Penelitian survei tentang permasalahan-permasalahan orang tua dalam memberikan pendidikan seks di Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten.
PENELITIAN SURVEI TENTANG PERMASALAHAN- PERMASALAHAN ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN
PENDIDIKAN SEKS DI KECAMATAN PEDAN, KABUPATEN KLATEN
Ika Septiyaningsih ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggali permasalahan-permasalahan orang tua dalam memberikan pendidikan seks yang tinggal di kawasan lokalisasi. Informan dalam penelitian ini adalah 40 orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi, yang memiliki anak usia 5 sampai 18 tahun, dan bersekolah PAUD/TK hingga SMA. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan survei. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur dengan kuesioner. Validasi data dilakukan melalui member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan-permasalahan orang tua dalam memberikan pendidikan seks yang tinggal di kawasan lokalisasi adalah mengenai sikap (terkait perasaan), pengetahuan, keterampilan dalam mengkomunikasikan pendidikan seks dan kondisi keluarga (terkait kemauan orang tua).
(2)
SURVEY RESEARCH ABOUT THE PARENTS PROBLEMS IN PROVIDING SEX EDUCATION AT SUB PEDAN, DISTRICT KLATEN
Ika Septiyaningsih ABSTRACT
This aims of this study to explore the parents problems in providing sex education living in areas of prostitution. Informants in this study were 40 parents who living in the area of prostitution, which have children age of 5 to 18 years old, and who attend PAUD or kindergarten to high school. This is a qualitative research which uses survey. Data collection methods used semi-structured interview with questionnare. Validation data is done through the member checking. The results showed that the parents problems in providing sex education who living in the area of prostitution is about attitudes (related feelings),knowledge, communicating skills in sex education and family circumstances (related to the willingness of parents).
(3)
i
PENELITIAN SURVEI TENTANG PERMASALAHAN-PERMASALAHAN ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN
PENDIDIKAN SEKS DI KECAMATAN PEDAN, KABUPATEN KLATEN Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Ika Septiyaningsih
109114110
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2016
(4)
(5)
(6)
iv
HALAMAN MOTTO
Nothing Is Impossible. Anything Can Happen As Long As We Believe.
Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal.
(Ayub42 : 2)
Aja pada nyumelangake bab apa bae, nanging padha lairna sakehing pepenginanmu marang Gusti Allah ing pandonga lan
panyuwun kalawan caos sukur. (Filipi4 : 6)
Tuhan mengerti segala hal yang kita hadapi, yang Tuhan mau yaitu kita percaya bahwa segala sesuatu akan indah pada
waktuNya. (@sahabatblessing)
Try not become a man of success, but rather try to become a man of value.
(Albert Einstein)
Karena masa depan sungguh adadan harapanmu tidak akan hilang.
(7)
v
Halaman Persembahan
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Tuhan Yesus Kristus, terima kasih untuk bimbingan, penyertaan, berkat dan anugerahMu di dalam hidupku. Engkaulah sumber kekuatan
dan pengharapan. Terima kasih Tuhan.
Bapak dan Ibu tercinta, yang memberikan kasih sayang untuk anak satu-satunya ini, mendoakanku, menyemangatiku, mendukungku dalam
segi apapun dan terima kasih atas jerih payah kalian. Kalian berdua penyemangatku. Maaf pak-buk jika proses penyusunan skripsi
ini membutuhkan waktu yang panjang. Tapi percayalah ini untuk kalian. Terima kasih Bapak dan Ibuku.
Andrian Guntur Nugrahanto, Pak Sri dan Bu Hani, Mbak Ina yang selalu memberikan semangat, dukungan, keceriaan dan canda tawa.
Terima kasih.
Keluarga, saudara, teman dan sahabat yang memberikan semangat. Terima kasih semua.
(8)
(9)
vii
PENELITIAN SURVEI TENTANG PERMASALAHAN-PERMASALAHAN ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN
PENDIDIKAN SEKS DI KECAMATAN PEDAN, KABUPATEN KLATEN
Ika Septiyaningsih ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggali permasalahan-permasalahan orang tua dalam memberikan pendidikan seks yang tinggal di kawasan lokalisasi. Informan dalam penelitian ini adalah 40 orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi, yang memiliki anak usia 5 sampai 18 tahun, dan bersekolah PAUD/TK hingga SMA. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan survei. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur dengan kuesioner. Validasi data dilakukan melalui member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan-permasalahan orang tua dalam memberikan pendidikan seks yang tinggal di kawasan lokalisasi adalah mengenai sikap (terkait perasaan), pengetahuan, keterampilan dalam mengkomunikasikan pendidikan seks dan kondisi keluarga (terkait kemauan orang tua).
(10)
viii
SURVEY RESEARCH ABOUT THE PARENTS PROBLEMS IN PROVIDING SEX EDUCATION AT SUB PEDAN, DISTRICT KLATEN
Ika Septiyaningsih ABSTRACT
This aims of this study to explore the parents problems in providing sex education living in areas of prostitution. Informants in this study were 40 parents who living in the area of prostitution, which have children age of 5 to 18 years old, and who attend PAUD or kindergarten to high school. This is a qualitative research which uses survey. Data collection methods used semi-structured interview with questionnare. Validation data is done through the member checking. The results showed that the parents problems in providing sex education who living in the area of prostitution is about attitudes (related feelings),knowledge, communicating skills in sex education and family circumstances (related to the willingness of parents).
(11)
(12)
x
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Penelitain Survei Tentang Permasalahan-Permasalahan Orang Tua
Dalam Memberikan Pendidikan Seks Di Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si sebagai Dekan di Fakultas Psikologi,
sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto. S.Psi., M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak C Wijoyo Adinugroho, M.Si., Psikolog selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih atas bantuan dan kesabaran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi ini.
4. Segenap dosen dan staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. 5. Kepala BAPPEDA Kabupaten Klaten, terima kasih atas ijin yang telah
diberikan sehingga penulis dapat melakukan penelitian ini.
6. Kepala Desa Sobayan, terima kasih atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian di desa Sobayan.
7. Bapak Sukisno yang telah membantu memperkenalkan penulis kepada warga di Desa Sobayan.
8. Seluruh warga desa Sobayan, terima kasih atas kesedian dan bantuannya dalam proses penelitian ini.
9. Bapak dan Ibuku, terima kasih atas doa dan dukungannya selama proses penyusunan skripsi ini. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Semoga hasil karya ini bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian.
10. Bapak Sri, Ibu Hani, Mbak Ina, Mas Rico terima kasih atas dukungannya. 11. Andrian Guntur Nugrahanto, terima kasih atas dukungan, semangat dan
kesetiaannya.
(13)
xi
13. Bapak Pendeta dan segenap Majelis GKJ Karangdowo, terima kasih atas doa dan dukungannya.
14. Terima kasih banyak untuk Vivid dan Guntur sudah meluangkan waktu dan tenaganya dalam proses penelitian ini.
15. Saudara-saudara terkasihku : Rinta, Christy, Fil, Vivid, Rachel, Mbak Ester, Tyas, Yohana, Lena, Mymy, Dien.. Terima kasih atas perhatian, dukungan, bantuan, semangat, canda tawa, dllnya. Sukses untuk kita semua
ya… Amin.
16. Teman-teman anak bimbingan Pak Adi, terus semangat dan berjuang teman-teman.
17. Kawan-kawan Psikologi angkatan 2010 tetap semangat dan terima kasih atas kebersamaannya selama perkuliahan ini.
18. Semua yang telah membantu dan yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis sangat terbuka dalam kritik dan saran demi kemajuan penulis kedepannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Yogyakarta, 12 April 2016 Penulis
(14)
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 11
C. TUJUAN PENELITIAN ... 11
D. MANFAAT PENELITIAN... 11
1. Manfaat Teoritis ... 11
(15)
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13
A. PENDIDIKAN SEKS ... 13
1. Pendidikan... 13
2. Seksualitas dan Seks ... 14
3. Transmisi Budaya Tentang Seks, Gender ... 16
4. Pengertian Pendidikan Seks ... 20
5. Pendidikan Seks di Indonesia... 21
6. Tujuan Pendidikan Seks... 25
7. Materi Pendidikan Seks... 26
8. Sumber Pendidikan Seks... 27
9. Aspek Pendidikan Seks ... 29
10. Ruang Lingkup dan Masalah Pendidikan Seks... 33
11. Permasalahan Orang tua dalam Pendidikan Seks .. 41
B. DESKRIPSI DESA SB DAN MASYARAKATNYA.. 47
C. KERANGKA PENELITIAN ... 51
BAB III METODE PENELITIAN ... 57
A. JENIS PENELITIAN ... 57
B. INFORMAN PENELITIAN ... 57
C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA... 58
D. TEKNIK PENYUSUNAN INSTRUMEN ... 60
E. PEMBUATAN KUESIONER UTAMA ... 62
F. VALIDITAS DAN KEABSAHAN DATA ... 70
(16)
xiv
2. Keabsahan Data... 73
G. ANALISIS DATA ... 74
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 75
A. PELAKSANAAN PENELITIAN... 75
1. Tahap Persiapan ... 75
2. Tahap Pelaksanaan ... 75
B. HASIL PENELITIAN... 77
1. Sikap... 77
2. Pengetahuan ... 79
3. Keterampilan ... 83
4. Kondisi Keluarga ... 84
C. PEMBAHASAN ... 88
1. Sikap... 88
2. Pengetahuan ... 90
3. Keterampilan ... 91
4. Kondisi Keluarga ... 92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 95
A. KESIMPULAN ... 95
B. KETERBATASAN PENELITIAN... 95
C. SARAN ... 96
1. Bagi Pemerintah/ BkkbN/ Instansi terkait... 96
2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 97
(17)
xv
4. Bagi Masyarakat... 98 DAFTAR PUSTAKA ... 99 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 108
(18)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rincian Dampak Negatif Lokalisasi ... 2
Tabel 2 Jenjang Pendidikan Penduduk Desa Sobayan... 49
Tabel 3 Jenjang Pendidikan Anak Desa Sobayan ... 49
Tabel 4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Sobayan ... 49
Tabel 5 Data Informan ... 58
Tabel 6 Rincian Kesediaan Informan... 63
Tabel 7 Kisi-kisi Kuesioner dan Wawancara... 64
Tabel 8 Blue-print Kuesioner... 71
(19)
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar Desa Sobayan ... 50 Gambar 2 Gambar Kerangka Penelitian ... 56 Gambar 3 Skema Hasil Penelitian... 87
(20)
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Analisis Data... 109
Lampiran 2 Keabsahan Data ... 120
Lampiran 3 Data Lapangan ... 121
Lampiran 4 Data Informan... 151
Lampiran 5 Skala Penelitian ... 154
Lampiran 6 Kunci Jawaban... 165
(21)
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini telah terjadi banyak kasus kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan laporan dari KPAI kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahunnya. Selama tahun 2013 dari 2700 kasus kriminal yang melibatkan anak dibawah umur, ada 42% merupakan kasus pelecehan seksual. Tahun 2014 terdapat 52% kasus pelecehan seksual, dan pada tahun 2015 terdapat 1756 kasus yang melibatkan anak, 58% merupakan kasus pelecehan seksual(http://m.gresnews.com). Menurut Satgas KPAI, rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksualsetiap bulannya (http://m.news.viva.co.id).
Beberapa waktu yang lalu, muncul kasus prostitusi di kalangan siswi SMP di Surabaya. Siswi yang berusia 15 tahun tersebut sudah menjadi mucikari dan korban prostitusi adalah kakak kandungnya sendiri (http://id.theasianparent.com). Kasus yang paling baru adalah terungkapnya kasus prostitusi anak di bawah umur dengan jumlah korban eksploitasi seksual 15 anak dan rata-rata usia mereka 15-16 tahun (http://m.metrotvnews.com). Selain itu, masih banyak kasus-kasus yang mempekerjakan anak di bawah umur di tempat karaoke atau di lokalisasi sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial). Hal ini menunjukkan betapa maraknya kasus–kasus eksploitasi pada anak.
(22)
Kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, sekolah, rumah bahkan lingkungan sekitar tempat tinggal. Kasus kekerasan seksual ini ternyata juga terjadi dikawasan prostitusi atau lokalisasi. Data Lembaga Pendamping Anak di Lokalisasi Dolly (PKBM), dalam 7 tahun terakhir terdapat 321 kasus menimpa anak di Dolly, yaitu mulai dari ditelantarkan orang tua sampai menjadi korban kekerasan seksual. Menurut Ketua PKBM, Mariani Zainal memberikan rincian dampak negatif lokalisasi Dolly sebagai berikut (http://intisari-online.com):
Tabel 1
Rincian Dampak Negatif Lokalisasi :
81 anak Menjadi korban kekerasan domestik, seperti dipukul dan diperlakukan secara kasar. 45 anak Menjadi korban kekerasan seksual. 15 anak laki-laki Menjadi korban sodomi.
30 anak perempuan
Menjadi korban perkosaan.
8 anak Menjadi korban kekerasan ekonomi, seperti mengemis.
18 anak Terlibat masalah hukum seperti terlibat pencurian kendaraan bermotor, menjambret atau berjudi.
14 anak Ditelantarkan oleh orangtua.
134 anak Menjadi korban kekerasan rumah tangga. 5 anak Menjadi korban trafficking.
11 anak Menjadi kekerasan masa pacaran termasuk hamil di luar nikah.
5 anak Terjerat kasus narkoba.
Menurut Kepala Bapemas Surabaya, Nanis Chairani, saat ini Bapemas bersama psikiater sedang menangani seorang anak dari PSK (Pekerja Seks Komersial) yang masih berumur 8 tahun yang ditelantarkan
(23)
oleh orang tuanya dan anak tersebut mengalami kecanduan seks (www.news.detik.com). Ibunya adalah seorang PSK diberbagai lokalisasi di Surabaya.Sejak kecil tinggal bersama dan melihat langsung ibunya melayani para lelaki. Perilaku anak 8 tahun ini berbeda dengan anak seusianya, ia sudah berdandan atau memakai kosmetik. Ketika ada psikolog laki-laki datang melihat kondisi anak tersebut, psikolog itu digoda dan dipegang-pegang (www.jpnn.com).
Anak-anak di Dolly terbiasa melihat ibunya melayani pelanggan. Hal ini karena anak-anak mereka tinggal dalam wisma yang sama hanya disekat oleh tembok tipis. Dalam beberapa waktu yang lalu, seorang akademisi dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya melakukan penelitian di kawasan Dolly. Kemudian akademisi tersebut mengambil foto dan sempat ditayangkan di stasiun TV swasta. Foto tersebut menunjukkan seorang bayi, kira-kira batita yang tidur di sofa lobby wisma sekitar pukul 2 dini hari. Di sekitarnya terdapat seorang PSK yang tampak membelakangi kamera dan ada di ruangan yang berbataskan kaca (www.lifestyle.kompasiana.com). Tampaknya aktivitas prostitusi di Dolly
merupakan “aktivitas biasa” yang bisa disaksikan, dilihat bahkan
dinikmati oleh siapapun, kapanpun termasuk anak-anak.
Menurut Rongrong (Yulita Amaliyasari & Nunik Puspitasari, 2015) tinggal dikawasan lokalisasi dapat meninggalkan trauma. Kremil adalah salah satu lokalisasi di Surabaya. Para PSK merupakan PSK yang berusia lanjut dan berasal dari Dolly. Mereka cenderung agresif kepada semua pria
(24)
termasuk anak yang masih sekolah SD. Akibatnya anak SD di kawasan Kremil sudah memperoleh pengalaman seksual yang belum waktunya. Secara tidak langsung mereka juga terpengaruh oleh lingkungan. Banyak anak yang melubangi dinding rumahnya untuk melihat aktivitas PSK. Para orang tua terkesan tidak peduli dengan pergaulan dan pendidikan anaknya.
Menurut Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, fenomena anak 8 tahun yang mengalami kecanduan seks hanyalah fenomena gunung es. Beliau percaya masih ada anak-anak yang mengalami dampak buruk akibat keberadaan lokalisasi (www.republika.co.id). Anak yang tinggal di lokalisasi minim perhatian orang tua, mereka harus menyaksikan segala hal yang sebenarnya tidak layak untuk disaksikan. Anak menjadi dewasa sebelum waktunya, padahal usianya masih anak-anak. Anak mengalami overseks karena terbiasa bergaul dengan lawan jenis yang lebih tua (www.m.beritajatim.com). Rongrong (Yulita Amaliyasari & Nunik Puspitasari, 2015) awalnya anak yang tinggal di kawasan lokalisasi tidak tahu tentang aktivitas di lingkungannya. Namun seiring dengan semakin lama mereka berinteraksi, maka berpengaruh pada pertumbuhan psikologis anak. Bagaimana dengan nasib anak-anak yang bertempat tinggal di kawasan serupa?. Adakah pendampingan untuk anak-anak disana, sehingga ada antisipasi agar tidak terjadi hal-hal seperti diatas?.
Lokalisasi Dolly adalah hanya salah satu dari tempat prostitusi yang ada di Surabaya. Tidak hanya Dolly, beberapa daerah di Jawa Tengah juga terdapat lokalisasi. Salah satunya adalah di sebuah desa di Kecamatan
(25)
Pedan, Kabupaten Klaten terdapat lokalisasi tidak resmi (www.suaramerdeka.com). Menurut salah satu peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Sebelas Maret (PPK UNS) Solo, Argyo MSc, memaparkan hasil penelitian Rapid Assesment untuk Masalah HIV/AIDS di Kabupaten Klaten. Salah satu desa di Kecamatan Pedan terdapat bekas lokalisasi yang masih digunakan sebagai tempat transaksi seksual. Argyo mengungkapkan tempat tersebut sampai saat ini masih ada aktivitas (www.solopos.co.id).
Berdasarkan wawancara kepada Sekretaris Desa (1 Desember 2014)
menyatakan bahwa keberadaan “komplek” (istilah lokalisasi) sudah lama
yaitu sejak jaman Belanda dan aktivitasnya masih ada hingga saat ini. Beberapa tahun yang lalu, ada indikasi penularan HIV/AIDS di komplek tersebut. Keberadaan lokalisasi tersebut berada di perkampungan atau pemukiman penduduk dan sebagian penduduk di desa Sobayan membuka warung dan menjadi penyewa kos-kosan. Lokalisasi memberikan dampak secara ekonomi, sehingga secara tidak langsung lokalisasi menjadi tempat mencari nafkah untuk keluarga.
Kos-kosan yang mereka sewakan untuk PSK tergabung atau menjadi satu dengan rumah pemiliknya, kemudian anak-anak terbiasa melihat aktivitas yang terjadi. Para remaja mulai menghabiskan waktunya untuk nongkrong, bahkan satu RT di kawasan tersebut malas bekerja. Remaja suka merokok dan minum-minuman keras. Peredaran barang ini sangat mudah dan tersedia disana. Selain itu, pada tahun 2002 telah terjadi
(26)
pemerkosaan hingga korbannya tewas. Korban diperkosa secara tidak wajar oleh 3 pemuda yang berusia 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lokalisasi memberikan dampak yang cukup besar, diantaranya masalah kenakalan remaja dan kasus pemerkosaan. Disisi lain, secara ekonomi keberadaan lokalisasi ini juga memberikan dampak untuk pemenuhan kebutuhan keluarga.
Situasi sosial desa Sobayan menunjukkan bahwa keberadaan lokalisasi menjadi tempat untuk mereka mencari nafkah dan menjadi penopang perekonomian sebagian keluarga disana. Dalam hal pendidikan, khususnya mengenai seks di dalam keluarga, tampaknya orang tua masih mengabaikan pemberian pendidikan seks tersebut. Berdasarkan wawancara kepada beberapa orang tua di desa tersebut yang memiliki anak usia sekolah dasar, menyatakan bahwa mereka tidak memberikan penjelasan mengenai masalah seks, mereka beranggapan bahwa kelak jika sudah besar anak mereka akan mengetahui masalah tersebut. Selain itu, membicarakan seks adalah tabu, tidak pantas dibicarakan karena adat (16 Januari 2015 dan 19 Januari 2015). Wawancara awal yang memberikan informasi bahwa belum ada perhatian dan kepedulian dari orang tua mengenai pendidikan seks kepada anak, bahkan orang tua tampaknya cenderung pasif dalam memberikan pendidikan seks. Padahal pendidikan seks adalah wujud dari tindakan preventif sebagai antisipasi berbagai kasus seperti di Dolly dan kasus serupa yang pernah terjadi di salah satu
(27)
desa di Kecamatan Pedan tersebut. Peran orang tua juga menjadi sangat penting untuk anak-anaknya dalam memberikan pendidikan seks.
Berdasarkan uraian diatas, apa yang terjadi di desa Sobayan tampaknya sejalan dengan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan praktik pendidikan seks. Seks dianggap tabu dan tidak boleh dibicarakan secara terbuka dihadapan umum. Orang tua biasanya merasa malu untuk menjelaskan masalah seks pada anak. Anak justru akan mendapatkan informasi dari teman sebaya. Pada suku Jawa, seorang gadis mendapat informasi tentang seks secara samar dari ibu atau kakak perempuan yang telah menikah (Frans Magnis Suseno dalam Tukan, S. J. 1985:83). Menurut Suwardi (2009) kedudukan orang tua dalam sebagian masyarakat Jawa, terlebih masyarakat pedesaan, sejauh ini tidak memiliki fungsi sepenuhnya tentang masalah seks. Hal ini berkaitan dengan perasaan enggan dan pandangan yang masih sempit sehingga menjadi faktor penghalang pengungkapan seks di keluarga. Terlebih bagi orang tua yang memiliki sifat risih atau tidak blak-blakan dan sangat menjunjung ‘etika ketimuran’.
Pendidikan seks sangat perlu diberikan kepada anak sedini mungkin. Hal ini karena supaya mereka memiliki dasar pengetahuan yang kuat mengenai seks, sehingga dapat mengetahui baik-buruk tindakan-tindakan yang berhubungan dengan seks. Orang tua adalah lingkungan yang terdekat bagi anak sejak ia dilahirkan, maka dengan peranan orang tua sangat penting dalam memberikan dasar-dasar pengetahuan seks pada
(28)
anaknya (Sarlito W. Sarwono dan Ami Siamsidar,1986). Mulyadi (Pratiwi, 2010) menambahkan bahwa melalui pendidikan seks yang sehat, anak akan mendapatkan pemenuhan kebutuhan psikoseksualnya secara tepat dan benar sehingga anak juga akan memiliki sikap serta tingkah laku seksual yang bertanggung jawab, dan anak akan tahu apa yang dilakukan serta tahu apa akibat dari perbuatannya.
Pada kenyataannya adalah para orang tua merasa enggan untuk memberikan informasi tentang seks dan kesehatan reproduksi. Hal ini disebabkan oleh rasa rendah diri karena pengetahuan mereka yang rendah tentang kesehatan reproduksi atau pendidikan seks (Nugraha dalam S.R. Juliana Marpaung & Setiawan, tanpa tahun). Mereka memiliki pengetahuan yang terbatas, sehingga mereka menjadi kurang berfungsi sebagai sumber pendidikan seks. Selain itu, orang tua belum terbuka mengenai masalah seks. Mereka juga menabukan masalah seks dan mereka berpendapat seks adalah sesuatu yang alamiah, kemudian akan
diketahui setelah menikah (Sarlito W. Sarwono, 1994:18, Mu’tadin dalam
Evi Karota & Yesi Ariani, 2005). Orang tua juga memiliki nilai-nilai yang diyakini, ketika dibicarakan secara terbuka maka berpengaruh pada perilaku seksual anaknya (PKBI dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005).
Komunikasi yang tidak efektif dan tidak terbuka saat anak menanyakan masalah seks, akhirnya membuat anak mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan seksual (Sarwono dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005). Orang tua tidak tahu kapan mereka memberikan pendidikan
(29)
seks. Orang tua tidak tahu bagaimana cara memberikan pendidikan seks yang tepat karena tidak memiliki pengalaman dalam memberikan informasi tentang seks (Widjanarko, dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005). Seringkali orang tua tidak memahami perilaku anak ketika melakukan tahap perkembangan psikoseksual dan menganggap seks sebagai sesuatu hal yang terkesan belum waktunya untuk dijelaskan sehingga melewatkan pendidikan seks untuk diajarkan sejak dini kepada anak (http://www.edukasi.kompasiana.com).
Informasi mengenai seks dan seksualitas perlu diberikan supaya manusia memahami dirinya dan seksualitasnya. Informasi tentang seks dan seksualitas manusia adalah bagian dari pendidikan seks (Djiwandono, 2008). Menurut Widjanarko, pendidikan seks adalah upaya mendidik dan mengarahkan perilaku seksual secara baik dan benar. Perilaku seks dalam hal ini berarti menekankan aspek fisik maupun psikis yang akan menimbulkan seks yang sehat bagi diri sendiri atau orang lain (Helmi A.F & I. Paramastri, 1998). Menurut psikolog Ratri Sunar Astuti, pendidikan seksual adalah tugas dan tanggung jawab orang tua. Dalam memberikan pendidikan seks, orang tua perlu memperhatikan rasa aman dan nyaman anak. Ditambahkan lagi bahwa orang tua tidak perlu malu dalam menjelaskan sesuatu kepada anak dan saat anak menanyakan pertanyaan tertentu. Penyampaian materi pendidikan seks perlu didukung suasana hangat, informasi diberikan dengan benar dan ilmiah, serta menggunakan bahasa sederhana. Orang tua harus memiliki sikap tenang, tidak terkejut
(30)
atau malu-malu dalam menjelaskan, memberikan penjelasan sesuai usia anak (http://merdeka.com). Kenyataannya dalam hasil wawancara awal (16 & 19 Januari 2015) orang tua belum menunjukkan perhatian dan kepedulian untuk memberikan pendidikan seks.
Berdasarkan penelitian Utamadi (Titi , P; Nuryoto, S & Aviatin, D., 2002) menunjukkan bahwa pendidikan seks sejak dini telah mendapatkan sambutan positif dari para orang tua yang peduli terhadap perkembangan anak remaja. Selain itu, penelitian dari Zelnik dan Kim (dalam Sarlito W. Sarwono, 1994) menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung lebih sering melakukan hubungan seks, tetapi yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Penelitian yang lain oleh Fox dan Inazu (dalam Sarlito W. Sarwono, 1994) bahwa semakin sering membicarakan mengenai seks antara ibu dan anak, maka tingkah laku seksual anaknya akan semakin bertanggung jawab. Apabila komunikasi antara ibu dan anak dilakukan sebelum anak melakukan hubungan seks, maka hubungan seks dapat dicegah. Semakin awal melakukan komunikasi, fungsi pencegahannya semakin nyata.
Dalam konteks ini, pendidikan seks menjadi sangat penting, akan tetapi pentingnya pendidikan seks belum ada dukungan dari orang tua di desa Sobayan. Kondisinya adalah belum ada perhatian yang nyata dari orang tua mengenai pemberian pendidikan seks kepada anaknya, mereka cenderung pasif dan menabukan masalah seks. Disisi lain, keberadaan
(31)
lokalisasi menjadi tempat untuk mereka mencari nafkah dan menjadi penopang perekonomian sebagian keluarga disana. Dengan demikian, maka peneliti tertarik ingin lebih memahami dan mengetahui permasalahan-permasalahan orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya. Peneliti ingin melihat lebih dalam permasalahan-permasalahan orang tua dalam konteks hambatan-hambatan apa yang dihadapi orang tua kaitannya dengan pemberian pendidikan seks.
B. RUMUSAN MASALAH
Apa permasalahan-permasalahan para orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam memberikan pendidikan seks untuk anaknya?.
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menggali permasalahan-permasalahan para orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam ilmu psikologi pendidikan dan keluarga, terkait dengan permasalahan-permasalahan para orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam
(32)
memberikan pendidikan seks pada anaknya. Selain itu, memberikan informasi mengenai penyebab keengganan orang tua memberikan pendidikan seks sebagai wujud pemetaan sumber masalah.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini bisa memberikan informasi mengenai berbagai pandangan para orang tua terhadap pendidikan seks anak, sekaligus menjadi sarana untuk merefleksikan dan mengevaluasi praktik edukasi seksual dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan seks yang orang tua berikan kepada anak. Peneliti bisa memetakan permasalahan-permasalahan para orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya.
Dengan adanya data dan informasi mengenai permasalahan-permasalahan orang tua, maka data tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak atau instansi terkait, seperti BkkbN atau lembaga pendidikan, serta bisa ditindaklanjuti untuk mencari solusi dan jalan keluar.
(33)
13 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. PENDIDIKAN SEKS
1. Pendidikan
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyakarat, bangsa dan negara”.
Pendidikan menurut Sukmadinata (2009:3) merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung di lingkungan tertentu. Pendidikan berfungsi untuk membantu pengembangan diri peserta didik, yakni pengembangan potensi, kecakapan serta karakteristik pribadi yang positif bagi dirinya maupun lingkungan. Rechey (Tatang, 2012) pendidikan adalah suatu aktivitas sosial penting meliputi pemeliharaan, perbaikan kehidupan masyarakat terutama generasi muda dalam pengenalan kewajiban dan tanggung jawabnya ditengah masyarakat. Selain itu, pendidikan berfungsi untuk mentransformasi keadaan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Berdasarkan uraian
(34)
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran dalam pengembangan potensi diri dalam berbagai hal di lingkungan tertentu, termasuk dalam hal kognitif, spiritual, kepribadian, kecakapan dan keterampilan.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa jalur pendidikan adalah wahana untuk mengembangkan potensi diri dalam proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstuktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan secara mandiri.
2. Seksualitas dan Seks
Secara umum menurut Gunarsa & Gunarsa (1991:66) seks menunjukkan perbedaan jenis kelamin, dan berhubungan dengan perbedaan yang menandakan ciri khusus kewanitaan dan kepriaan. Sedangkan seksualitas meliputi bidang yang lebih luas, mencakup segi-segi fisik (biologis dan fisiologis) dan psikis (emosi). Dalam
(35)
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) seks adalah hal yang berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan seksualitas adalah ciri, sifat atau peranan seks.
Menurut Sarlito W. Sarwono & Siamsidar (1986) seksualitas adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan seks. Terdapat dua aspek dalam seksualitas :
a. Seks dalam arti sempit : seks berarti kelamin. Pengertian kelamin adalah alat kelamin, anggota-anggota tubuh dan ciri fisik yang membedakan laki-laki dan wanita, kelenjar dan hormon dalam tubuh, hubungan kelamin, dan proses pembuahan, kehamilan dan kelahiran.
b. Seks dalam arti luas : segala sesuatu yang terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan jenis kelamin yaitu perbedaan tingkah laku, perbedaan atribut (nama, pakaian), perbedaan peran dan pekerjaan, serta hubungan antara pria dan wanita : pergaulan, pacaran.
Menurut Boyke D. Nugraha (2010) seksualitas adalah bagaimana individu merasakan dan mengekspresikan sifat dasar dan ciri-ciri seksualnya yang khusus. Hal ini berkaitan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan secara fisik, psikologis, perilaku, aktivitas, perasaan dan bagaimana laki-laki dan perempuan berinteraksi dalam pasangan. Seks adalah jenis kelamin, dan seksualitas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin (Master et.al dalam Kusmiran
(36)
dalam Uyun, 2013). Menurut Suwarjo (1995) seks adalah sesuatu yang berhubungan dengan organ jenis kelamin.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seks adalah berhubungan dengan jenis kelamin, yang menunjukkan perbedaan jenis kelamin yang menandakan ciri kewanitaan dan kepriaan. Seksualitas adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan secara fisik, mental, perilaku dan psikologis.
