Tinjauan Pustaka Anggota II NIP.

21 terdapat dari kata-kata yang diucapkannya. Hal ini dirasakan masing-masing oleh masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan sebagai suatu ciri khas etnik mereka. Penelitian ini mengkaji tentang ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan. Pemilihan tema ini berdasarkan ketertarikan peneliti dengan berbagai aspek-aspek budaya bahasa Sigulai. Seperti cara berkomunikasi antara sesama pemakai bahasa Sigulai. Ketertarikan ini bermula ketika peneliti hidup dan mersakan langsung bagaimana bahasa Sigulai itu digunakan masyarakat Simeulue. Perbedaan pengucapan dalam bahasa Sigulai menunjukkan ragam dalam bahasa tersebut. Ragam ini mengindikasikan adanya sebuah perbedaan antara satu dialek dengan dialek yang lain, meskipun bahasa yang digunakan masih satu yakni bahasa Sigulai. Ragam ini terlihat dari daerah asal bahasa Sigulai tersebut yang dipakai oleh orang Sigulai yang tersebar di empat kecamatan, yakni Kecamatan Salang, Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Alafan, dan Kecamatan Simeulue Barat. Penelitian ini semakin menarik ketika membahasnya dalam ranah kultural yang berbeda. Hal ini misalnya terlihat ketika bahasa Sigulai dipakai atau diaplikasikan di daerah perantauan seperti Kota Medan. Penelitian ini akan semakin menarik di mana arahnya tidak hanya membahas ragam bahasa yang tercipta dari bahasa Sigulai namun juga adaptasi dan perubahan yang mungkin terjadi dalam proses interaksi orang Simeulue di Kota Medan.

1.2 Tinjauan Pustaka

Universitas Sumatera Utara 22 Menurut Koentjaraningrat dalam Arifin Dkk, 1985 proses enkulturasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat istiadat, sistem norma, dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang. Enkulturasi dalam istilah bahasa Indonesia diartikan sebagai “pembudayaan”. Dalam bahasa Inggris istilah enkulturasi disebut “institutionalization”. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Pada proses enkulturasi ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan- peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Seorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Secara harfiah, enkulturasi sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat 1996:233 adalah suatu proses pembudayaan. Enkulturasi sebagai suatu bentuk pemikiran mengacu pada proses di mana kultur budaya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, walaupun terdapat juga pemikiran mengenai kebudayaan sebagai suatu hal yang diperoleh melalui proses pembelajaran. Pada bentuk sederhana, enkulturasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk proses sosial melalui manusia sebagai makhluk yang memiliki nalar, daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Universitas Sumatera Utara 23 Enkulturasi dalam lingkup penelitian ini merupakan suatu proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap seorang individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang ada dalam kehidupannya. Proses ini berlangsung secara terus menerus dari usia kecil, mulai dari lingkungan kecil keluarga ke lingkungan yang lebih besar masyarakat, dalam proses enkulturasi, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pemikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pandangan Sapir-Whorf Siregar dalam Fasya, 2006:54, yang mengatakan bahwa, bahasa dan kebudayaan mengkaji hubungan antara bahasa sebagai unsur budaya dan kebudayaan yang umum realitivitas kebahasaan. Dijelaskan bahwa, tanggapan dan tindakan seseorang banyak bergantung atas struktur kosa kata yang dikuasainya. Semuanya ini adalah alat-alat yang dipergunakan untuk berpikir dan kemudian menanggapi sesuatu sehingga mempengaruhi tindak lakunya. Mengutip apa yang disampaikan oleh Sutrisno 2014: 136 bahwa makna atau meaning merupakan arti asli atau awal ketika teks itu dituliskan atau diucapkan oleh pengarangnya. Ketika perbincangan makna lalu dituliskan oleh komunitas bahasa, maka pencarian atau penafsiran makna tempatnya ada di teks tertulis itu dan teks-teks yang sejaman perhitungan waktu serta yang se-asal lokasi. Anak-anak menghabiskan masa-masa awal kehidupan bersama keluarga dan memperoleh refleksi nilai dan pola perilaku keluarganya. Selanjutnya, kepada mereka di tunjukkan nilai-nilai dan pola-pola perilaku masyarakat. Anak-anak mempelajari norma- norma masyarakat melalui keluarga dan teman-teman bermain. Selain itu, mereka meniru berbagai macam tindakan yang terdapat dalam masyarakat. Kadang-kadang, Universitas Sumatera Utara 24 orang tua mendorong anaknya supaya berperilaku sesuai dengan kehendak masyarakat dengan memberikan pujian dan menghukum mereka bila berperilaku menyimpang. Setelah anak tumbuh dewasa maka kemudian sang anak akan pergi menuju ruang sosialisasi selanjutnya yakni dengan teman bermain, atau pun sekolah. Dari pandangan Dreben dalam Sunarto 2004: 26 kita dapat melihat bahwa sekolah atau pun lembaga sosial yang sejenis seperti kampus merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru yang diperlukan oleh anggota masyarakatnya, dan aturan baru tersebut sering berbeda bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung di rumah. Seringkali berbagai norma dipelajari seseorang hanya sebagian-sebagian dengan mendengar dari orang lain dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda pula. Sebetulnya, norma bukan saja diajarkan di lingkungan keluarga atau dalam pergaulan di masyarakat, tetapi di ajarkan di sekolah-sekolah formal. Perkembangan itu menambahkan pandangan bahwa, dalam pemikiran ilnu kebudayaan, barangkali yang paling berpengaruh dari para teoritikus tentang consensus gentium, beberapa segi dari kebudayaan mengambil bentuk-bentuk khususnya semata- mata sebagai suatu akibat dari kebetulan-kebetulan historis; segi-segi lainnya disesuaikan oleh kekuatan-kekuatan yang selayaknya dapat dicirikan sebagai universal. Unsur-unsur kebudayaan universal dipahami sebagai tanggapan-tanggapan baku terhadap kenyataan-kenyataan yang niscaya, cara-cara yang dilembagakan untuk Universitas Sumatera Utara 25 mengemukakan kenyataan-kenyataan itu. Analisis, merupakan pencocokan unsur-unsur universal yang diandaikan dengan keniscayaan-keniscayaan dasar yang didalilkan. Berbicara tentang bahasa, telah banyak penelitian yang pernah menyinggung ataupun menuliskan tentang bahasa maupun ragam dialek. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Yully 2008 yang membahas ragam bahasa Langgam Empat di Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok Sumatera Barat dibakukan dan tidak bersifat tetap. Yul ly 2008 mengungkapkan representasi Kato Nan Langgam Ampek dapat dibakukan dan tidak bersifat tetap. Selalu saja ada pemaknaan baru yang membuat terjadinya representasi dan munculnya makna-makna yang dikandung dalam Kato Nan Langgam Ampek. Dengan Kato Nan Langgam Ampek, makna-makna yang terkandung di dalam setiap pemakaiannya pada suatu peristiwa interaksi dan komunikasi tidak selalu bersifat tetap. Tentu dari penelitiannya kita dapat mengambil suatu kesimpulan kecil yang dapat kita masukan dalam menganalisis masalah dialek bahasa Sigulai pada masyarakat Simeulue yang akan disajikan. Kato Nan Langgam Ampek memang merupakan norma yang menuntut keteraturan dalam berbahasa dan berbicara, tetapi tidak bisa dipungkiri juga selalu saja ada perubahan dan pergeseran makna yang disesuaikan dengan perkembangan nilai- nilai yang baru masuk ke dalam masyarakat. Adanya perubahan dan pergeseran makna dari Kato Nan Langgam Ampek pada kehidupan masyarakat Nagari Salayo dapat dijumpai pada berbagai peristiwa dialog. Pada suatu saat bisa saja ditemui pemakaian kato mandaki pada peristiwa komunikasi antar dua orang yang seumuran atau sebaliknya. Universitas Sumatera Utara 26 Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian Yully adalah terletak pada sisi lokasi dan persebaran dialek. Hal ini dikarenakan adanya perpindahan penduduk atau persebaran penduduk ke daerah lain yang menciptakan perbedaan dalam proses pelafalan bahasa. Ragam dialek juga akan menjadi pembeda yang jelas antara dua judul tersebut, di mana dialek Sigulai berbeda-beda tipenya bahkan jika harus dipisahkan berdasarkan kecamatan dalam satu kabupaten. Persamaannya dari penelitian ini adalah adanya perubahan-perubahan kata dari masyarakat itu sendiri dan terdapat pergeseran makna dalam berkomunikasi dari masyarakat antar sesama etnis yang menggunakan bahasa Sigulai yang ada di Kecamatan Simeulue Barat, Alafan, Teluk Dalam dan Kecamatan Salang. Menurut pandangan Sibarani dalam Fasya, 2006:22 bahasa secara internal memperlihatkan latar belakang etnik suatu masyarakat. Intensitas suara yang tinggi penggunaan e keras, misalnya, menunjukan bahwa penutur bahasa itu adalah orang Batak, penggunaan t yang mengarah pada palatal, bukan dental atau alveolar, menunjukan bahwa penutur bahasa itu adalah orang Aceh. Bahasa adalah sarana yang mengekspresikan nilai-nilai budaya. Menurut Sibarani 2004:59, nilai-nilai budaya yang dapat disampaikan oleh bahasa sebagai jalur transformasi kebudayaan terbagi atas tiga bagian kebudayaan yang saling berkaitan, yaitu kebudayaan ekspresi mencakup perasaan, intuisi, ide, dan imajinasi kolektif. Kebudayaan tradisi mencakup nilai-nilai religi, adat istiadat, dan kebisaan-kebiasaan. Kebudayaan fisik mencakup hasil karya atau artefak-artefak asli yang di manfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Universitas Sumatera Utara 27 Komunikasi dan interaksi sosial yang ada dalam suatu masyarakat hanya dapat sampaikan melalui bahasa. Suatu kelompok atau masyarakat menggunakan bahasa dalam setiap aspek kegiatan hidupnya. Sebagaimana diketahui, budaya berfungsi sebagai suatu sistem yang mengatur segala interaksi antar individu dalam suatu masyarakat, maka bahasa berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu Sibarani, 2006:58. Hal ini didukung juga oleh Hanafiah, 1986:27 yang mengatakan bahwa, komunikasi adalah proses di mana pesan pesan dioperasikan dari sumber kepada penerima. Dengan kata lain komunikasi adalah pemindahan ide-ide dari sumber dengan harapan akan merubah tingkah laku maupun ide penerima. Saluran komunikasi adalah alat dengan pesan pesan dari sumber dapat sampai kepada penerima. Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang kalau digabungkan menurut aturan- aturan tertentu menimbulkan arti, yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu. Meskipun manusia pertama-tama bersandar pada bahasa untuk saling berkomunikasi satu sama lain, tetapi bahasa bukanlah satu-satunya sarana komunikasi. Sarana-sarana lain ialah para bahasa para language, yaitu suatu sistem bunyi yang menyertai bahasa, dan kinesika kinesich, yaitu sistem gerakan tubuh yang digunakan untuk menyampaikan pesan message. Haviland William A, 1985:358 Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai simbol vocal arbiter yang digunakan oleh manusia dalam bentuk percakapan sehari- hari. Bentuk percakapan dengan menggunakan bahasa ini lazim disebut dengan bahasa lisan oral language. Bentuk penggunaan bahasa ini kemudian terangkum dalam kegiatan sehari-hari antar manusia sebagai salah satu alat kominikasi utama. Universitas Sumatera Utara 28 Dalam kehidupan antar kelompok manusia, bahasa lisan ini mengalami diversitas, yaitu adanya beragam jenis bahasa lisan tersebut yang dapat diidentifikasi melalui bunyi, intonasi, sampai kepada makna yang ditujukan melalui bahasa tersebut. Pada kelompok-kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut juga memiliki makna subtansif sebagai sesuatu yang mereka maknai secara kolektif dalam kesatuan pola ide dan gagasan mereka sendiri, atau dapat juga disebut sebagai pemaknaan dari sistem kebudayaan mereka. Sebagai bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan mereka sendiri, lazimnya bahasa yang dipergunakan di dalam suatu kelompok manusia diatur sedemikian rupa dan memiliki tatanan yang jelas, atau dapat juga disebut sebagai seperangkat aturan- aturan yang menyertai penggunaan bahasa tersebut. Aturan-aturan dalam bahasa tersebut dapat dilihat sebagai serangkaian pola-pola yang berkesinambungan dan saling berhubungan. Dalam kajian antropogi linguistik, paling tidak ada tiga relasi penting yang perlu diperhatikan Sibarani, 2004:51. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan. Artinya, ketika kita mempelajari suatu budaya, kita juga bahkan harus mempelajari bahasanya dan ketika kita mempelajari suatu bahasa kita juga mempelajari budayanya. Kedua, hubungan antara bahasa dan budaya secara umum. Dalam hal ini, kita tahu bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya: perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Oleh karena itu, penghitungan bahasa seolah-olah relevan dengan penghitungan budaya bahkan penghitungan etnis. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu dengan antropologi sebagai ilmu budaya. Universitas Sumatera Utara 29 Budaya adalah pengetahuan, di mana kebudayaan adalah serangkaian pengetahuan yang diperoleh manusia sebagai makhluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan serta mendorong untuk menghasilkan tingkah laku Spradley, 1980. Budaya sebagai pengetahuan merupakan sistem kognitif yang tersusun di dalam benak setiap orang. Dalam kebudayaan terkandung unsur-unsur yang secara universal dapat dibagi atas tujuh unsur yaitu, bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup, mata pencaharian, religi, dan kesenian. Bahasa digolongkan sebagai unsur kebudayaan yang ada hakekatnya bahasa mengikuti hakekat dari kebudayaan itu sendiri, sebagaimana bahasa merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang universal Koentjaraningrat, 1997. Bahasa itu sendiri merupakan sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia, yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia Koentjaraningrat, dkk: 2003. Bahasa secara umum dapat dibagi atas dua macam, yaitu bahasa lisan verbal language dan bahasa tulisan written language. Bahasa lisan adalah bahasa yang diucapkan, secara implisit istilah ini berarti adanya pendengar. Istilah ini bersifat tautologis karena menurut definisi bahasa adalah bahasa lisan, namun dipakai untuk membedakannya dari bahasa tulisan. Bahasa tulisan merupakan sistem perlambangan yang menggunakan tanda-tanda tulisan, sebagai pengganti bunyi maupun ucapan manusia dengan tujuan untuk dibaca Koentjaraningrat, dkk: 2003. Bahasa sebagai bagian kebudayaan Levy Strauss 1972, dalam Koentjaraningrat 1997 adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan masyarakat yang menggunakan Universitas Sumatera Utara 30 atau mengucapkan bahasa tersebut. Bahasa mempunyai latar Sapir 1921, dalam Koentjaraningrat 1997, maksudnya masyarakat penutur bahasa tertentu merupakan milik suatu atau beberapa kelompok masyarakat yang dibedakan oleh ciri-ciri fisik dari kelompok masyarakat lain. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki kecendrungan untuk selalu membedakan bahasanya dengan kelompok masyarakat lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan dan mengkhususkan jati dirinya. Bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, baik untuk perkembangan, transmisi maupun penginventarisasiannya. Pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian, dan unsur-unsur kebudayaan lainya hanya bisa disampaikan melalui bahasa Sibarani, 2004:58. Oleh karena itu, bahasa dapat disebut sebagai persyaratan kebudayaan Strauss 1972, dalam Sibarani 2004:89. Tata cara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan Sibarani, 2004:168. Menurut Sibarani 2004:169, ada beberapa hal yang menyebabkan pentingnya kesantunan dalam berbahasa yaitu, pertama, kesopan- santunan seseorang pada umumnya dinilai dari bahasanya yang santun. Kedua, bahasa yang santun akan memperlancar penyampaian pesan dalam berkomunikasi. Ketiga, bahasa yang kurang santun sering menyakitkan perasaan orang lain sehingga tak jarang menjadi sumber konflik. Keempat, masyarakat Indonesia secara historis dianggap sebagai orang yang sopan santun dan baik budi bahasanya sehingga hal itu penting dipertahankan. Membahas tentang kesantunan bahasa, terdapat banyak pendapat dari para ahli. Menurut Fraser Sibarani, 2004:176, kesantunan adalah properti yang diasosiasikan Universitas Sumatera Utara 31 dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibanya. Intinya, kesantunan itu adalah bagian dari ujaran, bukan ujaran itu sendiri, dan pendapat sipendengarlah yang menentukan ujaran tersebut santun atau tidak. Brown dan Levinson mempunyai pandangan berbeda tentang kesantunan. Teori kesantunan menurut Brown dan Levinson 1978 dalam Sibarani, 2004:179 berkisar atas nosi muka. Semua orang yang rasional mempunyai dalam arti kiasan dan muka itu perlu dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Muka negatif itu mengacu kecitra diri seseorang yang rasional yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya dari keharusan mengerjakan sesuatu. Muka positif sebaliknya, mengacu kepada citra diri seseorang yang rasional, yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini sebagai akibat dari apa yang ia lakukan atau dimiliknya itu diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai. Dalam hal ini, menurut Brown dan Levinson Sibarani, Fasya 2006:14 penutur perlu mempertimbangkan derajat keterancaman sebuah tindak ujaran dengan memperhatikan faktor-faktor seperti: satu. Jarak sosial di antara penutur dan pendengar, dua. Perbedaan dominasi di antara keduanya, dan tiga. Keadaan tindak ujaran dalam kebudayaan yang bersangkutan, mana yang mengancam dan mana yang tidak mengancam. Dengan demikian, dalam berkomunikasi, penutur perlu memilih strategi agar menghindari keterancaman itu. Universitas Sumatera Utara 32 Bahasa Sigulai adalah bahasa daerah Kabupaten Simeulue yang berfungsi sebagai bahasa pengantar yang dipakai oleh penuturnya untuk penghubung dalam berinteraksi antar sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Sigulai memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat Simeulue karena bahasa ini menjadi jati diri dalam konteks bilingual maupun multilingual yang membedakan antara suku bangsa Simeulue dengan suku bangsa lainnya. Sibarani dalam Fasya, 2006:24-25 mengatakan bahwa konsep antropologi yang berkaitan dengan bahasa merupakan kebudayaan non-material sehingga lebih mengarah pada norma dan nilai. Itulah sebabnya secara internal tidak ada bahasa di dunia yang tidak memiliki norma dan nilai. Secara eksternal pun memahami dari bahasa sudah pasti memahami norma dan nilai yang dapat diungkap oleh bahasa itu. Bahasa Sigulai sebagai bagian dari bahasa Simeulue merupakan satu bentuk dari pemaknaan bahasa Simeulue yang mengandung nilai-nilai tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat Simeulue. Bahasa Sigulai ini mengandung nilai-nilai tersirat dari setiap penggunaan ujaran-ujaran tertentu. Nilai-nilai inilah yang selanjutnya menjadi pedoman dan pengatur bagi masyarakat Simeulue dalam bersikap dan bertingkah laku.

1.3 Rumusan Masalah