Korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan sebagai upaya peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit x dan rumah sakit y Tahun 2015

(1)

i

KORELASI BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DENGAN PERSEPSI PELAPORAN KESALAHAN MEDIS OLEH TENAGA KESEHATAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN

KERJA DI RUMAH SAKIT X DAN RUMAH SAKIT Y TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh :

LANY APRILI SULISTIANI NIM : 1111101000098

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S-1) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 5 Juni 2015


(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juni 2015

Lany Aprili Sulistiani, NIM. 1111101000098

Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit X Dan Rumah Sakit Y Tahun 2015

(xvi + 112 halaman, 7 tabel, 4 bagan, 7 lampiran) ABSTRAK

Latar Belakang. Tingkat pelaporan kesalahan medis di Indonesia masih rendah. Pelaporan yang rendah disebabkan oleh ketidaktepatan persepsi tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis. Masalah ini dapat diatasi dengan penerapan budaya keselamatan pasien yang adekuat.

Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan kuantitatif dan desain studi cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan alat bantu berupa kuesioner HSOPSC dari AHRQ versi Bahasa Indonesia dan kuesioner persepsi dari Beginta (2012). Besar sampel dalam penelitian ini berjumlah 106 responden di masing-masing rumah sakit yakni Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Analisis data univariat dilakukan dengan menggunakan Hospital Survey Excel Tool 1.6 milik AHRQ sedangkan analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasional.

Hasil. Dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif terendah di Rumah Sakit X adalah dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar unit sedangkan di Rumah Sakit Y adalah penyusunan staf. Persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X sebesar 49,95% sedangkan di Rumah Sakit Y sebesar 46%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada 6 dimensi (tindakan promotif keselamatan oleh manajer, organizational learning, kerjasama dalam unit, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan respon yang tidak menyalahkan) yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 4 dimensi (tindakan promotif keselamatan oleh manajer, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan respon yang tidak menyalahkan) yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Saran. Sosialisasi atau pelatihan terkait pelaporan kesalahan medis serta program peningkatan budaya keselamatan diperlukan untuk meningkatkan persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis di kedua rumah sakit.

Kata Kunci : budaya keselamatan pasien, pelaporan kesalahan medis, K3RS Daftar Bacaan : 81 (1993-2014)


(4)

STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

STUDY PROGRAM PUBLIC HEALTH

DEPARTMENT OF OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduate Thesis, June 2015

Lany Aprili Sulistiani, NIM 1111101000098

Correlation Of Patient Safety Culture And Perception Of Medical Error Reporting as An Increasing Effort for Occupational Safety and Health at X Hospital and Y Hospital in 2015

(xvi + 112 pages, 7 tables, 4 graphics, 7 attachments) ABSTRACT

Introduction. Medical error reporting rate in Indonesian is still low. Low reporting rate is caused by health workers‘ inexactitude perception about medical error reporting. This problem can be overcome by the implementation of adequate patient safety culture

Method. This research is an analytical research with quantitative approach and cross sectional study design. The data collected by using questionnaire include HSOPSC questionnaire by AHRQ in Bahasa Indonesia and perception questionnaire by Beginta. Sample size of this research is 106 respondent in both of the hospitals, they are X Hospital and Y Hospital. Univariate analysis is conducted by using AHRQ‘s Hospital Survey Excel Tool 1.6 while bivariate analysis is conducted by using correlational statistical test.

Results. Patient safety culture dimension with the lowest positive response in X Hospital is dimension staffing and teamwork across units while in Y Hospital is also staffing. Perception of medical error reporting in X Hospital is 49,95% while in Y Hospital is 46%. Statistic test showed that perception of medical error reporting is correlated with 6 dimensions (manager expectations & actions promoting patient safety, organizational learning, teamwork within unit, feedback and nonpunitive response) in X Hospital which is correlated with while in Y Hospital medical error reporting is correlated with 4 dimension (manager expectations & actions promoting patient safety, feedback and nonpunitive response).

Saran. Socialization or training about medical error reporting and patient safety culture increasing programs is needed to improve positive perception about medical error reporting.

Keywords : patient safety culture, medical error reporting, K3RS References : 81 (1993-2014)


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul

Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015

Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Juli 2015

Disusun Oleh : Lany Aprili Sulistiani NIM : 1111101000098

Mengetahui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Fase Badriah, M.Kes, Ph.D Riastuti Kusumawardani, MKM


(6)

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, Juli 2015

Penguji I

Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D NIP. 197503162007102001

Penguji II

Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D NIP. 197612092006042003

Penguji III


(7)

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Lany Aprili Sulistiani Nama Panggilan : Lany / April

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 April 1994 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Raya Bekasi Km.23 Komplek TNI AD/51 RT 03 RW 006 Cakung Barat, Cakung, Jakarta Timur

No. Telpon/HP : 089601297604 / 082298506835

Email : bukankazu@gmail.com

lany.sulistiani11@mhs.uinjkt.ac.id LinkedIn : Lany Aprili Sulistiani

Kata Mutiara : Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS. 94:7-8)

Riwayat Pendidikan Formal

1. 1998-1999 : TK Dharma Wanita Tunas Harapan Bekasi 2. 1999-2005 : SDN Cakung Barat 10 Petang

3. 2005-2008 : SMPN 168 Jakarta Timur

4. 2008-2011 : SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya Jakarta

5. 2011-2015 : S1 Peminatan K3 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Riwayat Pendidikan Non Formal

1. Latihan Dasar Penelitian Tingkat Wilayah Tahun 2008 dan 2009 2. Latihan Dasar Penelitian Tingkat Provinsi Tahun 2010


(8)

3. Peserta Sertifikasi Kejuruan Bidang Studi Keahlian Kesehatan Kompetensi Keahlian Keperawatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011

4. Pendidikan Dasar Relawan Bencana Rumah Zakat Nasional Tahun 2013 5. Leadership and Character Building Course Kementerian Pemuda dan

Olahraga Tahun2014

6. Pelatihan Basic Fire Fighting oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta tahun 2013

7. Workshop Investigasi dan Pencegahan Kecelakaan Kerja tahun 2014 8. Workshop Ergonomi di Tempat Kerja tahun 2014

9. WorkshopRisk Assessment in the Work Place tahun 2014 10. WorkshopManagement of Fire Safety tahun 2014

11. Course of Training SMK3 Based on OHSAS 18001 & PP No. 50 Tahun 2012

Riwayat Organisasi

1. Koordinator Bidang IPS Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Pusat Tahun 2009 2. Wakil Ketua Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Pusat Tahun 2010

3. School Representatives Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan Tingkat Provinsi Tahun 2009

4. Sekretaris OSIS SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya Tahun 2010

5. Penasihat Kelompok Ilmiah Remaja SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya, Jakarta Pusat Tahun 2012

6. Relawan Rumah Zakat Cabang Jakarta Barat Tahun 2012-2014

7. Ketua Preventor Keluarga Kadarzitensi ICD Binaan Rumah Zakat Cabang Jakarta Barat Tahun 2013

8. Staff Human Resources Department Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013-2014

9. General Manager Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (FSK3) UIN Jakarta Tahun 2014-2015

10. Ketua Divisi Penelitian Panitia Seminar Pengembangan Profesi K3 UIN Jakarta Tahun 2014


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan Inayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul ―Korelasi Budaya Keselamatan Pasien dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan Di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Tahun 2015‖ ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir mahasiswa semester 8 Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Kedua orangtua penulis, La Hadimu dan Mulyani atas limpahan ilmu,

perhatian, cinta dan kasih sayang yang tidak akan pernah terbalas. I love you mom, dad!

2. Dr. H. Arif Sumantri SKM., M.Kes. selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Fase Badriah dan Ibu Riastuti Kusumawardani selaku dosen pembimbing atas ilmu dan pencerahannya setiap saat kepada penulis.

