PENGARUH TINGKAT RELIGIUSITAS TERHADAP SELF RESILIENCE SISWA KELAS X SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 2 KARANGANYAR TAHUN AJARAN 2016/2017.

(1)

i

PENGARUH TINGKAT RELIGIUSITAS TERHADAP SELF RESILIENCE SISWA KELAS X SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 2

KARANGANYAR TAHUN AJARAN 2016/2017

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Pandu Prapanca NIM 12104241037

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang digunakan.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam lembar pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, 30 September 2016 Yang menyatakan,

Pandu Prapanca NIM. 12104241037


(4)

(5)

v MOTTO

Sukses bukanlah sebuah kewajiban

Namun kewajiban itu adalah mencoba untuk sukses.


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada:

 Ibuku tercinta yang kasihnya tak berujung

 Ibuku terkasih yang tak ternilai

 Ibuku tersayang yang tak terhingga

 Ayahku sang pahlawan bagiku yang pengorbanannya sungguh luar biasa

 Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta


(7)

vii

PENGARUH TINGKAT RELIGIUSITAS TERHADAP SELF RESILIENCE SISWA KELAS X SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 2

KARANGANYAR TAHUN AJARAN 2016/2017 Oleh:

Pandu Prapanca NIM. 12104241037

ABSTRAK

SMA N 2 Karanganyar memiliki berbagai kegiatan keagamaan, tetapi beberapa siswa masih menunjukkan kenakalan. Hal tersebut diduga siswa belum memunculkan resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat religiusitas terhadap self resilience.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian kausal. Sampel penelitian adalah siswa kelas X berjumlah 143 siswa yang diambil dengan teknik Cluster Random Sampling. Alat pengumpul data berupa skala religiusitas dan skala resiliensi. Uji validitas instrumen menggunakan validitas isi dengan uji expert judgment. Uji reliabilitas instrumen dihitung menggunakan rumus Alpha Cronbach. Metode analisis data dilakukan menggunakan teknik regresi linear.

Hasil analisis data diketahui bahwa ada pengaruh religiusitas terhadap resiliensi, ditunjukkan dengan nilai signifikasi (p=0,000). Persamaan garis linearnya adalah Y= 72,287 + 0,659 X. Sumbangan efektif yang diberikan variabel religiusitas terhadap resiliensi sebesar 15,6%.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, inayah, dan rizki-Nya, sehingga Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Tugas Akhir Skripsi ini berjudul “Pengaruh Tingkat Religiusitas Terhadap Self Resilience Pada Siswa Kelas X Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Karanganyar Tahun Ajaran 2016/2017”.

Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menjalani dan menyelesaikan studi.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan fasilitas akademik sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi. 3. Ibu Farida Agus Setiawati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah

berkenan meluangkan waktu, membimbing, memberikan ilmu, dan mengarahkan, serta memberi masukan kepada penulis selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi.

4. Seluruh dosen jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UNY atas ilmu yang bermanfaat selama penulis menjalani masa studi.

5. Kepala sekolah SMA N 2 Karanganyar dan Ibu,Andri Fitrianingsih S.Pd. dan Ibu Siti Khumaidah S.Pd atas bantuan dan kerjasama sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dengan lancar.

6. Kedua orangtuaku tercinta, Ibu Sudiharti dan Bapak Sarjono yang tanpa lelah memberikan doa dan selalu berusaha membantu baik secara moril maupun materi. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kesehatan, memberi perlindungan, dan memberi kebahagiaan dunia akhirat. Amiin.


(9)

ix

7. Sahabat-sahabatku seperjuangan dalam kelas Alphacasa 2012 yang tak henti saling membantu dan mendoakan setiap kesempatan.

8. Fatmasari Widyastuti yang selalu menemani dan membantu serta memberi dukungan batin maupun materi dalam penyelesaian penulisan Tugas Akhir Skripsi.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi.

Akhir kata, besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat di dunia pendidikan khususnya bidang Bimbingan dan Konseling.

Yogyakarta, 30 September 2016


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah... 9

D. Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. KAJIAN TEORI ... 12

A. Kajian Tentang Resiliensi ... 12

1. Definisi Daya Lentur (Resilience) ... 12

2. Faktor-Faktor Resilience ... 13

3. Proses Resilience ... 17

B. Kajian Tentang Religiusitas ... 22

1. Definisi Religiusitas ... 22

2. Aspek-Aspek Religiusitas ... 24

3. Kriteria Orang Matang Beragama ... 29

4. Kehidupan Religiusitas Pada Remaja ... 31

5. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja ... 34


(11)

xi

7. Agama dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan ... 41

C. Kerangka Berpikir ... 43

D. Hipotesa ... 45

BAB III. METODE PENELITIAN ... 47

A. Pendekatan Penelitian ... 47

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

C. Subjek Penelitian ... 47

1. Populasi ... 47

2. Sampel ... 48

D. Variabel Penelitian ... 50

E. Definisi Operasional Variabel ... 51

F. Teknik Pengumpulan Data ... 52

G. Instrumen Penelitian ... 52

H. Uji Validitas ... 58

1. Validitas ... 58

2. Reliabilitas ... 59

I. Teknik Analisis Data ... 59

1. Pengujian Persyaratan Analisis ... 60

a. Uji Normalitas ... 60

b. Uji Linearitas ... 61

2. Uji Hipotesis ... 61

BAB IV. HASIL PENELITIN DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Hasil Penelitian ... 63

1. Deskripti Lokasi Penelitian ... 63

2. Deskripsi Waktu Penelitian ... 64

3. Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 64

a. Deskripsi Data Religiusitas ... 65

b. Deskripsi Data Resiliensi ... 66

4. Pengujuan Hipotesis ... 67

a. Uji Prasyarat Analisis ... 67


(12)

xii

B. Pembahasan ... 72

C. Keterbatasan Penelitian ... 76

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Jumlah Populasi ... 48

Tabel 2. Sampel Penelitian ... 50

Tabel 3. Skor Alternatif Jawaban Skala Resiliensi ... 53

Tabel 4. Skor Alternatif Jawaban Skala Religiusitas ... 54

Tabel 5. Kisi-kisi Instrumen resiliensi ... 55

Tabel 6. Kisi-kisi Religiusitas ... 57

Tabel 7. Reliabilitas Instrumen Masing-masing Variabel ... 59

Tabel 8 . Deskripsi data resiliensi dan religiusitas ... 65

Tabel 9. Kategori diagnosis kedua variabel ... 65

Tabel 10. Hasil Perhitungan skor Religiusitas ... 66

Tabel 11. Persentase Tingkat Religiusitas ... 66

Tabel 12. Hasil Perhitungan Skor Resiliensi ... 67

Tabel 13. Persentase Tingkat Resiliensi ... 67

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ... 68

Tabel 15. Uji Linearitas ... 69

Tabel 16. Model Regresi Pengaruh Religiusitas Terhadap Resiliensi ... 70

Tabel 17. Persamaan Koefisien regresi linear ... 70


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ... 83

Lampiran 2. Reliabilitas Instrumen ... 90

Lampiran 3. Tabel Penentuan Sampel ... 92

Lampiran 4. Tabulasi Data Penelitian ... 94

Lampiran 5. Hasil Analisis Data Penelitian ... 103


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam persaingan global saat ini, telah membentuk kelompok masyarakat yang hidup dengan kondisi sosioekonomi yang berbeda-beda. Ada yang kondisi sosioekonomi rendah, soioekonomi sedang, dan sosioekonomi tinggi. Sebagai contoh masyarakat dengan kondisi sosioekonomi rendah adalah anak jalanan, dan masyarakat yang berada dibawah garis miskin, sedangkan masyarakat kondisi sosioekonomi sedang seperti seorang pegawai, karyaawan swasta, dll, kemudian masyarakat kondisi sosioekonomi tinggi seperti pengusaha besar, pejabat, dll.

Masing-masing kelompok masyarakat memiliki karakteristik masalah yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kondisi sosioekonomi rendah tentunya tidak hanya memiliki masalah ekonomi saja, melainkan banyak masalah sosial lainnya. Seperti, pengangguran, diskriminasi, masalah kepadatan penduduk, dan masalah lingkungan hidup yang muncul terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup, terutama masyarakat dengan kondisi sosioekonomi yang rendah. sebagian besar waktu mereka digunakan untuk memikirkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup.

Dari masalah masyarakat dengan kondisi sosioekonomi rendah tersebut berdampak pada berbagai pihak, salah satu diantaranya


(16)

2

adalah masalah remaja. Masalah yang dihadapi remaja diantaranya : a) tingginya anak putus sekolah, b) anak jalanan, c) kenakalan remaja, d) kejahatan. Krisis ekomoni tersebut menjadi salah satu faktor yang memaksa anak untuk berperilaku demikian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dari latar belakang inilah penulis menduga bahwa orang tua siswa dengan kondisi sosioekonomi rendah mengesampingkan pendidikan karakter anak yang sebenarnya sangat diperlukan dilingkungan keluarga seperti cinta kasih dan memberi rasa aman kepada anak. Namun demikian orang tua atau keluarga hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang atau biaya anaknya sekolah, hal tersebut dapat menimbulkan kenakalan-kenakalan remaja.

Kenakalan remaja adalah bentuk luapan perasaan remaja atas permasalahan yang dihadapi dengan tindakan yang salah, pelanggaran yang dilakukan oleh remaja bersifat melanggar hukum, melanggar norma-norma, dan anti sosial.

Cristedi Permana B (2012) menyatakan bahwa remaja di Desa Lantasan Baru berasal dari berbagai tingkatan sosial ekonomi keluarga, mulai dari sosial ekonomi tinggi, sosial ekonomi menengah hingga sosial ekonomi rendah. Jenis kenakalan yang dilakukan remaja beraneka ragam seperti remaja dari sosial ekonomi rendah melakukan kenakalan seperti berkelahi, mencuri, tawuran, bolos sekolah, menonton film porno, dan lain sebagainya. Remaja dari sosial ekonomi menengah seperti, Berkelahi, bolos sekolah, berjudi,


(17)

3

merokok, mencuri dalam rumah, kebut-kebutan,. Sedangkan remaja dari sosial ekonomi tinggi melakukan kenakalan seperti, berjudi, minum minuman keras, melakukan hubungan seksual, mengkonsumsi narkoba, dan lain sebagainya.

Dalam konteks remaja, seorang individu memiliki perubahan-perubahan yang sangat signifikan, baik perkembangan fisik, kognitif, maupun sosial dan emosional. Pada masa ini individu membutuhkan banyak perhatian dan kasih sayang dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Perhatian dan kasih sayang mempengaruhi seorang anak mampu atau tidaknya dalam menghadapi masalah yang terjadi pada dirinya.

Schilling, Aseltime dkk. dalam Reich, et.al, 2010 (Muhammad Iqbal. 2011), mengkaji bahwa ada hubungan yang nyata antara kondisi kesehatan psikologis yang dialami remaja berusia 18-22 tahun secara partikular dengan kemunduran dalam kondisi sosioekonomi. Dimana remaja dalam kondisi sosioekonomi yang rendah akan rentan menghadapi masalah-masalah psikologis. Hal ini menggambarkan bahwa remaja yang menghadapi tekanan baik karena kondisi sosioekonomi yang rendah, lingkungan, maupun sikap diskriminasi remaja yang berbeda dalam kesenjangan sosial, akan menghadapi ancaman serius dalam tahap perkembangan yang sedang dijalani.

Dalam menghadapi berbagai masalah yang terjadi pada seorang individu diperlukan kemampuan individu agar dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut dimana dapat meningkatkan


(18)

4

potensi diri setelah menghadapi situasi yang penuh tekanan. Kemampuan itulah yang dimaksud dengan daya lentur (resiliensi). Resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi rasa frustasi dalam permasalahan yang dialami oleh seorang individu. Individu yang resilien akan lebih tahan terhadap tekanan sehingga lebih sedikit mengalami gangguan emosi dan perilaku. Seorang anak apabila tidak berusaha untuk bangkit dari masalah dan tidak mampu menggontrol perilakunya maka akan terus terjerumus dalam masalahnya tersebut.

Resiliensi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi adanya kenakalan-kenakalan tersebut. Apabila seorang individu memiliki resiliensi yang baik, maka seseorang mampu menyikapi setiap permasalahan dengan sikap positif. Untuk mengendalikan kenakalan dibutuhkan kemampuan dan daya tahan dalam menghadapi setiap permasalahan (Endang Sri. 2015).

Resiliensi yang dimiliki individu dapat mempengaruhi keberhasilan dalam beradaptasi pada situasi yang penuh tekanan dengan berbagai serta membantu individu dalam memecahkan suatu masalah. Seorang individu yang mampu mengontrol perilakunya mampu menyelesaikan masalah. Menurut Karen Reivich dan Andrew Shatte (2002), reselience adalah kapasitas untuk berespon secara sehat dan produktif ketika dihadapkan dengan kesengsaraan atau trauma, yang intinya untuk mengelola stres sehari-hari dalam kehidupan. Resilience (daya tahan) dapat didefinisikan sebagai kapasitas untuk bertahan dalam keadaan tertekan. Penelitian ilmiah yang telah


(19)

5

dilakukan lebih dari 50 tahun telah membuktikan bahwa resiliensi justru dapat menjadi kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (dalam Ifdil & Taufik. 2012)

(Suwarjo, 2008: 26), memandang daya lentur (resilience) sebagai kapasitas anak untuk menangani secara efektif berbagai tekanan, mengatasi tantangan hidup sehari-hari, bangkit kembali dari kekecewaan, kesalahan-kesalahan, trauma, dan suasana aversif, untuk mengembangkan tujuan-tujuan yang jelas dan realistis, untuk memecahkan masalah, berinteraksi secara nyaman dengan orang lain, serta memperlakukan diri sendiri dan orang lain dengan penuh hormat dan bermartabat. Resiliensi sebagai kemampuan (ability) untuk menghadapi tantangan-tantangan kehidupan secara bijaksana (penuh perhitungan), percaya diri, bertanggung jawab, empati, dan penuh harapan (Hariyanto. 2011).

Kemudian Grotberg (1995: 5) mengemukakan faktor-faktor resiliensi berdasarkan sumber-sumber yang ada. Untuk kekuatan individu meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, untuk dukungan eksternal meliputi hubungan kepercayaan, memperoleh kemandirian digunakan istilah I Have, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. Dapat diketahui resiliensi adalah kemampuan yang perlu ditingkatkan agar seorang individu bisa menganggap suatu permasalahan menjadi hal yang wajar terjadi.


(20)

6

Dalam keadaan tertekan diharapkan remaja memiliki resiliensi yang baik, namun dalam kenyataannya masih terdapat siswa yang tidak resilien, cenderung kurang mampu dalam menghadapi masalah sehingga berdampak pada kehidupan sehari-harinya. Salah satu yang mempengaruhi resiliensi seseorang adalah tingkat religiusitasnya. Hal tersebut dibuktikan oleh Dhita Luthfi Aisha (2014) melalui penelitiannya dalam hubungan antara religiusitas dengan resiliensi pada remaja panti asuhan keluarga yatim Muhammadiyah Surakarta. Yang menyatakan hubungan positif yang sangat signifikan antara religiuisitas dengan resiliensi pada remaja. Jika religiusitas yang dimiliki remaja tinggi maka akan berpengaruh pula pada kemampuan resiliensinya sehingga akan terbentuk sikap-sikap positif, begitu juga sebaliknya religiusitas yang rendah akan mempengaruhi kemampuan resiliensi individu sehingga sikap-sikap yang terbentuk pada diri individu cenderung negatif.

Religiusitas adalah hubungan antara mahluk dengan Tuhan yang berwujud ibadah yang dilakukan dalam sikap keseharian. Diartikan juga sebagai keyakinan atas adanya Yang Maha Esa yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitarnya, sesuai dengan tata keimanan dan tata peribadatan tersebut

Menurut Wagnid dan Young (dalam Reich, dkk, 2010) dalam mengembangkan resiliensi, peran religiusitas cukup penting, karena salah satu faktor internal yang mempengaruhi resiliensi adalah religiusitas (dalam Dhita Lutfi A. 2014). Masih banyak permasalahan


(21)

7

yang muncul seperti ketidakmampuan anak untuk menjalin hubungan sosial, tidak percaya diri atau rendah diri karena berasal dari anak dengan orang tua ekonomi rendah dan permasalahan lainnya.

Thouless (1992), menjelaskan tentang faktor-faktor religius, yaitu : 1). Faktor sosial : termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi sosial; 2). Faktor pengalaman : keindahan, keselarasan dan kebaikan di dunia, konflik moral dan pengalaman emosi beragama; 3). Faktor kebutuhan : Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : a) Kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, b) Kebutuhan akan cinta kasih, c) Kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan d) Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian; 4). Faktor intelektual. Religiusitas adalah apabila keputusan untuk menerima membuat individu menginternalisasi ajaran agama tersebut ke dalam dirinya.

Sekolah menengah atas, SMA N 2 Karanganyar adalah sekolah yang menekankan nilai-nilai agama dalam setiap kegiatannya. Seperti melaksanakan sholat wajib secara berjamaah di masjid sekolah, infak tiap hari jumat dan terdapat mata pelajaran yang mempelajari bahasa arab yang menunjang siswa dalam mempelajari ilmu agama. Namun, meskipun memiliki nilai-nilai agama yang cukup baik masih ada siswa melanggar aturan-aturan sekolah, masih ada siswa yang melakukan kenakalan-kenakalan seperti membolos di jam pelajaran, berkata kotor, merokok di lingkungan sekolah, berkelahi. Selain itu terdapat banyak latar belakang dengan kondisi yang beragam.


(22)

8

Pernyataan ini berdasarkan pengamatan peneliti secara tidak langsung di SMA N 2 Karanganyar ketika ikut membaur dengan kelompok siswa, sekaligus sekolah yang akan peneliti gunakan sebagai subyek dalam penelitian ini untuk melihat pengaruh religiusitas terhadap relisiensi siswa.

Siswa yang memasuki masa remaja memiliki permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan pada masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja pergaulan mereka lebih luas di mana pengaruh teman sebaya dan lingkungan sosial akan menuntut remaja dalam pola pikir dan beradaptasi. Masa remaja adalah salah satu masa yang sangat menentukan karena banyak mengalami perubahan pada psikis dan fisiknya, baik remaja awal, remaja pertengahan, remaja akhir.

Secara fisik remaja dapat dikatakan berpenampilan dewasa, tetapi secara psikologis belum. Ketidakseimbangan ini menjadikan remaja berada dalam batin yang terombang-ambing. Dalam mengatasi konflik batin itu, maka mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan. Para remaja membutuhkan tokoh yang mampu diajak berdialog dan berbagi rasa. Dalam memenuhi kebutuhan batin ini, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer group (temen sebaya), untuk saling berbagi rasa dan pengalaman. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya, maka para remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan estetika. Dalam kaitan ini pula


(23)

9

sebenarnya nilai-nilai agama dapat diperankan sebagai bimbingan rohaniah dan dapat meningkatkan resiliensi.

Namun demikian, apa yang dialami oleh remaja selalu berbeda dengan apa yang mereka inginkan. Nilai-nilai ajaran agama yang selalu diharapkan dapat mengisi kekosongan batin mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Tak jarang para remaja mengambil jalan pintas untuk mengatasi masalah yang mereka alami itu. Dalam kondisi seperti itu, biasanya peer group ikut berperan dalam menentukan pilihan, hal tersebut masih dijumpai di lingkungan SMA N 2 Karanganyar Pelarian ini terkadang turut menjebak mereka ke arah perbuatan negatif dan merusak. Kasus narkoba, kebrutalan, maupun tindak kriminal merupakan bagian dari kegagalan remaja menemukan jalan hidup yang dapat menentramkan batin. Berdasarkan permasalahan yang ada di SMA 2 Karanganyar terkait dengan tingkat religiusitas dan resiliensi, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengaruh tingkat religiusitas terhadap resiliensi pada siswa SMA N 2 Karanganyar.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat siswa SMA N 2 Karanganyar yang masih menunjukkan sejumlah kenakalan.

2. Ditemukannya beberapa siswa yang belum memunculkan resiliensi.


(24)

10

3. SMA N 2 Karanganyar memiliki berbagai kegiatan agama, tetapi beberapa siswanya masih menunjukkan kenakalan remaja. Hal tersebut diduga karena resiliensinya masih kurang.

C. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis ingin membatasi masalah yang diteliti yaitu siswa dengan kegiatan keagamaan yang masih menunjukkan kenakalan diduga belum memunculkan resiliensi. D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : bagaimana pengaruh religiusitas terhadap resiliensi siswa.

E. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat religiusitas terhadap resiliensisiswa. F. Manfaat Penelitian

Terdapat dua manfaat dari penilitian ini yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu Bimbingan dan Konseling, terutama yang berkaitan dengan pengaruh tingkat religiusitas terhadap resiliensi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai studi banding bagi peneliti lain dengan tema yang relatif sama.


(25)

11 b. Manfaat Praktis

1. Bagi Siswa

Sebagai bahan pengetahuan tentang pengaruh nialai agama terhadap peningkatan resiliensi bagi kehidupannya.

2. Bagi konselor/Guru Pendamping

Memberikan ilmu baru dalam memberikan layanan yang berpedoman dengan nilai-nilai agama untuk meningkatkan resiliensisiswa.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Memberikan dasar bagi pengembangan penelitian lebih lanjut dalam mengkaji dan mengembangkan resiliensi dengan religiusitas.


(26)

12 BAB 11 KAJIAN TEORI

A. Kajian Tentang Resiliensi

1. Definisi Daya Lentur (Resilience)

Gotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi, mengatasi, dan meningkatkan diri untuk mengubah kesengsaraan menjadi kebahagian dalam hidup. Karena setiap orang akan mengalami masalah tanpa terkecuali. Vaillant & Mills (Yuniardi, 2009) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan kapasitas mental untuk bangkit kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk terus melanjutkan kehidupan yang fungsional dengan sejahtera. Sementara itu Reivich dan Shatte (1999: 26), berpendapat bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Luthar (Kalil, 2003) mengidentifikasikan resiliensi sebagai sebuah proses yang dinamis mencakup adaptasi positif dalam menghadapi situasi yang sulit, mengandung bahaya maupun hambatan yang signifikan. Resiliensi dapat didefinisikan sebagai kapasitas untuk bertahan dengan makin berdaya menghadapi penderitaan yang panjang. Hal ini merupakan proses bertahan yang aktif, bertujuan dan bertumbuh sebagai respons terterhadap krisis dan tantangan.


(27)

13

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan meningkatkan diri dari keterpurukan dalam seseorang manjalani kehidupannya. Dan merespon secara sehat dan produktif ketika dihadapkan dengan kesengsaraan atau trauma guna menghadapi suatu permasalahan.

2. Faktor-Faktor Resilience

Menurut Grotberg (1995: 15) faktor utama yang membentuk daya tahandikelompokkan dalan tiga kemampuan yaitu :

a. I Have

Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan dan kenyamanan untuk meningkatkan resiliensi. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkunga sekolah, dan hubungan dengan orang lain. Melalui I Have, individu merasa mempunyai hubungan yang penuh kepercayaan (Trusting relatioships) hubungan ini diperoleh dari orag tua, anggota keluarga, guru, serta teman-teman yang mencintai dan menerima anak tersebut. Kasih sayang dari orang lain kadang-kadang mengkompensasi kurangnya cinta tanpa syarat dari orang tua.

Individu yang resilien juga memiliki struktur dan aturan dalam rumah (Structure and rules at home) yang ditetapkan orang tua mereka. Orang tua berharap bahwa anak-anak mereka dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak mampu menerima


(28)

14

konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Ketika melanggar aturan mereka membutuhkan seseorang untuk memberi tahu kesalahan yang mereka perbuat. Anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian memberitahukan kepada anak apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa.

Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri (Enouragement to be autonomous) dan mampu mengambil keputusan berdasarkan pemikirannya sendiri. Orang tua atau anggota keluarga mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan berkuasa atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa bergantug pada orang lain.

Mendapat jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan (Access to health, education, walfare, and scurity service )adalah ciri individu yang resilien, hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak. b. I Can

I Can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksi dengan semua orang yang ada disekitar mereka sehingga mampu memecahkan masalah dengan baik.

Individu yang resilien mampu mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati. Mereka mampu menyadari perasaan mereka


(29)

15

dan mengekspresikannya serta mampu mengendalikan perilaku yang mengancam perasaan dan hak orang lain, juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik.

Individu resilien juga memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan, untuk menceriakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan masalah.

c. I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang dihrapkan orang lain terhadap dirinya.

Individu resilien juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan memalui sikap peduli terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan


(30)

16

yang dialami orang lain serta berusaha memantu mengatasi masalahnya.

Individu resilien merasakan kebanggan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capa. Ketika mereka mendapatkan masalah, rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka mengatasi masalah tersebut. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan kemampuan mereka sendiri serta bertanggung jawab atas pekerjaan yang mereka lakukan.

Mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.

Faktor-faktor resiliensi yang diungkapkan oleh Grotberg (1995) di atas adalah teori yang akan digunakan oleh peneliti untuk menyusun skala resiliensi dalam penelitian ini. Namun, peneliti membatasi faktor I Can dan I Am sebagai dasar penyusunan skala.

Kemudian Karen Reivich dan Andrew Shatte (2002:13). Mengungkapkan bahwa ada 7 keterampilan yang harus dikuasai untuk dapat meningkatkan resiliensi yaitu :

1. Learning ABCs (Adversity-Belief-Consequences), yaitu belajar causal analysis yang menjadikan individu mampu memahami keterkaitan antara adversity-belief dan consequences yang terjadi ketika individu memiliki belief ( kepercayaan) tersebut.


(31)

17

Consequences (konsekuensi) merupakan perasaan-perasaan dan perilaku yang muncul sebagai akibat dari belief yang ia miliki 2. Avoiding Thinking Traps, yaitu proses menghindari kesalahan

berpikir seperti membuat asumsi-asumsi tanpa data yang relevan, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain 3. Detecting Iceberg, yaitu kemampuan mendeteksi kepercayaan

sehingga bisa mengevaluasinya dan menentukan bertingkahlaku tertentu

4. Challenging Beliefs yaitu kemampuan menganalisa tentang belief-belief yang menyebabkan kita mengalami kesulitan dan menentukan sosusi

5. Putting It in Perspective yaitu kemampuan untuk berpikir secara akurat sehingga lebih siap untuk menhadapi masalah yang terjadi

6. Calming and Focusing yaitu kemampuan menenangkan emosi ketika tidak terkontrol, untuk memfokuskan pikiran ketika mengganggu dan mengurangi jumlah stress yang dialami

7. Real-time Resilience yaitu mengubah belief-belief yang membuat kitatidak produktif segera setelah muncul.

3. Proses Resilience

Setiap individu normal ketika dihadapkan pada suatu masalah yang menekan maka individu tersebut akan mengembangkan strategi coping-nya, berusaha mengatasi keadaan menggunakan pengalaman sebelumnya dan mengembangkan rencana kontruktif


(32)

18

untuk mengatasi permasalahan tersebut. Daya tahan bukanlah kemampuan yang tumbuh dengan sendirinya, resiilence tumbuh sepanjang waktu (Grotberg, 1999:157).

Berikut ini adalah prose resiliensi dalam menghadapi kesulitan atau permasalahan menurut Grotberg (1999:157-165) :

a. Fase mempersiapkan (preparing for)

Terjadi saat individu mengetahui bahwa (1) ia sedang menghadapi masalah, kemudian (2) menyimpulkan konsekuensi apa dari masalah tersebut, (3) mengetahui siapa saja yang dilibatkan (4) mengetahui apa saja yang harus dihadapi, (5) mengetahui siapa saja yang dapat dimintai bantuan, (6) mengetahui kemampuan apa saja yang dapat digunakan untuk mengatasi tiap-tiap hambatan tersebut,dan (7) mengetahui faktor dinamis resiliensi apakah berguna dalam menghadapi kesulitan tersebut

b. Fase menjalani (live through)

Terjadi ketika individu (1) menentukan tingkat adversitas (berat/sangat berat) dan mengetahui apakah ada hal lain yang timbul dari adversitas tersebut, (2) mengetahui siapa saja yang terlibat dan perlu dihibur dan ditenangkan, (3) merencanakan dan melakukan sejumlah tindakan dengan melibatkan orang lain yang mampu membantu, (4) menggunakan faktor resiliensiyang dimiliki untuk mendapatkan dukungan dalam menghadapi adversitas tersebut.


(33)

19

c. Fase mengambil pelajaran (learn from)

Dapat terjadi setiap saat. Setiap saat individu dapat belajar dari kesalahan yang dilakukannya. Pada fase ini individu : (1) mengetahui apa yang dimilikinya (faktor-faktor resilience) dan apakah ia telah melakukan usaha maksimal menggunakan semua yang dimilikinya untuk mengatasi adversitas tersebut, (2) mengetahui sumber-sumber bantuan yang dapat diperoleh dan diandalkan, dan (3) lebih mengenal tentang dirinya, apakah menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih baik dan lebih percaya diri.

Karen Reivich dan Andrew Shatte (2002:36) menunjukan bahwa resilience dibangun oleh tujuh kemampuan yang dapat diukur, diajarkan dan dikembangkan. Adapun ketujuh keterampilan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Emotional regulation, yaitu kemampuan untuk tetap tenang ketika di bawah tekanan yang akan membantu mereka untuk mengontrol emosi, atensi dan perilaku mereka. Self regulation merupakan hal penting untuk pembentukan relasi yang dekat, bisa terus-menerus dalam bekerja, dan menjaga kesehatan fisik. Orang-orang yang sulit meregulasi emosi seringkali sulit untuk bekerja sama. Hasil penelitian menunjukan bahwa orang-orang yang kurang mampu meregulasi emosi mereka memiliki kesulitan membangun dan memelihara pertemanan.


(34)

20

juga cenderung memiliki regulasi emosi yang tinggi, sedangkan jika seseorang memiliki impulse control yang rendah maka akan impulsif.

3. Optimism, yaitu keyakinan seseorang memiliki kemampuan untuk menangani kesulitan-kesulitan yang pasti akan muncul dimasa yang akan datang. Seseorang yang memiliki resilience yang baik adalah orang yang optimis, karena mereka yakin bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan untuk masa yang akan datang dan yakin bahwa mereka dapat mengontrol arah dari hidup mereka.

4. Causal Analysis, yaitu suatu istilah yang digunakan untuk menunjukan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab-penyebab permasalahan mereka. Martin Seligman mengidentifikasi suatu gaya berpikir yang penting untuk causal analysis, yaitu explanatory style, yaitu kebiasaan cara seseorang menjelaskan hal-hal yang baik dan buruk yang terjadi padanya. Setiap orang memiliki explanatory style yang dapat dikodekan ke dalam tiga dimensi, yaitu cara berpikir personal (me-not me), permanent (always-not always) dan pervasive (everything-not everything). Seseorang yang berpikir “Me,Always,Everything” secara otomatis merefleksikan keyakinan bahwa dia yang sudah menyebabkan masalah (me), permasalahannya menetap dan tidak bisa dirubah (always) dan masalah akan merusak semua aspek kehidupannya (everything).


(35)

21

Kebanyakan orang yang memiliki resilience yang tinggi adalah orang yang memiliki fleksibilitas kognitif dan dapat mengidentifikasi semua penyebab kesulitan yang mereka hadapi secara signifikan, tanpa terjebak ke dalam explanatory style manapun.

5. Empathy, yaitu kemampuan untuk membaca tanda keadaan psikologis dan emosi orang lain. Beberapa orang mahir dalam menginterpretasikan nonverbal orang seperti ekspresi wajah, nada suara dan bahasa tubuh dan menentukan apa yang orang pikirkan dan rasakan.

6. Self efficacy, merupakan perasaan seseorang bahwa ia efektif di dunia. Hal ini merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang mungkin dialaminya dan keyakinan akan kemampuannya untuk berhasil. 7. Reaching out, merupakan keinginan mencapai apa yang

dinginkandan berani mencoba hal-hal baru.

Karen Reivich dan Andrew Shatte. (2002):. Menunjukkan bahwa terdapat empat penggunaan resilience yaitu :

1. Untuk mengatasi hambatan-hambatan pada masa kanak-kanak seperti, broken home, kemiskinan, atau bahkan pengabaian secara emosional dan kekerasan fisik.

2. Untuk melewati kesulitan sehari-hari yang menimpa kita 3. Untuk bangkit dan menemukan cara untuk terus maju.


(36)

22 kapasitas diri.

B. Kajian Tentang Religiusitas

Religiusitas menujuk pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala aspek kehidupannya. Pada perkembangannya religiusitas yang dialami manusia mempunyai ciri-ciri khas sesuai tingkat perkembangannya pula.

1. Definisi Religiusitas

Dikatakan Gazalba (1987) religiusitas berasal dari kata religi dalam bahasa latin “religio” yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat. Dengan demikian, mengandung makna bahwa religi atau agama pada umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Kesemuanya itu berfungsi mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam hubungnnya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar.

Agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindra, namun pengaruhnya yang besar sekali terhadapa kehidupan manusia sehari-hari.

Jika agama menunjuk pada aspek-aspek formal yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban, maka religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh seseorang dalam hati. Pendapat tersebut


(37)

23

senada dengan Dister dalam Subandi (1988) yang mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan karena adanya internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Monks (1989) mengartikan keberagamaan sebagai keterdekatan yang lebih tinggi dari manusia kepada Yang Maha Kuasa yang memberikan perasaan aman.

Shihab (1993) menyatakan bahwa agama adalah hubungan antara mahluk dengan Khalik (Tuhan) yang berwujud ibadah yang dilakukan dalam sikap keseharian. Selanjutnya, Anshori (1980) memberikan arti agama secara detail, yakni agama sebagai suatu credo (tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak dan suatu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitarnya, sesuai dengan tata keimanan dan tata peribadatan tersebut.

Menurut beberapa ahli di dalam diri manusia terdapat suatu instink atau naluri yang disebut religiusitas instink, yaitu naluri untuk meyakini dan mengadakan penyembahan terhadap suatu kekuatan yang ada di luar diri manusia (Spinks, 1963;Subandi, 1988). Naluri inilah yang mendorong manusia melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya religius. Selanjutnya dorongan itu adalah instink religiusitas, tetapi mereka berpendapat bahwa naluri atau dorongan untuk mencapai suatu keutuhan itulah yang merupakan akar dari religi. Pruyser119 mengemukakan bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk religius atau manusia merupakan makhluk yang berkembang


(38)

24

menjadi religius. Jadi, pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang beragama.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah ikatan antara manusia dengan Tuhan, dimana manusia harus patuh karena Tuhan memiliki kekuatan di atas segalanya yang besar sekali pengaruhnya terhadapa kehidupan manusia.

2. Aspek-Aspek Religiusitas

Agama merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa aspek. Darajdat (1993) mengemukakan bahwa agama meliputi kesadaran beragama dan pengalaman beragama. Kesadaran beragama adalah aspek yang terasa dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas beragama, sedangkan pengalaman beragama adalah perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan.

Thouless (1992) dalam Tina A, membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas menjadi empat macam, yaitu :

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan dari lingkungan social untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.


(39)

25 b. Faktor pengalaman

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalama emosional keagamaan. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu.

c. Faktor kehidupan

Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat, yaitu : (a). kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, (b). kebutuhan akan cinta kasih, (c). kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan (d). kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.

d. Faktor intelektual

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi.

Hurlock (1973) mengatakan bahwa religi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur keyakinan terhadap ajaran agama dan unsur pelaksanaan ajaran agama. Spinks (1963) mengatakan bahwa agama meliputi adanya keyakinan, adat, tradisi, dan juga pengalaman-pengalaman individual. Pembagian dimensi-dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark (dalam M.Nur Ghofron & Rini Risnawita S. 2014: 170) terdiri dari lima dimensi, diantaranya.


(40)

26

Dimensi keyakinan adalah tingkat sejauh mana seseorang menerima dan mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya. Misalnya keyakinan adanya sifat-sifat Tuhan, adanya malaikat, surga, para Nabi, dan sebagainya.

b. Dimensi peibadatan atau praktik agama (the ritulistic dimention)

Dimensi ini adalah tingkatan sejauh mana seseorang menunaikan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Misalnya menunaikan shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.

c. Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimention)

Dimensi penghayatan adalah perasaan keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan seperti merasa dekat dengan Tuhan, tentram saat berdoa, tersentuh mendengar ayat-ayat kitab suci, merasa takut berbuat dosa, merasa senang doanya dikabulkan, dan sebagainya.

d. Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension) Dimensi ini adalah seberapa jauh seseorang mengetahui dan memahami ajaran-ajaran agamanya terutama yang ada dalam kitab suci, hadist, pengetahuan fikih, dan sebagainya.

e. Dimensi effect atau pengamalan (the concequential dimension)


(41)

27

Dimensi pengalaman adalah sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sosial. Misalnya mendermakan harta untuk keagamaan dan sosial, menjenguk orang sakit, mempererat silaturahmi, dan sebagainya.

Dimensi-dimensi tersebut adalah landasan peneliti dalam menyusun skla religiusitas.

Pendapat tersebut sesuai dengan lima aspek dalam pelaksanaan ajaran agama islam tentang aspek-aspek religiusitas, yaitu aspek iman sejajar dengan religiusitas belief ; aspek islam sejajar dengan religiusitas practice; aspek ihsan sejajar dengan religiusitas feeling; aspek ilmu sejajar dengan religiusitas knowledge; dan aspek amal sejajar dengan religiusitas effect (Subandi,1988). Dimensi-dimensi tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), yaitu (1) aspek iman (religiusitas belief) yang terkait keyakinan kepada Allah, Malaikat, Nabi, dan sebagainya; (2) aspek islam (religiusitas practice), terkait dengan frekuensi atau intensitas pelaksanaan ajaran agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain; (3) aspek ihsan (religiusitas feeling) berhubungan dengan perasaan dan pengalaman seseorang tentang keberadaan Tuhan, takut melanggar larangan-NYA dan sebagainya; (4) aspek ilmu (religiusitas knowladge) yaitu pengetahuan seseorang tentang ajaran agamanya; dan (5) aspek amal (religiusitas effect)


(42)

28

terkait tentang bagaimana perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dan sebagainya.

Selanjutnya, Harun Nasution merumuskan ada empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu :

1. Kekuatan gaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia. Didorong oleh kelemahan danketerbatasannya, manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan gaib itu.

2. Keyakinan terhadap kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik dan nasib buruk manusia. Dengan demikian, manusia berusaha untuk menjaga hubungan baik ini agar kesejahteraan dan kebagiaannya terpelihara.

3. Respon yang bersifat emosionil dari manusia. Respon ini dalam realisasinya terlihat dalam bentuk peyembahan karena didorong oleh perasaan takut (agama primitif) atau pemujaan yang didorong oleh perasaan cinta (monoteisme), serta bentuk cara hidup tertentu bagi penganutnya.

4. Paham akan adanya yang kudus (sacred) dan suci. Sesuatu yang kudus dan suci ini adakalanya berupa kekuatan gaib, kitab yang berisi ajaran agama, maupun tempat-tempat tertentu (Harun Nasution:11)


(43)

29

Nashori (1997) menjelaskan bahwa orang religius akan mencoba selalu patuh terhadap ajaran-ajaran agamnya, selalu berusaha mempelajari pengetahuan agama, menjalankan ritual agama, menyakini doktrin-doktrin agamanya, dan selanjutnya merasakan pengalaman-pengalaman beragama. Dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan religius jika orang mampu melaksanakan dimensi-dimensi religiusitas tersebut dalam perilaku dan kehidupannya.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark sebagai dasar teori dalam menyusun skala religiusitas yaitu Dimensi keyakinan, Dimensi peibadatan, Dimensi feeling, Dimensi pengetahuan agama, Dimensi effect.

3. Kriteria Orang Matang Beragama

Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W.Houston Clark dalam bukunya religion psychology adalah :

a. Optimis dan gembira

Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai jerih payahnya yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan dianggap sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia. Mereka yakin bahwa Tuhan bersifat Pengasih dan Penyayang dan bukan pemberi azab.


(44)

30 b. Ekstrovet dan tak mendalam

Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses religiusitas tindakannya. Mereka selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari kungkungan ajaran agama yang terlalu rumit. Mereka senang kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran agama. Dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.

c. Menyayangi ajaran ketauhidan yang liberal

Sebagao pengaruh kepribadian yang ekstrovet, maka mereka cenderung :

1) Menyayangi teologi yang luwes dan tidak kaku 2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang bebas

3) Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemakmuran dan dosa

4) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial

5) Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan

6) Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama


(45)

31

8) Berkembang secara graduasi, meyakini ajaran agama melalui proses yang wajar tidak memalui pendadakan. Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam pendirian, ketetapan dalam kepercayaan, baik dalam bentuk positif, maupun negatif, namun dalam kenyataan yang ditemui masih banyak orang dewasa yang berubah keyakinan dan kepercayaan. Perubahan itu bisa saja ke arah acuh terhadap agama, atau ke arah ketaatan terhadap agama. Salah satu bentuk perubahan dalam keyakinan dan kepercayaan suatu agama yang terpenting adalah konversi agama.

4. Kehidupan Religiusitas Pada Remaja

Manusia lahir membawa fitrah keagamaan. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh pengalaman keagamaan, struktur kepribadian serta unsur kejiwaan lainnya (Jamaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama.1993). Manusia religius adalah manusia yang struktur mental secara keseluruhan dan secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak, memuaskan, dan tertinggi, yaitu Tuhan. Saat ini masih banyak perbedaan pendapat tentang kapan munculnya kehidupan beragama seseorang. Penelitian yang dilakukan Ernest menjelaskan bahwa perkembangan agama melalui beberapa fase. Berikut ini adalah fase tersebut :

a. The fairv tale stage (tingkat dongeng)

Terjadi pada anak usia 3-6 tahun. Konsep Tuhan dipengaruhi oleh emosi dan fantasi sehingga terkesan kurang masuk akal.


(46)

32

Kehidupan fantasi yang bersumber dari dongeng mendominasi pemahaman anak terhadap ajaran agamanya.

b. The realistic stage (tingkat kenyataan)

Dimulai ketika anak masuk sekolah dasar sampai remaja. Pemahaman tentang ajaran agaman sudah didasarkan pada konsep yang sesuai dengan kenyataan, dipengaruhi dari lembaga-lembaga keagamaan, orang tua ataupun dari orang dewasa lain.

c. The individual stage (tingkat individual)

Pemahaman terhadap ajaran agama bersifat khas untuk setiap orang yang dipengaruhi oleh lingkungan hidup serta perkembangan internal. Pada tahap ini terdapat tiga tipe, yaitu pemahaman secara konvensional dan konservatif; pemahaman yang murni dan bersifat personal; dan memahami konsep Tuhan secara humanis.

Religiusitas pada remaja adalah keadaan dari kehidupan beragama anak-anak menuju ke arah kemantapan beragama. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul pada masa remaja. Mereka mulai menenukan pengalaman dan penghayatan ketuhanan yang berdifat individual. Keislaman mulai otonom, hubungan dengan Tuhan semakin disertai kesadaran dan kegiatannya dalam masyarakat semakin diwarnai oleh rasa keagamaan.

Daradjat (1993) mengemukakan bahwa pada masa remaja mulai ada keragu-raguan terhadap kaidah-kaidah ahklak dan ketentuan-ketentuan agama. Mereka tidak mau lagi menerima ajaran-ajaran agama begitu saja seperti pada masa kanak-kanak. Bahkan, apa yang


(47)

33

telah didaptkan dahulu pada masa remaja sudah mulai dipertanyakan atau diragukan lagi secara kritis seperti benarkah Tuahan itu ada ? mengapa manusia harus menyembah Tuhan ? mengapa shalat harus menghadap ke kiblat ? (Daradjat, 1993;Subandi 1988). Jadi, pada masa ini remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga mengalami konflik dan keraguan dalam beragama. Pendapat yang sama ditambahkan oleh Hurlock (1973) bahwa remaja mulai meragukan tentang isi kitab sucinya dan doktrin-doktrin agamanya. Pada masa remaja muncul pula peluang terjadinya konflik dan keraguan itu menurut Fowler muncul karena pada masa ini seseorang mengandalkan kekuatan akal pemikiran kritis da rasionalitas dalam mengetahui dan memahami sesuatu.

Powel dalam Subandi (1988) menyatakan bahwa agama dapat memberikan kemantapan pada waktu remaja mengalami kebimbangan. Adam dan Gulton berpendapat bahwa agama dapat menstabilkan perilaku dan menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia serta menawarkan perlindungan dan rasa aman. Muthahhari (1992) menyatakan bahwa tanpa keyakinan dan keimanan, manusia tidak dapat meyakini kehidupan yang baik atau mencapai sesuatu yang bermanfaat baginya. Ditambah pula oleh Nash (1983) bahwa manusia sangat membutuhkan agama, tanpa agama belum menjadi manusia yang utuh.

Streng mengemukakan bahwa remaja membutuhkan agama sebagai sesuatu yang bersifat personal dan penuh makna tidak hanya


(48)

34

ketika mereka mendapatkan kesulitan. Remaja memerlukan agama sebagai sumber pegangan dalam kehidupannya bagi optimalisasi perkembangan dirinyasebagai sumber kekuatan dan keberanian yang mutlak bagi dirinya. Kebutuhan beragama pada remaja bervariasi antara satu dengan yang lainnya.

Kehidupan religiusitas pada remaja dipengaruhi oleh pengalaman religius ditandai dengan adanya keragu-raguan terhadap kaidah-kaidah akhlak dan ketentuan-ketentuan agama. Namun pada dasarnya sebagai manusia remaja tetap membutuhkan agama sebagai pegangan dalam kehidupan, terutama pada saat menghadapi kesulitan. 5. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja

Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa juvenilitas (edolescantium), pubertas, dan nubilitas. Jalaluddin (2015).

Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.

Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah :


(49)

35

Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya, bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk teetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya, ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka

b. Perkembangan perasaan

Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa


(50)

36

kematangan seksual. Didorong oleh perasan ingin tahu, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.

c. Pertimbangan sosial

Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan materiil. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.

d. Perkembangan moral

Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakup :

1) Sefl-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.

2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.

3) Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.

4) Unadjusted, belum menyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.


(51)

37

5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.

e. Sikap dan minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

f. Ibadah

1) Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan :

a) Seratus empat puluh delapan siswa dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagaan sedangkan sisanya (128) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 di antaranya secara alami (tidak melalui pengajaran resmi).

b) Tiga puluh satu orang di antara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui proses alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka nikmati.

2) Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut :


(52)

38

a) 42% tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali. b) 33% mengatakan mereka sembayang karena yakin

Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.

c) 27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita.

d) 18% mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya. e) 11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan

tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.

f) 4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti yang penting.

Jadi, hanya 17% mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.

6. Konflik dan Keraguan

Konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang diterima mereka terjadi dalam cara penerapan, keadaan keagamaan, dan para pemuka agama.

Selanjutnya, secara individu sering pula terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai :


(53)

39

1. Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya

2. Tempat suci, menyangkut masalah pemulihan dan pengangungan tempat-tempat suci agama.

3. Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rasario dalam Kristen.

4. Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan. 5. Pemuka agama

6. Perbedaan aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kriaten, atau mazhab (Islam).

Keragu-raguan yang demikian akan menjurus ke arah munculnya konflik dalam diri para remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan mana yang buruk, serta antara yang benar dan yang salah.

Konflik ada beberapa macam di antaranya : 1. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.

2. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide religus serta lembaga keagamaan. 3. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan

beragama atau sekularisme.

4. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan religius yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.


(54)

40

Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnya banyak tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri. Usia remaja memang dikenal sebagai usia rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Secara fisik remaja mengalami pertumbuhan yang pesat. Namun, pesatnya pertumbuhan fisik itu belum diimbangi secara setara oleh perkembangan psikologisnya kondisi seperti itu memyebabkan remaja mengalami kelabilan.

Sikap kritis terhadap lingkungan memang sejalan dengan perkembangan intelektual yang dialami para remaja. Bila persoalan itu gagal diselasaikan, maka para remaja cenderung untuk memilih jalan sendiri. Dalam situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja berada di situasi yang demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terkuak lebar.

Dalam konteks ini tampaknya pemuka dan pendidik agama perlu merumuskan paradigma baru dalam menjalankan tugas bimbingnnya. Setidaknya bimbingan keagamaan bagi para remaja perlu dirumuskan dengan berorientasi pada pendekatan psikologi, perkembangan yang serasi dengan karakteristik yang dimiliki remaja. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran agama tidak lagi hanya sebatas pada informasi ajaran yang besifat normatif dan hitam putih. Ajaran agama tidak hanya menampilkan dosa dan pahala, atau surga dan neraka,maupun siksa dan ganjaran.


(55)

41

Lebih dari itu, ajaran agama mampu menampilkan nilai-nilai yang berkaitan dengan peradaban manusia secara utuh. Di dalamnya terkemas aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara berimbang. Pada aspek kognitif nilai-nilai ajaran agama diharapkan dapat mendorong remaja untuk mengembangkan kemampuan intelektual secara optimal. Sedangkan, aspek afektif diharapkan nilai-nilai ajaran agama dapat memperteguh sikap dan perilaku keagamaan. Demikian pula aspek psikomotor diharapakan akan mampu menanamkan keterikatan dan keterampilan lakon keagamaan.

Diharapkan para remaja akan melihat bahwa agama bukan hanya sekedar lakon ritual semata. Lebih dari itu, mereka juga akan ikut disadarkan bahwa ruang lingkup ajaran agama juga mencakup peradaban manusia, perlingdungan, dan pemeliharaan terhadap makhluk Tuhan. Nilai-nilai ajaran agama menjadi terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya insani yang dibutuhkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia secara individu maupun pada umumnya.

7. Agama dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan

Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikodrat (supnatural) ternyata seakan menyertai manusia lam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungannya dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.


(56)

42

a. Agama dalam kehidupan individu

Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagaai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.

Sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat (Mc. Guire:26). Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak dirasakan sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola pikir dan pola bersikap (E.M.K Kaswardi, 1993:20). Maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberikan kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas. Perasaan positif ini lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi dan nilai etik juga merupakan harapan.


(57)

43

Masyarakat adalah gabungan dari kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan tertentu. Yang jelas dalam setiap masyarakat agama masih tetap memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. agama sebagai anutan masyarakat, terlihat masih berfungsi sebagai pedoman yang dijadikan sumber untuk mengatur norma-norma kehidupan.

Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam praktiknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain: 1). Berfungsi edukatif; 2). Berfungsi penyelamatan; 3). Berfungsi sebagai pendamaian;4) Berfungsi sebagai social control; 5) Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas; 6). Berfungsi transformatif; 7). Berfungsi kreatif; 8). Berfungsi sublimatif.

C. Kerangka Berpikir

Remaja pada periode perkembangan yang paling rentan, dituntut untuk beradaptasi pada setiap permasalahan untuk menuju kedewasaan yang lebih matang. Banyak faktor yang disebut sebagai sumber utama permasalahan remaja, salah satunya adalah status ekonomi keluarga. Faktor ini berpengaruh dalam aspek kehidupan remaja salah satunya yaitu religusitas, anak menjadi buta akan agama dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya karena anak fokus terhadap masalah yang ditimbukan dari kondisi sosioekonomi yang rendah seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang.


(58)

44

Konflik batin anak terhadap religiusitas adalah keragu-raguan anak tentang kebenaran agama dan kekuatan agama. Sehingga anak tidak mengetahui bahwa sebenarnya religiusitas dapat membantu untuk bangkit dari keterpurukan masalah, dalam hal ini perilaku resiliensi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Dhita Luthfi A (2014) menyatakan hubungan positif yang sangat signifikan antara religiuisitas dengan resiliensi pada remaja. Jika religiusitas yang dimiliki remaja tinggi maka akan berpengaruh pula pada kemampuan resiliensinya sehingga akan terbentuk sikap- sikap positif, begitu juga sebaliknya religiusitas yang rendah akan mempengaruhi kemampuan resiliensi individu sehingga sikap-sikap yang terbentuk pada diri individu cenderung negatif.

Resiliensi mencoba menggambarkan bagaimana pola adaptasi yang dibutuhkan agar remaja dapat keluar dari tekanan ataupun permasalahannya untuk menjadi individu yang resilient. Menurut Grotberg (1995) faktor utama yang membentuk daya tahan dikelompokkan dalan tiga kemampuan yaitu : I Have , I Can, dan I Am. Namun, faktor I Have tidak digunakan karena faktor ini merupakan dukungan eksternal bukan internal dalam meningkatkan resiliensi.

Dalam membentuk resiliensi yang baik pada remaja. Religiusitas diprediksikan mampu meningkatkan tingkat resiliensi pada remaja. Faktor I Have merupakan dukungan eksternal untuk memunculkan resiliensi. Salah satu sumbernya adalah mempercayai


(59)

45

suatu hubungan. Dalam nilai agama keyakinan merupakan bentuk kepercayaan antara mahluk kepada Tuhan. Bahwa setiap cobaan yang diterima manusia akan ada pertolongan dari Tuhan. Faktor I Can merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran. Faktor ini sesuai dengan dimensi religiusitas penghayatan berhubungan dengan merasa senang ketika doanya dikabulkan, dalam hal ini seseorang mengungkapkan permasalahannya dengan media berdoa kepada Tuhan. Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan bangga ketika mampu mencintai dan dicintai orang lain. Dalam dimensi religiusitas terdapat dimensi pengamalan. Dimana kepedulian terhadap sesama adalah bentuk implikasi ajaran agama yang mempengaruhi perilaku seseorang.

Kerangka pengaruh antara dimensi religiusitas sebagai faktor resiliensi melalui dimensi-dimensi yang ada di dalamnya, digambarkan dalam bagan di bawah ini :

Bagan I

( kerangka hubungan religiusitas terhadap resiliensi )

= Arah Pengaruh D. HIPOTESA

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut.

Resiliensi Remaja Religiusitas


(60)

46

1. Hipotesis Alternatif (Ha) : Ada pengaruh yang signifikan antara religiusitas terhadap resiliensi.

2. Hipotesis Nihil (Ho) : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara religiusitas terhadap resiliensi.


(61)

47 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Hal tersebut karena data penelitian ini berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Penelitian ini bersifat kausal yang bertujuan mengetahui adanya pengaruh satu variabel terhadap variabel lain. Sugiyono (2009: 37) menjelaskan bahwa penelitian hubungan kausal adalah hubungan yang bersifat sebab akibat. Jadi pada penelitian ini terdapat variabel independent (variabel yang mempengaruhi) dan dependent (dipengaruhi).

Penelitian ini bersifat kuantitatif kausal karena bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara variabel religiusitas terhadap variabel resiliensi pada siswa kelas X di SMA N 2 Karanganyar.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakuan di SMA N 2 Karanganyar. Yang terdapat banyak latar belakang siswa yang berbeda-beda.

2. Waktu

Penelitian ini dilaksanankan pada bulan Juni sampai bulan juli tahun 2016

C. Subyek Penelitian 1. Populasi

Sugiyono (2009: 80) menjelaskan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek dan objek yang mempunyai kuantitas


(62)

48

dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian menarik kesimpulannya.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA N 2 Karanganyar tahun ajaran 2016/2017. Jumlah populasi dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Distribusi Jumlah Populasi

KELAS X IPA 1 IPA 2 IPA 3 IPA 4 IPA 5 IPS 1 IPS 2 IPS 3 IPS

4 JUMLAH

36 32 35 31 31 32 32 36 36 301

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, peneliti tidak mungkin mendapatkan semua informasi yang ada pada populasi. Misalnya karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Fenomena yang terjadi pada populasi juga terjadi pada. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul mewakili (Sugiyono. 2009: 81). Penelitian ini menggunakan cara untuk menentukan jumlah sampel penelitian merujuk pada cara yang dipaparkan dalam tabel Isac dan Michael yang terdapat 3 macam tingkat kesalahan yaitu 1%, 5%, dan 10%.

Subyek penelitian yaitu SMA N 2 Karanganyar memiliki jumlah populasi siswa kelas X sejumlah 301 yang tidak bisa diambil semua data populasi dikarenakan keterbatasan penelitian.


(63)

49

Selanjutnya dikarenakan keterbatasan tersebut pengambilan data menggunakan sampel,sampel yang diambil menggunakan tingkat kesalahan 10 %. Tabel Isaac dan Michael menunjukan populasi dengan jumlah 301 siswa tersebut harus mengambil jumlah sampel sebanyak 143 siswa, tabel pengambilan sampel dapat dilihat di lampiran.

Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Cluster Random Sampling untuk menentukan subyek. Random slamping digunakan peneliti untuk mengambil sampel dengan cara mencampur objek-objek di dalam populasi sehingga semua objek dianggap memiliki kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel. Oleh karena hak setiap objek sama, maka peneliti terlepas dari sifat subjektif yang ingin mengistimewakan satu atau beberapa objek untuk dijadikan sampel penelitian.

Sementara cluster random sampling dilakukan terhadap individu, dimana individunya berada dalam satu kelompok/kelas (cluster) setiap individu dalam kelompok yang terpilih akan diambil sebagai sampel.

Langkah-langkah pengambilan sampel yaitu :

1. Membuat gulungan kertas berisikan nama kelas sejumlah 8 (delapan) gulungan yaitu IPA.1 ; IPA.2 ; IPA.3 ; IPA.4 ; IPA.5 ; IPS.1; IPS.2 ; IPS.3 ; IPS.4. Memasukkan gulungan ke dalam toples sehingga setiap gulungan memdapat kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel penelitian.

2. Mengambil 4 (tiga) gulungan secara acak dan gulungn yang terambil adalah kelas yang dijadikan subyek penelitian.


(64)

50

3. Terpilih 4 kelas yaitu IPA.1 ; IPA.3; IPS.3 ; IPS.4 berjumlah 143 siswa. Rincian sampel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Sampel Penelitian

Kelas X Jumlah siswa Jumlah total

IPA.1 36 siswa

143 siswa

IPA.3 35 siswa

IPS.3 36 siswa

IPS.4 36 siswa

D. Variabel Penelitian

Variabel pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan.

Variabel adalah konstruk atau sifat yang akan dipelajari. Variabel dapat dikatakan sebagai suatu sifat yang diambil dari suatu nilai yang berbeda (different values). Dengan demikian variabel itu merupakan suatu yang bervariasi. Secara teoritis variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau obyek, yang mempunyai variasi antara satu orang dengan orang lain atau obyek dengan obyek lain (Hatch dan Farhady. 1981).

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat dirumuskan bahwa variabel adalah suatu atribut atau sifat seseorang yang memiliki variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan.

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat.


(65)

51

Variabel bebas yaitu variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab timbulnya variabel (dependent) terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah religiusitas.

2. Variabel terikat (dependent)

Variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat dari variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah resiliensi.

E. Definisi Operasional Variabel

Secara teoritik, definisi religiusitas mengacu dimensi-dimensi pada teori yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam teori-teori psikologi, 2014: 170) sedangkan resiliensi mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Gotberg (1995: 10), dirumuskan definisi operasional yang akan berfungsi sebagai panduan operasional dan alat ukur sebagai berikut.

1. Religiusitas

Religiusitas adalah ikatan antara manusia dengan Tuhan, dimana manusia harus patuh karena Tuhan memiliki kekuatan di atas segalanya yang besar sekali pengaruhnya terhadapa kehidupan manusia. Tingkat religiusitas diperoleh dengan menggunakan sebuah skala religiusitas yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi religiusitas mengenai keyakinan, peribadatan atau praktik agama, penghayatan, pengetahuan agama, dan pengalaman. Semakin tinggi skor yang dihasilkan oleh alat ukur menunjukkan bahwa tingkat religiusitas yang dimiliki individu juga tinggi. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dihasilkan menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tingkat reigiusitas yang rendah.


(66)

52 2. Resiliensi

Resiliensi adalah kemampuan untuk menghadapi dan meningkatkan diri dari keterpurukan dalam seseorang manjalani kehidupannya. Resiliensi diperoleh dengan menggunakan sebuah skala resiliensi yang dikembangkan dari aspek-aspek pembentuk resiliensi dengan kemampuan yang harus dimiliki yaitu : (1) I Can, kemempuan mengungkapkan pikiran dan perasaan. Yang meliputi : komunikasi, pengelolaan perasaan, kontrol diri. (2) I Am, kemampuan yang beral dari dalam diri sendiri. Meliputi : perasaan, sikap, dan keyakinan. Semakin tinggi skor yang dihasilkan pada alat ukur menunjukkan bahwa resiliensi yang dimiliki individu juga tinggi. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh dari alat ukur menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki resiliensi yang rendah. F. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 265) menyatakan bahwa teknik pengumpulan data adalah menentukan metode setepat-tepatnya untuk memperoleh data. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan memberikan skala resiliensi dan skala religiusitas. Skala merupakan kesepakaan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono, 2009: 92).

G. Instrumen Penelitian

Menurut Sugiyono (2009: 102) instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang


(67)

53

diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel. Instrumen pengumpul data yang digunakan pada penelitian ini adalah skala, yaitu skala religiusitas dan skala resiliensi.

Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala religiusitas dan resiliensi. Skala ini menggunakan pernyataan yang memiliki alternatif jabawan persesuaian atau penolakan terhadap pernyataan yang disediakan dengan empat alternatif jawaban untuk skala resiliensi. Empat alternatif jawaban tersebut antara lain sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Sedangkan untuk skala religiusitas memiliki alternatif jawaban persesuaian atau penolakan terhadap pernyataan yang disediakan dengan empat alternatif jawaban. Empat alternatif jawaban tersebut antara lain selalu (S), kadang-kadang (KK), jarang (J), dan tidak pernah (TP).

Kemudian untuk pemberian skor pada masing-masing alternatif jawaban telah ditetapkan seperti pada tabel berikut :

Tabel 3. Skor Alternatif Jawaban Skala RESILIENSI

Alternatif Jawaban Skor

Favorable (+) Unfavorable (-)

Sangat Sesuai (SS) 4 1

Sesuai (S) 3 2

Tidak Sesuai (TS) 2 3

Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

Tabel 4. Skor Alternatif Jawaban Skala RELIGIUSITAS

Alternatif Jawaban Skor

Favorable (+) Unfavorable (-)

Selalu (S) 4 1

Kadang-kadang (KK) 3 2

Jarang (J) 2 3


(68)

54

Pada penelitian ini instrumen disusun berdasarkan indikator-indikator yang terdapat pada aspek-aspek dan dimensi-dimensi veriabel penelitian. Peneliti menyusun instrumen penelitian sebagi berikut.

1. Skala Resiliensi

Skala resiliensi ini disusun berdasarkan aspek-aspek resiliensi yang dikemukakan oleh Grotberg (1995). Aspek-aspek resiliensi tersebut meliputi:

1) Kemampuan pribadi/ Interpersonal coping skills ( I can ), indikatornya yaitu :

a) Mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam berkomunikasi dengan orang lain

b) Mampu memecahkan masalah dalam kehidupan

c) Mampu mengontrol tingkah laku dalam menjaga perasaan orang lain

d) Mampu mencari hubungan yang harmonis dengan orang lain

2) Optimisme/ Inner strength ( I am ), indikatornya yaitu :

a) Mempunyai sikap sebagai seseorang yang disukai banyak orang b) Memiliki kepedulian terhadap orang lain

c) Bertanggung jawab atas segala tingkah laku yang dilakukan d) Mempunyai keyakinan dan penuh harap


(69)

55 Tabel 5. Kisi-kisi resiliensi

Aspek Indikator Item jumlah

F U

Kemampuan pribadi/ Interpersonal coping skills ( I can )

Mampu mengungkap kan pikiran, perasaan dengan baik

8,1 ,32,19 11,14 ,15 7

Mampu mengendalik an perasaan serta perilaku yang mengancam perasaan dan hak orang lain

44,27,21,3 4,17,23,37 8

Mampu memahami karakteristik diri dan orang lain

13,41,36 22,16 5

Optimisme/ Inner strength ( I am)

Keyakinan akan

kemampuan diri

25,24,35,28 30,29,26 7

Memiliki empati serta sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesame 20,5,2

31,6 5

Merasakan kebanggaan akan diri sendiri

38,10,7


(70)

56 Tabel 5. Kisi-kisi resiliensi

Aspek Indikator Item jumlah

F U

Bertanggung jawab atas perilakunya serta berani menanggung segala konsekuensin ya

34,40 33,43 4

Diliputi akan harapan dan kesetiaan

9,12 18 3

Jumlah 44

2. Skala Religiusitas

Skala religiusitas ini disusun berdasarkan dimendi-dimendi dalam religius yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Shaver dan Robinson, 1975;Subandi, 1988; Afiatin, 1997). Dimensi-dimensi tersebut meliputi :

1). Dimensi keyakinan (the ideological dimention)

2). Dimensi peibadatan atau praktik agama (the ritulistic dimention) 3). Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimention) 4). Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension) 5). Dimensi effect atau pengalaman (the concequential dimension)


(71)

57 Tabel 6. Kisi-kisi Religiusitas

Aspek Indikator item Jumlah

item

F U

Dimensi keyakinan (the ideological dimention) Menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa

1,8,2 18,23 5

Menerima kebenaran agama

15,26,13 29,5 5

Dimensi peribadatan atau praktik agama (the ritulistic dimention) Mengerjakan kewajiban-kewajiban dalam agama

16,17 10 ,9 4

Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimention) Pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, serta sensasi yang dialami

20,19,12,22,11 14 ,21 7

Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension) Pengetahuan yang dimiliki dalam memahami ajaran agama

28,7 2

Dimensi effect atau pengalaman (the concequential dimension) Identifikasi keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, serta pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari

3,24,4,27,30 6,25 7


(72)

58 H. Uji Validitas

1. Validitas

Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan sesuatu instrumen. Instrumen yang valid akan mempunyai validitas yang tinggi, begitu juga sebaliknya, berarti instrument tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

Validitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan validitas isi dengan meminta pertimbangan kepada para ahli untuk dievaluasi apakah butir-butir instrumen tersebut telah mewakili apa yang hendak diukur. Pengujian butir-butir aitem oleh ahli ini biasa disebut dengan uji expert judgement. Ahli yang dimaksud dosen pembimbing yaitu ibu Farida Agus Setiawat,M.Si. Adapun beberapa hal hasil analisis oleh dosen pembimbing dari instrumen yang dibuat oleh peneliti. Pertama, mengganti salah satu indikator dari aspek I Am yaitu mempunyai karakteristik yang menarik dan penyanyang sesama, diganti dengan keyakinan akan kemampuan diri. Kedua, sejumlah 44 item pernyataan yang dibuat peneliti ada beberapa masukan yang diberikan adalah item 21, 22 dinyatakan gugur digantikan dengan item 40 dan 41 karena kedua item ini sesuai dengan indikatornya. Kemudian menambahkan item pada indikator bertanggung jawab atas perilakunya serta berani menggung segala konsekuensinya. Ketiga, adanya perubahan kata pada sejumlah item agar menjadi kalimat yang baku atau sesuai.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH DIMENSI KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN DI CAFE MADAM WANG SECRET GARDEN MALANG

18 115 26