangat diperlukan sekali untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor .

Pada lahan perkotaan bila diteliti lebih lanjut akan mendapatkan manfaat tambahan karena dari struktur lahan perkotaan di Kota Bogor terdapat juga RTH selain dari pohon. RTH tersebut antara lain lahan pertanian, sawah, semak, rumput, dan pohon kecil. Manfaat yang didapat sangat besar sekali jika semua komponen RTH dianalisis untuk meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor.


(14)

©Hak Cipta Milik Ariev Budiman, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya


(15)

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK

MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR

DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS

Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ARIEV BUDIMAN A34203009

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(16)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk

Meningkatkan Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS

Nama Mahasiswa : Ariev Budiman

NRP : A34203009

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. NIP : 19601022-198601-1-001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. NIP : 19571222-198203-1-002


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 16 Maret 1985, merupakan anak pertama dari empat bersaudara dalam keluarga Zainal Arifin dan Eniyarti.

Pendidikan dasar diselesaikan di SD Negeri 14 Marunggi, Kota Pariaman pada tahun 1997. Pendidikan menengah diselesaikan di SLTP Negeri 1 Kota Pariaman pada tahun 2000 dan SMU Negeri 1 Kota Pariaman pada tahun 2003.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2003 pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama masa perkuliahan penulis aktif di lembaga keprofesian di Studio Pro Arsitektur Lanskap dan bersama teman-teman angkatan 40 serta kakak kelas angkatan 39, 38, 37, 36 membentuk suatu wadah keprofesian ditingkat mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap yang bernama Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) serta pernah mengikuti kongres pertama pembentukan Perhimpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap Indonesia (PERHIMALI) di Bogor. Penulis juga aktif di Lembaga Dakwah Kampus diantaranya Lembaga Studi Islam Faperta (eL-SIFA) dan Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM), serta pernah

menjadi ketua panitia pada acara Islamic Civilization Exhibition di koridor utama

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Pada pertengahan tahun 2007 penulis sudah mulai merintis karir dari surveyor pada pekerjaan Penyusunan Database Pohon untuk DKI Jakarta, beberapa bulan kemudian menjadi surveyor utama untuk pengerjaan Master Plan Kawasan Peternakan Sapi untuk Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur.

Pada awal tahun 2008, penulis mendapat pekerjaan desain, pelaksanaan dan pemeliharaan di perusahaan PT. Rajawali Nusantara Indonesia PG Subang sebagai pimpinan proyek. Pertengahan April 2008, penulis dilibatkan dalam pengerjaan Master Plan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu sebagai pembantu tenaga ahli. Penulis dapat kepercayaan kembali sebagai surveyor utama pada pengerjaan Master Plan PKK Sampoerna tahap II dari PT HM Sampoerna Pandaan, Jawa Timur bekerja sama dengan PT. Primakelola IPB dan pengerjaan Master Plan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kabupaten Halmahera Barat. Pada tahun 2009, penulis masih berkecimpung dibidang surveyor sampai akhrinya


(18)

diterima bekerja di perusahaan nasional yang bergerak dibidang pariwisata alam dan alhamdulillah sekarang menjadi salah satu manajer diperusahaan tersebut.

Di bidang akademik penulis pernah menjadi asisten untuk mata kuliah Rekayasa Lanskap pada TA 2007-2008 dan 2008-2009 serta ditunjuk kembali untuk TA 2009-2010. Selain itu, pada saat ini penulis juga sedang menyusun buku panduan pratikum lapang untuk mata kuliah Rekayasa Lanskap bersama Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. dan Ir. Indung Siti Fatimah, MSi.


(19)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga pelaksanaan dan penyusunan tulisan skripsi dengan

judul : Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk Meningkatkan

Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS dapat terlaksana dengan baik.

Tulisan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan dan penulisan dilakukan melalui kegiatan Penelitian di Kota Bogor dari bulan Oktober 2009 sampai bulan Desember 2009.

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibunda Hj. Eniyarti dan Ayahanda Zainal Arifin yang telah memberikan

kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

2. Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. yang telah membimbing saya dalam

menyelesaikan penelitian ini.

3. Dr. Ir. Nurhayati HSA, MSc. sebagai pembimbing akademik selama

kuliah.

4. Ir. Indung Siti Fatimah, MSi. dan Ir. Qodarian Pramukanto, MSi. yang telah bersedia menjadi dosen penguji.

5. Dosen – dosen lanskap lainnya yang telah memberikan ilmunya kepada

penulis.

6. Teman – teman lanskap angkatan 40 yang telah menjadi teman baik

penulis selama ini serta kakak kelas angkatan 39, 38, 37, 36, 35, 34.

Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi berbagai pihak yang memerlukan. Dan semoga kita selalu dalam limpahan rahmat Allah SWT.

Bogor, Januari 2010


(20)

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ... viii

DAFTAR TABEL... ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... ... 2

1.4 Batasan Penelitian ... ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Ruang Terbuka Hijau ... 4

2.2.1 Definisi ... 4

2.2.2 Tujuan, Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau ... 6

2.2.3 Luas dan Jenis Ruang Terbuka Hijau ... 22

2.2 Ekosistem Kota Bogor ... 25

2.3 Proses Fisiologis RTH Kota Bogor ... 27

2.3.1 Proses Fotosintesis ... 27

2.3.2 Proses Respirasi ... 35

2.3.3 Proses Translokasi ... 37

2.3.4 Rumah Tangga Air ... 39

2.3.5 Proses Transpirasi ... 41

2.3.6 Interaksi Lingkungan dan Persyaratan Fisiologis ... 43

2.4 Geographic Information System ... 45

2.5 Kapasitas Penyimpanan dan Daya Serap Karbon serta Kualitas Udara ... 46

BAB III METODOLOGI ... 48

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

3.2 Bahan dan Alat ... 49

3.3 Kerangka Pikir Penelitian ... 49


(21)

x

3.4 Metode Penelitian ... 50

3.4.1 Metode Geographic Information System ... 51

BAB IV KEADAAN UMUM KOTA BOGOR ... 54

4.1 Fisik Dasar ... 54

4.1.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ... 54

4.1.2 Klimatologi ... 54

4.1.3 Topografi ... 54

4.1.4 Geologi ... 55

4.1.5 Hidrologi ... 55

4.1.6 Penggunaan Lahan ... 56

4.1.7 Pencemaran Udara ... 57

4.1.7.1 Sumber Pencemaran Udara ... 57

4.1.7.2 Jenis-jenis Gas Pencemar Udara ... 57

4.1.8 Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor ... 61

4.1.8.1 Jenis Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor ... 61

4.1.8.2 Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Fungsinya ... 68

4.1.8.3 Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kepemilikannya . 71 4.2 Kependudukan Kota Bogor ... 71