4. Ibu Catur Rosidati selaku dosen penasihat akademik atas perhatian dan nasihatnya sejak penulis masuk di keluarga besar Kesmas UIN Jakarta.

5. Ibu Iting Shofwati, seluruh dosen peminatan K3 dan tak lupa seluruh dosen Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih banyak atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan.

6. Ms. Jenni Scolese selaku AHRQ Surveys on Patient Safety Culture Technical Assistance, Ms. Limaya Atembina dan Ms. Randie Siegel selaku Patient Safety Culture Surveys Support Group di Westat on behalf of AHRQ yang telah memberikan arahan dalam menggunakan instrumen HSOPSC serta memberikan instrumen analisis data oleh AHRQ.

7. Ibu Yuri selaku pembimbing lapangan di Rumah Sakit Y. Staf komite mutu serta Bapak Budi, Mas Panji, Ka Dede, Ka Wiyar serta Bu Neti yang telah membantu penulis selama penelitian di RS Y.


(10)

8. dr. Fitri, dr. Resnita, Ibu Nurhayana, Ibu Nina, Ka Shylvy dan Pak Timo di Rumah Sakit X dan juga seluruh staf Rumah Sakit X yang telah membantu. 9. My beloved siblings both Syarfan Maulana Rahman and my youngest brother

Nasron Zubaidih. Terimakasih semangatnya dear. My big family especially for Kakung, Nenek, Tete, om Mustar, om Nyong, om Mat, Papa-tua, mama-tua, dan juga seluruh sepupu penulis (Ka Dian, Ka Wawan, Ka Sam, Ka Akmal, Ka Ani, Ka Edi, Adi, Hafidz, Febri).

10. Temanku yang terkasih Annisa Septiani, Sri Wahyu Fitria, Yourike Alia Stevani, Salsabila Triana Dwiputri, Betti Ronayan Adiwijayanti, Asril Yusuf Putra Fau, Teman-teman Raklac UIN Jakarta 2011, K3 2011, Kesmas UIN Jakarta 2011, FSK3 UIN Jakarta dan tak lupa IKAHIMA K3 Indonesia. Big thanks for all of you!

11. Adik-adikku angkatan 30 SMK Kesdam Jaya Maya Febrihapsari, Dyah Ayu Hapsari dan Fauziah Putridhini. Seacom my dearest Fitka Prili Miki, Rezky Kira, Fransisca Christina, Dwi Nuraini dan Gita Mayang Asri. Anita Nuryani, Isma Novianti dan staf SHE PT Krama Yudha Ratu Motor atas semangatnya yang tidak putus. Dicky Saputra, Ittha ‗Jun‘, Dina ‗Min‘ serta teman-teman dari seluruh forum dan institusi yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas do‘a, motivasi dan semangatnya. Terutama untuk pertanyaan ‗kapan lulus?‘ atau ‗kapansidang?‘ yang amat sangat memicu semangat penulis.

Harapan penulis agar tulisan yang penulis buat ini dapat memenuhi tujuannya dan semoga tulisan ini dapat dicatat sebagai salah satu amal oleh Allah SWT yang bermanfaat baik bagi Penulis maupun bagi pembaca. Tulisan ini adalah karya manusia. Apa yang hari ini Penulis yakini benar dapat berubah suatu saat nanti. Sesungguhnya kesempurnaan adalah milik Allah SWT sedangkan kekurangan yang ada adalah bagian dari diri Penulis.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, Juli 2015


(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Pertanyaan Penelitian... 5

D. Tujuan ... 5

E. Manfaat ... 6

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Pelaporan Kesalahan Medis ... 9

1. Definisi Kesalahan Medis ... 9

2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ... 10

B. Konsep Pembentukan Persepsi ... 11

C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit... 12

1. Definisi Keselamatan Pasien... 13

2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia ... 14

3. Tujuan Keselamatan Pasien ... 17

4. Insiden Keselamatan Pasien ... 17

D. Budaya Keselamatan Pasien ... 19

1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien ... 20

2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ ... 24

E. Rumah Sakit... 33


(12)

2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus ... 34

F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis ... 35

G. Kerangka Teori ... 35

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL & HIPOTESIS . 37 A. Kerangka Konsep... 37

B. Definisi Operasional ... 40

C. Hipotesis Penelitian ... 43

BAB IV METODE PENELITIAN ... 45

A. Desain Penelitian ... 45

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 45

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45

D. Alat dan Cara Pengumpulan Data... 47

E. Pengolahan Data, Uji Validitas dan Realibilitas... 49

F. Metode Analisis Data ... 50

BAB V HASIL PENELITIAN ... 53

A. Gambaran Umum Rumah Sakit X ... 54

B. Analisis Univariat ... 55

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 55

2. Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan ... 56

3. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien... 56

C. Analisis Bivariat ... 58

BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN ... 68

A. Keterbatasan Penelitian ... 68

B. Gambaran Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ... 68

C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ... 72

1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer ... 73

2. Organizational learning– perbaikan berkelanjutan ... 77

3. Kerjasama dalam unit rumah sakit ... 81

4. Keterbukaan komunikasi ... 84

5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi ... 87

6. Respon yang tidak menyalahkan ... 90

7. Penyusunan staf ... 93

8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien ... 95

9. Kerjasama antar unit di rumah sakit ... 97


(13)

BAB VII PENUTUP ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis ... 18

Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien ... 25

Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian ... 36


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan Pasien ... 22

Tabel 4. 1 Deskripsi Kuesioner Bagian Budaya Keselamatan ... 48

Tabel 4. 2 Kriteria Penilaian Berdasarkan Presentase ... 51

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian ... 55

Tabel 5. 2 Gambaran Persepsi Positif Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan 2015 ... 56

Tabel 5.3 Gambaran Respon Positif 10 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien pada Tenaga Kesehatan Tahun 2015 ... 57

Tabel 5. 4 Analisis korelasi dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan tahun 2015 ... 58


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Kuesioner

Lampiran 2. Alat Analisis Budaya Keselamatan Pasien Lampiran 3. Output Analisis Data


(17)

DAFTAR SINGKATAN

AHRQ : Agency for Healthcare Research and Quality CIHI : Canadian Institute for Health Information CSS : Culture of Safety Survey

HSOPSC : Hospital Survey of Patient Safety Culture IHI : The Institute of Healthcare Improvement IOM : Institute of Medicine

JCAHO : Joint Commision on Accreditation of Health Organizations KKP-RS : Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit

OSHA : Occupational Safety and Health Administration PSCHO : Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations

SLOAPS : Strategies for Leadership - An Organizational Approach to Patient Safety

VHA-PSCQ : Veterans Administration Patient Safety Culture Questionnaire WHO : World Health Organization

KTD : Kejadian Tidak Diharapkan KNC : Kejadian Nyaris Cedera KTC : Kejadian Tidak Cedera KPC : Kondisi Potensial Cedera


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kesehatan adalah keadaan sempurna baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang nantinya akan berpengaruh terhadap kinerja dan produktivitas (Republik Indonesia, 2009a; Nurcahyo, 2008). Organisasi kesehatan berupa rumah sakit diperlukan sebagai upaya perbaikan status kesehatan.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan dengan selalu mengutamakan keselamatan pasien. Namun faktor keberagaman dan kerutinan pelayanan kesehatan yang diberikan serta lingkungan rumah sakit yang kompleks dengan berbagai macam profesi, peralatan, prosedur, infrastruktur dan kebijakan dapat berpotensi menimbulkan kesalahan medis yang berujung pada insiden keselamatan pasien (Kalra dkk., 2013; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Occupational Safey and Health Administration, 2014).

