BAB V PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Ibu
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa umur ibu bervariasi, yaitu pada umumnya berkisar antara 40-44 tahun dan 45-49 tahun yaitu masing-masing
sebanyak 31,3. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya ibu dari anak autisme yang bersekolah dan mengikuti terapi autisme di Kota Binjai masih pada usia
produktif dan mampu untuk melaksanakan pemberian makan pada anak autisme secara benar dan sesuai dengan dietnya.
Berdasarkan tabel 4.1 juga dapat dilihat bahwa pendidikan terakhir ibu sangat bervariasi, namun pada umumnya adalah tamat SMA yaitu sebanyak 56,3.
Pendidikan seseorang berkaitan dengan pengetahuan dan sikap seseorang, menentukan pola pikir dan wawasan seseorang. Pendidikan juga memiliki peranan
penting dalam kualitas, lewat pendidikan diharapkan manusia dapat memperoleh pengetahuan Notoatmodjo, 2003. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan
cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media masa, untuk itu dengan pendidikan ibu yang baik diharapkan pengetahuan ibu juga
bertambah, khususnya pengetahuan ibu dalam pemberian makan pada anak autisme. Untuk jenis pekerjaan ibu dapat dilihat berdasarkan tabel 4.1 yaitu pada
umumnya adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga IRT yaitu sebanyak 68,8. Kesibukan ibu yang kesehariannya adalah sebagai ibu rumah tangga diharapkan dapat
memberikan perhatian yang lebih serta pengawasan yang ketat terhadap pemberian makan pada anak autisme.
5.2. Pengetahuan Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu dari anak autisme yang bersekolah dan mengikuti terapi autisme di Kota Binjai memiliki
pengetahuan yang berada dalam kategori cukup yaitu sebanyak 68,8, dan hanya 9,4 yang berpengetahuan baik. Namun jika ditelaah berdasarkan hasil jawaban ibu,
ternyata pengetahuan ibu lebih banyak pada pemberian makan secara umum dibandingkan dengan pemberian makan secara khusus yang sesuai dengan diet atau
pola makan pada anak autisme. Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa pada umumnya pengetahuan ibu
tentang cara menyiapkan makanan yang baik untuk anak autis adalah “menyusun menu, memilih bahan makanan yang sehat dan memasak dengan benar” yaitu
sebanyak 53,1. Menurut Almatsier 2004, menu seimbang adalah menu yang terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan porsi yang sesuai sehingga
dapat memenuhi kebutuhan gizi seseorang, dalam menyusun menu yang seimbang diperlukan juga pengetahuan tentang bahan makanan karena nilai gizi dalam bahan
makanan dalam tiap golongan tidak sama. Selain itu perlu juga diperhatikan cara memasak atau mengolah bahan makanan yang benar agar zat gizi yang terkandung
dalam suatu bahan pangan tidak rusak. Pengetahuan ibu tentang makanan yang baik dikonsumsi untuk anak autisme
setiap kali makan adalah “Nasi, sayur, lauk, buah” yaitu sebanyak 65,6. Hal ini
sesuai dengan pendapat Siregar J 2010 bahwa hidangan yang beraneka ragam adalah hidangan sehari-hari yang minimal terdiri dari empat jenis bahan makanan
yaitu bahan makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah. Akan lebih baik lagi apabila makanan yang dikonsumsi setiap kali makan beraneka ragam dan bervariasi
karena dapat menjamin kelengkapan zat gizi yang diperlukan tubuh. Kekurangan zat gizi tertentu dari satu jenis bahan makanan dapat dilengkapi oleh bahan makanan
yang lain Kusno dalam Siregar J 2010. Pengetahuan ibu tentang manfaat sarapan pada umumnya adalah
“memberikan tenaga untuk melakukan aktifitas” yaitu sebanyak 59,4. Hal ini sesuai menurut pendapat Fandinna bahwa sarapan sangatlah penting, terutama bagi anak
usia sekolah karena sekolah adalah waktu yang penuh aktivitas yang membutuhkan energi dan kalori yang cukup besar.
Pengetahuan ibu tentang manfaat mengonsumsi sayur dan buah setiap hari pada umumnya menyatakan “memudahkan BAB” yaitu sebanyak 46,9. Hal ini
sesuai dengan pendapat Herminingsih bahwa sayuran dan buah-buahan adalah sumber serat makanan yang paling mudah dijumpai dalam menu dimasyarakat.
Menurutnya, Konsumsi serat makanan, menghasilkan kotoran yang lembek. Sehingga diperlukan kontraksi otot rendah untuk mengeluarkan feses dengan lancar. Dengan
begitu mengurangi risiko konstipasi sulit buang air besar. Sebaliknya, kekurangan serat akan menyebabkan tinja mengeras dan perlu kontraksi otot yang besar untuk
mengeluarkannya. Selain untuk memudahkan buang air besar, 46,9 ibu menyatakan manfaat
konsumsi sayur dan buah adalah untuk “memenuhi kebutuhan tubuh akan vitamin,
mineral dan serat”. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirakusumah 1995 bahwa vitamin dan mineral yang terkandung dalam sayur dan buah merupakan unsur penting
untuk kesehatan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses metabolisme. Vitamin, mineral dan serat tersebar dalam bermacam-macam jenis sayuran dan bekerja sesuai
dengan fungsinya didalam tubuh. Pengetahuan ibu tentang cara pemberian makanan yang baik untuk anak
autisme pada umumnya menyatakan “sama sepeti anak normal” yaitu sebanyak 62,5. Menurut Judarwanto 2009 Pemberian makan pada anak autisme tidak bisa
disamakan dengan anak normal, hal ini karena anak autisme mempunyai gangguan pada sistem pencernaan, dimana makanan yang mengandung zat-zat gizi tinggi tidak
selamanya dapat dicerna dan diterima oleh anak autisme. Menurut Soenardi dan Soetardjo dalam Yanti 2009 antisipasi secara dini dapat dilakukan untuk
menghindari hal-hal yang dapat memperparah kondisi autisme yaitu dengan memperhatikan pola makan diet khusus pada anak autisme.
Pengetahuan ibu tentang makanan yang mengandung kasein pada umumnya menyatakan “tidak tahu” yaitu sebanyak 84,4. setelah diberitahu apa itu kasein, ibu
juga tidak tahu bahwa makanan yang mengandung kasein tidak boleh diberikan pada anak autisme. Begitu juga pengetahuan ibu tentang makanan yang mengandung
gluten yaitu sebanyak 81,3 ibu tidak mengetahui apa itu gluten, setelah diberi tahu apa itu gluten, hanya 4 orang diantara 32 orang yang tahu bahwa gluten tidak baik
dikonsumsi untuk anak autisme. Begitu tingginya persentase ibu yang tidak tahu apa itu diet bebas kasein dan
gluten mengindikasikan pengetahuan ibu yang masih kurang, padahal diet bebas
gluten dan kasein ini sangat dikenal untuk anak autisme, dimana telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa diet ini membawa pengaruh yang baik untuk
anak autisme, seperti survei yang telah dilakukan oleh Autism Research Institute menyatakan bahwa 66 anak autisme mengalami efek perubahan perilaku yang lebih
baik dengan menggunakan metode diet bebas gluten dan kasein Avenue, 2008. Pengetahuan ibu tentang jenis diet untuk anak autisme pada umumnya
menyatakan “mengurangi makanan manis seperi coklat” yaitu sebanyak 78,1. Hal ini sesuai dengan pendapat Soenardi dan Soetardjo dalam Yanti 2009 yang
menyatakan bahwa makanan yang mengandung gula erat kaitannya dengan pertumbuhan jamur untuk itu makanan manis termasuk coklat sebaiknya dihindari
agar mencegah pertumbuhan jamur yang akan tumbuh subur dan mengeluarkan racun yang dapat melemahkan sistem imun tubuh sehingga mudah untuk terjadi infeksi.
Selain itu coklat juga mengandung susu sapi yang tidak boleh dikonsumsi untuk anak autisme karena dapat menimbulkan alergi. Mengurangi makanan manis seperti
coklat hanyalah salah satu dari sekian banyak jenis diet untuk anak autisme yaitu seperti diet bebas gluten dan kasein, diet anti-yeast ragi jamur, diet untuk alergi, diet
untuk intoleransi makanan dan lain sebagainya. Pengetahuan ibu tentang manfaat diet khusus pada anak autisme pada
umumnya menyatakan “untuk mengurangi peilaku anak yang hiperaktif”. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni pada anak autisme,
dimana dengan menerapkan diet khusus pada anak autisme dapat merubah perilaku yang lebih baik pada anak autisme. Salah satunya adalah mengurangi perilakunya
yang hiperaktif.
Pengetahuan ibu tentang snack yang baik dikonsumsi untuk anak autisme pada umumnya adalah “wafer, coklat, roti dan mie goreng” yaitu sebanyak 50.
Seperti yang telah diketahui bahwa komposisi dari roti, wafer dan mie mengandung terigu yang seharusnya dihindari oleh anak autisme, kemudian makanan seperti
coklat dan wafer juga mengandung susu sapi yang seharusnya dihindari oleh anak autisme. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, makanan yang mengandung susu
sapi kasein dan makanan yang mengandung terigu gandum gluten tidak baik dikonsumsi untuk anak autisme karena menurut Winarno dan Agustinah 2008
sekitar 50 anak autisme mengalami kebocoran usus sehingga terjadi ketidakseimbangan flora usus. Peptida berasal dari gluten gluteomorphin dan
peptida kasein caseomorphin yang tidak tercerna sempurna, bersama aliran darah masuk ke otak yang akan menyebabkan gangguan susunan saraf pusat dan dapat
berpengaruh terhadap persepsi, emosi, perilaku dan sensitivitas. Hasil penelitian menunjukkan beberapa pertanyaan pengetahuan ibu tentang
pemberian makan secara khusus sesuai dengan pola makan diet pada anak autisme kebanyakan ibu yang menjawab salah. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu
tentang pemberian makan secara khusus sesuai dengan diet pada anak autisme masih kurang. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai makanan
yang dibuat secara khusus untuk anak autisme dan ketidaktahuan ibu bahwa makanan sebenarnya dapat membantu mempercepat perubahan perilaku anak autisme kearah
yang positif. Ibu hanya tahu bahwa anak autisme adalah anak yang mengalami masalah
dalam berperilaku, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya, tak
jarang para orang tua hanya fokus terhadap ketiga hal tersebut, yaitu bagaimana agar anaknya dapat berperilaku baik, dapat berkomunikasi, dan dapat bersosialisasi
dengan lingkungannya, untuk itu para orang tua memasukkan anaknya ke tempat terapi ataupun sekolah agar anaknya sembuh dari autisme. Namun tanpa mereka
ketahui sebenarnya untuk menangani masalah pada anak autisme ini harus dilakukan secara keseluruhan, tidak bisa hanya fokus pada satu kegiatan dan mengabaikan
kegiatan lainnya, apalagi sampai mengabaikan pola pemberian makan diet khusus untuk anak autisme. Untuk itu para orangtua juga harus aktif mencari informasi yang
terkait dengan pola makan untuk anak anak autisme. Menurut Budhiman, dkk dalam Ratnadewi 2008, untuk menanggulangi
gejala-gejala autisme maka yang terlebih dahulu harus dibenahi adalah metabolisme tubuh penyandang autisme yang dikenal dengan terapi biomedis yaitu terapi yang
bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh dengan memperhatikan pola makan dan penggunaan suplemen yang sesuai dengan kebutuhan penyandang autisme.
Terapi biomedis ini pernah dilakukan oleh Budhiman kepada anak autisme, hasil yang didapatkan adalah anak autisme mengalami perkembangan pesat dalam
kemampuan bersosialisasi, anak menjadi mandiri, konsentrasi anak membaik, hiperaktif berkurang, postur tubuh anak berkembang semakin proporsional, adanya
kontak mata dengan lawan bicara, dapat meniru kata-kata yang diajarkan, jam tidur menjadi teratur dan dapat mengejar ketinggalan dari anak-anak lain Budhiman, dkk
dalam Ratnadewi, 2008. Kurangnya informasi yang diperoleh ibu baik dari media cetak maupun
media elektronik membuat kurangnya pengetahuan ibu mengenai pemberian makan
pada anak autisme. Untuk itu diharapkan adanya kesadaran dan kemauan ibu untuk lebih aktif mencari informasi yang berhubungan dengan pola makan anak autisme.
Rendahnya pengetahuan ibu tentang pola pemberian makan pada anak autisme sangat dikhawatirkan akan berdampak pada kesehatan anak.
Menurut Notoatmodjo 2003 Pengetahuan merupakan bagaimana seseorang dapat menyebutkan dan menguraikan sesuatu berdasarkan informasi yang telah
ketahuinya melalui panca indera. Seperti penelitian yang telah dilakukan bahwa pengetahuan ibu tentang pemberian makan secara khusus untuk anak autisme masih
rendah yang dapat dilihat dari hasil jawaban responden yang tidak mampu untuk menyebutkan, menguraikan sesuatu yang bekaitan dengan pola makan anak autisme.
Untuk itu perlu dilakukan beberapa upaya dalam meningkatkan pengetahuan ibu yaitu diharapkan kepada Puskesmas Kota Binjai agar lebih giat mengadakan
promosi kesehatan, penyuluhan ke sekolah ataupun ke tempat terapi autisme yang ada di Kota Binjai. Kemudian kepada gurutenaga terapis hendaknya memberikan
informasi terkait dengan pola pemberian makan pada anak autisme. Selain itu juga diharapkan kepada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU khususnya
departemen gizi agar dapat membantu meningkatkan pengetahuan ibu dengan memberikan penyuluhan kepada ibu tentang pemberian makan pada anak autisme.
5.3. Sikap Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme