Interpretasi Hasil Penelitian PEMBAHASAN
ketika mengetahui bahwa kanker serviks dapat ditularkan melalui hubungan seksual.
Persepsi perempuan usia repsroduktif mengenai kanker serviks masih harus diperbaiki lagi. Perlu adanya edukasi dan promosi kesehatan
mengenai penyebab kanker serviks dan proses terjadinya kanker serviks sehingga perempuan menjadi lebih mengerti lagi akan pentingnya
pencegahan kanker serviks.
Tema 3. Sumber Informasi yang Didapatkan Perempuan Usia Reproduktif mengenai Pap Smear
Partisipan pada penelitian ini mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan informasi mengenai Pap smear melalui media massa,
hubungan interpersonal yang mereka miliki dan ada pula yang mendapatkan informasi mengenai Pap smear secara kebetulan dari petugas kesehatan
ketika mereka berkunjung ke rumah sakit. Media massa dan teman merupakan hal yang banyak dikemukakan para partisipan sebagai sumber
informasi yang diterima. Majunya teknologi akan menimbulkan tersedianya bermacam-macam
media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang berbagai informasi baru. Sebagai sarana komunikasi dan pemberi informasi,
berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, penyuluhan,
dan lain-lain
mempunyai pengaruh
besar terhadap
pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Media massa juga membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan
tindakan seseorang untuk melakukan sesuatu Notoatmojo, 2007. Informasi mengenai kanker serviks dan Pap smear lebih mudah disebarkan melalui
media massa daripada media lainnya seperti teman ke teman atau melalui tenaga kesehatan.
Yao et. al. 2013 mengungkapkan bahwa informasi yang akurat mengenai kanker serviks harus diadakan sehingga perempuan bisa
mendapatkan pengetahuan mengenai kanker serviks, khususnya faktor risiko, metode skrining, perawatan dan yang terpenting adalah skrining
umum untuk deteksi dini. Penyedia layanan kesehatan, yang mewakili sumber informasi kesehatan terbesar, harus memberikan pengaruh yang
besar tehadap perilaku skrining perempuan, yang mana bisa dilakukan dengan cara memberitahukan kepada pelayanan kesehatan di komunitas dan
penyedia layanan kesehatan lain bahwa komponen yang sangat penting adalah menaikkan kesadaran perempuan untuk melakukan skrining kanker
serviks. Soneji Fukui 2013 menambahkan bahwa petugas kesehatan bisa menjadi pengaruh yang sangat besar terhadap pengambilan keputusan
terhadap pelayanan kesehatan yang akan pasien kunjungi dan mungkin menjadi lebih efektif dengan mendeteksi kurangnya pengetahuan dan
hambatan kultural yang ada, seperti malu, takut akan sakit, dan hubungan antara HPV dan kanker serviks.
Ketika ditanyakan siapa orang yang paling berpengaruh untuk memberikan informasi kesehatan, perempuan memberikan jawaban yang
bermacam-macam. Petugas kesehatan adalah yang paling banyak dipilih, disusul oleh selebritis lokal maupun mancanegara, teman atau kerabat,
spesialis dari luar negeri, dokter pengobatan herbal, dan psikolog. Ketika topik gender didiskusikan, sebagian besar perempuan mengatakan lebih
suka datang bila fasilitatornya adalah seorang perempuan juga, hal ini dikarenakan perempuan akan cenderung merasa lebih nyaman jika
mendengarkan dari seorang perempuan juga Paz-Soldan, Nussbaum, Bayer, Cabrera, 2010.
Informasi mengenai Pap smear dan kanker serviks dapat diberikan melalui berbagai sumber. Bisa melalui media massa, teman ke teman,
maupun dari tenaga kesehatan. Informasi mengenai kesehatan reproduksi yang berasal dari petugas kesehatan merupakan informasi yang paling baik
diterima oleh perempuan karena sudah pasti informasi yang diberikan benar dan terhindar dari opini yang tidak benar.
Tema 4. Hambatan Perempuan Usia Reproduktif untuk Melakukan Pap Smear
Faktor penghambat perilaku Pap smear pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu petugas kesehatan yang tidak terapeutik dan sistem
pelayanan kesehatan
yang berbelit-belit.
Sebagian partisipan
mengungkapkan bahwa petugas kesehatan yang kurang ramah membuat mereka merasa tidak nyaman kembali ke rumah sakit untuk melakukan
pemeriksaan Pap smear. Selain itu, sistem pelayanan kesehatan yang berbelit-belit membuat mereka malas untuk melakukan pemeriksaan
dikarenakan banyak menghabiskan waktu ketika menunggu akan diperiksa.
Faktor penghambat dalam sistem pelayanan kesehatan yang berbelit- belit juga dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Kivistik, Lang,
Baili, Anttila, Veerus 2011 bahwa perempuan yang hidup di area perkotaan mengemukakan tidak cocoknya waktu perjanjian dengan tenaga
kesehatan dan
terlalu lamanya
waktu mengantri,
yang mana
mengindikasikan bahwa keadaan pelayanan kesehatan di daerah urban tidak cukup baik. Pelcastre-Villafuerte, Tirado-Gómez, Mohar-Betancourt,
López-Cervantes 2007 juga mengemukakan hal yang sama bahwa rata- rata perempuan menunda untuk berkunjung ke dokter karena lamanya waktu
mengantri dan saat mereka memutuskan untuk datang ke pelayanan kesehatan mungkin penyakit yang diderita sudah parah atau terlambat.
Kurangnya komunikasi yang berdasarkan patient-centered adalah jawaban umum yang dilontarkan perempuan ketika ditanya apakah yang
membuat seorang perempuan tidak percaya kepada petugas kesehatan atau sistem pelayanan kesehatan yang ada. Kurangnya komunikasi yang
berdasarkan patient-centered dideskripsikan dalam beberapa macam, termasuk bahwa petugas kesehatan tidak menjadi pendengar yang yang baik
atau cenderung terburu-buru dalam melakukan pemeriksaan, menjelaskan diagnosa, dan menjawab pertanyaan. Persepsi mengenai kurang baiknya
pelayanan kesehatan yang tersedia menjadi hal yang paling menentukan bagi seorang perempuan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan
McAlearney, et al., 2012. Kemampuan petugas kesehatan dalam berkomunikasi dengan pasien
—dalam hubungan saling percaya—adalah
karakteristik utama dalam melakukan tindakan pemeriksaan kesehatan Kim, et al., 2012.
Sebuah penelitian di China yang dilakukan oleh Yao, et al. 2013 menyebutkan ada tujuh jawaban paling banyak yang dikemukakan oleh
perempuan yang tidak ingin melakukan Pap smear, yaitu takut jika ternyata terdiagnosa penyakit, tidak da keluhan atau ketidaknyamanan, tidak
mengetahui keuntungan dati deteksi dini kanker serviks, takut ditipu, takut merasakan sakit selama pemeriksaan, menganggap bahwa kanker serviks
tidak bisa diobati walaupun sudah sering melakukan deteksi dini, dan suami yang tidak mengizinkan untuk melakukan deteksi dini kanker serviks. Studi
yang dilakukan di Jamaica yang dilakukan oleh Ncube, Bey, Knight, Bessler, Jolly 2015 juga menemukan faktor-faktor yang menghambat
seorang perempuan untuk melakukan Pap smear, yaitu kurangnya informasi, takut ketika pemeriksaan, butuh banyak waktu dengan petugas kesehatan,
dan takut dengan hasil Pap smear. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan harus dilakukan agar
perempuan yang telah melakukan Pap smear akan kembali lagi melakukan pemeriksaan selanjutnya. Komunikasi terapeutik dari petugas kesehatan
juga menjadi salah satu hambatan bagi perempuan sehingga perlu adanya perbaikan.
Tema 5. Pendukung Perempuan Usia Reproduktif dalam melakukan Pap Smear
Hasil penelitian ini menemukan bahwa dukungan suami termasuk dalam faktor pendukung seorang perempuan untuk melakukan Pap smear.
Berbeda dengan hasil penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh William Amoateng 2012 di Ghana mengenai pengetahuan dan kepercayaan para
suami mengenai kanker serviks, kebanyakan laki-laki merasa tidak nyaman bila mengetahui istri mereka melakukan pemeriksaan Pap smear dengan
dokter laki-laki. Dengan pengecualian ketika akan melahirkan, seorang laki- laki menganggap bahwa merupakan hal yang tabu bagi laki-laki lain,
termasuk dokter, untuk melihat bagian intim dari istri orang lain. Ada partisipan yang mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah
menceritakan atau meminta izin kepada suaminya untuk melakukan pemeriksaan Pap smear. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Thorburn,
Kue, Keon, Zukoski 2012 di Amerika Serikat mengungkapkan hal yang sama bahwa perempuan suku Hispanic tidak pernah mengungkapkan
keputusannya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan dan memilih keputusa secara mandiri. Ini mengindikasikan bahwa pengambilan
keputusan perempuan suku Hispanic dipengaruhi oleh dimensi dari perpindahan, akulturasi, tingginya pendidikan, dan kemandirian perempuan.