Perhatian dunia terhadap keselamatan pasien dimulai dari laporan Institute of Medicine pada tahun 1999 terkait kesalahan medis dan jumlah kasus kejadian tidak diharapkan (Classen dkk., 2011; Hercules, 2010). Occupational Safey and Health Administration (2014) menyatakan bahwa sejak dirintis laporan tersebutlah aspek keselamatan pasien mulai dipandang dengan pola pendekatan sistem seperti aspek keselamatan pada bidang industri lainnya seperti manufaktur


(19)

2

ataupun penerbangan. Karena pada dasarnya isu keselamatan pasien berhubungan erat dengan isu keselamatan tenaga kesehatan itu sendiri.

Meginniss dkk. (2012) menyatakan bahwa lebih dari 40.000 insiden keselamatan pasien terjadi di Inggris setiap hari. Selanjutnya World Health Organization (2014) mengungkapkan fakta mengejutkan yang menyatakan bahwa 1 dari 10 pasien di negara berkembang termasuk Indonesia mengalami cedera pada saat menjalani pengobatan di rumah sakit.

Pada hakikatnya seluruh kesalahan medis yang terlaporkan masih merupakan sebagian kecil dari jumlah sebenarnya (Suharjo dan Cahyono, 2008). Hingga saat ini, tingkat pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan masih sangat rendah (Youngson, 2014). Di Indonesia, Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2011) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2010 telah didapatkan 103 laporan insiden keselamatan pasien dari rumah sakit di seluruh Indonesia. Sementara itu Kementerian Kesehatan dalam Bambang (2011) juga menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 1523 rumah sakit di Indonesia dengan 653 diantaranya sudah terakreditasi. Jumlah laporan yang sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah rumah sakit yang telah terakreditasi pada saat itu mengindikasikan tingkat pelaporan yang rendah di Indonesia.

Padahal pelaporan kesalahan medis merupakan upaya fundamental sebagai pencegahan terjadinya kesalahan medis (Kachalia dan Bates, 2014), karena pelaporan kesalahan medis dibutuhkan sebagai salah satu upaya dalam proses pembelajaran dan evaluasi berkelanjutan (Lamo, 2011). Reason dalam Wolf dan Hughes pada tahun 2005 menyatakan bahwa terjadinya kesalahan medis maupun


(20)

insiden keselamatan pasien di suatu rumah sakit menunjukkan adanya masalah dalam jumlah besar pada sistem keselamatan di rumah sakit tersebut. Namun Calado Monteiro dan Santos Natário (2014) mengungkapkan bahwa masalah-masalah yang terjadi dalam sistem keselamatan dapat diatasi dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal ini dapat terjadi karena budaya keselamatan pasien dapat mendukung pembangunan sistem yang kondusif bagi kegiatan perawatan pasien yang aman serta bebas dari kesalahan medis.

Budaya keselamatan pasien didefiniskan sebagai lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem (AORN Journal, 2006). Dengan adanya budaya keselamatan pasien akan tercipta sistem keselamatan yang efektif baik untuk melindungi pasien maupun seluruh tenaga kesehatan yang berada dalam ruang lingkup rumah sakit. Terutama untuk melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan pasien ketika terjadi kesalahan medis (Lamo, 2011).

Pembentukan persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan membutuhkan budaya keselamatan pasien yang nantinya akan membentuk lingkungan yang bebas dari perilaku saling menyalahkan atas kesalahan medis yang terjadi (El-Jardali dkk., 2011). Hal sama juga diungkapkan Beginta (2012) bahwa persepsi pelaporan kesalahan medis dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan, kerja tim dan budaya keselamatan.

Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y adalah rumah sakit dengan perbedaan kelas serta karakteristik pelayanan, dimana Rumah Sakit X merupakan rumah sakit umum kelas B dan Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit khusus kelas A.


(21)

Budaya dan lingkungan yang berbeda sebagai stimulus akan memunculkan persepsi yang berbeda pada tenaga kesehatan. Pada penelitian ini akan dilihat korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing rumah sakit.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang didapatkan melalui in-depth interview dengan informan pada 2 rumah sakit kelas A, 3 rumah sakit kelas B dan 2 rumah sakit kelas C di Jakarta didapatkan informasi bahwa tingkat kemauan tenaga kesehatan yang bekerja 7 rumah sakit tersebut dalam melaporkan kesalahan medis yang terjadi masih rendah. Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y memberikan ijin untuk melakukan penelitian lebih lanjut sedangkan 5 rumah sakit lainnya menolak untuk memberikan ijin penelitian.

Selain hal tersebut, penelitian terkait pelaporan kesalahan medis di Indonesia juga masih sedikit. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait korelasi budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit Y Jakarta dan Rumah Sakit X.

B. Rumusan Masalah

Setiap rumah sakit memiliki sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang berbeda sesuai dengan potensi bahaya dan karakteristik pelayanan di dalam rumah sakit tersebut. Dengan berlakunya sistem keselamatan pasien yang berbeda maka akan terbentuk budaya berbeda yang dibentuk oleh setiap orang yang berada didalam rumah sakit tersebut. Budaya keselamatan pasien sendiri merupakan bagian dari budaya rumah sakit yang berperan penting untuk meningkatkan


(22)

persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis. Karena masalah pelaporan kesalahan medis yang rendah di rumah sakit dipengaruhi oleh persepsi tenaga kesehatan yang tidak tepat terhadap pelaporan kesalahan medis. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai ―Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015‖.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015?

2. Bagaimanakah gambaran persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015?

3. Apakah terdapat korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015?

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015.

2. Tujuan Khusus


(23)

a. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dimasing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015.

b. Mengetahui gambaran persepsi positif pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015.

c. Menggambarkan korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015.

E. Manfaat

1. Bagi Peneliti

a. Dapat menjadi proses pembelajaran serta implementasi seluruh ilmu yang didapatkan selama pendidikan.

b. Dapat menjadi media untuk mengembangkan ilmu serta praktiknya. 2. Bagi Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui informasi terkait korelasi budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing rumah sakit.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam evaluasi dan pembuatan kebijakan program peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan tenaga kerja dari kesalahan medis di masing-masing rumah sakit.


(24)

3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta

a. Penelitian ini menjadi salah satu upaya untuk mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi mahasiswa

mengenai budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berjudul korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta. Penelitian ini akan dilakukan oleh mahasiswi Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan objek penelitian adalah perawat, dokter dan tenaga kesehatan lain di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y.

Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada bulan Desember 2014-Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional dengan pengumpulan data berupa pengisian kuesioner. Kuesioner dimensi budaya keselamatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Hospital Survey on Patient Safety Culture sedangkan kuesioner persepsi pelaporan kesalahan medis yang digunakan adalah kuesioner yang dikembangkan oleh Romi Beginta pada tahun


(25)

2012. Analisis data yang akan digunakan hanya berupa analisis univariat dan bivariat dengan uji korelasi. Uji korelasi merupakan uji hipotesis untuk variabel independen dan dependen yang bersifat numerik dilakukan pada tiap dimensi yang ada dalam budaya keselamatan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis.


(26)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pelaporan Kesalahan Medis

Laporan adalah suatu pernyataan baik secara lisan atau tulisan yang menjelaskan tentang suatu kejadian atau tindakan yang telah (Siswandi, 2011). Pelaporan kesalahan medis digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi dalam memperbaiki sistem pelayanan dan pelaporan sebagai hal yang sangat penting dalam upaya membangun budaya keselamatan pasien terutama dalam mencegah pengulangan kesalahan yang sama (Wolf dan Hughes, 2005; Gulley, 2007). Espin dkk. (2007) juga menyatakan bahwa pembangunan mekanisme pelaporan kesalahan medis adalah strategi yang pertama ditekankan oleh IOM. Penerapan strategi tersbeut di Indonesia diimplementasikan melalui tujuh standar keselamatan pasien yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

1. Definisi Kesalahan Medis

Kesalahan medis diartikan oleh AHRQ sebagai kesalahan yang terjadi pada proses perawatan dan berpotensi menciderai pasien. Kesalahan medis diantaranya adalah kegagalan melakukan tindakan yang telah direncanakan atau penggunaan rencana yang tidak tepat untuk mencapai tujuan tertentu. Kesalahan medis dapat berupa output dari tindakan yang dilakukan atau tindakan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan (Agency for Healthcare Research and Quality, 2003).


(27)

Kesalahan medis adalah kegagalan dalam proses tetapi tidak dilakukan secara sengaja untuk menciderai pasien. Kesalahan medis yang tidak menimbulkan bahaya disebut hampir celaka atau near-miss (White dan Gallagher, 2013). Kesalahan medis juga dapat didefinisikan sebagai kegagalan proses yang tidak secara esensial membahayakan pasien namun kesalahan medis dapat berujung pada timbulnya kejadian tidak diharapkan atau jenis insiden keselamatan lainnya (Ghazal dkk., 2014).

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan medis adalah kegagalan tenaga kesehatan dalam suatu proses yang berpotensi menimbulkan insiden keselamatan pasien.

2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Pelaporan kesalahan medis memerlukan pengungkapan kesalahan yang tepat (Wolf dan Hughes, 2005). Dan untuk mencapai pelaksanaan pelaporan kesalahan medis yang optimal diperlukan faktor pendukung. Faktor pendukung persepsi pelaporan kesalahan medis adalah :

a. Kesempatan untuk belajar langsung dari kesalahan medis yang terjadi (learning opportunity) (Waters dkk., 2012).

b. Sikap proaktif terhadap keselamatan pasien (Waters dkk., 2012). c. Kewajiban profesi (Waters dkk., 2012).


(28)

Selain faktor pendukung, terdapat juga beberapa penghambat dari pelaporan kesalahan medis diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Standar operasional prosedur pelaporan kesalahan medis yang menyulitkan (Wolf dan Hughes, 2005).

b. Kurangnya feedback dan dukungan organisasi terhadap pelaporan insiden (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; White dan Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013).

c. Budaya yang menyalahkan apabila kesalahan medis tersebut terungkap (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Waters dkk., 2012; Espin dkk., 2007).

d. Waktu yang dibutuhkan untuk melapor (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; White dan Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013; Sinicki dkk., 2012).

e. Derajat keparahan cidera akibat kesalahan medis yang terjadi (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Williams dkk., 2013; White dan Gallagher, 2013; Wolf dan Hughes, 2005).

B. Konsep Pembentukan Persepsi

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) atas sesuatu (Setiawan, 2014). Persepsi didefinisikan lebih aplikatif lagi sebagai kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan dan selanjutnya diinterpretasikan (Sarwono, 2010).

Persepsi berlangsung saat tenaga kesehatan menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam


(29)

otak. Didalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam sebuah pemahaman. Pemahaman inilah yang disebut sebagai persepsi. (Sarwono, 2010)

Sebelum terjadi persepsi pada tenaga kesehatan, diperlukan stimuli yang merangsang individu dan stimuli tersebut haruslah ditangkap melalui organ-organ tubuh individu yang diantaranya adalah panca indra. Selanjutnya sensasi dari stimulan dibawa ke dalam sistem syaraf dan dilakukan penambahan informasi kepada stimulus yang diterima yang didapat sebagai interpretasi hingga kemudian menjadi persepsi. Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip diantaranya wujud dan latar (figure and ground atau emergence), pola pengelompokan serta ketetapan (Sarwono, 2010).

C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit

Konsep keselamatan yang berlaku pada rumah sakit tidak berbeda dengan yang berlaku pada dunia industri lainnya dimana keselamatan dipandang dengan pola pendekatan sistem dan bukan individu. Karena pada dasarnya keselamatan tenaga kerja berhubungan erat dengan keselamatan pasien (Occupational Safey and Health Administration, 2014).

Lingkungan yang aman bagi pasien juga akan menjadi lingkungan yang lebih aman bagi pekerja dan sebaliknya karena keduanya terikat dalam banyak aspek kebudayaan yang sama serta isu sistemik yang terjadi didalam lingkungan rumah sakit. Salah satu contohnya adalah bahaya yang ada dalam ruang lingkup rumah sakit yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengendalian infeksi, kelelahan ataupun kesalahan teknis dapat menimbulkan cidera atau penyakit bukan hanya


(30)

berbahaya terhadap pasien tetapi juga kepada pekerja di rumah sakit tersebut. Tenaga kesehatan yang harus senantiasa berhadapan dengan lingkungan yang tidak menempatkan keselamatan dan kesehatan mereka sebagai prioritas utama tidak akan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang benar-benar bebas dari kesalahan (Occupational Safey and Health Administration, 2014).

1. Definisi Keselamatan Pasien

Keselamatan merupakan isu global termasuk juga untuk rumah sakit World Health Organization (2014). Ada lima isu penting keselamatan di rumah sakit dan salah satunya adalah keselamatan pasien (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Canadian Council on Health Services Accreditation (2003) memberikan definisi keselamatan pasien yakni pencegahan dan mitigasi dalam lingkup pelayanan kesehatan. Konsep mengenai keselamatan pasien berikutnya lebih menggambarkan outcome dari keselamatan pasien dimana keselamatan pasien diartikan sebagai reduksi dan mitigasi perilaku tidak aman didalam ruang lingkup sistem pelayanan kesehatan, melalui pelaksanaan pelayanan terbaik yang terbukti menghasilkan outcome pasien yang optimal (Davies dkk., 2003).

Keselamatan pasien rumah sakit sendiri adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi kegiatan penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya


(31)

cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Berdasarkan definisi yang disebutkan diatas maka dapat dirumuskan bahwa keselamatan pasien merupakan usaha-usaha yang dilaksanakan dalam melakukan pencegahan kesalahan yang ditimbulkan dari perilaku tidak aman serta mitigasi untuk meringankan outcome yang tidak diharapkan seperti insiden keselamatan pasien dalam rangka pelaksanaan upaya kesehatan yang optimal.

Strategi untuk memperbaiki keselamatan pasien meliputi pembuatan budaya yang mendukung identifikasi dan pelaporan perilaku tidak aman, pengukuran yang efektif terhadap cidera yang dialami pasien dan indikator outcome relevan lainnya serta alat untuk membangun atau menyesuaikan struktur dan proses untuk mereduksi kepercayaan terhadap kewaspadaan yang dimiliki tiap individu (Canadian Council on Health Services Accreditation, 2003).

2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia

Standar keselamatan pasien di Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations (JCAHO) pada tahun 2002 yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar keselamatan pasien di Indonesia disusun dalam Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang kemudian diterbitkan oleh Departemen


(32)

Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006. Standar keselamatan tersebut diantaranya adalah :

a. Hak pasien

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya kejadian tidak diharapkan.

b. Mendidik pasien dan keluarga

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program


(33)

melalui penerapan ―Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit ‖.

2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan.

3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.

4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien.

5) Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.

f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas

2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.


(34)

g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

1) Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.

2) Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

3. Tujuan Keselamatan Pasien

Berdasarkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006) maka tujuan dari keselamatan pasien adalah sebagai berikut :

a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.

b. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.

c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.

d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

4. Insiden Keselamatan Pasien

Kegiatan perawatan medis tidak selalu dapat menghasilkan outcome positif yang diharapkan namun dapat menghasilkan beberapa kemungkinan outcome termasuk insiden keselamatan pasien. Kemungkinan outcome tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini (Suharjo dan Cahyono, 2008).


(35)

Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis

Sumber : Suharjo dan Cahyono (2008)

Berdasarkan bagan 2.1. dapat kita ketahui bahwa terdapat dua jenis outcome dari asuhan medis yang diberikan yakni hasil positif dan hasil negatif. Hasil positif berarti pasien mengalami kesembuhan atau perbaikan dari kondisi sebelumnya sedangkan hasil negatif berarti pasien tidak sembuh atau bahkan mengalami masalah kesehatan yang baru (Suharjo dan Cahyono, 2008). Hasil negatif yang diakibatkan kesalahan medis berupa cidera atau kejadian tidak diharapkan.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 terdapat 3 jenis insiden keselamatan pasien diantaranya adalah :

a. Kejadian tidak diharapkan (KTD) atau adverse events adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Kejadian tidak diharapkan juga diartikan sebagai cidera yang tidak dikehendaki atau komplikasi yang menghasilkan kecacatan, kematian atau periode perawatan yang diperlama. (Canadian Institute for Health Information, 2003).


(36)

Selanjutnya kejadian tidak diharapkan didefinisikan secara lebih spesifik sebagai sebuah outcome merugikan bagi pasien, termasuk cedera atau komplikasi dimana outcome tersebut berasal dari manajemen medis yang diterima pasien dan bukan dari penyakit dasar yang diderita oleh pasien (Wang dkk., 2014).

b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) atau near miss adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.

c. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.

d. Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. e. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian

atau cedera yang serius

D. Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan adalah produk dari nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan gaya serta kecakapan dari manajemen keselamatan dan kesehatan organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan positif ditandai dengan komunikadi yang dibangun atas kepercayaan mutual, dengan persepsi bersama terhadap pentingnya keselamatan dan dengan efikasi dari pengukuran preventif (Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations, 1993).


(37)

Budaya keselamatan juga didefiniskan sebagai lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem (AORN Journal, 2006). Konsep budaya keselamatan pasien dikembangkan dari konteks budaya keselamatan di dunia industri dimana budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku, yang dihubungkan dengan keselamatan pasien dan dianut bersama oleh tenaga kesehatan yang berada didalam ruang lingkup rumah sakit (Beginta, 2012). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka budaya keselamatan pasien dapat diartikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku yang mendukung keselamatan pasien dan dianut oleh seluruh anggota organisasi kesehatan yang membentuk lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem. Budaya dalam organisasi kesehatan merupakan hal yang penting dan menentukan proses kemampuan pendeteksian serta penanganan kesalahan yang telah terjadi (Kohn dan Corrigan, 1999).

1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien

Pengukuran budaya keselamatan pada umumnya dilakukan pada tiap individu kemudian dijadikan agregat pada tingkat yang lebih tinggi. Derajat kesamaan persepsi pekerja terhadap budaya keselamatan itulah yang menjadi kelebihan yang patut dipertimbangkan dari pengukuran budaya keselamatan (Flin dkk., 2006).

Terdapat berbagai alat ukur untuk mengukur budaya keselamatan dengan karakteristik organisasi dan dimensi budaya yang berbeda. Budaya


(38)

keselamatan pada dunia industri lain memiliki dimensi esensial berupa komitmen manajemen terhadap keselamatan. Sedangkan dimensi yang umumnya diukur pada tiap alat pengukuran budaya keselamatan di industri adalah manajemen, sistem keselamatan, risiko, pressure pekerjaan, kompetensi dan prosedur. Organisasi kesehatan sendiri mengembangkan definisi dan/atau alat pengukuran budaya keselamatan pasien berdasarkan literatur budaya keselamatan di industri (Flin dkk., 2006).

C Burns dan S Yulle dalam Flin dkk. (2006) menjabarkan dimensi budaya keselamatan pasien yang paling umum diukur di rumah sakit adalah manajemen, sistem keselamatan, persepsi risiko, tuntutan pekerjaan, pelaporan atau pengungkapan, sikap atau perilaku keselamatan, komunikasi atau feedback, kerjasama, sumber daya individu dan faktor organisasional. Berikut ini adalah karakteristik dari tiap-tiap alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien pada seluruh unit secara umum dan tidak terfokus pada salah satu profesi tenaga kesehatan (Robb dan Seddon, 2010; Colla dkk., 2005).


(39)

Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan PasienMatriks Alat Ukur Budaya Keselamatan Pasien

Karakteristik Nama Alat ukur

SLOAPS PSCHO VHA PSCQ HSOPS CSS

Pengembang IHI Singer, dkk Burr, dkk. AHRQ Weingart, dkk Karakteristik umum alat ukur

Untuk diisi secara individual

Tidak Ya Ya Ya Ya

Jumlah pertanyaan 58 45 112 44 34

Dimensi Yang Tercakup

Manajemen Ya Ya Ya Ya Ya

Kebijakan dan prosedur

Ya Sebagian Ya Sebagian Tidak

Penyusunan staf Ya Sebagian Ya Ya Sebagian

Komunikasi Ya Ya Ya Ya Ya

Pelaporan Ya Ya Ya Ya Ya

Cronbach’s Alpha - - 0.45-0.90 0.63-0.83 "Buruk" Penggunaannya pada studi yang telah dilakukan sebelumnya

Perbandingan dengan institusi lain

Tidak Ya Tidak Ya Ya

Korelasi dengan pelaporan

Tidak Tidak Tidak Ya Ya

Sumber : Robb dan Seddon (2010); J.B. Colla (2005)

Dari matriks diatas dapat kita lihat masing-masing kelebihan dan kekurangan dari seluruh alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien di rumah sakit secara umum. Instrumen pertama adalah SLOAPS yang merupakan akronim dari Strategies for Leadership: An Organizational Approach to Patient Safety dan merupakan alat ukur yang dikembangkan oleh The Institute of Healthcare Improvement (Inoue dkk.) yang dpat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien pada tiap bagian di rumah sakit namun kelemahan dari alat ukur ini adalah alat ukur ini tidak dapat mengukur budaya keselamatan secara individual pada tiap tenaga kesehatan melainkan harus diisi oleh manajer tenaga kesehatan yang telah senior (World Health Organization, 2009). Selain itu nilai


(40)

Cronbach’s Alpha instrumen ini tidak diketahui sehingga tidak dapat dibandingkan nilai realibilitas dan validitasnya.

PSCHO atau Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Singer dkk. pada tahun 2003. Secara umum matriks ini dapat mengukur seluruh dimensi yang umum terdapat pada budaya keselamatan namun tidak didapatkan penelitian yang melakukan pengukuran budaya keselamatan untuk dikaitkan dengan pelaporan karena instrumen ini memang tidak memiliki outcome spesifik sehingga hanya dapat menggambarkan budaya keselamatan secara umum. Selain itu nilai Cronbach’s Alpha dari instrumen juga tidak diketahui secara spesifik.

VHA-PSCQ atau Veterans Administration Patient Safety Culture Questionnaire adalah instrumen yang dikembangkan oleh Burr dkk. pada tahun 2000 yang menjadi cikal bakal dari HSOPS. Jumlah pertanyaan instrumen ini cenderung terlalu banyak bila dibandingkan dengan instrumen lainnya dengan Cronbach’s Alpha yang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan HSOPS.

HSOPS atau Hospital Survey on Patient Safety merupakan pengembangan dari VHA-PSCQ dan mencakup seluruh dimensi yang akan diukur dalam penelitian ini. Nilai Cronbach’s Alpha dalam instrumen ini juga tergolong lebih tinggi. HSOPS juga memiliki dimensi outcome berupa pelaporan dan didukung oleh database AHRQ yang dapat diakses. Alat analisa data HSOPS juga mudah didapatkan yakni berupa aplikasi Hospital Survey on Patient Safety Culture Data Entry and Analysis Tools (Agency for Healthcare Research and Quality, 2014). HSOPS juga memiliki kriteria psikometrik spesifik yang lebih baik dibandingkan


(41)

instrumen lain karena telah dilakukan pengujian yang lebih sistematik pada struktur internalnya (Flin dkk., 2006).

