a. Prioritas masalah
Pada masa lalu era tahun 1970-an - 1980-an, penentuan prioritas masalah kesehatan selalu dilakukan dalam perencanaan kesehatan. Berbagai macam metode dipergunakan
untuk menentukan masalah kesehatan mana yang perlu diberikan prioritas. Namun setelah berjalan beberapa dekade, pengalaman empiris telah membantu para pengambil
keputusan dan perencana untuk mengetahui masalah kesehatan mana yang menjadi prioritas di suatu negara atau wilayah. Untuk Indonesia, misalnya, dalam kelompok
masalah non-infeksi sudah diketahui bahwa masalah KIAKB dan kurang gizi adalah masalah prioritas. Dalam kelompok penyakit infeksi, malaria, tuberkulosis, HIVAIDS,
ISPA, diare, DBD adalah beberapa penyakit infeksi yang menjadi prioritas nasional.
Namun demikian, kalau disuatu daerah ada masalah tertentu yang dianggap penting dan tidak termasuk dalam prioritas masalah kesehatan nasional, daerah perlu melakukan
penentuan prioritas masalah tersebut relatif terhadap masalah lain. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan beberapa kriteria tertentu, misalnya 1 prevalens masalah
tersebut, 2 besar dampaknya seperti ditunjukkan oleh angka CFR, kerugian ekonomi yang ditimbulkan, dll. Sebagai contoh, masalah penggunaan formalin dan baygon
dalam pengolahan ikan di Kabupaten Tangerang dianggap sebagai masalah penting oleh daerah ybs, penyakit reabies dianggap penting di pulau Flores, dll.
b. Prioritas intervensi
Prioritas intervensi berbeda dari prioritas masalah. Dalam program kesehatan, ada dua kelompok intervensi yang dapat dilakukan, yaitu:
a Intervensi terhadap penyakit, yang umumnya bersifat pelayanan pengobatan individu
b Intervensi terhadap faktor resiko termasuk intervensi perilaku dan intervensi lingkungan, yang umumnya merupakan program kesehatan masyarakat
Dalam masing-masing kelompok intervensi tersebut, kemajuan ilmu dan teknologi menawarkan berbagai macam jenis intervensi. Untuk pengobatan, tersedia berbagai
macam jenis pengobatan untuk suatu jenis penyakit misalnya untuk malaria tersedia berbagai alternatif obat. Demikian juga untuk faktor resiko lingkungan dan perilaku,
tersedia berbagai macam alternatif misalnya untuk malaria tersedia intervensi pemberantasan sarang nyamuk, pengunaan kelambu, berbagai media untuk KIE, dll.
Penentuan prioritas intervensi adalah memilih intervensi yang terbaik diantara pilihan yang ada. Salah satu cara untuk menentukan intervensi terbaik adalah analisis cost
effectiveness. Dalam P2KT, penentuan jenis intervensi ini termasuk salah satu langkah penting, karena memang cukup banyak pilihan intervensi yang sekarang tersedia.
Namun - sekali lagi - pengalaman empiris sudah membuktikan mana intervensi yang cosr effective dan mana yang tidak. Artinya, dalam melaksanakan P2KT, daerahDinkes
tidak perlu melakukan analisis tersebut. Apalagi WHO sudah membuat daftar sejumlah
11
DHS-1 MODUL PELATIHAN P2KT
intervensi yang terbukti cost effective, seperti misalnya immunisasi, Tb-DOTS, MTBS, dll. Untuk menurunkan kematian ibu, intervensi yang sudah terebukti cost
effective termasuk KB, ANC khususnya K4, dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih.
c. Kewenangan Wajib, SPM dan pelayananprogram essensial
UU No. 322004 menyebutkan bahwa daerah harus melaksanakan programpelayanan tertentu yang disebut sebagai Standar Pelayanan Minimal. Ada kriteria yang disebutkan
dalam UU tersebut tentang SPM, yaitu sebagai berikut:
1 Pelayananprogram yang diperlukan untuk menjamin hak konstitusi penduduk 2 Pelayananprogram yang penting untuk kesejahteraan penduduk, menjamin
ketertiban dan menjaga keutuhan NKRI 3 Pelayananprogram yang merupakan komitment global
Pada tahun 2003 dikeluarkan Kepmenkes 1457 yang berisi daftar 31 jenis programkegiatan yang termasuk dalam SPM lihat tabel berikut. Programpelayanan
atau kegiatan dalam daftar SPM tersebut juga perlu dipertimbangkan dalam perencanaan daerah. Seperti terlihat, jumlahnya cukup banyak dan ada program tertentu dalam
daftar tersebut yang masih bisa diuraikan lebih lanjut, sehingga jumlah total program dalam SPM sebetulnya lebih banyak dari 31 buah 26 diberi nomor dan lima tanpa
nomor.
Seperti terlihat, ternyata tidak semua kegiatan dalam daftar tersebut dapat disebut sebagai pelayanan, misalnya adalah pembiayaan kesehatan. Demikian pula, ada
pelayanan farmasi yang sebetulnya sudah terintegrasi dengan pelayanan lain. Misalnya, apabila daerah menyusun rencana program malaria, otomatis kebutuhan farmasi untuk
program tersebut sekaligus direcanakan. Artinya, dipertanyakan kenapa pelayanan farmasi dianggap sebagai pelayanan yang ekslusif.
Masalah lain adalah kesehatan usila, yang didalamnya tercakup banyak pelayanan program kesehatan. Hal yang sama terjadi dengan pelayanan kesehatan kerja. Kedua
pelayanan ini menggunakan pendekatan sasaran pelayanan penduduk usila dan tenaga kerja, sedangkan pelayanan lain menggunakan pendekatan masalah kesehatan. Maka
jenis-jenis pelayanan dalam daftar tersebut tidak mutually exclusive atau tumpang tindih.
Pada tahun 2006, Depkes melakukan upaya-upaya untuk mereview kembali daftar SPM tersebut. Acuan dasarnya adalah UU No. 32 seperti disampaikan dimuka. Draft
awal perbaikan SPM tersebut berisi pelayanan dengan jumlah yang jauh lebih sedikit, yaitu 8 jenis pelayananprogram, dengan 30 jenis indikator. Draft perubahan daftar
SPM tersebut disampaikan dalam tabel berikutnya.
12
DHS-1 MODUL PELATIHAN P2KT