14 Alat ini berbentuk kotak persegi panjang menyerupai terowongan yang
didalamnya dilengkapi dengan steamnet yang berfungsi sebagai konveyor.
g. Dryer
Dryer merupakan alat yang berfungsi untuk proses pengeringan untaian mi setelah keluar dari proses pembentukan dalam cetakan mi dengan
menggunakan uap panas dalam bentuk oven pengering yang dilengkapi dengan kipasblower penghembus udara panas.
g. Cutter
Cutter berfungsi sebagai alat pemotong mi yang telah melalui proses pengukusan steaming. Setelah mi dipotong, mi akan dilipat sehingga
diperoleh mi dengan bentuk segi empat yang rata.
h. Cooler
Cooler merupakan alat yang digunakan untuk menurunkan suhu mi setelah melewati proses pengeringan. Di dalam mesin tersebut terdapat blower
yang dapat menurunkan suhu mi, sehingga pada saat pengemasan packing suhu mi mendekati suhu ruang, dan penampakan mi juga akan lebih baik.
i. Mesin packing
Mesin ini digunakan untuk mengemas mi kering yang telah dilengkapi dengan alat untuk memberi tanda kode produksi dan tanggal kadaluwarsa.
E. JENIS PRODUK
Jenis produk yang diproduksi dan dihasilkan oleh perusahaan PT Kuala Pangan adalah mi kering dengan merk Cap Atom Bulan. Mi kering ini adalah
produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan lain dan bahan tambahan pangan BTP yang diijinkan,
berbentuk khas mi yang langsung dikeringkan dan mempunyai kadar air sekitar 10. Produk mi kering PT Kuala Pangan ini dikemas dalam plastik polipropilen
PP dengan bobot netto 200 gram per kemasan plastik dan kemudian dikemas
15 lagi dalam kemasan kotak karton boks dengan kapasitas 20 kemasan plastik PP.
Produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan ini mengacu pada SNI 01-2974-1992. Syarat mutu mi kering pada SNI 01-2974-1992 tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Mi Kering menurut SNI 01-2974-1992
Persyaratan No Kriteria
Uji Satuan Mutu I
Mutu II
1. Keadaan 1.1. Bau
1.2. Warna 1.3. Rasa
- -
- normal
normal normal
normal normal
normal 2. Air
bb Maksimal 8
Maksimal 10
3. Abu bb Maksimum
3 Maksimum
3 4.
Protein N x 6,25 bb
Minimum 11 Minimum 8
5. Bahan tambahan
pangan 5.1. Boraks atau formalin
5.2. Pewarna Tartrazin Tidak boleh ada
Sesuai dengan SNI 0222-M dan Pera-
turan MenKes No.722MenKes
PerIX88 Tidak boleh ada
Sesuai dengan SNI 0222-M dan Pera-
turan MenKes No.722MenKes
Per IX 88
6. Cemaran logam
: 6.1. Timbal Pb
6.2. Tembaga Cu 6.3. Seng Zn
6.4. Raksa Hg mgkg
mgkg mgkg
mgkg Maksimum 1,0
Maksimum 10,0 Maksimum 40,0
Maksimum 0,05 Maksimum 1,0
Maksimum 10,0 Maksimum 40,0
Maksimum 0,05
7. Arsen As
mgkg Maksimum 0,5
Maksimum 0,5 8.
Cemaran mikroba : 8.1. Angka lempeng total
8.2. E. coli 8.3. Kapang
Kolonig APMg
Kolonig Maksimum 1,0x10
6
Maksimum 10 Maksimum 1,0x10
4
Maksimum 1,0x10
6
Maksimum 10 Maksiumu 1,0x10
4
Sumber : Pustan Departemen Perindustrian 1992.
16
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING
Bahan baku utama dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses produksi mi kering pada umumnya terdiri atas 4 kelompok, yaitu : bahan baku
utama, bahan baku pembantu dan bahan tambahan pangan BTP serta bahan pengemas.
1. Bahan Baku Utama a. Tepung Terigu
Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah tepung terigu dengan kadar gluten 10-12. Tepung terigu ini tergolong dalam
medium hard fluor yang diperoleh dari PT Bogasari Flour Mills di Jakarta. Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan
karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari
dari 36 gliadin, 20 glutenin, 17 mesonin dan 7 campuran albumin dan globulin Darmawan, 1994. Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air,
glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air
sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis Ridwan dan Wiriarno, 1984 sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang
dihasilkan. Menurut Ruiter 1987, karakteristik elastisitas gluten dianggap berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh
dari fraksi prolamin. Tepung terigu sebagai bahan pangan makanan menurut SNI 01.3751-
2006 didefinisikan sebagai tepung terigu yang dibuat dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L Club wheat danatau Triticum compacticum Host
atau campuran keduanya dengan penambahan zat besi Fe, seng Zn, vitamin B
1
thiamin, vitamin B
2
riboflavin dan asam folat sebagai fortifikan. Sedangkan bahan tambahan pangan BTP yang dizinkan untuk produk terigu sesuai dengan
17 peraturan tentang BTP. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan pangan
makanan menurut SNI 01.3751-2006 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 01.3751-2006
No. Jenis uji
Satuan Persyaratan
1. 1.1.