3. Transmisi Budaya tentang Seks, Gender, Seksualitas dan Perilaku Seksual
Menurut West & Zimmerman (Gardiner & Kosmitzki, 2008) seks seseorang awalnya ditentukan oleh budaya yang disepakati dengan kriteria biologis, seperti alat kelamin eksternal saat lahir. Orang ditempatkan dalam salah satu dari dua kategori seks : wanita atau laki-laki. Ashmore (Gardiner & Kosmitzki, 2008) menyatakan bahwa seks biasanya didefinikan sebagai aspek biologis keperempuanan dan kelelakian, gender mengakuisisi aspek perilaku dan psikologis menjadi seorang wanita atau pria. Seks seseorang menurut Nelson (Gardiner & Kosmitzki, 2008) ditentukan oleh empat kriteria berbeda : kromosom, hormon, gonade, dan genetalia eksternal. Budaya menciptakan dua
kelompok eksklusif : “perempuan” dan “laki-laki”.
Gardiner & Kosmitzki (2008) penanda kematangan seksual secara biologis adalah menarche, perkembangan payudara pada anak
(37)
perempuan, sedangankan pertumbuhan rambut wajah dan perubahan suara pada anak laki-laki. Penanda budaya yang berbeda ditunjukkan oleh kesiapan kalangan perempuan dan laki-laki untuk menemukan pasangan seksual. Penanda biologis dan budaya tergantung pada norma-norma budaya. Contohnya pada orang hindu mempertimbangkan kematangan seksual anak perempuan dengan permulaan menstruasi. Transmisi dari remaja ke dewasa sering dianggap sebagai peristiwa yang sangat spiritual yang dirayakan dengan upacara yang rumit.
Perempuan dan laki-laki dianggap matang secara seksual, ketika mereka siap untuk pengalaman yang sangat bervariasi dalam hal bagaimana ketat mereka dibimbing dengan norma budaya dan yang membentuk mereka. Kesucian sampai menikah (terutama bagi perempuan) adalah norma diantara banyak negara. Kesucian jarang berlaku dengan cara yang sama untuk laki-laki. Anak laki-laki sering di dorong untuk terlibat dalam berbagai aktivitas perilaku seksual, memuaskan hasrat mereka dan mengungkapkan kejantanan. Ruan (Gardiner & Kosmitzki, 2008) pengalaman seksual laki-aki dipandang sebagai persiapan untuk hubungan jangka pandang atau pernikahan. Ini adalah praktek di beberapa budaya untuk wanita yang lebih tua, bahwa wanita yang belum menikah atau pelacur sering menginstruksikan remaja laki-laki dalam hal seksual.
(38)
Dalam beberapa budaya, seperti di Amerika Utara dan Selatan, komunikasi tentang masalah seksual adalah tabu dan dikelilingi oleh mitos, sehingga sebagian remaja mengeksplorasi seksualitas mereka sendiri (Gardiner & Kosmitzki, 2008). Selain itu, dalam penelitian Bertrand, Ward & Pauc (Gardiner & Kosmitzki, 2008) tentang budaya Maya di Guatemala, melaporkan bahwa remaja menerima sedikit pendidikan atau informasi tentang seks. Anak perempuan tidak belajar tentang menstruasi sampai mereka mengalami menarche dan juga memiliki beberapa sumber untuk belajar tentang seksual. Sebaliknya, anak laki-laki belajar tentang perkembangan fisik disekolah, dari teman atau bahkan dari televisi atau film.
Menurut Ruan, selain melarang hubungan seksual sebelum menikah, beberapa masyarakat memiliki ketabuan ketat tentang kegiatan atau aktivitas seksual. Di China, satu-satunya perilaku seksual yang diakui secara hukum dan moral adalah hubungan heteroseksual dalam perkawinan monogami. Dengan demikian, prostitusi, poligami, nikah diluar hubungan, homoseksualitas adalah varian perilaku seksual yang menyimpang (Gardiner & Kosmitzki, 2008).
Menurut Negara (2005) seksualitas memiliki makna yang lebih luas, karena meliputi semua aspek yang berhubungan dengan seks yang bisa meliputi nilai, sikap, orientasi dan perilaku. Secara dimensional seksualitas dibagi dalam dimensi biologi, psikososial, perilaku, klinis dan kultural. Perilaku seksual adalah salah satu
(39)
dimensional seksualitas. Seksualitas diciptakan oleh budaya dengan mendefinisikan beberapa perilaku yang berhubungan dengan seksual serta dipelajari dari pola yang ada di masyarakat. Individu belajar dan menginterpretasikan perilaku seksual dengan konteks sosiokultural (yang diperoleh dari simbol bahasa dan percakapan).
Kenyataannya adalah perubahan perilaku seksual terjadi dimana-mana dan faktor penyebabnya adalah sebagai berikut (Negara, 2005) :
a. Semakin terbukanya informasi seksualitas. Semua bentuk media merupakan refleksi perubahan dan akibatnya seks semakin tidak dianggap sebagai suatu yang menimbulkan tabu, rasa malu dan misterius.
b. Perubahan peran gender. Perempuan diperlakukan sebagai makhluk yang pasif dan tidak responsif secara seksual, sedagkan laki-laki dianggap sebagai agressor seksual.
c. Semakin diterimanya seks untuk tujuan rekreasi dan relasi sebagai lawan dari reproduksi.
Jadi secara kontekstual, seks adalah bagian dari seksualitas yang lebih luas dan perilaku seksual adalah bagian dari suatu dimensi seksualitas. Selain itu, budaya memberikan pengaruh yang cukup besar dalam gender, seksualitas manusia, dan perilaku manusia.
(40)
4. Pengertian Pendidikan Seks
Djiwandono (2008:5) pendidikan seks adalah penjelasan mengenai semua hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas termasuk didalamnya mengenai anatomi, fisiologi, dan penjelasan tentang tingkah laku seks yang menyimpang. Sarlito W. Sarwono & A. Siamsidar (1986) pendidikan seks adalah pendidikan yang berhubungan dengan persoalan-persoalan seksualitas manusia, meliputi proses reproduksi, perkembangan seksual manusia, tingkah laku seksual, perkawinan, hubungan seks dan aspek-aspek kesehatan serta psikososial dari seksualitas.
Menurut Sarlito W. Sarwono (1994:183) pendidikan seks adalah cara mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya mencegah dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual. Pendidikan seks bukan penjelasan mengenai seks semata namun sebagaimana pendidikan pada umumnya. Informasi mengenai seks juga diberikan secara kontektual dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, tentang apa yang dilarang dan yang lazim. Pendidikan seks yang kontektual akan memiliki ruang lingkup yang luas, tidak terbatas pada perilaku hubungan seks, namun berkaitan dengan dalam masyarakat, hubungan dalam pergaulan, peran ayah-ibu dan anak-anak dalam keluarga. Di Indonesia, pendidikan seks dinamakan pendidikan kehidupan berkeluarga. Menurut Rahayu
(41)
(Rusmawati, 2004) pendidikan seks mencakup tentang pertumbuhan alat kelamin laki-laki dan perempuan, mengenai bagaimana fungsi alat kelamin sebagai alat reproduksi, tentang menstruasi, mimpi basah, termasuk kehamilan dan perkawinan.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks adalah pendidikan tentang semua hal yang berhubungan dengan perkembangan seksual manusia, pertumbuhan alat kelamin dan fungsi alat kelamin sebagai alat reproduksi, tentang anatomi, fisiologi, proses reproduksi, aspek-aspek kesehatan dan psikososial, penjelasan mengenai tingkah laku, hubungan seksual, perkawinan, dan hingga penyimpangannya serta menjelaskan, menanamkan nilai-nilai tentang seks dan seksualitas manusia.
5. Pendidikan Seks di Indonesia
Menurut Sarwono (2005:190-197) pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks dan dampak negatif yang tidak diharapkan, maka tidak jarang ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan pendidikan seks. Hal ini karena ada kekhawatiran, bahwa anak-anak yang belum saatnya tahu tentang seks akan menjadi tahu dan menimbulkan rasa ingin tahu yang besar sehingga ingin mencobanya. Pro-kontra terhadap pendidikan seks sebenarnya tergantung pada bagaimana mendefinisikan pendidikan seks tersebut. Jika pendidikan seks diartikan sebagai pemberian
(42)
informasi tentang seluk-beluk anatomi dan proses reproduksi manusia ditambah teknik-teknik pencegahannya (alat kontrasepsi), kekhawatiran diatas beralasan.
Pendidikan bukanlah penerangan tentang seks semata, tetapi seperti pendidikan lain pada umumnya yang mengandung penanaman nilai-nilai (misalnya pendidikan Agama atau Moral-Pancasila).
Informasi tentang seks tidak diberikan “telanjang”, tetapi secara “kontekstual” yang berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat sehingga memiliki ruang lingkup yang luas. Hal ini tidak terbatas pada perilaku hubungan seks saja, akan tetapi berkaitan dengan peran pria-wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan, peran ayah-ibu dan anak dalam keluarga. Pendidikan seks di Indonesia sering disebut Pendidikan Kehidupan Keluarga. Bentuk pendidikan seksnya mulai diterapkan melalui jalur pendidikan nonformal seperti ceramah, kegiatan-kegiatan ekstra kulikuler di sekolah, pesantren kilat, sarasehan, rubrik-rubrik di media massa dan sebagainya. Bentuk pendidikan seks yang nonformal lebih luwes, bisa disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu sehingga tidak menimbulkan dampak yang tidak diharapkan.
Di Indonesia, pendidikan seks selayaknya tetap dimulai dari rumah. Hal ini karena masalah seks adalah masalah yang sifatnya sangat pribadi, hendaknya disampaikan secara pribadi dan dijadikan sebagai materi pendidikan. Lingkungan keluarga adalah tempat yang
(43)
tepat dalam memberikan pendidikan seks sejak dini kepada anak. Orang tua bertanggung jawab dalam proses pengajaran seks pada anak (Puspita dalam Wulansari, 2007). Menurut Sarwono (Paramita, 2009) orang tua dapat memberikan penerangan mengenai seks berdasarkan pengalaman mereka di masa lalu kepada anak-anaknya. Penerangan dilakukan orang tua yang memiliki jenis kelamin sama dengan anaknya, ibu dengan anak perempuannya dan ayah dengan anak laki-lakinya. Selain itu, Bu Kar (Sarwono, 1981:39) juga menambahkan bahwa orang tua memberikan pendidikan seks berupa larangan, yaitu bentuk peringatan untuk menjauhi lawan jenisnya. Hal ini dimaksudkan untuk tidak bergaul dengan lawan jenis terlalu dekat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak baik seperti melakukan hubungan seks di luar nikah.
Namun, disisi lain adalah banyak orang tua yang masih belum terbuka mengenai seks, karena masih kuatnya rasa tabu. Orang tua seringkali juga kurang paham mengenai masalah seks. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan mereka yang terbatas sehingga kurang dapat berfungsi sebagai sumber dalam pendidikan seks (Sarwono, 2005). Menurut Djiwandono (2008:8) pendidikan seks sama pentingnya dengan pendidikan lain, dimana sebaiknya anak mendapatkan informasi tentang seks sejak dini. Orang tua memiliki tugas dalam memberikan pendidikan seks, jangan sampai orang lain sengaja mengambil alih tugas orang tua dan akhirnya anak menjadi
(44)
sasaran eksploitasi seks. Mengingat sekarang ini, nilai-nilai moral seks semakin kabur, dan anak dikonfrontasi oleh godaan seks. Orang tua memiliki tugas untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan ini dengan belajar tentang mengajarkan seks untuk anaknya.
Praktek pendidikan seks di Indonesia merupakan aktivitas atau kegiatan yang menanamkan, menjelaskan nilai-nilai tentang seks dan seksualitas manusia. Aktivitasnya diberikan secara informal di dalam keluarga, yang sering disebut Pendidikan Kehidupan Keluarga. Namun dalam prakteknya seringkali terdapat masalah yaitu banyak orang tua yang masih belum terbuka mengenai seks. Salah satunya karena rasa tabu yang masih kuat. Sebagaimana menurut Magnis Suseno, seks dianggap tabu dan tidak boleh dibicarakan secara terbuka di hadapan umum. Orang tua biasanya merasa malu untuk menjelaskan masalah seks pada anak. Orang tua juga memiliki perasaan enggan dan pandangan yang masih sempit sehingga menjadi faktor penghalang pengungkapan seks di keluarga. Terlebih bagi orang tua yang memiliki sifat risih atau tidak blak-blakan dan sangat menjunjung ‘etika ketimuran’ (Tukan, S. J. 1985:83). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar para orang tua cenderung pasif terhadap pendidikan seks dan seksualitas di dalam keluarga.
(45)
6. Tujuan Pendidikan Seks
Menurut Voss (Djiwandono, 2008) tujuan pendidikan seks yang utama adalah memberikan fondasi yang kuat sebagai makhluk seksual dapat berfungsi secara efektif sehingga memiliki kesejahteraan dalam kehidupan seksualitasnya. Selain itu Voss menambahkan empat tujuan pendidikan seks yaitu adalah :
1) Pendidikan seks harus memberikan informasi yang tepat dan mengurangi konsepsi dan mitos yang keliru.
2) Harus menunjukkan sikap toleransi dan membantu individu agar bisa menerima pandangan dan tingkah laku orang lain yang berbeda.
3) Pendidikan seks dirancang untuk menunjukkan pemecahan masalah sosial seperti hubungan seks sebelum menikah, hamil di luar nikah, free sex, aborsi dan penularan penyakit seksual. 4) Pendidikan seks memberikan kemudahan dalam berkomunikasi
secara terbuka dan memudahkan individu berhubungan dengan orang lain yang berbeda jenis kelamin.
Tujuan pendidikan seks adalah untuk membantu individu dalam menempatkan seks pada perspektif yang semestinya, memberikan informasi yang akurat dan faktual tentang seks untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih bertanggung jawab, dan mengurangi serta mengantisipasi masalah yang berhubungan dengan
(46)
seks misalnya kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular dan seterusnya (Paramita, 2009).
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan seks adalah memberikan informasi yang tepat, akurat dan faktual mengenai seks dan menempatkan seks pada perspektif yang semestinya, membantu individu dalam pengambilan keputusan dan bertanggung jawab dalam kehidupan seksualitasnya.
7. Materi Pendidikan Seks
Menurut Ninuk Wiyantoro (Sarlito W. Sarwono, 1981:117) materi pendidikan seks meliputi :
a. Mengenai proses pertumbuhan dari anak sampai dewasa, termasuk perkembangan organ-organ seksual, perubahan-perubahan tubuh yang terjadi (primer dan sekunder).
b. Mengenai proses reproduksi manusia, dimulai dari bagaimana proses konsepsi dilanjutkan proses pertumbuhan janin sampai proses kelahiran.
c. Mengenai segi etika dari perilaku seksual, peran sosial laki-laki dan wanita dan tanggungjawab sebelum maupun sesudah perkawinan.
Pendidikan seks yang baik mengikuti model perkembangan moral (Tukan,1985). Perkembangan nilai terjadi pada anak didik melalui perubahan ide tentang apa yang benar dan apa yang salah. Mereka
(47)
dibantu untuk bertumbuh dalam tahapan perkembangan. Selain itu, Tukan menambahkan bahwa pendidikan seks harus menyampaikan penjelasan informatif faktual yang benar dan interpretasi nilai yang bijaksana. Informasi faktual berasal dari ilmu pengetahuan seperti biologi, psikologi dan sosiologi. Sedangkan pendidikan nilai berarti hal yang berkaitan dengan kesamaan martabat sebagai pria dan wanita, tidak boleh dipakai sebagai alat, tetapi harus dihargai sebagai seorang pribadi. Kedepannya dalam perkawinan, suami-istri akan saling mengasihi, melahirkan dan mendidik anak sebagai tujuan dari perkawinan.
Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa materi pendidikan seks meliputi materi biologis dan etika/ nilai/ moral. Biologis adalah materi tentang perkembangan dan pertumbuhan organ-organ seksual, alat reproduksi, proses reproduksi dan kesehatan reproduksi manusia, sedangkan etika/ nilai/ moral adalah materi tentang peran laki-laki dan perempuan, perilaku seksual, perkawinan, dan martabat sebagai laki-laki dan perempuan.
8. Sumber Pendidikan Seks
Sumber pendidikan seks yang paling umum adalah teman sebaya, kemudian diikuti literatur, ibu, sekolah dan pengalaman. Meskipun sekolah biasanya dianggap sebagai sumber utama pendidikan seks, hanya 15% informasi mengenai seks yang dimiliki remaja dari
(48)
pengajaran di sekolah. (Santrock, 2003:422). Berdasarkan studi eksplorasi Lestari, Suparno & Restu (Lestari, 2013) menunjukkan bahwa teman sebaya menjadi sumber informasi yang paling banyak dipilih oleh remaja laki-laki maupun perempuan. Remaja perempuan memilih teman sebaya (41,6%), orang tua (14,2%), buku (6,9%), internet (6,5%), guru dan dan media (3,4%), kakak (2,7%) dan ahli (2,3%). Sedangkan remaja laki-laki paling banyak juga memilih teman sebaya dan berikutnya adalah internet, kemudian guru (8,6%), media (3,3%) dan buku (3,3%), orang tua (1,9%), ahli (1,5%) dan kakak (0,7%).
Menurut Berk (2012:511-512) remaja yang tidak mendapat informasi tentang seks dari orang tua cenderung belajar dari teman, buku, majalah, film, TV dan internet. Sarwono (2011:201) menyatakan bahwa ketika memasuki usia remaja dan menjalin hubungan pacaran tanpa pengetahuan mengenai seks, maka selama hubungan pacaran tersebut pengetahuan mereka tidak bertambah, tetapi yang bertambah adalah informasi-informasi yang salah. Hal ini disebabkan oleh orang tua yang tabu untuk membicarakan seks dan hubungan orangtua dan anak sudah berjarak sehingga anak berpaling ke sumber-sumber lain yang tidak akurat, khususnya teman. Berdasarkan uraian diatas, maka menunjukkan bahwa sumber pendidikan seks yang paling umum adalah teman sebaya dan media (internet, buku, dst). Orang tua belum menjadi sumber pendidikan seks yang utama untuk anak.
(49)
9. Aspek Pendidikan Seks
Menurut Frans Magnis Suseno (dalam Tukan, S. J, 1985) seksualitas adalah salah satu daya terbesar dalam diri manusia. Kemampuan seksual merupakan sarana untuk menjamin kelangsungan jenis. Seks manusia tidak hanya mencakup aspek biologis saja, tetapi juga aspek psikologis dan sosial. Sebagaimana menurut Utomo & McDonald (Pakasi & Kartikawati, 2013) bahwa Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) di Indonesia belum komprehensif. Hal ini karena program pendidikan tersebut cenderung fokus pada aspek biologis dan pencegahan penyakit menular (HIV dan AIDS).
IPPF (Pakasi & Kartikawati, 2013) memberikan konsep pendidikan seksualitas yang komprehensif yang berbasis hak yang ditujukan kepada remaja agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai untuk menentukan dan menikmati seksualitas mereka baik secara fisik maupun psikis, secara individual maupun dalam berelasi. IPPF menambahkan bahwa pemberian informasi saja tidak cukup, remaja perlu diberikan kesempatan agar dapat mengembangkan keterampilan untuk membangun sikap dan nilai yang positif terhadap seksualitas mereka.
Dalam United Nations Population Fund atau UNFPA (Pakasi & Kartikawati, 2013) pendidikan seksualitas yang komprehensif juga perlu memperhatikan konteks sosial budaya tempat program
(50)
diimplementasikan. Pakasi & Kartikawati (2013) menyatakan bahwa Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) perlu memandang seksualitas secara komprehensif, yaitu yang mengakui berbagai aspek mengenai seksualitas yang dihadapi remaja yang dapat mempengaruhi keputusan menjalani seks yang beresiko atau tidak. Aspek tersebut adalah adanya dorongan seksual, kenikmatan seksual, relasi gender, ajaran agama dan norma budaya, resiko kesehatan seksual dan reproduksi, dan resiko sosial perlu didiskusikan pada remaja berdasarkan pengalaman mereka.
Menurut Higgins & Hirsch (Pakasi & Kartikawati, 2013) dalam aspek kenikmatan seksual (sexual pleasure dan sexual pleasure-seeking) dan dampaknya terhadap resiko seksual merupakan hal yang masih sedikit untuk dipahami baik dalam program kesehatan reproduksi. Pakasi & Kartikawati (2013) menyatakan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas belum memandang pentingnya aspek relasi gender dan hak remaja dalam kesehatan reproduksi dan seksual remaja. Bennett (Pakasi & Kartikawati, 2013) pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang sesuai agama merupakan hal yang penting dalam implementasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas di Indonesia.
Pentingnya ajaran agama dalam Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) juga dinyatakan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 137 ayat 2 yaitu mengenai
(51)
kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Namun disisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa pendidikan akan bersifat normatif yang menekankan larangan dari sudut pandang agama, tanpa memahami realitas dan kebutuhan remaja. Sebagaimana menurut hasil penelitian Smerecnik et al. (Pakasi & Kartikawati, 2013) bahwa pendidikan seksualitas yang terlalu menekankan norma agama tanpa memperhatikan pandangan dari remaja cenderung gagal.
Fita Rizki Utami (Saragih, 2014) menyatakan bahwa tujuan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS) adalah mempersiapkan remaja dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai untuk membuat keputusan terkait dengan kehidupan sosial dan seksualnya untuk mencegah perilaku beresiko. Menurut Dwiputra (Saragih, 2014) dalam perancangan PKRS terdapat lima komponen pembelajaran :
1) Informasi : PKRS memberikan informasi akurat mengenai seksualitas manusia, termasuk reproduksi dan perkembangan, anatomi dan fisiologi seksual dan reproduksi, kontrasepsi, kehamilan dan persalinan, HIV & AIDS, infeksi menular seksual lainnya dan perilaku seksual.
(52)
2) Nilai, sikap dan norma sosial : PKRS memberikan kesempatan kepada remaja dan anak muda untuk mengeksplorasi nilai, sikap dan norma (pribadi, keluarga, teman sebaya dan komunitas) yang terkait dengan perilaku seksual, kesehatan dan tindakan beresiko, pengambilan keputusan dengan memperhatikan prinsip toleransi, penghargaan, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan keadilan sosial.
3) Keterampilan interpersonal dan hubungan : PKRS dapat mengembangkan keterampilan remaja dalam pengambilan keputusan, komunikasi asertif, negosiasi, dan melakukan penolakan. Keterampilan ini dapat berkontribusi pada hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang lebih sehat dan produktif. 4) Tanggung jawab : PKRS dapat mendorong remaja untuk
bertanggung jawab atas segala tindakannya dengan cara penghargaan, penerimaan, toleransi dan empati terhadap orang lain tanpa melihat status kesehatan, sosial ekonomi, maupun gender, menolak kekerasan dalam pacaran, serta perilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab.
5) Peer educator : Pendidik sebaya memiliki peran aktif dalam memberikan pembelajaran PKRS.
Menurut Saragih (2014) pada tahun 2009, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), United Nations Population Fund (UNFPA), United Nations Programme on
(53)
HIV & AIDS (UNAIDS) dan WHO mengeluarkan panduan pendidikan seksualitas bagi sekolah, guru, dan pendidik kesehatan yang dinamakan International Technical Guidance on Sexuality Education: an evidence-informed approached for schools, teachers, and health educators (ITGSE). Lima komponen PKRS dan panduan ITGSE memiliki kemiripan yaitu terdapat aspek biologis reproduksi, pencegahan perilaku beresiko, serta aspek sosial reproduksi yang mencakup pengajaran mengenai sikap, nilai, norma dan keterampilan berkomunikasi asertif.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa pendidikan seks di Indonesia lebih dikenal dengan program pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas, dan pendidikan seksualitas. Aspek dalam pendidikan seks meliputi aspek biologis, psikologis, sosial-budaya, agama dan gender.
10. Ruang Lingkup dan Masalah- masalah dalam Pendidikan Seks Menurut Djiwandono (2008) seharusnya pendidikan seks merupakan sebuah proses yang berlangsung secara sadar di keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini untuk menyampaikan proses hubungan yang intim menurut agama dan nilai-nilai yang diyakini atau dianut oleh masyarakat. Pendidikan seks sangat membutuhkan peran keluarga (orang tua) maupun sekolah dan keduanya memberikan sumbangan yang berbeda. Di dalam keluarga, melalui suasana yang
(54)
hangat, akrab dan penuh kasih masalah-masalah seksual seharusnya dengan mudah dibicarakan daripada di sekolah. Akan tetapi, di sekolah rasa solidaritas dan tanggung jawab dapat lebih mudah dikembangkan. Tanpa keberadaan sekolah atau tempat pendidikan lain, orang tua tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jadi orang tua, guru, sekolah adalah satu tim yang sangat bermanfaat dalam memberikan pendidikan seks.
Banyak masalah-masalah yang timbul karena ketidaktahuan anak mengenai seks, sehingga pengetahuan mengenai seks tampaknya penting dan sangat diperlukan oleh anak agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari (Sarwono dan Siamsidar, 1986). Seks juga menjadi masalah yang sangat pribadi dan tergantung pada latar belakang seseorang. Jika sejak kecil tidak diberikan penjelasan mengenai seks atau mengetahui sambil lalu dari orang tua, maka kemungkinan akan mengalami kesulitan untuk membicarakan masalah seks secara objektif. Saat ini, nilai-nilai moral semakin kabur karena anak dihadapkan pada godaan seksual dan penyelamat keadaan ini adalah orang tua. Orang tua perlu mempersiapkan diri dengan belajar tentang cara mengajarkan pendidikan seks yang baik dan tepat (Djiwandono, 2008).
Menurut Sarlito W. Sarwono (1994) sebaiknya pendidikan seks dimulai dari rumah, karena masalah seks merupakan masalah yang sifatnya sangat pribadi jika dijadikan materi pendidikan juga
(55)
memerlukan penyampaian yang pribadi. Pendidikan seks dan keluarga memiliki hubungan yang sangat erat dan penting. Keluarga adalah pemberi pendidikan seks pertama bagi anak dan memiliki pengaruh dalam mengembangkan nilai seksual serta pemahaman tentang seks pada anak (Halstead dan Reiss, 2004). Menurut Johan S. Tukan (1985:130) orang tua adalah pendidik yang pertama dan yang utama.
Gunarsa, Y. Singgih (2002) mengatakan peranan orang tua dalam perkembangan anak adalah:
a. Sebagai orang tua, membesarkan, merawat, memelihara dan memberikan kesempatan anak untuk berkembang.
b. Sebagai guru, mengajarkan ketangkasan dan keterampilan motorik, mengajarkan nilai dan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat dan menanamkan pedoman hidup bermasyarakat. c. Sebagai tokoh teladan, menjadi role model yang akan ditiru pola
tingkah lakunya.
d. Sebagai pengawas, orang tua memiliki tugas untuk memperhatikan, mengamati dan mengawasi tingkah laku anak. Kartini Kartono (1985) orang tua bertanggung jawab untuk menciptakan suasana keluarga yang sedemikan rupa sehingga kelak anak akan menjadi pribadi yang kuat, sehat sampai berhasil menghadapi tantangan dalam kehidupannya, termasuk dalam kehidupan seks dan keluarga. Beberapa sikap keluarga dalam membantu anak membangun sikap yang sehat dalam kehidupan seks :
(56)
a. Menciptakan dan menumbuhkan suasana yang sehat dalam keluarga, suasana yang membuat anak merasa diterima, dikasihi oleh orang tua.
b. Menjalin kedekatan dan kehangatan dengan anak sehingga bisa memahami, memperhatikan kebutuhan anak.
c. Memberikan informasi mengenai kehidupan seks kepada anak melalui buku, penjelasan, bertukar pikiran dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah seks.
d. Menciptakan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.
Menurut Schwier dan Hingsburger (Puspita dalam Wulansari, 2007) menyatakan bahwa dalam memberikan pendidikan seks perlu memperhatikan usia mental anak yaitu sebagai berikut :
a. Antara 3 – 9 tahun. Pada usia mental ini anak diberikan pendidikan mengenai perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti anatomi tubuh, mengenal nama anggota badan, kebiasaan, emosi, tuntutan sosial dan sebagainya. Dalam usia mental ini juga diberikan pendidikan tentang tempat publik (tempat milik masyarakat) dan pribadi (tempat khusus untuk anak tersebut). Selain itu, mereka juga perlu mengetahui dan memahami proses kelahiran bayi.
b. Antara 9 – 15 tahun. Anak sudah mulai mengalami pubertas, sehingga mereka membutuhkan pemahaman mengenai menstruasi, mimpi basah. Mereka juga perlu mengetahui
(57)
perubahan fisik yang akan terjadi pada mereka terkait dengan pubertas termasuk perasaan dan dorongan seksual yang mereka alami. Selain itu, mereka juga harus memahami proses reproduksi/pembuahan.
c. Usia 16 tahun ke atas. Pada usia mental ini pendidikan seks mulai mengarah pada hubungan seksual dengan orang lain. Termasuk segala konsekuensi perilaku seksual yaitu kehamilan, penularan penyakit kelamin serta tanggung jawab perkawinan dan memiliki anak. Selain itu, mereka juga harus memahami hukum dan konsekuensi jika mereka melakukan tindakan atau perilaku menyimpang secara seksual.
Pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya adalah dasar bagi pendidikan selanjutnya (Sumardi, Griess, Augustine, 1975). Berdasarkan hal ini maka sikap orang tua dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a) Orang tua yang melarang anaknya membicarakan masalah seks, karena hal ini adalah tabu.
b) Orang tua yang bersikap acuh tak acuh, sama sekali tidak memperhatikan pendidikan anaknya, termasuk dalam masalah seksualitas. Hal ini mungkin disebabkan oleh kesibukan mereka, atau disebabkan karena mereka tidak tahu bagaimana harus menjelaskan, dan mungkin karena mereka memiliki anggapan
(58)
bahwa nantinya anak mereka akan mengetahui sendiri tentang seksualitas.
c) Orang tua yang benar-benar memperhatikan pendidikan anak. Mereka akan memberikan penjelasan ketika anak bertanya dan akan memberikan perhatian terhadap pergaulan anaknya.
Menurut Thornburg (Santrock, 2003) kebanyakan remaja tidak dapat berbicara secara bebas dengan orang tua mereka mengenai masalah seksual. Survei menunjukkan bahwa sekitar 17% pendidikan seks yang diterima remaja diperoleh dari ibu, dan 2% dari ayah. Fisher menambahkan jika para remaja bisa bicara secara terbuka dan bebas mengenai seks dengan orang tua, maka mereka akan cenderung tidak aktif secara seksual dan penggunaan kontrasepsi oleh remaja perempuan juga meningkat jika mereka bisa mengkomunikasikan seks dengan orang tua (Santrock, 2003).
Berdasarkan Journal of Family Psychology, pada umumnya anak perempuan lebih memiliki kedekatan secara emosional maupun fisik dengan ibunya. Hal ini karena ibu memiliki waktu lebih banyak daripada ayah. Ibu lebih banyak untuk mengasuh, beraktifitas bersama, berkomunikasi dengan anak perempuannya, dan ibu lebih memahami serta mengerti perubahan-perubahan yang terjadi pada anak perempuannya daripada ayah (Maharani, 2006). Selain itu, Agung (Laily dan Matulessy, 2004) menambahkan bahwa tidak jarang orang tua menanamkan persepsi yang negatif, seks adalah jorok dan tabu
(59)
untuk dibicarakan. Hal ini bisa terbawa oleh anak hingga dewasa, dan tetap menganggap seks adalah sesuatu yang tabu dan jorok. Konsekuensinya adalah akan timbul hambatan seksual pada anak termasuk peran seksualnya dan bahkan pada hubungan suami istri.
Orang tua seringkali memiliki sikap yang cenderung tertutup dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan anaknya mengenai masalah seks, dan menganggap seks adalah tabu. Hal ini kemudian menyebabkan anak mencoba mencari informasi di luar rumah (Sarwono dan Siamsidar, 1986). Sikap orang tua yang belum terbuka tentang seks karena masih kuatnya rasa tabu. Orang tua seringkali juga kurang paham yang disebabkan oleh pengetahuan yang terbatas sehingga menyebabkan orang tua kurang berfungsi sebagai sumber pendidikan seks (Sarwono, 2005:196). Menurut Masters, Johnson, & Kolodny (Laily dan Matulessy, 2004) masih banyak orang tua yang tidak tahu cara memberi informasi yang tepat mengenai masalah seksual kepada anaknya.
Sekarang ini, kesibukan orang tua membuat hubungan antara anak dan orang tua menjadi semakin renggang. Kesibukan kedua orang tua yang bekerja hampir menyita seluruh waktu mereka sehingga hanya memiliki sedikit waktu untuk mendampingi anaknya, apalagi terkait dengan pendidikan seks yang sebagian besar orang tua masih canggung untuk menyampaikannya (Habsyah dalam Nurmanina, 2012). Menurut Murdijana (Creagh, 2004) orang tua merasa tidak
(60)
nyaman membahas masalah seks dengan anaknya karena sebagai berikut :
a. Orang tua merasa tidak memiliki pengetahuan untuk menjawab pertanyaan tentang kesehatan reproduksi.
b. Orang tua tidak mengetahui batasan informasi yang pantas untuk diberitahukan kepada anaknya.
c. Orang tua tidak tahu usia yang tepat untuk mulai memberikan pendidikan seks kepada anaknya.
d. Orang tua tidak tahu cara berkomunikasi tentangs seks dengan anaknya.
e. Orang tua kurang bisa menciptakan suasana terbuka dan nyaman untuk membahas masalah seksualitas dengan anaknya.
Sebagaimana, menurut Kartini Kartono dalam buku Peranan Keluarga Memandu Anak (1985) terdapat beberapa penyebab orang tua sering tidak memberikan pendidikan seks kepada anaknya :
a. Orang tua menganggap seks adalah suatu hal yang tabu.
b. Orang tua tidak mengetahui pentingnya pendidikan seks bagi anak.
c. Orang tua tidak memiliki pengetahuan mengenai seks dan tidak mengetahui cara memberikan pendidikan seks.
d. Orang tua merasa malu jika membicarakan masalah seks.
e. Orang tua menganggap bahwa masalah seks pada akhirnya akan diketahui sendiri oleh anak.
(61)
f. Orang tua merasa khawatir jika anak akan melakukan perbuatan menyimpang setelah diberikan penjelasan tentang seks.
Menurut Lubis (Sumaryani, 2014) faktor-faktor yang mempengaruhi orangtua dalam memberikan pendidikan seks :
a. Faktor sosial ekonomi : Semakin rendah penghasilan keluarga maka orang tua akan semakin lama di luar rumah sehingga dalam memberikan pendidikan seks semakin buruk.
b. Faktor sosial budaya : Mengajarkan pendidikan seks adalah masalah yang tabu sehingga akan mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks.
c. Riwayat pendidikan seks : Riwayat pendidikan seks yang dimiliki orang tua dalam mendapatkan informasi mengenai seks sebelumnya.
11. Permasalahan Orang Tua dalam Memberikan Pendidikan Seks pada Anak
Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa area permasalahan yang sering dihadapi orang tua dalam memberikan pendidikan seks, area-area tersebut antara lain:
1) Area Sikap
a. Orang tua bersikap tertutup menghadapi pertanyaan anak, orang tua malu membicarakan masalah seks dan orang tua
(62)
masih canggung untuk menyampaikannya (Sarwono dan Siamsidar, 1986; Kartini Kartono, 1985; Habsyah dalam Nurmanina, 2012). Hal ini karena orang tua masih memiliki rasa tabu yang kuat, akhirnya belum terbuka mengenai masalah seks (Sarwono, 2005).
b. Orang tua bersikap acuh tak acuh terhadap masalah seksualitas (Sumardi, Griess, Augustine, 1975). Hal ini kemungkinan karena mereka memiliki anggapan bahwa nantinya anak mereka akan mengetahui sendiri tentang seks (Sumardi, Griess, Augustine, 1975).
c. Orang tua kurang bisa menciptakan suasana terbuka dan nyaman untuk membahas masalah seks dengan anaknya (Murdijana dalam Creagh, 2004). Hal ini kemungkinan disebabkan karena orang tua masih menabukan masalah seks dan mereka berpendapat seks adalah sesuatu yang alamiah, kemudian akan diketahui setelah menikah (Sarlito W.
Sarwono, 1994; Mu’tadin dalam Evi Karota & Yesi Ariani,
2005).
d. Orang tua khawatir anak akan melakukan perbuatan menyimpang setelah diberikan penjelasan masalah seks (Kartini Kartono, 1985). Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh orang tua bahwa ketika dibicarakan secara
(63)
terbuka maka berpengaruh pada perilaku seksual anaknya (PKBI dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005).
e. Orang tua melarang anaknya membicarakan masalah seks (Sumardi, Griess, Augustine, 1975). Hal ini karena masih kuatnya rasa tabu dan pembicaraan mengenai seks di depan umum adalah sesuatu yang porno sehingga pembicaraan mengenai seks dilarang (Skripsiadi dalam Sumaryani, 2014). Soekamto (Risnawati, 2002) menyatakan bahwa menurut pandangan Psikoanalisa, tabunya pembicaraan mengenai masalah seks disebabkan karena seks dianggap sumber dari dorongan-dorongan naluri di dalam id. Dorongan-dorongan-dorongan naluri seksual ini bertentangan dengan moral yang ada sehingga dorongan ini harus ditekan, tidak boleh dimunculkan pada orang lain dalam bentuk perilaku terbuka. Pada akhirnya tekanan ini mempersulit komunikasi. Sebagaimana menurut Sarwono (2005) pendidikan bukanlah penerangan tentang seks semata, tetapi seperti pendidikan lain pada umumnya yang mengandung penanaman nilai-nilai.
Informasi tentang seks tidak diberikan “telanjang”, tetapi secara “kontekstual” yang berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat sehingga memiliki ruang lingkup yang luas.
(64)
a. Orang tua tidak memiliki pengetahuan untuk menjawab pertanyaan tentang kesehatan reproduksi (Murdijana dalam Creagh, 2004).
b. Orang tua tidak mengetahui pentingnya pendidikan seks (Kartini Kartono, 1985).
c. Orang tua tidak mengetahui batasan informasi yang pantas untuk diberitahukan kepada anaknya (Murdijana dalam Creagh, 2004).
d. Orang tua tidak mengetahui bagaimana harus menjelaskan pendidikan seks dan tidak tahu kapan memberikan pendidikan seks (Widjanarko dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005).
e. Orang tua tidak mengetahui cara memberikan pendidikan seks dan orang tua tidak tahu usia yang tepat untuk mulai memberikan pendidikan seks kepada anaknya (Murdijana dalam Creagh, 2004).
Berdasarkan uraian diatas, menurut Djiwandono (2008) pada kenyataannya rata-rata orang tua ‘buta’ dalam pendidikan seks dan
seksualitas dan membicarakan seksualitas. Hal ini karena seksualitas adalah suatu hal yang tabu. Orang tua seharusnya membekali diri dengan pengetahuan seputar seksualitas terlebih dahulu sebelum memberikan pendidikan seks.
(65)
Orang tua tidak tahu cara memberi informasi yang tepat mengenai masalah seksual kepada anaknya, orang tua tidak tahu cara berkomunikasi tentang seks dengan anaknya. Hal ini kemungkinan karena orang tua tidak memiliki pengalaman dalam memberikan informasi tentang seks (Widjanarko, dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005). Orang tua juga memiliki pengetahuan yang rendah tentang pendidikan seks (Nugraha dalam S.R. Juliana Marpaung & Setiawan, tanpa tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin buruk taraf komunikasi antara orang tua dan anak akan semakin besar kemungkinan remaja melakukan tindakan-tindakan seksual (Sarwono dalam Paramita, 2009).
4) Area Kesibukan Orang tua
Orang tua memiliki kesibukan kerja sehingga orang tua hanya memiliki sedikit untuk mendampingi anaknya. Menurut Habsyah (Nurmanina, 2012) kesibukan orang tua membuat hubungan antara orang tua dan anak menjadi semakin renggang, sehingga mereka hanya memiliki waktu sedikit untuk mendampingi anaknya. Selain itu, menurut Widyarini; Mahayoni (Pratiwi, 2010) orang tua kekurangan waktu untuk mendampingi anaknya karena orang tua sibuk bekerja mencari nafkah sehingga anak kurang mendapatkan pendidikan dari orang tuanya.
(66)
Pendidikan seks yang diterima remaja lebih banyak dari ibu daripada ayah. Menurut Thornburg (Santrock, 2003) kebanyakan remaja tidak dapat berbicara secara bebas dengan orang tua mereka mengenai masalah seksual. Survei menunjukkan bahwa sekitar 17% pendidikan seks yang diterima remaja diperoleh dari ibu, dan 2% dari ayah.
6) Area Sosial Ekonomi
Semakin rendah penghasilan keluarga maka orang tua akan semakin lama di luar rumah sehingga dalam memberikan pendidikan seks semakin buruk (Lubis dalam Sumaryani, 2014). 7) Area Budaya
Orang tua menganggap bahwa mengajarkan pendidikan seks adalah masalah yang tabu. Dalam buku Sampyuh Seks Jawa Agung (Endraswara dalam Pratiwi, 2010) menyatakan bahwa orang Jawa mengenal etika tabu dan tidak pantas, sehingga pemaparan seksualitas disampaikan dengan cukup hati-hati. Sebagaimana menurut Skripsiadi (Sumaryani, 2014) tabunya masalah seks karena faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seks di depan umum, sehingga seks dianggap sesuatu yang porno dan sifatnya sangat pribadi dan tidak boleh diungkapkan kepada orang lain. Selain itu, tabu karena pengertian mengenai seksualitas di masyarakat yang masih sempit, pembicaraannya seolah-olah hanya diartikan kearah hubungan
(67)
seksual. Soekamto (Risnawati, 2002) menurut pandangan Psikoanalisa, tabunya pembicaraan mengenai masalah seks disebabkan karena seks dianggap sumber dari dorongan-dorongan naluri di dalam id. Dorongan-dorongan naluri seksual ini bertentangan dengan moral yang ada sehingga dorongan ini harus ditekan, tidak boleh dimunculkan pada orang lain dalam bentuk perilaku terbuka. Pada akhirnya tekanan ini mempersulit komunikasi.
B. DESKRIPSI TENTANG DESA SOBAYAN DAN MASYARAKATNYA Peneliti memilih desa Sobayan sebagai lokasi penelitian karena desa tersebut terdapat kawasan lokalisasi liar yang dan hingga saat ini aktivitasnya masih ada. Penduduk atau warga masyarakat menyebut
kawasan tersebut dengan istilah “komplek”. Dalam media online disebutkan bahwa salah satu desa di Kecamatan Pedan yang dikenal sebagai lokalisasi tidak resmi (http://www.suaramerdeka.com). Menurut salah satu peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Sebelas Maret (PPK UNS) Solo, Argyo MSc, memaparkan hasil penelitian Rapid Assesment untuk Masalah HIV/AIDS di Kabupaten Klaten. Salah satu desa di Kecamatan Pedan terdapat bekas lokalisasi yang masih digunakan sebagai tempat transaksi seksual. Argyo mengungkapkan tempat tersebut sampai saat ini masih ada aktivitas (www.solopos.co.id).
(68)
Keberadaan lokalisasi tersebut sudah lama yaitu sejak jaman Belanda, sehingga aktivitasnya masih ada hingga saat ini (wawancara, 1 Desember 2014). Para PSK (Pekerja Seks Komersial) kebanyakan adalah pendatang dari daerah di Jawa Timur. Lokalisasi ini berada di tengah pemukiman penduduk. Lokalisasi adalah bagian dari prostitusi yang digolongkan menurut tempat atau lokasinya. Lokalisasi diartikan sebagai yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Komplek ini dikenal dengan daerah lampu merah atau petak-petak daerah tertutup (Kartono, 2007:253). Menurut Sunardi (Issabela & Hendriani, 2010) saat ini lokalisasi berada di lingkungan yang juga dihuni oleh warga masyarakat yang tidak terlibat dalam bisnis prostitusi. Kondisi ini sesuai dengan keberadaan lokalisasi salah satu desa di Kecamatan Pedan.
Berdasarkan data Monografi, desa Sobayan memiliki luas 93.3415 ha. Secara topografis desa tersebut merupakan daerah dataran rendah yang terdapat sawah dan ladang yang luas. Jumlah penduduknya adalah 4028 (penduduk laki-laki: 2027 jiwa, dan penduduk perempuan: 2001 jiwa) dan jumlah KK 912. Desa tersebut juga merupakan salah satu desa layak anak dengan jumlah anak: 1147 anak usia 0 – 18 tahun. Tabel dibawah ini adalah data mengenai Jenjang Pendidikan Penduduk desa Sobayan (Tabel 2), Jenjang Pendidikan Anak (Tabel 3) dan Mata Pencaharian penduduk desa Sobayan (Tabel 4) yaitu sebagai berikut :
(69)
Tabel 2
Jenjang Pendidikan Penduduk desa Sobayan (Data Monografi, 31 Juni 2014)
No. Pendidikan Jumlah
a. TK 121
b. SD 84
c. SMP 127
d. SMA 133
e. Akademi (D1-D3) 49 f. Sarjana (S1–S3) 42
Tabel 3
Jenjang Pendidikan Anak desa Sobayan (Data Anak, per 1 januari 2014)
No. Pendidikan Jumlah
1. PAUD / TK 282
2. SD/MIM 453
3. SMP/ SEDERAJAT 169
4. SMA/SEDERAJAT 172
Jumlah 1147
Tabel 4
Mata Pencaharian Penduduk desa Sobayan (Data Monografi, 31 Juni 2014)
No. Mata Pencaharian Jumlah 1. Karyawan
a. PNS 120
b. ABRI 28
c. Swasta 465
(70)
3. Petani 40
4. Pertukangan 60
5. Buruh Tani 62
6. Pensiunan 76
Berdasarkan data diatas, Mayoritas Pendidikan Penduduk adalah di jenjang pendidikan SMA dan SMP. Selain itu, Mayoritas Pendidikan Anak adalah di jenjang pendidikan SD dan PAUD/ TK. Mayoritas Mata Pencaharian Penduduk adalah sebagai Wiraswasta/ Pedagang dan Swasta. Desa Sobayan terdiri dari 18 dukuh dengan jumlah RT: 40 dan RW: 13. Enam dukuh diantaranya adalah 2 dukuh berada di kawasan lokalisasi (RW 3 dan 4) dan 4 dukuh berbatasan langsung dengan lokalisasi (RW 2 dan 5). Selain itu, desa Sobayan menjadi salah satu Desa Menuju Layak Anak dengan jumlah anak lebih dari seribu anak. Gambar (1) adalah kawasan lokalisasi yang keberadaanya dekat dengan pemukiman penduduk di desa Sobayan :
Gambar 1
(71)
Melihat kondisi tersebut, tampaknya anak-anak di desa Sobayan melewati proses tumbuh kembang dalam lingkungan prostitusi dan mereka yang tinggal di kawasan lokalisasi tersebut mau-tidak-mau melihat transaksi seksual yang terjadi disana. Dalam konteks ini, pendidikan seks menjadi sangat penting terlebih bagi warga masyarakat yang tinggal di kawasan lokalisasi tersebut. Namun kenyataannya adalah belum ada perhatian yang nyata dari para orang tua mengenai pemberian pendidikan seks kepada anaknya, bahkan cenderung menunda dan menabukan masalah seks. Maka peneliti merasa tertarik meneliti bagaimana praktek pendidikan seks disana? Apakah pendidikan seks diberikan oleh para orang tua untuk anak-anaknya? Adakah pendampingan untuk anak-anak disana?. Apa yang sudah dilakukan para orang tua di desa tersebut? Jika pendampingan atau prakteknya belum ada maka apa yang menjadi hambatan/ permasalahan-permasalahan paraorang tua dalam memberikan pendidikan seks?.
C. KERANGKA PENELITIAN
Menurut Sarwono (2005) pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks dan dampak negatif yang tidak diharapkan. Maka dalam hal ini orang tua memiliki tugas dalam memberikan pendidikan seks (Djiwandono, 2008). Namun, berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat
(72)
beberapa area permasalahan yang dimiliki para orangtua dalam memberikan pendidikan seks kepada anaknya antara lain adalah :
1) Area sikap yaitu orang tua memiliki sikap-sikap pasif dalam masalah seks dan memberikan atau menjelaskan pendidikan seks, misalnya sikap tertutup, khawatir dan tabu.
2) Area pengetahuan yaitu berkaitan dengan pengetahuan orang tua yang terbatas mengenai seks dan seksualitas, termasuk dalam pemberian pendidikan seks kepada anaknya. Misalnya tidak memiliki pengetahuan untuk menjawab pertanyaan tentang masalah seks, tidak mengetahui bagaimana menjelaskan, dan tidak mengetahui pentingnya pendidikan seks.
3) Area keterampilan yaitu mengenai rendahnya kemampuan dan keterampilan orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak, misalnya tidak tahu cara berkomukasi dan memberikan informasi masalah seksual.
4) Area kesibukan orang tua berkaitan dengan kesibukan orang tua dalam bekerja sehingga memiliki sedikit waktu untuk mendampingi anaknya.
5) Area relasi dengan orang tua yaitu mengenai hubungan hangat antara orang tua dan anak dan kenyamanan antara orang tua dan anak dalam mengkomunikasikan masalah seks.
(1)
- Perubahan suara, suara mulai membesar.
- Kelenjar-kelenjar yang menghasilkan lemak di dalam kulit (sebacious) menjadi aktif sehingga timbul banyak jerawat.
- Kelenjar keringat bertambah besar dan aktif sehingga banyak keringat yang keluar
3. Tanda-tanda fisik/fisiologis perempuan memasuki usia remaja
Tanda Fisik :
- Perkembangan pinggul yang membesar dan menjadi bulat yang disebabkan oleh tulang pinggul (pelvis).
- Berkembangnya buah dada, areola membesar - Puting menonjol
- Timbulnya rambut di daerah alat kelamin (public hair), rambut di ketiak (axillary hair).
- Soesilowindradini. (Tanpa tahun). Psikologi Perkembangan (Masa Remaja). Surabaya : Usaha Nasional. - Buku Kesehatan Peserta Didik oleh
Kementrian Kesehatan RI.
- Batubara R. L. Jose. (2010). Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS. Dr.Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Sari Pediatri Vol. 12, No 1 Juni 2010
Tanda Fisiologis :
- Timbulnya menstruasi/ haid pertama (menarche). - Perubahan suara menjadi lebih rendah dan merdu - Kelenjar-kelenjar yang menghasilkan lemak di
dalam kulit (sebacious) menjadi aktif sehingga timbul banyak jerawat.
- Kelenjar keringat bertambah besar dan aktif sehingga banyak keringat yang keluar
4. Nama organ intim perempuan
Organ untuk kopulasi, jalan lahir, jalan keluar darah haid.
- Wibowo., S. Daniel dan W. Paryana. (2009). Anatomi Tubuh Manusia (Anatomy of Human Body). Indonesia : Grha Ilmu.
5. Nama organ intim laki-laki Organ genital laki-laki yang terletak di luar terdiri dari scrotum dan penis. Scrotum terletak di depan regio urogenitalis, sedangkan penis sebagian terletak di dalam scrotum dan sebagian di regio urogenitalis.
(2)
167 6. Perbedaan alat kelamin
laki-laki dan perempuan
Perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh adanya perkembangan ciri-ciri seks sekunder, yaitu ciri-ciri fisik yang membedakan dua jenis kelamin ini. Dinamakan ciri-ciri sekunder karena tidak langsung berhubungan dengan reproduksi.
- Soesilowindradini. (Tanpa tahun). Psikologi Perkembangan (Masa Remaja). Surabaya : Usaha Nasional.
7. Menstruasi Darah yang keluar dari alat kandungan yang terjadi secara teratur setiap bulan.
- Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : Buku Kedikteran EGC
Proses alami yang dialami setiap perempuan, yaitu keluarnya darah karena luruhnya lapisan dinding rahim melalui alat kelamin (vagina) yang terjadi setiap bulan karena perubahan hormone dalam tubuh perempuan. 8. Mengapa menstruasi Endometrium terlepas dari dinding rahim disertai
dengan pendarahan, hanya lapisan tipis yang tinggal disebut stratum basale. Pada saat haid akan keluar darah, luruhan dinding endometrium dan lender dari serviks. Darah ini tidak membeku karena ada fermen yang mencegah pembekuan darah dan mencairkan luruhan mukosa.
- Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : Buku Kedikteran EGC
9. Mimpi basah Peristiwa alami pada semua laki-laki yang di mulai saat usia 10-15 tahun yaitu keluarnya sperma saat tidur disertai mimpi.
- Buku Kesehatan Peserta Didik oleh Kementrian Kesehatan RI.
- Buku Suplemen Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi : Pubertas. Keluarnya cairan sperma secara alamiah. Mimpi basah
merupakan tanda seorang anak laki-laki telah memiliki kemampuan bereproduksi.
10. Mengapa mimpi basah Mimpi basah terjadi karena mengalami ereksi dan berejakulasi.
- Djiwandono, S.E.W. (2008). Pendidikan Seks Untuk Keluarga. Jakarta: Indeks.
(3)
(4)
169 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(5)
(6)
171 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI