8
Berdasarkan Data Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2013, jumlah Pasangan Usia Subur
PUS adalah sebanyak 146.616, yang memakai alat kontrasepsi pria metode kondom sebanyak 4,9, dan memakai alat kontrasepsi Metode Operasi Pria MOP sebanyak
0,6. Kecamatan Pantai Cermin merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Serdang Bedagai. Salah satu desa di Kecamatan Pantai Cermin adalah
Desa Celawan. Berdasarakan hasil survei pendahuluan ditemukan partisipasi pria dalam KB didesa ini cukup tinggi diantara beberapa desa dikecamatan Pantai Cermin
dengan jumlah PUS sebanyak 954, yang memakai alat kontrasepsi pria metode kondom sebanyak 5,2, dan memakai alat kontrasepsi Metode Operasi Pria MOP
sebanyak 1,0. Berdasarkan latar belakang di atas diperoleh gambaran bahwa partisipasi pria
dalam mengikuti program keluarga berencana belum optimal, maka perlu dilakukan kajian “Analisis faktor yang memengaruhi partisipasi pria dalam Keluarga Berencana
di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai ”.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka sebagai permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana aplikasi analisis faktor dengan metode eksploratori
dalam mereduksi faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi pria dalam keluarga berencana meliputi faktor, predisposisi pengetahuan dan sikap, pendukung akses
pelayanan dan fasilitas dan penguat dukungan istri, dukungan keluarga dan
Universitas Sumatera Utara
9
dukungan teman di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mereduksi faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi pria dalam keluarga berencana meliputi faktor predisposisi pengetahuan dan sikap, pendukung
akses pelayanan dan fasilitas dan penguat dukungan istri, dukungan keluarga dan dukungan teman di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang
Bedagai
1.4 Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan bagi petugas kesehatan dan KB dalam rangka meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan KB serta
pengambilan kebijakan untuk program peningkatan partisipasi pria dalam KB. 2. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai
bahan referensi dalam hal yang berkaitan dengan faktor yang memengaruhi partisipasi pria dalam keluarga berencana.
Universitas Sumatera Utara
10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku
Notoatmodjo 2012 menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perilaku ini
tidak sama dengan sikap. Sikap adalah suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-
tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi obyek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.
Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Bloom dalam Notoatmodjo 2012, membagi perilaku ke dalam tiga
domain, yaitu 1 kognitif, 2 afektif, dan 3 psikomotor. Untuk memudahkan pengukuran, maka tiga domain ini diukur dari; pengetahuan, sikap dan tindakan
praktek.
2.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga Notoatmodjo, 2012.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang over behaviour. Karena dari pengalaman dan
Universitas Sumatera Utara
11
penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers 1974
dalam Notoatmodjo 2012, mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness kesadaran, di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus objek.
b. Interest merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan
perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni Notoatmodjo, 2012:
Universitas Sumatera Utara
12
1. Tahu Know Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali recall terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Oleh sebab itu, „tahu‟ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami Comprehension Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi Application Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis Analysis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut,
Universitas Sumatera Utara
13
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan,
mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis Synthesis
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi Evaluation Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada.
2.1.2 Sikap
Menurut Berkowitz dalam Azwar 2011 pernah mendaftarkan lebih dari tiga puluh definisi tentang sikap, namun secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga
kelompok pemikiran, yaitu: 1. Kelompok pertama yang diwakili oleh Louis Thurstone 1928, Rensis Likert
1932, Charles Osgood 1975, mengatakan bahwa “sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, baik perasaan mendukung atau memihak
favorable maupun perasaan tidak mendukung dan tidak memihak unfavorable terhadap objek sikap tertentu”.