CSS atau Culture of Safety Survey adalah instrumen yang dikembangkan oleh Weingart dkk. pada tahun 2004 untuk mengukur budaya keselamatan. Instrumen ini cocok untuk digunakan di tiap unit di rumah sakit dan memiliki jumlah item yang relatif lebih sedikit dibanding instrumen lain namun tidak mencakup seluruh dimensi yang diinginkan dalam penelitian ini. Selain itu nilai Cronbach’s Alpha dari instrumen ini tidak diketahui dan hanya diberikan statement bahwa nilai Cronbach’s Alpha CSS berada pada kategori ‗buruk‘. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa HSOPS lebih adekuat untuk digunakan mengukur budaya keselamatan pasien dalam penelitian ini.

2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ

Terdapat 3 aspek dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ (Stone dkk., 2006; Sorra dan Nieva, 2004) yakni dimensi budaya keselamatan pasien pada tingkat unit, tingkat rumah sakit dan dimensi outcome keselamatan yang dapat digambarkan dalam bagan berikut.


(42)

Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

Sumber : AHRQ dalam Sorra dan Nieva (2004)

Pada tingkat unit terdapat 7 aspek budaya keselamatan pasien yang dapat diukur diantaranya adalah :

a. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer (kepemimpinan) Kepemimpinan memegang peran penting dalam pelaksanaan manajemen keselamatan yang efektif, mulai dari pemimpin tim hingga middle-manager (seperti contohnya kepala unit rumah sakit) pada tingkat taktis pelaksana maupun top-level manager (seperti contohnya manajer senior rumah sakit) pada tingkat perencanaan strategis. Perhatian terhadap kepemimpinan dan outcome keselamatan ditunjukkan dengan banyaknya penelitian yang meneliti kepemimpinan baik pada sikap, perilaku maupun gaya kepemimpinan (World Health Organization,

Tingkat Unit

•Tindakan promotif keselamatan oleh manajer/supervisor

•Perbaikan berkelanjutan •Kerjasama dalam rumah sakit •Keterbukaan komunikasi

•Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi •Respon yang tidak menyalahkan •Penyusunan staf

Tingkat Rumah Sakit

•Dukungan manajemen rumah sakit terhadap budaya keselamatan pasien

•Kerjasama antar unit di rumah sakit

•Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain

Outcome Keselamatan

•Persepsi keselamatan secara keseluruhan •Frekuensi kejadian yang

dilaporkan

•Tingkat Keselamatan pasien pada unit

•Jumlah kejadian yang dilaporkan


(43)

2009). Katz-Navon (2005) dalam WHO (2009) menyatakan bahwa ketika keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit tersebut.

Senior manager perlu menunjukkan komitmen mereka terhadap keselamatan dengan mengunjungi bangsal perawatan dan hal ini terbukti berpengaruh terhadap budaya keselamatan pada tenaga perawat (Thomas dkk., dalam WHO, 2009). Pendekatan lainnya adalah dengan memberikan feedback terhadap komitmen tenaga kesehatan pada keselamatan pasien. Sedangkan middle-manager harus terlibat langsung dalam inisiatif keselamatan di unit terkait serta terus menekankan kepada tenaga kesehatan bahwa keselamatan lebih penting daripada produktivitas (World Health Organization, 2009).

b. Organizational learning-perbaikan berkelanjutan

Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi kesehatan (Kreitner dan Kinicki, 2007). Rumah sakit haruslah menjadi organisasi pembelajar agar dapat melakukan perbaikan berkelanjutan pada sistem keselamatan dan kesehatan.

Konsep learning organization merupakan konsep yang penting dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Dengan adanya aspek organizational learning yang baik maka diharapkan akan terjadi


(44)

perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya keselamatan pasien yang baik.

c. Kerjasama dalam rumah sakit

Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yg dilakukan oleh beberapa orang baik dalam berupa lembaga, pemerintah atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama (Setiawan, 2014) Kerjasama dalam rumah sakit merupakan aspek penting dalam tiap organisasi karena banyak pekerjaan yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga berlaku di rumah sakit dimana hampir semua pelayanan kesehatan yang diberikan melibatkan tenaga kesehatan dalam kelompok interdisiplin (WHO, 2009).

Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang harus dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien. Schaefer dkk. dalam WHO (2009) menyatakan bahwa 70-80% kesalahan medis yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan pengertian dalam tim.

d. Keterbukaan komunikasi

Keterbukaan komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi efektif yang menyeluruh mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait keselamatan pasien pada saat serah terima maupun pada saat briefing. Keterbukaan komunikasi akan lebih baik jika terdapat pendekatan standarisasi komunikasi mengenai hal-hal apa yang wajib dikomunikasikan kepada rekan sejawatnya. Karena komunikasi yang


(45)

buruk saat serah terima akan menyebabkan kurang atau hilangnya informasi pasien yang penting pada rekan sejawatnya yang berikutnya akan menangani pasien tersebut.

Prinsip komunikasi terbuka tenaga kesehatan juga dengan pasien dan keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan medis. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya keselamatan, dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan (The comission of patient safety and quality assurance of Irlandia, 2008).

e. Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi

Menurut The Joint Commission dalam White (2013) kegagalan komunikasi adalah faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan medis di rumah sakit karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi kesalahan medis atau kondisi potensial kesalahan medis di rumah sakit yang sebelumnya dihadapi oleh rekan sejawat dalam timnya. Kegagalan komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit.

Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Lederman (2013) menyatakan bahwa perawat dan dokter seringkali tidak


(46)

melaporkan kesalahan medis yang terjadi akibat ketiadaan umpan balik yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan yang telah mereka lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan waktunya untuk melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa melakukan kegiatan lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome positif.

f. Respon yang tidak menyalahkan

Respon yang tidak menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan sejawat atas pelaporan kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk dapat mendukung adanya budaya pelaporan kesalahan medis yang efektif. Karena hingga saaat ini ketakutan akan adanya penyalahan individu yang melakukan pelaporan masihlah menjadi faktor penghambat pelaporan kesalahan medis di rumah sakit.

Lingkungan yang tidak menyalahkan diperlukan untuk menghindari adanya under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis. Lingkungan dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat dibangun dengan melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis melaporkan kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan pada kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang melakukannya (Kachalia dan Bates, 2014).

g. Penyusunan staf

Doughlas dalam Beginta (2012) menjelaskan bahwa staffing atau penyusunan staf adalah proses menegaskan pekerja yang ahli untuk mengisi struktur organisasi melalui seleksi dan pengembangan personel.


(47)

Selain itu penyusunan staf juga didefinisikan sebagai proses menetapkan orang-orang yang akan menduduki posisi tertentu didalam organisasi atau dengan kata lain pemilihan penempatan tenaga kerja sesuai dengan keterampilannya (Siswandi, 2011). Dengan adanya penyusunan staf maka diharapkan jumlah dan keterampilan yang dimiliki setiap perawat sesuaai dengan kebutuhan dan beban kerja di tiap unit rumah sakit.

Kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja atau kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh terhadap kinerja tenaga kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien. Aiken dkk. dalam Beginta (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan langsung antara penyusunan staf pada perawat dan keselamatan pasien.

Pada tingkat rumah sakit terdapat 3 aspek budaya keselamatan pasien yang dapat dinilai, diantaranya adalah :

a. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien

Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah sakit tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung terciptanya iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah sakit. Dukungan manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen rumah sakit yang menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan prioritas di rumah sakit tersebut (Rosyada, 2014).


(48)

b. Kerjasama antar unit di rumah sakit

Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan dari berbagai unit yang ada dalam lingkup rumah sakit tersebut. Kerjasama antar unit menunjukkan sejauh mana kekompakkan dan kerjasama tim lintas unit atau bagian dalam melayani pasien (Rosyada, 2014). Kerjasama antar unit yang positif dapat dilihat ketika suatu unit membutuhkan bantuan maka unit lainnya dalam rumah sakit tersebut akan memberikan bantuan kepada unit tersebut.

c. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain.

Transisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah peralihan dari keadaan (tempat, tindakan dan sebagainya) kepada keadaan yang lain. Dalam ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat diartikan sebagai peralihan dari satu unit ke unit lainnya.

Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua jenis kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan sejawat yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak tersampaikan, pada kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis seperti terjatuhnya pasien saat pemindahan pasien.


(49)

Sedangkan keluaran atau outcome dari budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ terdiri dari 4 aspek yang dapat dinilai diantaranya adalah :

a. Persepsi keselamatan secara keseluruhan

Persepsi keselamatan secara keseluruhan merupakan dimensi yang merangkum persepsi keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan secara keseluruhan di rumah sakit tersebut. Dimensi ini mencakup keselamatan pasien di seluruh unit tanpa kecuali.

b. Frekuensi pelaporan kejadian

Frekuensi pelaporan kejadian adalah persepsi tenaga kesehatan tentang seberapa sering ia dan rekan sejawatnya membuat laporan berupa kesalahan medis baik yang sudah terjadi ataupun tidak terjadi serta baik mencelakai ataupun tidak mencelakai pasien.

c. Tingkat keselamatan pasien

Tingkat keselamatan pasien adalah persepsi tenaga kesehatan terhadap tingkat keselamatan pasien di rumah sakit tersebut dari rentang sangat baik hingga sangat buruk.

d. Jumlah kejadian yang dilaporkan

Jumlah kejadian yang dilaporkan merupakan dimensi yang menjelaskan jumlah laporan yang dibuat oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir.


(50)

E. Rumah Sakit

Republik Indonesia (2009b) menyatakan bahwa rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Republik Indonesia (2009b) juga mengelompokkan rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan menjadi Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit dan rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit.

1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum a. Rumah sakit umum kelas A

Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.


(51)

b. Rumah sakit umum kelas B

Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 8 spesialis lain dan 2 subspesialis dasar.

c. Rumah sakit umum kelas C

Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik

d. Rumah sakit umum kelas D

Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 spesialis dasar.

2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus a. Rumah sakit khusus kelas A

Rumah sakit khusus kelas A adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap.

b. Rumah sakit khusus kelas B

Rumah sakit khusus kelas B adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit


(52)

pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas.

c. Rumah sakit khusus kelas C

Rumah sakit khusus kelas C adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal.

F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis

Uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi. Uji hipotesis jenis ini merupakan jenis uji hipotesis yang diperuntukkan untuk data variabel dependen dan independen yang berjenis numerik. Seluruh data yang akan dihasilkan dari penelitian ini bersifat numerik dan oleh karena itu peneliti menggunakan uji korelasi untuk melihat ada atau tidaknya korelasi dan keeratan korelasi diantara kedua variabel tersebut.

G. Kerangka Teori

Berdasarkan seluruh teori yang dipaparkan maka dapat disusun skema kerangka teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.


(53)

Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Waters (2012); AHRQ (2004); Wolf dan Hughes (2005);Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen (2014); White dan Gallagher (2013); Lederman dkk. (2013); 7Waters dkk. (2012); Sinicki dkk. (2013);Williams dkk. (2013); El-Jardali dkk. (2011)


(54)

37 BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya maka kerangka konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep

Pada kerangka konsep ini seluruh dimensi budaya keselamatan yang terdiri dari 10 dimensi diteliti. Dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ terdiri dari tindakan promotif keselamatan oleh manajer/supervisor, perbaikan berkelanjutan, kerjasama dalam rumah sakit, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi, respon yang tidak menyalahkan, penyusunan staf, dukungan

Budaya Keselamatan Pasien

 Tindakan promotif keselamatan oleh manajer/supervisor

 Perbaikan berkelanjutan

 Kerjasama dalam rumah sakit

 Keterbukaan komunikasi

 Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi

 Respon yang tidak menyalahkan

 Penyusunan staf

 Dukungan manajemen rumah sakit terhadap budaya keselamatan pasien

 Kerjasama antar unit di rumah sakit

 Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain

Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Oleh Tenaga Kesehatan


(55)

manajemen terhadap upaya keselamatan pasien, kerjasama antar unit di rumah sakit serta serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain.

Variabel kesempatan belajar (learning opportunity) tidak diteliti karena dapat diteliti melalui salah satu dimensi dalam variabel budaya keselamatan pasien yakni dimensi perbaikan berkelanjutan. Keduanya sama-sama menjelaskan bagaimana adanya pelaporan kesalahan medis dipandang sebagai upaya pembelajaran baik bagi tenaga kesehatan maupun bagi pihak manajemen.

Variabel sikap proaktif keselamatan pasien tidak diteliti karena upaya dan sikap proaktif keselamatan pasien sudah dapat diteliti melalui salah satu dimensi budaya keselamatan pasien yakni tindakan promotif keselamatan oleh manajer. Keduanya sama-sama menjelaskan sikap proaktif individu terhadap keselamatan pasien hanya saja pada dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer juga menjelaskan tentang respon manajer atau supervisor terhadap sikap proaktif keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan.

Variabel adanya kewajiban profesi tidak diteliti karena populasi penelitian ini adalah pada dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang memungkinkan adanya data homogen. Dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain merupakan tenaga kesehatan yang secara etik memang memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan apabila terjadi kesalahan medis kepada pihak berwenang di rumah sakit (Ghazal dkk., 2014).

Standar operasional prosedur yang berlaku di masing-masing rumah sakit tidak diteliti karena keduanya bersifat homogen di masing-masing rumah


(56)

sakit. Standar operasional prosedur berlaku secara keseluruhan di tiap unit pada masing-masing rumah sakit.

Variabel kurangnya feedback dan dukungan manajemen tidak diteliti karena sudah dapat diteliti melalui salah satu dimensi dalam variabel budaya keselamatan pasien yakni dimensi umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi serta dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien.

Variabel budaya yang menyalahkan tidak diteliti karena sudah dapat diteliti melalui salah satu dimensi budaya keselamatan pasien yakni dimensi respon yang tidak menyalahkan. Keduanya menjelaskan tentang ada atau tidaknya respon yang menyalahkan terkait pelaporan yang mereka lakukan.

Variabel waktu yang dibutuhkan untuk melapor tidak diteliti karena keduanya bersifat homogen di masing-masing rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan penerapan standar operasional prosedur yang sama di seluruh unit pada masing-masing rumah sakit.

Derajat keparahan cidera tidak diteliti dalam penelitian ini karena dapat digambarkan melalui variabel persepsi pelaporan kesalahan medis yang juga menggambarkan kemauan melapor pada saat terjadi kesalahan baik yang menghasilkan cidera atau yang tidak menghasilkan cidera.


(57)

40

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur

Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis 1 Persepsi pelaporan kesalahan

medis

Persepsi tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis di rumah sakit masing-masing.

Responden diminta mengisi kuesioner

Univariat : •Rendah apabila

persentase 14%- 42,7%

•Sedang apabila persentase 42,8%- 71,4% •Tinggi, apabila

persentase 71,5%- 100% Bivariat : Total skor

Kuesioner Ordinal untuk univariat dan Rasio untuk Bivariat

Budaya Keselamatan Pasien 2 Dimensi 1. Tindakan

promotif keselamatan oleh manajer

Persepsi tenaga kesehatan tentang respon positif yang diberikan atasan terhadap tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan yang mendukung keselamatan pasien di unit kerja masing-masing.

