a. Shared
Shared  berarti  berdialog  atau  berkomunikasi  timbal  balik,  berbagi,  rasa, berbagi  pengalaman,  saling  mendengarkan  pengalaman  satu  sama  lain.  Dialog
pertama-tama  mulai  dari  diri  sendiri,  kemudian  disharingkan  kepada  sesama peserta dalam suasana kasih persaudaraan Sumarno DS, 2013: 16. Dalam dialog
ada  dua  unsur  penting,  yakni  membicarakan  dan  mendengarkan.  Membicarakan berarti  menyampaikan  apa  yang  menjadi  kebenaran  dan  pengalamanku  dan
mengatakan  apa  yang  terjadi  dalam  diriku  sebagaimana  adanya.  Membicarakan itu  didasari  oleh  sikap  keterbukaan  dan  kejujuran  serta  kerendahan  hati  untuk
mengungkapkan  pengalaman  dan  pengetahuan  yang  nyata  sebagaimana  yang terjadi. Mendengarkan itu berarti mendengarkan dengan hati dan rasa tentang apa
yang dikomunikasikan oleh orang lain.  Paus Fransiskus dalam seruan Apostolik, Evangelii Gaudium
Sukacita Injil mengatakan mendengarkan dalam komunikasi adalah  keterbukaan  hati  yang  memungkinkan  terjadinya  perjumpaan  rohani.
Hanya melalui mendengarkan yang penuh hormat dan bela rasa dapat menemukan pertumbuhan  sejati  dan  membangkitkan  kerinduan  cita-cita  Kristiani  EG,  art.
171.  Dengan  mendengarkan  orang  lain  maka  peserta  dapat  menemukan  diri sendiri dan menemukan kehendak Tuhan. Mendengarkan melibatkan keseluruhan
diri  sehingga  dalam  mendengarkan  timbullah  gerak  hati,  empati  terhadap  apa yang dikomunikasi dengan orang lain Sumarno DS, 2013: 16.
Pada  model  Shared  ini  baik  peserta  maupun  pendamping  dapat menjadi  nara  sumber.  Dalam  sharing  setiap  peserta  sesuai  dengan  gayanya,
pengalaman  keterlibatanya  yang  konkret  dan  kepentingannya  memberikan
sumbangan  yang  khas.  Hubungan  antar  subyek  yang  mendatangkan  perjumpaan antar  pribadi  dapat  membawa  suatu  kesadaran  akan  pentingnya  rasa  solidaritas
karena  memiliki  perjuangan  visi  yang  sama  Heryatno  Wono  Wulung  1997:  4. Karena  itu  semua  peserta  menjadi  partner  yang  aktif  terlibat,  dan  secara  kritis
mengolah  pengalaman  mereka  serta  keadaan  faktual  remaja.  Bentuk  sharing sangat  membantu  peserta  untuk  mengalami  proses  bersama  dalam  mengolah
pengalaman.  Bentuk  sharing  ini  cocok  dipergunakan  dalam  pendampingan  iman remaja karena mereka diberi kesempatan untuk ambil bagian secara aktif dengan
cara saling berbagi pengalaman hidup mereka masing-masing.
b. Christian
Katekese  model  SCP  menekankan  unsur  Christian  dari  kekayaan  iman Kristiani  sepanjang  sejarah  dan  visinya  diupayakan  terjangkau  untuk  kehidupan
peserta  zaman  sekarang  Heryatno  Wono  Wulung,  1997:  2.  Kekayaan  iman Gereja  sepanjang  sejarah  berkembang  menjadi  pengalaman  iman  jemaat  pada
zaman  sekarang.  Proses  ini  mengharapkan  kekayaan  iman  Gereja  dapat menyentuh  kehidupan  dan  pengalaman  umat  saat  ini.  Kekayaan  iman  yang
ditekankan  dalam  model  ini  meliputi  dua  unsur  pokok  yaitu  pengalaman  iman hidup Kristiani sepajang sejarah dan visinya.
Mengenai  tradisi  Kristiani  dan  visinya,  Heryatno  Wono  Wulung 1997:  3  yang  menyadur  pendapat  Thomas  H.  Groome  dalam  Shared  Christian
Praxis : suatu model berkatekese menguraikan demikian:
Tradisi  Kristiani  mengungkapkan  realitas  iman  jemaat  Kristiani  yang hidup    dan    sungguh  dihidupi.  Inilah  tanggapan  manusia  terhadap
pewahyuan  diri  Allah  yang  terlaksana  dalam  kehidupan  manusia.  Dalam konteks  tradisi    perlu  dipahami  sebagai  perjumpaan  antara  rahmat  Allah
dalam  Kristus  dan  tanggapan  manusia.  Maka  dari  itu  tradisi  di  sini  tidak hanya  berupa  tradisi  pengajaran  Gereja  tetapi  juga  meliputi  Kitab  Suci,
spiritualitas,  refleksi  teologis,  sakramen,  liturgi,  seni,  nyanyian  rohani, kepemimpinan kehidupan jemaat dan lain-lain.  Sebagai realitas iman yang
dihidupi  dalam  konteks  hiostorisnya,  tradisi  Kristiani  senantiasa mengundang keterlibatan praktik dan proses pemberian diri. Visi Kristiani
mengarisbawahi  tuntutan  dan  janji  yang  terkandung  di  dalam  tradisi, tanggungjawab  dan  pengutusan  orang  kristiani  sebagai  jalan  untuk
menghidupi  semangat  dan  sikap  kemuridan  mereka.  Visi  Kristiani  yang paling  hakiki  adalah  terwujudnya  kerajaan  Allah  di  dalam  kehidupan
manusia. Visi ini menunjuk proses sejarah kehidupan umat Kristiani yang berkesinambungan  dan  bersifat  dinamis,  mengundang  penilaian,
penegasan, pilihan dan keputusan.
Berdasarkan  pada  pengertian  Tradisi  dan  Visi  Kristiani  tersebut,  maka disimpulkan bahwa kata Christian menunjuk seluruh pengalaman iman umat yang
merupakan  tanggapan  manusia  terhadap  janji  Allah.  Manusia  menanggapi pewahyuan  Allah  tersebut  dalam  seluruh  gerak  hidup  hariannya  baik  sikap
maupun perbuatan .
c. Praxis
Praxis sebagai  perbuatan  atau  tindakan  meliputi  seluruh  keterlibatan
manusia dalam dunia, segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia dengan tujuan tertentu  atau  dengan  sengaja  Sumarno  DS,  2013:  15.  Praxis  ini  merupakan
ungkapan  pribadi  yang  meliputi  ungkapan  fisik,  emosional,  intelektual,  spiritual dari  hidup  kita.  Tindakan  ini  meliputi  sesuatu  yang  kumiliki,  kurasakan  dan
kualami,  bukan  sesuatu  yang  teoritis.  Praxis  mempunyai  tiga  unsur  pembentuk yang saling berkaitan: aktivitas, refleksi dan kreatifitas.
Aktivitas  meliputi  kegiatan  mental  dan  fisik,  kesadaran,  tindakan personal  dan  sosial,  hidup  pribadi  dan  kegiatan  publik  bersama  yang  semuanya
merupakan  medan  masa  kini  untuk  perwujudan  diri  manusia.  Refleksi menekankan  refleksi  kritis  terhadap  tindakan  historis  pribadi  dan  sosial  dalam
masa  lampau,  terhadap  praxis  pribadi  dan  kehidupan  bersama  masyarakat  serta terhadap”Tradisi”  dan  “Visi”  iman  kristiani  sepanjang  sejarah.  Kreatifitas
merupakan  perpaduan  antara  aktivitas  dan  refleksi  yang  menekankan  sifat transenden  manusia  dalam  dinamika  menuju  masa  depan  untuk  praxis  baru
Heryatno Wono Wulung, 1997: 2. Unsur-  unsur  tersebut  di  atas  berfungsi  membangkitkan  perkembangan
imaginasi,  meneguhkan  kehendak  dan  mendorong  praxis  baru  yang  dapat dipertanggungjawabkan.  Praxis  yang  meliputi  aktifitas,  refleksi  dan  kreatifitas
dalam  pendampingan  iman  remaja  menjadi  peluang  dan  kesempatan  yang  baik untuk  mengarahkan  remaja  dalam  menghadapi  permasalahan  dirinya.  Aktivitas
mencakup    keseluruhan  pribadi  remaja  dalam  seluruh  pengalaman  hidupnya. Pengalaman  ini  kemudian  direfleksikan  sehingga  memunculkan  kesadaran  untuk
terlibat dalam kreatifitas baru Heryatno Wono Wulung, 1997: 4.
2. Langkah-Langkah Katekese Model Shared Christian Praxis
Heryatno  Wono  Wulung,  1997:  5-7  menyadur  pendapat  Thomas Groome yang mengemukan, terdapat lima langkah Shared Christian Praxis.
a. Langkah Pertama: Pengungkapan Praksis Faktual
Pada  langkah  pertama  ini,  para  peserta  diajak    untuk  mengungkapkan pengalaman  hidup  faktual,  entah  itu  pengalaman  hidup  pribadi    atau  peristiwa
yang  terjadi    dalam  masyarakat.  Untuk  mempermudah  para  peserta mengungkapkan  pengalamannya,  pemandu  dapat  menggunakan  berbagai  sarana
dalam bentuk ceritera, puisi, tarian, nyanyian, drama pendek atau lambang. Dalam
proses  pengungkapan  itu,  peserta  dapat  menggunakan  perasaan  mereka,  sikap, kepercayaan, dan keyakinan yang melatarbelakanginya Heryatno Wono Wulung,
1997:  5.  Dengan  cara  itu  peserta  diharapkan  menjadi  sadar  dan  bersikap  kritis pada pengalaman hidupnya sendiri. Di samping pengalaman pribadi, peserta juga
dapat  mengungkapakan  pengalaman  orang  lain  atau  keadaan  masyarakatnya. Komunikasi pengalaman konkret para peserta diharapkan dapat melahirkan tema-
tema  dasar  yang  akan  direflekssikan  secara  kritis  pada  langkah  berikutnya. Langkah  pertama  ini  bersifat  obyektif,  mengungkapkan  apa  yang  sesungguhnya
terjadi. Langkah pertama ini dalam pendampingan iman kaum remaja merupakan
kesempatan  yang  indah  untuk  mengungkapkan  atau  mensharingkan  pengalaman yang  mereka  alami  secara  leluasa.  Sharing  menjadi  salah  satu  metode  yang
disenangi  oleh  kaum  remaja  karena  mereka  merasa  diperhatikan,  didengarkan, diberi kesempatan untuk mengungkapkan ide atau pendapatnya.
b. Langkah Kedua: Refleksi Kritis Pengalaman Faktual
Langkah kedua ini mendorong peserta untuk lebih aktif, kritis dan kreatif dalam  memahami  serta  mengolah  keterlibatan  hidup  mereka  sendiri  maupun
masyarakatnya.  Tujuan  langkah  ini  adalah  memperdalam  refleksi  dan  mengantar peserta pada kesadaran kritis akan keterlibatannya. Refleksi tersebut meliputi segi
asumsi  dan  alasan,  motivasi,  sumber  historis,  kepentingan  dan  konsekuesi  yang disadari dan hendak diwujudnyatakan Heryatno Wono Wulung, 1997: 6.
Pembimbing  menciptakan  suasana  pertemuan  yang  mendukung  dan menghormati  serta  mengundang  peserta  untuk  berrefleksi  secara  kritis,
mendorong  peserta  untuk  untuk  mengadakan  dialog  dan  penegasan  bersama. Peserta  memperdalam  pemahaman  kenangan  dan  imaginasi  serta  mengajak
peserta  untuk  berani  berbicara  Sumarno  Ds,  2013:  20.  Dalam  pendampingan iman, langkah ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengajak kaum remaja
untuk  merefleksikan  pengalaman  hidupnya  sehari-hari  sehingga  mampu menemukan makna dari  setiap pengalaman yang mereka alami.
c. Langkah Ketiga: Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih
Terjangkau
Tradisi adalah
iman Kristiani
yang sungguh
dihidupi dan
diperkembangkan  Gereja  dalam  sejarahnya.  Maka  Tradisi  Gereja  tidak  terbatas pada  pengajaran  Gereja  dogma  tetapi  juga  mencakup  Kitab  Suci,  spiritualitas,
devosi,  kebiasaan  hidup  beriman,  aneka  kesenian  Gereja,  liturgi  dan kepemimpinan. Visi merefleksikan harapan dan janji, mandat dan tanggungjawab
yang  muncul  dari  Tradisi  suci  yang  bertujuan  untuk  mendorong  dan  menguhkan iman  jemaat  dalam  keterlibatannya  untuk  mewujudkan  kehadiran  nilai-nilai
Kerajaan Allah Heryatno Wono Wulung, 1997: 6. Pada  langkah  ini  pendamping  memberikan  informasi  mengenai  hal-hal
yang  bersifat  ideal,  dengan  sumber  dari  Kitab  suci  atau  dokumen  Gereja Sumarno  DS,  2013:  20.  Langkah  ini  juga  penting  bagi  pendampingan  iman
remaja,  karena  remaja  diajak  untuk  mendalami  pengalaman  Kristiani  sehingga mereka mendapatkan informasi yang benar. Pendamping mempunyai kesempatan
untuk  memberikan  informasi  tentang  ajaran  pokok  sehubungan  dengan pengalaman Kristiani dari Kitab Suci maupun dari dokumen Gereja.
d. Langkah Keempat: Interprestasi Dialektis antara Praksis dan Visi Peserta
dengan Tradisi dan Visi Kristiani
Langkah ini
mengajak peserta
supaya dapat
meneguhkan, mempertanyakan,  memperkembangkan,  menyempurnakan  gagasan  penting  yang
telah  ditemukan  pada  langkah  pertama  dan  kedua.  Selanjutnya    gagasan  penting itu  dikonfrontasikan  dengan  tradisi  dan  visi  Kristiani  dari  langkah  ketiga
Heryatno  Wono  Wulung,  1997:  7.  Dari  proses  konfrontasikan  tersebut diharapkan  peserta  dapat  secara  aktif  menemukan  kesadaran    atau    baru  yang
hendak  diwujudkan.  Dengan  kesadaran  baru  itu  peserta  akan  lebih  bersemangat dalam  mewujudkan  imannya  dan  dengan  itu  diharapkan  supaya  nilai-nilai
kerajaan Allah semakin dapat dirasakan di tengah-tengah kehidupan bersama. Pendamping  hendaknya  menghormati  kebebasan  dan  hasil  penegasan
peserta,  termasuk  peserta  yang  menolak  tafsiran  pendamping.  Pendamping membantu  peserta  untuk  meyakinkan  peserta  bahwa  mereka  mampu
mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai Tradisi dan visi  Kristiani.  Pendamping  mendorong  peserta  untuk  merubah  sikap  dari
pendengar  yang  pasif  menjadi  yang  aktif  dan  menyadari  bahwa  tafsiran pendamping  bukan  harga  mati.  Pendamping  sangat  perlu  untuk  mendengar
dengan hati tanggapan, pendapat, dan pemikiran peserta Sumarno DS, 2013: 22. Pada langkah ini, pendamping berusaha untuk memberi kebebasan kepada
para remaja untuk mempertimbangkan, menilai, dan mengambil keputusan sesuai dengan  situasi  yang  meraka  alami.  Pendamping  tidak  menentukan  pokok-pokok
yang harus dipilih sebagai suatu pedomaan dalam kehidupan para remaja, supaya
mereka tidak lagi  akan  merasa tidak bebas Heryatno Wono Wulung, 1997: 33. Dengan proses itu diharapkan hidup iman peserta menjadi lebih aktif, dewasa dan
missioner.
e. Langkah  Kelima:  Keterlibatan  baru  demi  makin  terwujudnya  Kerajaan
Allah
Langkah  yang  terakhir  ini  bertujuan  mendorong  peserta  supaya  sampai pada  keputusan  konkret  bagaimana  menghidupi  iman  Kristiani  pada  konteks
hidup  yang  telah  dianalisa  dan  dipahami,  direfleksi  secara  kritis,  dinilai  secara kreatif  dan  bertanggung  jawab  Heryatno  Wono  Wulung,  1997:  7.  Inilah
tangapan  praktis  peserta  terhadap  situasi  konkret  mereka  yang  telah dikonfrontasikan  dengan  tradisi  dan  nilai  Kristiani.  Tanggapan  peserta
dipengaruhi  oleh  tema  dasar  yang  direfleksikan,  nilai-nilai  Kristiani  yang diinternalisasi,  dan  konteks  kepentingan  religius,  politis  dan  ekonomis  peserta.
Dalam  pendampingan  iman  remaja  langkah  ini  sangat  efektif  bagi  kaum  remaja karena remaja membutuhkan pengakuan akan apa yang diekspresikannya.
Langkah  ini  mengajak  remaja  untuk  melakukan  tindakan  konkrit.  Proses konfrontasi  dalam  pendampingan  iman  memotivasi  remaja  untuk  memunculkan
ide  dan  mewujudnyatakan  dalam  keterlibatan  baru  demi  terwujudnya  Kerajaan Allah  dalam  dunia  remaja.  Remaja  memiliki  kemampuan  untuk  mengambil
bagian  dalam  usaha  mewujudkan  nilai-nilai  Kerajaan  Allah  dalam  kehidupan sehari-hari.
3. Alasan menggunakan Katekese Model  Shared Christian Praxis
Alasan  penulis  menggunakan  katekese  model  SCP  dalam  pendampingan iman di asrama Dharmawati  ialah karena penulis sendiri melihat dan mengalami
proses proses pendampingan di asrama modelnya kurang bervariasi.  SCP dipilih untuk  menjadi  model  pendampingan  iman  remaja  karena  model  ini  mampu
membantu remaja  yang sedang dalam proses pembentukan menjadi pribadi  yang dewasa.
Remaja banyak mengalami permasalahan dalam kehidupannya, dan proses katekese  SCP  berangkat  dari  pengalaman  faktual  yang  meliputi  permasalahan
hidup  konkret  remaja.  Kaum  remaja  diajak  untuk  mengungkapkan  pengalaman hidup  kemudian  direfleksikan,  ditawarkan  nilai-nilai  visi  dan  tradisi  kristiani
dalam bentuk tafsir Kitab Suci, didialogkan untuk mengkonfrontasikan tradisi dan visi  kristiani  tersebut.  SCP  memberi  kesempatan  bagi  para  remaja  untuk
menerima masukan mengenai hal-hal yang bersifat ideal sebagi bekal dalam hidup sebagai remaja yang masih dalam proses pencarian identitas diri.
Pada proses SCP relasi antara remaja berlangsung sehingga terjadi proses bersama  yang  membuat  mereka  sungguh  dihargai  sebagai  subyek  yang
menemukan  sendiri  dan  tidak  lagi    merasa  didikte  oleh  pendamping  sehingga membantu remaja untuk menuju suatu aksi konkrit  ke arah hidup yang lebih baik.
Penulis  menyakini  bahwa  model  katekse  Shared  Christian  Praxis  dapat  dipakai untuk pendampingan iman remaja di asrama Dharmawati Sintang.
B. Usaha Peningkatan Pelaksanaan Pendampingan Iman Remaja
1. Pengertian Peningkatan
Menurut  seorang  ahli  bernama  Adi  S,  peningkatan  berasal  dari  kata tingkat,  yang  berarti  lapis  atau  lapisan  dari  sesuatu  yang  kemudian  membentuk
susunan.  Sedangkan  peningkatan  berarti  kemajuan.  Secara  umum,  peningkatan dapat berarti penambahan keterampilan dan kemampuan agar menjadi lebih baik
http:www.duniapelajar.com20140808pengertian-peningkatan-menurut-para- ahli akses tanggal 19 Maret, jam 21.00.
Berdasarkan  pengertian  di  atas  dapat  dinyatakan  bahwa  peningkatan adalah  suatu  upaya  yang  dilakukan  oleh  pendamping  untuk  membantu  remaja
semakin  bertumbuh  dan  berkembang  menjadi  lebih  baik.  Upaya  yang  dilakukan melalui  proses  pelaksanaan  pendampingan  iman  lebih  baik,  lebih  kreatif,  lebih
menarik  sehingga  remaja  dapat  lebih  antusias  menanggapinya.  Pendampingan dikatakan meningkat apabila adanya suatu perubahan dalam proses pendampingan
serta hasil pendampingan nampak dalam hidup sehari-hari.
2. Tujuan Peningkatan
Peningkatan pendampingan pada hakikatnya merupakan upaya perubahan. Oleh karena itu, proses perubahan dalam peningkatan pendampingan adalah suatu
harapan.  Proses  perubahan  menjadi  sangat  penting  dalam  upaya  meningkatkan mutu  pendampingan.  Perubahan  tersebut  meliputi;    remaja,  tenaga  pendamping,
sarana  prasarana,  model  dan  metode,  suasana,  proses  pendampingan  serta lingkungan  asrama.  Hal  demikian  karena  pendampingan  merupakan  kegiatan-
kegiatan  yang  mendorong dan  membantu  remaja  belajar menemukan jati dirinya
sebagai pribadi agar kelak mereka mampu menjawab panggilan hidupnya sebagai orang beriman dengan penuh tanggungjawab. Oleh karena itu, usaha  peningkatan
pendampingan sangat perlu dan penting.
3. Arah Peningkatan
Arah peningkatan pendampingan merupakan panduan hidup  asrama  yang diterima  dan  diperjuangkan  bersama  oleh  segenap  penghuni  asrama  Dharmawati
Sintang.  Dengan  panduan  ini,  kebersamaan  dan  gerak  pendampingan  di  asrama Dharmawati  menjadi  makin  bermakna  dan  memberikan  kesegaran  hidup,
sehingga  sabda  Yesus,  “Aku  datang,  supaya  mereka  mempunyai  hidup,  dan mempu
nyainya  dalam  segala  kelimpahan”  Yoh  10:  10  makin  terwujud  dalam kebersamaan hidup sebagai saudara di asrama.
Selain  itu,  peningkatan  pendampingan  mengarahkan  warga  asrama menjadi  remaja  kristiani  yang  beriman  dan  bertanggungjawab,  berpusat  pada
Yesus Kristus. Dengan demikian mereka mampu menemukan nilai-nilai kristiani dan  mewujudkannya  dalam  tindakan  nyata  setiap  hari,  baik  di  asrama,  sekolah,
keluarga serta masyarakat. Arah peningkatan juga merupakan peneguhan jati diri. Jati  diri  kita  sebagai  Gereja,  seperti  dirumuskan  oleh  Konsili  Vatikan  II,  adalah
“persekutuan  umat  yang  terdiri  dari  orang-orang,  yang  dipersatukan  dalam
Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa, dan telah  menerima  warta  keselamatan  untuk  disampaikan  kep
ada  semua  orang” Gaudium et Spes, art. 1.
C. Usulan Program Pendampingan 1.
Latar Belakang Usulan Program
Pada  bab  III  telah  dijelaskan  situasi  konkrit  yang  ada  di  asrama,  baik mengenai remaja maupun permasalahan yang dihadapi. Selama ini pendampingan
iman  di  asrama  dilaksanakan  dalam  kelompok  besar  yang  diikuti  oleh  semua warga  asrama.  Pendampingan  iman  tersebut  berupa  doa  bersama,  devosi,  misa,
rekoleksiretret.  Pendampingan  dalam  kelompok  besar  sukar  bagi  pendamping untuk mengarahkan serta melibatkan seluruh peserta sehingga terkesan monoton,
membosankan  dan  kurang  efektif.    Terbatasnya  waktu,  model  dan  metode  yang kurang  bervariasi,  kurangnya  tenaga  pendamping,  sarana  prasrana  serta  suasana
kurang  mendukung  dalam  pelaksanaan  pendampingan.  Oleh  karenanya pendampingan  hendaknya  melihat  dan  memperhatikan  situasi  konkrit  hidup
peserta sehingga apa  yang menjadi kegiatan pendampingan tercapai  yaitu remaja semakin  dewasa  imannya  dan  dapat  mempertanggungjawabkannya  dalam
kehidupannya baik di asrama, keluarga serta masyarakat luas. Maka  dari  itu  supaya  semua  warga  asrama  ambil  bagian  secara  aktif
dalam  mengikuti  pendampingan  iman,  penulis  mengusulkan  dalam  pelaksanaan pendampingan  dibagi  dalam  kelompok-kelompok  kecil  dengan  jumlah  20-  35
orang.  Pembagian  kelompok  bermaksud  untuk  lebih  mudah,  lebih  dekat,  akrab satu  sama  lain  serta  semuanya  dapat  terlibat  aktif.  Pendampingan  iman  yang
digunakan    adalah  ketekese  model  Shared  Christian  Praxis,  karena  memberikan kesempatan kepada remaja untuk berbicara tentang masalah  yang mereka hadapi
dan berangkat dari pengalaman konkrit kaum remaja.