1.2. 1.3.
Keadaan Bentuk
Bau Warna
- -
- Serbuk
Normal bebas dari bau asing
Putih, khas terigu
2. Benda asing
- Tidak ada
3. Serangga dalam semua bentuk stadia dan
potongan-potongannya yang tampak - Tidak
ada 4.
Kehalusan, lolos ayakan 212 μm No. 70
bb Minimum 95
5. Kadar air
bb Maksimum 14,5
6. Kadar abu
bb Maksimum 0,6
7. Kadar protein
bb Minimum 7,0
8. Keasaman
mg KOH100 g Maksimum 50
9. Falling number
atas dasar kadar air 14 detik
Mimimum 300 10.
Besi Fe mgkg
Minimum 50 11.
Seng Zn mgkg
Minimum 30 12.
Vitamin B1 thiamin mgkg
Minimum 2,5 13.
Vitamin B2 riboflavin mgkg
Minimum 4 14. Asam
folat mgkg
Minimum 2
15. 15.1.
15.2. 15.3.
Cemaran logam Timbal Pb
Raksa Hg Tembaga Cu
mgkg mgkg
mgkg Maksimum 1,00
Maksimum 0,05 Maksimum 10
16. Cemaran arsen
mgkg Maksimum
0,50 17.
17.1. 17.2.
17.3. Angka lempeng total
E. coli Kapang
kolonig APMg
kolonig Maksimum 10
6
Maksimum 10 Maksimum 10
4
Sumber : Badan Standarisasi Nasional 2006.
b. Air
Bahan baku utama lain yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah air. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat,
melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Menurut Chung et al. 1985 yang dikutip oleh
Mulya 1988 menyebutkan bahwa air sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Pada selang pH 4-8, makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak mudah patah
karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Jumlah air yang optimal akan membentuk pasta yang baik.
18 Air sebagai bahan tambahan lain menurut Surat Keputusan Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 907MENKESSKVII2002 disebutkandinyatakan pada pasal 2 bahwa air yang digunakan untuk produksi makanan dan minuman
yang disajikan kepada masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan air minum. Persyaratan kualitas air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indoneia Nomor 907 MENKES VII2002 mencakup persyaratan parameter fisik, kimiawi, mikrobiologi dan kimia anorganik dapat dilihat pada
Tabel 3. Tabel 3. Persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907 MENKES
SKVII2002 tanggal 29 Juli 2002
No. JenisParameter uji
Satuan Kadar maksimum
yang diperbolehkan
1. 1.1.
1.2. 1.3.
1.4. 1.5.
Parameter fisik Warna
Rasa dan bau Suhutemperatur
Kekeruhan Jumlah zat padat terlarut TDS
TCU -
o
C NTU
mgl 15
Tidak berasa berbau Suhu udara ± 3
o
C 5
1000 2.
2.1. 2.2.
2.3. 2.4.
2.5. 2.6.
2.7. 2.8.
2.9. 2.10.
2.11. 2.12.
2.13. 2.14.
2.15. Parameter Kimiawi
Aluminium Al Besi Fe
Kesadahan Klorida Cl
Mangan Mn pH
Natrium Na Sulfat
Tembaga Cu Sisa klor
Amonia Air raksa Hg
Antimon At Barium Ba
Boron B mgl
mgl mgl
mgl mgl
- mgl
mgl mgl
mgl mgl
mgl mgl
mgl mgl
0,2 0,3
500 250
0,1 6,5 – 8,5
200 250
1,0 -
1,5 0,001
0,005 0,7
0,3 3.
3.1. 3.2.
3.3. 3.4.
3.5. 3.6.
3.7. 3.8.
Kimia An-organik Arsen As
Fluorida F Kromium-valensi 6
Kadmium Cd Nitrit, sebgai NO
2
Nitrat, sebagai NO
3
Sianida CN Selenium Se
mgl mgl
mgl mgl
mgl mgl
mgl mgl
0,05 1,5
0,05 0,003
3 50
0,07 0,01
4. Parameter Mikrobiologi
- 4.1.
E. coli atau feacal coli Jumlah100
ml 4.2.
Total bakteri coliform Jumlah100 ml
Sumber : Departemen Kesehatan 2002.
2. Bahan Baku Pembantu
Bahan baku pembantu yang digunakan dalam proses produksi mi kering terdiri dari jenis, yaitu : garam dan tepung telur.
19
a. Garam
Garam atau lebih dikenal dengan garam dapur yang dikonsumsi, pada pembuatan mi instant atau mi kering berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat
tekstur mi, membantu reaksi antara gluten dengan karbohidrat meningkatkan elastisitas dan fleksibelitas, dan untuk mengikat air Sunaryo, 1985. Garam
dapur juga berfungsi untuk menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga mi tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan
Mulya, 1988. Garam dapur yang dipergunakan oleh PT Kuala Pangan berasal dari PT Saltindo di Jakarta.