4.3 Perekonomian Kota Bogor ... 72

4.3.1 Struktur Perekonomian Kota Bogor ... 72

4.3.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 73

4.3.3. Daya Beli Masyarakat dan Pendapatan Perkapita ... 74

4.3.4. Sektor Informal ... 76

4.3.5. Pola Investasi ... 76

4.3.6. Identifikasi Sektor-sektor Unggulan Kota Bogor ... 77

4.3.7. Sektor Ekonomi Lainnya ... 78

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 81

5.1 Hasil Analisis GIS ... 81

5.2 Pembahasan ... 86

5.2.1 Ekosistem Kota Bogor ... 86

5.2.2 RTH bagian dari Ekosistem Kota Bogor ... 88


(22)

xi

5.2.3.1 Kapasitas Penyimpanan Karbon dan Daya Serap Karbon 89

5.2.3.2 Daya Serap RTH terhadap Polutan di Udara ... 91 5.2.3.3 Manfaat Tambahan dari RTH Kota Bogor ... 93

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 95 6.1 Kesimpulan ... 95 6.2 Saran ... 96


(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis dan Sumber Data ... 50 2. Kemiringan Lereng berdasarkan Luas Lahan Kota Bogor Tahun 2004 ... 55 3. Kepadatan penduduk Kota Bogor menurut Kecamatan Tahun 2006 ... 72 4. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor menurut

Lapangan Usaha atas Dasar Harga berlaku Tahun 2000-2005 ... 73 5. PDRB Kota Bogor berdasarkan Harga Konstan dan Laju Pertumbuhan

Ekonomi 2002-2006 (juta rupiah) ... 74 6. PDRB Kota Bogor berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 - 2004 ... 74 7. Purchasing Power Parity (PPP) per Kecamatan di Kota Bogor

Tahun 2000-2006 (dalam ribu rupiah) ... 75 8. Perkembangan Industri, Tenaga Kerja, dan Investasi di Kota Bogor

Tahun 1997-2003 ... 76 9. Rekapitulasi Perkembangan Perdagangan, Tenaga Kerja, Investasi


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pembagian Ruang Wilayah Kota ... 22 2. Lokasi Penelitian ... 48 3. Kerangka Pikir Penelitian ... 49 4. Tipologi RTH ... 68 5. Report Asli dari analisis CITYgreen 5.4 pada Kota Bogor ... 84 6. Peta RTH Kota Bogor Tahun 2006 hasil Analisis GIS ... 85


(25)

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Bogor sebagai salah satu kota besar di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pembangunan yang signifikan. Korelasi dari pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatnya pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan masyarakat meningkat, indeks kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota makin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan, kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka publik semakin berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan industri.

Pesatnya pemanfaatan ruang di Kota Bogor sehingga mereduksi luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menurut penelitian Suryadi 2008 luas hutan yang menjadi komponen RTH di Kota Bogor tahun 1972 sekitar 2.972,54 ha, tahun 1983 sekitar 2.677,87 ha, tahun 1990 sekitar 1.107,36 ha, tahun 2000 hanya sekitar 422,30 ha. Dari data ini dapat terlihat terjadi penurunan luas RTH yang cukup signifikan. Pada penelitian ini akan dikaji sejauh mana manfaat RTH untuk meningkatkan ekosistem di Kota Bogor melalui pendekatan kuantitatif terhadap kualitas udara, penyimpanan karbon, dan daya serap karbon.

Penelitian ini pada prinsipnya ingin menyampaikan bahwa RTH memberikan pelayanan ekosistem pada Kota Bogor yang dapat diukur, sehingga dapat memberikan gambaran kepada pemerintah Kota Bogor bahwa betapa pentingnya menjaga serta meningkatkan luasan RTH yang dimiliki sebagai sebuah aset berharga. Di samping itu juga memberikan pemahaman kepada masyarakat umum untuk menjaga dan melestarikan RTH yang berada pada disekitar lingkungan mereka.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26 tahun 2007 dan Permendagri No. 1 tahun 2007 bahwa suatu kota harus memiliki proporsi luasan RTH minimal 30% dari luas wilayah kota. Disamping ada penekanan dari


(26)

2

peraturan yang ada, pada penelitian ini juga diharapkan ada satu sisi lain pengkajian pentingnya keberadaan RTH melalui pengkajian secara kuantitatif. Paradigma saat ini yang selalu mengkaitkan sesuatu dengan ekonomi diharapkan mempermudah pemahaman tentang tujuan akhir dari penelitian ini.

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menghitung luasan RTH yang ada pada saat ini di Kota Bogor.

2. Mengkalkulasi kekayaan Kota Bogor melalui pendekatan keberadaan

RTH.

3. Memberikan pemahaman pentingnya keberadaan RTH sama

pentingnya dengan keberadaan sektor ekonomi dan jasa karena RTH dapat diukur tingkat pelayanannya yang dikonversi ke dalam nilai rupiah.

1.3Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi alternatif pemikiran baik bagi pemerintah daerah, masyarakat untuk memahami pentingnya keberadaan RTH bagi kemakmuran dan keseimbangan ekologis kota dan masyarakat karena pendekatan yang dilakukan melalui pendekatan ekonomi yang setiap orang bisa menghitungnya dan menafsirkan ke arah yang lebih baik.

1.4Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada jangkauan analisis dan jenis data yang digunakan. Penelitian ini mengunakan data sekunder dan pengklasifikasian data

pada citra satelit terdiri dari data canopy dan non canopy. Data canopy didapat

dari digitasi citra satelit yang menampilkan tampak atas pohon-pohon yang memiliki diameter tajuk lebih dari empat meter. Data non canopy terdiri dari

badan air, bangunan, lahan terbuka. Untuk batas areal kerja dinamakan study

site, pada penelitian ini study site yang digunakan adalah Kota Bogor. Aspek yang dikaji pada penelitian ini hanya terbatas kepada kapasitas RTH menyimpan karbon, daya serap karbon serta daya serap terhadap polutan udara (O3, NO2,


(27)

3

SO2, CO, partikel kurang dari 10 mikron) yang dikonversi ke nilai ekonomi.

Standar yang digunakan pada penelitian ini (User Manual CITYgreen 5.4):

1. Setiap pohon yang didigitasi memiliki standar kualifikasi pohon dengan

diameter tajuk minimal empat meter (diatas batas resolusi minimum per pixel pada Citra Satelit Quickbird yaitu 3 m x 3 m/pixel) dikelompokkan ke thema canopy.

2. Setiap semak, ladang/ lahan pertanian, sawah, padang rumput, dan lahan

terbuka didigitasi dan dikelompokkan ke thema non canopy.

3. Setiap bangunan, jalan didigitasi dan dikelompokkan ke thema non

canopy.

4. Setiap badan air (sungai, waduk, danau) didigitasi dan dikelompokkan ke


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruang Terbuka Hijau 2.1.1 Definisi

Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan bagian ruang terbuka (open

spaces). Betapa luasnya cakupan ruang terbuka ini, maka yang akan dibahas adalah ruang terbuka di kawasan perkotaan. Berbagai referensi menyatakan bahwa ruang terbuka adalah daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan

(Gunadi, 1995). Ruang terbuka berbeda dengan istilah ruang luar (exterior

space), yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam bangunan.

Perbedaannya adalah bahwa ruang luar adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif,

seperti halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plasa (plazza) atau square.

Sedangkan ruang terbuka merupakan zona hijau yang bisa berbentuk jalur (path),

seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/ jejaring listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota dan seterusnya.

Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park), yang berada di luar atau

diantara beberapa bangunan di lingkungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, karena umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permukaan tanah. Tanaman produktif berupa pohon berbuah dan tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota. Ruang terbuka harus ditanami tetumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan, namun mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun.

Dalam Master Plan RTH Kota Bogor (2007), definisi lain mengatakan bahwa secara umum ruang terbuka publik (open space) di perkotaan terdiri dari


(29)

5

ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH)

perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah

perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya.

Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved)

maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan khusus sebagai area genangan (retensi/ retention basin). Selain itu menurut Purnomohadi (1995) bahwa (1) RTH adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat

tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan

pepohonan sebagai tumbuhan penciri terutama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan.

RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu

wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga.

Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir, dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan,


(30)

6

RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, memilki beberapa definisi terkait RTH yakni:

a. Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang Iebih

luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun dalam bentuk area memanjang jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.

b. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat

RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.

Pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, didefinisikan bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang/ jalur atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

2.1.2 Tujuan, Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Menurut Permendagri No. 1 Tahun 2007, tujuan dialokasikannya RTH Kawasan Perkotaan adalah:

• Menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;

• Mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan di perkotaan; dan

• Meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

Sedangkan fungsinya antara lain:

• Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;

• Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;

• Tempat perlindungan plasma nutfah dan keaneka-ragaman hayati;

• Pengendali tata air; dan

• Sarana estetika kota.

Serta Manfaat RTH antara lain:


(31)

7

• Sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;

• Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;

• Meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;

• Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;

• Sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;

• Sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;

• Memperbaiki iklim mikro; dan

• Meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.

Secara umum fungsi yang dimiliki RTH dapat dikelompokan menjadi empat fungsi besar, yakni fungsi ekologis, fungsi sosial, fungsi estetis/ arsitektural, dan fungsi ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan suhu kota tropis yang panas terik. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, taman hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai

identitas (landmark) kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi

sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU, dan sebagainya.

Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong

menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan

sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

Adapun secara rinci keempat fungsi RTH tersebut dijelaskan seperti berikut ini :

1. Fungsi Ekologis, merupakan fungsi ruang terbuka hijau yang memberikan

perlindungan terhadap manusia dan lingkungannya dalam Eckbo (1964), terdiri dari;

• Fungsi orologis. Memberikan manfaat orologis yang penting untuk mengurangi tingkat kerusakan tanah, terutama longsor, dan menjaga kestabilan tanah.


(32)

8

• Fungsi hidrologis. Fungsi ini berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk

menyerap kelebihan air.

• Fungsi klimatologis. Menekankan bahwa fungsi ruang terbuka hijau dapat

mempengaruhi faktor-faktor iklim.

• Fungsi edhapis. Fungsi lebih mengarah pada penyediaan habitat

satwa perkotaan.

• Fungsi hygienis. RTH mampu memberikan lingkungan yang lebih sehat bagi

manusia.

• Fungsi kesehatan individu. Fungsi kesehatan masih berhubungan erat

dengan manfaat hygienis, dimana manfaat ini merupakan manfaat lanjutan yang ditimbulkannya.

2. Fungsi Sosial, merupakan fungsi ruang terbuka hijau sebagai sarana interaksi

sosial masyarakat dengan lingkungan sosial sekitarnya, yang terdiri dari:

• Fungsi edukatif. Komponen RTH dapat memberikan pendidikan

dan pengenalan terhadap mahkluk hidup disekitarnya.

• Fungsi interaksi masyarakat. Komponen RTH dapat menjadi tempat berinteraksi antara masyarakat sehingga menambah jalinan sosial diantaranya.

• Fungsi protektif. Komponen RTH dapat memberikan perlindungan kepada

manusia.

• Fungsi spiritual. Fungsi spiritual yang dimaksud lebih ditekankan kepada

fungsi suatu kawasan ruang terbuka hijau yang dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan spiritual atau keagamaan atau dapat juga berupa tempat yang dikeramatkan.

3. Fungsi Estetis, merupakan fungsi ruang terbuka hijau sebagai komponen

keindahan kota atau lingkungan hidup manusia. Fungsi ini terdiri dari;

• Fungsi visual/vista. Fungsi visual lebih menekankan kepada visualitas,

estetis ruang terbuka.

• Fungsi tabir/screening. Fungsi ini terkait dengan kemampuan ruang

terbuka hijau untuk menyaring partikel-partikel yang dapat mengganggu kehidupan manusia, seperti partikel debu, bau, angin yang terlalu kencang, dan lainnya.


(33)

9

• Fungsi identitas kota. Suatu taman kota, atau ruang terbuka hijau mampu

menjadi identitas (landmark) suatu kota/ wilayah.

4. Fungsi Ekonomi, keberadaan ruang terbuka hijau tidak selalu memiliki nilai

ekonomi yang selalu rendah, namun keberadaan RTH juga mampu meningkatkan nilai lahan karena suasana lingkungan yang tercipta akibat keberadaannya yaitu 1) meningkatkan harga lahan, 2) mengurangi biaya penanganan bencana, 3) mampu menjadi ruang untuk mata pencaharian kota.

Manfaat dari tumbuhan yang merupakan komponen utama Ruang Terbuka Hijau dalam Simond (1983) adalah:

• Produsen utama dalam rantai makanan karena tumbuhan melalui proses

fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari bisa merubah CO2 dan air ke

karbohidrat dan O2;

• Melalui proses transpirasi tumbuhan melakukan menyejukkan udara

dengan dikeluarkannya uap air melalui daun-daun;

• Menjaga iklim mikro khususnya suhu dan kelembaban udara kawasan

perkotaan;

• Menjaga peyimpanan air tanah, mengurangi aliran permukaan, dan

mencegah erosi;

• Menjaga kesuburan tanah dan memperbaiki struktur hara tanah.

Manfaat RTH kota dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi alami ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi.

Selanjutnya dalam Hakim (2006), manfaat RTH tersebut diatas diuraikan secara rinci, sebagai berikut:

1. Pelestarian Plasma Nutfah

Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. RTH


(34)

10

dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan RTH dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini dapat dilestarikan flora dan fauna.

2. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya RTH, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang, dan ranting.

Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun bunga matahari (Helianthus annuus L.) dan kersen (Muntingia calabura L.) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus (Wedding dkk. dalam Smith, 1981). Manfaat dari adanya tajuk RTH ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari RTH.

3. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal.

Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan (Goldmisth dan Hexter, 1967). Diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor (Krishnayya dan Bedi, 1986).

Dahlan (1989); Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan, Danur, Pringgodigdo

dan Sigit (1990) menyatakan damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia

mahagoni), jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam

landi (Pithecellobium dulce), johar (Cassia siamea), mempunyai kemampuan

yang tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa

tanaman berikut ini: glodogan (Polyalthea longifolia), keben (Barringtonia


(35)

11

terhadap timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka terhadap pencemar

udara. Sedangkan untuk tanaman daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan

kesumba (Bixa orellana) mempunyai kemampuan yang sangat rendah dan sangat

tidak tahan terhadap pencemar yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. 4. Penyerap dan Penjerap Debu Semen

Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat di udara bebas harus diturunkan kadarnya. Studi ketahanan dan

kemampuan dari 11 jenis pohon yaitu: mahoni (Swietenia mahagoni), bisbul

(Diospyros discolor), tanjung (Mimusops elengi), kenari (Canarium commune),

meranti merah (Shorea leprosula), kiara payung (Filicium decipiens), kayu hitam

(Diospyros elebica), duwet (Eugenia cuminii), medang lilin (Litsca roxburghii) dan sempur (Dillenia ovata) telah diteliti oleh Irawati tahun 1990.

Tanaman tersebut dipergunakan dalam program pengembangan RTH dikawasan pabrik semen, karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemaran debu semen dan kemampuan yang tinggi dalam menjerap (adsorpsi) dan menyerap (absorpsi) debu semen adalah mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti merah, kiara payung dan kayu hitam. Sedangkan duwet, medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai tanaman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka terhadap debu semen, juga mempunyai kemampuan yang rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen (Irawati, 1990).

5. Peredam Kebisingan

Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang mempunyai tajuk yang tebal dengan daun yang rindang (Grey dan Deneke, 1978). Dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya dari kebisingan yang sumbernya berasal dari bawah. Menurut Grey dan Deneke (1978), dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%.

6. Mengurangi Bahaya Hujan Asam


(36)

12

negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses dan translokasi. Proses translokasi akan memberikan beberapa unsur diantaranya ialah: Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glumatin dan gula (Smith, 1984).

Menurut Henderson et al., (1977) bahan anorganik yang diturunkan ke lantai RTH dari tajuk melalui proses troughfall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun jarum.

Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 apabila tiba di permukaan

daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka

asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang terdapat pada daun membentuk

garam CaSO4 yang bersitat netral. Dengan demikian adanya proses translokasi

dan gutasi oleh permukaan daun akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Hasil penelitian dari Hoffman et al. (1980) menunjukkan bahwa pH air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati tajuk pohon.

7. Penyerap Karbon Monoksida

Bidwell dan Fraser dalam Smith (1981) mengemukakan, kacang merah (Phascolus vulgaris) dapat menyerap gas ini sebesar 12-120 kg/km2/hari. Mikroorganisme serta tanah pada lantai RTH mempunyai peranan yang baik dalam menyerap gas ini (Bennet dan Hill, 1975). Smith (1981) mengemukakan, tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas ini dari udara yang semula

konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8 x 104 µg/m3) menjadi hampir mendekati

nol hanya dalam waktu 3 jam saja.

8. Penyerap Karbon dioksida dan Penghasil Oksigen

RTH merupakan penyerap gas CO2 yang cukup penting, selain dari

fito-plankton, ganggang dan rumput laut di samudra. Dengan berkurangnya kemampuan RTH dalam menyerap gas ini sebagai akibat menurunnya luasan RTH akibat peladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun RTH untuk membantu mengatasi penurunan fungsi RTH tersebut.

Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik RTH kota, RTH alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang


(37)

13

Dengan demikian proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.

Widyastama (1991) mengemukakan, tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah : damar (Agathis alba), daun kupu-kupu

(Bauhinia purpurca), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis) dan beringin (Ficus benjamina).

9. Penyerap dan Penapis Bau

Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah sementara atau permanen mempunyai bau yang tidak sedap. Tanaman dapat digunakan untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau secara langsung, atau tanaman akan menahan gerakan angin yang bergerak dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Akan lebih baik lagi hasilnya, jika tanaman yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum yang dapat menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum. Tanaman yang dapat menghasilkan bau harum antara lain:

cempaka (Michelia campaka) dan tanjung (Mimusops elengi).

10. Mengatasi Penggenangan

Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi yang tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kriteria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun yang banyak, sehingga mempunyai stomata (mulut daun) yang banyak pula.

Menurut Manan (1976) tanaman penguap air yang tinggi diantaranya

adalah : nangka (Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), akasia

(Acacia auriculiformis), sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia mahagoni), jati (Tectona grandis), kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucaena glauca).

11. Ameliorasi Iklim.

Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan. RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung


(38)

14

bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antena pemancar radio, televisi, dan lain-lain, sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan Robinette, 1983).

Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya suatu RTH sangat dipengaruhi oleh: panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah mempunyai RTH lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari RTH kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

• Pada areal bervegetasi (komponen utama RTH), suhu hanya berkisar

25,5-31,0°C dengan kelembaban 66-92%.

• Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan

aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1°C dengan kelembaban 62-78%.

• Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1°C dengan kelembaban

62-78%.

Koto (1991) juga telah melakukan penelitian di beberapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wanabakti. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, daerah disekitar pohon memiliki suhu udara yang paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu udara di taman parkir, padang rumput dan beton.

12. Pengelolaan Sampah

RTH dapat diarahkan untuk pengelolaan sampah dalam hal : (1) sebagai penyerap bau, (2) sebagai pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah, (3) sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan berbahaya lainnya.

13. Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky, 1978). Maka kadar air tanah


(39)

15

RTH akan meningkat.

Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Di samping itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan.

Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah. Dengan demikian RTH yang dibangun pada daerah resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik.

Menurut Manan (1976) tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah antara lain : cemara laut (Casuarina equisetifolia), beringin (Ficus elastica), karet (Hevea brasiliensis), manggis (Garcinia mangostana), bungur (Lagerstromia speciosa), trembesi (Fragraea fragrans), dan kelapa (Coccos nucifera).

14. Penapis Cahaya Silau

Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium, baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya akan terasa sangat menyilaukan dari arah depan, akan mengurangi daya pandang pengendara. Oleh sebab itu, cahaya silau tersebut perlu untuk dikurangi. Keefektifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya. Pohon dapat dipilih berdasarkan ketinggian maupun kerimbunan tajuknya.

15. Meningkatkan Keindahan

Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan tersedianya makanan, minuman, namun juga membutuhkan keindahan. Keindahan merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda-benda di sekeliling manusia dapat ditata dengan indah memuat garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya (Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh suatu bentuk komposisi yang menarik.


(40)

16

tekstur yang sudah dirancang sedemikian rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan pohon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat alami yang sangat disukai oleh setiap manusia.Tanaman dalam bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk mendapatkan komposisi yang baik. Peletakan dan pemilihan jenis tanaman harus dipilih sedemikian rupa, sehingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan sesuai dengan kondisi yang ada. Warna daun, bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang harmonis (bergradasi lembut).

Komposisi tanaman dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga pemandangan yang kurang enak dilihat seperti: tempat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, manusiawi dan akrab dengan hadirnya RTH sebagai tabir penyekat di sana.

16. Sebagai Habitat Burung

Masyarakat modern kini cenderung kembali ke alam (back to nature).

Desiran angin, kicauan burung dan atraksi satwa lainnya di kota diharapkan dapat menghalau kejenuhan dan stress yang banyak dialami oleh penduduk perkotaan. Menurut Hernowo dan Prasetyo (1989) salah satu satwa liar yang dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Burung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara lain:

• Membantu mengendalikan serangga hama,

• Membantu proses penyerbukan bunga,

• Mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi,

• Burung memiliki suara yang khas yang dapat menimbulkan suasana yang

menyenangkan,

• Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi rekreasi,

• Sebagai sumber plasma nutfah,


(41)

17

Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pohon kaliandra (Calliandra calothyrsus) di antaranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis lain disenangi oleh burung, karena berulat yang dapat dimakan oleh jenis burung lainnya. Menurut Ballen, beberapa jenis tumbuhan yang banyak didatangi burung antara lain:

Ficus benjamina, Ficus variegata, dan Ficus glabarima buahnya banyak

dimakan oleh burung seperti punai (Tecron sp.).

• Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasilkan nektar. Beberapa

jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yang tengah berbunga antara lain: betet (Psittacula alexandri), serindit (Loriculus pusillus), jalak (Sturnidae) dan beberapa jenis burung madu.

• Dangdeur (Gossatnpinus taphylla). Bunganya yang berwarna merah

menarik burung ungkut-ungkut dan srigunting.

• Aren (Arenga pinnata). Ijuk dari batangnya sering dimanfaatkan oleh

burung sebagai bahan untuk pembuatan sarangnya.

• Bambu (Bambusa spp.). Burung blekok (Ardeola speciosa) dan manyar

(Plocous sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung lainnya

seperti: burung cacing (Cyornis bamtunas), ceguk (Otus bakkamoena),

sikatan (Rhipiditra javanica), kepala tebal bakau ( Pachycephala cinerea)

dan perenjak kuning (Abroscopus supereiliaris) bertelur pada pangkal

cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam batangnya. 17. Mengurangi Stress

Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas, mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pihak lingkungan hidup kota mempunyai kemungkinan yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendaraan bermotor maupun industri. Oleh sebab itu gejala stress (tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi kepergiannya saja di kota.

Program pembangunan dari pengembangan RTH dapat membantu mengurangi sifat yang negatif tersebut. Kesejukan dan kesegaran yang


(42)

18

diberikannya akan menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran timbal, CO, SOx, NOx dan lainnya dapat dikurangi oleh tajuk dan lantai RTH. Kicauan dan tarian burung akan menghilangkan kejemuan. RTH juga dapat mengurangi kekakuan dan monotonitas.

18. Meningkatkan Industri Pariwisata

Bunga bangkai (Amorphophallus titanuni) di Kebun Raya Bogor yang

berbunga setiap 2-3 tahun dan tingginya dapat mencapai 1,6 m dan bunga Raflesia Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik bagi turis domestik maupun mancanegara. Tamu asing pun akan mempunyai kesan tersendiri, jika berkunjung atau singgah pada suatu kota yang dilengkapi dengan RTH yang unik, indah dan menawan.

19. Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang

Monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kehidupan di kota besar perlu diimbangi oleh kegiatan lain yang bersifat rekreatif, akan dapat menghilangkan monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kerja. Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan.

Kelestarian RTH suatu wilayah perkotaan harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang sesuai dengan arah rencana dan rancangannya. Tanpa ruang terbuka, apalagi RTH, maka lingkungan kota akan menjadi hutan beton yang gersang, kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi, sebab tak layak huni.

Pemanfaatan RTH pada kawasan perkotaan (Dep. PU, 2008) antara lain:

1. RTH pekarangan terdiri dari:

• Pekarangan rumah besar dengan kategori: rumah dengan luasan lahan di

atas 500 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.


(43)

19

antara 200 m2 – 500 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

• Pekarangan rumah kecil dengan kategori: rumah dengan luasan lahan di

bawah 200 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling

dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat, dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

• Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha dengan kategori:

umumnya berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka, beberapa lokasi dengan tingkat KDB 70%-90% perlu menambahkan tanaman dalam pot, perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB di atas 70%, minimal memiliki 2 (dua) pohon kecil atau sedang, ditanam pada lahan atau pada pot berdiameter diatas 60 cm, dan persyaratan penanaman pohon pada kawasan ini dengan KDB dibawah 70%, berlaku seperti persyaratan pada RTH pekarangan rumah, ditanam pada area diluar KDB yang telah ditentukan.

• Taman atap bangunan dengan kategori: Kavling dengan KDB di atas 90%

seperti pada kawasan pertokoan di pusat kota, atau pada kawasan-kawasan dengan kepadatan tinggi dengan lahan yang sangat terbatas dibuat taman atap bangunan.

2. Taman lingkungan dan taman kota yang terdiri dari taman RT, taman RW,

taman kelurahan, taman kecamatan, taman kota.

3. Hutan kota dengan kategori :

• Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi

terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan.

• Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan


(44)

terpencar-20

pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.

• Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti

bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya.

• Lebar minimal hutan kota berbentuk jalur adalah 30 meter.

4. RTH pada jalur hijau jalan antara lain: pada jalur tepi jalan, pada median jalan, pada jalur pejalan kaki, pada jalur dibawah jalan layang.

5. RTH sempadan jalur kereta api dengan kategori: jarak maksimal dari sumbu rel adalah 50 m dan pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam harus sesuai gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi pekerjaan.

6. RTH jaringan listrik tegangan tinggi dengan kategori:

• Jenis tanaman yang ditanam memiliki dahan yang kuat;

• Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang;

• Akarnya menghunjam masuk ke dalam tanah;

• Memiliki kerapatan yang cukup (50-60%);

• Pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam harus sesuai

gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi pekerjaan.

7. RTH sempadan sungai dengan kategori:

• Jalur hijau sungai meliputi sempadan sungai selebar 50 m pada kiri kanan

sungai besar dan sungai kecil (anak sungai);

• Sampel jalur hijau sungai berupa petak-petak berukuran 20 m x 20 m

diambil secara sistematis dengan intensitas sampling 10% dari panjang sungai;

• Sebelum di lapangan, penempatan petak sampel dilakukan secara awalan

acak (random start) pada peta. Sampel jalur hijau sungai berupa jalur memanjang dari garis sungai ke arah darat dengan lebar 20 m sampai pohon terjauh;

• Sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar dan 50 m di kiri

kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman;

• Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang

diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 m;


(45)

21

• Pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam harus sesuai

gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi pekerjaan.

8. Sabuk Hijau dengan kategori:

• RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan

tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau pemisah

• Kebun campuran, perkebunan, pesawahan, yang telah ada sebelumnya

(eksisting) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya

9. RTH Pemakaman

10.RTH sempadan pantai dengan kategori:

• RTH sempadan pantai memiliki fungsi utama sebagai pembatas

pertumbuhan pemukiman atau aktivitas lainnya agar tidak menggangu kelestarian pantainya.

• Lebar RTH sempadan pantai minimal 100 meter dari batas air pasang

tertinggi ke arah darat.

• Tidak bertentangan dengan Keppres No.32 tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung

• Tidak menyebabkan gangguan terhadap kelestarian ekosistem pantai,

termasuk gangguan terhadap kualitas visual.

• Pola tanam vegetasi bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi, erosi,

melindungi dari ancaman gelombang pasang, wildlife habitat dan meredam

angin kencang.

• Pemilihan vegetasi mengutamakan vegetasi yang berasal dari daerah

setempat.

• Khusus untuk kawasan pantai berhutan bakau harus dipertahankan sesuai

ketentuan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990.

11.RTH pengamanan sumber air baku atau mata air terdiri dari:

• RTH danau atau waduk dengan kategori minimal sempadan 50 meter dari

titik muka air tertinggi.

• RTH mata air dengan kategori minimal sempadan 200 meter dari titik


(46)

22

2.1.3 Luas dan Jenis Ruang Terbuka Hijau

Besaran luas RTH yang ideal di suatu kota berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, pada ayat 3 berbunyi proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Dengan rincian tertuang dalam Gambar 01.

Pola untuk pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau terdiri atas ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ajang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah atau gedung milik masyarakat maupun swasta yang ditanami tumbuhan.

(Sumber : Departemen PU)

Gambar 01 Pembagian Ruang Wilayah Kota

Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin

RUANG TERBANGUN (60%) JARINGAN JALAN (20%) TAMAN-TAMAN KOTA (12,5%) NON HUNIAN (20%) RUANG HUNIAN (40%) LAINNYA (NON HIJAU) (7,5%)

RTH di Ruang Hunian: Asumsi KDB maks 80% RTH = 20% x 40% = 8%

RTH di Ruang Non Hunian: Asumsi KDB maks 90% RTH = 10% x 20% = 2%

RTH PRIVAT = 10%

RTH di Jarirngan Jalan: Asumsi jalur hijau 30% RTH = 30% x 20% = 6%

(Sungai, Jalan KA, SUTET) Asumsi 20% hijau RTH = 20% x 7,5% =

1,5%

RTH PUBLIK = 20% RUANG TERBUKA


(47)

23

keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem nikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas bangunan gedung miliknya. Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat. Pada kenyataannya, formula rumusan penentuan luas RTH kota yang memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan ini, masih bersifat kuantitatif dan tergantung dari banyak faktor penentu, antara lain: geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi, dan banyak faktor lain.

Sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya ruang rekreasi gratis, maka sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan kondisinya, pasti semakin memerlukan RTH yang memenuhi persyaratan, terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakan hukumnya.

Kota yang mempunyai luas yang tertentu dan terbatas permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan atau bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Kedua hal ini umumnya merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis. Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambahan jalur transportasi dan sistem utilitas, sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan pencemar dan telah menimbulkan berbagai ketidaknyamanan di lingkungan perkotaan. Untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan RTH sebagai biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan menyamankan.


(1)

terhadap kemampuan RTH Kota Bogor untuk menyerap polutan partikel (Pb dan

debu) sebesar 72,438 ton/tahun. Sehingga dengan keberadaan RTH yang

sekarang ini tidak mampu menyerap polutan dari parkitel (Pb dan debu),

penambahan luasan RTH sangat penting sekali untuk mengimbangi polutan yang

dihasilkan dari partikel demi menjaga ekosistem Kota Bogor secara keseluruhan.

Paparan diatas menggambarkan keadaan pada tahun 2005 di Kota Bogor

berdasarkan parameter kualitas udara yang diukur berdasarkan ambien SO

2

, NO

2

,

O

3

, CO, dan materi partikulat. Pada penelitian ini menggunakan data spasial

tahun 2006 (Citra Satelit Quickbird tahun 2006) sehingga hasilnya bisa

dibandingkan. Secara keseluruhan keberadaan RTH Kota Bogor yang ada masih

bisa menjaga kualitas udara di Kota Bogor, namum ada beberapa ambien yang

melebihi kapasitas penyerapan oleh RTH Kota Bogor yaitu ambien NO

2

dan

materi partikulat (Pb dan debu) sehingga penambahan luasan RTH dan

pemilihan pohon yang memiliki daya serap polutan yang tinggi sangat diperlukan

sekali untuk menjaga kualitas yang dapat meningkatkan nilai ekosistem Kota

Bogor.

5.2.3.3 Manfaat Tambahan dari RTH Kota Bogor

Berdasarkan hasil analisis GIS pada Kota Bogor didapat ditribusi

penutupan lahan yang terdiri dari:

-

Tanaman Pangan/ Pertanian

: 8% (985,99 ha)

-

Lahan Kedap Air

: 28% (3.361,11 ha)

-

Ruang Terbuka/ Padang Rumput/Sawah

: 18% (2.112,34 ha)

-

Semak

: 5% (551,99 ha)

-

Kanopi Pohon

: 17% (2.005,21 ha)

-

Lahan Perkotaan

: 49% (5.807,70 ha)

-

Badan Air

: 2 % (220,63 ha)

Lahan kedap air merupakan bagian dari lahan perkotaan sehingga jumlah

distribusi penutupan lahan Kota Bogor sebesar 99% atau seluas 11.683 ha.

Manfaat tambahan dari semua komponen vegetasi seperti semak, sawah, ladang/

lahan pertanian dengan mengambil acuan pada aspek fisiologis vegetasi, sehingga


(2)

kapasitas penyimpanan karbon, daya serap karbon dan daya serap polutan udara

akan bertambah dari hasil report CITYgreen 5.4.

Pada lahan perkotaan bila diteliti lebih lanjut akan mendapatkan manfaat

tambahan lainnya karena dari struktur lahan perkotaan di Kota Bogor terdapat

juga RTH selain dari pohon. RTH tersebut antara lain pekarangan rumah, semak,

rumput, dan pohon kecil. Manfaat yang didapat sangat besar sekali jika

menjumlahkan semua komponen ekosistem di Kota Bogor yang berasal dari RTH.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan

beberapa hal diantaranya :

1.

Secara umum luasan RTH dari komponen pohon Kota Bogor yaitu sekitar 17 %

dari luas Kota Bogor atau sekitar 2.005,21 ha.

2.

Nilai ekonomi dari RTH yang ada sekarang sebesar Rp 52 milyar atau sebanding

dengan seperlima Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor sektor Jasa-jasa

tahun 2006 (BAPPEDA 2007 : PDRB sektor jasa-jasa Kota Bogor 2006 sebesar

255 Milyar).

3.

Total cadangan karbon Kota Bogor sebesar 267.220 ton dan kemampuan RTH

Kota Bogor dalam menyerap karbon sebesar 758 ton/tahun.

4.

Kemampuan RTH Kota Bogor dalam meningkatkan kualiatas udara melalui

proses penyerapan polutan di udara untuk O

3

sebesar 90.463 kg/tahun, SO

2

sebesar

14.559 kg/tahun, NO

2

sebesar 14.587 kg/tahun, Parkitel sebesar 72.438 g/tahun,

CO sebesar 6.203 kg/tahun.

5.

Kemampuan RTH Kota Bogor untuk menjaga kualitas udara masih bisa teratasi

namun untuk beberapa tahun kedepannya diharapkan ada penambahan luasan

RTH karena polutan diudara akan semakin meningkat dari tahun ketahun.

6.

Manfaat tambahan bisa didapatkan dari unsur alam lainnya yang berupa semak,

ladang/ lahan pertanian, padang rumput, dan sawah karena juga memiliki

kapasitas, dan daya serap terhadap karbon walaupun dalam jumlah yang tidak

begitu banyak. Selain itu bisa juga meningkatkan kualitas udara dengan menyerap

materi partikulat.

7.

Dari semua ini tujuan utama dari penelitian ini tercapai karena dengan

menghitung dan membandingkan didapat hasil yang menguatkan bahwa manfaat

RTH sangat besar sekali untuk Ekosistem Kota Bogor, untuk meningkatkan

kualitas ekosistem Kota Bogor bisa dengan meningkatkan luasan RTH dan

pemilihan jenis pohon yang digunakan.


(4)

6.2 Saran

Diharapkan dengan adanya kajian ini bisa membuka pemahaman tentang cara

pandang pentingnya keberadaan RTH yang bisa dinilai secara ekonomi dan

memberikan pengaruh kepada kebijakan pengembangan RTH di masa yang akan

datang di Kota Bogor.

Untuk meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor bisa dilakukan dengan cara

penambahan luas RTH atau pemilihan jenis pohon yang memiliki daya serap

karbon yang tinggi dan toleran terhadap lingkungan yang kurang baik.

Diharapkan partisipasi masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem RTH

Kota Bogor yang menjadi acuan utama keseimbangan Ekosistem Kota Bogor

secara keseluruhan.

Pada penelitian selanjutnya diharapkan penelitian didetail sampai tingkat

kecamatan untuk mendapatkan hasil yang lebih spesifik dan pembahasan yang

lebih mendalam.

Secara umum CITYgreen 5.4 telah berhasil memberikan gambaran umum tentang

kondisi real RTH Kota Bogor serta kemampuannya dalam mempertahankan

keseimbangan ekosistem Kota Bogor, diharapkan pada penelitian selanjutnya

dilakukan penambahan komponen analisis berupa pertumbuhan penduduk supaya

dapat diukur keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan kebutuhan RTH.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

American Forests. 2002. CITYgreen 5.0 :User Manual. Washington DC : American

Forest. 187 page.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor. 2007. Master

Plan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor. Data Dasar. Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kota Bogor.

Dahlan, E.N. 1989. Studi Kemampuan Tanaman dalam Meyerap Timbal Emisi dari

Kendaraan Bermotor. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Dahlan, E.N. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas

Lingkungan. Kerja Sama Asoisasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI)

dengan IPB. Bogor.

Dahlan, E.N. 2007. Analisis Kebutuhan Luasan Hutan Kota yang Berfungsi Sebagai

Sorot Gas CO

2

Antropogenik Dari Bahan Bakar Minyak Dan Gas Di Kota

Bogor Dengan Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik. [Ringkasan

Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 35 hal.

Daniel, T.W,

dkk

. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur Edisi Kedua. Gajah Mada

University Press. Yogyakarta. 651 hal.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1

Tahun 2007 Tentang: Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.

Jakarta.

[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Pedoman Penyedian dan Pemanfaatan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Perkotaan. (materi seminar IALI

tentang UU No. 26 tahun 2007 dan Permendagri No. 1 tahun 2007).

Bandung.

[DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 1989. Undang-Undang

Lingkungan Hidup dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sekmen KLH.

[DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2007. Undang-undang

Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 Tentang: Penataan Ruang. Jakarta.

Eckbo, G. 1964.

Urban Landscape Design

. New York: McGraw Hill Book Company.

[ESRI] Environental Systems Research Institute. 2004. Penggunaan ArcView GIS


(6)

Grey, G.W. dan F.J. Deneke. 1978. Urban Forestry. New York:John Willey and Son.

Hakim, R. 2006. Rancangan Visual Lansekap Jalan : Panduan Estetika dan Dinding

Penghalang Kebisingan. Bumi Aksara. Jakarta. 162 hal.

Hakim, R dan Utomo, H. 2008. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap :

Prinsip, Unsur dan Aplikasi Desain . Bumi Aksara. Jakarta. 242 hal.

Hasan,

Z.

2010.

Indonesia

Bisa

Menjadi

Penyerap

Emisi

Murni.

http://www.antaranews.com/berita/1262788666/indonesia-bisa-jadi-penyerap-emisi-murni

Hermono, J.B. dan L.B. Prasetyo. 1898. Ruang Terbuka Hijau sebagai Pendukung

Pelestarian Burung. Makalah symposium mencari model perkotaan

Indonesia. Universitas Indonesia Depok.

Irwan, Z.D. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Bumi Aksara.

Jakarta. 210 hal.

Irwan, Z.D. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi : Ekosistem, Lingkungan dan Pelestarian.

Bumi Aksara. Jakarta. 177 hal.

Lestari, G dan Kencana, I.P. 2008. Galeri Tanaman Hias Lanskap. Penebar Swadaya.

Jakarta. 282 hal.

Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Manajemen Derah Aliran Sungai. Diktat

Kuliah Fakultas Kehutanan. 228hal.

Manik, K.E.S. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup . Djambatan. Jakarta. 249 hal.

Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis : Tutorial ArcView. CV. Informatika.

Bandung. 456 hal.

Robinete, G.O. 1983.

Landscape Planning for Energy Conservation

. New York,

Toronto, London, Melrbourne: Van Nostrand Reinhold Cy.

Simonds, J.O. 1983.

Landscape Architecture : A Manual of Site Planning and Design

(second edition)

. McGraw-Hill Book Company. USA. 331 page.

Smith, D.P. 1984.

Urban Ecology

. London: George Allen & UNWIN.

Suryadi, Y. 2008. Dinamika Pola Pemanfaatan Lahan dan Pengendalian Menuju

Pembangunan Kota Bogor yang Berkelanjutan [Tesis]. Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 136 hal.