• Reggae Punk, percampuran musik punk dengan aliran musik reggae dari Jamaica.
• Pop Punk, percampuran musik punk dengan aliran musik pop, berkembang
pertama sekali di negara U.K. •
Techno Punk, percampuran musik punk dengan aliran musik techno. •
Post Punk •
Crusty Punk •
Hardcore Punk, percampuran musik punk dengan aliran musik hardcore, pertama sekali berkembang di Amerika.
• Metal Punk, percampuran musik punk dengan aliran musik metal, pertama sekali
berkembang di Amerika. •
Melodic Punk •
Dan lain-lain Pada tulisan ini, penulis hanya akan membahas komunitas street punk punk
jalanan atau yang biasa disebut juga dengan sebutan The Oi.
2.3 Sejarah Masuknya Street Punk Ke Indonesia
2.3.1 Masuknya Musik Rock Sebagai Cikal Bakal Musik Punk di Indonesia
Masuknya musik rock ke Indonesia tak lepas dari kebijakan politik pada tahun 1960-an dimana pada saat itu negara Indonesia dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia. Masa itu Soekarno yang berkuasa mengambil poros Jakarta-Beijing- Moskow sebagai garis politiknya dimasa perang dingin. Sehingga hal-hal yang sifatnya
berbau Amerika dianggap sebagai sesuatu yang kontra revolusioner dan merupakan bentuk imperialisme budaya barat. Sehingga musik Rock and Roll pada saat itu dianggap
Universitas Sumatera Utara
“menyesatkan” dan terkesan “kebarat-baratan” serta dilarang dikonsumsi oleh anak muda Indonesia. Semua bentuk kesenian haruslah mengacu pada realisme sosialis dan tidak
mengandung muatan borjuisme. Beberapa band seperti Koes Plus mendapat perlakuan represif dari aparat keamanan. Radio-radio yang memutar musik rock ditutup. Petugas
keamanan melakukan razia-razia di tempat-tempat umum. Apabila ketahuan mengenakan pakaian dengan setelan “barat” pasti ditahan. Apabila menggelar acara musik rock and
roll maka akan dibubarkan. Sehingga pada saat itu beberapa musisi rock and roll mengadakan acara musik secara sembunyi-sembunyi. Biasanya mereka berpindah-pindah
dalam melakukan suatu acara. Dari sinilah awalnya istilah “rock underground” itu muncul di Indonesia.
48
Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir pada era 1970-an. Sebut saja God Bless, Gang Pegangsaan,
Gypsy Jakarta, Giant Step, Super Kid Bandung, Terncem Solo, AKASAS Surabaya, Bentoel Malang hingga Rawe Kontek Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker
di Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan oleh majalah “Aktuil” yaitu suatu majalah musik dan gaya hidup asal Bandung sejak awal era 1970-an
yang diadopsi dari istilah luar untuk menyebutkan dan mengidentifikasikan band-band Setelah Orde Lama berakhir maka dimulailah Orde Baru. Segala bentuk kesenian
yang berasal dari Barat mulai masuk dan ikut mempengaruhi perkembangan musik di Indonesia. Kebijakan politik yang diambil pada saat itu lebih mengarah kepada politik
pencitraan bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis dan penuh dengan nuansa keterbukaan.
48
http:www.apokalip.com
Universitas Sumatera Utara
yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih “liar” dan “ekstrim”. Ada semacam pola imitasi yang berkembang pada saat itu. Terutama dari jenis musik yang
dimainkan, juga pola fashion. Sehingga yang terjadi adalah proses imitatif kebudayaan luar tanpa mampu menyerap kondisi realitas yang terjadi di kultur lokal. Band-band
diatas mencoba meniru apa yang terjadi di luar Indonesia. Namun, yang diadopsi hanyalah sebatas musikalitas dan fashion saja. Sementara isu-isu sosial yang terjadi tidak
tersentuh sama sekali. Band-band diatas memainkan lagu-lagu milik band-band luar negeri seperti Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin,
Kansas, Rolling Stones, dan lain-lain. Kalaupun band-band tersebut membuat karya dalam bentuk lagu, mereka lebih memilih memproduksi karya dengan lirik yang dinilai
“aman” dan sebisa mungkin menghindari konflik dengan pemerintahan yang totaliter. Fenomena yang dihasilkan pada masa ini hanyalah fenomena “aksi protes” yang
diekspresikan dalam aksi panggung yang kontroversial. Walaupun ada beberapa band yang dianggap fenomenal pada masa itu namun hanya sebatas pada karya musikalitasnya
saja dan tidak membawa perubahan secara radikal di tengah-tengah masyarakat. Sementara stigma seniman di mata para akademisi terutama musisi rock adalah urakan,
tidak mempunyai intelektualitas yang tinggi, dan bersikap apolitis. Sehingga memunculkan kesenjangan persepsi antara para akademisi dengan para musisi.
Akibatnya, gerakan-gerakan mahasiswa masa itu tidak melibatkan musisi secara aktif. Pada masa orde baru ini, ada semacam kekurangan dalam menyikapi realita
perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Di satu sisi, kebebasan untuk menyerap segala informasi dari luar mulai terbuka. Sementara itu, di sisi lain proses
penghambatan terhadap kebebasan berekspresi kembali terjadi, bahkan lebih mengerikan
Universitas Sumatera Utara
jika dibandingkan dengan era Soekarno. Istilah “underground” masa itu hanya diartikan sebagai aksi panggung yang teatrikal, kontroversial dan komposisi musik yang rumit
dipenuhi dengan skill-skill tingkat tinggi. Nilai-nilai perlawanan yang diusung hanya sebatas pada pemberontakan terhadap nilai feodalistik yang sudah mapan namun tidak
secara kritis mencari alternatif-alternatif baru. Sehingga yang terjadi adalah gerakan budaya yang larut dalam dinamika budaya mainstream dimana segala sesuatunya hanya
berorientasi pada permintaan pasar market oriented. Masa ini berlangsung hingga akhir tahun 1980-an.
Ketika akhir tahun 1980-an, arus globalisasi ikut melanda Indonesia. Investasi asing mulai masuk seiring dengan masuknya IMF ke Indonesia. Hal tersebut ternyata
mulai berdampak bagi perkembangan musik “underground” di Indonesia. Arus informasi yang kuat telah mendorong beberapa majalah dan rilisan kaset “underground” dari luar
negeri mulai masuk dan banyak dikonsumsi oleh musisi dan anak muda Indonesia. Di pulau Jawa khususnya di Kota Bandung sebagai kota yang pertama sekali mengalami
artikulasi budaya impor tersebut telah terjadi fenomena “shock culture” yang sangat hebat. Ketika lahan-lahan agraris yang produktif disulap oleh para investor asing menjadi
lahan industri yang sarat polutan. Kultur bertani dan bercocok tanam yang kental dengan suasana komunal tiba-tiba secara drastis berubah menjadi kultur buruh pekerja yang
secara sistematis diarahkan menjadi makhluk asosial. Hal ini jelas berdampak pada perilaku masyarakat secara umum. Muncul konflik-konflik dalam menyikapi masalah-
masalah tersebut. Para pemuda remaja sebagai sebuah bagian dari struktur masyarakat menyikapi masalah tersebut dengan mencari saluran-saluran ekspresi yang dinilai dapat
mewakili gejolak perasaan mereka. Maka musik rock dijadikan media berekspresi yang
Universitas Sumatera Utara
dinilai sesuai dengan kondisi keresahan mereka. Musik yang cepat, agresif serta lirik-lirik lagunya yang bermakna protes menjadi pelarian mereka.
Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia pada waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal yang merupakan salah satu cabang dari
musik rock underground. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrim jika dibandingkan dengan heavy metal. Band-band luar negeri yang menjadi pionirnya
antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung,
Jogjakarta, Surabaya, Malang, Bali hingga Medan, scene rock undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrim tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama
kali di tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas metal istilah underground belum populer saat itu sehingga orang-orang awam menyebut musik rock
sebagai musik metal biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta. Mereka diberi kesempatan untuk manggung di pub ini. Setiap
malam minggu, selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut membawakan musik rock atau metal.
Band-band yang sering hang out di Pid Pub ini antara lain Roxx, Sucker Head, Commotion of Resources, Painfull Death, Rotor, Razzle, Parau, Jenazah, Mortus hingga
Alien Scream. Pada tahun 1989, ada band pelopor yang mulai menanamkan radikalisme dalam
mengekspresikan karya mereka. Band tersebut adalah Funeral, Necromancy dan Orthodox yang berasal dari kota Bandung. Ketika trend festival musik pada saat itu masih
berkutat pada musik hard rock dan slow rock, mereka dengan berani dan ekstrim
Universitas Sumatera Utara
mengacak-acak panggung festival musik tersebut dengan komposisi trash metal dan death metal. Dengan tampilan fashion yang ofensif dan style musik yang bising, mereka
mulai bergerilya dari satu panggung festival ke panggung festival lainnya. Keikutsertaan mereka dalam panggung festival tersebut lebih mengarah pada pembuktian eksistensi dan
pernyataan sikap. Mereka bahkan mulai memproduksi lagu-lagu sendiri dengan mengangkat isu-isu sosial yang sedang berkembang pada masa itu. Dengan kritis mereka
menyikapi festival musik sebagai bentuk dari penghambatan dan “pemasungan” kreativitas dengan parameter penilaian yang justru pada akhirnya malah “mengkerdilkan”
makna kejujuran dalam berkreativitas dan berekspresi. Menurut mereka, semangat yang tunduk pada pasar hanya menciptakan bentuk keseragaman dalam berkarya yang pada
akhirnya melahirkan kebosanan dalam berkreasi. Dan media-media mainstream pada saat itu hanya menampilkan musik yang itu-itu saja.
49
Akibatnya, terjadi sikap diskriminatif terhadap band-band underground. Mulai dari teror secara verbal hingga yang sifatnya fisik. Tidak jarang mereka harus menerima
hinaan atau cibiran dari orang-orang. Band-band yang beraliran punk rock, hardcore, grindcore, black metal, dan lain-lain kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif dari
pihak penyelenggara festival mulai dari jatah waktu untuk tampil performance yang dibatasi, perlakuan pihak soundsystem yang dengan sengaja mengacaukan setting sound,
hingga teror fisik dari para preman lokal yang merasa tersaingi.
50
Sikap tersebut terbentuk karena tatanan sosial pada masa itu yang pada umumnya masih dihinggapi
perasaan xenophobia
51
49
atau selalu merasa khawatir terhadap nilai dan tatanan baru yang
www.apokalip.com
50
www.apokalip.com
51
www.apokalip.com
Universitas Sumatera Utara
muncul. Mereka selalu merasa bahwa hal baru sama dengan ancaman baru. Pada saat itu parameter berekspresi adalah sesuatu yang dapat menembus batasan yang sudah
ditetapkan oleh pihak industri musik. Paradigma bahwa musik yang bagus adalah musik yang berorientasi pada kebutuhan pasar yang dapat masuk rating televisi dan menguasai
jajaran top-ten radio. Belum terbentuk mental dalam penerimaan yang baik terhadap hal- hal yang baru yang dapat menambah keberagaman terutama di bidang musik. Hal ini
secara tidak langsung menjadi cikal bakal lahirnya komunitas-komunitas.
2.3.2 Lahirnya Komunitas Street Punk di Indonesia