Faktor yang berhubungan dengan sosial, seperti dukungan sosial danatau emosional yang perempuan terima dari orang terdekatnya,
keluarga, atau teman-teman mungkin mempengaruhi perilaku pencegahan terhadap kanker serviks Bingham et.al. Winkler et. al. dalam Paz-
Soldan, Nussbaum, Bayer, Cabrera, 2010.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa para partisipan merasa sistem jaminan kesehatan dari pemerintah sangat membantu mereka ketika akan
melakukan pemeriksaan kesehatan. Hal ini membuktikan bahwa masalah biaya masih menjadi suatu hambatan yang dirasakan oleh sebagian
partisipan penelitian ini sehingga tanpa adanya sistem jaminan kesehatan, para partisipan menjadi enggan untuk melakukan pemeriksaan Pap smear.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh Williams Amoateng 2012 yang meneliti mengenai pengetahuan dan kepercayaan mengenai deteksi
dini kanker serviks pada laki-laki atau para suami di Ghana menemukan bahwa para suami merasa keberatan dengan biaya yang harus dikeluarkan
untuk membiayai istrinya melakukan pemeriksaan Pap smear. Beberapa partisipan pada penelitian tersebut menyatakan bahwa biaya yang harus
dikeluarkan untuk skrining kanker serviks menjadi hambatan terbesar yang mencegah mereka mendukung istri-istri mereka untuk mendapatkan
skrining. Penelitian yang dilakukan oleh Soneji Fukui 2013 menyebutkan
bahwa jumlah penghasilan yang besar meningkatkan kemungkinan untuk melakukan Pap smear. Perempuan dengan penghasilan yang besar mungkin
memiliki lebih banyak pengalaman dan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan Pap smear dengan dokter pribadi, dan menghadapi lebih
sedikit hambatan, termasuk transportasi dan keperluan lainnya. Dukungan orang-orang terdekat merupakan salah satu faktor
pendukung bagi perempuan. selain dukungan dari orang-orang terdekat,
jaminan kesehatan dari pemerintah juga merupakan dukungan yang penting bagi seorang perempuan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan.
Tema 6. Perasaan Perempuan Usia Reproduktif mengenai Pemeriksaan Pap Smear
Hasil penelitian ini juga mengungkapkan perasaan para partisipan ketika melakukan pemeriksaan Pap smear. Perasaannya antara lain takut,
malu, tegang, sakit, waswas, grogi, dan berbagai emosi lainnya. Namun ada juga beberapa partisipan yang tidak merasakan apa-apa, tidak malu, tidak
takut, dan tidak merasakan sakit apapun. Paz-Soldan, Nussbaum, Bayer, Cabrera 2010 menyebutkan bahwa
malu dan takut sejauh ini adalah hambatan yang paling umum untuk melakukan Pap smear. Perempuan mendeskripsikan malu ketika membuka
pakaian di depan orang lain, atau di depan petugas kesehatan, atau memperlihatkan area genital mereka pada petugas kesehatan. Malu
umumnya adalah hal yang dikemukakan oleh perempuan yang masih berusia muda. Perempuan juga mengatakan merasakan ketidaknyamanan
dengan petugas kesehatan lawan jenis sebagai sumber rasa malu mereka. Sebagian
perempuan merasa
menyalahi norma
kesopanan jika
memperlihatkan atau membiarkan petugas kesehatan lawan jenis menyentuh area genital mereka. Informasi yang salah atau cerita-cerita menakutkan
yang diceritakan oleh lingkungan sosial seorang perempuan mengenai pengalaman nyeri ketika melakukan Pap smear juga bisa menjadi hambatan
bagi seorang perempuan unutk melakukan Pap smear.
Perasaan khawatir akan terdiagnosa suatu penyakit, tidak adanya keluhan dan ketidaknyamanan, dan tidak mengetahui keuntungan dari
skrining kanker serviks merupakan tiga alasan terbanyak seorang perempuan menolak untuk melakukan skrining. Perempuan yang berusia
kurang dari 45 tahun atau memiliki sedikit penghasilan, riwayat penyakit kanker dalam keluarga, jenjang pendidikan yang tinggi, pengetahuan yang
baik dan sedikitnya hambatan yang ditemui merupakan beberapa hal yang yang membuat seorang perempuan bersedia untuk berpartisipasi dalam
skrining dibandingkan dengan perempuan yang tidak memiliki karakteristik tersebut Yao, et al., 2013.
Penelitian yang dilakukan oleh Lyimo dan Beran 2012 di Tanzania mengungkapkan bahwa perempuan yang tidak pemilih dalam menentukan
jenis kelamin petugas kesehatan yang memeriksanya kemungkinan besar lebih sering melakukan skrining daripada yang lebih suka diperiksa dengan
petugas kesehatan yang berjenis kelamin perempuan. Jadi, perempuan yang lebih suka diperiksa oleh petugas kesehatan perempuan menjamin bahwa
mereka bersungguh-sungguh untuk melakukan skrining. Perempuan yang merasa malu melakukan pemeriksaan mungkin kurang menjadi enggan
melakukan skrining. Mungkin rasa malu memperlihatkan bagian tubuh pribadi lebih sedikit kepada petugas kesehatan perempuan daripada petugas
kesehatan laki-laki. Selain itu, kemungkinan skrining lebih tinggi pada perempuan yang tidak percaya bahwa pemeriksaannya sakit. Mungkin
mereka lebih bisa menahan rasa ketidaknyamanan fisik ketika sedang dilakukan prosedur.
Banyak perempuan yang merasakan sakit dan merasa tidak nyaman ketika melakukan Pap smear. Mereka merasakan ketidaknyaman fisik yang
berasal dari kasarnya sikap petugas kesehatan dan tidak tepatnya ukuran spekulum ketika dilakukan prosedur. Perempuan biasanya merasakan emosi
yang kurang baik selama pemeriksaan, seperti takut, malu, dan marah. Beberapa mengatakan merasa trauma dan tersakiti ketika melakukan
pemeriksaan Pap smear. Ada pula yang mengungkapkan bahwa tingkat kebersihan di ruang pemeriksaan sangat jauh dari standar kesehatan yang
seharusnya ada. Mereka juga merasa tidak adanya privasi selama pemeriksaan Magee, Hult, Turalba, McMillan, 2005.
Paz-Soldan, Nussbaum, Bayer, Cabrera 2010 menambahkan beberapa perempuan yang pernah mendengar mengenai Pap smear dan
mereka mengetahui bahwa mereka harus melakukan Pap smear setelah menjadi seorang seksual yang, rasa takut dan malu yang mereka milikilah
yang menghalangi mereka untuk melakukan pemeriksaan. Malu dan takut merupakan hal yang paling umum dialami oleh
seorang perempuan ketika prosedur Pap smear sedang dilakukan. Meskipun dokter perempuan yang melakukan pemeriksaan, masih ada perempuan
yang merasa malu dan takut. Perlu diadakan penyuluhan terlebih dahulu agar perempuan tidak merasakan takut dan merasa tenang ketika sedang
dilakukan prosedur Pap smear.
Tema 7. Harapan Perempuan Usia Reproduktif terhadap Pelayanan Pap Smear
Harapan yang dimiliki oleh para partisipan dalam penelitian ini bermacam-macam.
Salah satu
partisipan dalam
penelitian ini
mengungkapkan harapannya agar dokter lebih bisa menjelaskan secara detail mengenai penyakit pasien, apa yang harus dilakukan pasien dan
pilihan apa yang bisa diambil oleh pasien. Seperti yang dikemukakan pada penelitian Paz-Soldan, Nussbaum, Bayer, Cabrera 2010 bahwa wanita
merasakan banyak ketidaknyaman selama proses pemeriksaan berlangsung, seperti kurangnya kerahasiaan dan privasi dan rasa malu dikarenakan ada
orang yang melihat termasuk petugas kesehatan atau mendengar mereka. Masalah ini bisa ditangani dengan cara mengadakan pelatihan kepada para
petugas kesehatan agar lebih menghargai privasi perempuan dan mengurangi rasa malu mereka. Pelatihan ini bisa diadakan di rumah sakit, di
universitas bagi dokter, perawat, maupun bidan. Paz-Soldan, Nussbaum, Bayer, Cabrera 2011 menjelaskan dalam
penelitiannya mengenai salah satu cara agar pendidikan kesehatan mengenai kanker serviks dan pencegahannya bisa sampai ke pasien dengan baik tanpa
usaha yang besar, yaitu dengan cara menyediakan selebaran yang dibagikan atau menyalakan video mengenai kanker serviks dan Pap smear di ruang
tunggu pasien. Jadi, walaupun tidak ingin melihat, para perempuan yang duduk menunggu di ruang tunggu dapat mendengarkan dan membuat
mereka lebih tertarik dan sadar untuk melakukan deteksi dini kanker serviks.
Harapan-harapan yang dimiliki oleh seorang perempuan untuk perbaikan kualitas Pap smear merupakan hal perlu diperhatikan oleh petugas
kesehatan agar kualitas pelayanan kesehatan yang ada menjadi semakin baik dan perempuan menjadi lebih tertarik untuk melakukan pemeriksaan Pap
smear.