Menurut BSN atau Badan Standarisasi Nasional 2000, garam yang digunakan dalam produk makanan merupakan garam yang didefinisikan sebagai
pangan makanan yang komponen utamanya natrium klorida NaCl dengan penambahan kalium yodat KIO
3
. Syarat mutu garam konsumsi beryodium sesuai dengan SNI 01.3556-2000 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat mutu garam konsumsi beryodium menurut SNI 01.3556-2000
No. Kriteria uji
Satuan Persyaratan
mutu
1. Kadar air
H
2
O bb
Maksimum 7
2. Kadar NaCl natrium klorida dihitung
dari jumlah klorida bb, atas
dasar bahan kering
Minimum 94,7 3.
Yodium dihitung sebagai kalium yodat KIO
3
mgkg Minimum 30
4. 4.1.
4.2. 4.3.
Cemaran logam Timbal Pb
Tembaga Cu Raksa Hg
mgkg mgkg
mgkg Maksimum 10
Maksimum 10 Maksimum 0,1
5. Arsen As
mgkg Maksimum 0,1
Sumber : Badan Standarisasi Nasional 2000.
b. Tepung Telur
Tepung telur ini diperoleh dengan cara mengimpor dari negara Belgia, Belanda atau India. Tepung telur dalam pembuatan mi kering ini fungsinya untuk
menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mi. Lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan
kekeruhan saus mi waktu pemasakan. Lesitin yang terdapat pada kuning telur merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu, dan
bersifat mengembangkan adonan Sunaryo, 1985.
20 Penggunaan tepung telur dalam industri pangan mempunyai kelebihan
keuntungan sebagai berikut : a Umur simpan lebih lama; b Penyimpannya lebih mudah atau tanpa refrigerasi; c Mengurangi ruang penyimpanan, biaya
penyimpanan dan biaya transportasi, dan d Mempermudah pengaturan komposisi bahan Dijen IKAH, Depperindag Fakultas Teknologi Pertanian –
IPB, 2003. Syarat mutu tepung telur ayam menurut Food And Drug Administration
FDA USA dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Standar mutu tepung telur ayam menurut FDA-USA
No. Kriteria uji
Satuan Persyaratan mutu
1. Kadar air
Maksimum 5,0
2. Kadar lemak
40,0 3.
Kadar protein Minimum 45,0
4. Kadar abu
3,7 5. Gula
pereduksi Maksimum
0,1 6. Total
mikroba kolonig
Maksimum 25.000
7. Bakteri koliform
kolonig Maksimum
10 8. Bakteri
Salmonella -
Negatif atau nol 9. Warna
- Specified on purchase
10. Bau -
Lembut
Sumber : Ditjen IKAH, Depperindag dan Fakultas Teknologi Pertanian –IPB 2003.
3. Bahan Tambahan Pangan BTP
Bahan tambahan pangan BTP adalah senyawa atau campuran berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses
pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan utama Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1996. Menurut Codex
Alimentarius Commission di dalam Branen dan Haggerty 2002, BTP
didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi ingredient khas makanan, dapat bernilai
gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam pangan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan pangan termasuk organoleptik baik dalam proses
pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau
diharapkan menghasilkan langsung atau tidak langsung suatu pangan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.
21 Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam
Permenkes No.722MenKesPer.IX1988 yang dikuatkan dengan Permenkes No. 1168MenKes PerVI1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah
pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi,
pengental, pengeras, dan sekuestran untuk memantapkan warna dan tekstur makanan.
Bahan tambahan pangan BTP yang digunakan pada pembuatan mi kering di PT Kuala Pangan adalah garam alkali sodium karbonat atau natrium
karbonat Na
2
CO
3
dan potasium karbonat atau kalium karbonat K
2
CO
3
serta bahan pewarna tartrazin CI 19140. Ketiga bahan tambahan pangan tersebut
diperoleh dan dibeli dari Amerika Serikat USA dan Inggris melalui pemasok lokal PT Union Ajidharma, PT Halim Sakti dan PT Wasiat Chemical atau PT
United Chemical Inter Aneka di Jakarta.
a. Garam Alkali Natrium Karbonat dan Kalium Karbonat
Natrium karbonat dan kalium karbonat adalah bahan tambahan yang wajib ditambahkan sebagai bahan alkali pada proses pembuatan mi kering dan memiliki
peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan mi. Mi tidak akan jadi jika tidak menggunakan garam alkali tersebut Puspasari, 2007. Kedua bahan tersebut
ditambahkan dengan perbandingan 9:1 dan dilarutkan dalam air serta berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas
mi, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan sifat kenyal. Bahaya pada kedua bahan tambahan pangan tersebut adalah dapat menyebabkan iritasi pada
kulit manusia Sax, 1975. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.722 MenKesPerIX88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan
natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan sama penggunaannya dengan kalium klorida sebagai pengental, yaitu sebanyak 5 gram per kg.
b. Tartrazin C1 19140
Tartrazin merupakan zat warna yang digunakan untuk memberikan warna kuning khas mi dan untuk menambah daya tarik produk mi. Zat warna yang
digunakan adalah tartrazin CI 19140, yang merupakan zat warna sintetis berbentuk tepung berwarna kuning yang larut dalam air, dengan larutannya
22 berwarna kuning keamasan. Menurut Winarno 1989, tartrazin tahan terhadap
cahaya, asam asetat, asam klorida HCl, dan natrium hidroksida NaOH 10 persen. Pada NaOH 30 akan menjadikan warna berubah kemerah-merahan.
Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna menjadi keruh, tetapi aluminium Al tidak berpengaruh.
Zat warna tartrazin C1 19140 yang digunakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan berasal dari PT Wasiat Chemical, Jakarta dan PT United Chemical Inter
Aneka, Jakarta. Batas maksimal penggunaan tartrazin dalam produk pangan diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722MenKesPer.IX88 tentang Bahan Tambahan Makanan tahun 1988 sedangkan oleh organisasi
internasional Codex masih dalam tahap pembahasan CAC, 2006. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anisyah 2007 tentang ”Kajian Paparan
Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi Konsumsi Pangan di Wilayah Jakarta Utara” menyimpulkan bahwa : a Hasil survei konsumsi pangan yang
mengandung tartrazin di wilayah Jakarta Utara menunjukkan nilai konsumsi rata- rata pada seluruh responden sebesar 306,38 goranghari, nilai konsumsi rata-rata
total tertinggi pada responden anak-anak karena frekuensi konsumsi dan ukuran porsinya relatif lebih besar; b Seluruh nilai paparan tartrazin pada hasil
penelitian belum melampaui nilai ADI Acceptable Daily Intake tartrazin. Tingkat paparan rata-rata total pada seluruh responden sebesar 231,24
μgkg BB 3,08 ADI, nilai paparan rata-rata total tertinggi pada responden anak-anak
karena tingkat konsumsinya relatif tinggi sedangkan berat badannya relatif rendah. Jenis pangan yang berpotensi memberi paparan tartrazin tertinggi pada
seluruh responden adalah mi instan, minuman nonkarbonasi, minuman serbuk, makanan ringan dan biskuit; dan c Mi instan merupakan produk pangan yang
memiliki tingkat konsumsi terbanyak dan berpotensi memberi paparan tartrazin terbesar pada seluruh responden dan tiap kelompok responden di wilayah Jakarta
Utara. Anak-anak merupakan responden yang memiliki tingkat konsumsi dan tingkat paparan tartrazin tertinggi di wilayah Jakarta Utara. Hasil penelitian kajian
paparan tartrazin dengan metode survei frekuensi konsumsi pangan di wilayah Jakarta Utara yang dilaporkan Anisyah 2007 dapat dilihat pada Tabel 6.
23
Tabel 6. Kadar tartrazin dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh responden dibandingkan dengan kadar tartrazin yang ditetapkan dalam regulasi
Kadar tartrazin dalam produk pangan mgkg
Batas maksimum tartrazin dalam produk pangan menurut peraturan mgkg
No. Produk pangan
Rata-rata Min - Maks
Indonesia Codex
Eropa
1. Mi Instan atau Mi
kering - Sebelum diolah
- Setelah diolah 22,50
16,77 1 - 100
8,28 - 27,25 300
300 -
2. Kembang gula
90,53 5 - 300
300 300
300 3.
Minuman berkarbonasi
13 10 - 15
70 mgl produk siap konsumsi 300
100 4.
Minuman nonkarbonasi
22 10 - 40
70 mgl produk siap konsumsi 300
100 5.
Minuman serbuk 13,30
0,16 - 40 70 mgl produk siap konsumsi
300 100
6. Minuman
buah, squash
10 4 - 20
70 mgl produk siap konsumsi 300
100 7.
Sirup 18
4,2 - 33,33 70 mgl produk siap konsumsi
300 100
8. Kue lapis
200 200 - 200
300 300
200 9.
Biskuit 72,86
10 - 200 300
300 200
10. Roti
11 11 - 11
300 300
200 11.
Makanan ringan 88,57
10 - 200 300
300 200
12. Jelli
25,95 5,4 - 84,35
200 500
- 13.
Jem, selai 213
200 - 226 200
500 -
14. Es krim
76 10 - 200
100 -
- 15.
Susu fermentasi 50,50
1 - 100 18 berasal dari aroma yang
digunakan 300 -
Sumber : Anisyah 2007.
4. Bahan Kemasan
Kemasan dibutuhkan salah satunya adalah berfungsi untuk melindungi produk mi kering yang dihasilkan dari kerusakan. Bahan pengemas yang
digunakan pada produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri dari dua jenis, yaitu pengemas primer berupa plastik poli propilen atau plastik
jenis PP yang sudah ada labelnya dengan bobot netto 200 gram per kemasan dan kemasan sekunder kotak karton atau karton boks dengan kapasitas 20 kemasan
plastik .
a. Plastik Polipropilen Plastik jenis PP
Plastik jenis Polipropilen PP merupakan kemasan yang ringan, mudah dibentuk, kekuatan tarik lebih besar dan tahan terhadap suhu tinggi, serta
merupakan polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara polimer-polimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis,
yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan bahan Puspasari, 2007.
Sifat utama dari polipropilen PP adalah ringan densitas 0,9 gcm
3
, mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk kemasan kaku.
Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih kaku daripada
24 polietilen PE, sertra tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan
distribusi. Namun, permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang dan tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP tahan
terhadap suhu tinggi sampai 150
o
C, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi. Polipropilen juga tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak
Puspasari, 2007.
b. Kotak Karton
Kemasan sekunder adalah kemasan setelah kemasan primer yang berfungsi untuk melindungi mi dari kerusakan fisik yang dapat terjadi pada saat
distribusi atau pengiriman. Kemasan yang digunakan adalah karton jenis CFB Corrugated Fibred Board. Semua jenis pengemas tersebut didatangkan dari
pemasok lokal di daerah Jakarta dan sekitarnya.
5. Proses Produksi Mi Kering
Proses produksi untuk pembuatan mi kering yang dilakukan di perusahaan industri yang memproduksi mi kering menurut Ridwan dan Wiriano 1990 pada
prinsipnya hampir sama dengan proses pembuatan mi instan, perbedaannya hanyalah pada tahap setelah pemotongan cutting; yaitu pada pembuatan mi
kering setelah tahap pemotongan dilakukan pengeringan, sedang pada pembuatan mi instan setelah tahap pemotongan dilakukan penggorengan. Proses produksi mi
kering secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1 dan meliputi tahap-tahap
sebagai berikut : penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk produksi mi, pembutan larutan alkali, pencampuran adonan mixing, pengepresan dengan roll
press , pembentukan untaian pita mi slitting, pengukusan steaming,
pendinginan cooling, pemotongan cutting, penge-ringan dengan oven drying, pendinginan cooling, pengemasan produk mi kering dan penyimpanan di
gudang.
25 Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering Sumber : Ridwan dan
Wiriano, 1990.
Pendinginan Cooling Pencampuran Mixing
Pembentukan adonan menjadi lembaran dengan roll press
Pembentukan untaian pita mi Slitting
Pengukusan dengan menggunakan uap panas
Steaming
Pengeringan dengan menggunakan uap panas
Pengemasan produk mi kering dalam plastik PP kotak
karton
Pembuatan Larutan Alkali
Pemotongan Cutting Penimbangan
Bahan baku dan Bahan Lain
Pendinginan Cooling
Penyimpanan di Gudang
26
a. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi
Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal pembuatan mi. Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang
digunakan untuk proses pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur, tepung telur, bahan tambahan soda abu natrium karbonat dan kalium karbonat
dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan bahan-bahan tersebut juga dilakukan pengkuran jumlah volume air yang akan
digunakan untuk pembuatan larutan alkali.
b. Pembuatan Larutan Alkali
Pembuatan larutan alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang merupakan merupakan campuran dari soda natrium dan kalium karbonat, air,
garam, tepung telur dan bahan pewarna tartrazin. Larutan alkali berfungsi untuk memberi warna, rasa, dan memperkuat struktur mi. Pada pembuatan larutan alkali,
uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH, penampakan dan warna. Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan viskometer, sedangkan nilai
pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan larutan alkali berwarna kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.
c. Pencampuran Adonan Mixing
Proses pencampuran adonan mixing merupakan proses awal pembuatan mi, yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang
dilakukan didalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghindrasi tepung dengan air dan membentuk
adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Hal yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu
adonan dan waktu pengadukan Pribadi, 2004. Umumnya air yang ditambahkan sekitar 28-35 dari total bobot tepung. Pencampuran adonan dilakukan dan
dipertahankan pada kisaran suhu 32-38
o
C. Suhu tersebut dipertahankan dengan cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap
panas. Apabila suhunya kurang dari 32
o
C adonan menjadi keras, rapuh dan kasar; sedangkan jika suhunya lebih dari 38
o
C adonan menjadi lengket dan mi menjadi
27 kurang elastis. Waktu pengadukan biasanya dilakukan sekitar 15-25 menit, karena
bila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket; sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh dan kering.
Selama proses pengadukan akan terjadi kenaikan suhu akibat gesekan baling- baling mesin adonan. Kenaikan suhu tersebut berpengaruh terhadap
pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya penyebaran dan distribusi air dalam tepung.
d. Pengepresan Dengan Roll Press
Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan menjadi lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten
dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam sampai dicapai
ketebalan tertentu sehingga adonan siap dicetak menjadi untaian pita mi. Pembentukan lembaran dengan roll press akan menyebabkan pembentukan serat-
serat gluten yang halus, homogen, serta mempunyai ketebalan 1,0 – 1,1 mm. Hal ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan Pribadi, 2004. Agar dapat
menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran adonan tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu
sekitar 35-37
o
C dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari boiler melalui saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut.
Mesin pengepres terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang berputar berlawanan arah. Pada saat melewati roll press, lembaran akan
mengalami peregangan dan mengalami relaksasi saat keluar dari roll press. Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan roll
press harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh
permukaan roll dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir.
d. PembentukanPencetakan Untaian Mi Slitting
Pencetakan untaian pita mi slitting merupakan suatu proses pengubahan lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan,
kemudian siap dibentuk menjadi gelombang mi Ridwan dan Wiriano, 1990.
28 Proses slitting dimulai dengan melewatkan lembaran tipis adonan yang keluar dari
mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur kecil slitter yang akan memotong lembaran adonan menjadi untaian mi yang terpisah oleh sisir-sisir
bergerigi Noerthana, 2005; selanjutnya untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk slitter
berbentuk segi empat. Mangkuk slitter terdiri dari beberapa lajur yang pada setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi tergantung dari nomor slitter yang
digunakan. Dalam mangkuk slitter, mi dipadatkan sehingga terbentuk gelombang- gelombang mi. Selanjutnya, untaian pita mi akan masuk ke dalam waving net
yang kecepatannya lebih rendah dari mangkuk slitter, sehingga dihasilkan mi yang bergelombang rata.
Menurut Noerthana 2005, agar untaian mi yang dihasilkan oleh hasil slitting
baik, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : 1 Hasil mixing
adonan harus homogen dengan kadar air cukup dengan suhu adonan tidak panas; 2 Pisau slitter harus tajam dan ukurannya seragam; 3 Fungsi sisir mi
noodle comb harus dalam kondisi baik; 4 Ketepatan pemasangan mangkuk pemisah mi devider; 5 Khusus untuk slitter baru agar diperhatikan kedalaman
roll cutter -nya, karena semakin dalam akan menyebabkan roll cutter-nya cepat
tumpul; dan 6 kebersihan alat.
e. Pengukusan Steaming
Pengukusan steaming merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari slitter secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Pada proses ini terjadi
gelatinasasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi. Hal ini disebabkan
oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten menjadi lebih rapat Pribadi, 2004. Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat
lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat Prangdimurti, 1991. Gelatinasasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga
granula tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula Winarno, 1995. Lebih lanjut Sunaryo 1985 menyatakan bahwa gelatinisasi ini menyebabkan pati
meleleh, kemudian membentuk lapisan tipis film pada permukaan mi yang dapat
29 memberikan kelembutan mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi
daya rehidrasi mi.
f. Pendinginan Cooling
Pendinginan cooling merupakan proses setelah mi keluar dari proses pengukusan dengan menggunakan kipas angin. Proses pendinginan ini
dimaksudkan untuk mencegah mi melekat pada conveyor yang berjalan. Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.
g. Pemotongan Cutting
Pemotongan cutting mi dilakukan dengan mesin pemotong. Dalam proses ini mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah
potongan ke dalam dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas tersebut terdapat roll berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan
melipat mi menjadi dua bagian yang sama panjang.
h. Pengeringan Drying
Pengeringan didefinisikan sebagai suatu proses pemanasan pada produk bahan pangan pada kondisi yang terkendali dengan cara menguapkan air yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut dengan tujuan untuk memperpanjang
daya simpan dengan mengurangi aktivitas airnya atau a
w
-nya Fellows, 2000. Dalam pembuatan mi kering, bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi,
menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi kering, kaku dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan mi kering biasanya dilakukan pada suhu sekitar 100
o
C selama 30 menit.
i. Pendinginan Cooling
Pendinginan cooling adalah proses pendinginan yang dilakukan dengan cara melewatkan mi dalam suatu kotak tunnel yang di dalamnya terdapat
sejumlah kipas angin yang menghembuskan udara segar. Tujuan dari proses ini adalah agar mi yang baru keluar dari proses pengeringan dapat diturunkan
30 suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32
o
C sebelum dikemas dengan etiket Pribadi, 2004. Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami
pendinginan secara sempurna.
j. Pengemasan Packing
Setelah dilakukan pendinginan, mi langsung dikemas dengan cara memasukkan produk mi kering ke dalam kemasan plastik yang sudah disiapkan
secara manual. Pengemasan ini bertujuan untuk melindungi mi dari kemungkinan- kemungkinan tercemar atau rusak sehingga mi tidak mengalami penurunan mutu
sampai di tangan konsumen. Dengan pengemasan yang baik, produk akan terhindar pencemaran debu dan kotoran tangan, kelembaban oksigen di udara,
serangan serangga, dan lain sebagainya Syarief et al, 1989.
B. CEMARAN PADA PRODUK MI KERING
Cemaran pada produk mi kering kemungkinan dapat berupa cemaran mikrobiologis, cemaran kimia dan cemaran fisik. Cemaran-cemaran tersebut dapat
berasal dari bahan baku utama, bahan baku pembantu lain dan bahan tambahan pangan BTP.
1. Cemaran Mikrobiologis
Mi kering merupakan produk mi yang telah dikukus dan dikeringkan terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 8-10. Mi kering memiliki a
w
sekitar 0,80 dan pH sebesar 8,7 Yustiareni, 2000. Menurut Fardiaz 1992 dan Buckle et. al 2007, pangan dengan kadar air yang rendah dan pH relatif tinggi
pH 8,5 dikelompokkan sebagai pangan yang tidak mudah rusak. Dengan demikian, kadar air yang rendah dan a
w
yang rendah menyebabkan mi kering tidak riskan jika disimpan pada suhu ruang. Namun demikian, bukan berarti
produk mi kering tersebut tidak bebas dari adanya kemungkinan pencemaran atau kontaminasi baik adanya cemaran mikrobabiologis, kimia maupun fisik yang
berasal dari bahan baku dan bahan lainnya. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01.2974-1992 untuk
produk mi kering PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992, cemaran mikroba yang mungkin terdapat pada mi kering dapat berupa bakteri E. Coli, kapang dan
31 angka lempeng total. Oleh karena itu, cemaran mikroba tersebut ditetapkan
batasnya di dalam SNI dalam keadaan negatif atau tidak boleh ada cemaran mikroba dalam produk mi kering. Menurut Jay 2000, mikroba perusak yang
mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang; sedang Fardiaz 1992 menyatakan bahwa jika tumbuh
pada bahan pangan, bakteri dapat menyebakan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut.
Adanya aktifitas mikroorganisme pembentuk asam misalnya, ditandai dengan terdeteksinya bau asam pada mi basah yang telah rusak. Pada bakteri aerobik
pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan hasil olahannya sebagai sumber
energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya
berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam Jay, 2000.
Selain cemaran bakteri dan kapang tersebut, mi kering kemungkinan dapat tercemar oleh bakteri jenis Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari
bahan tepung telur serta E. coli dan coliform yang berasal dari bahan air yang digunakan dalam proses pencampuran. Menurut ICMSF 1998, produk yang
ingrediennya mengandung tepung telur atau telur kering seperti custard, cream cakes
, angel cake dan mi kering dapat terkontaminasi oleh Salmonella dan Staphylococcus
. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Matic et. al 1990 dan Narvaiz et. al 1992 dinyatakan bahwa Salmonella yang terdapat pada tepung
telur dapat diinaktifkan dengan cara irradiasi dengan sinar gamma dengan dosis 0,8 kGy untuk jenis bakteri S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Lille. Sedangkan
untuk mereduksi sebanyak 10
3
bakteri diperlukan dosis 2,4 kGy. Produk tepung telur yang telah diirradiasi ini tahan disimpan selama 4 minggu.
Untuk mengendalikan produk kering seperti halnya mi kering yang mengandung bahan ingredien tepung telur disarankan oleh ICMSF 1998
sebaiknya melindungi produk itu dari kemungkinan terjadinya kondensasi air ke dalam produk kering tersebut. Oleh karena itu, produk mi kering yang telah
32 dikemas dalam plastik diharapkan tidak ada yang bocor dan terkena kondensasi
oleh air dari luar. Cemaran bakteri pada air yang digunakan untuk proses pencampuran guna
menghasilkan produk mi kering, kemungkinannya dapat berupa bakteri patogen E. Coli
, Campylobacter jejuni, Salmonella sp, Shigella, Vibrio cholerae, Yersinia enterolita
dan Aeromonas hydrophila; bila air air tersebut tidak diolah terlebih dahulu untuk menghasilkan kualitas air yang layak diminumdikonsumsi Jones
dan Watkins, 1989. Dengan demikian, air yang digunakan untuk produksi mi kering pada saat proses pencampuran harus memenuhi persyaratan kualitas air
minum menurut PerMenKes No. 907MENKESSKVIII2002 tanggal 29 Juli 2002, yaitu harus bebas dari bakteri E. coli dan bakteri coliform. Hal ini
disebabkan karena bakteri E. coli dan coliform digunakan sebagai indikator tercemarnya air tersebut oleh adanya cemaran yang berasal dari buangan air besar
manusia ataupun kotoran hewan. Lebih lanjut Havelar 1994 menyarankan bahwa untuk menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi, sebaiknya dalam
proses pengolahannya mengimplementasikan sistem HACCP.
2. Cemaran Kimia
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01. 2974-1992 untuk produk mi kering PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992, ditetapkan bahwa
cemaran kimia yang mungkin timbulterdapat pada mi kering berupa cemaran kimia logam-logam berat berupa timbal Pb, tembaga Cu, seng Zn,
raksamerkuri Hg dan arsen As. Cemaran kimia logam-logam berat ini diduga berasal dari bahan baku tepung terigu, garam dan air yang digunakan dalam
proses produksi mi kering. Sumber cemaran kimia logam-logam berat seperti Pb, Cu, Hg, Zn dan As dapat berasal dari lingkungan dan tanah tempat tumbuh asal
tanaman terigu yang terkontaminasi oleh polusi asap kendaraaan bermotor dan hasil buangan limbah industri yang mengandung logam-logam berat; selain itu
dari bahan baku garam yang tercamar oleh logam-logam berat di tempat asalnya. Sedang seng Zn dan tembaga Cu dapat berasal darti proses produksi
pembuatan tepung terigu di pabrik yang menghasilkan tepung terigu dan proses produksi mi kering di pabrik yang menghasilkan produk mi kering.
33
3. Cemaran Fisik
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01.2974-1992 untuk produk mi kering PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992, ditetapkan bahwa
cemaran fisik yang mungkin terdapat pada produk mi kering berupa serangga dalam berbagai bentuk stadia dan potongan-potongannya serta benda-benda asing
lainnya. Cemaran fisik benda-benda asing ini dapat berupa rambut, kotoran pasir, tanah, kelupasan cat, karat, debu, potongan kertas dan tali plastik. Sumber
cemaran fisik tersebut dapat berasal dari pekerjakaryawan yang menangani produk, pallet kayu, peralatan yang sudah lama tidak digunakan dan tali plastik
yang digunakan untuk pengemasan. Oleh karena itu, cemaran fisik benda-benda asing pada produk mi kering tersebut oleh SNI 01. 2974-1992 ditetapkan harus
negatif.
C. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI PANGAN
Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan telah menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk diperdagangkan,
setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menegah-kecil maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidahaturan dan persyaratan yang
ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksipengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna
menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan
sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan
pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain : PerMenKes No. 23MenKesSKI1978 tentang pedoman cara produksi pangan
yang baik CPPB atau good manufacturing practice GMP; Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722MenKesIX1988 tentang
bahan tambahan pangan BTP dan penggunaannya; Pedoman higiene makanan Tahun 1996 Departemen Kesehatan, 1998; Undang-Undang Pangan RI No. 7
Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai
34 dengan pasal 23 Kantor Menpangan, 1996; dan Peraturam Pemerintah PP No.
28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan Badan POM, 2004.
Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan
Pemerintah PP Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya : 1 Setiap industri pangan
memberi informasi mengenai pangan yang disampikan kepada masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, 2 Konsumenmasyarakat berhak menuntut dan
mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di hilirnya baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun
lingkungannya Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, 1999. Sementara itu, didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang dijanjikannya Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1999.
Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsenindustri pangan yang memperdagangkan
produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah.
Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan pemberitaan di media massa menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan peredaran produk
pangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, misalnya adanya cemaran mikroba pada produk pangan; penggunaan bahan tambahan
pangan BTP yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada
produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain. Disamping itu, masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang
komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang
tidak memenuhi standar mutu Anggrahini, 1997.
35 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al 2001 menunjukkan
bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian, pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsip-
prinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Persentase industri pangan
yang sudah mengerti dan menerapkanmengimplementasikan aspek keamanan pangan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Persentase Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan
Persentase Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan
Aspek Keamanan Pangan
Paham dan menerapkan
secara penuh Paham tapi
menerapkan sebagian besar
Paham tapi menerapkan
sebagian kecil Paham tapi
tidak menerapkan
sama sekali
- GMP Good Ma- nufacturing
Practice
25 40 25 10
- SOP Standard Operating Pro-
cedure
25 35 7,5
32,5
- Sanitasi dan Higiene
30 45 20 5
Sumber : Sudibyo et al. 2001. Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirata-ratakan
hasil persentasenya, maka baru sekitar 35-40 industri pangan berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk
menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan higiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program
jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar prerequisite program
yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut
dalam menerapkan sistem HACCP WHO, 1997; NACMCF, 1998. Hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi 2004 menunjukkan bahwa industri
pangan yang tidak mempraktekkan atau mengimplementasikan higiene pangan pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil
pangan yang mempraktekkanmengimplementasikan higiene pangan. Persentase
36 industri kecil pangan yang sudah mengimplementasikan dan yang tidak
mengimplementasikan higiene dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase Industri Kecil Pangan Yang Mengimplementasikan dan Tidak
Mengimplementasikan Higiene .
Persentase Industri Kecil Pangan yang
mengimplementasikan tidak mengimplementasikan higiene
No. Aspek Kegiatan
Ya Tidak
1. Pelatihan terhadap karyawan yang
menangani pangan 15,5 84,5
2. Pengendalian bahan baku dan bahan
pembantu lain yang dipakai 25,5 74,5
3. Pengendalian penggunaan bahan tambahan
pangan BTP 30,0 70,0
4. Pengendalian kebersihan pribadi karyawan
higiene personil 30,0 70,0
5. Pengendalian proses produksi dan
peralatan produksi yang digunakan 40,0 60,0
6. Pengendalian dalam penanganan dan
penyimpanan pangan untuk mencegah kontaminasi
45,5 55,5 7.
Pengendalian alat-alat pembersih sapu, alat pengepel, cairan deterjen, dan lain-
lain 40,0 60,0
8. Pengendalian hama
35,0 65,0
9. Pengendalian catatandokumen
20,0 80,0
Sumber : Sudibyo dan Sumarsi, 2004. Dari data dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa industri pangan
berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan
sistem manajemen HACCP secara komulatif baru mencapai 40. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan
berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatankendala dalam pengembangan dan penerapannya.
Secara umum berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al 2001 terhadap industri pangan berskala menengah di Indonesia teridentifikasi bahwa program
keamanan pangan dan penerapan sistem keamanan pangan ditinjau dari aspek GMP, sanitasi dan higiene, SOP, sistem HACCP dan pelatihan sistem keamanan
pangan belum dilaksanakan secara penuh sehingga industri pangan berskala
37 menengah tersebut perlu dibina, diberdayakan dan ditingkatkan kinerjanya dalam
bidang keamanan pangan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka era globalisasi dan perdagangan bebas, industri pangan dituntut untuk menghasilkan produk
pangan yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh konsumen, sehingga mampu bersaing dengan produk pangan sejenis yang dihasilkan oleh industri
pangan dari luar.
D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN KELAYAKAN DASAR DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP