PEMBUATAN EDIBLE FILM DARI PATI KIMPUL.

(1)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil alamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya selama pelaksanaan skripsi ini dengan

judul ”Pembuatan Edible Film dari Pati Kimpul”, hingga terselesaikan

pembuatan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk

memperoleh gelar sarjana Teknologi Pangan.

Kemudahan dan kelancaran pelaksanaan Skripsi serta penyusunan laporan ini

dengan tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, karenanya pada

kesempatan ini dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1.

Bapak Ir. Sutiyono, MT. Selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN

“Veteran” Jawa Timur.

2.

Ibu Ir. Latifah., MS. Selaku Ketua Progdi Teknologi Pangan UPN “Veteran”

Jawa Timur.

3.

Ibu Ir. Sudaryati HP., MP. Selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Ir. Tri

Mulyani S., MS. Selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu,

pikiran dan tenaga untuk mendukung serta membimbing pelaksanaaan skripsi

hingga selesai.

4.

Ibu Dra. Jariyah, MP., Ibu Drh. Ratna Y.,MP., serta ibu Rosida STP., MP.

Selaku dosen penguji lesan ku.

5.

Seluruh Dosen Teknologi Pangan dan Staf Karyawan Fakultas Teknologi

Industri UPN “Veteran” Jawa Timur.


(2)

6.

Orang tua, kakak-kakakku dan Onenk KU yang tercinta, Terima kasih atas

segala doa, dukungan moril maupun materiil yang dapat memotivasi sehingga

dapat terselesaikannya skripsi ini.

7.

Teman-teman semua angkatan 2006, yang telah membantu saya dan

menemani hingga tersusunnya skripsi ini.

8.

Semua pihak yang membantuku yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi

kesempurnaannya. Penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat memberikan

manfaat di kemudian hari bagi masyarakat dan khususnya bagi teman-teman di

UPN “Veteran” JawaTimur.

Surabaya,

Oktober

2010

Penyusun


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

Daftar Tabel ... vi

Daftar Gambar... vii

Daftar Lampiran... viii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A.

Latar Belakang ... 1

B.

Tujuan Penelitian ... 4

C.

Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A.

Edible Film... 5

1. Komponen Utama Penyusun Edible Film... 7

a. Hidrokoloid... 7

b. Lemak ... 8

c. Komposit... 8

2. Komponen Pendukung Edible Film... 8

a.

Plasticizer (gliserol)... 8

b.

Natrium Carboxymethyl Cellulose (Na-CMC)... 9

3. Tahap Pembuatan Edible Film... 11

B.

Kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L). Schoot)... 13

1. Komponen Kimia Kimpul... 14


(4)

C.

Pati ... 16

1. Amilosa ... 17

2. Amilopektin ... 18

D.

Proses Pembuatan Pati Kimpul ... 19

1. Persiapan ... 19

2. Pencucian ... 20

3. Pemblenderan... 20

4. Penyaringan... 20

5. Pengendapan dan pemurnian ... 20

6. Pemisahan air dan pengeringan... 20

7. Penghancuran dan pengayakan ... 21

8. Pengemasan... 21

E.

Analisa Keputusan ... 23

F.

Analisa Finansial... 23

G.

Landasan Teori... 27

H.

Hipotesa ... 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A.

Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

B.

Bahan yang digunakan ... 30

C.

Peralatan yang digunakan ... 30

D.

Rancangan Percobaan ... 31

E.

Peubah yang digunakan ... 32

F.

Parameter yang diamati... 33


(5)

G.

Prosedur penelitian... 34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

A.

Hasil Analisa Bahan Baku ... 39

B.

Hasil Analisa Kimia Edible Film dari Pati Kimpul ... 41

1. Kadar Air ... 41

2. Transmisi Uap Air... 43

C.

Hasil Analisa Fisik Edible Film dari Pati Kimpul ... 45

1. Ketebalan film... 45

2. Kuat Tarik (Tensile Strenght) ... 47

3. Persen Perpanjangan (Elongasi) ... 49

D.

Hasil Uji Organoleptik Edible Film ... 51

1. Uji Skoring Warna ... 51

2. Uji Skoring Tekstur... 52

E.

Analisa Keputusan ... 54

F.

Analisa Finansial... 56

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

A.

Kesimpulan ... 61

B.

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA... 62


(6)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Kima Umbi Kimpul per 100 gram berar bahan... 15

Tabel 2. Komposisi dan Nilai Gizi Umbi Sebagai

Sumber Karbohidrat (100g bahan) ... 15

Tabel 3. Karakteristik Amilosa dan Amilopektin ... 17

Tabel 4. Kombinasi perlakuan antara faktor A dan faktor B ... 32

Tabel 5. Komposisi kimia pati kimpul dalam (100 gr) ... 39

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Air ... 41

Tabel 7. Pengaruh Perlakuan Terhadap Transmisi Uap Air ... 43

Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Terhadap Ketebalan ... 45

Tabel 9. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kuat Tarik... 47

Tabel 10. Pengaruh Perlakuan Terhadap Elongasi ... 49

Tabel 11. Nilai Uji Skoring Warna ... 51

Tabel 12. Nilai Uji Skoring Tekstur ... 53

Tabel 13. Hasil Analisa Keseluruhan Produk Edible Film ... 55

Tabel 14. Hasil Analisa Produk Terbaik... 56


(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Reaksi Kimia Pembuatan Na-CMC ... 9

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Edible Film... 12

Gambar 3. Anatomi Kimpul ... 13

Gambar 4. Umbi Kimpul ... 14

Gambar 5. Amilosa ... 19

Gambar 6. Amilopektin ... 19

Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Pati (Proborini, 2006)... 22

Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Pati Kimpul ... 36

Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Edible Film dari Pati Kimpul... 38

Gambar 10. Hubungan Perlakuan Terhadap Kadar Air... 42

Gambar 11. Hubungan Perlakuan Terhadap Tansmisi Uap Air ... 44

Gambar 12. Hubungan Perlakuan Terhadap Ketebalan... 46

Gambar 13. Hubungan Perlakuan Terhadap Kuat Tarik... 48

Gambar 14. Hubungan Perlakuan Terhadap Elongasi... 50

Gambar 15. Grafik Break Event Point (BEP) ... 95


(8)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisa... 66

Lampiran 2. Lembar Kuisioner Uji Organoleptik... 70

Lampiran 3. Kadar Air Edible Film ... 71

Lampiran 4. Transmisi Uap Air Edible Film ... 73

Lampiran 5. Ketebalan Edible Film... 75

Lampiran 6. Kuat Tarik (Tensile Strenght) Edible Film... 77

Lampiran 7. Persen Perpanjangan (Elongasi) Edible Film... 79

Lampiran 8. Uji Organoleptik Warna ... 81

Lampiran 9. Uji Organoleptik Tekstur... 83

Lampiran 10. Analisa Finansial ... 85

Lampiran 11. Kebutuhan Bahan dan Biaya ... 86

Lampiran 12. Penghitungan Modal Perusahaan ... 90

Lampiran 13. Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap Tahun ... 92

Lampiran 14. Perhitungan Keuntungan Produksi edible film Pati Kimpul... 93

Lampiran 15. Perhitungan Payback Period dan Break Event Point

Produksi edible film Pati Kimpul ... 94

Lampiran 16. Grafik Break Event Point (BEP) ... 95

Lampiran 17. Perhitungan Laju Pengembalian Modal ... 96

Lampiran 18. Laporan Rugi – Laba ... 97


(9)

PEMBUATAN EDIBLE FILM DARI PATI KIMPUL

Fitriana Febriningrum

NPM. 0633010012

INTI SARI

Edible film dapat didefinisikan sebagai lapisan tipis yang melapisi makanan

dan layak dimakan. Edible film dapat dibuat dari golongan polisakarida yaitu pati.

Pati yang digunakan diperoleh dari umbi-umbian dengan cara ekstraksi, salah

satunya Kimpul. Kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott) adalah salah satu jenis

umbi yang banyak mengandung karbohidrat, sebagian besar berupa pati

.

Edible

film yang berasal dari pati memiliki kelemahan mudah sobek dan kurang elastis,

maka perlu dilakukan penambahan Na-CMC dan plasticizer gliserol.

Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui pengaruh penambahan

Na-CMC dan plasticizer gliserol terhadap kualitas edible film yang dihasilkan, 2)

untuk mengetahui perlakuan terbaik antara penambahan Na-CMC dan plasticizer

gliserol pada pembuatan edible film. Penelitian ini menggunakan metode

Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu

Faktor I penambahan Na-CMC 1%,2%,3%, Faktor II penambahan gliserol 10%,

20% dan 30%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik yaitu pada

penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30%, peningkatan

konsentrasi Na-CMC dan gliserol menghasilkan kadar air sebesar 19,621%, laju

transmisi uap air 6,910 g/mm²/24 jam, kuat tarik sebesar 8,248 N/mm

2

, ketebalan

0,149 mm dan elongasi sebesar 23,693%, tingkat skoring terhadap warna sebesar

5,438 dan tekstur 4,813. Hasil analisa finansial untuk perlakuan terbaik adalah

BEP dicapai pada nilai Rp. 51.741.620,16 sebesar 27,76% dan 866,1 unit /tahun.

Nilai Payback Periode (PP) 3,4 tahun; nilai NPV Rp. 145.907.536; nilai Gross

B/C 1,54 dan nilai IRR 35,62 %.


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott) umumnya ditanam di pedesaan sebagai tanaman sela diantara tanaman palawija lain. Kimpul biasanya diolah secara sederhana, seperti dikukus atau direbus atau di variasi menjadi produk gethuk dan kiripik (Marinih, 2005). Harjono (1994) melaporkan bahwa umbi kimpul dapat pula dimanfaatkan sebagai chip dan pati.

Kimpul merupakan sumber karbohidrat yang baik. Menurut Bradburry and Holoway (1988), sebagian besar karbohidrat berupa pati sebesar 17 – 34,5 %.

Pengemas edible dapat didefinisikan sebagai lapisan yang melapisi makanan dan layak dimakan, digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan. Edible film digunakan untuk memperbaiki kualitas makanan dan memperpanjang masa simpan (Robertson, 1992). Menurut Krochta (1994), keberhasilan dalam pembuatan edible film dapat ditentukan dari karakteristik film yang dihasilkan, yaitu kuat tarik (Tensile Strenght), persen perpanjangan (elongasi), ketebalan (Thickness) dan laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate). Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Golongan hidokoloid terdiri dari alginat, gum, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Hidrokoloid adalah suatu polimer larut dalam air, yang mampu membentuk koloid dan mampu mengentalkan larutan atau mampu membentuk gel dari larutan tersebut (Ali M.,2009). Hidrokoloid yang


(11)

2

akan digunakan dalam pembentukan edible film adalah pati. Pati diperoleh dari umbi-umbian dengan cara ekstraksi. Edible film yang berasal dari pati memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami hidrasi, mudah mengembang dan mudah sobek, maka perlu dilakukan penambahan plasticizer yang berfungsi untuk meningkatkan elastisitas, mengurangi resiko pecah, sobek dan hancurnya edible film yang terbentuk (Krochta, 1997).

Plasticizer yang digunakan dapat diambil dari golongan poliol. Gliserol merupakan salah satu golongan poliol selain sorbitol dan manitol (Tranggono, 1990). Gliserol berfungsi sebagai plasticizer, dimana akan mencegah pengerasan produk makanan yang disebabkan karena kehilangan air. Penambahan gliserol juga diharapakan akan menjaga kelembutan tekstur produk selama penyimpanan (Garwood et al, 1999). Selain plasticizer gliserol dalam pembuatan edible film perlu ditambahkan Natrium Carboxymethyl cellulose (Na-CMC) yang memiliki kemampuan larut dalam air, membentuk film dengan kekuatan tinggi, film yang jernih, tidak berminyak dan memiliki laju transmisi uap air yang rendah (Chandra, 1997).

Natrium Carboxymethyl cellulose (Na-CMC) adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai dalam industri pangan, atau digunakan dalam bahan makanan untuk mencegah terjadinya retrogradasi. Menurut Nugroho (2009), fungsi Na-CMC adalah mengikat air atau memberi kekentalan pada fase cair sehingga menstabilkan komponen lain. Pembuatan Na-CMC adalah dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na-kloro asetat. Na-CMC akan terdispersi dalam air, kemudian butir-butir Na-CMC yang


(12)

3

bersifat hidrofilik akan menyerap air dan terjadi pembengkakan. Air yang sebelumnya ada di luar granula dan bebas bergerak, tidak dapat bergerak lagi dengan bebas sehingga keadaan larutan lebih mantap dan terjadi peningkatan viskositas dan film memiliki laju kecepatan transmisi uap air yang rendah (Fennema, Karen and Lund, 1996). Menurut Fardiaz, dkk. (1987), ada empat sifat fungsional yang penting dari Na-CMC yaitu untuk pengental, stabilisator, pembentuk gel dan beberapa hal sebagai pengemulsi.

Penelitian mengenai pembuatan edible film yang sudah dilakukan adalah pembuatan edible film dari Pati Garut, konsentrasi gliserol 20% dan konsentrasi pati 2% adalah perlakuan terbaik (Proborini, 2006), sedangkan pembuatan edible film dari Pati Ganyong, konsentrasi pati 4% dan konsentrasi gliserol 15% (Ruri, 2007) adalah perlakuan terbaik, dan selanjunya pembuatan edible film dari pati tapioka menggunakan CMC 1% (Harris, 2001) merupakan perlakuan terbaik, dan edible film dari protein jagung pulut dengan penambahan CMC 3% adalah perlakuan yang terbaik (Adiansyah, 2008). Oleh karena itu pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan variabel penambahan gliserol dan Na-CMC untuk mendapatkan perlakuan terbaik dalam pembuatan edible film, karena Menurut Mc Hugh and Krochta (1994), Na-CMC dapat memantapkan sistem dispersi yang homogen pada pati, dapat meningkatkan kelenturan dan kemampuan memanjang dengan demikian keretakan edible film dapat dihindari, sedangkan penambahan gliserol pada kondisi tertentu dapat mengubah sifat fisik dan mekanis dari edible film, dapat menghindari sobek dan menghasilkan edible film yang kuat dan lentur. Hal ini disebabkan karena adanya pengurangan ikatan antarmolekul rantai polimer


(13)

4

pati, sehingga dihasilkan suatu jaringan yang lebih kompak (Guilbert and Biquet, 1990).

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan plasticizer gliserol dan Na-CMC terhadap kualitas edible film yang dihasilkan.

2. Untuk mengetahui perlakuan terbaik pembuatan edible film pada kombinasi perlakuan penambahan plasticizer gliserol dan Na-CMC.

C. Manfaat

1. Memanfaatkan umbi kimpul sebagai bahan dasar pembuatan edible film. 2. Meningkatkan nilai ekonomis umbi kimpul.


(14)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Edible film

Edible film dapat didefinisikan sebagai lapisan yang melapisi makanan dan dapat dimakan, digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan. Edible film digunakan untuk memperbaiki kualitas makanan dan memperpanjang masa simpan (Robertson, 1992). Menurut Krochta (1994), keberhasilan dalam pembuatan edible film dapat ditentukan dari karakteristik film yang dihasilkan, yaitu kuat tarik (Tensile Strenght), persen perpanjangan (elongasi), ketebalan (Thickness) dan laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate). Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Golongan hidokoloid terdiri dari alginat, gum, pektin, pati dan polisakarida lainnya.

Hidrokoloid adalah suatu polimer larut dalam air, yang mampu membentuk koloid dan mampu mengentalkan larutan atau mampu membentuk gel dari larutan tersebut (Ali M.,2009). Hidrokoloid yang akan digunakan dalam pembentukan edible film adalah pati. Pati diperoleh dari umbi-umbian dengan cara ekstraksi. Edible film yang berasal dari pati memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami hidrasi, mudah mengembang dan mudah sobek, maka perlu dilakukan penambahan plasticizer yang berfungsi untuk meningkatkan elastisitas, mengurangi resiko pecah, sobek dan hancurnya edible film yang terbentuk (Krochta, 1997).


(15)

6

Faktor yang mempengaruhi edible film yaitu berhubungan dengan struktur kimia polimer, dan kondisi lingkungan selama berlangsungnya terhadap pembentukan edible film (Kester dan Fennema, 1986).

Faktor lain yang mempengaruhi terhadap pembentukan edible film adalah : 1. Suhu

Perlakuan panas diperlukan untuk pembuatan pati tergelatinisasi sehingga terbentuk pasta yang merupakan bentuk awal dari edible film. Suhu pemanasan pati akan menentukan tingkat gelatinisasi yang terjadi.

2. Total berat bahan dasar

Total berat bahan dasar bahan dasar memberikan pengaruh terhadap kadar amilosa dalam larutan sehingga berpengaruh terhadap sifat pasta yang dihasilkan (Gontard et al, 1993)

3. Lama pengeringan

Menurut Purwati (2002), semakin lama pengeringan dapat menurunkan jumlah air yang tertinggal pada suatu bahan pangan. Lamanya pengeringan dapat menguapkan air pada edible film sehingga kandungan air yang tertinggal menjadi turun dan edible film yang dihasilkan lebih tipis.

4. Plasticizer

Edible film yang fleksibel dapat dibuat dengan menambahkan plastizicer (Gontard et al, 1993), contohnya gliserol.

5. Bahan humektan (Na-CMC)

Menurut Mc Hugh and Krochta (1994), Na-CMC dapat memantapkan sistem dispersi yang homogen pada pati, dapat meningkatkan kelenturan dan


(16)

7

kemampuan memanjang dengan demikian keretakan edible film dapat dihindari.

1. Komponen utama penyusun edible film

Komponen utama penyusun edible film dikelompokan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit.

a. Hidrokoloid

Hidrokoloid adalah suatu polimer larut dalam air, yang mampu membentuk koloid dan mampu mengentalkan larutan atau mampu membentuk gel dari larutan tersebut (Ali M.,2009). Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film berupa protein dan polisakarida. Polisakarida yang digunakan adalah selulosa dan turunannya, pektin, alginat, karagenan, agar, gum arab, pati dan turunannya, kithosan dan lain-lain.

Teknik yang dikembangkan dari edible film hidrokoloid yaitu:

1. Coacervation sederhana atau penggumpalan yang melibatkan pemisahan material pelapis dari larutan dengan pemanasan, pengubahan pH, penambahan pelarut.

2. Gelifikasi, yaitu proses perubahan menjadi gel atau koagulasi panas (perubahan dari carian menjadi padat), dimana pemanasan makromolekul menyebabkan perubahan sifat menjadi gel (Guilbert and Biquet,1990).

Hidrokoloid memiliki sifat-sifat pembentuk edible film yang baik. Proteksi bahan edible film ini terhadap rembesan gas dan flavor cukup baik dan memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap lemak dan minyak (Susanto dan Saneto,1994).


(17)

8

b. Lemak

Lemak yang umum digunakan adalah lilin alami (beeswax, paraffin wax), asil gliserol, asam lemak (asam oleat dan asam laurat) serta emulsifier.

c. Komposit

Komposit adalah bahan yang didasarkan pada campuran hidrokoloid dan lipida.

2. Komponen pendukung pembuatan edible film

Komponen lain yang cukup besar dalam pembuatan edible film adalah plasticizer (Anonymousc , 2007) yang berfungsi untuk:

- Meningkatkan fleksibilitas dan ektensibilitas film - Menghindari film dari keretakan

- Meningkatkan permeabilitas terhadap uap air - Meningkatkan elastisitas film.

Berikut bahan – bahan yang mempengaruhi pembuatan edible film : a) Plasticizer (gliserol)

Plasticizer merupakan komponen yang cukup besar peranannya dalam edible film untuk mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non-volatil, karena mempunyai titik didih yang tinggi dan jika ditambahkan kedalam materi lain dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik materi tersebut (Banker, 1996).

Gliserol merupakan salah satu jenis poliol yang sering digunakan, gliserol merupakan senyawa golongan alkohol dengan tiga buah gugus hidroksil dalam


(18)

9

satu molekul, rumus kimia gliserol C3H8O3 dengan nama kimia 1, 2, 3 propanatriol dengan BM 92,10, massa jenis 1,293/cm3 dan titik didih 204°C. Gliserol bersifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas air dan mengikat air (Lindsay, 1985). Penambahan Plasticizer seperti gliserol pada kondisi tertentu dapat mengubah sifat fisik dan mekanis dari edible film, dapat menghindari sobek dan menghasilkan edible film yang kuat dan lentur. Hal ini disebabkan karena adanya pengurangan ikatan antarmolekul rantai polimer pati, sehingga dihasilkan suatu jaringan yang lebih kompak (Guilbert and Biquet, 1990). Gliserol berfungsi sebagai pengikat air dan akan meningkatkan kekompakan jaringan matriks edible film sehingga edible film yang dihasilkan memiliki daya tembus uap air yang rendah (Arvanitoyannis, 1997).

b) Natrium Carboxymethyl Cellulose (Na-CMC)

Na-CMC adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai dalam industri pangan, atau digunakan dalam bahan makanan untuk mencegah terjadinya retrogradasi. Pembuatan CMC adalah dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na-kloro asetat.

R OH + NaOH R Na + NaOH

R ONa + ClCH2COONa R O CH2COONa + NaCl

Gambar 1. Reaksi kimia pembuatan Na-CMC (Fennema, Karen and Lund, 1996).

Na-CMC merupakan zat dengan warna putih atau sedikit kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa, berbentuk granula yang halus atau bubuk yang bersifat higroskopis (Inchem, 2002). Menurut Tranggono dkk. (1991), Na-CMC ini


(19)

10

mudah larut dalam air panas. Pada pemanasan dapat terjadi pengurangan viskositas yang bersifat dapat balik (reversible).

Viskositas larutan Na-CMC dipengaruhi oleh pH larutan, kisaran pH Na-CMC adalah 5-11 sedangkan pH optimum adalah 5, dan jika pH terlalu rendah (<3), Na-CMC akan mengendap (Anonymous, 2004). Na-Na-CMC akan terdispersi dalam air, kemudian butir-butir Na-CMC yang bersifat hidrofilik akan menyerap air dan terjadi pembengkakan. Air yang sebelumnya ada di luar granula dan bebas bergerak, tidak dapat bergerak lagi dengan bebas sehingga keadaan larutan lebih mantap dan terjadi peningkatan viskositas (Fennema, Karen and Lund, 1996). Hal ini akan menyebabkan partikel-partikel terperangkap dalam sistem tersebut dan memperlambat proses pengendapan karena adanya pengaruh gaya gravitasi. Menurut Fardiaz, dkk. (1987), ada empat sifat fungsional yang penting dari Na-CMC yaitu untuk pengental, stabilisator, pembentuk gel dan beberapa hal sebagai pengemulsi.

Partikel-partikel Na-CMC yang tersuspensi akan terperangkap dalam sistem tersebut atau tetap tinggal ditempatnya dan tidak mengendap oleh pengaruh gaya gravitasi (Potter, 1986). Mekanisme bahan pengental dari Na-CMC mengikuti bentuk konformasi extended atau streched Ribbon (tipe pita). Tipe tersebut terbentuk dari 1,4 –D glukopiranosil yaitu dari rantai selulosa. Bentuk konformasi pita tersebut karena bergabungnya ikatan geometri zig-zag monomer dengan jembatan hidrogen dengan 1,4 –D glukopiranosil lain, sehingga menyebabkan susunannya menjadi stabil. Na-CMC yang merupakan derivat dari selulosa memberikan kestabilan pada produk dengan memerangkap air dengan membentuk


(20)

11

jembatan hidrogen dengan molekul Na-CMC yang lain, penggunaan Na-CMC sebagai derivat dari selulosa antara 0,01%-0,8% akan mempengaruhi produk pangan seperti jelli buah, sari buah, mayonaise dan lain-lain (Belizt and Grosch 1986). Menurut Nugroho (2009), Fungsi Na-CMC adalah mengikat air atau memberi kekentalan pada fase cair sehingga menstabilkan komponen lain.

Natrium Carboxymethyl cellulose (Na-CMC) memiliki kemampuan larut dalam air, membentuk film dengan kekuatan tinggi, film yang jernih, tidak berminyak dan memiliki laju transmisi uap air yang rendah, selain itu penambahan Na-CMC dalam pembuatan edible film dapat mengasilkan film yang tahan lipid dan mempunyai kelarutan yang baik, sifat ini sangat menguntungkan terutama untuk pengemasan produk (Chandra, 1997). Menurut Mc Hugh and Krochta (1994), Na-CMC dapat memantapkan sistem dispersi yang homogen pada pati, dapat meningkatkan kelenturan dan kemampuan memanjang dengan demikian keretakan edible film dapat dihindari.

3. Tahap Pembuatan edible film

Menurut Hansyah (2009), proses pembuatan edible film pada umumnya meliputi : proses pencampuran bahan, pengadukan, penyaringan, pencetakan pada plat kaca, dan pengeringan.

 Bahan baku (tepung glukomannan) 3 gr dan air sebanyak 20 ml dicampur dalam wadah di atas water bath sambil dilakukan pengadukan selama ± 15 menit agar tercampur merata serta ditambahkan etanol 20 ml (sedikit demi sedikit), setelah itu dilakukan penyaringan.


(21)

12

Carboxymethyl cellulose 1%, etanol 10 ml dan air sebanyak 20 ml dicampur dalam wadah di atas water bath sambil dilakukan pengadukan selama ± 15 menit agar tercampur merata.

 Dicampur sambil dipanaskan dan diaduk, pengadukan dilakukan diatas water bath hingga homogen dengan suhu 85 oC selama 15 menit.

 Setelah tercampur rata kemudian ditambahkan plasticizer gliserol 3%, diaduk hingga homogen dan dicetak pada plat kaca.

 Pengeringan dilakukan pada Oven dengan suhu 75°C selama 4 jam.

Bahan baku Tepung glukomannan 3 gr + air 20 ml + etanol 20 ml (sedikit demi sedikit)

Edible film

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Edible film (Hansyah, 2009) Dicampur sambil dipanaskan dan

diaduk, pengadukan di atas water bath hingga homogen ± 85oC

selama15 menit

Pencetakan pada plat kaca

Pengeringan pada oven suhu 75°C Lama pengeringan 4 jam

Penam-bahan gliserol

3% Carboxymethyl cellulose

(1 %) + Etanol 10 ml + Air (20 ml)


(22)

13

B. Kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L) Schott)

Keterangan Gambar : 1. bagian batang dan daun

2. bagian akar

3. akar umbi besar 4. akar umbi kecil

Gambar 3. Anatomi Kimpul (Anonymous, 2008b)

Kimpul atau di Indonesia dikenal dengan talas Belitung atau bote yang merupakan suku talas-talasan (Anonymous, 2008b). Kimpul merupakan jenis umbi-umbian yang banyak terdapat di daerah hutan hujan tropis. Pemanfaatan umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L) Schott ) sebagai bahan pangan telah dikenal secara luas terutama di wilayah Asia dan Oceania. Di Indonesia, talas sebagai bahan makanan cukup populer dan produksinya cukup tinggi terutama di daerah Papua dan Jawa (Malang dan Surabaya) yang merupakan sentra-sentra produksi talas, sedangkan talas jenis kimpul ini umum dibudidayakan di Malaysia. Pengolahan kimpul saat ini kebanyakan memanfaatkan umbi segar yang dijadikan berbagai hasil olahan antara lain gethuk, keripik dan perkedel (Marinih, 2005).


(23)

14

Produk olahan umbi kimpul dengan bahan baku pati kimpul masih terbatas karena pati kimpul belum banyak tersedia di pasaran (Hartati, 2003).

Gambar 4. Umbi Kimpul (Anonymous, 2008a)

Umbi berbentuk botol, melebar ke bagian ujungnya, bagian luar berwarna coklat muda, daging umbi putih, merah jambu atau kuning. Kimpul termasuk tanaman monokotil yang berada dalam famili Araceae. Ada beberapa spesies kimpul yang dapat dimakan antara lain Xanthosoma sagittafolium (paling utama), X. atrovirens (daging kuning), X. caracu dan X. violaceum (daging agak kemerahan). Dibeberapa tempat di dunia kimpul (Xanthosoma sp.) dan talas (Colocasia sp.) secara bersama-sama disebut cocoyam. Kedua tanaman ini sering membingungkan karena kemiripinnya (Manihuruk, 2001).

1. Komponen Kimia Kimpul

Kimpul merupakan sumber karbohidrat yang baik. Menurut Bradburry and Holoway (1988), sebagian besar karbohidrat berupa pati, sedangkan gula dan serat kasar terdapat dalam jumlah kecil (Tabel 1). Kandungan pati kimpul segar antara 17 – 34,5 % (Manihuruk, 2001). Kandungan pati kimpul sedikit diatas kentang (Tabel 2) namun sebanding dengan ubi jalar (Syarief dan Irawati, 1988).


(24)

15

Senyawa kimia khas yang terdapat pada umbi cocoyam sebagaimana kimpul dan tanaman sejenisnya adalah kalsium oksalat. Pada talas kandungan kalsium oksalat mencapai 0,1-0,4% berat basah. Faktor-faktor seperti varietas, cara budidaya, iklim dan tanah berpengaruh terhadap kandungan dalam umbi.

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Kimpul per 100 gram berat bahan

Parameter Umbi kimpul

Energi (Kal) Protein (g) Lemak (g)

Karbohidrat total (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Total karoten Vitamin B1(mg) Vitamin C (mg) Air (g)

Berat dapat dimakan (%)

145 1,2 0,4 26 1,5 1,0 26 54 1,4 0 0,10 2 63,1 85 Sumber : Lingga. (1986)

Tabel 2. Komposisi dan Nilai Gizi Umbi Sumber Karbohidrat (100g bahan)

Komposisi Ubi kayu Ubi jalar Kentang Kimpul

Kadar air (%) 63 69 78 70

Kalori (Kal) 146 123 83 122,4

Protein (g) 1,2 1,8 2,0 3,7

Lemak (g) 0,3 0,7 0,1 0,4

Karbohidrat (g) 34,7 27,9 19,1 26

Kalsium (mg) 33 30 11 18,6

Fosfor (mg) 40 49 56 83

Besi (mg) 0,7 0,7 0,7 4,5

Vitamin A (SI) 0 60 0 2

VitaminB1 (mg) 0,06 0,09 0,11 1

Vitamin C (mg) 30 22 17 96


(25)

16

C. Pati

Pati adalah polimer glukosa yang disusun dalam tanaman melalui pengikatan kimiawi dari ratusan hingga ribuan satuan glukosa untuk membentuk molekul berantai panjang. Kemudian molekul-molekul tersebut disusun dalam bentuk granula yang tidak larut dalam air dingin (Haryadi, 1999). Pati diperoleh dari umbi-umbian dengan cara ekstraksi (Krochta, 1997).

Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektein dan material antara seperti ptotein dan lemak. Umumnya pati terdiri dari 15 – 30 % amilosa, 70 – 80 % amilopektin dan 5 - 10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat – sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji – bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1990).

Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya serta lurus atau bercabang rantai molekulC-nya. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dan amilopektin mempunyai rantai cabang (Winarno, 1998).

Winarno (1995) menyatakan bahwa molekul pati mempunyai dua ujung berbeda, yaitu ujung non-pereduksi dengan gugus OH bebas yang terikat pada atom karbon nomor 4 dan ujung pereduksi dengan gugus OH bebas anomerik. Kandungan gula yang tinggi memberikan rasa manis yang lebih tinggi, sedangkan


(26)

17

kadar amilosa akan memberikan sifat porous dan menyerap air yang lebih besar (Winarno, 1994).

Tabel 3. Karakteristik Amilosa dan Amilopektin

Proporsi Amilosa Amilopektin

Bentuk Ikatan

Berat molekul Sifat pelapisan Pembentukan gel

Pada dasarnya linier

α – 1,4-D glikosidik Kurang dari 5 juta Kuat

Kaku

Bercabang

α -1,6-D glikosidik 50 – 300 juta Lemah

Tidak membentuk gel sampai lunak.

Sumber : Estiasih (2006).

Sifat dari pati yang berkaitan dengan pembentukan edible film adalah gelatinisasi. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembentukan gel. Gelatinisasi biasanya dimulai dengan hidrasi pati, yaitu penyerapan molekul-molekul air oleh molekul pati (Haryadi, 1999). Selama proses gelatinisasi terjadi kerusakan ikatan hydrogen intramolekuler. Ikatan hydrogen berfungsi dalam mempertahankan struktur integritas granula pati. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap air sehingga terjadi pembengkakan granula pati (Muchtadi dkk., 1987). 1. Amilosa

Amilosa pada dasarnya merupakan polimer linier yang terdiri dari ikatan α – 1,4-D glukopiranosa. Rantai amilosa berbentuk heliks. Bagian dalam stuktur heliks menggandung atom H sehingga bersifat hidrofob yang memungkinkan amilosa membentuk komplek dengan asam lemak bebas, komponen asam lemak dari gliserida (Estiasih, 2006). Menurut Haryadi (1999) menyatakan bahwa satuan glukosa pada amilosa bergandengan melalui ikatan α-1,4 glikosidik. Pada amilopektin ikatan (1,4) juga banyak, tetapi juga mempunyai percabangan melalui ikatan α-1,6.


(27)

18

Amilosa memiliki gugus hidroksil, makin banyak unit glukosa makin banyak gugus hidroksil. Adanya gugus hidroksil menyebabkan amilosa mudah menyerap air dan molekul yang tersusun linier cenderung membentuk posisi paralel satu dengan yang lain (Meyer, 1982). Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi (Jane and Chen, 1992).

Edible film yang lentur dan kuat dapat dibuat dari pati yang mengandung amilosa (Meyer, 1982). Mekanisme pembentukan gel pada edible film adalah pemanasan akan melemahkan ikatan hydrogen dari amilosa sehingga terjadi pembengkakan molekul amilosa oleh adanya air. Pembengkakan berlanjut dengan membentuk jaringan tiga dimensi oleh amilosa. Amilosa akan menyerap air dan membentuk daerah amorf akibat adanya pemanasan dan pengadukan selama pembuatan larutan. Pada saat pengeringan daerah amorf akan mongering dan membentuk lapisan tipis (film) (Carriedo, 1994).

2. Amilopektin

Amilopektin merupakan molekul paling dominan dalam pati. Polimer amilopektin bercabang yang terdiri dari ikatan α – 1,4 dan α – 1,6 pada percabangannya. Rantai cabang amilopektin mempunyai sifat seperti amilosa yaitu dapat membentuk struktur heliks diperkirakan 4-6 % ikatan dalam setiap molekul amilopektin adalah ikatan α – 1,6. Percabangan mengahalangi gerakan molekul dan kecenderungan untuk saling mendekat membentuk ikatan hydrogen yang diperlukan untuk terjadinya peristiwa retrogradasi (Whistler and BeMiller, 1999), sedangkan menurut Estiasih (2006) amilopektin membuat retrogradasi


(28)

19

lambat dan pasta yang terbentuk tidak dapat membentuk gel tetapi bersifat lengket (kohesif) dan elastis (gummy texture). Adanya amilopektin dalam jumlah tinggi dapat mengurangi ikatan antar molekul dan akan menghambat pembentukan gel yang kuat. Amilopektin dalam granula pati tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi karena cabangnya menyulitkan dalam pembentukan jaringan, oleh karena itu pemilihan pati yang digunakan untuk pembuatan edible film ditentukan kadar amilosa (Meyer, 1982).

Gambar 5. Amilosa (Anonymous, 2005a)

Gambar 6. Amilopektin (Anonymous, 2005a)

D. Proses Pembuatan Pati Kimpul

Menurut Proborini (2006), proses pembuatan pati pada umumnya meliputi : 1. Persiapan

Tahapan ini mencakup pengupasan dan pencucian umbi. Pengupasan bertujuan untuk mencegah pencemaran dan menghindarkan rasa pahit.


(29)

20

2. Pencucian

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan semua kotoran dan kulit umbi.

3. Pemblenderan

Pemblenderan bertujuan untuk menghancurkan dinding-dinding sel agar granula – granula pati dapat terlepas.

4. Penyaringan

Pemisahan pati dilakukan dengan penambahan air, perbandingan air:bahan (3:1) dan disaring dengan kain saring untuk mendapatkan susu pati, pemisahan granula pati dari bahan tak terlarut lainnya. Ampas yang diperoleh dipisahkan lagi dengan penambahan air (air : ampas = 2 : 1).

5. Pengendapan dan pemurnian

Pengendapan dilakukan sebanyak tiga kali, yang pertama ± 4 jam, untuk selanjutnya dilakukan pengendapan ± 2 jam, yang mencakup pemisahan pati murni dari bahan pencemar yang terlarut. Pemurnian pati (pencucian) dilakukan dua kali dengan substansi air terhadap cairan yang mengelilingi granula pati untuk memudahkan pemisahannya.

6. Pemisahan air dan pengeringan

Tahap ini bertujuan membuang air, pada permuakan atas setelah endpan pada permukaan bawah terbentuk, dan pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air tertentu (<12%) dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh.


(30)

21

7. Penghancuran dan pengayakan

Penghancuran gumpalan pati dan pengayakan 100 mesh untuk memisahkan kotoran yang terdapat pada pati dan keseragaman ukuran partikel. Pada pembuatan pati, pengeringan dapat dilakukan dengan mempergunakan dua cara yaitu pengeringan dengan sinar matahari dan dengan mempergunakan alat pengering (oven). Kadar air yang harus dicapai pada proses pengeringan ini adalah 8-11%, yakni kadar air ideal untuk berbagai jenis pati (Utomo dan Antarlina, 1997).

8. Pengemasan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengemasan adalah terjaganya pati dari peningkatan kadar air sebab jika kadar airnya meningkat maka memungkinkan jamur untuk tumbuh. Penyimpanan yang optimum juga diperlukan untuk menjaga kualitas pati sampai jangka waktu yang lama (Ardhi, 2006). Bagan alir proses pembutan pati kimpul dapat dilihat pada Gambar 7.


(31)

22

Umbi kimpul

Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Pati (Proborini, 2006) Pengupasan

Pencucian

Pemotongan

Pemblenderan

Penyaringan

Pencucian II

Pengeringan dengan cabinet dryer, suhu 55°C Pengendapan II

2 Jam Pengendapan I

4 Jam Pencucian I

Pengecilan ukuran dan Pengayakan 100 mesh

air air kotor

Air : Bahan (3:1)

Suspensi pati Ampas Air

(2:1) Penyaringan

Suspensi pati Ampas

Pengnedapan III 2 Jam

Pati Air

Air

Pati basah Air


(32)

23

E. Analisa Keputusan

Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan adalah proses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan yang diperlukan guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagian, 1987).

Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur logis dan kuantitatif yang tidak hanya menerangkan mengenai proses pengambilan keputusan, tetapi juga merupakan suatu cara untuk membuat keputusan (Admosudirjo, 1987).

Analisa keputusan adalah untuk memilih alternatif terbaik yang dilakukan antara aspek kualitas, aspek kuantitas dan aspek finansialdari produk yang dihasilkan dengan kombinasi setiap perlakuan (Susanto dan Saneto, 1994).

F. Analisa Finansial

Analisis kelayakan adalah analisa yang ditujukan untuk meneliti suatu proyek layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau tidak (Samsudin, 1987).

Menurut Susanto dan Saneto (1994), beberapa parameter yang sering digunakan dalam analisa finansial antara lain : analisa nilai uang dengan metode Net Present Value (NPV), Rate of Return dengan metode Internal Rate of Return (IRR), Break Event Point (BEP) dan Payback Periode.