Universitas Sumatera Utara
14
2. Kelompok kedua yang diwakili oleh Chave 1928, Bogardus 1931, LaPiere 1934, Mead 1934 dan Girdon Allport 1935, mengatakan bahwa “sikap
adalah semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya respons”. 3. Kelompok
ketiga adalah yang mengatakan bahwa “sikap merupakan konstalasi komponen-
komponen kognitif, afektif dan konatif”. Termasuk dalam kelompok ini Secord dan Backman 1964 mengatakan bahwa sikap adalah sebagai
keteraturan tertentu dalam hal perasaan afeksi, pemikiran kognisi dan predisposisi tindakan konasi seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan
sekitarnya. Menurut Fishbein dalam Azwar 2011 Sikap terjadi karena adanya
rangsangan sebagai objek sikap yang harus diberi respon, baik responnya positif atau pun negatif, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, dan sebagainya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sikap mempunyai dua kemungkinan, yaitu sikap positif dan sikap negatif terhadap suatu objek sikap. Sikap akan menunjukkan apakah
seseorang menyetujui, mendukung, memihak favorable atau tidak menyetujui, tidak mendukung atau tidak memihak unfavorable suatu objek sikap. Bila seseorang
mempunyai sikap mendukung objek sikap, berarti mempunyai sikap positif terhadap objek tersebut. Sebaliknya jika seseorang tidak mendukung terhadap objek sikap,
berarti mempunyai sikap yang arahnya negatif terhadap objek yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
15
2.1.3 Tindakan
Tindakan merupakan aturan yang dilakukan, melakukanmengadakan aturan atau mengatasi sesuatu atau perbuatan. Adanya hubungan yang erat antara sikap dan
tindakan didukung oleh pengetahuan. Sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecendrungan untuk bertindak dan nampak jadi lebih konsisten, serasi,
sesuai dengan sikap. Bila sikap individu sama dengan sikap sekelompok dimana ia berada adalah bagian atau anggotanya Notoatmodjo, 2012.
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya
diharapkan dia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinnya dinilai baik. Oleh sebab itu indikator praktek kesehatan ini juga
mencakup hal – hal tersebut di atas, yakni :
a. Tindakan sehubungan dengan penyakit b. Tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
c. Tindakan kesehatan lingkungan
2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Green 1980, menjelaskan berdasarkan penelitian kumulatif mengenai perilaku kesehatan, telah diidentifikasi tiga kelas faktor yang mempunyai potensi
dalam mempengaruhi kesehatan. Tiga faktor tersebut adalah faktor predisposisi predisposing factors, faktor-faktor yang mendukung enabling factors dan faktor-
faktor yang memperkuat atau mendorong reinforcing factors. Masing-masing faktor ini mempunyai pengaruh yang berbeda atas perilaku. Model ini dikembangkan untuk
Universitas Sumatera Utara
16
keperluan diagnosis, perencanaan dan intervensi pendidikan kesehatan, dan dikenal sebagai kerangka kerja PRECEDE yang merupakan singkatan dari “Predisposing,
Reinforcing and Enabling Causes of Educational Diagnosis and Evaluation ”.
a. Faktor Predisposisi Setiap karakteristik konsumen atau komuniti yang memotivasi perilaku yang
berkaitan dengan kesehatan. Yang termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan persepsi berkenaan dengan motivasi seseorang atau
kelompok, dapat memudahkan atau merintangi tindakan, faktor sosio demografis juga termasuk umur, jenis kelamin, pendidikan.
b. Faktor Pemungkin Setiap karakteristik lingkungan yang memudahkan perilaku dan setiap
keterampilan atau sumber daya diperlukan untuk melaksanakan perilaku. Tidak adanya karakteristik atau keterampilan tersebut menghambat perilaku kesehatan.
Hal ini terwujud dalam bentuk lingkungan fisik, tersedianya fasilitas atau sarana dan prasarana untuk berperilaku, serta keterampilan yang berhubungan dengan
kesehatan. Keterampilan sendiri berarti kemampuan seseorang melakukan upaya yang menyangkut perilaku yang diharapkan.
c. Faktor Penguat Setiap ganjaran, insentif atau hukuman yang mengikuti atau diperkirakan sebagai
akibat dari suatu perilaku kesehatan dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu. Hal ini terwujud dalam sikap dan perilaku seseorang yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat
Universitas Sumatera Utara
17
berasal dari guru, dosen, famili, tokoh masyarakat, supervisior, majikan, teman sebaya dan lain sebagainya.
2.2 Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana
Partisipasi pria dalam KB merupakan manifestasi kesetaraan gender, ketidaksetaraan gender dalam bidang KB dan Kesehatan Reproduksi yang sangat
berpengaruh pada keberhasilan program. Sebagian besar masyarakat dan provider Serta penentu kebijakan masih mengganggap bahwa penggunaan kontrasepsi adalah
urusan perempuan. Oleh karena itu, peserta KB pria di Indonesia masih sangat rendah yaitu masih di bawah 2 persen, disamping masih relatif rendahnya kepedulian
pria terhadap proses reproduksi keluarganya terutama dalam hal kehamilan dan kelahiran. Dimasa lalu, persoalan pengaturan kelahiran lebih banyak difokuskan
kepada perempuan, sehingga terkesan bahwa keluarga berencana adalah urusan perempuan saja. Data berbagai survei menunjukkan bahwa prevalensi pengguna
kontrasepsi pria masih dibawah 2 persen. Meskipun rendahnya pengguna kontrasepsi
berkaitan dengan pula dengan keterbatasan teknik kontrasepsi yang tersedia bagi pria, angka ini menunjukkan bahwa kepedulian pria terhadap keluarga berencana masih
rendah BkkbN, 2009a. Keterlibatan pria didefinisikan sebagai partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan KB, pengetahuan pria tentang KB dan penggunaan kontrasepsi pria. Keterlibatan pria dalam KB diwujudkan melalui perannya berupa dukungan terhadap
Universitas Sumatera Utara
18
KB dan penggunaan alat kontrasepsi serta merencanakan jumlah keluarga. Untuk merealisasikan tujuan terciptanya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.
Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana adalah tanggung jawab pria dalam kesertaan ber-KB, Serta berperilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya,
pasangan atau keluarganya. Keterlibatan pria dalam program KB dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Penggunaan metode kontrasepsi pria merupakan satu
bentuk partisipasi pria secara langsung, sedangkan keterlibatan pria secara tidak langsung misalnya pria memiliki sikap yang lebih positif dan membuat keputusan
yang lebih baik berdasarkan sikap dan persepsi, serta pengetahuan yang dimilikinya.
2.2.1 Tanggung Jawab Pria dalam KB dan Kesehatan Reproduksi
Tanggung jawab pria dalam KB yaitu: 1. Bersama isteri merencanakan jumlah dan jarak anak
2. Bersama isteri berupaya memperoleh informasi tentang KB 3. Bersama isteri memilihmenggunakan salah satu alatmetode kontrasepsi yang
cocok 4. Bersama istri mengatasi kegagalan dan komplikasi akibat KB BkkbN, 2009a
Dalam upaya pengembangan kesehatan reproduksi dan hak –hak reproduksi
perhatian program KB bukan hanya ditujukan kaum perempuan, tetapi kaum pria juga diberikan perhatian sehingga dapat ikut berperan dalam program KB. Peran serta
pria dalam program Keluarga Berencana yaitu:
Universitas Sumatera Utara
19
1. Sebagai Peserta KB Partisipasi suami dalam program KB dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Secara langsung adalah menggunakan salah satu cara atau metode kontrasepsi. Sedangkan partisipasi tidak langsung dengan menganjurkan, mendukung dan
memberi kebebasan kepada isteri untuk menggunakan kontrasepsi. 2. Mendukung istri dalam ber KB
Apabila telah disepakati istri yang akan berKB, peranan suami adalah mendukung dan memberikan kebebasan kepada istri untuk menggunakan kontrasepsi atau
carametode KB yang diawali sejak menikah dengan istri dalam merencanakan masa reproduksi
3. Merencanakan jarak anak Merencanakan jarak anak dalam keluarga perlu dibicarakan antar suami dan istri
dengan mempertimbangkan berbagai aspek antara lain kesehatan reproduksi istri, perencanaan keluarga yang berkualitas, perlu memperhatikan usia reproduksi istri
BkkbN, 2012b.
2.2.2 Metode Keluarga Berencana Pria
Pria sebagai kepala keluarga dapat mengambil bagian aktif dalam pelaksanaan KB sehingga dapat dicapai norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Metode KB
pria yang dapat dipakai adalah memakai kondom, koitus interuptus, pantang berkala, dan vasektomi sebagai kontap pria MOP Manuaba, 2009
Universitas Sumatera Utara
20
2.2.3 Faktor yang Memengaruhi Pemakaian Kontrasepsi
Menurut Affandi dalam Mutiara 1998, faktor-faktor yang memengaruhi pemakaian kontrasepsi adalah :
1. Faktor pola perencanaan keluarga. Adalah mengenai penentuan besarnya jumlah keluarga yang menyangkut waktu yang tepat untuk mengakhiri kesuburan. Dalam
perencanaan keluarga harus diketahui kapan kurun waktu reproduksi sehat, berapa sebaiknya jumlah anak sesuai kondisi, berapa jarak umur antar anak.
Seorang wanita secara biologik memasuki usia reproduksi nya beberapa tahun sebelum mencapai umur dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung
dengan aman. Kurun waktu yang paling aman adalah umur 20-35 tahun dengan pengaturan :
a Anak pertama lahir sesudah ibunya berumur 20 tahun b Anak kedua lahir sebelum ibunya berumur 30 tahun
c Jarak antara anak pertama dan kedua sekurang - kurangnya 2 tahun atau diusahakan jangan ada 2 anak balita dalam kesempatan yang sama. Kemudian
menyelesaikan besarnya keluarga sewaktu istri berusia 30 - 35 tahun dengan kontrasepsi mantap.
2. Faktor subyektif. Bagaimanapun baiknya suatu alat kontrasepsi baik dipandang dari sudut kesehatan maupun rasionalitas nya namun belumlah tentu dirasakan
cocok dan dipilih oleh akseptorcalon akseptor. Pilihan ini sangat pula tergantung pada pengetahuannya tentang alat kontrasepsi tersebut, baik yang didapat dari
Universitas Sumatera Utara
21
keluargakerabat maupun yang didapat dari petugas kesehatan atau tokoh masyarakat.
3. Faktor obyektif. Pemilihan kontrasepsi yang digunakan disesuaikan dengan keadaan wanita kondisi fisik dan umur serta disesuaikan dengan fase-fase
menurut kurun waktu reproduksinya. Biasanya pemilihan jenis kontrasepsi juga disesuaikan dengan maksud Penggunaan kontrasepsi tersebut.
4. Faktor motivasi. Kelangsungan pemakaian kontrasepsi sangat tergantung dari motivasi dan penerimaan pasangan suami istri. Motivasi akseptor KB untuk terus
menggunakan kontrasepsi yang lama, akan merubah metode, atau menghentikan sama sekali penggunaan kontrasepsi, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mereka
yang menggunakan kontrasepsi dengan tujuan untuk membatasi kelahiran mempunyai tingkat kemantapan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang
bertujuan untuk menunda kehamilan.
2.2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Keluarga
Berencana
Menurut BKKBN 2007 faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pria dalam KB antara lain : terbatasnya sosialisasi dan promosi KB pria,
adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB, terbatasnya akses pelayanan KB pria, tingginya harga yang harus dibayar untuk MOP,
ketidaknyamanan dalam penggunaan KB pria kondom, terbatasnya metode kontrasepsi pria, rendahnya pengetahuan pria terhadap KB, kualitas pelayanan KB
pria belum memadai, istri tidak mendukung suami ber-KB, adanya stigmatisasi
Universitas Sumatera Utara
22
tentang KB pria di masyarakat, kondisi Politik, Sosial, Budaya Masyarakat, Agama, dan komitmen pemerintah masih belum optimal dalam mendukung KB pria.
Banyak faktor yang menyebabkan rendah nya partisipasi pria dalam keluarga berencana yang dilihat dari berbagai aspek, yaitu dari sisi klien pria itu sendiri
pengetahuan, sikap dan praktik serta kebutuhan yang ia inginkan, faktor lingkungan yaitu sosial budaya, dukungan istri, tokoh masyarakat dan keluargaistri, keterbatasan
informasi dari tenaga kesehatan dan aksesibilitas terhadap pelayanan keluarga berencana pria, keterbatasan jenis kontrasepsi pria disertai masih adanya persepsi
dimasyarakat mengenai keluarga berencana pria BkkbN, 2010. Penyebab masalah kesehatan menurut Green 1980 dalam Notoatmodjo
2012 membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan, yaitu behavioral factor faktor perilaku dan non behavioral factor faktor non perilaku. Faktor
perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu, faktor predisposisi yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya prilaku seseorang antara
lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai – nilai tradisi. Faktor
pemungkin yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi prilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya prilaku kesehatan,
dan faktor penguat yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya prilaku antara lain tokoh masyarakat, peraturan undang
– undang, keputusan dari para pejabat pemerintah pusat dan daerah.
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.5 Pengaruh Faktor Pendukung terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga
Berencana
Faktor pemungkin yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi prilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya prilaku
kesehatan, untuk berprilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung Notoatmodjo, 2012.
Menurut Wibowo dalam Budisantoso 2008 adanya kemudahan dan ketersediaan sarana pelayanan berdampak positif terhadap penggunaan suatu alat
kontrasepsi. Menurut suami pelayanan KB pria yang paling disukai adalah dekat dengan rumah atau dekat dari tempat mereka bekerja 48,85, sebanyak 12,8
menginginkan tempat pelayanan dengan trasportasi yang mudah, biaya terjangkau 9,9, fasilitas lengkap 9,3, dilayani, dengan tenaga ahli yang ramah 9 dan
dapat menjaga privacy 2,2. Sedangkan tempat memperoleh pelayanan KB pria adalah rumah sakit pemerintah 36,1, Puskesmas 29,1, dan rumah sakit swasta
8,6. Belum semua pelayanan kesehatan mampu memberikan pelayanan vasektomi. Hanya 5 - 81 persen pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan vasektomi
dengan rata-rata 41 persen pelayanan kesehatan pemerintah.
2.2.6 Pengaruh Faktor Penguat terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga
Berencana
Faktor penguat yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya prilaku antara lain tokoh masyarakat, peraturan undang
– undang, keputusan dari para pejabat pemerintah pusat dan daerah Notoatmodjo, 2012.
Universitas Sumatera Utara
24
Kesertaan dalam KB Pria juga di pengaruhi oleh adanya diskusi antara suami isteri tentang KB, walaupun sebenarnya pembicaraan antara suami isteri mengenai
KB tidak selalu menjadi prasyarat dalam penerimaan KB, namun demikian, tidak adanya diskusi dapat menjadi penghalang terhadap pemakaian kontrasepsi.
Komunikasi yang baik antara suami isteri merupakan suatu jembatan dalam proses penerimaan dan kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Bagi suami yang akan
mengikuti KB, apapun metodenya, Kondom atau Vasektomi, perlu dibicarakan dulu dengan isterinya, apalagi jika akan mengikuti vasektomi yang memerlukan
pertimbangan dan persyaratan suami isteri. Persetujuan isteri sangat diperlukan untuk memutuskan dilakukannya vasektomi BkkbN, 2009a.
Petugas dan pengelola KB di lapangan umumnya merespon positif dan mendukung pelaksanaan peningkatan partisipasi pria dalam KB, namun demikian
karena keterbatasan sumber dana, daya dan tenaga program ini masih belum menjadi prioritas utama . Masih adanya keragu-raguan dari pihak pengelola, petugas, provider
maupun tokoh agama dan tokoh masyarakat bahkan sebagian dari klien terhadap pelayanan vasektomi. Karena vasektomi sampai saat ini masih menjadi bahan
perbincangan dan perdebatan dikalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Belum optimalnya dukungan Pengambil Keputusan, tokoh masyarakat dan tokoh agama
disebabkan: a kurangnya advokasi b budaya masyarakat yang patriarkat c rendahnya pengetahuan Keluarga tentang pentingnya partisipasi pria dalam KKG
kesetaran dan keadilan gender d kurang mantapnya pelaksanaan mekanisme operasional dalam penggarapan KB pria oleh para pengelola.
Universitas Sumatera Utara
25
Menurut BKKBN 2007 faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pria dalam KB antara lain : terbatasnya sosialisasi dan promosi KB pria,
adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB, terbatasnya akses pelayanan KB pria, tingginya harga yang harus dibayar untuk MOP,
ketidaknyamanan dalam penggunaan KB pria kondom, terbatasnya metode kontrasepsi pria, rendahnya pengetahuan pria terhadap KB, kualitas pelayanan KB
pria belum memadai, istri tidak mendukung suami ber-KB, adanya stigmatisasi tentang KB pria di masyarakat, kondisi Politik, Sosial, Budaya Masyarakat, Agama,
dan komitmen pemerintah masih belum optimal dalam mendukung KB pria.
2.3 Analisis Faktor
2.3.1 Definisi Analisis Faktor
Analisis faktor adalah suatu teknik interdependensi interdependence technique, dimana tidak ada pembagian variabel menjadi variabel bebas dan variabel
tergantung dengan tujuan utama, yaitu mendefinisikan struktur yang terletak di antara varaibel-variabel dalam analisis. Analisis ini menyediakan alat-alat untuk
menganalisis struktur dari hubungan interen atau korelasi diantara sejumlah besar variabel dengan menerangkan korelasi yang baik antar variabel, yang diasumsikan
untuk merepresentasikan dimensi-dimensi dalam data Hair, 2010. Analisis faktor merupakan suatu teknik untuk menganalisis tentang saling
ketergantungan dari beberapa variabel secara simultan dengan tujuan untuk menyederhanakan dari bentuk hubungan antara beberapa variabel yang diteliti
Universitas Sumatera Utara
26
menjadi sejumlah faktor yang lebih sedikit dari pada variabel yang diteliti. Hal ini berarti, analisis faktor dapat juga menggambarkan tentang struktur data dari suatu
penelitian Suliyanto, 2005. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya
analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang saling bebas satu sama lain, sehingga dapat dibuat satu atau beberapa set variabel
yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Dalam hal ini variabel yang memiliki korelasi terbesar akan berkelompok membentuk suatu set variabel membentuk
faktor.
2.3.2 Tujuan Analisis Faktor
Tujuan analisis faktor adalah: 1. Data Sumarization, yakni mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel
dengan melakukan uji korelasi. 2. Data Reduction, yakni setelah melakukan korelasi, maka dilanjutkan dengan
proses membuat sebuah variabel set baru yang dinamakan faktor untuk menggantikan sejumlah variabel tertentu.
Tujuan umum dari teknik analisis faktor adalah menemukan suatu cara untuk mereduksi informasi yang terkandung di dalam sejumlah variabel-variabel original ke
dalam set variabel yang lebih kecil dari dimensi-dimensi gabungan dan baru. Untuk menemukan tujuan tersebut, ada 4 hal yang mendukung, yaitu mengkhususkan unit
analisis, mencapai ringkasan data atau pengurangan data, pemilihan variabel, dan
Universitas Sumatera Utara
27
menggunakan hasil analisis faktor dengan teknik-teknik multivariat yang lain Hair, 2010.
2.3.3 Fungsi Analisis Faktor
Terdapat 3 fungsi analisis faktor menurut Suliyanto 2005, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dimensi-dimensi mendasar yang dapat menjelaskan korelasi dari serangkaian variabel.
2. Mengidentifikasi variabel-variabel baru yang lebih kecil, untuk menggantikan variabel tidak berkorelasi dari serangkaian variabel asli yang berkorelasi
3. Mengidentifikasi beberapa variabel kecil dari sejumlah variabel yang banyak untuk dianalisis multivariat lainnya.
2.3.4 Langkah-langkah Analisis Faktor
Menurut Suliyanto 2005, langkah-langkah dalam analisis faktor adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan masalah b. Membuat matriks korelasi
Proses analisis faktor didasarkan pada matriks korelasi antara variabel yang satu dengan variabel-variabel lain, untuk memperoleh analisis faktor yang semua
variabel-variabelnya harus berkorelasi. Untuk menguji ketepatan dalam model faktor, uji statistik yang digunakan adalah Barletts test sphericity dan Kaiser-Mayer-Olkin
KMO untuk mengetahui kecukupan sampelnya.
Universitas Sumatera Utara
28
1. Nilai KMO sebesar 0,9 adalah baik sekali 2. Nilai KMO sebesar 0,8 adalah baik
3. Nilai KMO sebesar 0,7 adalah sedangagak baik 4. Nilai KMO sebesar 0,6 adalah cukup
5. Nilai KMO sebesar 0,5 adalah kurang 6. Nilai KMO sebesar 0,5 adalah ditolak
c. Model Fit ketepatan model Mengetahui ketepatan dalam memilih teknik analisis faktor antara principal
component analysis dan maximum likelihood dengan melihat jumlah residual perbedaan antara korelasi yang diamati dengan korelasi yang diproduksi. Semakin
kecil persentase nilai residual dalam hal ini adalah nilai root mean square error = RMSE, maka semakin tepat penentuan teknik tersebut.
d. Penentuan jumlah faktor Penentuan jumlah faktor yang ditentukan untuk mewakili variabel-variabel
yang akan dianalisis didasarkan pada besarnya eigen value serta persentase total variannya. Hanya faktor yang memiliki eigen value sama atau lebih besar dari satu
yang dipertahankan dalam model analisis faktor, sedangkan yang lainnya dikeluarkan dari model.
e. Rotasi faktor Hasil dari ekstraksi faktor dalam matriks faktor mengidentifikasikan
hubungan antar faktor dan variabel individual, namun dalam faktor-faktor tersebut banyak variabel yang berkorelasi sehingga sulit diinterpretasikan. Melalui rotasi
Universitas Sumatera Utara
29
faktor matriks, faktor matriks ditransformasikan ke dalam matriks yang lebih sederhana sehingga mudah diinterpretasikan. Rotasi faktor menggunakan prosedur
varimax. f. Interpretasi faktor
Interpretasi faktor dilakukan dengan mengklasifikasikan variabel yang mempunyai factor loading minimum 0,4 sedangkan variabel dengan factor loading
kurang dari 0,4 dikeluarkan dari model. g. Penyeleksian surrogate variable
Mencari salah satu variabel dalam setiap faktor sebagai wakil dari masing- masing faktor. Pemilihan ini didasarkan pada nilai faktor loading tertinggi.
2.3.5 Asumsi Analisis Faktor
Prinsip utama dalam analisis faktor adalah korelasi, artinya variabel yang memiliki korelasi erat akan membentuk suatu faktor. Karena prinsip utama analisis
faktor adalah korelasi, maka asumsi dalam analisis faktor berkaitan erat dengan korelasi berikut:
a. Korelasi antar variabel bebas harus kuat. Hal ini dapat diidentifikasi dari nilai determinannya yang mendekati nol. Nilai
determinan dari matriks korelasi yang elemen-elemennya menyerupai matriks identitas akan memiliki nilai determinan sebesar satu. Artinya, jika nilai determinan
mendekati satu, maka matriks korelasi menyerupai matriks identitas, dimana antar itemvariabel tidak saling terkait karena matriks identitas memiliki elemen pada
diagonal bernilai satu, sedangkan lainnya bernilai nol.
Universitas Sumatera Utara
30
b. Koefisien korelasi parsial antar 2 variabel harus kecil Hal ini dapat diidentifikasi dengan nilai Kaiser Meyer Olkin measure of
sampling adequency KMO. KMO merupakan sebuah indeks perbandingan jarak antara koefisien korelasi dengan koefisien parsialnya secara keseluruhan. Jika jumlah
kuadrat koefisien korelasi parsial diantara seluruh pasangan variabel bernilai kecil dibandingkan dengan jumlah kuadrat koefisien korelasi, maka akan menghasilkan
nilai KMO yang mendekati satu. Nilai KMO yang kecil menunjukkan bahwa analisis faktor bukan merupakan pilihan yang tepat. Untuk dapat dilakukan analisis faktor,
nilai KMO dianggap cukup apabila nilai KMO 0,5. c. Koefisien korelasi antar variabel harus kecil
Hal ini dapat diidentifikasi dengan nilai Measure of Sampling Adequency MSA. MSA adalah sebuah indeks perbandingan jarak antara koefisien korelasi
dengan koefisien korelasi parsialnya secara parsial setiap itemvariabel. Untuk dapat dilakukan analisis faktor, nilai MSA dianggap cukup apabila nilai MSA 0,5.
Apabila ada itemvariabel yang tidak memiliki nilai MSA 0,5, variabel tersebut harus dikeluarkan dari analisis faktor secara bertahap satu persatu.
d. Dalam beberapa kasus, setiap variabel yang akan dianalisis dengan menggunakan analisis faktor harus menyebar secara normal.
2.3.6 Penamaan Faktor yang terbentuk
Untuk menamai faktor yang telah dibentuk dalam analisis faktor, dapat dilakukan dengan cara berikut.
Universitas Sumatera Utara
31
1. Memberikan nama faktor yang dapat mewakili nama-nama variabel yang membentuk faktor tersebut.
2. Memberikan nama faktor berdasarkan variabel yang memiliki nilai faktor loading tertinggi. Hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan untuk memberikan nama
faktor yang dapat mewakili semua variabel yang membentuk faktor tersebut.
2.3.7 Metode Pendugaan Parameter PCA Principal Component Analysis
Secara sederhana, sebuah variabel akan mengelompok ke suatu faktor yang terdiri atas variabel-variabel yang lainnya pula jika variabel tersebut berkorelasi
dengan sejumlah variabel lain yang masuk dalam kelompok faktor tertentu. Ketika sebuah variabel berkorelasi dengan variabel lain, variabel tersebut berbagi varians
dengan variabel lain tersebut, dengan jumlah varians yang dibagikan adalah besar korelasi pangkat dua R
2
. Varians adalah akar dari standar deviasi, yakni jumlah penyimpangan data dari rata-ratanya Santoso, 2012.
Dengan demikian, varians total pada sebuah variabel dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Common variance, yakni varians yang dibagi dengan varians lainnya atau jumlah varians yang dapat diekstrak dengan proses factoring.
2. Specific variance, yakni varians yang berkaitan dengan variabel tertentu saja. Jenis varians ini tidak dapat dijelaskan dengan korelasi hingga menjadi bagian dari
variabel lain. Namun varians ini masih berkaitan secara unik dengan satu variabel.
Universitas Sumatera Utara
32
3. Error variance, yakni varians yang tidak dapat dijelaskan lewat korelasi. Jenis ini muncul karena proses pengambilan data yang salah, pengukuran variabel yang
tidak tepat dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dikatakan jika sebuat variabel
berkorelasi dengan variabel lain, maka common variance disebut juga communality akan meningkat. Proses common analysis hanya berhubungan dengan common
variance, sedangkan proses principal component analysis akan mengaitkan semua varians tersebut. Pada umumnya, principal component analysis akan digunakan jika
tujuan utama analisis faktor adalah data reduction, dan beranggapan bahwa sejumlah specific variance dan error variance berjumlah kecil.
PCA menggunakan total varians dalam analisisnya. Metode ini menghasilkan faktor yang memiliki specific variance dan error variance yang lebih kecil. Kalau ada
beberapa faktor yang dihasilkan, faktor yang duluan dihasilkan adalah yang memiliki common variance terbesar, sekaligus specific dan error variance terkecil Simamora,
2004.
2.4 Landasan Teori
Landasan teori yang diambil adalah menurut Green 1980 yang dikutip oleh Notoatmodjo 2012, prilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni:
1. Faktor predisposisi Predisposing factor Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
33
kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
2. Faktor pendukung Enabling factors Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan
bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk
juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta, dan
sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau
memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.
3. Faktor penguat Reinforcing factors Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat toma, tokoh
agama toga, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat
maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap
positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh acuan dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas, lebih-lebih para
petugas kesehatan. Sebagai landasan teori disajikan pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
34
Gambar 2.1 Landasan Teori Green 1980
2.5 Kerangka Konsep Penelitian