Makna kerja pada Pegawai Negeri Sipil yang menjelang pensiun dan tidak memanfaatkan program MPP (Masa Persiapan Pensiun)

(1)

i

MAKNA KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG

MENJELANG PENSIUN DAN TIDAK MEMANFAATKAN

PROGRAM MPP (Masa Persiapan Pensiun)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Benediktus Aditya Wahyu Dewantoro 119114130

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

Maturnuwun Gusti Tasih Diparing Wekdal

Kangge Nyawang Enjang Meniko

Mugi Kawula Tansah Saget Eleng Lan

Sukur Dumateng Panjenengan


(5)

v

Sesuatu yang tak dapat

membunuhku membuat aku lebih

kuat” (Nietzsche)

(Victor Frankl)

Better to Fight for Something Than to Live for Nothing

(Peacock Coffee)

Start Strong! Finish Strong!

(Hell Kitchen)

Semua dosa, semua kebaikan, semua

keburukan, Surga, dan Neraka ada

Semuanya didalam Diri Kita.


(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Semua Jerih Payah Dari Keringatku Ini Akan Aku

Persembahkan Kepada

Bapakku Antonius Sardi | Ibukku Emilia Dwi

Wartini | Adikku Gervasius Andre Wicaksono |

Kesayanganku Melati Widyaninta | Seluruh

Keluarga Besar Aloisiyus Tanu |Seluruh Keluarga


(7)

(8)

viii

Makna Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil yang Menjelang Pensiun

dan Tidak Memanfaatkan Program MPP

(Masa Persiapan Pensiun)

Benediktus Aditya Wahyu Dewantoro

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami makna kerja pada pegawai negeri sipil yang menjelang pensiun dan tidak mengambil program MPP. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis fenomenologi interpretatif. Metode pengumpulan data utama menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Informan dalam penelitian ini adalah dua orang pegawai negeri sipil yang menjelang pensiun dan tidak mengambil program MPP. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pegawai yang menjelang pensiun memilih untuk tetap bekerja dari pada memanfaatkan program MPP yang sudah disediakan pemerintah. Hal ini dikarenakan masih adanya tugas kerja yang tersisa, masih membutuhkan dukungan ekonomi, masih memiliki fisik yang sehat, dan ingin membagikan ilmu yang mereka miliki dengan orang lain. Disamping itu mereka juga mengalami kecemasan menjelang pensiun, dengan adanya kecemasan yang muncul ini tidak mempengaruhi semangat kerja dan performansi kerja para pegawai. Sehingga dengan adanya motivasi kerja menjelang pensiun mereka tetap memaknai kerja dengan positif. Hal tersebut dikarenakan pegawai yang menjelang pensiun merasa bahwa bekerja adalah wujud orientasi ekonomi guna mempertahankan kelangsungan hidup keluarga mereka, kerja dimaknai sebagai sarana untuk membangun relasi sosial di dalam lingkungan kantor maupun lingkungan masyarakat sekitar, memaknai kerja sebagai panggilan, dan memaknai pekerjaan mereka sebagai sebuah perwujudan kehidupan spiritual.


(9)

ix

Meaning of Work to Pre-Retire Civil Service Employee

and Do Not Avail Program of MPP (Masa Persiapan Pensiun)

Benediktus Aditya Wahyu Dewantoro

ABSTRACK

This research aims to understand meaning of work of pre-retire civil service employee and do not avail program of MPP. The metods of research is qualitative with interpretative phenomenology analysis. Methods of primary collect data using semi structured interview methods. Informants of this research were, two pre-retire of civil service employee and do not avail program of MPP. The result of this research showed that pre-retire of civil service employee choose to still working than joining MPP program that has been prepared by government. This case occur because there still remaining labor assignment to do, still need economic support, still has good physical healthy, and want to share knowledge they have to other people. Beside that, they also experience anxiety toward retirement, with being insecure, it does not affect work spirit and work performance of employee. Initially, with being motivated to work, waiting toward retirement they still have positive meaning of work. This research found just because employee who wait upon retirement feels that working is manifest of economic orientation to maintain life continuance of their family, meaning of work as media for build social relation in workplace as well as in society, to meaning of work as allure and meaningfull of work as a media to spiritual living.


(10)

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Lega! Saya sebagai penulis merasa lega karena akhirnya bisa menyelesaikan penelitian atau skripsi ini dengan baik walaupun banyak rintangan yang dihadapi. Percayalah bahwa proses tidak akan pernah menghianati hasil. Semua orang butuh kerja agar diakui eksistensinya. Sama halnya dengan saya sang penulis yang sudah membuktikan kerja keras selama hamper 2 tahun dalam menyusun penelitian tugas akhir ini. Setelah selesai kemudian saya butuh pengakuan atas kerja keras saya berupa kelulusan. Skripsi ini melatih saya untuk bersabar, malatih saya untuk menulis, melatih untuk teliti, dan pantang menyerah. Banyak orang dibelakang saya yang sudah mendukung penulisan skripsi ini dan saya tidak akan menyia-nyiakan dukungan mereka.

Peneliti dalam menulis skripsi ini mencoba untuk mengkomparasikan kehidupan sehari-hari yang dilakukan dan merefleksikannya dalam tulisan ini. Saya sangat betul-betul menyadari apa yang saya lakukan ketika menulis penelitian ini, saya mengetahui isi, dan makna dari sebuah penelitian ini. Dengan adanya semangat ini dimungkinkan untuk pembaca skripsi ini mudah paham tentang makna kerja dan prosesnya, karena diperlukannya harmonisasi. Apa yang kita lakukan haruslah kita mensadari sepenuhnya agar terwujud yang namanya makna. Dibalik penulisan skripsi saya ini, sudah banyak sekali pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Saya sebagai penulis ingin menucapkan terimakasih sebesar-besarnya, karena ketika tidak ada mereka skripsi ini pun tidak akan tertulis. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:


(12)

xii

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan waktu yang terindahnya, semangat kerja, kesehatan, dan rejeki yang melimpah kepada saya dan keluarga saya.

2. Terimakasih saya ucapkan kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. yang telang mendampingi dan membina saya dan angkatan saya dengan sepenuh hati. 3. Terimakasih kepada Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si. yang sudah bekerja keras dalam membina dan mendampingi program pembelajaran di fakultas tervinta ini.

4. Terimakasih kepada Wakaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Ibu Passchedona Henrietta Puji Astuti Dian Sabbati, S.Psi, M.A. yang sudah membimbing kami para mahasiswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan formal maupun informal. Mengajari saya pertama kali penulisan skripsi. Ibu juga sesosok wanita yang tangguh dan berwibawa. 5. Kepada keluarga besarku, bapakku tercinta Antonius Sardi yang terus

memberikanku suntikan semangat, suntikan dana kuliah dan prinsip-prinsip hidup yang inspiratif. Kemudian untuk Ibuku yang amat-amat-amat sangat aku sayangi melebih dari apapun didunia ini (Alm) Ibu Emilia Dwi Wartini yang merawatku dari kecil, mendulangku terus menerus dengan kedisiplinan dan rasa peduli dengan orang lain. Aku kangen ibuk. Terakhir Gervasius Andre Wicaksono adikku sing bagus dewe, yang telah memberikan dukungan semangat dan menemaniku begadang.


(13)

xiii

6. Timotius Maria Raditya Hernawa, M.Psi. (masbro) yang tak lelah mengajariku dengan sabar bagaimana cara menulis skripsi dengan baik dan benar. Mumet bareng pokokmen. Dosen muda yang belum menikah yang sangat ngemong dan sangat menjadi panutan saya dalam hal memimpin dan mendampingi.

7. Albertin Melati Widyaninta yang sangat sangat sangat sangat sabar dalam mendampingi hidpuku, skripsiku, keluh kesahku, ketidakdonganku. Dia selalu menjadi sahabat, partner, sekaligus pacar yang luar biasa. Terimakasih atas kerja keras dan keringatmu untuk menemaniku dan mengajariku. Cupcake!

8. Kepada pak Giyanto yang menjembatani saya dalam berproses mencari informan. Kemudian terimakasih juga untuk Informan penelitianku pak W dan bu U yang sudah bersedia menolong dan memberikan pelajaran berharga atas makna kerja, nilai kerja, dan nilai hidup yang diberikan. 9. Sahabat-sahabatku yang ingin aku sebutkan satu persatu yaitu, keluarga

besar DMGN House yang tercinta yaitu ada Eyang sebagai direktur utama, Pakdhe sepuh sebagai juru bicara, Boghel, Sibhie, Celeng, Valen, Widodo, Endang, Tumiyar, Damar, Madek, Kevin Nugraha sang juragan soto 161, mbambung. Kemudian keluarga besar GKC 2011 yang selama 4 tahun berdinamika bersama di kelas, ramene, gojeke, makrabe, ngombene, sakkabehe! Untuk sahabat kecilku si sonyol a.k.a Cristian Aji sing nyekel seperempat kota jogja yang sudah menyediakan rumahnya untuk melepas lelah segala curahan hati dan menyediakan makanan cemilan yang banyak.


(14)

xiv

10.Keluarga Besar FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA yang telah memelihara dan mengembangkanku menjadi mahasiswa yang cerdas dan sekaligus humanis, peka terhadap situasi, peduli, dan penuh kreasi. Keluarga Besar AKSI 2011, 2012, 2013, 2014, 2015 atas dinamikanya selama berproses sebagai Konseptor dalam membentuk suatu konsep yang luar biasa hebatnya. Dalam berproses mewujudkan konsep inisiasi yang baik saya ditemani oleh Mas Komeng, Hanif sang professor, Kribo, Agnes Wijaya, Aprek, Lia imut, SS dono, Suci pesek, dan Niko. Sekaligus juga semua para tutor 4 generasi yang sudah saya cetak, semoga kalian selalu megembangkan sayap. Terimakasih saya ucapkan juga untuk Albertus Harimurti (ucil) yang sudah mengajariku semua hal, Saktya yang dominan dan selalu saya repoti, Stanis teman gereja yang care, Vico sang cino yang mengajari saya, Bela yang mengajari saya juga, Yerinta yang sudah mengajari saya membuat abstrak, Budi yang punya angkringan tempat saya nongkrong dan mendukung kelancaran skripsi, dan Jono adiknya budi, Boncel teman seperjuangan skripsi, Berang teman yang sudah saya anggap sedulur, Nathan, Yudha AO, Grego, Evan, Gempol, Bendot, Sikak, Gencet, Konde, Ve, Pika yang mengajari saya teknik badminton, Sri Rejeki, Panjul, Bayu, Ajek, Anoy, Elis, Bene sang tegar, Rere, Bincik, Ghea, dkk. Teman-teman Masdha FM 95.00 yang membawa dan mewujudkan hobi saya sebagai penyiar radio. Teman-teman SMA Pangudi Luhur saya Sibon, Krecek, Genjik, Gawer, Cimeng, Roby, Galang, Rian, Kikita, Ika, Moli, Kecap,


(15)

xv

dan Bu Peni sebagai guru BK yang mensupport saya untuk terus semangat ketika daftar kuliah di psikologi. Selain itu, teman-teman OMK Paroki Pringwulung yang sudah mempercayakan saya sebagai ketua.

11.Terimakasih juga buat PSS Sleman yang menghibur saat weekend. Para supporter BCS yang telah menampilkan yang terbaik. Selain itu, terimakasih juga buat Raisa, Tulus, Yura, Jah Boy, DJ Snake, Anji, Via Vallen dengan Suket Tekinya, NDX dengan Sayangnya, Koneg, Nella Kharisma, Didi Kempot, Glenn, MLTR, Jason Mraz, Ndherek Dewi Maria yang menjadi soundtrack dalam menuliskan skripsi dan juga menemani saat begadang. Tak lupa juga terima kasih saya ucapka kepada segenap film-film action, film-film based true story, dan sport film yang menghibur kehidupan saya dikala saya merasa putus asa dan tidak bersemangat.


(16)

xvi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………....i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………....ii

HALAMAN PENGESAHAN………....iii

HALAMAN MOTTO……….iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………vii

ABSTRAK………viii

ABSTRACT………...ix

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………...x

KATA PENGANTAR………xi

DAFTAR ISI……….xvi

DAFTAR TABEL……….xix

DAFTAR GAMBAR……….xx

DAFTAR LAMPIRAN……….xxi

BAB I………...1

PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang………...1

B. Rumusan Masalah………..11

C. Tujuan Penelitian.………..11

D. Manfaat Penelitian……….11


(17)

xvii

2. Manfaat Praktis………..12

BAB II………...13

TINJAUAN PUSTAKA………13

A. Makna Kerja………..13

1. Definisi Makna Kerja………13

2. Sumber Makna Kerja……….15

3. Aspek-aspek Makna Kerja……….21

B. Menjelang Pensiun………25

1. Pengertian Pensiun………25

C. Makan Kerja Pegawai yang Menjelang Pensiun dan Tidak Memanfaatkan Program MPP………27

BAB III………..31

METODOLOGI PENELITIAN………31

A. Jenis Penelitian………..31

B. Fokus Penelitian………32

C. Informan Penelitian………...32

D. Metode Pengumpulan Data………...33

E. Proses Pengumpulan Data……….39

F. Metode Analisis Data………43

G. Kredibilitas Penelitian………...44

BAB IV………..46

HASIL DAN PEMBAHASAN……….46

A. Pelaksanaan Penelitian………...46

B. Gambaran Informan………...47

C. Hasil Penelitian………..49

D. Pembahasan Hasil Penelitian……….84


(18)

xviii

BAB V……….100

KESIMPULAN DAN SARAN………...100

A. Kesimpulan………..100

B. Keterbatasan Penelitian………...102

C. Saran………102

DAFTAR PUSTAKA………..104


(19)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara………..35

Tabel 2 Waktu Pelaksanaan Wawancara………41 Tabel 3 Tabel Tematik Kedua Informan………...95


(20)

xx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Penelitian………...30 Gambar 2. Skema Penelitian Informan 1………..92 Gambar 3. Skema Penelitian Informan 2………..94


(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Lembar Informed Consent Informan………...109

Lampiran 2: Lembar Informed Consent Significant Others……….112

Lampiran 3: Verbatim Informan 1……….115

Lampiran 4: Tabel Kategorisasi Informan 1……….131

Lampiran 5: Verbatim Atasan Kerja Informan 1………..144

Lampiran 6: Analisis Atasan Kerja Informan 1………...162

Lampiran 7: Verbatim Rekan Kerja Informan 1………...174

Lampiran 8: Analisis Rekan Kerja Informan 1……….192

Lampiran 9: Verbatim Informan 2……….201

Lampiran 10: Analisis Informan 2……….211

Lampiran 11: Verbatim Atasan Kerja Informan 2………219

Lampiran 12: Analisis Atasan Kerja Informan 2………..240

Lampiran 13: Verbatim Rekan Kerja Informan 2……….253


(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu bisa bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Selain itu, seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya (Anoraga, 1992). Bekerja merupakan bagian fundamental kehidupan bagi hampir semua orang dewasa, baik pria maupun wanita, yang memberikan kebahagiaan dan kepuasan. Kenyataannya adalah bila seseorang mampu mendapatkan penghasilan sendiri, ini merupakan suatu pertanda bahwa dirinya adalah manusia produktif, manusia yang berguna dan tidak menjadi beban orang lain. Kegiatan bekerja bagi seseorang dapat menimbulkan rasa percaya diri, harga diri, dan rasa puas (Partini, 2011). Bekerja tidak hanya digunakan sebagai alat instrumental untuk mendapatkan keuntungan atau sumber finansial untuk pribadi saja. Tetapi bekerja juga bisa menjadi sumber penting untuk membentuk identifikasi dan citra diri.

Adanya aktivitas kerja yang dilakukan oleh seseorang maka akan menimbulkan makna kerja pada diri individu tersebut. Harpaz (2002) mengatakan bahwa makna kerja terbentuk dari berbagai pengalaman kerja yang didapat dari lingkungan kerja. Ditambahkan oleh Deresky (2002) bahwa makna kerja tidak hanya sebagai usaha untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi


(23)

saja, tetapi sebagai usaha pemenuhan kebutuhan sosial, pemenuhan akan harga diri, dan pengaktualisasian diri seseorang terhadap pekerjaan mereka. Secara subjektif makna kerja diartikan sebagai individu yang bekerja dan lebih menunjukkan prestasi kerja dari pada uang, harga diri, dan bersosialisasi (Herudiati, 2013). Maka dari itu makna kerja sangatlah dibutuhkan seseorang untuk mewujudkan semangat kerja, motivasi kerja, dan perfoemansi kerja yang positif.

Tidak selamanya individu bekerja terus menerus sepanjang umurnya. Ada kalanya ketika sudah mencapai usia tua, individu akan beristirahat dari pekerjaannya dan memasuki fase pensiun. Fase pensiun dianggap banyak orang cukup penting dan tidak bisa dihindari. Coward & Lee (dalam, Partini 2011) menambahkan bahwa kehadiran masa pensiun bukanlah keadaan tiba-tiba tetapi suatu waktu yang dapat diketahui sebelumnya. Safitri (2013) menyebutkan bahwa pensiun adalah suatu masa transisi ke pola hidup baru, sehingga pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan, perubahan nilai dan makna. Selanjutnya masa bekerja bagi seseorang bisa terkait dengan umur. Dijelaskan bahwa di berbagai lembaga pemerintahan atau swasta, terdapat undang-undang yang mengatur seseorang pegawai harus berhenti dari pekerjaan karena telah mencapai umur tertentu, yaitu disebut dengan purnatugas atau pensiun (Partini, 2011).

Dalam konteks menjelang pensiun ini diperkirakan individu yang menjelang pensiun sudah memiliki makna kerja. Dalam membentuk makna kerja pada diri seseorang, apalagi seseorang yang akan menghadapi pensiun,


(24)

tidak jarang akan mengalami kendala dan halangan. Salah satu kendala yang dihadapi para pegawai yang menjelang pensiun dalam membentuk makna kerja biasanya adalah kecemasan. Kecemasan dalam konteks penelitian ini adalah kecemasan menghadapi pensiun. Hadirnya masa pensiun ini akan menimbulkan masalah bagi sebagian orang. Individu yang hampir setiap hari bekerja dan tiba-tiba harus berhenti bekerja membuat mereka merasa tidak berharga dan cemas.

Pensiun adalah sebuah titik balik yang signifikan dalam karir seseorang selama hidup bagi mayoritas orang dewasa yang telah menghabiskan seluruh atau sebagian besar hidupnya untuk bekerja. Eyde (dalam Eliana, 2003)berpendapat bahwa adanya kendala atau halangan dalam pembentukan makna kerja pada pegawai menjelang pensiun yang mengalami kecemasan akan berdampak kepada berubahnya kehidupan didalam diri seperti, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, prestise, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri akan berubah juga karena kehilangan peran. Selain itu akan berdampak juga pada menurunnya kondisi fisik, pendapatan, dan berkurangnya relasi sosial itulah yang menyebabkan individu mengalami kecemasan dalam menghadapi masa pensiun (Limono, 2013). Hasil penelitian dari jurnal ilmiah menyatakan bahwa masyarakat Amerika dan Jerman merasa khawatir dan cemas terhadap pensiun. Hal ini dikarenakan mereka khawatir akan menurunnya keadaan keuangan, sehingga mereka merasa tidak mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi


(25)

kebutuhan biaya kesehatan yang cukup besar di saat mereka berusia lanjut (McConatha, dkk, 2009).

Bagi sebagian besar pegawai, perihal pensiun tidaklah menyenangkan sehingga para pegawai cenderung mulai merasa cemas dan khawatir ketika menjelang pensiun (Tarigan, 2009). Kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam (Freud dalam Feist, 2010). Apabila kecemasan tersebut dibiarkan terus menerus dalam waktu yang lama, maka akan terjadi depresi, stres berat, dan putus asa (Tarigan, 2009). Kecemasan yang muncul bisa berupa gejala fisik, emosi, kognitif, dan perilaku.

Pada salah satu informan yang menjelang pensiun pada penelitian ini sudah memiliki rencana dan aktivitas sampingan seperti menjadi Ketua RT, tetapi dirinya tetap merasa cemas dan tidak berharga dalam melakukan aktivitas tersebut. Menurut informan aktivitas yang dilakukannya tidak menambah pemasukkannya dan tidak membuat dirinya merasa berharga. Hal ini dikarenakan informan belum mampu menerima dirinya yang sebentar lagi akan pensiun. Sedangkan jika seseorang mampu merencanakan atau mencari aktivitas pengganti setelah pensiun, mempertahankan keberlanjutan aktivitas kehidupan barunya dan dapat mengaktualisasikan apa yang ada maka akan terhindar dari masalah psikologis seperti kecemasan.

Seseorang yang mengalami kecemasan pada masa menjelang pensiun akan merasa sudah tidak berguna dan tidak ada lagi yang ingin


(26)

dibanggakan dari dirinya. Mereka merasa sudah tidak diperlukan lagi oleh instansi tempat mereka bekerja, karena menurut mereka sudah kalah saing dengan generasi yang lebih muda dan lebih baik dari dirinya. Persepsi dan stigma negatif dari masyarakat mengenai pensiun perlu disikapi dengan bijaksana agar tidak menimbulkan atau menambah kecemasan. Dari penelitian jurnal yang berjudul “Dukungan Sosial dan Tingkat Kecemasan Pada Kelompok Pekerja PNS yang Mennghadapi Masa Pensiun” menunjukkan bahwa sebesar 34,5% dari total subjek yang ada mengalami kecemasan dari tingkat kecemasan yang rendah sampai tingkat kecemasan yang tinggi dalam menghadapi masa pensiun (Santi dan Mu’in, 2013).

Dengan timbulnya berbagai macam bentuk kecemasan, pegawai menjelang pensiun yang mengalami kecemasan akan cenderung menunjukkan perilaku-perilaku yang menganggu dan mempengaruhi semangat kerja dikantor. Semangat kerja menurut Siswanto (dalam Yuliarti, 2014) merupakan suatu keadaan psikologis seseorang yang bisa menciptakan kesenangan yang akhirnya bisa mendorong seseorang tersebut untuk bekerja lebih giat dan lebih baik lagi. Adanya penelitian yang membahas mengenai hubungan antara kecemasan menghadapi pensiun dengan semangat kerja, yang menunjukkan kedua variabel tersebut memiliki korelasi yang signifikan (Yuliarti, 2014). Dengan adanya penelitian diatas kemudian dipertegas oleh teori bahwa seseorang pegawai yang mempunyai semangat kerja tinggi akan selalu memberikan sikap positif kepada pekerjaan dan juga lingkungan kerjanya (Djui dalam Yuliarti, 2014).


(27)

Menurut Nawawi (dalam Yuliarti, 2014) mengatakan bahwa seseorang biasanya mengalami penurunan semangat kerja bila seseorang tersebut akan menjelang pensiun. Penurunan semangat ini dipengaruhi oleh adanya kecemasan. Menurut Yuliarti (2014) pegawai yang mengalami kecemasan dalam menhadapi pensiun biasanya menjadi malas-malasan saat melakukan suatu pekerjaan. Reaksi cemas seseorang sering merubah sikap pegawai dari yang tadinya rajin menjadi malas dalam bekerja, bersikap santai dan cenderung tidak peduli dengan pekerjaan, serta sering membolos kerja dengan berbagai alasan. Nitisemito (dalam Yuliarti, 2014) menambahkan bahwa gejala-gejala yang nampak saat seseorang pegawai mengalami penurunan semangat kerja diantaranya yaitu, rendahnya produktivitas kerja, tingkat absensi yang tinggi, tingkat perpindahan karyawan yang tinggi, tingkat kerusakan yang meningkat, kegelisahan dimana-mana, tuntutan yang sering terjadi, dan mogok kerja. Semangat kerja didalamnya meliputi motivasi seseorang dalam bekerja. Hal ini didukung oleh Anoraga (1992) motif adalah yang melatarbelakangi individu untuk berbuat (berperilaku kerja) dan mencapai tujuan tertentu. Motivasi seseorang dalam bekerja secara otomatis akan mempengaruhi semangat kerja dan pemaknaan kerja seseorang saat melakukan aktifitas kerja. Hal ini disebabkan oleh sumber terbentuknya makna kerja salah satunya adalah motivasi dari dalam diri (Rosso, Dekas, and Wrzesniewski, 2010). Oldham (dalam Rosso, et all, 2010) mendefinisikan motivasi kerja sebagai derajat dimana seseorang mengalami perasaan yang positif saat bekerja dengan efektif. Sedangkan Hackman & Oldham (dalam


(28)

Rosso, et all, 2010) mengatakan bahwa ketika seseorang mengalami suatu hal yang disebut kebermaknaan dalam bekerja (meaningfulness of work), hal ini dapat menjadi hal yang penting dalam perkembangan motivasi kerja. Dengan kata lain, ketika seseorang merasa bahwa bekerja sebagai sesuatu yang bermakna maka motivasi kerja akan tumbuh, sehingga orang tersebut dapat memaknai kerja dan muncullah makna kerja bagi dirinya. Makna kerja adalah suatu perasaan bahwa pekerjaan yang mereka pilih tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya, tidak mengutamakan aspek finansial atau kemajuan karir. Makna kerja mencangkup kepercayaan kita tentang peran kerja dalam kehidupan kita, dan merefleksikannya dalam perasaan kita mengenai pekerjaan kita, perilaku kita dalam bekerja, dan tipe-tipe tujuan yang kita perjuangkan terdapat dalam pekerjaan (Wrzesniewski, 1999).

Untuk menambahkan informasi dan fenomena yang ada saat ini peneliti mencoba mewawancarai calon informan mengenai kinerjanya sebelum pensiun. Dapat dikatakan bahwa kinerja dan semangat kerja informan baik, ini dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan. Informan menuturkan bahwa mendekati masa pensiun dirinya tambah semakin rajin dan semangat dalam bekerja untuk menyelesaikan tugasnya. Ini dikarenakan ketika subjek sudah benar-benar pensiun, subjek tidak merasa terbebani lagi oleh pekerjaan-pekerjaan dikantor. Hal ini didukung juga oleh Pines & Aronson (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa orang dewasa tengah baya mungkin memfokuskan pada beberapa banyak waktu yang tersisa sebelum pensiun dan kecepatan mereka mencapai tujuan pekerjaan mereka.


(29)

Selain itu, performansi kerja subjek meningkat dan banyak mendapat apresiasi dari pimpinan dan teman-teman sekantornya. Hal ini membuat subjek puas dan bangga atas hasil kerjanya. Santrock (2002) mendukung kalimat diatas, bahwa terdapat komitmen kerja yang lebih besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Menurut subjek, menjelang pensiun tidak mempengaruhi kinerjanya dikantor. Dari beberapa pernyataan informan, ada kecenderungan dirinya memiliki makna kerja yang baik karena dipengaruhi oleh iman. Bekerja juga salah satu ungkapan iman yang sangat penting dan istimewa. Kejujuran dan rasa bersyukur subjek yang membuat subjek merasa siap untuk memasuki masa pensiun (Kristiadi, komunikasi pribadi, 5 Desember 2015). Membahas kinerja yang lainnya terlihat dari fenomena yang terjadi bahwa informan lainnya mengalami penurunan gairah kerja karena dirinya beranggapan bahwa dirinya sebentar lagi akan pensiun. Performansi kerja informan juga tidak begitu baik karena informan beranggapan bahwa tidak akan ada orang yang menilai dan menegur kinerjanya. Informan juga merasa kalah bersaing dengan pegawai-pegawai yang berusia muda karena keadaan fisik informan juga mempengaruhi kinerjanya (Gatot, komunikasi pribadi, 7 Desember 2015).

Dengan adanya kedua fenomena yang berbeda diatas bisa dikatakan bahwa ketika seseorang mempunyai motivasi kerja yang didasari pada semangat kerja akan menimbulkan performansi kerja yang baik menjelang pensiun. Sebaliknya jika semangat kerja pegawai menurun maka akan bisa menyebabkan menurunnya tingkat produktivitas kerja. Hal ini juga


(30)

didukung oleh Anoraga (1992) banyak asumsi dan hipotesis yang dibuat menyatakan bahwa dengan pemaknaan kerja yang tepat, maka produktivitas akan meningkat.

Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang mengalami kecemasan, maka akan mempengaruhi semangat kerja dan produktivitas kerja yang menurun (Yuliarti, 2014). Perusahaan perlu untuk menjaga semangat kerja pegawainya, terutama pada saat pegawai mengalami kecemasan menjelang pensiun. Kesiapan para pegawai negeri sipil dalam mengahadapi masa pensiun bergantung pada presepsi pegawai negeri sipil mengenai pensiun itu sendiri bagi kehidupan mereka. Maka dari itu untuk mengurangi permasalahan-permasalahan menjelang dan pasca pensiun pemerintah telah menyediakan program masa persiapan pensiun atau yang lebih sering dikenal dengan singkatan MPP (Masa Persiapan Pensiun) bagi pegawai negeri sipil yang akan memasuki masa pensiun.

Menurut Partini (2011), program pensiun merupakan penghargaan atau imbalan jasa dari pemerintah kepada karyawan yang telah berjasa dan membaktikan dirinya untuk bekerja selama bertahun-tahun. Pada tahap MPP karyawan diberikan program-program pelatihan untuk mempersiapkan masa pensiun (Rivai dalam Kadarisman, 2012). Adanya program MPP yang diterapkan di instansi BPN adalah dengan membebastugaskan pegawai yang 1 tahun kedepan akan pensiun dan tetap menerima gaji pokok. Fungsi dan kegunaan dari diadakannya program MPP di instansi BPN (Badan Pertanahan Nasional) adalah untuk memberikan keleluasaan kepada para pegawai yang


(31)

ingin mempersiapkan pensiun. Fenomena yang terjadi di instansi negeri BPN kebanyakan pegawai tidak mengambil MPP dan memilih untuk tetap bekerja di sisa-sisa waktu sebelum masuk masa pensiun. Hal ini dikarenakan, mereka memilih untuk menyelesaikan kewajiban dan tanggungjawab yang masih ada sebelum mereka pensiun. Selain itu, supaya mereka tetap beraktifitas sehari-harinya dan juga mendapat uang tambahan dari pekerjaan lapangan.

Pemilihan untuk tetap bekerja dengan giat walaupun sebentar lagi memasuki masa pensiun merupakan salah satu penerapan prinsip hidup agar terus berkembang untuk menentukan langkah hidup yang tepat kedepannya. Namun tanggungjawab untuk tetap bekerja masih ada meskipun berbagai masalah sering muncul. Konsekuensi dari perilaku tersebut ternyata tidak dapat menghentikan semangat subjek untuk tetap bekerja meskipun akan memasuki masa pensiun, hal ini mungkin dikarenakan subjek memegang makna kerja yang baik dalam kehidupannya. Selain itu, juga ada pegawai yang memilih untuk bekerja tetapi performansi kerja, semangat kerja, dan kinerjanya di perusahan menurun karena subjek mempunyai anggapan bahwa dirinya sudah tua dan kalah bersaing dengan pegawai yang lebih muda. Dengan adanya kedua peristiwa ini, kemudian menarik perhatian dan peneliti termotivasi untuk melihat pemaknaan kerja pegawai yang menjelang pensiun.


(32)

B. Rumusan Masalah

Sesuai latar belakang yang sudah ditulis, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah makna kerja pegawai negeri sipil yang menjelang pensiun yang tidak memanfaatkan program MPP?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk melihat pemaknaan kerja pegawai yang menjelang pensiun dan yang tidak memanfaatkan program MPP.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis:

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan teori baru bagi para akademisi dan peneliti selanjutnya. Berkaitan dengan bidang Psikologi Industri dan Organisasi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana para pekerja dengan pemaknaannya dalam konteks ini pegawai menjelang pensiun yang tidak memanfaatkan program MPP. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang apa makna pekerjaan pegawai yang menjelang pensiun.


(33)

2. Manfaat Praktis:

a. Bagi para pegawai dan keluarga pegawai yang memasuki masa menjelang pensiun: memberi gambaran tentang pentingnya masa persiapan pensiun.

b. Menambah wawasan dan sebagai bahan reflektif untuk melihat pemaknaan kerja informan yang menjelang pensiun.

c. Membantu informan penelitian untuk melihat semangat dan perfomansi kerjanya. Dengan begitu akan menumbuhkan motivasi kerja yang lebih baik lagi saat akan menjelang pensiun. Kemudian input yang didapat adalah informan sanggup memaknai pekerjaannya.

d. Mempersiapkan calon pensiunan untuk kehidupan yang lebih baik ketika memasuki masa pensiun.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Makna Kerja

1. Definisi Makna Kerja

Makna kerja adalah sekumpulan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, sikap, dan harapan yang orang-orang miliki dalam hubungannya dengan kerja (Gaggioti, dalam Siti 2013). Frankl (dalam Koeswara, 1992), menambahkan bahwa makna kerja bukan diperoleh dari pekerjaan itu sendiri, yang dipentingkan adalah bagaimana individu dapat menunjukkan keberaniannya dalam berekspresi, menunjukkan keunikannya dan keistimewaannya dalam bekerja sehingga ia bisa mendapatkan makna dan komitmen pribadi terhadap pekerjaannya dan menjadi lebih bertanggung jawab terhadap kehidupan pribadi dan kehidupan sesamanya.

Menurut peneliti PIO Wrzesniewski (dalam Laura, 2010) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya menemukan bahwa persepsi para pegawai terhadap pekerjaan mereka memiliki dampak yang dalam pada aspek penting pekerjaan mereka. Aspek penting tersebut yaitu

Pertama, bekerja sebagai sebuah pekerjaan. Pekerjaan dianggap sebagai pendapatan pokok dan sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan (seperti hobi atau menafkahi keluarga), dan ketika tidak memiliki pendapatan akan berhenti. Kedua, pekerjaan sebagai sebuah karir. Pekerjaan dipandang sebagai motivasi untuk berprestasi, stimulus


(35)

kebutuhan untuk bersaing, atau meningkatkan prestis dan kepuasan.

Ketiga, pekerjaan sebagai sebuah panggilan. Pekerjaan adalah sumber kebermaknaan diri. Individu yang memandang pekerjaan sebagai sebuah panggilan akan mengenali dan percaya bahwa pekerjaan yang mereka lakukan mampu memberikan kontribusi kepada lingkungan sosial atau pekerjaan sebagai sarana untuk melayani diri sendiri dan orang lain.

Wrzesniewski (2003) mempertegas bahwa makna kerja adalah pemahaman pegawai tentang apa yang dilakukan ditempat kerja sebagaimana signifikansinya terhadap apa yang benar-benar mereka lakukan.

Makna kerja menurut Singh (dalam Herudiati, 2013) merupakan penghayatan individu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dengan melakukan kegiatan bekerja dalam sebuah lingkungan kerja. Lebih lanjut dijelaskan oleh Chalofsky (dalam Herudiati, 2013), makna bekerja merupakan suatu kontribusi yang signifikan untuk menemukan tujuan hidup seseorang. Kondisi ini mendukung untuk melaksanakan pekerjaan dengan semangat kerja dan pandangan yang menjadi dasar spiritual seseorang dalam bekerja. Hal ini menekankan adanya kesesuaian tugas dengan motivasi diri dalam bekerja yang bertujuan untuk mendapatkan penghargaan atas hasil kerja.

Dari beberapa teori dan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa makna kerja tidak diperoleh dari pekerjaan itu sendiri. Memunculkan makna kerja dengan cara menunjukkan keberanian dalam berekspresi


(36)

sehingga individu bisa mendapatkan makna dan komitmen pribadi dan bisa bertanggungjawab terhadap kehidupan pribadi dan kehidupan sesamanya. Makna kerja juga mencangkup kepercayaan kita tentang nilai-nilai, keyakinan, dan sikap yang seseorang miliki dalam hubungannya dengan kerja dan tindakan yang individu tunjukkan sehari-hari dalam lingkungan kerja. Makna kerja juga bisa di hayati sebagai pemenuhan untuk menemukan tujuan hidup seseorang yang didasari oleh spiritualitas.

2. Sumber Makna Kerja

Menurut Rosso, dkk (2010) sumber-sumber makna kerja mempunyai variasi dan faktor yang mempengaruhi persepsi makna dan pemaknaan, mulai dari sikap individu terhadap nilai organisasi hingga hubungan spiritual. Salah satu cara berpikir tentang faktor-faktor yang berbeda-beda adalah bahwa mereka semua sumber potensi makna dan kebermaknaan dalam pekerjaan. Di bawah ini adalah macam-macam sumber makna kerja:

a. Diri Sendiri

1) Nilai Nilai / value adalah komponen pembentukan bagaimana pekerjaan menjadi meaningful. Nilai kerja itu adalah tahapan terahkir seseorang dalam menginginkan dan merasakan dirinya seharusnya mampu menyadari saat-saat individu bekerja. Nilai kerja terbentuk dari pengalaman kerja, berkesinambungan dengan


(37)

makna kerja. Dari penelitian yang ada, individu cenderung memilih pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai personalnya.

2) Motivasi Motivasi seseorang dalam bekerja secara otomatis akan mempengaruhi pemaknaan kerja seseorang saat melakukan aktifitas kerja. Hal ini disebabkan oleh sumber terbentuknya makna kerja salah satunya adalah motivasi dari dalam diri. Mendefinisikan motivasi kerja sebagai derajat dimana seseorang mengalami perasaan yang positif saat bekerja dengan efektif. Ketika seseorang mengalami suatu hal yang disebut kebermaknaan dalam bekerja (meaningfulness of work), hal ini dapat menjadi hal yang penting dalam perkembangan motivasi kerja. Dengan kata lain, ketika seseorang merasa bahwa bekerja sebagai sesuatu yang bermakna maka motivasi kerja akan tumbuh, sehingga orang tersebut dapat memaknai kerja dan muncullah makna kerja bagi dirinya.

3) Kepercayaan  Keterlibatan pekerjaan membangun meneliti sejauh mana karyawan percaya pekerjaan mereka adalah pusat untuk hidup mereka, dan mencerminkan keselarasan antara kebutuhan seseorang dan persepsi bahwa pekerjaan dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu keterlibatan kerja memberikan ukuran kekuatan identifikasi psikologis karyawan dengan pekerjaan mereka. Semakin terlibat satu dengan pekerjaan, semakin sulit adalah untuk memisahkan diri sendiri atau harga diri


(38)

seseorang dari pekerjaan itu, membuat pekerjaan yang lebih berarti.

b. Orang lain

1) Pegawai selevel  Dekat dengan teman sekerja memberi dampak positif terhadap persepsi makna kerja. Dekat dengan teman sekerja bisa menjadi tahu bagaimana dia berpikir dan berbuat.

2) Pemimpin  Pandangan pemimpin tentang tujuan dari visi misi perusahaan harus ditularkan kepada pekerja yang lainnya atau bawahan.

3) Komunitas/grup  Hubungan antar pekerja dalam satu tim kerja dan jumlah pekerja dalam tim kerja secara teoritis dan empiris berhubungan dengan makna kerja.

4) Keluarga  Menjelaskan cara dimana keluarga bisa mempengaruhi makna pekerjaan. Pertama, keluarga dapat meletakkan beban pada pekerjaan seseorang melalui tuntutan waktu, energi, dan sumber daya ekonomi. Secara khusus, sebagai tuntutan dari meningkatnya keuangan keluarga, imbalan ekonomi menjadi lebih menonjol dan untuk mengambil pekerjaan cenderung lebih dari makna ekonomi. Keluarga juga dapat meningkatkan makna positif dari pekerjaan dengan menawarkan lingkungan yang mendukung dan santai di mana seseorang dapat pulih dari tuntutan pekerjaan. Keluarga dapat mendukung dengan cara mengungkapkan kekaguman, rasa hormat, dan cinta.


(39)

c. Konteks Pekerjaan

1) Desain Pekerjaan Sebuah pekerjaan dapat didefinisikan sebagai kumpulan elemen-elemen kerja yang dikelompokkan dalam 1 job title dan didesain untuk ditunjukkan oleh seseorang. Di antara pengetahuan bidang organisasi yang paling awal dan terkenal mengenai model eksplisitas, kebermaknaan (meaningfullness) dalam hubungan dengan anteseden-anteseden lainnya yang penting dan suatu hasil adalah penelitian dari desain kerja. Dalam model karakteristik kerja milik Hackman dan Oldham, mengatakan bahwa karakteristik kerja (jobdesk) yang spesifik dapat menentukan kebermaknaan kerja yang telah dialami tersebut. Faktanya, pekerjaan menjadikan seseorang memiliki otonomi pada level yang lebih tinggi, keberagaman skill, identitas pekerjaan, dan signifikansi kerja yang arahnya pada kebermaknaan kerja yang telah dialami. Hasilnya, seseorang mendapatkan kontribusi positif pada motivasi, performansi, dan kepuasan dari pekerjaannya. Secara proaktif mendesain/ mendesain ulang perkerjaannya dan batasan relasi dalam pekerjaannya dengan tujuan untuk membentuk makna kerja mereka. Penelitian mengenai keahlian kerja menekankan bahwa perantara/agen dilatih oleh pegawai dalam membentuk makna pekerjaan mereka dengan secara aktif menciptakan pekerjaan dan lingkungan sosial mereka menjadi cocok dengan tujuan, kemampuan, dan nilai-nilai pribadi mereka.


(40)

2) Misi Organisasi Organisasi kerja adalah situs penting makna dan kebermaknaan kerja, dan misi dari organisasi memainkan peran penting dalam bagaimana karyawan menginterpretasikan kerja. Misi organisasi adalah representasi dari dasar tujuan, nilai-nilai, dan tujuan untuk sebuah organisasi yang didedikasikan. Arti peneliti pekerjaan telah mengusulkan bahwa misi organisasi berfungsi sebagai sumber makna sejauh karyawan merasa keselarasan antara nilai-nilai inti mereka dan ideologi dan orang-orang dari organisasi mereka. Meskipun kesesuaian yang dirasakan dapat memberikan makna positif bagi karyawan, makna yang mendalam melekat pada misi organisasi dan ideologi juga bisa menjadi pedang bermata dua, karena organisasi yang membentuk kontrak psikologis dengan karyawan atas dasar misi atau ideologi mungkin menghadapi reaksi negatif jika mereka dianggap melanggar misi.

3) Keuangan Penelitian ini menekankan pentingnya insentif keuangan untuk motivasi individu untuk bekerja dan makna mereka membuat pekerjaan mereka. Penelitian telah menunjukkan bahwa bagi mereka yang memiliki pendapatan yang tidak memadai, nilai ekonomi dari pekerjaan menjadi lebih menonjol. Dengan kata lain, karyawan dengan kebutuhan keuangan yang lebih besar akan lebih fokus pada nilai ekonomi pekerjaan daripada karyawan lainnya, karena mereka tidak memiliki kemewahan.


(41)

Penelitian lain berpendapat bahwa kemiskinan adalah ''situasi kuat 'klasik' yang dapat membatasi makna dapat ditemukan dalam pekerjaan. Dengan demikian, ketika individu mengalami kesulitan ekonomi, cenderung menekankan nilai laten (tersembunyi) kerja dalam mendukung nilai nyata pekerjaan.

4) Domain-domain non-pekerjaan Dalam hal ini, individu berusaha untuk membuat lingkungan kerjanya menjadi mirip seperti hobi dan kegiatan-kegiatan sosial yang individu sukai.

5) Budaya Pekerjaan Meaning of work disosialisasikan atau disebarluaskan oleh lingkungan budaya seseorang. Variasi pada makna kerja di antara budaya-budaya meskipun banyak variasi, tetapi memiliki pola bahwa bekerja merupakan fenomena yang kompleks pada setiap negara dan mempengaruhi pandangannya terhadap kehidupan bekerja.

d. Kehidupan Spiritual dan Makna Kerja

1) Spiritualitas Dalam hal ini, spiritualitas sebagai sumber kebermaknaan berbagi kesamaan dengan sumber-sumber lain, seperti hubungan interpersonal dan konteks budaya, di mana hasil kebermaknaan menghubungkan keentitas diluar diri. Beberapa ahli mempunyai teori tentang hubungan antara spiritualitas dan makna pekerjaan gema teori berpengaruh Victor Frankl, berpikir positif bahwa melalui hidup untuk dan mencari setelah itu yang berada di


(42)

luar diri manusia yang menemukan makna dan tujuan hidup dan bekerja. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan spiritual memandang pekerjaan mereka berbeda dari karyawan non-spiritual, melihat perilaku pekerjaan mereka dalam hal spiritual peduli, layanan, dan transendensi. Oleh karena itu, ketika karyawan merasa pekerjaan dalam cahaya spiritual, pekerjaan mereka cenderung mengambil sensasi yang lebih bermakna.

3. Aspek-Aspek Makna Kerja

Wrzesniewski, dkk (dalam Herudiati, 2013) secara sederhana menguraikan bahwa dalam memahami makna kerja terdapat tiga aspek yang terkandung didalamnya, yaitu: makna kerja itu sendiri (job meaning at work), peranan pekerjaan (role meaning at work), dan self meaning at work. Job meaning at work adalah karakteristik tugas dan aktivitas yang dilakukan dalam bekerja. Sementara role meaning adalah karakteristik dari peran yang dilakukan karyawan dalam bekerja. Self meaning yaitu pemahaman diri karyawan akan pekerjaan yang tergambar ketika karyawan melakukan proses kerja.

Weisskopf & Joelson (dalam Morin, 2008) mendefinisikan makna kerja dengan tiga komponen, yang pertama, signifikansi antara nilai kerja dalam pandangan subjek dan definisi atau representasi mengenai pekerjaannya. Kedua, arah dan orientasi kerja informan, apa yang ia cari dalam pekerjaan dan tujuan yang membimbing tindakannya. Ketiga, efek


(43)

yang dihasilkan dari koherensi antara informan dan pekerjaan yang ia tunjukkan, antara ekspektasi, nilai, dan tindakan yang ia tunjukkan sehari-hari dalam lingkungan kerja.

Ditambahkan lagi oleh Morin (2004) bahwa makna kerja mempunyai tiga aspek penting dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari seorang pegawai:

1. Signifikansi makna kerja, pentingnya kerja dapat dilihat dari banyaknya waktu yang orang berikan untuk bekerja, ingin mencapai tujuan tertentu, dan bekerja memiliki hubungan yang erat dengan aspek hidup sehari-hari seperti keluarga, waktu luang, agama, dan komunitas.

2. Arah adalah orientasi atau kecenderungan seseorang terhadap kerja, apa yang subjek cari dalam bekerja, dan keinginan-keinginan yang menuntun aksi subjek. Super dan Sverko (1995) menemukan 5 orientasi terbesar pada nilai kerja, yaitu otonomi, kemajuan sosial, pencapaian diri, interaksi sosial, dan pengambilan resiko.

3. Koherensi adalah efek dari hubungan antara subjek dan pekerjaan yang dilakukannya, antara harapan, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan di tempat kerja sehari-hari, sehingga tingkat keseimbangan dapat dicapai dalam relasinya dengan pekerjaan.


(44)

Menurut MOW- International Research Team pada tahun 1987 (dalam Harpaz, 2002) menggambarkan makna kerja dalam beberapa dimensi, yaitu Sentralisasi Kerja, adalah aspek yang paling mendasar, dominan, dan paling penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan bekerja memiliki porsi yang lebih banyak dalam kehidupan seseorang dibanding yang lainnya. Individu dengan sentralisasi kerja yang tinggi juga memiliki komitmen kerja yang tinggi pula. Hal ini dilakukan demi mencapai tujuan dan kepuasan dari pekerjaan mereka.

Hak dan Kewajiban, norma hak adalah Individu memiliki hak dasar dan tanggungjawab pribadi dan sosial terhadap komitmen kerja sesuai dengan jenis pekerjaan. Sebaliknya, norma kewajiban merupakan tugas individu untuk ikut ambil bagaian dalam memberikan kontribusi pada organisasi dan masyarakat. Tampaknya bahwa jika masyarakat umumnya memegang norma dan sikap terhadap kerja yang positif, maka pekerjaan akan cenderung menjadi pusat dan sangat dihargai.

Orientasi Instrumental, konsep ini mengasumsikan bahwa orang bekerja terutama termotivasi untuk memperoleh aspek instrumental atau aspek ekonomi dari konteks pekerjaan mereka. Ini adalah peran paling penting dari pekerjaan di mana orang mengidentifikasi bahwa memberikan penghasilan untuk menopang kehidupan dan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian, tampaknya bahwa orang-orang dengan kecenderungan tinggi terhadap nilai-nilai ekonomi yang menganggap pekerjaan sebagai


(45)

alat utama untuk memberikan pendapatan. Dengan adanya penghargaan, ini bisa menjadi sebuah alat untuk meningkatkan motivasi kerja individu.

Orientasi Intrisik, konsep ini menekankan kebutuhan individu, termasuk evaluasi kompetensi individu dan ketertarikan terhadap pekerjaan yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dimotivasi oleh perasaan ingin mengaktualisasikan diri.

Relasi Interpersonal, manusia adalah mahkluk sosial dan adanya interaksi antar manusia bisa menjadi penting untuk peningkatan kesehatan mental mereka dan meningkatkan makna hidup dalam diri mereka.

Dari aspek-aspek makna kerja yang sudah tercantum diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang mendasari individu dalam memaknai pekerjaannya yaitu bagaimana individu menganggap pentingnya sebuah pekerjaan dilihat dari banyaknya waktu yang diluangkan untuk pekerjaannya. Selain itu pekerjaan bisa dilihat dari dimensi kerja, bahwa bekerja sebagai alat untuk membangun relasi sosial, pekerjaan memiliki porsi yang besar dalam diri seseorang, sebagai alat pemenuhan pada segi ekonomi, dan sebagai alat untuk aktualisasi diri, peningkatkan makna hidup seseorang, dan kerja dipandang sebagai pemenuhan hak dan kewajiban sebagai manusia.


(46)

B. Menjelang Pensiun 1. Pengertian Pensiun

Kata pensiun dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991) diartikan sebagai pegawai yang sudah tidak bekerja lagi karena dirasa sudah tua dan mendapatkan uang pensiunan.

Atchley (dalam Erber, 2005) mendefinisikan pensiun sebagai konsep yang luas. Pada tingkat masyarakat, pensiun adalah lembaga sosial dengan aturan tentang kapan pekerja diperbolehkan untuk meninggalkan angkatan kerja. Pada tingkat individu, pensiun merupakan transisi ke tahap kehidupan yang tidak lagi diperlukan. Pernyataan ini didukung oleh Fandy (2013) yang mengatakan bahwa pensiun dapat diartikan sebagai keadaan individu yang telah berhenti bekerjayang menjadi kebiasaan atau aktivitas aktivitas yang harus dilakukan sehari hari. Tiap individu yang sudah tidak bekerja lagi disebut sebagai pensiunan. Individu yang memasuki masa pensiun sering dianggap sebagai individu yang tuna karya (tidak dibutuhkan lagi tenaga dan pikirannya).

Menurut Santi & Mu’in (2013) pensiun adalah salah satu titik balik yang signifikan dalam karir seseorang selama hidup bagi mayoritas orang dewasa yang telah menghabiskan seluruh atau sebagian besar hidupnya untuk bekerja. Jika seseorang mampu secara bertahap menarik diri dari peran pekerjaannya, mencari aktivitas pengganti, mempertahankan keberlanjutan aktivitas dalam kehidupan barunya dan dapat mengaktualisasikan apa yang menjadi peran baru yang akan disandangnya


(47)

maka akan terhindar dari masalah psikologis seperti kecemasan. Tarigan (2009) menambahkan bahwa karakteristik pegawai yang akan menghadapi pensiun biasanya mengalami berbagai masalah, antara lain merasa cemas, merasa diri tidak berguna, dan memiliki status ekonomi yang belum mapan.

Menurut BKN (Badan Kepegawaian Negara) tertulis adanya peraturan wajib pensiun PNS tertera dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, ditentukan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun, yaitu:

1. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi 2. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi

3. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat fungsional.

Menjelang pensiun para pegawai akan memasuki tahap Masa Persiapan Pensiun (MPP). Masa Persiapan Pensiun PNS yang akan mencapai Batas Usia Pensiun (BUP) dapat dibebaskan dari jabatannya untuk paling lama 1 (satu) tahun, dengan mendapat penghasilan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kecuali tunjangan jabatan. MPP dapat diambil penuh 1 tahun atau sebagian sesuai dengan keinginan/kebutuhan PNS.

Partini (2011) juga mendukung bahwa batas usia pensiun adalah batasan yang dibuat oleh pemerintah untuk memberikan kesempatan


(48)

pegawainya agar bisa menikmati kehidupan di hari tuanya dengan penuh suka cita. Pensiun bukan batas dari segala kegiatan seseorang. Orang yang telah pensiun dapat melakukan berbagai kegiatan, baik yang berorientasi pada kegiatan sosial, keagamaan, maupun yang bersifat ekonomis produktif dapat dilakukan dengan baik.

Dari beberapa teori-teori dan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pensiun adalah pegawai yang tidak bisa bekerja lagi karena adanya batasan umur maksimal yang sudah ditentukan oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan pensiunan mengalami penurunan finansial, kesehatan, dan aktivitas. Selain itu, orang yang sudah memasuki tahap pensiun bukan berarti mereka tidak bisa berkarya lagi. Pensiunan dapat melakukan berbagai kegiatan yang mereka senangi untuk mengisi waktu luang dan menjaga tubuh agar tetap beraktivitas, supaya kesehatan fisik dan psikis tetap stabil.

C. Makna Kerja Pegawai yang Menjelang Pensiun dan Tidak Memanfaatkan Program MPP.

Tarigan (2009) mengatakan karakteristik pegawai yang akan menghadapi pensiun biasanya mengalami berbagai masalah, antara lain merasa cemas, merasa diri tidak berguna, dan gelisah terutama berkaitan dengan berkurangnya pendapatan. Selain itu, menurut Eyde (dalam Eliana, 2003) ketika masa pensiun tiba seseorang juga akan mengalami beberapa perubahan dalam hidupnya seperti seseorang akan kehilangan peran sosialnya


(49)

di masyarakat, prestise, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri akan berubah juga karena kehilangan peran. Bentuk-bentuk gangguan psikologis dan kecemasan yang timbul inilah yang mengakibatkan motivasi kerja pegawai yang menjelang pensiun menurun dan akan mempengaruhi performansi dan produktivitas kerjanya. Hal ini didukung oleh Nawawi (dalam Yuliarti, 2014) yang mengatakan bahwa seseorang biasanya mengalami penurunan semangat kerja bila seseorang tersebut akan menjelang pensiun. Sebaliknya, ketika seseorang pegawai yang mempunyai semangat kerja tinggi akan selalu memberikan sikap positif kepada pekerjaan dan juga lingkungan kerjanya (Djui dalam Yuliarti, 2014). Motivasi seseorang dalam bekerja secara otomatis akan mempengaruhi semangat dan pemaknaan kerja seseorang saat melakukan aktifitas kerja. Hal ini disebabkan oleh sumber terbentuknya makna kerja salah satunya adalah motivasi dari dalam diri (Rosso et all, 2010). Sedangkan Hackman & Oldham, dalam Rosso, et all (2010) mendukung bahwa ketika seseorang mengalami suatu hal yang disebut kebermaknaan dalam bekerja (meaningfulness of work), hal ini dapat menjadi hal yang penting dalam perkembangan motivasi kerja. Dengan kata lain, ketika seseorang merasa bahwa bekerja sebagai sesuatu yang bermakna maka motivasi kerja akan tumbuh, sehingga orang tersebut dapat memaknai kerja dan muncullah makna kerja bagi dirinya.

Memunculkan makna kerja dibutuhkan keberanian dalam berekspresi sehingga individu bisa mendapatkan makna dan komitmen pribadi dan bisa bertanggungjawab terhadap kehidupan pribadi dan kehidupan sesamanya.


(50)

Makna kerja juga mencangkup kepercayaan kita tentang nilai-nilai, keyakinan, dan sikap yang seseorang miliki dalam hubungannya dengan kerja dan tindakan yang individu tunjukkan sehari-hari dalam lingkungan kerja. Makna kerja juga bisa di hayati sebagai pemenuhan untuk menemukan tujuan hidup seseorang yang didasari oleh spiritualitas. Makna kerja timbul dari penilaian subjektif setiap individu.

Pada studi ini berfokus ingin melihat dan mengetahui makna kerja pada pegawai yang menjelang pensiun yang tidak memanfaatkan program MPP. Informan pada penelitian ini adalah yang tidak memanfaatkan program MPP dan memilih untuk tetap bekerja. Subjek memilih untuk tetap bekerja karena adanya tanggungjawab yang harus diselesaikan, memenuhi kebutuhan finansial, dan agar bisa terus beraktivitas dan bersosialisasi.


(51)

(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif digunakan supaya pengambilan keputusan dan penggalian informasi lebih dalam. Penelitian kualitatif menurut Moeleong (2008) adalah penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus. Definisi ini hanya berbicara mengenai dua aspek, yakni sifat penelitian yang naturalistik, serta upaya dan tujuannya untuk memahami suatu fenomena dalam konteks khusus. Kemudian menurut Smith (2013) penelitian fenomenologi bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan sebisa mungkin penelitian mempertahankan fenomena dan konteksnya yang ada. Dengan adanya teori diatas, peneliti memilih untuk menggunakan metode kualitatif dengan alasan karena metode kualitatif ini sangat baik digunakan untuk menggali sebuah makna, arti, dan pengalaman-pengalaman pada diri seseorang yang pernah atau sedang dialami. Selain itu, dengan menggunakan metode ini, peneliti akan cenderung mendapatkan hasil yang asli atau original dari informan penelitian.

Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan metode analisis fenomenologi interpretatif. Analisis fenomenologi interpretatif adalah


(53)

pendekatan penelitian kualitatif yang berkomitmen untuk memeriksa bagaimana orang memaknai pengalaman besar dalam hidup mereka. Analisis fenomenologi interpretatif adalah fenomenologis dalam hal itu berkaitan dengan mengeksplorasi pengalaman dalam diri sendiri (Smith, 2013).

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini terletak pada upaya untuk menggali makna kerja pada para pegawai yang menjelang pensiun yang tidak memanfaatkan program MPP. Ketika para informan sadar akan pentingnya makna kerja mereka, motivasi dan komitmen kerja mereka cenderung akan meningkat walaupun sebentar lagi akan pensiun.

C. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini sebanyak dua orang pegawai. Pemilihan kedua informan tersebut menggunakan criterion sampling, yaitu cara penentuan informan berdasarkan kriteria tertentu yang disusun oleh peneliti. Pada penelitian ini, informan penelitian yang digunakan adalah pegawai yang menjelang pensiun dan tidak memanfaatkan program MPP. Selain itu kriteria informan adalah yang sedang memasuki fase dekat atau the near phase, yaitu pegawai yang 1 atau 2 tahun lagi menjelang pensiun dan berada pada rentang usia 56-57 tahun.

Panggilan untuk narasumber pada penelitian ini menggunakan kata ganti “informan”. Peneliti memilih “informan” karena lebih cocok digunakan


(54)

untuk seseorang yang memberikan informasi dan perspektif yang terjadi dalam keterlibatanya dipenelitian ini. Neuman (2006) berpendapat bahwa informan yang ideal adalah informan yang memiliki:

1. Informan yang ideal adalah informan yang familiar dan memiliki pengalaman yang luas terhadap penelitian yang akan dilakukan.

2. Informan yang ideal adalah informan yang masih hidup dan masih berada ditengah-tengah konteks yang akan diteliti saat ini.

3. Informan yang ideal adalah informan yang mampu memberikan waktunya pada peneliti untuk melakukan aktifitas wawancara yang berkaitan dengan penelitian.

Karakteristik tersebut perlu dicapai untuk memperoleh penelitian yang masih here and now dialami informan atau segar dialami informan, bukan sebaliknya menjadi informasi yang ‘diingat-ingat kembali’ sehingga informasi yang diberikan sudah direkonstruksi dan bukan informasi yang valid.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data haruslah sesuai dengan kebutuhan analisis data. Smith (2013) mengungkapkan bahwa para peneliti yang menggunakan Analisis Fenomenologi Interpretatif (AFI) bertujuan untuk menganalisis secara terperinci bagaimana para informan memahami dan memaknai hal-hal yang terjadi pada diri mereka. Sasaran utama penelitian AFI adalah makna berbagai pengalaman, peristiwa, status yang dimiliki oleh


(55)

informan. Dengan kata lain, AFI merupakan pendekatan yang berusaha untuk mengetahui bagaimana individu mempersepsi situasi-situasi tertentu yang dihadapinya, serta bagaimana mereka membuat pemahaman terhadap dunia personal dan sosialnya. Untuk itu dibutuhkan sarana pengumpulan data yang luwes. Meskipun terdapat beberapa cara yang cocok digunakan untuk mengumpulkan data AFI, misalnya catatan pribadi dan buku harian, peneliti memilih menggunakan teknik wawancara semi terstruktur.

Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk munculnya hubungan baik antara peneliti dan informan, memungkinkan fleksibilitas yang besar dalam hal cakupan wilayah wawancara, dan memungkinkan wawancara masuk ke dalam wilayah-wilayah yang benar-benar baru dan cenderung akan menghasilkan data yang lebih kaya. Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Sebelum melakukan wawancara peneliti membuat panduan pertanyaan yang akan digunakan dalam pengambilan data (Smith, 2013).

Berikut adalah tahap dalam proses melakukan wawancara:

1. Mencari informan dengan criteria yang sudah ditentukan untuk menjadi narasumber penelitian.

2. Membuat jadwal wawancara sesuai dengan kesepakatan antara informan dan peneliti.


(56)

3. Melakukan perkenalan, rapport, memberitahukan tujuan penelitian, dan memastikan bahwa informan bersedia untuk diwawancarai sebagai narasumber.

4. Melakukan kegiatan wawancara.

Penelitian menggunakan digital recorder untuk memudahkan pengambilan data dan disalin menjadi transkrip wawancara.

Tabel 1

Panduan Pertanyaan Wawancara

No Pertanyaan Tujuan Pertanyaan I. Kondisi Individu Menjelang Pensiun

1. Bagaimana kondisi kesehatan anda sekarang?

Mengetahui kondisi kesehatan informan saat menjelang pensiun. 2. Kondisi fisik seperti apa yang

anda rasakan saat akan menghadapi masa pensiun?

3. Kondisi psikis seperti apa yang anda rasakan saat akan menghadapi masa pensiun?

4. Apakah saat akan menjelang pensiun ini anda mengalami kecemasan?

Ingin mengetahui informan mengalami kecemasan atau tidak.


(57)

mengetahui sebentar lagi akan pensiun?

menyangkut karirnya yang sebentar lagi akan pensiun.

6. Bagaimana anda mempersiapkan masa pensiun yang sebentar lagi akan datang?

Melihat sejauh mana informan mempersiapkan masa pensiunnya.

II. Arti Kerja

7. Bisakah anda menceritakan mengapa anda memilih pekerjaan ini?

Mengetahui alasan informan memilih pekerjaan yang dilakukannya sekarang.

8. Bisakah anda mendeskripsikan tugas dan pekerjaan anda di kantor?

Mengetahui deskripsi kerja dan tugas informan saat dikantor.

9. Seberapa penting pekerjaan ini untuk anda?

Ingin mengetahui pentingnya pekerjaan menurut informan. 10. Bisakah anda menceritakan arti

kerja menurut anda?

Mengetahui arti bekerja menurut informan.

III. Sentralisasi Kerja 11. Sudah berapa lama anda bekerja

dibidang anda saat ini? Dan ceritakan pengalaman senang maupun susah selama anda bekerja.

Mengetahui durasi kerja informan dan untuk melihat pengalaman kerja informan.


(58)

motivasi terbesar anda, mengapa anda tetap memilih untuk tetap bekerja?

informan tetap bekerja.

IV. Nilai-nilai Kerja 13. Apa yang ingin anda dapatkan dari

pekerjaan anda?

Mengetahui tujuan informan bekerja.

14. Bisakah anda ceritakan, nilai-nilai kerja apa sajakah yang anda miliki?

Mengetahui nilai-nilai kerja yang dimiliki oleh informan.

V. Koherensi

15. Bisakah anda menceritakan bagaimana sikap anda terhadap pekerjaan yang anda lakukan?

Untuk mengetahui perilaku atau cara informan menyikapi pekerjaannya.

16. Apakah sikap anda saat bekerja sama dengan sikap anda dalam kehidupan keluarga dan masyarakat? Bisakah anda menceritakannya?

Mengetahui adakah perbedaan sikap pada informan saat bekerja dan pada saat ada di lingkungan keluarga masyarakat.

VI. Hak dan Kewajiban

17. Menurut anda apakah pekerjaan anda dihargai oleh masyarakat dan lingkungan sekitar anda?

Tujuannya untuk mengetahui pekerjaannya menimbulkan prestis dan dihargai masyarakat atau tidak.


(59)

18. Bagaimana cara mereka menghargai pekerjaan anda?

Untuk mengetahui cara masyarakat mengapresiasi pekerjaan informan.

19. Bisakah anda menceritakan hal apa sajakah yang sudah anda lakukan untuk memenuhi hak dan kewajiban anda sebagai pegawai?

Mengetahui hal-hal apa sajakah yang sudah dilakukan untuk memenuhi hak dan kewajiban informan.

VII. Orientasi Instrumental 20. Sebentar lagi anda akan pensiun,

cara-cara apa sajakah yang sudah anda persiapkan untuk tetap memiliki penghasilan? Agar mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Mengetahui perencanaan kegiatan informan ketika pension, agar keadaan perekonomian keluarga informan tetap stabil.

21. Seberapa besar uang/gaji menjadi alasan anda untuk bekerja?

Mengetahui alasan informan dari segi upah yang diberikan

22. Seberapa besar uang/gaji menjadi alasan anda untuk tetap bekerja?

Mengetahui apakah informan termotivasi oleh upah yang diberikan atau tidak.

VIII. Orientasi Intrinsik 23. Termotivasikah anda ketika

mendapat pekerjaan yang tingkat kesulitannya tinggi?

Mengetahui kesanggupan dan motivasi informan dalam menyelesaikan tugas yang sulit.


(60)

24. Bagaimana cara anda untuk mencapai aktualisasi diri lewat pekerjaan anda?

Untuk mengetahui cara yang ditempuh informan ketika akan mengaktualisasikan diri lewat pekerjaannya.

IX. Relasi Interpersonal 25. Bagaimana lingkungan merespon

pekerjaan yang anda lakukan?

Mengetahui respon lingkungan atas pekerjaan informan.

26. Bagaimana cara keluarga mendukung pekerjaan yang anda lakukan?

Untuk mengetahui dukungan yang seperti apa yang diberikan oleh keluarga untuk informan.

E. Proses Pengunpulan Data

Penelitian ini diawali dengan mencari informan yang sesuai dengan kriteria, yakni pegawai negeri sipil pada instansi yang bergerak dalam bidang pertanahan atau biasa disebut BPN (Badan Pertanahan Nasional). Untuk mendapatkan informan penelitian, peneliti mengkonsultasikan pada dosen pembimbing dan membahas kriteria informan yang dibutuhkan. Selain itu, peneliti mengandalkan orang terdekat untuk meminta alamat dan nomor telepon calon informan dengan tujuan untuk melakukan pendekatan personal. Peneliti mencari informan dengan cara langsung menghubungi secara personal calon informan yang bersedia untuk menjadi narasumber agar terjalin kedekatan antara peneliti dan informan.


(61)

Setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing skripsi, dapat diputuskan bahwa penelitian ini menggunakan dua informan dan pada masing- masing informan ditambahkan dua significant others. Significant others terdiri dari atasan dan rekan kerja informan. Keterbatasan waktu penelitian menjadi pertimbangan dalam menentukan julmah informan. Kemudian setelah mendapatkan kedua informan dan significant others, peneliti membuat jadwal untuk melakukan sesi wawancara bersama masing-masing informan dan significant othersnya.

Pelaksanaan wawancara dilakukan di rumah masing-masing informan. Pemilihan tempat untuk melakukan kegiatan wawancara ini didasari alasan agar informan nyaman saat melakukan proses wawancara karena berada di rumahnya sendiri. Hal ini juga dapat menunjang keterbukaan informan saat wawancara. Proses wawancara setiap informan di awali dengan

rapport, perkenalan, penjelasan tujuan penelitian, memastikan informan paham dengan tujuan penelitian ini, dan juga memastikan informan bersedia untuk menjadi informan dan bersedia menyampaikan atau berbagi informasi untuk digunakan dalam penelitian ini.


(62)

Tabel 2

Waktu Pelaksanaan Wawancara

Informan 1 (Inisial: W)

No. Tanggal Waktu Lokasi Kegiatan

1.

26 Agustus 2016

15.00 – 18.00

Rumah Informan Pembangunan Rapport 2. 28 Agustus 2016

15.00 - 18.00

Rumah informan

Wawancara Pengumpulan

Data

Informan 2 (Inisial: U)

No. Tanggal Waktu Lokasi Kegiatan

1.

15 September 2016

16.00 – 18.00

Rumah Informan Pembangunan Rapport 2. 18 September 2016

10.00 - 13.00

Rumah informan

Wawancara Pengumpulan


(63)

Significant Others Informan 2 (Inisial: U)

No. Inisial Tanggal Waktu Lokasi Kegiatan

1. AR

29 November 2016 08.00 - 10.00 Ruang kantor. Wawancara Pengambilan Data

2. N

16 Oktober 2016 11.00 - 12.00 Rumah informan Wawancara Pengambilan Data

Significant Others Informan 1 (Inisial: W)

No. Inisial Tanggal Waktu Lokasi Kegiatan

1. A

10 November 2016 10.00 - 13.00 Kantin kantor. Wawancara Pengambilan Data

2. WK

28 November 2016 10.00 - 13.00 Rumah informan. Wawancara Pengambilan Data


(64)

F. Metode Analisis Data

Tujuan dari analisis fenomenologi interpretatif adalah hendak mengungkapkan secara detail bagaimana informan memaknai duniannya dan dunia sosialnya (Smith, 2009). Tahap-tahap proses dalam analisis fenomenologi interpretatif adalah sebagai berikut:

1. Mencari Tema-tema dalam Informan Pertama

Mencari tema-tema pada informan pertama ini dengan cara membaca transkrip wawancara secara berulang-ulang kali. Dilampirkan keterangan terhadap apa yang menarik atau bermakna mengenai informasi yang dikatakan informan. Dalam analisis tahap pertama, penting untuk membaca berulang kali transkrip dengan cermat, dengan maksud agar bisa memahami tulisan tersebut. Kemudian kembali lagi ke awal transkrip, kemudian menambahkan judul-judul tema yang muncul. Di sini, catatan-catatan awal ditransformasikan menjadi ungkapan-ungkapan singkat yang digunakan untuk melihat kualitas isi. Tema-tema tersebut memunculkan istilah-istilah psikologis yang lebih beragam (Smith, 2009).

2. Mengaitkan Tema-tema yang Ada

Tema-tema yang muncul akan diurutkan secara kronologis. Setelah itu, tahap berikutnya berupa pengurutan yang lebih bersifat analitis atau teoritis, dengan tujuan untuk menemukan hubungan antar yang ada. Setelah pengelompokan tema dilakukan, tahap berikutnya


(65)

dilakukan pemeriksaan kembali pada transkrip. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan adanya hubungan antara materi dari sumber primer, yaitu kata-kata yang diucapkan langsung oleh informan dan teori yang ada.

3. Melanjutkan Analisis dengan Informan yang lainnya.

Tema-tema yang sudah dirangkum pada informan pertama, kemudian digunakan untuk menganalisis informan berikutnya. Saat memproses analisis informan berikutnya pasti akan muncul tema-tema yang sama pada setiap informan dan ada juga tema-tema yang berbeda dan memiliki ciri khas yang berbeda dari masing-masing informan.

G. Kredibilitas Penelitian

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh validitas peneliti menggunakan prisnsip ketelitian, transparansi, dan koherensi (Yardley dalam Smith, 2009). Prinsip ketelitian mengacu pada kehati-hatian peneliti, dalam artian ketepatan atau kelayakan sampel pertanyaan dan kesempurnaan analisis yang dilakukan. Prinsip transparansi dan koherensi mengacu pada seberapa jelas tahapan-tahapan proses riset akan dijabarkan dalam laporan penelitian. Dalam hal ini, transparansi dapat dijaga dengan cara melakukan deskripsi cermat mengenai bagaimana para informan dipilih, bagaimana jadwal wawancara dibuat dan dilaksanakan, serta langkah-langkah yang akan diterapkan dalam analisis.


(66)

Konsep validitas dalam penelitian kualitatif biasa disebut sebagai kredibilitas. Kredibilitas adalah hal yang penting ketika mempertanyakan kualitas suatu penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dikatakan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi terletak pada keberhasilan studi tersebut mencapai tujuannya dalam mengeksplorasi dan menggali masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks. Guba dan Lincoln (dalam Afiyanti, 2008) menambahkan bahwa tingkat kredibilitas yang tinggi juga dapat dicapai jika para informan yang terlibat dalam penelitian tersebut mengenali benar tentang berbagai hal yang telah informan ceritakan.

Untuk membentuk penelitian yang memiliki kredibilitas atau validitas yang baik bisa menggunakan berbagai cara untuk memeriksa derajat kepercayaan dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2008). Peneliti menggunakan ketentuan triangulasi data. Triangulasi data dilaksanakan dengan menguji data informan dan membandingkannya dengan data yang didapat dari pimpinan kerja dan rekan kerja. Triangulasi peneliti dilaksanakan dengan jalan menguji hasil data dan analisis data dengan dosen pembimbing skripsi. Afiyanti (2008) juga memiliki pendapat yang sama bahwa dengan melakukan diskusi secara intensif dengan para ekspertis atau ahli untuk melakukan reanalysis (peer checking) data yang telah diperoleh sebelumnya. Neuman (2006) menjelaskan bahwa triangulasi adalah cara untuk melihat suatu hal dari banyak sudut pandang yang tujuannya meningkatkan akurasi.


(67)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara semi terstruktur. Menurut Smith (2013), wawancara jenis ini memungkinkan peneliti dan informan terlibat dalam dialog yang di dalamnya berisi pertanyaan yang dapat dimodifikasi sesuai dengan jawaban informan dan juga memungkinkan peneliti menggali wilayah yang menarik dan penting dalam sesi wawancara. Wawancara dilakukan setelah peneliti membangun

rapport dengan informan, setelah itu peneliti meminta informan untuk mengisi

informed consent sebagai keikutsertaan dan persetujuan dalam penelitian ini. Pelaksanaan pengambilan data pada penelitian ini berlangsung selama 3 bulan, dimulai dari bulan Juli sampai bulan September 2016. Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara. Dalam penelitian ini informan yang berpartisipasi sebanyak dua orang dan ditambah dua significant others pada masing-masing informan.

Significant others tersebut meliputi pimpinan kerja dan rekan kerja setiap informan. Lokasi dan pelaksanaan wawancara disesuaikan berdasarkan keputusan bersama antara peneliti dan informan. Informan I dan II memilih melaksanakan wawancara di rumah masing-masing. Sebelum dilakukannya penelitian ini, peneliti sudah terlebih dahulu mengenal calon informan yang


(68)

akan dijadikan informan penelitian. Hal ini dikarenakan calon informan adalah teman dekat ayah dari peneliti, sehingga memudahkan peneliti untuk bertemu, membangun rapport, berkomunikasi, dan menyusun jadwal untuk pelaksanaan wawancara dalam rangka mengambilan data.

B. Gambaran Informan

Informan dalam penelitian ini sebanyak dua orang pegawai. Pada penelitian ini, informan penelitian yang digunakan adalah pegawai yang menjelang pensiun dan tidak memanfaatkan program MPP (Masa Persiapan Pensiun). Selain itu kriteria informan adalah yang sedang memasuki fase dekat atau the near phase, yaitu pegawai yang satu atau dua tahun lagi menjelang pensiun dan berada pada rentang usia 56-57 tahun.

1) Informan 1

Informan pertama berinisial W dan berusia 57 tahun, yang berasal dari Yogyakarta. Informan mempunyai rumah di daerah demangan dan tinggal bersama satu orang istri yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dan satu orang anak laki-laki yang masih duduk dibangku SMA. Informan 1 bekerja di sebuah instansi negeri di Yogyakarta. Informan 1 sudah bekerja selama 37 tahun dibidang pertanahan. Informan 1 berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi yang menengah kebawah. Dari situlah informan 1 ini memiliki inisiatif untuk mengubah hidupnya agar tidak lagi berkesusahan dalam hal ekonomi. Setelah informan lulus SMA,


(69)

informan memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan informan 1 tidak memiliki biaya untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga informan 1 memilih untuk langsung bekerja. Setelah sudah mendapatkan pekerjaan yang mapan, informan 1 meneruskan pendidikannya ke jenjang perkuliahan dan mengambil jurusan hukum. Sekarang informan 1 menjabat sebagai koordinator petugas ukur di kantornya, sedangkan golongan informan 1 adalah III B. Selama bekerja di bidang pertanahan informan 1 bekerja di beberapa divisi yang pertama di divisi petugas ukur di kantor kulonprogo, setelah itu pindah ke kantor kota Yogyakarta dan bekerja sebagai petukas loket dan korektor selama 10 tahun. Kemudian selama 7 tahun informan 1 bertugas sebagai koordinator petugas ukur sampai sekarang. Disamping itu menjelang masa akhir tugasnya informan 1 tidak memanfaatkan MPP.

2) Informan 2

Informan 2 berinisial U dan berusia 57 tahun yang berasal dari Wonosari. Informan 2 mempunyai rumah di daerah Gedong Kuning Kabupaten Bantul. Informan 2 mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang pertama sudah menikah dan sedang bekerja di Jakarta sebagai PNS dan anak kedua sudah lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan, sedangkan suaminya sudah pensiun beberapa tahun yang lalu dari BPN dengang pangkat yang tinggi. Riwayat


(70)

pendidikan informan 2 adalah kuliah dan lulus sebagai sarjana ekonomi. Informan 2 bekerja di sebuah instansi negeri di Yogyakarta. Informan 2 sudah bekerja selama 32 tahun dibidang pertanahan dan golongannya adalah III D. Selain itu, dalam melaksanakan pekerjaannya informan 2 bertugas sebagai administrator dan memberikan penyuluhan dan informasi tentang pertanahan kepada masyarakat. Disamping itu, menjelang masa akhir tugasnya informan 2 tidak memanfaatkan program MPP.

C. Hasil Penelitian

Hasil analisis lanjutan terhadap kedua informan digunakan sebagai hasil pembahasan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini merupakan hasil dari pengalaman masing-masing informan yang berdasarkan pemikiran, perasaan, penilaian, dan pengalaman yang dilalui sehari-hari ketika melakukan rutinitas kerja sebagai PNS. Hasil pembahasan dilakukan dengan mengabungkan tema-tema yang muncul secara berulang pada informan dan munculnya tema-tema yang baru didapatkan pada informan yang lainnya. Maka dari itu, sangat mungkin munculnya tema-tema yang sama dan berbeda pada masing-masing informan. Penyajian hasil pembahasan berupa tabel tema-tema yang sama dan berbeda pada masing-masing informan kemudian dibahas menurut tahapan-tahapannya.


(71)

1. Dinamika Makna Kerja Pegawai yang Menjelang Pensiun dan Tidak Memanfaatkan MPP.

Penelitian dilakukan dengan bantuan dua orang informan dan dua orang significant others dari masing-masing informan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Badan Pertanahan Nasional. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini merupakan hasil dari pengalaman masing-masing informan yang berdasarkan pemikiran, perasaan, penilaian yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil yang menjelang pensiun dan tidak mengambil program masa persiapan pensiun. Dijabarkan dalam hasil wawancara berikut yang merupakan temuan yang berkaitan dengan penelitian terhadap pegawai negeri sipil yang menjelang pensiun dan tidak memanfaatkan program masa persiapan pensiun.

a. Latar Belakang dalam Bekerja.

Latar belakang para informan bekerja sebagai pegawai negeri sipil karena masalah ekonomi yang begitu mendesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, agar menjadi individu yang mandiri. Dari hasil wawancara ditemukan bahwa informan 1 memilih untuk langsung bekerja setelah lulus sekolah dikarenakan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.

“Ini gini mas ceritanya, kalau diceritakan lucu mas. Saya lulusan SLTA, terus ada pendaftaran, saya coba ikut lalu tes, ya mencoba, dari pada kita mau kuliah itu orang tua tidak mampu dan penghasilan tidak tetap. Saya menyadari orang tua hanya berjualan makanan dirumah, ya tidak menghilangkan lah, orang tua sudah bisa mendidik sampai saya seperti ini. Ada pendaftaran pegawai sejumlah 100 orang untuk ikut tes, setelah


(1)

LAMPIRAN 14

ANALISIS

REKAN KERJA

INFORMAN 2


(2)

No. Transformasin 2 Kode Sub-Kategori Kategori Tema 1. Menurut N, informan

memiliki kondisi fisik yang sehat.

Informan memiliki kondisi fisik yang sehat.

Diri sehat. Kondisi fisik yang baik.

Kondisi menjelang pensiun.

2. N mengatakan bahwa informan tetap sehat dan enerjik.

Informan masih sehat dan enerjik.

Diri sehat. Kondisi fisik yang baik.

Kondisi menjelang pensiun.

3. N mengatakan bahwa informan masih memiliki semangat dalam bekerja.

Informan masih memiliki semangat dalam bekerja.

Semangat dalam bekerja.

Performansi kerja. Sentralisasi kerja.

4. N mengatakan bahwa ketika tidak ada pekerjaan di kantor, informan bekerja di kelurahan sebagai konsultan dan pemberi penyuluhan.

Informan bekerja di dua tempat kerja, yaitu di kantor dan di kelurahan.

Menjalankan tugas pekerjaan.


(3)

5. N sudah kenal dengan informan sejak bekerja di kantor sleman. Setelah itu mereka di pindah ke kantor kanwil. Sampai akhirnya mereka dipindah ke kantor kota dengan bidang

pekerjaan yang sama. Dari situlah mereka menjadi teman dekat.

Informan mulai dekat dengan N semenjak bekerja di bidang yang sama.

Memiliki teman dekat.

Relasi interpersonal dengan rekan kerja.

Relasi interpersonal.

6. N mengatakan bahwa informan orang yang baik dan memiliki hubungan yang baik dengan semua orang.

Informan adalah orang yang baik dan baik kepada semua orang.

Baik kepada lingkungan sekitar.

Memiliki hubungan baik dengan

lingkungan sekitar.


(4)

7. N mengatakan bahwa dirinya adalah teman baik informan. Hal ini

dikarenakan dari mulai awal bekerja samapi sekarang selalu bersama.

N adalah teman baik Informan.

Memiliki teman baik.

Memiliki hubungan baik dengan

lingkungan.

Dukungan sosial.

8. N mengatakan bahwa informan adalah orang yang berkecukupan. Suami informan juga bekerja dan anak-anak informan sudah tidak memerlukan biaya lagi. Jadi informan tidak memikirkan persiapan pensiunnya. informan hanya

Informan orang yang berkecukupan di bidang ekonomi.

Keadaan ekonomi yang baik.

8a. Informan tidak

memikirkan persiapan pensiun. Informan hanya ingin menikmati hasil pensiunannya.

Tidak

mempersiapkan pensiun dan ingin menikmati hari tua.

Tidak memiliki persiapan pensiun.

Kondisi menjelang pensiun.


(5)

ingin menikmati hasil dari pensiunnya.

9. N mengatakan bahwa informan selalu mengikuti apel pagi, kemudian

menjelang pulang informan baru absen lagi untuk pulang.

Menjalani pekerjaan secara disiplin.

Disiplin dalam bekerja.

Performansi kerja. Sentralisasi kerja.

10. N mengatakan bahwa informan adalah sosok yang rajin dan ketika bekerja datang lebih awal untuk mengikuti apel pagi. Selain itu, ketika di kantor tidak ada pekerjaan informan

Informan adalah sosok yang rajin. Ketika tidak ada pekerjaan informan memutuskan untuk pulang dan ketika ada pekerjaan

Rajin dalam bekerja.


(6)

kerumah. Tetapi sebaliknya, ketika banyak pekerjaan informan adalah orang yang rajin dan menyelesaikan tugas dengan tepat waktu.

menyelesaikan tepat waktu.

11. N mengatakan bahwa informan adalah orang yang rajin dan disiplin dan kinerjanya di kantor bagus.

Informan orang yang rajin dan disiplin ketika dikantor.

Profesional dalam bekerja.

Performansi kerja. Sentralisasi kerja.

12. N mengatakan bahwa informan adalah orang yang baik kepada semua orang, supel, pintar bergaul, dan suka membantu rekan kerja yang membutuhkan bantuan.

Informan pintar bergaul.

Pintar untuk bersosialisasi.

Pintar bersosialisasi.

12a. suka membantu

orang lain.

Altruisme. Aspek toleransi pada lingkungan.

Toleransi pada lingkungan.