(33)

24

1. Break Even Point / Titik Impas (Susanto dan Saneto, 1994)

Break Event Point adalah suatu keadan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama dengan besarnya nilai atau hasil penjualan. Jadi pada keadaan tersebut perusahaan tidak mendapat keuntungan juga tidak mengalami kerugian. Perhitungan BEP dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

BEP = FC P - VC Keterangan :

Po : Produk pulang / pokok FC : Biaya tetap

VC : Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp) BEP : Titik Impas

Rumus – rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut : a. Biaya Titik Impas

Biaya Tetap BEP (Rp) =

1 – (Biaya Tidak Tetap/Pendapatan)

b. Presentase Titik Impas BEP = BEP (Rp) x 100% Pendapatan

c. Kapasitas Titik Impas

Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk mencari titik impas. Rumus kapasitas titik impas sebagai berikut : Kapasitas titik impas = Prosentase titik impas x pendapatan


(34)

25

2. Net Present Value (NPV) (Susanto dan Saneto, 1994)

Net Present Value merupakan selisih antara nilai investasi saat sekarang dengan nilai penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Suatu proyek dapat dipilih bila NPV > 0. NPV dapat ditujukan dengan persamaan sebagai berikut :

Rumus perhitungan NPV adalah sebagai berikut : n Bt - Ct

NPV =

Σ

t = 1 (1 + I)¹ Keterangan :

Bt = Penerimaan pada tahun ke t Ct = Pengeluaran pada tahun ke t t = 1, 2,3,….,n

n = Umur ekonomis dari proyek i = Tingkat bunga

3. Payback Periode (Periode Pengembalian Modal) (Susanto dan Saneto, 1994).

Payback periode perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal yang ditanam pada proyek payback periode tersebut harus lebih kecil dari nilai ekonomis proyek.

Kriteria ini memberikan bahwa proyek akan dipilih jika mempunyai waktu payback periode yang paling cepat.

Nilai harapan ditujukan pada persamaan sebagai berikut : I

PP =

Ab


(35)

26

Keterangan :

I = Jumlah modal

Ab = Penerimaan bersih per tahun

4. Internal Rate of Return ( IRR ) (Susanto dan Saneto, 1994)

Internal Rate of Return ( IRR ) merupakan nilai discount rate I dengan NPV di proyek sama dengan nol. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi dalam suatu proyek, asal setiap benefit bersih yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya.

Rumus perhitungan IRR (Khane, 1978)

Keterangan :

NPV´ = NPV tahun yang akan datang NPV´´ = NPV sekarang

I´ = Tingkat suku bunga sekarang

I´´ = Tingkat suku bunga tahun yang akan datang

5. Gross Benefit Cost Ratio

Gross benefit cost ratio adalah merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah di present value (dirupiahkan sekarang). ∑Bt / (1 + i)t

Gross B/C =

∑ Ct / (1 + i)t NPV’

IRR = I’ + (I” + I’) NPV’’ + NPV ’


(36)

27

G. Landasan Teori

Kimpul merupakan sumber karbohidrat yang baik. Menurut Bradburry and Holoway (1988), sebagian besar karbohidrat berupa pati sebesar 17 – 34,5 %. Pati diperoleh dari umbi-umbian dengan cara ekstraksi (Krochta, 1997). Pati merupakan komponen utama dalam pembuatan edible film selain protein, lemak, polisakarida lainnya dan komposit. Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang melapisi makanan dan dapat dimakan, digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan. Edible film digunakan untuk memperbaiki kualitas makanan dan memperpanjang masa simpan (Robertson, 1992)

Sifat dari pati yang berkaitan dengan pembentukan edible film adalah gelatinisasi. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembentukan gel. Gelatinisasi biasanya dimulai dengan hidrasi pati, yaitu penyerapan molekul-molekul air oleh molekul pati (Haryadi, 1999). Selama proses gelatinisasi terjadi kerusakan ikatan hydrogen intramolekuler. Ikatan hydrogen berfungsi dalam mempertahankan struktur integritas granula pati. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap air sehingga terjadi pembengkakan granula pati (Muchtadi dkk., 1987).

Mekanisme pembentukan gel pada edible film adalah pemanasan akan melemahkan ikatan hydrogen dari amilosa sehingga terjadi pembengkakan molekul amilosa oleh adanya air. Pembengkakan berlanjut dengan membentuk jaringan tiga dimensi oleh amilosa. Amilosa akan menyerap air dan membentuk daerah amorf akibat adanya pemanasan dan pengadukan selama pembuatan larutan. Pada saat pengeringan daerah amorf akan mongering dan membentuk lapisan tipis (film) (Carriedo, 1994).


(37)

28

Edible film yang berasal dari pati memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami hidrasi, mudah mengembang dan sobek, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan Na-CMC yang berfungsi mengurangi resiko pecah, sobek dan hancurnya edible film yang terbentuk dan plasticizer gliserol yang berfungsi meningkatkan keplastisan. Gugus –gugus hidroksil dari Na-CMC dan gliserol berikatan dengan rantai polimer pati, berinteraksi mengurangi ikatan hydrogen internal pada ikatan intermolekuler pati sehingga dapat memperbaiki sifat rapuh yang disebabkan oleh kekuatan intermolekular ektensif, melemahkan kekakuan (elastis) dari film, dan membuat pori-pori dari film semakin rapat sehingga memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi uap air (Krochta, 1997).

Menurut Nugroho (2009), Fungsi Na-CMC adalah mengikat air atau memberi kekentalan pada fase cair sehingga menstabilkan komponen lain. Menurut Chandra (1997), Natrium Carboxymethyl cellulose (Na-CMC) memiliki kemampuan larut dalam air, membentuk film dengan kekuatan tinggi, film yang jernih, tidak berminyak dan memiliki laju transmisi uap air yang rendah, selain itu penambahan Na-CMC dalam pembuatan edible film dapat mengasilkan film yang tahan lipid dan mempunyai kelarutan yang baik, sifat ini sangat menguntungkan terutama untuk pengemasan produk. Menurut Mc Hugh and Krochta (1994), Na-CMC dapat memantapkan sistem dispersi yang homogen pada pati, dapat meningkatkan kelenturan dan kemampuan memanjang dengan demikian keretakan edible film dapat dihindari.


(38)

29

Plasticizer merupakan komponen yang cukup besar peranannya dalam edible film untuk mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non-volatil, karena mempunyai titik didih yang tinggi dan jika ditambahkan kedalam materi lain dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik materi tersebut (Banker, 1996), Penambahan Plasticizer seperti gliserol pada kondisi tertentu dapat mengubah sifat fisik dan mekanis dari edible film, dapat menghindari sobek dan menghasilkan edible film yang kuat dan lentur. Hal ini disebabkan karena adanya pengurangan ikatan antarmolekul rantai polimer pati, sehingga dihasilkan suatu jaringan yang lebih kompak serta meningkatkan elastisitas (Guilbert and Biquet, 1990). Gliserol berfungsi sebagai pengikat air dan akan meningkatkan kekompakan jaringan matriks edible film sehingga edible film yang dihasilkan memiliki daya tembus uap air yang rendah (Arvanitoyannis, 1997).

H. Hipotesis

Diduga perlakuan penambahan plasticizer gliserol dan Na-CMC berpengaruh terhadap produk edible film yang dihasilkan.


(39)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Analisa Pangan Jurusan Teknologi Pangan UPN “Veteran” Surabaya, Jawa Timur dan Laboratorium Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Negeri Brawijaya, Malang pada bulan Maret – Agustus 2010.

B. Bahan yang digunakan

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan pati kimpul yaitu umbi kimpul yang diperoleh dari daerah Malang dan Surabaya.

Bahan untuk analisa adalah, aquades, HCl ± 25%, NaOH 45%, KOH, H2SO4, K2SO4, ethanol 95%, NH4OH, Mg-Nitrat, HNO3, gliserol, Na-CMC, dan KMnO4,

C. Peralatan yang digunakan

Alat yang digunakan untuk pembuatan pati kimpul dalam penelitian ini antara lain timbangan, pisau, panci, wadah untuk mencuci, kain saring, oven, parutan, loyang dan ayakan. Peralatan untuk pembuatan edible film yaitu, beaker glass 250 ml, gelas ukur, thermometer, pengaduk, plat kaca, water bath dan oven. Peralatan untuk analisa yaitu, botol timbang, neraca digital dan analitik, mikrometer, desikator, tensile strenght and elongation Strograph MI Toyoseiki dan penangas air.


(40)

31

D. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dua faktor. Faktor I adalah konsentrasi Na-CMC dengan 3 level yaitu 1%, 2%, 3% (b/vtotal). Sedangkan faktor II adalah proporsi gliserol dengan 3 level yaitu 10%, 20%, 30% (v/bpati). Pada penelitian ini terdapat 9 kombinasi perlakuan yang dilakukan 3 kali dan didapatkan 27 satuan percobaan, selanjutnya dianalisa dengan analisis ragam, bila terdapat beda nyata dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan’s.

Menurut Gasperz (1991), model matematis untuk Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor adalah sebagai berikut :

Yijk = + αi + βj (αβ)ij + εijk i : 1, … , a

j : 1, … , b k : 1, …, c Keterangan :

Yijk : Nilai pengamatan dari suatu percobaan ke – k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke – i faktor A dan taraf ke – j faktor B).

: Nilai tengah umum (rata-rata sesungguhnya).

αi : Pengaruh perlakuan ke- i dari A.

βj : Pengaruh perlakuan ke – j dari B.

(αβ)ij : Pengaruh interaksi taraf ke – i dari faktor A dan Taraf ke – j dari faktor B.


(41)

32

εijk : Pengaruh galat dari satuan percobaan ke- k memperoleh kombinasi perlakuan ke – ij (pengaruh kesalahan).

E. Peubah yang digunakan

a. Peubah Berubah

Faktor I = Penambahan Na-CMC (b/vtotal) A1 = 1 % (b/vtotal)

A2 = 2 % (b/vtotal) A3 = 3 % (b/vtotal)

Faktor II = Penambahan gliserol (v/bpati) B1 = 10 % (v/bpati)

B2 = 20 % (v/bpati) B3 = 30 % (v/bpati)

Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan antara penambahan plasticizer gliserol dan Na-CMC. Variasi perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kombinasi perlakuan antara faktor A dan faktor B

A B B1 B2 B3

A1 A2 A3

A1B1 A2B1 A3B1

A1B2 A2B2 A3B2

A1B3 A2B3 A3B3 Keterangan :

 A1B1 = Penambahan Na-CMC 1 % dan gliserol 10%  A1B2 = Penambahan Na-CMC 1 % dan gliserol 20 %  A1B3 = Penambahan Na-CMC 1 % dan gliserol 30 %  A2B1 = Penambahan Na-CMC 2 % dan gliserol 10 %


(42)

33

 A2B2 = Penambahan Na-CMC 2 % dan gliserol 20 %  A2B3 = Penambahan Na-CMC 2 % dan gliserol 30 %  A3B1 = Penambahan Na-CMC 3 % dan gliserol 10 %  A3B2 = Penambahan Na-CMC 3 % dan gliserol 20 %  A3B3 = Penambahan Na-CMC 3 % dan gliserol 30 %

b. Peubah tetap

1. Total berat pati kimpul 3 gr 2. Total air 50 ml

3. Waktu pencampuran selama 15 menit 4. Suhu pencampuran bahan ± 85oC 5. Suhu pengeringan 75˚C selama 4 jam

c. Peubah berubah

1. Penambahan Na-CMC 1 %, 2 %, 3 % (b/vtotal) 2. Penambahan gliserol 10 %, 20 %, 30 % (v/bpati)

Data yang diperoleh dianalisa dengan analisi ragam untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perlakuan. Apabila terdapat perbedaan perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT) untuk mengetahui perbedaan perlakuan.

F. Parameter yang diamati

Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu : 1. Pati Kimpul

- Analisa kadar pati


(43)

34

- Analisa kadar air Cara Pemanasan (Apriyantono, dkk., 1989). - Rendemen.

2. Analisa terhadap produk

- Analisa Kadar Air Cara Pemanasan (Sudarmadji, dkk, 1997). - Uji Laju transmisi uap air metode cawan (Cuq et al., 1996). - Uji Fisik :

1. Ketebalan (Cuq et al., 1996).

2. Elongasi (persentase pemanjangan) (Cuq et al., 1996).. 3. Tensile Strenght (kekuatan) (Cuq et al., 1996).

- Uji organoleptik (Uji skoring) warna dan tekstur (Rahayu, 1998).

G. Prosedur penelitian

Prosedur penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu : 1. Tahap pembuatan pati kimpul

Tahap pembuatan pati kimpul diawali dengan beberapa tahapan yaitu: sortasi dan penimbangan, pencucian, pengupasan kulit, perendaman air garam, pemarutan, penyaringan, pengendapan, pengeringan, penggilingan dan pengayakan.

a. Sortasi dan pembersihan bertujuan untuk memperoleh umbi yang utuh tanpa adanya luka atau cacat pada umbi.

b. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada umbi.

c. Pengupasan kulit menggunakan pisau stainlesstail yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dari kulit kimpul.


(44)

35

d. Setelah pengupasan, dilakukan perendaman dengan penambahan garam 5 gram dalam 1000 ml air selama 15 menit. Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan gatal pada umbi dan mencegah reaksi pencoklatan pada umbi. e. Proses pemarutan bertujuan untuk memotong granula-granula pati pada umbi

agar dapat terekstrak keluar dari umbi ketika dilakukan penyaringan.

f. Penyaringan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu ampas dari hasil penyaringan pertama ditambahkan air sebanyak 500 ml kembali untuk dilakukan penyaringan ke-II. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pati yang lebih banyak.

g. Hasil penyaringan (Filtrat) kemudian diendapkan selama ± 5 jam. Pati basah yang mengendap dicuci beberapa kali agar dihasilkan pati kimpul yang putih bersih.

h. Kemudian dilakukan pemisahan antara pati basah dan air. Pati basah tersebut dikeringkan dalam oven suhu 85°C selama 2 jam. Selanjutnya dihaluskan dengan blender, diayak dengan ayakan 80 mesh dan hasilnya adalah pati kimpul.

i. Setelah pati kimpul jadi, dilakukan analisa kimia antara lain kadar air dan kadar pati (amilosa dan amilopektin).

j. Perlakuan yang terakhir adalah pengemasan. Pengemasan pati ini memiliki tujuan agar pati yang dihasilkan memiliki daya simpan yang lebih lama dan terhindar dari jamur. Adapun diagram alir proses pembuatan pati kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L) Schott) ditunjukkan pada Gambar 7.


(45)

36

Kimpul 1 kg

Air Pati basah Filtrat Ampas

Analisa : Kadar pati, kadar amilosa dan amilopektin, kadar air,dan Rendemen.

Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Pati Kimpul (Sumber : Proborini, 2006)

Pencucian Pengupasan

Penirisan Pencucian

Perendaman selama 15 menit Pencucian

NaCl 5 gr, air 1000 ml

Filtrat

Pemarutan Ekstraksi Penyaringan I

Ampas

Inkubasi 5 jam

Pemisahan

Pengayakan 80 mesh

Pengeringan di oven dengan suhu 85°C sampai kering

Penyaringan II Ekstraksi

Pati

Kulit

Air (500 ml)


(46)

37

2. Tahap pembuatan edible film

● Bahan baku (pati kimpul) dan air sebanyak 25 ml dicampur dalam wadah di atas water bath suhu 85°C sambil dilakukan pengadukan 15 menit agar tercampur merata, setelah itu dilakukan penyaringan.

● Na-CMC yang telah ditimbang sesuai perlakuan ditambahkan air sebanyak 25 ml, dicampur dalam wadah di atas water bath sambil dilakukan pengadukan selama ± 15 menit agar tercampur merata.

● Hasil saringan larutan pati dan Na-CMC dicampur sambil dipanaskan dan diaduk, pengadukan dilakukan diatas water bath hingga homogen dengan suhu 85 oC selama 15 menit.

● Setelah tercampur rata kemudian ditambahkan gliserol sesuai dengan perlakuan, diaduk dan dicetak pada plat kaca.


(47)

38

Bahan baku (Pati 3 gr +air 25 ml)

Edible film Analisa kimia:  Kadar Air

 Uji transmisi uap air

 Sifat fisik : ketebalan film

elongasi film (persentase pemanjangan)

Tensile Strenght (kekuatan)

 Uji organoleptik: - Warna dan tekstur Gambar 9. Diagram alir pembuatan edible film dari pati kimpul

Pencampuran kedua bahan, sambil dipanaskan dan diaduk, pengadukan di

atas water bath hingga homogen ± 85oC, 15 menit

Pencetakan pada plat kaca

Pengeringan pada oven suhu 75°C Lama pengeringan, 4 jam

Penambahan gliserol 10%, 20%, 30% Penyaringan

Dipanaskan dan diaduk, pengadukan di atas water bath hingga homogen ± 85oC, 15 menit

Na-CMC (1%, 2%, 3%) + Air (25ml)


(48)

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku pembuatan Edible Film, yaitu pati kimpul, kemudian dilanjutkan dengan analisa produk Edible Film yang terdiri dari analisa kimia, fisik dan organoleptik. Analisa dilanjutkan dengan analisa keputusan dan finansial yang didasarkan pada segi ekonomis apabila produk ini digunakan sebagai produk industri.

A. Hasil Analisa Bahan Baku

Pati kimpul yang digunakan dalam pembuatan Edible Film pada penelitian ini adalah pati kimpul yang lolos ayakan 80 mesh. Hasil analisa pati kimpul dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi kimia pati kimpul dalam (100 gr)

Komponen Kandungan (%) Menurut Ridal (2003) Kandungan (%) Kadar air

Kadar amilosa Kadar pati Rendemen

9,830 31,270 83,470 13,500

10 29,240 84,680

14

Pada hasil analisa pati kimpul diketahui bahwa pati kimpul yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan Edible Film mempunyai kadar air 9,830 %, kadar pati 83,470 %, dan kadar amilosa 31,270 %. Hasil analisa pati kimpul pada penelitian ini berbeda dengan hasil analisa menurut penelitian Ridal (2003).

Kadar air pati kimpul pada penelitian ini sebesar 9,830 %, sedangkan menurut Ridal (2003) kadar air pada pati kimpul 10%, kadar air pati kimpul pada


(49)

40

penelitian berbeda, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan suhu dan lama pengeringan.

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa kadar pati kimpul sebesar 83,470 % dan diperoleh kadar amilosa 31,270 %, menurut Ridal (2003) kadar amilosa pada pati kimpul sebesar 29,240%, dengan demikian kadar pati dan amilosa pada penelitian masih berada di kisaran dan tergolong tinggi, hal ini disebabkan banyaknya pati yang terdapat dalam umbi tergantung umur dan ukuran dari umbi kimpul. Kandungan pati maksimal diperoleh pada umbi kimpul umur 12 bulan dengan ukuran yang besar serta dipengaruhi oleh cara ekstraksi,

Rendemen yang diperoleh dari hasil ekstraksi pati kimpul sebesar 13,5%, sedangkan menurut Ridal (2003) rendemen sebesar 14%. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendemen pati adalah kandungan pati yang terdapat dalam bahan dan proses ekstraksi. Menurut Ridal (2003) bahwa rendemen pati dipengaruhi oleh proses ekstraksi, dimana proses yang optimal mengasilkan rendemen yang maksimal.


(50)

41

B. Hasil Analisa Kimia Edible Film dari Pati kimpul

1. Kadar Air

Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terdapat interaksi yang nyata (p ≤ 0,05), dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar air edible film. Hasil analisa kadar air edible film dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terhadap kadar air edible film pati kimpul.

Penambahan Na-CMC (%) Penambahan gliserol (%) Kadar air (%)

Notasi DMRT 5%

1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 15,264 15,763 16,484 16,249 17,400 17,906 17,728 18,696 19,621 a b c c d e e f g - 0,283 0,306 0,297 0,312 0,320 0,316 0,322 0,324

Keterangan : Nilai yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada p ≤ 0,05.

Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar air edible film berkisar antara 15,264-19,621%. Perlakuan penambahan gliserol 10% dan penambahan Na-CMC 1%, memberikan hasil kadar air edible film terendah (15,264%), sedangkan perlakuan penambahan gliserol 30% dan penambahan Na-CMC 3%, memberikan hasil kadar air edible film tertinggi (19,621%). Hubungan antara penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol edible film dapat dilihat pada Gambar 10.


(51)

42

Gambar 10. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terhadap kadar air edible film pati kimpul.

Gambar 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol maka kadar air edible film yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena Na-CMC dan gliserol berikatan dengan gugus OH pada pati sehingga menyebabkan pengikatan air bebas, semakin banyak air bebas yang terikat akibatnya kadar air meningkat. Hal ini sesuai dengan Nugroho (2009), mengatakan bahwa fungsi Na-CMC adalah mengikat air atau memberi kekentalan pada fase cair sehingga menstabilkan komponen lain, sehingga kadar air meningkat, sedangkan menurut Fennema (1996) bahwa gliserol dapat mengikat air dalam jumlah besar sehingga air yang berada diluar granula menjadi berada didalam granula dan tidak bebas lagi sehingga dapat meningkatkan kadar air edible film.

K

ad

ar

a

ir

(

%


(52)

43

2. Transmisi Uap Air

Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terdapat interaksi yang nyata (p ≤ 0,05), dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap transmisi uap air edible film. Hasil analisa laju transmisi uap air edible film dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol

terhadap transmisi uap air edible film pati kimpul. Penambahan Na-CMC (%) Penambahan gliserol (%) Transmisi uap Air (g/mm2/24 jam)

Notasi DMRT 5%

1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 8,980 8,415 8,284 8,531 7,622 7,491 7,526 7,317 6,910 i g f h e c d b a 0,022 0,022 0,022 0,022 0,021 0,020 0,021 0,019 -

Keterangan : Nilai yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada p ≤ 0,05.

Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai laju transmisi uap air edible film berkisar antara 6,910 – 8,980 g/mm2/24 jam. Perlakuan penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30%, memberikan hasil transmisi uap air edible film terendah yaitu 6,910 g/mm2/24 jam, sedangkan perlakuan penambahan Na-CMC 1% dan penambahan gliserol 10%, memberikan hasil transmisi uap air edible film tertinggi yaitu 8,980 g /mm2/24 jam. Hubungan antara penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol edible film dapat dilihat pada Gambar 11.


(53)

44

Gambar 11. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan Penambahan gliserol transmisi uap air edible film pati kimpul.

Gambar 11 menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan Na-CMC dan gliserol, Laju transmisi uap air edible film yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena penambahan Na-CMC dan gliserol dapat menambah jumlah molekul matriks penyusun edible film, dan menghasilkan ketebalan edible film yang sulit ditembus uap air karena pori-pori dari edible film yang semakin merapat, maka laju transmisi uap air rendah.

Hal ini sesuai dengan Arvanitoyannis (1997) menyatakan bahwa gliserol berfungsi sebagai pengikat air dan akan meningkatkan kekompakan jaringan matriks edible film sehingga edible film yang dihasilkan memiliki daya tembus uap air yang rendah, sedangkan menurut Chandra (1997) Na-CMC akan membentuk film yang mempunyai kekuatan yang tinggi dan mengurangi kecepatan laju transmisi uap air.

Laju

Tr

an

smi

si

u

ap

ai

r

(g/

m


(54)

45

C. Hasil Analisa Fisik Edible Film dari Pati Kimpul 1. Ketebalan film

Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terdapat interaksi yang nyata (p ≤ 0,05), dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap ketebalan edible film. Hasil analisa ketebalan edible film dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terhadap ketebalan edible film pati kimpul.

Penambahan Na-CMC (%) Penambahan gliserol (%) Ketebalan (mm)

Notasi DMRT 5%

1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 0.115 0,120 0.133 0,122 0,132 0,142 0,138 0,147 0,149 a b c b c d d e e - 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004

Keterangan : Nilai yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada p ≤ 0,05

Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai ketebalan edible film berkisar antara 0,115-0,149 mm. Perlakuan penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30%, memberikan nilai ketebalan edible film tertinggi (0,149 mm) sedangkan pada perlakuan penambahan Na-CMC 1% dan penambahan gliserol 10% memberikan rerata ketebalan edible film terendah (0,115 mm). Hubungan antara penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol edible film dapat dilihat pada Gambar 12.


(55)

46

Gambar 12. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terhadap ketebalan edible film pati kimpul.

Gambar 12 menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan Na-CMC dan gliserol memberikan peningkatkan ketebalan edible film. Hal ini disebabkan karena penambahan Na-CMC dan gliserol akan meningkatkan kekentalan larutan sehingga berpengaruh terhadap ketebalan edible film dan akan lebih banyak jumlah polimer penyusun matriks film sehingga lapisan film yang dihasilkan semakin tebal.

Hal ini didukung oleh Nugroho (2009) bahwa fungsi Na-CMC adalah memberikan kekentalan pada fase cair sehingga menstabilkan komponen lain. Sedangkan menurut Guibert and Biquet (1990), mengatakan bahwa pembuatan edible film dengan menggunakan plasticizer akan meningkatkan ketebalan dan stabilitas.

K

ete

b

al

a

n


(56)

47

2. Kuat Tarik (Tensile Strenght)

Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terdapat interaksi yang nyata (p ≤ 0,05), dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap kuat tarik edible film. Hasil analisa kuat tarik edible film dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terhadap Kuat Tarik edible film pati kimpul.

Penambahan Na-CMC (%) Penambahan Gliserol (%) Kuat tarik (N/mm2)

Notasi DMRT 5%

1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 4,244 4,796 5,418 5,252 6,400 6,906 6,628 7,229 8,248 a b c c d f e g h - 0,196 0,211 0,206 0,215 0,221 0,219 0,223 0,224 Keterangan : Nilai yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda

nyata pada p ≤ 0,05

Tabel 9 menunjukkan bahwa kuat tarik edible film berkisar antara 4,244 – 8,248 N/mm2. Perlakuan penambahan Na-CMC 1% dan penambahan gliserol 10%, memberikan kuat tarik edible film terendah (4,244 N/mm2), sedangkan perlakuan penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30%, memberikan hasil kuat tarik edible film tertinggi (8,248 N/mm2).

Hubungan antara penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol edible film dapat dilihat pada Gambar 13.


(57)

48

Gambar 13. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan

gliserol terhadap kuat tarik edible film pati kimpul.

Gambar 13 menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol, kuat tarik edible film yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini disebabkan penambahan Na-CMC dan gliserol dapat meningkatkan kekompakan dari molekul yang menyusun matrik film sehingga memiliki kekuatan terhadap perlakukan mekanis yang semakin besar terhadap lapisan edible film.

Penambahan Plasticizer dapat menghindari sobek dan menghasilkan edible film yang kuat dan lentur. Hal ini disebabkan karena adanya pengurangan ikatan antarmolekul rantai polimer pati, sehingga dihasilkan suatu jaringan yang lebih kompak serta meningkatkan elastisitas (Guilbert and Biquet, 1990). Menurut Mc Hugh and Krochta (1994), Na-CMC dapat memantapkan sistem dispersi yang homogen pada pati, dapat meningkatkan kelenturan dan kemampuan memanjang dengan demikian keretakan edible film dapat dihindari.

K

u

a

t t

a

r

ik

(

Tensile Str

eng

h

t

)

(N

/m

m


(58)

49

3. Persen Perpanjangan (Elongasi)

Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terdapat interaksi yang nyata (p ≤ 0,05), dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap elongasi edible film. hasil analisa elongasi edible film dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terhadap elongasi edible film pati kimpul.

Penambahan Na-CMC (%) Penambahan Gliserol (%) Elongasi (%)

Notasi DMRT 5%

1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 16,450 17,823 20,217 19,043 20,167 21,470 21,057 21,304 23,693 a b d c c f e g h - 0,061 0,067 0,064 0,066 0,069 0,068 0,069 0,070

Keterangan : Nilai yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada p ≤ 0,05

Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai elongasi edible film berkisar antara 16,450 – 23,693 %. Pada perlakuan penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30%, memberikan hasil elongasi edible film tertinggi (23,693%), sedangkan pada perlakuan penambahan Na-CMC 1% dan penambahan gliserol 30%, memberikan hasil elongasi edible film terendah (16,450%). Hubungan antara penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol edible film dapat dilihat pada Gambar 14.


(59)

50

Gambar 14. Pengaruh perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol terhadap elongasi edible film pati kimpul.

Gambar 14 menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan Na-CMC dan gliserol maka elongasi edible film akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan bahwa penambahan Na-CMC dan gliserol yang semakin besar dapat memberikan struktur yang kompak pada film dan memberikan keplastisan yang semakin besar dari edible film sehingga pada saat ditarik semakin panjang dan sulit putus.

Hal ini didukung oleh Guilbert dan Biquet (1990), penggunaan plasticizer seperti gliserol dapat berfungsi menurunkan gaya intermolekuler dalam mengatasi kerapuhan serta meningkatkan elastisitas. Gliserol merupakan bahan pemlastis yang dapat meningkatkan elasitisitas pada edible film sehingga pada saat edible mengalami perpanjangan tidak mudah putus. Sedangkan menurut Chandra (1997), Natrium Carboxymethyl cellulose (Na-CMC) memiliki kemampuan larut dalam air, membentuk film dengan kekuatan tinggi dan menurut Mc Hugh and Krochta (1994), Na-CMC dapat meningkatkan kelenturan dan kemampuan memanjang dengan demikian keretakan edible film dapat dihindari.

El

on

gas


(60)

51

D. Hasil Uji Organoleptik Edible Film

Kualitas bahan pangan dapat diketahui dengan tiga cara yaitu kimiawi, fisik, dan sensorik. Diterima atau tidaknya bahan pangan oleh konsumen banyak ditentukan oleh faktor mutu terutama mutu organoleptik.

Sifat organoleptik dari edible film dengan perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol yang diuji meliputi warna dan tekstur dengan menggunakan uji skoring. Hasil penelitian pada edible film yang dihasilkan, diujikan secara organoleptik meliputi :

1. Uji Skoring Warna

Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting dari suatu bahan pangan. Kesukaan konsumen terhadap suatu bahan pangan juga sangat ditentukan oleh warna. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap skor warna edible film yang dihasilkan. Nilai skor warna edible film dapat dilihat pada Tabel 11

Tabel 11. Nilai uji skoring warna pada edible film dengan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol

Perlakuan

Na-CMC (%) Gliserol (%)

Skor Notasi 1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 2,188 2,313 2,938 3,375 3,438 3,938 3,563 4,625 5,438 a a b c c d cd e f Keterangan : Semakin tinggi skor, maka warna semakin baik.


(61)

52

Tabel 11 menunjukkan bahwa skor warna edible film antara 2,188 – 5,438. Skor tertinggi terdapat pada edible film dengan perlakuan penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30% yaitu sebesar 5,438 sedangkan skor terendah terdapat pada edible film dengan perlakuan penambahan Na-CMC 1% dan penambahan gliserol 10% yaitu sebesar 2,188.

Semakin banyak penambahan Na-CMC dan gliserol, maka edible film yang dihasilkan mempunyai warna yang semakin cerah, dari warna putih keruh sampai bening. Hal ini terjadi karena semakin banyak Na-CMC dan gliserol yang ditambahkan maka terjadi peningkatan jumlah molekul yang menyusun edible film, peningkatan kecerahan edible film akibat penambahan Na-CMC dan gliserol diduga dipengaruhi oleh sifat asal dari polimer Na-CMC cenderung berwarna putih dan gliserol yang cenderung berwarna bening, sehingga apabila ditambahkan dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan meningkatkan indeks kecerahan dari edible film. Hal ini diperkuat oleh Banker (1996), gliserol jika ditambahkan ke dalam materi lain dapat mengubah sifat fisik (seperti warna) dan sifat mekanik materi tersebut. Sedangkan menurut Chandra (1997), Na-CMC akan membentuk film dengan warna film yang jernih.

2. Uji Skoring Tekstur

Tekstur dari suatu bahan pangan (khususnya edible film) merupakan salah satu parameter yang penting. Kesukaan konsumen terhadap suatu bahan pangan juga sangat ditentukan oleh tekstur dari bahan pangan tersebut. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap skor tekstur


(62)

53

edible film yang dihasilkan. Skor tekstur edible film dengan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai uji skoring tekstur pada edible film dengan perlakuan penambahan Na-CMC dan penambahan gliserol

Perlakuan

Na-CMC (%) Gliserol (%)

Skor Notasi 1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 2,250 2,563 3,063 3,438 3,688 3,813 3,625 4,250 4,813 a a b c cd d cd e f Keterangan : Semakin tinggi skor, maka tekstur semakin baik

Tabel 12 menunjukkan bahwa skor tekstur edible film berkisar antara 2,250 – 4,813. Nilai skor tertinggi terdapat pada edible film dengan perlakuan penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30% yaitu sebesar 4,813, sedangkan nilai rata-rata skor terendah terdapat pada perlakuan penambahan Na-CMC 1% dan penambahan gliserol 30% yaitu sebesar 2,250.

Semakin tinggi penambahan Na-CMC dan gliserol menyebabkan edible film menjadi lebih kokoh dan elastis, dan dihasilkan tekstur yang semakin baik. Hal ini didukung oleh Guilbert dan Biquet (1990), bahwa gliserol dapat meningkatkan elastisitas sehingga pada saat film ditarik tidak mudah putus, sedangkan penggunaan Na-CMC akan meningkatkan kekuatan dari film, semakin tebal edible film akan meningkatkan ketahanan film terhadap perlakuan mekanis seperti penekanan atau tarikan.


(63)

54

E. Analisis Keputusan

Analisa keputusan untuk penelitian edible film dari pati kimpul yang terbaik didasarkan hasil uji kimia, fisik dan organoleptik yang meliputi kadar air, Transmisi uap air, kuat tarik, elongasi, ketebalan, warna serta tekstur. Nilai keseluruhan dari berbagai analisa pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13.


(64)

55

Tabel 13. Hasil analisis keseluruhan pada produk edible film Perlakuan

Na-CMC (%) Gliserol (%)

Kadar Air (%)

Transmisi Uap Air (g/mm²/24jam)

Kuat Tarik (N/mm2)

Ketebalan (mm) Elongasi (%) Skor Warna Skor Tekstur 1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 15,264 15,763 16,484 16,249 17,400 17,906 17,728 18,696 19,621 8,980 8,415 8,284 8,531 7,622 7,491 7,526 7,317 6,910 4,244 4,769 5,418 5,252 6,400 6,906 6,628 7,229 8,248 0,115 0,120 0,133 0,122 0,132 0,142 0,138 0,147 0,149 16,450 17,823 20,217 19,043 20,167 21,470 21,057 21,304 23,693 2,188 2,313 2,938 3,375 3,438 3,938 3,563 4,625 5,438 2,250 2,563 3,063 3,438 3,688 3,813 3,625 4,250 4,813


(65)

56

Untuk keperluan industri, sifat-sifat fisik, kimia antara lain seperti ketebalan, kuat tarik, elongasi, kadar air, transmisi uap air menjadi pertimbangan dalam menentukan kelayakan penggunaan (Labuza, 1982).

Produk edible film penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30% sebagai produk terbaik karena memberikan hasil transmisi uap air terendah dan kuat tarik standar serta warna dan tekstur lebih baik. Alternatif ini selanjutnya akan dilanjutkan dengan analisis finansial. Hasil analisa produk edible film dengan perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Hasil analisis produk edible film penambahan Na-CMC 3% dan penambahan gliserol 30%

Parameter Hasil Analisa

Kadar air 19,621%

Transmisi uap air 6,910 g/mm2/24jam

Kuat tarik 8,248 N/mm2

Ketebalan 0,149 mm

Elongasi 23,693 %

Warna 5,438 Tekstur 4,813

F. Analisis Finansial 1. Kapasitas produksi

Kapasitas produksi direncanakan tiap hari memerlukan bahan baku (pati kimpul) 6.933 kg/tahun dan bahan tambahan gliserol 280,8 lt/tahun, Na-CMC 468 kg/tahun.

Kapasitas produksi dalam satu tahun menghasilkan edible film sebanyak 312.000 lbr atau 3.120 bungkus per tahun dengan 1 bungkus = 100 lbr. Data kapasitas produksi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.


(66)

57

2. Biaya Produksi

Biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan suatu usaha, terdiri dari biaya tidak tetap dan biaya tetap. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah sejalan dengan tingkat produksi yang dihasilkan. Biaya tetap adalah biaya-biaya yang dalam jangka waktu tertentu tidak berubah mengikuti perubahan tingkat produksi. Biaya tetap bersifat konstan pada relevan range tertentu.

Secara singkat total biaya per tahun dari industri Edible Film adalah sebagai berikut :

Total Biaya Produksi = Biaya Tetap + Biaya Tidak Tetap = Rp. 23.875.551 + Rp. 100.380.240

= Rp. 124.275.791

Perincian total biaya produksi tiap tahun dapat dilihat pada Lampiran 13.

3. Harga Pokok Produksi

Berdasarkan kapasitas produksi tiap tahun dan biaya produksi tiap tahun, maka dapat diketahui harga pokok tiap 100 lbr/bungkus.

Harga Pokok =

per tahun produksi

Kapasitas

produksi biaya

Total

= Rp. 124.275.791 3.120


(1)

95

LAMPIRAN 16. Grafik

Break Event Point

(BEP)

Gambar 14. Grafik

Break Event Point

(BEP)

Keterangan :

S

: Hasil Penjualan

TPC

:

Total Production Cost

= Total Biaya Produksi

FC

:

Fixed Cost

= Biaya Tetap

VC

:

Variable Cost

=Biaya Tidak Tetap


(2)

96

Lampiran 17. Perhitungan Laju Pengembalian Modal

I = 10%

I = 30%

th

Cash Flow

Df

P.V (Y1)

Df

P.V (Y1)

1

58,810,530

0.9091

53,464,653

0.7693

45,242,941

2

85,073,886

0.8264

70,305,059

0.5917

50,338,218

3

111,337,241

0.7513

83,647,669

0.4552

50,680,712

4

114,191,461

0.6830

77,992,768

0.3501

39,978,430

5

117,045,680

0.6209

72,673,663

0.2693

31,520,402

358,083,811

217,760,703

IRR

= 10 % + 358,083,811 – 179,695,094

217,760,703

– 140,323,108

= 10 % + (1,281 x 20%)

= 10 % +25,62 %

=

35,62 %


(3)

97

LAMPIRAN 18. Laporan rugi laba selama umur ekonomis proyek (5 tahun)

Kapasitas Investasi Pengembalian Hasil

th

Produksi (%) Modal

Sendiri

Modal Pinjaman

Modal

Investasi Pinjaman

Sisa

Pinjaman Penjualan

0 107,033,230 71,355,487

178,388,717 - -

1 60

14,271,097 57,084,390 111,831,408

2 80

14,271,097 42,813,292 149,108,544

3 100

14,271,097 28,542,195 186,385,680

4 100

14,271,097 14,271,097 186,385,680

5 100

14,271,097 0

186,385,680

Biaya produksi total pendapatan Pendapatan (laba)

Biaya operasi Depresiasi Bunga 20 % Sebelum pajak pajak Sesudah pajak

Cash flow Net cash Flow

- - - -

41,604,000 6,178,600 11,416,878 52,631,930 7,894,790 44,737,141 58,810,530 44,539,433 55,472,000 6,178,600 8,562,658 78,895,286 11,834,293 67,060,993 85,073,886 70,802,788 69,340,000 6,178,600 5,708,439 105,158,641 15,773,796 89,384,845 111,337,241 97,066,144 69,340,000 6,178,600 2,854,219 108,012,861 16,201,929 91,810,931 114,191,461 99,920,363


(4)

98

LAMPIRAN 19.

Net Present Value

(NPV) dan

Gross Benefit

Discount Rate 20 %

Tahun Capital

Cost

Benefit Df

20%

Capital Cost

Benefit Net

Benefit

0

178,388,717

- -

-

178,388,717

- - -

1

-

90,575,123

139,363,840

0.8333

-

75,476,250

116,131,888

40,655,638

2 -

90,575,123

139,363,840

0.6944 -

62,895,365

96,774,250

33,878,885

3 -

90,575,123

139,363,840 0.5787

-

52,415,824

80,649,854

28,234,030

4 -

90,575,123

139,363,840 0.4823

-

43,684,382

67,215,180

23,530,798

5 -

90,575,123

139,363,840 0.4019

-

36,402,142

56,010,327

19,608,185

Total

270,873,963

416,781,500

145,907,536


(5)

99

Benefit Cost Ratio

Nilai B/C Ratio

Produksi

Biaya

Pendapatan

=

416,781,500

270,873,963

=

1,54

Kriteria investasi NPV

No Benefit

Cost NPV(1=1%)

1

116,131,888

75,476,250

40,655,638

2

96,774,250

62,895,365

33,878,885

3

80,649,854

52,415,824

28,234,030

4

67,215,180

43,684,382

23,530,798

5

56,010,327

36,402,142

19,608,185

Total

145,907,536


(6)