Responden diminta mengisi kuesioner

Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat

Kuesioner Rasio

3 Dimensi 2. Organizational learning – perbaikan

Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya budaya pembelajaran dalam organisasi dimana kesalahan

Responden diminta

Persentase respon positif untuk


(58)

berkelanjutan dijadikan bahan evaluasi dan pembelajaran dalam rangka perbaikan berkelanjutan di unit dalam rumah sakit masing-masing.

mengisi kuesioner

univariat dan total skor untuk bivariat 4 Dimensi 3. Kerjasama dalam

unit rumah sakit

Persepsi tenaga kesehatan tentang sikap dan kerjasama antar individu di unit dalam rumah sakit masing-masing.

Responden diminta mengisi kuesioner

Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat

Kuesioner Rasio

5 Dimensi 4. Keterbukaan komunikasi

Persepsi tenaga kesehatan tentang kebebasan menyampaikan pendapat terkait keselamatan pasien di dalam unit pada rumah sakit masing-masing.

Responden diminta mengisi kuesioner

Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat

Kuesioner Rasio

6 Dimensi 5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi

Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya pemberian informasi tentang kesalahan medis yang terjadi, pemberian umpan balik perubahan yang dilakukan dan adanya diskusi pencegahan kesalahan medis di dalam unit pada rumah sakit masing-masing.

Responden diminta mengisi kuesioner

Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat

Kuesioner Rasio

7 Dimensi 6. respon yang tidak menyalahkan

Persepsi tenaga kesehatan bahwa kesalahan medis yang mereka lakukan dan atau laporan yang mereka berikan tidak dijadikan bahan untuk menyalahkan diri mereka dalam unit pada rumah sakit masing-masing.

Responden diminta mengisi kuesioner

Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat


(59)

8 Dimensi 7. Penyusunan staf Persepsi tenaga kesehatan tentang kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja yang ada dan kesesuaian jam kerja yang ditentukan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal untuk pasien di dalam unit pada rumah sakit masing-masing.

Responden diminta mengisi kuesioner

Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat

Kuesioner Rasio

9 Dimensi 8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien.

Persepsi tenaga kesehatan tentang dukungan yang diberikan oleh manajemen rumah sakit masing-masing kepada mereka dalam meningkatkan keselamatan pasien. Responden diminta mengisi kuesioner Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat

Kuesioner Rasio

10 Dimensi 9. Kerjasama antar unit di rumah sakit

Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya kerjasama dan kordinasi yang baik antar unit rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan yang adekuat di rumah sakit masing-masing. Responden diminta mengisi kuesioner Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat

Kuesioner Rasio

11 Dimensi 10. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain

Persepsi tenaga kesehatan tentang alur informasi pasien yang penting pada saat kegiatan serah terima dan trnasfer pasien di rumah sakit masing-masing. Responden diminta mengisi kuesioner Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat


(60)

43 C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional diatas maka hipotesis penelitian ini adalah : ―Terdapat korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015‖.

Sedangkan sub-hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Ada korelasi antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh

manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

b. Ada korelasi antara dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

c. Ada korelasi antara dimensi kerjasama dalam unit rumah sakit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

d. Ada korelasi antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

e. Ada korelasi antara dimensi umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.


(1)

Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit X


(2)

Korelasi dimensi 1 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

tot_persepsi d1_supervisor

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .388**

Sig. (2-tailed) . .000

N 101 101

d1_supervisor Correlation Coefficient .388** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 101 101

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 2 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

tot_persepsi D2_orglearn

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .496**

Sig. (2-tailed) . .000

N 101 101

D2_orglearn Correlation Coefficient .496** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 101 101

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 3 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

d3_TW_in_unit tot_persepsi

Spearman's rho d3_TW_in_unit Correlation Coefficient 1.000 .327**

Sig. (2-tailed) . .001

N 101 101

tot_persepsi Correlation Coefficient .327** 1.000

Sig. (2-tailed) .001 .

N 101 101

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 4 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

tot_persepsi

d4_comm_open nes

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .582**

Sig. (2-tailed) . .000

N 101 101

d4_comm_opennes Correlation Coefficient .582** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 101 101


(3)

tot_persepsi d5_feedback

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .197*

Sig. (2-tailed) . .048

N 101 101

d5_feedback Correlation Coefficient .197* 1.000

Sig. (2-tailed) .048 .

N 101 101

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 6 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

tot_persepsi d6_nonpun_resp

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .419**

Sig. (2-tailed) . .000

N 101 101

d6_nonpun_resp Correlation Coefficient .419** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 101 101

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 7 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

tot_persepsi d7_staffing

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .039

Sig. (2-tailed) . .701

N 101 101

d7_staffing Correlation Coefficient .039 1.000

Sig. (2-tailed) .701 .

N 101 101

Korelasi dimensi 8 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

tot_persepsi d8_mana_supp

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .112

Sig. (2-tailed) . .266

N 101 101

d8_mana_supp Correlation Coefficient .112 1.000

Sig. (2-tailed) .266 .


(4)

Korelasi dimensi 9 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

tot_persepsi d9_team_across

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .176

Sig. (2-tailed) . .078

N 101 101

d9_team_across Correlation Coefficient .176 1.000

Sig. (2-tailed) .078 .

N 101 101

Korelasi dimensi 10 dengan persepsi di Rumah Sakit X

Correlations

tot_persepsi d10_handsoff

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .016

Sig. (2-tailed) . .870

N 101 101

d10_handsoff Correlation Coefficient .016 1.000

Sig. (2-tailed) .870 .

N 101 101

Korelasi dimensi 1 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi d1_supervisor

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .217*

Sig. (2-tailed) . .039

N 91 91

d1_supervisor Correlation Coefficient .217* 1.000

Sig. (2-tailed) .039 .

N 91 91

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 2 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi d2_orglearn

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .073

Sig. (2-tailed) . .493

N 91 91

d2_orglearn Correlation Coefficient .073 1.000

Sig. (2-tailed) .493 .


(5)

tot_persepsi d3_TW_in_unit

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .184

Sig. (2-tailed) . .081

N 91 91

d3_TW_in_unit Correlation Coefficient .184 1.000

Sig. (2-tailed) .081 .

N 91 91

Korelasi dimensi 4 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi d4_comm_open

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .264*

Sig. (2-tailed) . .012

N 91 91

d4_comm_open Correlation Coefficient .264* 1.000

Sig. (2-tailed) .012 .

N 91 91

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 5 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi d5_feedback

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .286**

Sig. (2-tailed) . .006

N 91 91

d5_feedback Correlation Coefficient .286** 1.000

Sig. (2-tailed) .006 .

N 91 91

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 6 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi

d6_non_punitive _respond

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .201

Sig. (2-tailed) . .057

N 91 91

d6_non_punitive_respond Correlation Coefficient .201 1.000

Sig. (2-tailed) .057 .


(6)

Korelasi dimensi 7 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi d7_staffing

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.165

Sig. (2-tailed) . .118

N 91 91

d7_staffing Correlation Coefficient -.165 1.000

Sig. (2-tailed) .118 .

N 91 91

Korelasi dimensi 8 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi

d8_management _support

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .157

Sig. (2-tailed) . .137

N 91 91

d8_management_support Correlation Coefficient .157 1.000

Sig. (2-tailed) .137 .

N 91 91

Korelasi dimensi 9 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi d9_TW_ac_unit

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .203

Sig. (2-tailed) . .054

N 91 91

d9_TW_ac_unit Correlation Coefficient .203 1.000

Sig. (2-tailed) .054 .

N 91 91

Korelasi dimensi 10 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations

tot_persepsi

d10_handsoff_tr ansition

Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .098

Sig. (2-tailed) . .357

N 91 91

d10_handsoff_transition Correlation Coefficient .098 1.000

Sig. (2-tailed) .357 .