Pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia.

(1)

i

PENDIDIKAN SEKS

OLEH ORANG TUA DI INDONESIA

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Yose Emeraldo Theofilus

NIM : 089114067

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

ii

SKRIPSI

PENDIDIKAN SEKS OLEH ORANG TUA

DI INDONESIA

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Yose Emeraldo Theofilus NIM: 089114067

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. Tanggal: 24 Juni 2013


(3)

iii

SKRIPSI

PENDIDIKAN SEKS OLEH ORANG TUA

DI INDONESIA

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Yose Emeraldo Theofilus NIM: 089114067

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji Pada tanggal: 18 Juli 2013

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1 C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. ………..

Penguji 2 Dra. L. Pratidamanastiti, MS. ………..

Penguji 3 Y. Heri Widodo, M.Psi. ………..

Yogyakarta, ……… 2013 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Dekan,


(4)

iv

MOTTO

The chief end of man is to gl

orify God and enjoy Him forever.”

(Westminster Shorter Catechism)

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu

seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.


(5)

v

PERSEMBAHAN

Untuk saya dimasa depan, seorang ayah dengan anak yang membutuhkan pendidikan seksualitas yang memadai dalam hidupnya

Untuk semua orang tua yang mencintai anak-anaknya dengan sepenuh hati dan menginginkan yang terbaik bagi mereka


(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah

Yogyakarta, 24 Juni 2013

Penulis,


(7)

vii

PENDIDIKAN SEKS OLEH ORANG TUA DI INDONESIA

Yose Emeraldo Theofilus

ABSTRAK

Pendidikan seks penting dalam perkembangan individu. Melalui pendidikan seks seseorang dapat memberdayakan dirinya terkait seksualitas. Orang tua merupakan salah satu pihak utama yang memiliki peran besar dalam memberikan pendidikan seks kepada anak. Sayangnya orang tua belum maksimal dalam memberikan pendidikan seks kepada anak. Penelitian ini hendak mengetahu kondisi pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia dengan menggali dan mengeksplorasi beberapa aspek dari pendidikan seks oleh orang tua. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu Grounded Theory. Pengambilan data dilakukan melalui Focus Group sebanyak 4 kali dengan jumlah partisipan 13 ayah dan 14 ibu. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa orang tua menyadari perlunya memberi pendidikan seks. Walaupun begitu materi yang diberikan terbatas pada aspek moralitas dan kepantasan perilaku seksual (rambu-rambu). Orang tua menjadikan media TV sebagai sumber informasi seksual yang utama. Hambatan utama orang tua dalam memberikan pendidikan seks adalah keterbatasan skill dan tabu. Pendidikan seks dari orang tua umumnya berbentuk komunikasi satu arah dan isinya berupa nasihat, arahan dan peringatan. Orang tua tidak menyediakan waktu khusus membicarakan seks dan pembicaraan mengenai seks terjadi secara spontan dan bergantung pada trigger. Pendidikan seks oleh orang tua biasanya diberikan oleh ibu.


(8)

viii

SEX EDUCATION BY PARENTS IN INDONESIA

Yose Emeraldo Theofilus

ABSTRACT

Sex education is important for individual development. Through sex education, one can empower himself about sexuality. Parents are one of some major agent, that have important role in giving sex education to their children. Unfortunately parent have not yet been maximal in giving sex education to their child. This research aim to understand the situation of sex education by parents in Indonesia, by digging and exploring several aspect of sex education by parents. This research use qualitative method, that is Grounded Theory. Data collection conducted through Focus Group as much as 4 times with total participant is 13 fathers and 14 mothers. Research findings reveals that parents are aware of the needs to give sex education. Even so the content usually restricted to morality and appropriate sexual behavior. Parents make TV as their primary source of sexual information. Their major difficulty to give sex education are their limited skill and feeling of taboo. Sex education from parents usually happen in form of one way communication and the content are in form of advice, guidelines, and warning. Parents doesn’t allocate specific moment to speak about sex, rather communication happen spontaneously and rely on trigger. Sex education from parents usually given by mother.


(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Yose Emeraldo Theofilus

Nomor Mahasiswa : 089114067

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

PENDIDIKAN SEKS OLEH ORANG TUA DI INDONESIA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 30 Juli 2013

Yang menyatakan


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaanNya sehingga penulisan skripsi “Pendidikan Seks oleh Orang Tua di Indonesia” dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi dari Fakulas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Bagi penulis, pengerjaan skripsi ini melalui proses yang panjang, berat, melelahkan, namun sekaligus menantang, membangun, dan menginspirasi penulis. Skripsi ini tidak akan dapat terwujud tanpa pertolongan, kerjasama, dukungan, dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah Bapa, Yesus Kristus Sahabat dan Juruselamat, dan Roh Kudus Penolong dan Penghibur yang memberkati, menuntun, dan menjaga penulis dalam setiap langkah.

2. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, panduan, masukan, nasihat, dan teladan bagi penulis.

3. Mbak Haksi selaku asisten pembimbing skripsi yang telah memberi semangat dan arahan dalam penulis mengerjakan skripsi

4. Bu Agnes Indar Etikawati M.Si., Psikolog, selaku dosen pembimbing akademik yang telah mau mengasuh dan membimbing penulis semasa kuliah.


(11)

xi

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah berbagi ilmu baik didalam maupun diluar kelas yang mendidik penulis menjadi seorang psikologis.

6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi (Mas Muji, Mas Gie, Mas Gandung, Mas Doni, Bu Nanik) atas segala bantuannya baik yang bersifat administratif, teknis, ataupun sekedar senyum dan sapa ramah. 7. Kedua orang tua penulis, Pdt John Then dan Milka Winatayudha yang

memberikan dukungan, motivasi, saran, dan doa-doanya. Tak lupa juga terimakasih untuk segala makanan nikmat yang boleh penulis rasakan, yang memberi kekuatan untuk mengerjakan skripsi ini. 8. Liza, Unk, pacar saya tercinta yang menjadi sahabat yang mendukung

dan menguatkan penulis selama proses skripsi. Terima kasih untuk senyum yang menghidupkan hari-hari penulis.

9. Teman-teman bimbingan pak Siswa, Vincent, Difka, Arisa, Winas, Pritha, Hembah, dan Franz yang mana penulis mendapat kesempatan untuk berproses bersama-sama, banting tulang bersama, mandi keringat bersama. Penulis berterimakasih untuk segala pertolongan, dukungan, dan kebersamaan.

10. Anggit, Ade, Lita, Rio, Sari, Shita, Hesty, Nina, Noni, dan teman-teman Genk Remponk lainnya yang sangat banyak jumlahnya. Terimakasih untuk segala kebersamaan, canda tawa, susah sedih dari hari pertama kuliah sampai saat ini.


(12)

xii

11. Para responden yang terhormat, yang bersedia dengan sukarela dan sukahati meluangkan waktu, perasaan, dan pemikirannya untuk berbagi dan membuka diri sehingga skripsi ini dapat ditulis.

12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas segala doa, dukungan, dan bantuannya selama ini.

Yogyakarta, 24 Juni 2013


(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ...12

C. Tujuan Penelitian ...12

D. Manfaat Penelitian ...13

1. Manfaat Teoritis ...13

2. Manfaat Praktis ...13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14


(14)

xiv

1. Definisi ...14

2. Agen Pendidikan Seks ... 15

3. Model Pendidikan Seks ...17

4. Materi Pendidikan Seks ... 19

B. Pendidikan Seks oleh Orang Tua ... 20

1. Definisi Orang Tua ... 20

2. Topik dan Isi Pendidikan Seks ...22

3. Waktu untuk Memulai Pendidikan Seks ... 23

4. Hal yang Memudahkan Terjadinya Pendidikan Seks ...24

5. Hambatan Memberikan Pendidikan Seks ... 26

6. Konteks Pendidikan Seks ... 30

7. Gaya Komunikasi ...31

8. Gender dan Jenis Kelamin ... 32

C. Focus Group ...33

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Metode Penelitian ... 36

B. Partisipan Penelitian ... 37

1. Karakteristik Partisipan ... 37

2. Metode Pemilihan Partisipan ... 37

C. Instrumen Penelitian ...37

1. Definisi Focus Group ... 37

2. Kelompok dan Jumlah Partisipan ... 38


(15)

xv

4. Panduan Pertanyaan ... 39

D. Prosedur Penelitian ... 40

E. Prosedur Analisis Data ... 41

1. Memparafrasekan Data ... 42

2. Interpretasi ... 42

3. Membuat Kategori Informasi (Open Coding) ... 42

4. Membuat Pengkategorian yang Lebih Tinggi (Axial Coding) .. 42

F. Kredibilitas Penelitian ... 43

1. Triangulasi ... 43

2. Paper Trail ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Pelaksanaan ... 44

B. Deskripsi Hasil ... 49

1. Materi Pendidikan Seks ... 49

2. Sumber Informasi Pendidikan Seks ...52

3. Hambatan dalam Memberi Pendidikan Seks ...54

4. Kemudahan dalam Memberi Pendidikan Seks ...58

5. Konteks Pemberian Pendidikan Seks ...61

6. Metode ...68

7. Pihak Pemberi Pendidikan Seks ...75

8. Kebutuhan Pemberdayaan Orang Tua ... 79

C. Pembahasan ... 80


(16)

xvi

2. Sumber Informasi Pendidikan Seks ... 86

3. Hambatan dan Kemudahandalam Memberi Pendidikan Seks...88

4. Konteks Pemberian Pendidikan Seks ...92

5. Metode ...96

6. Pihak Pemberi Pendidikan Seks ...101

7. Kebutuhan Pemberdayaan Orang Tua ...104

8. Pembahasan Umum ...105

BAB V PENUTUP ...109

A. Kesimpulan ...109

B. Kekuatan ...110

C. Kelemahan ... 111

D. Saran ...112

1. Orang Tua ...112

2. Sekolah dan Guru ...112

3. LSM, Psikolog, dan Pemerintah ...113

4. Media Massa ... 114

5. Peneliti Selanjutnya ...114

DAFTAR PUSTAKA ...116


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Persentase Anak yang Menerima Informasi Perubahan Fisik dari

Orang Tua pada Tahun 2002 dan 2007 ...7

Tabel 2. Daftar Pertanyaan Focus Group ... 39

Tabel 3. Persiapan Pengambilan Data ...44

Tabel 4. Pelaksanaan Focus Group ...46

Tabel 5. Pelaksanaan Analisis Data ...47

Tabel 6. Kategori dalam Materi Pendidikan Seks ...49

Tabel 7. Kategori dalam Sumber Informasi Seks ...52

Tabel 8. Kategori dalam Hambatan dalam Memberikan Pendidikan Seks ... 54

Tabel 9. Kategori dalam Kemudahan dalam Memberikan Pendidikan Seks ... 58

Tabel 10. Kategori dalam Konteks Pemberian Pendidikan Seks ...61

Tabel 11. Kategori dalam Metode ...68

Tabel 12. Kategori dalam Pihak Pemberi Pendidikan Seks ... 75

Tabel 13. Kategori dalam Kebutuhan Pemberdayaan Orang Tua ... 79

Tabel 14. Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Materi Pendidikan Seks ...81

Tabel 15. Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Sumber Informasi Pendidikan Seks ...86

Tabel 16. Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Hambatan dan Kemudahan dalam Memberikan Pendidikan Seks ...88

Tabel 17. Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Konteks Pemberian Pendidikan Seks ... 92


(18)

xviii

Tabel 19. Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Pihak Pemberi

Pendidikan Seks ...101 Tabel 20. Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Kebutuhan


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Panduan Rekrutmen Partisipan ... 126

Lampiran 2. Surat Konfirmasi Partisipan ... 127

Lampiran 3. Verbatim, Parafrase dan Interpretasi FG1 ... 131

Lampiran 4. Verbatim, Parafrase dan Interpretasi FG2 ... 189

Lampiran 5. Verbatim, Parafrase dan Interpretasi FG3 ... 226

Lampiran 6. Verbatim, Parafrase dan Interpretasi FG4 ... 281


(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Seksualitas adalah salah satu bagian paling penting dari kehidupan manusia yang memiliki dimensi fisik, psikologis, spiritual, sosial, ekonomi, politik, dan kultural (Kakavoulis, 2001; Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 2008; United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization [UNESCO] 2009). Kesadaran sebagai seorang laki-laki dan perempuan, kapasitas untuk memiliki pengalaman dan respon erotis, dan pengetahuan akan peran gender dalam budaya adalah aspek dari seksualitas manusia (Rathus et al., 2008). Dalam seksualitas, seks merupakan aspek kecil namun sangat penting (Carrera, 2008). Seks adalah bentuk individu sebagai laki-laki atau perempuan dilihat organ dan struktur reproduksinya (Merriam-Webster‟s Collegiate Dictionary, 2003).

Pendidikan seks penting untuk diberikan kepada anak secara khusus di usia remaja, karena remaja sedang mengalami pematangan seksual (Mappiare, 1982; Sarwono, 1989). Pematangan seksual pada aspek fisik disebut sebagai pubertas (Sarwono, 1989; Steinberg, 2002). Dalam pubertas ini terjadi perkembangan dan perubahan fisik pada alat-alat kelamin, kemampuan untuk bereproduksi, dan kemunculan karakteristik seks sekunder (Rathus et al., 2008, Santrock, 2007; Steinberg, 2002).

Selain perubahan fisik, Steinberg (2002) mengatakan bahwa pada masa remaja terjadi peningkatan dorongan dan aktivitas seksual. Hal ini mendorong remaja untuk mengeksplorasi seksualitasnya (Santrock, 2007). Remaja melakukan


(21)

berbagai macam perilaku seksual, mulai dari aktivitas yang dilakukan sendiri, seperti fantasi erotis dan masturbasi, sampai dengan aktivitas yang dilakukan dengan pasangan seperti berpelukan, berciuman, menyentuh bagian-bagian tubuh seperti payudara dan alat kelamin, seks oral, seks anal, dan sanggama (Rathus et al., 2008; Santrock, 2007; Steinberg, 2002).

Perilaku-perilaku seksual remaja seperti disebutkan diatas ditemukan pada banyak remaja. Di Amerika Serikat, antara 46 – 70% remaja dibawah usia 19 tahun sudah pernah berhubungan seksual. Sedangkan di Indonesia sekitar 30% remaja sudah pernah berhubungan seksual (Guttmacher Institiute, 2012; The

Youth Risk Behavior Surveillance System, 2009; Muchtar, 2010; Syn, 2011,

2012). Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey [IYARHS] (2007) menemukan bahwa 29,3% remaja perempuan dan 41,2% remaja laki-laki sudah pernah berciuman, serta 9,1% dan 26,5% sudah pernah melakukan petting.

Bagi Steinberg (2002), kekhawatiran orang mengenai remaja yang aktif secara seksual adalah rendahnya jumlah pemakaian kontrasepsi. Di Amerika sekitar 40% - 60% remaja tidak menggunakan kontrasepsi atau menggunakannya secara tidak konsisten (Steinberg, 2002; The Youth Risk Behavior Surveillance

System, 2009). Di Indonesia sendiri, hanya 10% remaja perempuan dan 18%

remaja laki-laki yang menggunakan kondom pada hubungan seks terakhirnya (IYARHS, 2007). Khan dan Mishra (2008) menyebutkan bahwa tingkat penggunaan kontrasepsi pada wanita muda tidak menikah di negara-negara berkembang tergolong rendah.


(22)

Penggunaan kontrasepsi yang rendah dan tidak konsisten, terutama kondom, menempatkan remaja pada resiko kehamilan tidak diinginkan dan terkena penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS. Guttmacher Institute (2010) menemukan bahwa pada tahun 2006, 750.000 perempuan berusia dibawah 20 tahun pernah hamil. Steinberg (2002) mengatakan bahwa 25% remaja mengalami kehamilan sebelum usia 18 tahun, dan meningkat menjadi 45% pada usia dibawah 21 tahun. Kehamilan tidak diinginkan membawa remaja pada kemungkinan konsekuensi negatif seperti kemiskinan, putus sekolah, pengangguran, dan kehilangan harapan untuk masa depan (Rathus et al., 2008). Terkait resiko PMS, 1 dari 4 remaja perempuan mengalami PMS sebelum lulus SMA (Steinberg, 2002). Sementara data dari UNESCO (2009) menyebutkan bahwa anak muda usia 15 -24 tahun menyumbangkan 45% dari total infeksi HIV terbaru.

Hal-hal di atas inilah yang menjadi salah satu alasan diperlukannya pendidikan seks. Melalui pendidikan seks, remaja akan dimampukan untuk menjadi sadar atas seluruh kemungkinan perilaku dan nilai seksual yang ada sehingga remaja dengan kesadaran dan pengertian mampu memilih sendiri perilaku yang sesuai bagi dirinya (Roger, 1974).

Sejauh ini penelitian menunjukkan bahwa remaja yang menerima pendidikan seks memiliki perilaku seksual yang lebih sehat, menunda hubungan seks pertama, dan secara umum menunda mulainya aktivitas seksual (Furstenberg, Moore, & Peterson, 1985; Kohler, Manhart, & Lafferty, 2008; Lindberg, in press). Secara lebih rinci UNESCO (2009) menyatakan bahwa pengaruh pendidikan seks


(23)

yang diterima remaja terhadap perilaku seksual cukup positif yaitu kurang lebih 40% remaja menunda hubungan seks pertama, mengurangi frekuensi hubungan seks, mengurangi jumlah partner seksual, meningkatkan penggunaan kondom dan kontrasepsi, dan mengurangi perilaku seksual yang beresiko. Memang ada yang menjadi lebih negatif yaitu sekitar 4,3% remaja meningkatkan frekuensi seks, mengurangi penggunaan kontrasepsi dan melakukan perilaku seks yang lebih beresiko, namun dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks memberi kontribusi positif bagi seksualitas remaja. Meskipun begitu kontribusi positif pendidikan seks hanya ditemukan pada pendidikan seks yang komprehensif, sedangkan pendidikan seksualitas yang berfokus pada abstinience (berpantang) saja tidak memiliki manfaat tersebut (Kohler et al., 2008; SIECUS, tanpa tahun).

Di Indonesia, muncul respon yang beragam terkait masuknya pendidikan seks di sekolah. Ada beberapa pihak yang mendukung, seperti guru, dokter, psikolog, konsultan seks, akademisi, tokoh masyarakat, LSM, wakil DPRD, dan menteri kesehatan (Tempo, 2007; Kompas, 2008; Nurhayati, 2012; Rachmawati, 2008; Rosdiansyah, 2012; Suryanto, 2012). Di sisi lain, juga terdapat pihak-pihak yang kurang mendukung adanya pendidikan seks di sekolah. Menurut Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FACCS (dalam Sari, 2008b) reaksi penolakan yang kuat terhadap pendidikan seks muncul dengan alasan bahwa pendidikan seks bukanlah budaya Indonesia melainkan budaya Barat. Terdapat pandangan bahwa pendidikan seks tidak sesuai dengan kultur Indonesia, membicarakan hal terkait seks adalah tabu dan porno, serta akan mendorong anak aktif secara seksual lebih dini (Inilah Jabar, 2012; Faturochman, 2012; Sari, 2008b; Rachmawati, 2008).


(24)

Mempertimbangkan hak setiap orang untuk dapat mengambil keputusan sendiri dengan kesadaran penuh maka pendidikan seks perlu diberikan kepada anak. Melalui pendidikan seks individu dapat memperoleh pengetahuan dan pengertian yang memadai sehingga dapat mengambil keputusan mengenai seksualitasnya dengan kesadaran dan tanggung jawab. Selain itu ketakutan bahwa memberi pendidikan seks kepada anak akan mendorong anak aktif secara seksual lebih dini merupakan miskonsepsi masyarakat. Hasil-hasil penelitian justru menunjukkan bahwa pendidikan seks menunda keaktifan seksual (Furstenberg et al., 1985; Kohler et al., 2008; Lindberg, in press; UNESCO, 2009)

Terlepas dari perdebatan yang terjadi, pendidikan seks terutama terkait kesehatan reproduksi sudah mulai dicanangkan pada tahun 1980-an. Namun sampai saat ini pendidikan seks tetap tidak berhasil dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional (Nababab, 2011). Walaupun demikian, ada usaha pemerintah untuk mengenalkan pendidikan seks di luar kurikulum pendidikan nasional. Saat ini pemerintah Indonesia sedang mendorong didirikannya Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR) di berbagai sekolah, pesantren, dan lembaga kemasyarakatan, yang sampai dengan tahun 2008 sudah tersebar di 4.200 kecamatan di seluruh Indonesia (Susanto, 2008). Selain itu, BKKBN Provinsi Bali juga telah membuat Pusat Informasi Konseling dan Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) dalam usaha mengedukasi remaja di Bali (Candra, 2008).

Terkait perdebatan diatas, konsultan seks, Dr. H. Boyke Dian Nugraha, SpOG, MARS (dalam Kompas, 2008) menyarankan dan mendorong orang tua


(25)

agar menjadi pendidik seks bagi anak-anaknya. Para pemerhati pendidikan seksualitas mengatakan bahwa orang tua memiliki tanggung jawab memberikan pendidikan seks di rumah. Pendidikan seks dari keluarga perlu untuk mencegah anak mencari referensi lain dan memperoleh informasi yang keliru mengenai pengetahuan seksual, misalnya dari pornografi (Kompas, 2013; Nababab, 2011; Rachmawati, 2008; Sari, 2008).

Orang tua memang salah satu pendidik seks utama bagi anak (Walker, 2004; Walker & Milton, 2006). Menurut Sarwono (1989) seks adalah masalah yang sangat pribadi sehingga keluarga adalah tempat paling nyaman untuk membahasnya. Sementara menurut Eisenberg, Sieving, Bearinger, Swain, dan Resnick (2006) orang tua memiliki peran kunci karena orang tua bisa mengekspresikan nilai, keyakinan, dan ekspektasi mereka kepada anak, disamping juga memberikan informasi yang disesuaikan dengan tahap pertumbuhan anak dengan melihat konteks sosial dan kondisi hidup sekarang. Orang tua juga memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan seksualitas kepada anak (Rosenthal & Feldman, 1999). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seks dari orang tua membuat remaja menjauhi hubungan seksual pranikah dan pergaulan bebas (Indra, 2009; Risnawati, 2002). Bahkan menurut Santrock (2007) remaja yang mampu membicarakan topik seksual dengan orang tua secara terbuka cenderung lebih tidak aktif secara seksual.

Meskipun banyak pihak merekomendasikan dilakukannya pendidikan seks oleh orang tua, sangat sedikit orang tua yang benar-benar nyaman mendiskusikan


(26)

seks dengan anaknya (Rosenthal, Senserrick, & Feldman, 2001). Frekuensi komunikasi dan pendidikan seks dari orang tua ke anak tergolong sangat rendah, bahkan sebagian besar topik seks tidak pernah dibahas (Santrock, 2007, Rosenthal & Feldman, 1999). Topik yang dibahas umumnya terbatas soal keamanan melakukan hubungan seksual (kondom, AIDS) namun tidak membahas perilaku seksual atau relasi (Steinberg, 2002). Suasana percakapan dengan orang tua pun lebih defensif dibanding saat remaja bicara dengan teman sebayanya, sehingga remaja lebih memilih teman sebaya sebagai sumber informasi seks (Rozema, 1986). Bahkan dalam penelitian Kakavoulis (2001), ditemukan bahwa hanya 18% responden (orang tua, guru SD, guru SMP-SMA, dan mahasiswa keperawatan) yang percaya bahwa keluarga mampu memberikan pendidikan seks secara memadai. Sementara itu di India, Nair et al. (2011) menemukan bahwa hanya 1,1% orang tua yang benar-benar mendiskusikan seks dengan anaknya, walaupun lebih dari setengah orang tua merasa pendidikan seks itu penting.

Di Indonesia agaknya terjadi penurunan dalam pendidikan seks oleh orang tua. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan penurunan pemberian informasi perubahan fisik dari orang tua kepada anak (IYARHS 2002, 2007).

Tabel 1

Persentase anak yang menerima informasi perubahan fisik dari orang tua pada tahun 2002 dan 2007

Anak perempuan Anak laki-laki

Pendidik 2002 2007 2002 2007

Ibu 32,1% 20% 10,9% 3,4%


(27)

Dari tabel tersebut ibu tampaknya menjadi pendidik seks yang utama bagi anak. Meskipun begitu persentase anak yang menerima informasi seks dari ibu masih sedikit, terlebih lagi dari ayah. Pada kedua survei tersebut juga ditemukan bahwa teman sebaya dan guru adalah sumber informasi seksual terbanyak bagi remaja. Selanjutnya Baby Jim Aditya (dalam Kompas, 2013) menyatakan bahwa orang tua masih menganggap tabu mendiskusikan kesehatan reproduksi dengan anak. Ini mengakibatkan orang tua menjadi pihak yang paling tidak tahu mengenai perkembangan seksual anak.

Melihat kondisi di atas peneliti ingin lebih memahami dan mengetahui kondisi pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Peneliti ingin melihat lebih dalam mengenai aspek-aspek pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Menurut Walker dan Milton (2006) meskipun pendidikan seks memiliki dimensi yang universal namun juga terdapat perbedaaan dan keberagaman tergantung pada budaya dan konteks. Penelitian Epstein dan Ward (2007) mengindikasikan bahwa kelompok etnis yang berbeda memiliki pola komunikasi yang berbeda. Norma dan budaya setempat yang berbeda-beda juga berperan dalam menciptakan keberagaman pendidikan seksualitas oleh orang tua (Bastien, Kajula, & Muhwezi, 2011; Kirkman, Rosenthal, & Feldman, 2005). Oleh karena itu tetap dibutuhkan penelitian mengenai pendidikan seks yang terjadi di daerah setempat untuk melihat keunikan atau variasi pendidikan seks yang muncul.

Menurut Kaljee et al., (2011), penelitian mengenai komunikasi orang tua-anak mengenai seks masih sangat sedikit dilakukan di luar negara-negara Barat, termasuk juga di negara-negara berkembang. Penelitian mengenai komunikasi


(28)

seksual orang tua-anak pernah dilakukan oleh Trinh, Steckler, Ngo, dan Ratliff, (2009) di Vietnam. Penelitian Trinh et al. mengeksplorasi beberapa aspek pendidikan seks oleh orang tua yaitu materi, konteks, dan penghambat. Sementara penelitian Ha dan Fisher (2011), juga di Vietnam, mengeksplorasi pandangan orang tua mengenai topik yang perlu diajarkan, pihak yang tepat untuk memberikan pendidikan seks, usia yang tepat untuk memulai pendidikan seks, kesulitan dalam berkomunikasi mengenai seks dengan anak, dan bantuan yang orang tua perlukan untuk menjalankan perannya sebagai pendidik seks.

Aspek-aspek yang diteliti dalam dua penelitian di atas dapat dieksplorasi secara lebih mendalam dan sesuai kondisi di Indonesia. Kedua penelitian tersebut juga menggali beberapa aspek yang berbeda yang dapat digali seluruhnya bersama-sama. Aspek yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah konten, sumber informasi orang tua, hambatan, kemudahan, konteks, metode, pihak yang layak memberikan pendidikan seksualitas, dan kebutuhan pemberdayaan orang tua. Alasan peneliti memilih aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut

1. Konten. Aspek ini dipilih karena aspek konten adalah salah satu aspek utama dan muncul juga dalam berbagai penelitian (Bastien et al., 2011; Doskoch, 2011; Ha & Fisher, 2011; Trinh et al., 2009; Wamoyi, Fenwick, Urassa, Zaba, & Stones, 2010), sehingga aspek ini layak diteliti ulang untuk melihat variasi yang muncul di Indonesia.

2. Sumber informasi orang tua. Menurut peneliti aspek ini kurang diteliti pada penelitian-penelitian sebelumnya (Bastien et al., 2011; Ha & Fisher, 2011; Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010), padahal aspek ini


(29)

penting untuk memahami sumber-sumber informasi seksual yang digunakan oleh orang tua.

3. Hambatan. Penelitian Trinh et al., (2009) membahas hambatan memberikan pendidikan seks secara jelas, sementara Ha dan Fisher (2011) membahas alasan orang tua tidak memberi pendidikan seks. Hambatan juga dibahas dalam penelitian-penelitian lain seperti penelitan Bastien et al. (2011), Jerman dan Constantine (2010), Walker (2001), dan Wamoyi et al. (2011). Oleh karena itu peneliti merasa bahwa aspek ini merupakan aspek yang penting untuk diteliti.

4. Kemudahan. Baik dalam penelitian Ha dan Fisher (2011), maupun penelitian Trinh et al. (2009), aspek kemudahan tidak dibahas. Meskipun begitu dalam penelitiannya, Trinh et al. sempat menyinggung mengenai relasi baik orang tua – anak membantu pendidikan seks berjalan lebih baik. Dari sini peneliti tertarik melihat lebih jauh hal-hal apa saja yang dipandang orang tua dapat membantu terjadinya pendidikan seks oleh orang tua.

5. Konteks. Dengan melihat konteks, peneliti merasa dapat melihat situasi dan kondisi yang menyelimuti terjadinya pendidikan seks oleh orang tua. Topik ini dibahas oleh Trinh et al. (2009) dalam penelitiannya sehingga peneliti terdorong untuk meneliti aspek ini juga di Indonesia. 6. Metode. Aspek ini mengungkapkan cara-cara yang digunakan oleh

orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak. Ha dan Fisher (2011) serta Trinh et al. (2009) tampaknya kurang membahas


(30)

mengenai metode-metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak, sehingga peneliti terdorong untuk menggali aspek metode lebih dalam.

7. Pihak yang layak memberikan pendidikan seks. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya sering muncul pembahasan mengenai pihak lain yang juga memberi pendidikan seks kepada anak, misal lembaga sosial, kakek-nenek, dan sekolah (Ha & Fisher, 2011; Walker 2004; Wamoyi et al., 2010). Selain itu juga ada penelitian yang melihat mengenai informasi seksual yang didapat anak dari beberapa sumber seperti teman dan media (Diiorio, Kelley, & Hockenberry-Eaton, 1999; Epstein & Ward, 2007). Pemilihan aspek ini adalah karena peneliti ingin mengetahui pandangan orang tua mengenai pihak-pihak yang dianggap layak memberi pendidikan seks kepada anak.

8. Kebutuhan pemberdayaan orang tua. Aspek ini penting untuk diteliti karena dengan mengetahui kebutuhan pemberdayaan orang tua, maka dapat dilaksanakan intervensi yang sesuai dan tepat sasaran.

Dengan menggali dan mengeksplorasi aspek-aspek pendidikan seks oleh orang tua ini, diharapkan muncul pengertian dan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai pendidikan seks oleh orang tua yang terjadi di Indonesia.


(31)

B.Rumusan Masalah

1. Apa saja konten pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia? 2. Apa saja yang menjadi sumber informasi seksual bagi orang tua? 3. Apa hambatan yang dialami orang tua di Indonesia?

4. Apa kemudahan yang dialami oleh orang tua di Indonesia? 5. Apa konteks pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia?

6. Metode apa yang digunakan orang tua dalam memberi pendidikan seks? 7. Siapa saja yang dipandang orang tua layak memberi pendidikan seks? 8. Pemberdayaan apa yang dibutuhkan oleh orang tua?

C.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui konten pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. 2. Mengetahui sumber informasi seksualitas bagi orang tua.

3. Mengetahui hambatan yang dialami orang tua di Indonesia. 4. Mengetahui kemudahan yang dialami oleh orang tua di Indonesia. 5. Mengetahui konteks pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia.

6. Mengetahui metode yang digunakan orang tua dalam memberi pendidikan seks.

7. Mengetahui pihak yang dipandang orang tua layak memberi pendidikan seks. 8. Mengetahui pemberdayaan yang dibutuhkan orang tua.


(32)

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam ilmu psikologi perkembangan, pendidikan dan keluarga, terutama terkait pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk mengerti dan memahami secara lebih mendalam pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Hal ini penting karena pendidikan seks memiliki variasi yang beragam tergantung budaya.

2. Manfaat Praktis

Bagi orang tua, penelitian ini dapat menjadi sarana untuk merefleksikan, mengevaluasi dan meningkatkan pendidikan seks yang mereka lakukan. Bagi pasangan suami-istri yang belum mempunyai anak, hasil penelitian ini dapat membuka wawasan dan membantu mempersiapkan pasangan suami-istri tersebut untuk memberikan pendidikan seks di masa yang akan datang. Bagi konselor keluarga, penelitian ini dapat meningkatkan wawasan dan pemahaman konselor mengenai pendidikan seks oleh orang tua, sehingga dapat memberikan bantuan yang lebih baik bagi konseli yang terkait. Penelitian ini juga berguna bagi pemerintah, LSM, dan instansi pendidikan agar dapat lebih baik lagi dalam memperlengkapi orang tua maupun dalam menjadi mitra orang tua untuk memberikan pendidikan seks kepada anak.


(33)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Pendidikan Seks

1. Definisi

Merriam-Webster‟s Collegiate Dictionary (2003) mendefinisikan seks sebagai bentuk individu sebagai laki-laki atau perempuan dilihat organ dan struktur reproduksinya. Carrera (2008) mengatakan bahwa seks umumnya dipahami sebagai aktifitas genital dan merupakan salah satu aspek kecil namun yang sangat penting dalam seksualitas. Dalam International Technical

Guidance on Sexuality Education (UNESCO, 2009), pendidikan seks

merupakan sebagian aspek dari pendidikan seksualitas. Pendidikan seks meliputi topik-topik seperti pertumbuhan manusia, perilaku seksual, serta kesehatan reproduksi dan seksual. Sementara dalam It’s All One Curriculum (International Sexuality and HIV Curriculum Working Group, 2009), pubertas, organ reproduksi, proses reproduksi, kesehatan seksual termasuk juga penyakit menular seksual dan HIV/AIDS merupakan bahasan terkait dengan seks.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks adalah proses pembelajaran mengenai laki-laki dan perempuan dilihat dari organ dan struktur reproduksinya serta aktifitas genitalnya. Pendidikan seks mencakup hal-hal seperti pertumbuhan manusia termasuk pubertas, perilaku seksual, serta kesehatan reproduksi dan seksual.


(34)

2. Agen Pendidikan Seks

a. Keluarga

Orang tua adalah sumber pendidik seks bagi anak dalam keluarga (Diiorio et al., 1999; Eisenberg et al., 2006; Epstein & Ward, 2007; Miller, Kotchick, Dorsey, Forehand, & Ham, 1998; Pluhar & Kuriloff, 2004; Walker, 2004; Walker & Milton, 2006; Wamoyi et al., 2010). Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sikap, keyakinan, dan perilaku seksual, terutama sebelum mulainya masa remaja (Dilworth, 2009; Jerman & Constantine, 2010; Kakavoulis, 2001). Peran kunci dan utama ini karena orang tua mampu mengekspresikan nilai, kepercayaan dan ekspektasi mereka, sembari memberikan informasi yang disesuaikan dengan tahap pertumbuhan anak, termasuk dalam konteks sosial dan kondisi hidup (Eisenberg et al., 2006). Kincaid, Jones, Sterrett, dan McKee (2012) menyatakan bahwa dalam model seminal Bronfenbrenner, orang tua terletak pada lingkaran pengaruh paling dalam. Hal ini karena orang memberi pengaruh langsung melalui genetik, gaya pengasuhan dan perilaku pengasuhan, serta memberikan ikatan emosional, batasan perilaku, serta model dalam membangun relasi. Lebih jauh lagi Kakavoulis (2001), menyebutkan reinforcement, imitation, identification, dan sosialisasi sebagai media pembelajaran untuk anak dari orang tua.

Selain orang tua, anggota keluarga lain yang memiliki potensi dan kesempatan memberikan pendidikan seks adalah saudara sebagai pendidik seks sebaya dan kakek nenek (Walker, 2004, Walker & Milton, 2006;


(35)

Wamoyi et al., 2010). Pendidik seks sebaya memiliki interaksi yang lebih informal seperti mampu terbuka dan menggunakan humor dan gurauan saat menyampaikan informasi tentang seks. Sementara kakek dan nenek umumnya merasa lebih nyaman membicarakan seks dengan cucunya, dibandingkan orang tua ke anak (Walker & Milton, 2006; Wamoyi et al., 2010).

b. Guru dan sekolah

Sekolah dan guru memiliki kesempatan untuk memberikan informasi seksual kepada siswanya dengan memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum pelajaran (Eisenberg, Bernat, Bearinger, & Resnick, 2008; Kakavoulis, 2001; Ha & Fisher, 2011; Walker & Milton, 2006). Meskipun begitu ada hambatan dalam memberikan pendidikan seks yang memadai di sekolah seperti jadwal pelajaran yang sudah padat, tidak ada panduan atau silabus yang jelas, guru merasa tidak nyaman dan tidak menguasai topik pendidikan seks (Nair et al., 2011; Ha & Fisher, 2011).

Walker (2004) menyebut orang tua dan sekolah sebagai dua pihak yang dianggap sebagai pendidik seks utama. Meskipun masih ada perdebatan mengenai pihak yang lebih utama, Walker dan Milton (2006) menunjukkan bahwa ada usaha membangun kerjasama di antara kedua pihak untuk memberikan pendidikan seks yang lebih baik.

c. Agen – agen lainnya

Sumber informasi dan pendidikan seks lain yaitu media massa seperti koran, majalah, televisi, radio, dan internet (Davis, Blitstein, Evans,


(36)

& Kamyab, 2010; Epstein & Ward, 2007; Ha & Fisher, 2011; Holzner & Oetomo, 2004; Trinh et al., 2009). Teman sebagaimana saudara juga memiliki potensi sebagai pendidik seks sebaya (Diiorio et al., 1999; Epstein & Ward, 2007; Ha & Fisher; Walker, 2004). Pendidikan seks juga bisa diberikan oleh instansi kesehatan melalui petugas kesehatan, atau organisasi-organisasi masyarakat misalnya Youth Union (YU) di Vietnam (Davis et al., 2010; Ha & Fisher; Walker & Milton).

3. Model Pendidikan Seks

SIECUS (tanpa tahun) mengatakan bahwa model pendidikan seks yang diberikan kepada anak berbeda-beda tergantung keputusan dan kebijakan dari agen pendidik. Model pendidikan seks ini merupakan sebuah kontinum dimana berbagai pendidikan seks yang ada umumnya terletak di antara dua ujung kontinum yaitu pendidikan seks berbasis abstinence dan pendidikan seks berbasis comprehensive.

a. Pendidikan seks berbasis abstinence (berpantang)

Menurut SIECUS (tanpa tahun), model pendidikan seks ini dirancang untuk mengedepankan nilai sosial konservatif bahwa perilaku seksual hanya pantas secara moral dalam konteks pernikahan heteroseksual. Pendidikan model ini ini jarang menyediakan informasi yang memadai, bahkan pada topik yang paling dasar dalam seks manusia, seperti pubertas, anatomi reproduksi dan kesehatan seksual. Model ini umumnya berfokus


(37)

pada pentingnya pernikahan dan memberi pesan bahwa perilaku seksual di luar pernikahan adalah berbahaya.

Program ini memberi pesan negatif tentang seks, mendistorsi informasi mengenai kondon dan PMS, memberikan informasi yang tidak akurat dan bias mengenai gender, orientasi seksual, pernikahan, struktur keluarga, dan pilihan kehamilan. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas berbasis abstinence di sekolah hanya sedikit atau sama sekali tidak memberikan dampak positif pada seksualitas anak muda (SIECUS, tanpa tahun).

b. Pendidikan seks berbasis komprehensif

Model ini memberikan pendidikan seksualitas yang disesuaikan usia dan informasi yang akurat secara medis mengenai kumpulan topik yang luas terkait dengan seks (SIECUS, tanpa tahun).

Sama seperti pendidikan seks berbasis abstinence, pendidikan seks berbasis komprehensif juga mendorong anak untuk menunda atau tidak berhubungan seks. Perbedaannya adalah pendidikan seks berbasis komprehensif mengajarkan berbagai topik lain terkait seks seperti kesehatan reproduksi, kontrasepsi, dan tidak berfokus hanya pada berpantang saja. Menurut SIECUS (tanpa tahun) mengajarkan anak muda hanya mengenai berpantang adalah tidak memadai dan membuat anak muda tidak siap untuk membuat keputusan terkait kesehatan seksualnya baik sekarang maupun di masa depan.


(38)

4. Materi Pendidikan Seks

Rosenthal dan Feldman (1999) membagi materi pendidikan seks kedalam 4 domain / bidang yaitu :

a. Developmental and Societal Concern

Domain ini meliputi hal-hal terkait perkembangan fisik yang dialami dan topik-topik yang mendapat banyak sorotan oleh masyarakat, misalnya aborsi dan kehamilan di luar nikah. Topik dalam domain ini meliputi menstruasi, perkembangan fisik, aborsi, kehamilan, homoseksualitas, dan seks pranikah.

b. Sexual Safety

Meliputi topik-topik yang menjadi sorotan saat ini terkait seks aman (safe sex) dan pencegahan penyakit. Topik yang termasuk domain ini seperti seks aman (safe sex), penyakit menular seksual (PMS), HIV/ AIDS, dan jenis kontrasepsi serta cara mendapatkannya.

c. Experiencing Sex

Meliputi aspek psikologis dan interpersonal dari seks. Topik yang termasuk dalam domain ini meliputi kencan atau berpacaran, bagaimana mengatasi tekanan seksual tidak diinginkan, hasrat seksual (misal: terangsang), kepuasan seksual (misal: orgasme), macam-macam aktifvitas seksual (misal: seks oral), membicarakan kebutuhan seksual dengan pasangan, memilih pasangan, dan peran kelompok sebaya dalam membuat keputusan seksual.


(39)

d. Solitary Sexual Activity

Domain ini meliputi dua hal saja yaitu masturbasi dan mimpi basah. Dua hal yang dianggap sebagai aktivitas seksual pribadi, umumnya dilakukan laki-laki, dan tergolong tabu untuk dibicarakan.

Dari bidang-bidang yang disebutkan ini, bidang Developmental and

Societal Concern dapat dibagi menjadi dua antara Developmental dengan Societal Concern karena keduanya mengandung topik-topik yang berbeda.

Selanjutnya bidang Experiencing Sex juga dapat dipisah menjadi dua bidang yaitu Sexual Relationship dan Sexual Norm. Bidang Sexual Relationship berisi topik-topik terkait aktivitas seksual dan relasi romantis, sementara bidang

Sexual Norm berisi norma-norma perilaku dan berelasi dengan orang lain.

B.Pendidikan Seks oleh Orang Tua

1. Definisi Orang Tua

Merriam-Webster‟s Collegiate Dictionary (2003) memiliki 2 definisi orang tua yaitu seseorang yang memperanakan atau melahirkan keturunan dan seseorang yang membesarkan dan merawat seorang lain. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) mendefinisikan orang tua sebagai ayah dan ibu kandung. Lebih lanjut lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan ayah sebagai orang tua kandung laki-laki dan ibu sebagai perempuan yang pernah melahirkan. Menurut Hoyer dan Roodin (2003) menjadi orang tua membutuhkan komitmen sepanjang hidup, karena pasangan yang sudah


(40)

menjadi orang tua tidak bisa berhenti dari menjadi orang tua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua adalah laki-laki dan perempuan yang memperanakan dan melahirkan keturuan dan atau membesarkan serta merawat anak yang membutuhkan komitmen seumur hidup.

Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh anaknya. Pengasuhan (parenting) adalah segala tindakan terkait dengan usaha membesarkan keturunan (APA Dictionary of Psychology, 2007). Hoyer dan Roodin (2003) menjelaskan bahwa masa pengasuhan anak dimulai dari anak lahir sampai anak menjadi mandiri dan meninggalkan rumah. Setelah anak meninggalkan rumah relasi orang tua anak berubah karena sekarang orang tua dan anak sama-sama orang dewasa (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Ada beragam macam orang tua yang masing-masing memiliki kondisi yang berbeda-beda terutama dalam hal dinamika pengasuhan yang terjadi. Macam orang tua yang ada antara lain orang tua heteroseksual, orang tua tiri, orang tua tunggal tidak pernah menikah, janda atau duda, orang tua gay dan lesbian, orang tua adopsi (Berk, 2007; Kail & Cavanaugh, 2010).

2. Topik dan Isi Pendidikan Seks

Informasi seks dari orang tua kepada anak cenderung bermuatan negatif. Orang tua paling sering mendiskusikan konsekuensi negatif dari aktivitas seksual seperti kehamilan tidak terencana, PMS dan HIV/AIDS (Eisenberg et al., 2006; Jerman & Constantine, 2010; Miller et al., 1998; Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010). Diskusi ini pun sering berupa peringatan


(41)

saja (Trinh et al., 2009) bahkan Eisenberg et al. (2006) menemukan bahwa orang tua jarang berbicara soal cara mencegah konsekuensi negatif tersebut. Jerman dan Constantine (2010) menambahkan bahwa orang tua tidak mengkomunikasikan konsekuensi positif penggunaan kontrasepsi jika seseorang aktif secara seksual.

Topik lain yang dibahas orang tua adalah mengenai moralitas seksual, berpantang (abstinience), dan relasi heteroseksual (Epstein & Ward, 2007; Miller et al., 1998; Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010). Rosenthal dan Feldman (1999) menyatakan bahwa topik komunikasi seks orang tua berkisar pada area keamanan seksual (kontrasepsi, HIV/AIDS, PMS, seks aman) dan area perkembangan dan isu sosial (menstruasi, perubahan fisik, kehamilan, aborsi) dan cenderung tidak menyentuh area pengalaman seksual (berpacaran, dorongan seksual, kepuasan seksual, aktivitas seksual) dan area aktivitas seksual sendiri (masturbasi, mimpi basah).

Meskipun begitu penelitian Miller et al. (1998) dan Trinh et al. (2009) menemukan hasil yang bertentangan yaitu orang tua cenderung tidak membicarakan soal perkembangan fisik dan seksual. Trinh et al. juga menemukan bahwa topik homoseksual dan orientasi seksual lainnya tidak dibahas orang tua. Diiorio et al. (1999) menyatakan bahwa konten pembicaraan orang tua-anak kurang berfokus pada hal-hal yang remaja perlu ketahui untuk memahami dengan sepenuhnya bagaimana mereka berkembang dan bertumbuh. Kemungkinan hal ini karena orang tua memandang seksualitas


(42)

anak sebagai resiko, hal yang perlu ditunda dan dihindari (Epstein & Ward, 2007).

3. Waktu untuk Memulai Pendidikan Seks

Walker (2004) menemukan bahwa menstruasi pertama dijadikan penanda oleh orang tua untuk bisa memulai pendidikan seks kepada anak perempuannya. Sedangkan tiadanya perubahan yang bisa dijadikan penanda dengan jelas pada anak laki-laki, menyebabkan orang tua kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk memulai pendidikan seks. Sementara dalam penelitian Eisenberg et al. (2006), ditemukan bahwa orang tua menunggu anak terlibat dalam relasi romantis sebelum memulai diskusi soal seks. Selanjutnya Wamoyi et al. (2010) menyatakan bahwa orang tua menunggu terjadinya perubahan perilaku yang diasosiasikan dengan remaja sudah berhubungan seks, lalu kemudian memberikan pendidikan seks. Hal senada diungkapkan Bastien et al. (2011) bahwa keputusan mendiskusikan seks didasarkan hasil observasi orang tua terhadap perilaku anak, yang mengindikasikan keaktifan seksual anak. Ada juga orang tua yang menunggu sampai anak „cukup umur‟. Ini ditandai dengan anak yang mulai bertanya mengenai seksualitas (Walker & Milton 2006).

Menurut Walker (2004) adalah lebih baik untuk memulai pendidikan seks saat usia sekolah dasar karena orang tua akan lebih mudah saat membicarakan seks dan dapat membangun fondasi yang luas mengenai seksualitas. Sebaliknya menunda sampai “usia pantas” meningkatkan resiko prokrastinasi (penundaan) sampai pendidikan seks itu terlambat bahkan tidak


(43)

pernah diberikan. Selain itu orang tua juga dapat “ketinggalan perahu” atau melewatkan kesempatan untuk menjadi sumber informasi pertama, menunda hubungan seks pertama pada anak, dan mendorong perilaku seksual yang lebih aman (Walker & Milton, 2006; Eisenberg et al., 2006). Eisenberg et al. (2006) menyoroti kesulitan mengubah perilaku beresiko tinggi (misalnya seks tanpa pengaman) menjadi perilaku dengan resiko lebih rendah, saat remaja sudah terlibat dalam relasi romantis. Sementara Wamoyi et al. (2010) mengatakan bahwa relasi seksual memiliki sifat dasar disembunyikan sehingga menemukan tanda-tanda keaktifan seksual anak sebelum memberi pendidikan seks akan sulit, terlebih untuk anak-anak yang tertutup. Akibatnya ada resiko yang lebih besar pada anak-anak yang tertutup untuk melakukan perilaku seksual beresiko.

4. Hal yang Memudahkan Terjadinya Pendidikan Seks

a. Relasi orang tua - anak

Menurut Wamoyi et al. (2010), kedekatan orang tua-anak penting untuk membangun komunikasi seks. Hal senada juga diungkapkan Trinh et al. (2009) yang menemukan bahwa relasi orang tua-anak yang baik memampukan dan mendorong orang tua menjadi guru yang memberi informasi dan mendorong anaknya bertanya, namun juga teman yang berbagi pengalaman hidup. Menurut Pluhar dan Kuriloff (2004) adanya rasa nyaman dan empati menjadi kualitas afektif yang mendukung relasi orang tua dan anak yang baik.


(44)

b. Gaya komunikasi

Menurut Rosenthal et al. (2001) komunikasi seks adalah bagian dari kemampuan komunikasi secara umum sehingga saat orang tua memiliki gaya komunikasi yang positif, keterampilan berkomunikasi ini dapat diterapkan pada area spesifik, dalam hal ini komunikasi mengenai seksualitas. Selanjutnya Pluhar & Kuriloff (2004) mengatakan bahwa mendengarkan adalah kompenen penting untuk membangun komunikasi yang baik dan kedekatan.

c. Keterbukaan

Faktor lain yang mendukung berjalannya pendidikan seks adalah keterbukaan dan penerimaan terhadap diskusi mengenai seks (Walker, 2004; Walker & Milton, 2006). Keterbukaan berarti kemauan menjawab pertanyaan seputar seks. Meskipun begitu orang tua juga diharapkan agar tidak terlalu membesar-besarkan dan berfokus terus menerus (keep a

spotlight) pada topik seksual (Kirkman et al., 2005). Walker dan Milton

juga menambahkan bahwa penerimaan terhadap diskusi seks tidak hanya diperlukan di dalam keluarga namun juga diperlukan secara kultural dan sosial.

d. Model pengasuhan

Landor, Simons, Brody dan Gibbons (2011) mengatakan bahwa model pengasuhan authoritative terkait dengan perilaku seksual beresiko yang lebih rendah. Keterkaitan ini lebih kuat pada anak perempuan dibandingkan pada anak laki-laki. Ini karena orang tua melakukan lebih


(45)

banyak pengawasan dan diskusi mengenai seks kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.

e. Stimuli

Orang tua memandang penting adanya stimuli, atau pemicu untuk memulai diskusi mengenai seks (Trinh et al., 2009; Walker, 2004). Stimuli atau pemicu ini bisa berupa kasus tetangga yang meninggal karena HIV/AIDS, adanya gadis desa yang hamil, acara TV atau radio, atau anak pulang membawa selebaran dari sekolah (Trinh et al., 2005; Wamoyi, 2010).

5. Hambatan Memberikan Pendidikan Seks

Ada berbagai hal yang menghalangi dan menghambat orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Jerman dan Constantine (2010), menemukan ada 9 kesulitan yang dihadapi orang tua untuk melakukan komunikasi seksual.

a. Rasa malu dan tidak nyaman

Walker (2001) menemukan bahwa orang tua merasa malu dan tidak nyaman membicarakan seks sehingga dengan sengaja dan sadar, mereka membuat dirinya tidak terjangkau dan menghindari interaksi. Rasa malu untuk membicarakan seks tidak hanya dialami oleh orang tua tetapi juga oleh anak (Trinh et al., 2009). Ha dan Fisher (2009), mengindikasikan bahwa di Vietnam, percakapan mengenai seks dianggap tidak sopan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Di Tanzania, Wamoyi et al.


(46)

(2010) menemukan adanya perasaan tidak nyaman saat menggunakan termonologi seksual. Dalam menghadapi rasa malu terkait memberi pendidikan seks, ada beberapa strategi yang dapat diambil orang tua dan guru, yaitu (a) menerima bahwa mau tidak mau berbicara dengan anak soal seksualitas memang menimbulkan rasa malu, (b) menyadari bahwa kenyataannya tidak akan sememalukan yang dibayangkan, dan (c) melakukan kegiatan lain saat memberi pendidikan seksualitas (Walker & Milton, 2006).

b. Pengetahuan dan efikasi diri

Orang tua merasa bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai soal seks (Ha & Fisher, 2011; Trinh et al., 2009; Walker, 2004; Walker & Milton, 2006). Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan orang tua merasa tidak mumpuni dalam mengajar mengenai seks dan memiliki efikasi diri yang rendah (Bastien et al., 2011; Walker, 2004). Sebagaimana diungkapkan oleh Walker dan Milton, orang tua mengalami kesulitan dan kebingungan terkait materi yang harus diajarkan, cara mengatakan, dan cara memulainya. Walker (2001) melihat pentingnya aksesibilitas bahan pendidikan seks bagi orang tua agar orang tua dapat memiliki pengetahuan yang memadai.

c. Pengaruh kultur dan sosial

Bastien et al. (2011) menemukan bahwa di beberapa bagian Afrika, kekristenan Eropa menghasilkan pembatasan dalam membicarakan seksualitas. Sementara ketidaknyamanan menggunakan terminologi seksual


(47)

di Tanzania disebabkan norma seksual masyarakat menekan keterbukaan tentang seks lintas gender dan generasi (Wamoyi et al., 2010). Sementara di Vietnam, percakapan mengenai seks dianggap tidak sopan oleh moralitas budaya (Ha & Fisher, 2009).

d. Pengaruh dan isu keluarga dan antar generasi

Orang tua yang tidak mendapat pendidikan seks dari orang tuanya cenderung bingung dalam membicarakan seks dengan anaknya (Jerman & Constantine, 2010). Menurut Walker (2001), pendidikan seks yang diberikan orang tua sedikit banyak dipengaruhi oleh pendidikan seksyang diterima orang tua dari orang tua (kakek – nenek).

e. Masalah komunikasi secara umum

Ha dan Fisher (2011) menemukan bahwa orang tua di pedesaan Vietnam mengalami kesulitan memulai percakapan mengenai seks karena mereka sibuk bekerja sehingga tidak punya waktu bercakap-cakap dengan anaknya. Walker (2004) juga menemukan bahwa kemampuan komunikasi yang rendah menyebabkan pendidikan seks lebih sulit. Gaya komunikasi orang tua juga berpengaruh terhadap kelancaran pendidikan seks. Gaya komunikasi yang searah, berbentuk instruksi, alur dikendalikan oleh orang tua, dan penuh peringatan dan ancaman menjadi penghalang terjadinya komunikasi yang baik (Bastien et al., 2011; Pluhar & Kuriloff, 2004). f. Pengaruh dan kontrol orang tua

Trinh et al. (2009) menemukan bahwa orang tua merasa membicarakan seks dengan anak akan mendorong anak melakukan seks


(48)

sebelum mereka siap. Orang tua juga merasa mendiskusikan seks dapat merusak anak muda. Anak menangkap gelagat ini sehingga mereka enggan mendiskusikan seks dengan orang tua karena takut dianggap ingin atau sudah aktif secara seksual (Bastien et al., 2011; Walker, 2004). Sementara Wamoyi et al. (2010) menemukan adanya orang tua yang merasa tidak dekat dengan anak sehingga merasa akan sia-sia membicarakan seks dengan anaknya karena tidak akan didengarkan. Menurut Trinh et al. dalam keluarga yang tidak memiliki relasi erat, anak cenderung enggan membicarakan seks dengan orang tuanya.

g. Penerimaan orang tua atas seksualitas remaja

Trinh et al. (2009) menemukan bahwa orang tua merasa anak-anak mereka belum cukup dewasa untuk belajar isu seksual, atau terlalu muda untuk terlibat aktivitas seksual. Orang tua juga memiliki persepsi bahwa anaknya tidak aktif secara seksual (Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010) sehingga tidak perlu mendiskusikan seks.

h. Usia dan perkembangan anak

Orang tua dapat mengalami kesulitan dalam menentukan informasi yang tepat terkait usia anak. Menurut Kirkman et al. (2005), jika informasi diberikan saat anak terlalu muda, maka mereka mungkin tidak akan paham atau ingat. Jika orang tua merasa anak terlalu muda untuk belajar suatu hal maka orang tua tidak akan menjawab pertanyaan anaknya dengan penuh dan jelas (Walker, 2001).


(49)

i. Kesulitan orang tua dalam membicarakan topik-topik spesifik

Orang tua dapat mengalami dilema membicarakan topik tertentu saat mereka memiliki nilai yang bertentangan. Misalnya membicarakan penggunaan kondom saat berhubungan seks padahal mereka ingin anaknya berpantang. (Jerman & Constantine, 2010).

Selain itu hal lain yang berpotensi menghambat terjadinya pendidikan seks adalah merasa bahwa anak sudah memiliki sumber pengetahuan yang memadai dan pendidikan seks merupakan tanggung jawab pihak lain, seperti pasangan atau sekolah (Ha & Fisher, 2011; Walker, 2001, 2004).

6. Konteks Pendidikan Seks

Walker (2004) menemukan bahwa orang tua menggunakan pendekatan oportunistik atau mengandalkan pada kehidupan sehari-hari untuk membentuk proses pendidikan seks agar sesuai dengan perkembangan kesadaran seksual pada anak. Komunikasi muncul secara spontan dan dipicu oleh program radio, kematian warga karena HIV/AIDS, anak pulang sambil membawa selebaran seks dari sekolah, adanya persepsi orang tua bahwa perilaku anak beresiko, dan saat mereka melihat seseorang yang sangat kurus yang dipersepsikan positif HIV (Wamoyi et al., 2010). Hal senada diungkapkan oleh Trinh et al. (2009) bahwa kisah nyata yang terjadi di masyarakat adalah pemicu penting untuk memulai diskusi mengenai seks.


(50)

Diskusi mengenai seks umumnya terjadi sambil melakukan aktivitas lain (on-the-fly), seperti saat makan bersama, menonton TV, saat anak membantu orang tua melakukan aktivitas rumah tangga (Pluhar & Kuriloff, 2004; Trinh et al., 2009). Kadangkala diskusi juga dilakukan pada saat waktu luang di akhir pekan atau sebelum tidur. Meskipun begitu Pluhar dan Kuriloff (2004) menemukan bahwa orang tua menginginkan pendidikan seks dalam komunikasi tatap muka secara fokus tanpa melakukan aktivitas lain.

7. Gaya Komunikasi

Pluhar dan Kurilofff (2004) mengatakan bahwa ada dua gaya komunikasi yaitu didaktis dan interaktif. Dalam gaya komunikasi didaktis, ibu mengontrol pembicaraan dan alur percakapan mengalir terutama dari ibu ke anak. Sedangkan dalam gaya komunikasi interaktif, percakapan mengalir dari ibu ke anak, dan anak ke ibu, berbentuk diskusi dan bukan pola pengajar-pendengar. Menurut Pluhar dan Kuriloff, gaya interaktif lebih efektif dalam membangun kedekatan yang berujung pada pendidikan seks yang lebih baik. Meskipun begitu ada indikasi bahwa orang tua lebih cenderung menggunakan gaya didaktis (Trinh et al., 2009).

Komunikasi mengenai seks umumnya dimulai oleh orang tua dan jarang dari anak, serta memiliki karakteristik satu arah, berbentuk instruksi, peringatan, dan ancaman bukan dialog dan diskusi, serta menggunakan terminologi yang tidak akurat atau samar-samar (Bastian et al., 2011; Wamoyi et al., 2010).


(51)

8. Gender dan Jenis Kelamin

Wamoyi et al. (2010) mengemukakan keterkaitan antara pendidikan seks dengan gender. Pada anak laki-laki maskulinitas dikaitkan dengan kehebatan seksual, sehingga secara tidak langsung ayah mendorong anaknya untuk aktif secara seksual. Wamoyi et al. menggarisbawahi bahwa ayah seperti ini bukanlah ayah yang baik sebagai teladan. Sedangkan feminimitas dikaitkan dengan berpantang, sehingga ibu mendorong anaknya untuk berpantang seks sampai menikah. Trinh et al. (2009) mengatakan bahwa ada pesan berbeda yang diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan. Pada anak perempuan, orang tua memperingatkan anaknya dengan cerita gadis lain yang hamil dan konsekuensinya. Sedang pada laki-laki, pendidikan seks lebih berfokus pada aspek moral dari relasi seksual.

Walker (2004) menyatakan bahwa perempuan masih dipandang sebagai

caregiver utama dan dengan demikian pendidik kesehatan utama di rumah

termasuk soal seks. Ayah cenderung lebih jarang terlibat dalam memberikan pendidikan seks. Frekuensi percakapan seks antara anak laki-laki dan perempuan dengan ayah jauh lebih sedikit dibandingkan percakapan dengan ibu (Diiorio et al., 1999; Miller et al., 1998; Rosenthal & Feldman, 1999). Bastien et al. (2011) mengatakan bahwa anak lebih memilih ibu sebagai komunikator seksualitas bagi mereka.

Meskipun begitu Walker (2004) mencatat bahwa ada indikasi anak laki-laki kehilangan atau kekurangan pendidikan seks. Walker (2001) menemukan bahwa ibu merasa lebih nyaman berbicara seks dengan anak perempuan


(52)

dibanding anak laki-lakinya karena ibu dapat menyambungkan percakapan dengan pengalamannya sendiri dahulu. Kirkman et al. (2005) menyatakan bahwa orang tua maupun anak cenderung memilih komunikasi sesama gender tentang seks. Hal ini kemungkinan karena adanya pengetahuan terkait gender (gender-linked knowledge).

C.Focus Group

Focus Group (FG) adalah sebuah metode penelitian dimana data yang

dihasilkan merupakan diskusi yang terjadi antar partisipan dalam suatu kelompok yang percakapannya difokuskan pada topik tertentu. Morgan & Krueger (1998) dengan sederhana menyebut FG sebagai wawancara kelompok. Dalam FG terjadi diskusi kolektif yaitu setiap anggota kelompok berinteraksi satu sama lain (Frith, 2000). Dalam FG, setiap orang didorong untuk berbicara satu sama lain, bertanya, serta menanggapi pengalaman dan sudut pandang partisipan lain (Kitzinger, 1995). FG bermanfaat untuk menggali pengalaman pribadi, nilai-nilai, sikap, dan perasaan yang mendasari perilaku (Frith, 2000; Kitzinger, 1995).

Menurut Frith (2000), Kitzinger (1995), serta Morgan dan Krueger (1994), FG memiliki beberapa kelebihan terutama bila digunakan dalam penelitian mengenai topik seksualitas.

1. Dapat mengumpulkan beragam opini, pengalaman, dan sikap pada saat yang bersamaan, dan diskusi yang terjadi juga dapat memunculkan topik-topik baru. Peneliti juga dapat menemukan isu-isu yang dianggap penting oleh partisipan.


(53)

2. Dapat mengetahui bentuk-bentuk komunikasi dan bahasa yang umum digunakan orang dalam topik tersebut, termasuk gurauan dan anekdot. 3. Interaksi antarpartisipan dapat memberikan gambaran dan penjelasan

yang lebih lengkap dan mendetail mengenai topik melalui argumen, perdebatan, penjelasan tambahan, dan ilustrasi / cerita.

4. Dapat mengidentifikasi pengetahuan yang dimiliki bersama dan norma atau nilai yang berlaku secara umum.

5. Menciptakan atmosfir yang aman dan nyaman karena adanya partisipan lain yang memiliki pengalaman sama sehingga memungkinkan adanya

mutual support. Selain itu partisipan yang lebih terbuka dapat

mendorong partisipan yang lebih pemalu untuk dapat terbuka dan bercerita.

Kelebihan-kelebihan FG di atas terutama terkait dengan proses dan dinamika kelompok yang terjadi dalam FG. Meskipun begitu dinamika kelompok yang juga dapat menjadi kelemahan yaitu adanya norma kelompok dapat mematikan ketidaksetujuan atau pandangan yang bertentangan dari individu (Kitzinger, 1995).

Sampai saat ini FG sudah digunakan untuk meneliti berbagai macam topik yang terkait dengan seksualitas seperti komunikasi seksual, pengambilan keputusan seksual, agresi seksual, pengambilan resiko seksual, evaluasi pendidikan seks, sikap para profesional terhadap kontak seksual dengan pasangan, perasaan mengenai pengujian HIV dan pemakaian kondom, dst (Frith, 2000). Dalam mengeksplorasi pendidikan seks oleh orangtua, metode FG juga digunakan


(54)

oleh Ha dan Fisher (2011) serta Trinh et al. (2009) dalam penelitiannya di Vietnam.

Metode FG cocok untuk digunakan dalam penelitian mengenai pendidikan seks oleh orang tua karena topik penelitian ini termasuk topik yang sensitif, cenderung tabu dan sulit untuk dibicarakan. Sementara FG memberi kesempatan orang menjadi lebih terbuka dan mau bercerita dengan adanya diskusi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan pengalaman.


(55)

36

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode Grounded Theory. Tujuan metode Grounded Theory adalah bergerak melampaui deskripsi semata menjadi menghasilkan dan menemukan teori, yaitu sebuah skema analisis yang abstrak dari suatu proses, aksi atau interaksi (Strauss & Corbin, 1998). Grounded Theory mendorong peneliti untuk mengumpulkan, mensintesis, menganalisa, dan menkonseptualisai data kualitatif untuk membentuk sebuah teori induktif (Smith, 2008). Argumennya adalah teori bukanlah rangkaian konsep yang muncul sebagai hasil pemikiran atau spekulasi ilmuwan tentang suatu hal, namun seharusnya didasarkan dari data partisipan yang mengalami sendiri hal tersebut. Oleh karena itu, dalam Grounded Theory, peneliti akan menciptakan kategori-kategori teoritis dan penjelasan umum mengenai aksi, interaksi, dan proses, melalui kategori informasi yang saling terkait, yang secara langsung berpijak (grounded) kepada data yang dikumpulkan dari partisipan (Cresswell, 2007).

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi diri sampai pada menciptakan kategori-kategori data. Pembatasan ini dilakukan terkait dengan keterbatasan sumber daya peneliti dalam melaksanakan penelitian Grounded Theory. Meskipun begitu data kualitatif ini dapat menjadi langkah awal untuk mengembangkan teori terkait pendidikan seksualitas oleh orang tua.


(56)

B.Partisipan Penelitian

1. Karakteristik Partisipan

Partisipan penelitian adalah orang tua yang memiliki anak berusia remaja (SMP – SMA / 12 tahun – 17 tahun). Jenis kelamin partisipan laki-laki dan perempuan. Alasan pemilihan subjek adalah orang tua yang memiliki anak usia remaja adalah orang tua yang secara langsung sedang terlibat dalam pemberian pendidikan seks. Hal ini karena usia remaja adalah masa kematangan seksual mulai terjadi. Pemilihan orang tua berjenis kelamin laki-laki dan perempuan agar mendapatkan input yang seimbang dari orang tua laki-laki dan orang tua perempuan. Partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua beragama Kristen, tinggal di area perkotaan di Yogyakarta, lulusan SMA atau sarjana, serta umumnya termasuk kelompok ekonomi menengah ke atas.

2. Metode Pemilihan Partisipan

Peneliti menggunakan criterion sampling, dimana peneliti menggunakan kriteria partisipan seperti yang tertulis diatas untuk membatasi pencarian partisipan. Peneliti juga berusaha agar orang tua laki-laki dan perempuan dari satu keluarga dapat mengikuti penelitian ini. Hal ini terkait kemudahan mencari partisipan saja.

C.Instrumen Penelitian

1. Definisi Focus Group

Focus Group (FG), adalah sebuah metode penelitian dimana data yang


(57)

kelompok yang percakapannya difokuskan pada topik tertentu. Morgan & Krueger (1998) dengan sederhana menyebut FG sebagai wawancara kelompok. Umumnya partisipan memiliki suatu latar belakang yang sama, berdiskusi dengan dipandu seorang moderator yang membawakan rangkaian topik diskusi yang sudah ditentukan sebelumnya.

2. Kelompok dan Jumlah Partisipan

Dalam penelitian ini peneliti membuat 4 kelompok terfokus (FG). Masing-masing FG diharapkan berisi antara 6 – 7 orang partisipan sehingga total partisipan antara 24 – 28 orang. Pemilihan jumlah tersebut, karena peneliti merasa partisipan memiliki keterlibatan tinggi dalam topik sehingga diharapkan banyak hal yang dapat dibagikan dan dibicarakan oleh masing-masing orang. Dengan jumlah 6 – 7 orang per kelompok, diharapkan ada cukup waktu untuk masing-masing partisipan berbagi.

3. Komposisi dan Struktur

Komposisi partisipan dalam FG yang dilakukan peneliti adalah 2 kelompok terdiri atas orang tua laki-laki dan 2 kelompok lainnya terdiri atas orang tua perempuan. Pemisahan antara kelompok orang tua laki-laki dan perempuan ini dilakukan agar diskusi berjalan lebih nyaman. Struktur kelompok yang dibentuk adalah moderately structured group, dimana diskusi kelompok diarahkan untuk menjawab set pertanyaan yang ada, namun juga memberi tempat bagi partisipan untuk membagikan perasaan, pemikiran, dan pengalamannya. Setiap FG akan dipandu oleh seorang moderator yang berjenis kelamin sama dengan jenis kelamin partisipan dalam FG tersebut. Pemilihan


(58)

moderator berjenis kelamin sama, dikarenakan perbedaan jenis kelamin moderator dan partisipan dapat mempengaruhi keterbukaan dalam membicarakan topik (Ha & Fisher, 2011).

4. Panduan pertanyaan

Dalam setiap FG, moderator akan membawakan pertanyaan yang sama, dan sebisa mungkin dibawakan dalam urutan yang sama. Berikut disajikan daftar pertanyaan yang akan digunakan dalam FG.

Tabel 2

Daftar pertanyaan Focus Group

Sifat Bentuk

Opening Sebutkan nama anda dan usia anak-anak anda.

Intro-duction

Sekarang tuliskan dalam selembar kertas dihadapan anda, buatlah daftar hal-hal apa sajakah yang anda alami terkait pendidikan seks? Boleh hal-hal yang anda ajarkan, hal-hal yang menjadi hambatan buat anda, tantangan, hal yang memudahkan anda, kapan anda melakukannya.

Key Sekarang tuliskan dalam selembar kertas dihadapan anda, buatlah daftar hal-hal apa sajakah yang anda alami terkait pendidikan seks? Boleh hal-hal yang anda ajarkan, hal-hal yang menjadi hambatan buat anda, tantangan, hal yang memudahkan anda, kapan anda melakukannya.

Key Hal-hal apa saja yang menghambat atau menghalangi anda melakukannya (memberi pendidikan seks) ?

Key Apa yang anda lakukan untuk mengatasi hambatan tersebut? Key Menurut anda hal-hal apa saja yang perlu diajarkan kepada anak

anda? Dan apa yang tidak?

Key Bagaimana cara anda memberikan pendidikan seks kepada anak anda?


(59)

Key Pada waktu apakah, anda memberikan pendidikan seks? Kapan anda memberikan pendidikan seks kepada anak anda?

Key Hal-hal apa saja yang memudahkan terjadinya pendidikan seks? Key Menurut anda siapa sajakah yang sebaiknya memberikan

pendidikan seks kepada anak-anak anda?

Key Andaikan ada organisasi membuat program untuk membantu orang tua menjadi lebih baik dalam mendidik anak soal seks, hal apa yang menurut anda penting diajarkan dalam program tersebut? Ending Merangkum. Apakah rangkuman ini telah menangkap dengan benar pembicaraan kita hari ini? Adakah hal-hal penting terkait pendidikan seks dan orang tua, yang terlewatkan dari pembicaraan kita hari?

Perubahan urutan dapat terjadi menyesuaikan dengan dinamika kelompok. Selain itu diskusi yang berlangsung dalam FG adalah antar partisipan. Tugas moderator hanya mengatur dan memimpin arah diskusi. Percakapan dalam diskusi akan direkam menggunakan recorder dan dicatat oleh moderator dan notulis.

D.Prosedur Penelitian

1. Peneliti akan mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah dibuat. 2. Saat peneliti menemukan calon partisipan maka peneliti akan mencoba

merekrut partisipan. Dalam proses rekrutmen itu penelitia akan menjelaskan kepada partisipan mengenai (a) inti dan tujuan penelitian, (b) bentuk penelitian yang dilakukan, dan (c) sifat penelitian dan hak partisipan.


(60)

3. Apabila partisipan setuju untuk berpartisipasi, peneliti akan menawarkan kepada partisipan jadwal FG yang sesuai dengan partisipan.

4. Bila jadwal sudah disepakati maka peneliti akan memberikan confirmation

letter (lihat lampiran) yang berisi informasi tentang FG yang akan diikuti,

informasi umum mengenai topik pembicaraan, aturan dan kesepakatan, serta harapan peneliti agar partisipan bisa benar-benar datang pada waktu yang sudah ditentukan. Bersama dengan confirmation letter ini dilampirkan lembar persetujuan (consent).

5. Pada hari yang ditentukan partisipan yang berjumlah 6 – 7 orang akan berdiskusi dengan ditemani seorang moderator yang memimpin jalannya FG. Tugas moderator hanya mengarahkan diskusi dan alur pembicaraan, bukan berpendapat atau ikut berdiskusi. Diskusi yang berlangsung hanya antar partisipan. Setiap FG dilakukan pada hari dan jam yang berbeda.

6. Diskusi akan berlangsung sekitar 90 – 120 menit. Dalam FG, diskusi akan direkam menggunakan recorder untuk keperluan pencatatan.

7. Setelah FG selesai, peneliti akan mendengarkan ulang rekaman FG dan catatan moderator kemudian menyusun transkrip atau verbatim.

8. Prosedur ini dilakukan terus sampai seluruh FG sudah dilakukan.

E.Prosedur Analisis Data

Dalam menganalisis data, peneliti akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :


(1)

361

H. PIHAK PEMBERI PS

H.1. ORANGTUA

H.1.1. PS diberikan oleh orangtua dengan jenis kelamin yang sama

I/215 Ortu memberi PS kepada anak yang berjenis kelamin sama

III/ 670

PS diberikan orangtua dengan jenis kelamin sama dengan anak I/338 anak perempuan mendapat PS dari ibu IV/

177

Apabila anak perempuan, maka ayah merasa bahwa itu tugas ibu untuk

memberi PS. I/

1320

Perbedaan jenis kelamin tidak menjadi masalah dalam membicarakan seks, hanya saat berbicara topik sensitif akan

berputar-putar

IV/ 152

PS diberikan orangtua yang jenis kelaminnya sama dengan anak. Pasangan

hanya nimbrung II/235

Anak laki-laki mungkin banyak bertanya hal seksual kepada ayahnya karena

mengalami hal yang sama.

H.1.2. Anak lebih memilih ibu sebagai pendidik seks

II/131 Anak perempuan lebih aktif bertanya kepada ibunya

IV/ 111

Anak laki-laki lebih nyaman bicara PS dengan ibu dibanding ayah II/196

Anak tidak nyaman mendiskusikan seksualitas dengan ayah karena ayah

terlalu mengandalkan logika atau memiliki temperamen buruk.

IV/ 114

Karena anak merasa tidak nyaman berbicara dengan ayah maka saat ayah

bertanya masalah seksual anak menghindar

III/ 368

Anak laki-laki lebih memilih ibu sebagai pendidik seksual

IV/ 1252

anak nyaman membicarakan seksualitas dengan ibu

III/ 369

Menurut anak laki-laki, ibu lebih mampu menjelaskan seksualitas secara panjang

lebar dibandingkan dengan ayah

H.2. PENDIDIK SEKS ALTERNATIF

I/ 1303

Pihak yang layak memberikan PS: orang yang dipercaya tidak akan mengajari hal yang salah ke anak

I/575 Pendidikan seks dari luar rumah membantu tugas orangtua.

I/571 Ortu menyadari bahwa anak menerima PS juga dari pihak diluar rumah seperti gereja atau seminar.

H.2.1. Intern

H.2.1.a. Kakak H.2.1.b. Paman / Bibi .

IV/ 1557

saudara tua, kakak menjadi pihak alternatif pemberi PS

I/ 1296

Pihak yang layak memberikan PS: b) pihak intern: orangtua, kakak, paman,

dan bibi IV/

293 Kakak juga memberi PS ke anak

I/ 1296

Pihak yang layak memberikan PS: b) pihak intern: orangtua, kakak, paman,


(2)

362

H.2.2. Ekstern

H.2.2.a. Teman H.2.2.b. Gereja .

IV/ 1290

Ada waktunya untuk anak laki-laki berdiskusi dengan ibu, dengan ayah

maupun dengan teman

II/955 Pihak : guru, sekolah, pembimbing KTB,

guru sekolah minggu, gereja I/251

Orangtua merasa informasi seksual dari teman hanya membahas kesenangan

tanpa usaha melindungi anak

I/ 1296

Pihak yang layak memberikan PS: a) pihak ekstern: guru, gereja, lembaga

yang kompeten IV/

1295

Orangtua khawatir saat anak berdiskusi seksual dengan teman karena mungkin teman memiliki informasi yang salah.

H.2.2.c. Profesional di bidang seksualitas

IV/ 1541

Profesional dalam bidang pendidikan seksualitas seperti PKBI adalah pihak

alternatif pemberi PS

IV/ 1129

penyuluh dari PKBI sebagai pemberi PS selain orangtua

I/ 1296

Pihak yang layak memberikan PS: a) pihak ekstern: guru, gereja, lembaga

yang kompeten

H.2.2.d. Sekolah / Guru

IV/ 1538

guru (utama) adalah pihak alternatif pemberi PS

I/ 1296

Pihak yang layak memberikan PS: a) pihak ekstern: guru, gereja, lembaga

yang kompeten

II/955 Pihak : guru, sekolah, pembimbing KTB,

guru sekolah minggu, gereja

H.2.2.D.1. Kondisi

H.2.2.D.1.1. Diberikan saat pelajaran biologi H.2.2.D.1.2. Dimulai sejak kelas 5 SD . I/822 PS diberi saat pelajaran biologi disekolah I/203 PS disekolah sudah dimulai dari kelas 5

SD

H.2.2.D.1.3. Mendapat info seks yang memadai namun kurang tentang norma perilaku seksual I/

1278

Anak sudah mendapat informasi seksual yang memadai namun masih kurang mendapat informasi mengenai norma berperilaku seksual

H.2.2.D.1.4. Anak bertanya kepada guru

H.2.2.D.1.4.a. Lebih malu H.2.2.D.1.4.b. Lebih berani .

I/681 Disekolah anak malu bertanya soal seks karena ada teman-temannya

III/ 726

Anak-anak lebih berani bertanya kepada guru dibanding kepada orangtua H.2.2.D.2. Manfaat

H.2.2.D.2.1. Anak memiliki pengetahuan yang memadai I/594 PS dari sekolah membuat anak

mengenali fungsi kelaminnya I/668

Anak memiliki informasi seksual yang memadai dari sekolah sehingga orangtua

hanya perlu mengikuti H.2.2.D.2.2. Anak dapat memahami PS dari orangtua

I/679 anak bisa paham PS dari ortu karena sudah mendapat PS dari sekolah juga


(3)

363 H.2.2.D.3. Pandangan orangtua

H.2.2.D.3.1. Merasa terbantu dengan PS dari sekolah I/593 Ortu terbantu dengan PS dari sekolah III/

530

Orangtua merasa terbantu dengan sekolah yang peduli dengan seksualitas

anak H.2.2.D.3.2. Perlu ada kerjasama orangtua dan

guru

H.2.2.D.3.3. Lingkungan sekolah berpengaruh pada anak III/

1337

Orangtua merasa orangtua dan guru perlu

bekerjasama terkait mendidik anak II/746

Menurut orangtua lingkungan sekolah mempengaruhi anak

H.2.2.D.3.4. Bahasa dalam buku biologi terlalu vulgar

H.2.2.D.3.5. Tugas guru : membantu anak mengenali perubahan dalam diri I/184 orangtua merasa bahasa dalam buku

biologi terlalu blak-blakan

IV/ 1119

Tugas guru adalah membantu anak mengenali perubahan dalam diri. H.2.2.D.3.6. Penyampaian materi seksual disekolah perlu perencanaan

I/807

Menurut ortu penyampaian materi seksual di sekolah perlu perencanaan,

sedang dalam keseharian lebih pas mencari momen / kesempatan

I.

KEBUTUHAN PEMBERDAYAAN ORTU

I.1. Kurikulum / materi yang perlu disampaikan (berdasar jenjang usia)

I/238

Ortu membutuhkan buku panduan PS tentang kurikulum informasi seksual dan

cara memberikan informasi itu

I/918

Perlu ada pengetahuan mengenai informasi seksual apa yang perlu dikuasai pada jenjang usia tertentu, walau implementasinya dalam tiap

keluarga berbeda-beda III/

1407

Orangtua perlu dididik tentang materi seksualitas apa yang perlu disampaikan

kepada anak

IV/ 1574

Orangtua perlu diajari tentang pengetahuan mengenai materi yang

pantas berdasar jenjang usia

I/ 1418

Pembekalan PS untuk ortu: memperkaya pengetahuan dan informasi seksual serta

cara mengkomunikasikan ke anak

I.2.Cara / metode memberi PS

IV/ 1570

Orangtua perlu diajari tentang cara dan metode memberi pendidikan seksual

I/ 1422

Pembekalan PS untuk ortu: bagaimana mengajarkan seks ke anak

I/ 1418

Pembekalan PS untuk ortu: memperkaya pengetahuan dan informasi seksual serta

cara mengkomunikasikan ke anak

I/ 1401

Pembekalan PS untuk ortu : belajar dari pengalaman orang lain terkait cara

memberi pendidikan seks

I.3. Memasukkan nilai agama, moral, dan budaya dalam PS

IV/ 1583

Orangtua perlu diajari tentang nilai agama dan budaya sebagai rujukan dalam membentuk rambu-rambu bagi

anak

III/

1400 Orangtua perlu dididik tentang keimanan IV/

1691

Orangtua perlu diajari tentang cara dan metode memberi informasi seksual


(4)

364

I.4. Membangun dan menjaga prinsip dan nilai seksualitas keluarga

III/ 1418

Orangtua perlu dididik tentang membangun dan memegang teguh nilai /


(5)

vii

PENDIDIKAN SEKS OLEH ORANG TUA DI INDONESIA

Yose Emeraldo Theofilus

ABSTRAK

Pendidikan seks penting dalam perkembangan individu. Melalui pendidikan seks seseorang dapat memberdayakan dirinya terkait seksualitas. Orang tua merupakan salah satu pihak utama yang memiliki peran besar dalam memberikan pendidikan seks kepada anak. Sayangnya orang tua belum maksimal dalam memberikan pendidikan seks kepada anak. Penelitian ini hendak mengetahu kondisi pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia dengan menggali dan mengeksplorasi beberapa aspek dari pendidikan seks oleh orang tua. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu Grounded Theory. Pengambilan data dilakukan melalui Focus Group sebanyak 4 kali dengan jumlah partisipan 13 ayah dan 14 ibu. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa orang tua menyadari perlunya memberi pendidikan seks. Walaupun begitu materi yang diberikan terbatas pada aspek moralitas dan kepantasan perilaku seksual (rambu-rambu). Orang tua menjadikan media TV sebagai sumber informasi seksual yang utama. Hambatan utama orang tua dalam memberikan pendidikan seks adalah keterbatasan skill dan tabu. Pendidikan seks dari orang tua umumnya berbentuk komunikasi satu arah dan isinya berupa nasihat, arahan dan peringatan. Orang tua tidak menyediakan waktu khusus membicarakan seks dan pembicaraan mengenai seks terjadi secara spontan dan bergantung pada trigger. Pendidikan seks oleh orang tua biasanya diberikan oleh ibu.


(6)

viii

SEX EDUCATION BY PARENTS IN INDONESIA

Yose Emeraldo Theofilus

ABSTRACT

Sex education is important for individual development. Through sex education, one can empower himself about sexuality. Parents are one of some major agent, that have important role in giving sex education to their children. Unfortunately parent have not yet been maximal in giving sex education to their child. This research aim to understand the situation of sex education by parents in Indonesia, by digging and exploring several aspect of sex education by parents. This research use qualitative method, that is Grounded Theory. Data collection conducted through Focus Group as much as 4 times with total participant is 13 fathers and 14 mothers. Research findings reveals that parents are aware of the needs to give sex education. Even so the content usually restricted to morality and appropriate sexual behavior. Parents make TV as their primary source of sexual information. Their major difficulty to give sex education are their limited skill and feeling of taboo. Sex education from parents usually happen in form of one way communication

and the content are in form of advice, guidelines, and warning. Parents doesn’t allocate specific

moment to speak about sex, rather communication happen spontaneously and rely on trigger. Sex education from parents usually given by mother.