roadmap diversifikasi pangan 2011 2015

(1)

(2)

DIVERSIFIKASI PANGAN

TAHUN 2011 - 2015

ROADMAP

© Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI

Tahun 2012

Foto:

Dokumentasi Badan Ketahanan Pangan

Desain:

Penebar Art

Penerbit:

Kementerian Pertanian Kantor Pusat Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No.3, Ragunan-Jakarta 12550, INDONESIA

Undang-Undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Ketahanan pangan adalah suatu

kondisi dimana setiap individu dan rumahtangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup,

aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR TABEL


(6)

(7)

(8)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Buku Roadmap Diversiikasi Pangan 2011-2015 ini disusun sebagai acuan untuk melaksanakan kegiatan percepatan diversiikasi atau penganekaragaman konsumsi pangan. Diversiikasi pangan merupakan salah satu prioritas dari empat target sukses pertanian, karena itu program atau gerakan percepatan diversiikasi konsumsi pangan harus dilaksanakan secara terstruktur dan terukur, dengan kegiatan, sasaran, dan ukuran kinerja yang jelas.

Roadmap ini merupakan penjabaran dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009. Dalam Perpres tersebut disebutkan dua sasaran dari upaya diversiikasi pangan yaitu: (1) memasyarakatkan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman, serta, (2) mengurangi konsumsi beras/ kapita 1,5% per tahun. Saya meyakini bahwa program diversiikasi konsumsi pangan ini hanya akan berhasil apabila semua pemangku kepentingan aktif mendukung pelaksanaan program ini.

Perjalanan panjang upaya pelaksanaan diversiikasi pangan di Indonesia telah mengalami pasang surut dari masa ke masa. Namun demikian, upaya tersebut sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan, bahkan konsumsi makanan pokok masyarakat Indonesia masih tetap bertumpu pada beras, dan

Sambutan


(9)

yang cukup merisaukan secara perlahan beralih ke makanan yang bahan bakunya tidak diproduksi di Indonesia pada saat ini, yaitu terigu.

Di sisi lain sebenarnya banyak tersedia makanan sumber karbohidrat berasal dari pangan lokal seperti ubi-ubian (singkong, ubi jalar, talas, ganyong), sukun, jagung dan pisang. Makanan-makanan sumber karbohidrat tersebut posisinya di masyarakat dianggap kurang bergengsi dibandingkan dengan nasi, sehingga muncul pameo kalau belum makan nasi dianggap belum makan. Kita akan terus berupaya mengubah sikap masyarakat tersebut, agar di masa datang lebih berminat untuk mengonsumsi makanan sumber karbohidrat dari bahan baku lokal. Untuk itu, tentunya makanan tersebut harus beragam, bergizi seimbang serta aman dikonsumsi untuk mendukung seseorang hidup sehat, aktif, dan produktif. Untuk mencapai hal tersebut, kegiatan utama diversiikasi pangan pada dasarnya berupa: (1) promosi dan sosialisasi pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman, (2) pemanfaatan lahan pekarangan dengan pola pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), dan pengembangan olahan pangan berbasis pangan lokal.

Saya berharap buku ini dapat dijadikan acuan oleh seluruh pemangku kepentingan dalam implementasi kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan.

Menteri Pertanian RI


(10)

Diversiikasi atau penganekaragaman pangan merupakan salah satu kunci sukses pembangunan pertanian sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Upaya peningkatan diversiikasi pangan dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang, dan menghindari ketergantungan pada 1 jenis pangan pangan pokok seperti beras.

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati kedua terbesar, dengan 77 spesies tanaman sumber karbohidrat seperti serealia (jagung, sorghum, hotong, jali, jawawut dll), ubi-ubian (singkong, ubi jalar, talas, sagu, ganyong, garut, gembili, gadung dll), dan buah (sukun, pisang, labu kuning, buah bakau, dll). Pangan sumber karbohidrat tersebut tersedia dan tumbuh subur di seluruh Indonesia, dan secara tradisional dikonsumsi sebagai pangan pokok maupun kudapan.

Dengan kecenderungan bergesernya budaya makan masyarakat ke arah makanan instan, maka ketersediaan pangan lokal harus diupayakan mengikuti

trend permintaan konsumen dan tersedia di pasar serta mudah dijangkau secara isik maupun ekonomi (murah). Tujuan yang diinginkan adalah meningkatkan


(11)

kualitas konsumsi pangan masyarakat ke arah pangan yang beragam dan bergizi seimbang serta aman, berbasis sumberdaya lokal, untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

Upaya peningkatan diversiikasi pangan memerlukan dukungan dan sinergi kegiatan lintas sektor serta peran aktif para pemangku kepentingan termasuk pembuat kebijakan, pelaku usaha, peneliti dan para pihak yang peduli terhadap ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.

Pada akhirnya saya mengharapkan dukungan dari semua stakeholder terkait untuk secara bersama-sama menyukseskan upaya peningkatan diversiikasi pangan dengan mengutamakan pangan-pangan lokal sumber karbohidrat, sumber protein, sumber vitamin dan mineral yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

Kepala Badan Ketahanan Pangan

Kementerian Pertanian


(12)

T

ingginya dominasi beras dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu penyebab masih rendahnya kualitas konsumsi pangan nasional, yang belum beragam dan bergizi seimbang yang diindikasikan oleh skor Pola Pangan Harapan. Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padi-padian sebesar 996 kkal/kap/hari atau mencapai 80.6 persen terhadap total energi padi-padian (1.236 kkal/kap/hr) pada tahun 2011.

Beras sebagai pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tidak hanya telah membudaya dalam pola konsumsi pangan masyarakat namun juga dianggap memiliki citra pangan yang lebih baik dari sisi sosial. Sementara komoditi sumber karbohidrat lainnya yang biasa dikonsumsi sebagian masyarakat di masa lampau, saat ini semakin tergeser sejalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi serta sebagai ekses dari kebijakan pemerintah berupa program penyaluran beras bagi keluarga miskin atau RASKIN.

Sementara keberagaman jenis pangan dan keseimbangan gizi dalam pola konsumsi pangan dibutuhkan tubuh untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Dengan memperhatikan pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia yang masih belum sesuai harapan tersebut, maka penganekaragaman konsumsi pangan

Ringkasan


(13)

atau diversiikasi konsumsi pangan menjadi penting untuk dilaksanakan guna menciptakan generasi sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan berdaya saing.

Untuk mencapai kualitas konsumsi pangan yang lebih baik, perlu ditingkatkan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, buah/biji berminyak, gula serta sayur dan buah atau dikenal sebagai penganekaragaman konsumsi secara horizontal. Selain itu, peningkatan kualitas konsumsi pangan juga dapat dicapai melalui penganekaragaman vertikal yaitu konsumsi aneka ragam jenis pangan sumber karbohidrat dan olahannya (jenis padi-padian: jagung dan olahannya, hotong, sorghum, biji jali, dan jenis padi-padian lainnya), aneka pangan sumber protein dan olahannya (aneka pangan hewani dan aneka kacang-kacangan), serta aneka pangan sumber vitamin dan olahannya (beragam jenis sayur dan buah-buahan). Dengan demikian, peningkatan konsumsi kelompok pangan sumber tenaga, pembangun dan pengatur perlu diiringi dengan penurunan konsumsi beras.

Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, bahwa upaya penganekaragaman konsumsi pangan harus berbasis sumber pangan setempat atau khas daerah. Hal ini agar diartikan bahwa pengurangan konsumsi beras tidak dapat digantikan dengan konsumsi gandum/ terigu yang hampir seluruhnya diimpor. Sementara konsumsi umbi-umbian bukan hanya sebagai pangan pilihan pengganti padi-padian namun juga sebagai pangan

Upaya

penganekaragaman konsumsi pangan harus berbasis sumber pangan setempat atau khas daerah. Hal ini agar diartikan bahwa pengurangan konsumsi beras tidak dapat digantikan dengan konsumsi gandum/terigu yang hampir seluruhnya diimpor.


(14)

berpati (starchy foods) yang banyak mengandung serat dan dibutuhkan tubuh untuk dikonsumsi setiap hari, seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, pisang, labu kuning, dan sukun.

Upaya diversiiikasi konsumsi pangan tentunya akan menghadapi berbagai tantangan seperti laju pertumbuhan penduduk yang harus disertai dengan ketersediaan pangan yang memenuhi gizi. Dari aspek psikologis, modernisasi dalam kehidupan masyarakat tanpa disadari menggerus pola konsumsi masyarakat dari mengonsumsi pangan lokal kepada pangan yang instan. Situasi pergeseran pola konsumsi pangan masyarakat ini disebabkan oleh banyak hal seperti masih kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan masih aman. Sebagian masyarakat masih memiliki prinsip “asal kenyang”. Di sisi lain, untuk mempercepat proses adaptasi masyarakat kembali kepada pangan lokal diperlukan pengembangan teknologi tepat guna baik untuk memproduksi maupun mengolah bahan pangan terutama pangan lokal non beras. Melalui teknologi tepat guna dapat ditingkatkan nilai tambah dan nilai sosial dari pangan lokal selain beras. Saat ini ketersediaan dan akses terhadap teknologi semacam itu diindikasikan relatif rendah.

Dengan semakin disadarinya bahwa diversiikasi konsumsi pangan merupakan suatu tuntutan yang penting untuk dilaksanakan melalui suatu gerakan percepatan diversiikasi konsumsi pangan secara terkoordinasi dan sinergi antar kebijakan di tingkat pusat lintas sektor dan daerah serta dukungan partisipasi aktif pihak swasta dan masyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk program dan kegiatan sesuai kewenangan masing-masing namun saling mendukung, termasuk pengembangan program-program percepatan pengurangan kemiskinan.

Berbagai kegiatan pembangunan ketahanan pangan dilaksanakan dalam rangka percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Kegiatan promosi/kampanye dilakukan melalui iklan layanan masyarakat, poster, baliho, lealet, komik dan lain-lain. Hampir semua provinsi dan kabupaten/kota telah mengeluarkan aturan/


(15)

edaran tentang upaya penganekaragaman konsumsi berbasis sumber daya lokal. Pengenalan masyarakat terhadap menu pilihan pengganti beras dan terigu baik sebagai pangan pokok maupun kudapan, dilakukan dengan melibatkan para ahli teknologi pangan dari perguruan tinggi dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Di samping itu upaya peningkatan kualitas konsumsi pangan dilakukan melalui upaya pemberdayaan kelompok wanita untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan dengan menanam sayur dan buah serta budidaya ternak kecil melalui pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari.

Sawut Singkong Kuning Lengkap


(16)

Keladi Isi Ubi Ungu

Kentang Golong Lengkap


(17)

Nasi Jagung Campur


(18)

A. Latar Belakang

Membangun ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ketahanan pangan dimaksud adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut, salah satu kunci sukses Kementerian Pertanian adalah peningkatan diversiikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok tertentu. Hal ini didasari oleh pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia yang masih belum beragam, bergizi seimbang, dan aman serta masih didominasi oleh beras. Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padi-padian sebesar 996 kkal/kap/ hari atau mencapai 80,6 persen terhadap total energi padi-padian (1.236 kkal/ kap/hr) pada tahun 2011. Di samping itu, rendahnya konsumsi pangan hewani, sayuran, buah dan aneka kacang menyebabkan kualitas konsumsi pangan masyarakat masih rendah yang diindikasikan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) 77,3 tahun 2011 atau masih di bawah PPH yang ideal sebesar 100.

Keberagaman jenis pangan dan keseimbangan gizi dalam pola konsumsi pangan dibutuhkan tubuh untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.

pendahuluan


(19)

Penganekaragaman konsumsi pangan atau diversiikasi pangan harus dilaksanakan guna menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan berdaya saing. Data Human Development Reports UNDP (United Nations Development Programme) tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2011, mengindikasikan bahwa Indonesia dikategorikan ke dalam Medium Human Development dan menduduki peringkat 124 dari 187 negara, sementara Singapura peringkat 26, Brunei Darussalam peringkat 33, Malaysia peringkat 61, Thailand peringkat 103 dan Vietnam peringkat 128.

Selain itu, masih banyak tantangan yang akan dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan pangan di masa mendatang, baik secara nasional, regional bahkan internasional, seperti laju pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi di berbagai belahan dunia, serta isu perubahan iklim. Sementara, sumber daya alam (lahan dan air) semakin terbatas, sebagai akibat dari konversi lahan pertanian ke non pertanian, meluasnya wilayah gurun atau penggurunan (desertiication), serta konversi bahan pangan menjadi bahan bakar.

Meroketnya harga pangan dunia pada tahun 2007 dan 2008 merupakan satu contoh nyata dari distorsi terhadap keseimbangan antara pasokan dan permintaan pangan dunia. Oleh karena itu, berbagai upaya (dari sisi pasokan dan permintaan) perlu dilakukan untuk menghadapi berbagai tantangan itu, salah satunya adalah optimalisasi pemanfaatan sumber hayati (nabati dan hewani) yang tersedia melalui peningkatan teknologi mulai dari budidaya, penanganan pasca panen hingga pendistribusian serta penumbuhan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal

Perkembangan Pola Konsumsi Pangan Pokok

Tahun 1954 :

Pola konsumsi pangan pokok yaitu konsumsi beras mencapai 53,5%, sedangkan konsumsi ubi kayu (22,26%), jagung (18,9%) dan kentang (4,99%).

Tahun 1987:

Pola konsumsi pangan pokok sudah bergeser luar biasa yaitu konsumsi beras menjadi 81,1%, sedangkan konsumsi ubi kayu 10,02% dan jagung 7,82%. Tahun

1999:

Perubahan pola konsumsi pangan pokok berlanjut, yaitu konsumsi jagung hanya sebesar 3,1% dan ubi kayu 8,83% Tahun

2010:

Pangsa non beras (ubi kayu, jagung dan kentang) dalam pola konsumsi pangan pokok hampir tidak ada dan digantikan oleh konsumsi terigu naik 500% menjadi 10.92 kg/ kap/tahun (dalam kurun waktu 30 tahun).


(20)

yang mampu berkontribusi terhadap pola makan yang beragam dan bergizi seimbang, sekaligus dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pangan pokok tertentu.

Peran industri dan swasta dalam pengembangan pangan lokal untuk mendukung diversiikasi pangan masih harus ditingkatkan. Pada umumnya industri yang bergerak di bidang pangan masih mengandalkan terigu sebagai bahan baku utama meskipun sudah dikembangkan tepung pengganti terigu yang berbasis sumber daya lokal seperti ubi kayu, dan banyak sumber karbohidrat dari jenis

Perkembangan Kebijakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Tahun 1960 Program Perbaikan Menu Makanan Rakyat

Tahun 1969 Pemerintah mempopulerkan slogan “Pangan Bukan Hanya Beras” dengan tujuan untuk memanfaatkan bahan pangan lokal, maka diperkenalkan Beras Tekad dari singkong untuk mengganti beras.

Tahun 1974 Pencanangan kebijakan diversiikasi pangan (INPRES Nomor 14 Tahun 1974) tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat disempurnakan dengan Inpres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Menganekaragamkan Jenis Pangan dan Meningkatkan Mutu Gizi Makanan Rakyat.

Tahun 1993-1998

Program Diversiikasi Pangan dan Gizi dilaksanakan oleh Departemen Pertanian. Tahun 1989 Dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dengan Program “Aku Cinta Makanan

Indonesia”.

Tahun 1996 Undang-undang No. 7 Tentang Pangan

Tahun 2002 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tentang Ketahanan Pangan

Tahun 2009 Peraturan Presiden RI No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber daya Lokal.

Tahun 2009 Peraturan Menteri Pertanian No. 43/Permentan/ OT.140/10/2009, Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP).

Tahun 2009 Undang-Undang No. 18 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

Tahun 2010 Peraturan Menteri Pertanian No.65/Permentan/ OT.140/12/2010 tentang SPM Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Tahun 2010 Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembangunan yang berkeadilan Kementerian PPN/Bappenas bertanggung jawab dalam Penyusunan Rencana Aksi

Š

Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015

Pemerintah Provinsi melalui Gubernur diinstruksikan untuk menyusun Rencana

Š

Aksi Daerah Pangan dan Gizi (atau disingkat RAD-PG) pada Tahun 2011 Tahun 2010 Undang-Undang No. 13 tentang Hortikultura


(21)

umbi-umbian termasuk sagu dapat dijadikan bahan pangan pokok masyarakat kedepan. Berkembangnya teknologi pangan dan inovasi-inovasi yang telah dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan perguruan tinggi telah banyak menghasilkan paket teknologi pangan yang berbasis kearifan lokal, menjadi produk pangan yang dapat dikomersilkan.

Hal tersebut juga diungkapkan Presiden pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan tahun 2012 dan Sidang Kabinet Terbatas dalam Safari Ramadhan Bidang Pangan di Kementerian Pertanian yang mengamanatkan perlunya koordinasi dan sinergi kegiatan penelitian dan pengembangan pengolahan pangan dengan sektor industri, agar penelitian dapat dirasakan masyarakat khususnya dalam mendukung program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang selama ini belum masuk dalam mainstream

pembangunan industri pangan Indonesia, sehingga perlu dilaksanakan kegiatan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam pengembangan diversiikasi pangan.

Efektivitas pangan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan akan tercapai apabila didukung dan berjalan seiring dengan pengembangan bisnis pangan dan industri pangan lokal. Kondisi ini menuntut komitmen yang tinggi dari berbagai pihak serta memerlukan rencana bisnis dan industri aneka ragam pangan yang komprehensif. Rencana bisnis dan industri aneka ragam pangan tersebut perlu dikembangkan untuk pemantapan pelaksanaan penganekaragaman konsumsi pangan di berbagai daerah. Dalam rencana tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dari para pelaku usaha baik di

Manfaat terciptanya budaya makan dengan pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang, dan aman:

Meningkatnya citra

V

pangan lokal Turut menjaga

V

stabilitas pasokan dan harga pangan Turut menciptakan

V

kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan Turut menyumbang

V

pada ketahanan pangan global (dengan menjadi negara pengekspor beras) Meningkatkan kualitas

V

hidup sehat, aktif dan produktif


(22)

Mengapa Penganekaragaman Pangan Penting

Pola konsumsi pangan masyarakat belum beragam, bergizi seimbang,

V

dan aman, serta masih didominasi oleh beras dan terigu.

Pemanfaatan pangan lokal khususnya sumber karbohidrat belum

V

optimal.

Total permintaan kebutuhan beras terus meningkat sejalan dengan

V

pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (1,49%/tahun).

Semakin nyata dampak perubahan iklim global yang dapat

V

mempengaruhi kapasitas produksi pangan domestik dan global. Percepatan peningkatan status gizi perlu segera dilakukan, karena

V

sifat masalah gizi yang jelas terlihat masih cukup berat.

tingkat nasional maupun daerah untuk menyukseskan pengembangan industri aneka ragam pangan berbasis sumber daya lokal.

Dampak Perubahan Iklim Global

Saat ini dunia sedang menghadapi tantangan yang berat dalam pembangunan dengan adanya krisis global ditambah dengan isu perubahan iklim yang semakin dirasakan. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang atau 11,96 persen, berkurang 890 ribu orang atau 0,53 persen dibanding dengan penduduk miskin pada bulan yang sama tahun 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Patut diwaspadai perubahan iklim dapat meyebabkan meningkatnya kerentanan masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan dan tidak memiliki kapasitas cukup dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Adanya perubahan iklim global tersebut memberikan dampak pada penurunan kapasitas produksi pangan. Di satu sisi sebagian besar negara produsen justru cenderung mengamankan produksi pangannya untuk memenuhi kebutuhan dan cadangan pangan domestik. Untuk itu perlu ada upaya yang dilakukan,


(23)

salah satunya melalui gerakan diversiikasi pangan berbasis sumber daya lokal sebagaimana dituangkan di dalam buku Roadmap ini.

Roadmap Diversiikasi Pangan tahun 2011 – 2015 menginformasikan situasi pola konsumsi pangan saat ini baik di tingkat nasional maupun wilayah, tantangan dan peluang, kebijakan, strategi dan pelaksanaan program diversiikasi pangan, keterlibatan swasta dan pemangku kepentingan dalam menyukseskan program diversikasi pangan.

B. Maksud dan Tujuan

Roadmap Diversiikasi Pangan tahun 2011 – 2015 ini merupakan acuan bagi pemangku kepentingan dalam upaya meningkatkan diversiikasi pangan secara lebih terintegrasi, sinergis, efektif, dan eisien untuk meningkatkan keragaman dan kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia.

Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Dari sisi konsumsi merupakan upaya membudayakan pola konsumsi V

pangan beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif;

Dari sisi pengembangan bisnis pangan memberi dorongan dan insentif V

pada rantai bisnis pangan yang lebih beragam dan aman yang berbasis sumber daya lokal;

Pada sisi produksi mendorong pengembangan berbagai ragam V

produksi pangan, dan menumbuhkan beragam usaha pengolahan pangan (rumah tangga, UMKM, swasta);

Dari sisi kemandirian pangan akan dapat mengurangi ketergantungan V

nasional terhadap pangan impor, dan secara mikro mengurangi ketergantungan konsumen pada satu jenis pangan tertentu, serta mendorong setiap wilayah untuk mengoptimalkan potensi sumber daya pangan setempat dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk; Dari sisi swasembada akan lebih menjamin dicapainya swasembada V


(24)

A. Kondisi Umum

1. Kondisi Gizi Masyarakat

Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, secara nasional prevalensi kurang gizi pada balita (berat badan menurut umur) sebesar 17,9 persen, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2007 sebesar 18,4 persen. Hal yang sama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010 dan prevalensi pendek pada balita adalah 35,6 persen tahun 2010, menurun dari 36,7 persen pada tahun 2007. Penurunan juga terjadi pada prevalensi anak kurus, dimana prevalensi balita sangat kurus menurun dari 13,6 persen tahun 2007 menjadi 13,3 persen tahun 2010.

Gambar 1. Status Gizi Balita di Indonesia

Kondisi Pola &

konsumsi Pangan

Saat ini

2


(25)

Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Untuk prevalensi pendek pada balita masih ada 15 provinsi yang memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional, dan untuk prevalensi anak kurus teridentiikasi 19 provinsi yang memiliki prevalensi di atas prevalensi nasional.

Sumber: Riskesdas, 2010.

Gambar 2.

Prevalensi Balita Gizi Kurang di Indonesia Tahun 2010

Disamping itu, data yang tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) juga menggambarkan kondisi yang beragam antar provinsi berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 dan data proporsi penduduk sangat rawan pangan yang bersumber dari Susenas 2009. Kondisi ini merupakan dasar pertimbangan dalam menyusun perencanaan khususnya terkait dengan intervensi pemerintah yang diperlukan dalam mengatasi permasalahan pangan dan gizi di provinsi bersangkutan. Stratiikasi Provinsi Berdasarkan Tingkat Prevalensi Anak Balita Pendek dan Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan dapat dilihat pada matriks berikut.


(26)

Tabel 1. Stratifikasi Provinsi Berdasarkan Tingkat Prevalensi Anak Balita Pendek dan Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan

Status

Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan ≤ 14,47 persen

Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan > 14,47 persen

Persentase Pendek pada Anak Balita ≤ 32 persen Strata 1 Kepulauan Riau, Bengkulu, dan Bali. Strata 2 Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Timur, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua.

Persentase Pendek pada Anak Balita > 32 persen Strata 3 Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat.

Strata 4 Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimatan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan

Papua Barat.

Sumber : - Data anak balita yang pendek berasal dari Riskesdas 2010

- Data proporsi penduduk sangat rawan pangan berasal dari Susenas 2009

Catatan : Kondisi sangat rawan pangan adalah tingkat konsumsi energi rata-rata dibawah 1400 kkal/kap/hari.


(27)

2. Situasi Konsumsi Pangan Masyarakat

a. Situasi Konsumsi Pangan Nasional

Kondisi pola konsumsi pangan masyarakat dapat bergeser dengan cukup dinamis, dipengaruhi oleh banyak hal seperti kondisi sosial, budaya dan ekonomi, preferensi dan ketersediaan. Namun sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden No.22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, bahwa upaya penganekaragaman konsumsi pangan harus berbasis sumber pangan setempat atau pangan lokal.

Pengurangan konsumsi beras juga harus disertai dengan pengurangan konsumsi gandum/terigu yang seluruhnya diimpor. Konsumsi beras sebagai sumber karbohidrat dapat disubsitusi dengan karbohidrat lain yang biasa dikonsumsi masyarakat berdasarkan kearifan lokal antara lain: jagung, sorghum, hotong, jali, sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, pisang, labu kuning, dan sukun. Perbandingan komposisi capaian pola pangan harapan berdasarkan data Susenas tahun 2011 dengan PPH, dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :

Gambar 3. Pangsa Kelompok Pangan Terhadap Pencapaian Skor PPH pada Tahun 2011 dan PPH


(28)

Perkembangan situasi konsumsi pangan pada tahun 2011 secara kuantitas dan kualitas belum memenuhi kondisi konsumsi energi menurut PPH untuk memenuhi kecukupan energi sebesar 2.000 kkal/kapita/hari. Perincian realisasi kontribusi energi (pangan) penduduk Indonesia tahun 2011 diuraikan pada Tabel 2. Berdasarkan komposisinya, pangan yang dikonsumsi penduduk Indonesia masih belum memenuhi kaidah gizi seimbang yang dianjurkan. Untuk mencapai kualitas konsumsi pangan yang lebih baik, maka di tahun mendatang harus ditingkatkan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, buah/ biji berminyak, serta sayur dan buah (penganekaragaman konsumsi secara horizontal) pada proporsi yang direkomendasikan oleh PPH. Peningkatan kualitas konsumsi pangan juga dapat dicapai melalui penganekaragaman vertikal yaitu konsumsi aneka ragam jenis pangan sumber karbohidrat dan olahannya (jenis padian: jagung dan olahannya, hotong, sorghum, biji jali, dan jenis padi-padian lainnya), aneka pangan sumber protein dan olahannya (aneka pangan hewani dan aneka kacang-kacangan), serta aneka pangan sumber vitamin dan olahannya (beragam jenis sayur dan buah-buahan).

Penghitungan skor Pola Pangan Harapan (PPH) didasarkan pada triguna makanan sesuai diagram di bawah ini.


(29)

Konsumsi jagung dalam kelompok padi-padian masih rendah dibanding konsumsi jenis padi-padian lain (beras dan terigu). Begitu juga dengan konsumsi jenis umbi-umbian terutama sagu dan jenis umbi lainnya masih rendah. Konsumsi pangan sumber protein hewani lebih banyak bersumber dari ikan, daging unggas dan telur. Kacang kedelai memiliki proporsi konsumsi yang lebih tinggi sebagai sumber protein nabati utama dalam pola konsumsi pangan penduduk selama tahun 2011. Komoditas minyak sawit dan kelapa merupakan jenis pangan dari kelompok minyak/lemak serta buah/biji berminyak yang memiliki proporsi konsumsi cukup besar dalam sumbangan energi pola konsumsi penduduk nasional. Gambaran konsumsi ini menunjukkan bahwa konsumsi penduduk Indonesia masih didominasi pangan sumber energi (serealia, minyak/lemak, dan buah/biji berminyak), dan masih kurang konsumsi pangan sumber vitamin mineral, serta kurang konsumsi buah-buahan (Tabel 3).

Sumber : Susenas 2011 Triwulan I; BPS diolah Pusat PKKP – BKP

Keterangan : Angka Kecukupan Energi 2000 kkal/kap/hari (Widya Karya Pangan dan Gizi VIII, 2004) - Energi : Dalam kkal

- Gram : Untuk berat jenis pangan menurut kelompok - AKG : Angka Kecukupan Gizi

Tabel 2. Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk Indonesia Berdasarkan PPH No Kelompok Pangan

Konsumsi Th. 2011 PPH Gram Energi %

AKG Skor

PPH Gram Energi % AKG

Skor PPH 1. Padi-padian 315,9 1.236 61,8 25,0 275 1.000 50,0 25,0 2. Umbi-umbian 40,0 53 2,6 1,3 100 120 6,0 2,5 3. Pangan hewani 95,9 168 8,4 16,8 150 240 12,0 24,0 4. Minyak dan lemak 22,8 204 10,2 5,0 20 200 10,0 5,0 5. Buah/biji berminyak 6,0 33 1,6 0,8 10 60 3,0 1,0 6. Kacang-kacangan 22,7 56 2,8 5,6 35 100 5,0 10,0 7. Gula 22,2 81 4,1 2,0 30 100 5,0 2,5 8. Sayur dan buah 197,3 83 4,2 20,8 250 120 6,0 30,0 9. Lain-lain 61,2 39 1,9 - - 60 3,0 -

Total 1.952 97,6 2.000 100,0 Skor PPH 77,3 100


(30)

Kelompok Bahan Pangan Konsumsi Tahun 2011 Energi (kkal/

kap/hari)

gram/kap/hari kg/kap/thn

I. Padi-padian 1236

a. Beras 996 281,7 102,8 b. Jagung 12 4,3 1,6 c. Terigu 228 29,9 10,9 II. Umbi-umbian 53

a. Singkong 33 27,6 10,1 b. Ubi jalar 10 8,1 3,0 c. Kentang 2 4,3 1,6 d. Sagu 4 1,3 0,5 e. Umbi lainnya 2 1,8 0,7 III. Pangan Hewani 168

a. Daging ruminansia 15 5,5 2,0 b. Daging unggas 39 13,0 4,8 c. Telur 27 19,6 7,1 d. Susu 29 5,7 2,1 e. Ikan 57 52,0 19,0 IV. Minyak dan Lemak 204

a. Minyak kelapa 36 4,1 1,5 b. Minyak sawit 163 18,1 6,6 c. Minyak lainnya 5 0,6 0,2 V. Buah/biji berminyak 33

a. Kelapa 27 5,1 1,9 b. Kemiri 6 0,9 0,3 VI. Kacang-kacangan 56

a. Kedelai 47 20,7 7,6 b. Kacang tanah 6 0,9 0,3 c. Kacang hijau 2 0,8 0,3 d. Kacang lain 1 0,3 0,1 VII.Gula 81

a. Gula pasir 74 20,2 7,4 b. Gula merah 7 2,0 0,7 VIII. Sayuran dan buah 83

a. Sayur 44 133,7 48,8 b. Buah 39 63,6 23,2 IX. Lain-lain 39

a. Minuman 29 49,9 18,2 b. Bumbu-bumbuan 10 11,3 4,1 Tabel 3. Konsumsi Berdasarkan Kelompok Pangan Penduduk Indonesia

Tahun 2011


(31)

b. Situasi Konsumsi Pangan Wilayah

Seperti halnya kondisi nasional, situasi konsumsi di beberapa provinsi juga belum mencapai keberagaman dan keseimbangan, hal ini dilihat dari skor mutu pangan (skor Pola Pangan Harapan) yang masih jauh di bawah ideal. Berdasarkan hasil olah data Susenas-BPS tahun 2011, skor mutu pangan tertinggi sebesar 86,8 dicapai oleh Provinsi Bali, dan skor mutu pangan terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 69,6 pada tahun 2011 (Gambar 4).

Umumnya hampir seluruh provinsi belum memiliki pola konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang. Hanya sembilan provinsi yang mampu mencapai skor mutu pangan diatas 80. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan beragam, dan bergizi seimbang belum menjadi pola konsumsi pangan penduduk rata-rata nasional. Konsumsi pangan penduduk masih didominasi oleh sumber karbohidrat terutama padi-padian yaitu proporsi beras menempati porsi yang besar dalam menu makanan sebagian besar penduduk provinsi secara nasional.

Tabel 4. Pembagian Kelompok Wilayah Berdasarkan Skor PPH dan Tingkat Konsumsi Beras Tahun 2011


(32)

(Sumber: Susenas 2011 Triwulan I, BPS diolah BKP)

Gambar 4. Capaian Skor PPH per Provinsi Tahun 2011

Konsumsi di beberapa sentra produksi cenderung memiliki kualitas konsumsi pangan penduduk yang rendah yaitu seperti di Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB memiliki skor mutu pangan dibawah skor PPH sebesar 77. Hal ini menggambarkan bahwa ketersediaan pangan yang memadai di suatu wilayah belum menjamin konsumsi pangan yang berkualitas, karena pola konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan pola perilaku, pengetahuan gizi, preferensi, maupun budaya makan penduduk.


(33)

B. Pola Konsumsi

1. Pola Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat

Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia selama lima tahun terakhir (2005-2010) umumnya didominasi oleh beras dan terigu. Jika dilihat perkembangannya pola konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia tahun 2005, sebagian besar (22 provinsi dari 33 provinsi) di Indonesia memiliki pola konsumsi beras-terigu, sedangkan 11 provinsi lainnya memiliki pola konsumsi beras-terigu-ubi kayu (Provinsi DI Yogyakarta dan Maluku Utara), beras-jagung-ubi kayu (Provinsi Nusa Tenggara Timur), beras-jagung-terigu (Provinsi Gorontalo), beras-terigu-ubi kayu-sagu (Provinsi Sulawesi Tenggara dan Maluku), dan beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu (Provinsi Papua). Pola konsumsi pangan pokok Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Papua Barat tidak terpantau karena data SUSENAS tahun 2005 untuk provinsi tersebut tidak tersedia.

Pada tahun 2007, pola konsumsi pangan pokok tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun 2005. Terdapat 24 provinsi dengan pola konsumsi pangan pokok terigu dan hanya Provinsi Gorontalo pola konsumsinya beras-jagung. Provinsi Lampung mengalami perubahan pola konsumsi pangan pokok dari beras-terigu pada tahun 2005 menjadi beras-terigu-ubi kayu pada tahun 2007. Provinsi Jawa Timur dan Gorontalo memiliki pola konsumsi pangan pokok beras-jagung-terigu. Provinsi Sulawesi Tenggara juga mengalami perubahan pola konsumsi pangan pokok menjadi beras-terigu-sagu. Provinsi Maluku dan Maluku Utara memiliki pola konsumsi pangan pokok beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar, dan hanya Provinsi Papua dengan pola konsumsi pangan pokok beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu. Pola konsumsi Provinsi Papua Barat tidak terpantau karena data tidak tersedia.

Pada tahun 2008, pola konsumsi pangan pokok tidak mengalami perubahan yang signiikan dibandingkan pada tahun 2007. Terdapat 24 provinsi dengan pola konsumsi pangan pokok beras-terigu. Provinsi Lampung dan Maluku Utara memiliki pola konsumsi pangan pokok beras-terigu-ubi kayu, sedangkan Provinsi Jawa Timur dan Gorontalo memiliki pola konsumsi pangan pokok


(34)

beras-jagung-terigu, dan hanya Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan pola konsumsi pangan pokok beras-jagung-ubi kayu. Terdapat beberapa provinsi yang mengalami perubahan pola konsumsi, diantaranya Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi beras-terigu-ubi kayu-sagu, Provinsi Papua menjadi beras-terigu-ubi jalar-sagu dan Provinsi Maluku menjadi beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu. Pola konsumsi pangan pokok provinsi Papua Barat tidak terpantau karena data tidak tersedia.

Pola konsumsi pangan pokok tahun 2009 mengalami beberapa perubahan dibandingkan tahun 2008. Terdapat 27 provinsi dengan pola konsumsi beras-terigu. Provinsi Lampung, Jawa Timur, dan Sulawesi Barat mengalami perubahan pola konsumsi menjadi beras-terigu, sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami perubahan pola konsumsi menjadi beras-jagung. Terdapat 5 provinsi di wilayah Indonesia Timur yang memiliki pola konsumsi tiga komoditas atau lebih, yaitu Gorontalo dengan pola konsumsi beras-jagung-terigu, Provinsi Maluku Utara pola konsumsinya beras-terigu-ubi kayu, Provinsi Maluku dan Papua Barat pola konsumsinya beras-terigu-beras-terigu-ubi kayu-sagu, serta Provinsi Papua pola konsumsinya beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu.

Pola konsumsi pangan pokok tahun 2010 tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun 2009. Terdapat 27 provinsi dengan pola konsumsi pangan pokok beras-terigu. Provinsi Nusa Tenggara Timur pola konsumsinya beras-jagung. Terdapat lima provinsi di wilayah Indonesia Timur yang memiliki pola konsumsi pangan pokok tiga komoditas atau lebih, yaitu Gorontalo dengan pola konsumsi pangan pokok beras-jagung-terigu, Provinsi Maluku Utara pola konsumsinya beras-terigu-ubi kayu, Provinsi Maluku dan Papua Barat pola konsumsinya beras-terigu-ubi kayu-sagu, serta Provinsi Papua pola konsumsinya beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5 berikut dan Lampiran 1 (Tabel 1.1.).


(35)

2. Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein

Pola konsumsi pangan sumber protein nasional selama lima tahun terakhir didominasi oleh ikan, kacang kedele, daging unggas dan telur. Pangan sumber protein penduduk Indonesia sebagian besar bersumber dari pangan hewani yaitu ikan. Indonesia dengan wilayah lautan yang luas menjadi potensi penyediaan ikan yang sangat potensial dalam memenuhi kebutuhan protein penduduk. Konsumsi ikan yang telah menjadi pola di hampir sebagian besar wilayah Indonesia didorong oleh keterjangkauan secara ekonomi yaitu harga ikan lebih terjangkau di seluruh tingkat pendapatan masyarakat. Kontribusi ikan dalam pola konsumsi pangan sumber protein rata-rata sebesar 40 persen selama tahun 2005 -2010. Sumbangan protein yang cukup besar ini menjadikan asupan konsumsi protein asal pangan hewani dapat dipenuhi (Tabel 5).

Jenis pangan sumber protein yang dikonsumsi selama tahun 2005 – 2010 lebih didominasi oleh pangan hewani dibanding nabati. Sejak tahun 2007 semua komoditas pangan hewani telah menjadi tren konsumsi pangan penduduk Indonesia. Hal ini mencerminkan tingginya preferensi masyarakat terhadap pangan hewani dibanding pangan sumber protein nabati. Selama lima tahun terakhir dari semua jenis pangan sumber protein nabati, hanya kacang kedelai yang memiliki tren konsumsi yang tinggi dibanding jenis kacang-kacangan lainnya. Kontribusi kacang kedelai hampir 12 kali lipatnya dibanding rata-rata konsumsi kacang tanah, dan hampir 6 kali lipat dibanding rata-rata konsumsi kacang hijau. Untuk itu, diperlukan upaya lebih maksimal untuk meningkatkan konsumsi kacang-kacangan dalam rangka diversiikasi konsumsi pangan. Namun di sisi lain, konsumsi jenis kacang-kacangan lain seperti kacang mete, kacang merah, dan sebagainya, sudah banyak dikonsumsi di Indonesia namun belum tercatat sehingga pola konsumsi pangan sumber protein asal pangan nabati masih kurang.


(36)

G

ambar

5.

P

ola

K

onsumsi

P

angan

Sumb

er

Kar

b

ohidr

a

t

Indonesia

T

ahun


(37)

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 78 ayat 6 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan publik di bidang peternakan dan kesehatan hewan melalui upaya peningkatan kesadaran gizi masyarakat dalam mengonsumsi produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal.

Tabel 5. Perkembangan Pola Konsumsi Sumber Protein Selama 2005 –2010

No Jenis Pangan Kontribusi Konsumsi (% AKP)

2005 2006 2007 2008 2009 2010

1

Daging ruminansia 4.6 4.3 5.1 5.3 5.3 5.5

2 Daging unggas 10.3 8.8 11.0 11.1 11.0 11.9

3 Telur 9.2 9.1 9.3 9.1 9.7 10.5

4 Susu 3.7 4.0 5.4 5.4 5.3 5.2

5 Ikan 42.3 42.2 38.6 42.2 41.7 41.3

6 Kedelai 23.8 27.2 24.7 22.4 23.2 21.7

7 Kacang tanah 3.7 2.6 4.0 2.7 2.3 2.5

8 Kacang hijau

1.9 1.5 1.5 1.4 1.1 1.0

9 Kacang lain

0.5 0.3 0.4 0.4 0.5 0.4

POLA KONSUMSI Ikan Kedelai Telur D.Unggas Ikan Kedelai Telur D.Unggas Ikan Kedelai D.Unggas Telur Susu D.Ruminansia Ikan Kedelai D.Unggas Telur Susu D.Ruminansia Ikan Kedelai D.Unggas Telur Susu D.Ruminansia Ikan Kedelai D.Unggas Telur D.Ruminansia Susu

Sumber : Data Susenas 2005-2010, BPS diolah BKP

3. Pola Konsumsi Pangan Sumber Vitamin dan Mineral

Pola konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral secara nasional umumnya didominasi oleh buah-buahan. Selama tahun 2005, 2007 hingga 2010 pisang dan daun ketela pohon telah menjadi pola konsumsi pangan sumber vitamin dan


(38)

mineral penduduk Indonesia. Selama tahun 2005, jenis pangan sumber vitamin yang telah menjadi pola konsumsi yaitu pisang, daun ketela pohon, rambutan, dan salak. Pada tahun 2007, rambutan dan salak tidak lagi menjadi pola konsumsi tapi duku tergolong menjadi komoditas buah-buahan yang berkontribusi dalam pola konsumsi sumber vitamin dan mineral. Pola konsumsi sumber vitamin mineral pada tahun 2008-2009 sama dengan pola konsumsi pada tahun 2005, sedangkan pada tahun 2010, hanya pisang dan daun ketela pohon yang tercatat dalam pola konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral (Tabel 6).

Tabel 6. Pola Konsumsi Pangan Sumber Vitamin dan Mineral Tahun 2005-2010

No Jenis Pangan

Kontribusi Konsumsi (%AKE)

2005 2007 2008 2009 2010

1 Daun Ubi Kayu 8.3 8.7 9.6 9.8 7.5

2 Rambutan 7.5 4.8 7.1 5.0 4.0

3 Duku 3.0 5.1 1.1 0.7 4.1

4 Salak 5.3 4.2 6.5 5.3 4.3

5 Pisang Lain2 16.0 16.2 17.3 17.2 15.0

6 Gado-gado 6.6 - - - 6.4

POLA KONSUMSI

-Pisang Lain2 - Daun Ubi K. (ketela pohon) - Gado-gado - Rambutan Salak - Pisang Lain2 - Daun Ubi K. (ketela pohon) - Duku

- Pisang Lain2 - Daun Ubi K. (ketela pohon) - Rambutan - Salak

- Pisang Lain2 - Daun Ubi K (ketela pohon) - Salak - Rambutan

- Pisang Lain2 - Daun Ubi K. (ketela pohon) - Gado-gado

Sumber : Data Susenas, 2005, 2007-2010; BPS; diolah BKP

Dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral penduduk Indonesia umumnya didominasi oleh komoditas pangan yang bersumber dari pekarangan atau paling tidak bisa dikembangkan oleh setiap keluarga di pekarangan yang dimilikinya. Pemenuhan kebutuhan akan sumber vitamin dan mineral umumnya dipenuhi dari daun ketela pohon untuk jenis sayuran dan buah pisang untuk jenis buah-buahan yang semuanya bisa dikembangkan di pekarangan, bahkan pada lahan pekarangan yang sangat terbatas luasannya. Untuk itu, potensi pekarangan harus lebih ditingkatkan lagi


(39)

dalam pemanfaatannya serta lebih dikembangkan lagi dalam budidaya tanaman sayuran dan buah-buahan untuk konsumsi pangan sehari-hari.

Berdasarkan pasal 95 Undang-Undang No.13 Tahun 2010 tentang Hortikultura bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertugas meningkatkan konsumsi hortikultura masyarakat melalui: (a) penetapan dan sosialisasi buah dan sayuran sebagai produk pangan pokok; (b) penetapan target pencapaian angka konsumsi buah dan sayuran per kapita per tahun sesuai dengan standar kesehatan; dan (c) pemuatan materi hortikultura ke dalam kurikulum pendidikan nasional atau daerah.

Dalam undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa komoditas sayur dan buah bukan hanya sebagai pendamping pangan pokok melainkan tergolong sebagai pangan utama yang harus dikonsumsi masyarakat setiap harinya.

Selain itu, undang-undang tersebut juga menetapkan bahwa pencapaian angka konsumsi sayur dan buah per kapita setiap tahunnya didasarkan pada standar kesehatan, yang dalam perencanaan konsumsi pangan sejalan dengan standar komposisi Pola Pangan Harapan (PPH). Standar konsumsi sayur dan buah berdasarkan komposisi Pola Pangan Harapan yaitu sebanyak 250 gram/kap/hari.

Kondisi pola konsumsi sayur dan buah penduduk Indonesia saat ini masih dibawah anjuran, sehingga perlu upaya peningkatan konsumsi sayur dan buah bagi seluruh masyarakat, diantaranya melalui pendidikan formal (kurikulum pendidikan), maupun melalui sosialisasi secara berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat.

Apabila dilihat dari pangan lokal yang dikonsumsi masyarakat di tingkat provinsi banyak yang masih mempunyai potensi untuk dikembangkan dan dihidupkan kembali budaya makannya, seperti pada Lampiran 5.


(40)

A. Tantangan

Tantangan utama yang dihadapi dalam upaya percepatan diversiikasi konsumsi pangan, adalah:

1.

Meningkatnya jumlah penduduk

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,3% per tahun, sehingga pada tahun 2009 penduduk Indonesia diprakirakan sejumlah 231.369.500 jiwa. Namun berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237.556.363 jiwa, meningkat sebesar 2,67% dari prakiraan jumlah penduduk tahun 2009.

Laju pertumbuhan jumlah penduduk ini menuntut adanya ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, harga terjangkau dan tersedia di setiap saat, hal ini merupakan tantangan yang sangat besar. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang masih lebih terfokus kepada penyediaan beras (pangan pokok) tanpa disertai pertimbangan yang memadai bagi peningkatan produksi/ pengadaan pangan yang berbasis sumber daya lokal seperti umbi-umbian yang selain dapat berfungsi sebagai sumber karbohidrat, juga sumber serat. Mengonsumsi beras tetap harus dilengkapi dengan umbi-umbian karena dapat melengkapi fungsi gizi dari beras.

TANTANGAN,

PERMASALAHAN DAN

PELUANG


(41)

2. Globalisasi perdagangan dan pergeseran pola konsumsi

pangan masyarakat ke arah pangan yang lebih instan

Semakin terbukanya perdagangan global dan dihapuskannya hambatan perdagangan berakibat pada menjamurnya produk pangan impor dengan jenis-jenis pangan yang tidak seluruhnya dapat dikembangkan di dalam negeri. Aneka pangan impor baik bahan mentah (gandum, aneka sayuran, aneka buah, daging, ikan, susu, dan sebagainya), hingga berbagai jenis pangan siap saji tinggi lemak dan gula namun rendah serat dan karbohidrat kompleks membawa perubahan pada semakin banyaknya jenis-jenis pangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal namun masuk dalam pola konsumsi pangan. Menjamurnya restoran yang menyajikan makanan siap saji ini telah menggeser kebiasaan makan di rumah dan konsumsi pangan tinggi serat rendah gula yang biasa disiapkan di rumah. Disamping itu seiring dengan perkembangan/kemajuan teknologi, peningkatan status sosial-ekonomi masyarakat yang diikuti dengan gaya hidup yang lebih “modern” yang menuntut masyarakat untuk bergerak lebih cepat mendorong pemilihan konsumsi makanan serba instant. Ditinjau dari pandangan ilmu gizi perubahan perilaku tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya masalah gizi lebih, obesitas dan penyakit degeneratif (Baliwati dkk, 2004).

3. Masih rendahnya tingkat konsumsi pangan sumber protein,

vitamin dan mineral serta tingginya konsumsi beras dan

terigu

Kondisi pola konsumsi pangan masyarakat yang masih didominasi oleh beras/padi, perlu mendapat perhatian dengan menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi umbi-umbian dari kelompok sumber karbohidrat. Di samping itu, perlu pula meningkatkan konsumsi produk ternak dan ikan sebagai sumber protein; serta sayuran dan buah sebagai sumber vitamin, mineral dan zat gizi lainnya.

Kualitas konsumsi masyarakat pada tahun 2010 untuk kelompok pangan hewani serta sayuran dan buah masih di bawah target Pola Pangan Harapan (PPH). Sebagai contoh, kontribusi kelompok pangan hewani (sebagai salah satu sumber protein) terhadap


(42)

skor PPH masih 16,1 sedangkan skor idealnya adalah sebesar 24,0. Rendahnya konsumsi protein hewani sangat erat hubungannya dengan daya beli masyarakat. Namun protein nabati dari kacang-kacangan seperti kedelai, dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein dan pola makan namun ketersediaan aneka kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati, relatif masih kurang memadai.

4. Penggunaan bahan baku pangan lokal masih terkendala

dengan masalah kontinuitas ketersediaan yang belum stabil

dan mutunya sangat beragam.

Di tataran produsen maupun petani, belum dapat menjamin secara penuh untuk menjaga kesinambungan tersedianya bahan baku pangan lokal secara terus –menerus sepanjang waktu. Ketersediaan bahan baku pangan lokal masih sangat dipengaruhi oleh faktor musim panen. Pada saat panen tiba, bahan baku pangan lokal melimpah di pasaran, namun sebaliknya jika bukan musimnya akan sangat sulit didapatkan.

Dalam kondisi seperti ini diperlukan investasi untuk memproduksi bahan baku pangan lokal secara lebih berkesinambungan dan menghasilkan produk yang memenuhi kebutuhan standar yang diinginkan oleh industri dan mempunyai daya simpan, sehingga ketersediaannya terdistribusi sepanjang tahun. Pola kemitraan antara pihak industri dan petani produsen merupakan solusi saling menguntungkan yang perlu dikembangkan. Disamping itu untuk menjamin kontinuitas produksi, pendekatan dengan pengembangan food estate juga cukup baik, terutama di luar Jawa. Perlu ada upaya membangun sinergitas di antara sektor hilir (industri pengolah) dengan sektor hulu (produsen) agar suplai bahan baku dapat lebih terjamin, dan industri pengolah dapat merencanakan produksi dengan standar kualitas yang lebih baik.

5. Kebijakan produksi pertanian belum mempertimbangkan

kecukupan gizi

Program pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan masyarakat secara luas yang dilaksanakan selama ini masih bersifat kuantitas, belum mempertimbangkan kebutuhan gizi. Perencanaan produksi sebaiknya disesuaikan dengan kondisi


(43)

pola konsumsi masyarakat yang bisa berbeda antar daerah. Pola Pangan Harapan harus menjadi patokan dalam merencanakan produksi komoditas yang akan dikembangkan sesuai dengan sumber daya setempat. Kebijakan yang ada selama ini masih mengacu pada peningkatan swasembada yang hanya mempertimbangkan kondisi supply demand secara agregat di tingkat nasional, tanpa mempertimbangkan kebutuhan konsumsi pangan secara beragam dan bergizi seimbang, di tiap wilayah.

Pada perkembangan selanjutnya, pelaksanaan P2KP tahun 2012 mulai dikenalkan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L). Sebagai contoh adalah beras analog yang diproduksi menggunakan berbagai jenis bahan baku lokal seperti ubi kayu, sagu, sorgum, jagung, dan sebagainya yang sekaligus diperkaya dengan zat gizi sumber vitamin dan mineral dalam proses fortiikasi, agar kandungan gizinya tidak kalah dengan yang ada pada beras. Produk yang dihasilkan dari kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan lokal sehingga dapat dijadikan bahan pengganti beras dalam program subsidi pangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini disebut RASKIN.

6.

Perubahan iklim

Dampak pemanasan global yang menyebabkan timbulnya perubahan iklim mengancam tersedianya bahan pangan di tingkat produksi. Pangan pokok yang selama ini dikonsumsi masyarakat secara umum dikhawatirkan dapat mengalami kegagalan panen akibat tidak dapat diprediksinya musim hujan yang dapat menyebabkan sulitnya pengairan. Kondisi cuaca yang ekstrim juga dikhawatirkan dapat mengganggu produksi pangan khususnya terhadap komoditas pangan yang selama ini menjadi pangan pokok. Hal ini memerlukan strategi perencanaan produksi pangan yang beradaptasi dengan perubahan iklim tersebut. Ketergantungan pada satu jenis komoditi seperti beras akan menimbulkan masalah karena harus mencari varietas-varietas baru yang sesuai dengan kondisi perubahan iklim. Padahal banyak spesies sumber karbohidrat selain beras yang diproduksi oleh masyarakat sesuai dengan kearifan lokal.


(44)

B. Permasalahan

1. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya

konsumsi beragam, bergizi seimbang dan aman

Saat ini pengetahuan masyarakat terhadap konsumsi pangan beragam bergizi seimbang dan aman masih kurang. Sebagian masyarakat masih memiliki prinsip “asal kenyang”. Kondisi ini akan menyebabkan ketidakseimbangan asupan gizi yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada gizi kurang maupun gizi lebih.

Pengetahuan yang kurang akan menimbulkan bermacam permasalahan seperti salah pemilihan jenis dan jumlah makanan, cara mengolah bahan makanan yang kurang tepat, sehingga banyak zat gizi yang hilang serta kurangnya kesadaran dalam memanfaatkan potensi alam secara berkelanjutan.

2. Terbatasnya ketersediaan dan akses terhadap inovasi

teknologi

Pengembangan teknologi tepat guna sangat diperlukan baik untuk memproduksi maupun mengolah bahan pangan terutama pangan lokal non beras, guna meningkatkan nilai tambah dan nilai sosialnya. Namun ketersediaan dan akses terhadap teknologi semacam itu diindikasikan kurang memadai. Disamping itu, teknologi yang dikembangkan oleh berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi juga belum bebas diakses oleh para pelaku usaha.

Kondisi keterbatasan di atas, akan menjadi hambatan bagi pengembangan pangan lokal. Peran perguruan tinggi menjadi penting dalam mengatasi permasalahan keterbatasan ketersediaan dan akses terhadap teknologi pangan lokal.

3.

Keberagaman varietas yang ditanam oleh masyarakat.

Sebagaimana kondisi Indonesia yang mempunyai keanekaragaman hayati nomor dua di dunia, begitu juga dengan varietas tanaman pangan lokal yang dimiliki memberikan banyak pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkannya. Namun untuk keperluan industri pengolahan maka perlu ditentukan jenis varietas yang


(45)

ditanam petani dan sesuai dengan kebutuhan industri yang bersangkutan agar produk olahannya dapat dibuat dengan standar kualitas dan kemasan yang lebih baik.

4. Kurangnya dukungan permodalan untuk produksi maupun

untuk pengolahan karena skim kredit yang ada belum dapat

digunakan untuk pengembangan bahan baku pangan lokal.

Modal merupakan hal yang sangat utama untuk keberlanjutan usaha. Selama ini, para petani dan pengolah tepung yang berbahan baku lokal seperti ubi kayu, sagu, ganyong, dan lain sebagainya merasa kesulitan dalam mengajukan modal kepada lembaga keuangan, seperti perbankan, koperasi maupun fasilitas kredit yang ditawarkan pemerintah lainnya. Kelompok dan jenis usaha yang dilakukan belum cukup meyakinkan lembaga keuangan untuk mendapatkan dana sebagai bantuan modal.

5. Harga bahan baku pangan lokal masih belum stabil dan relatif

lebih tinggi daripada harga terigu, sehingga harga produk

akhir juga cenderung lebih tinggi.

Kontinuitas ketersediaan bahan baku sangat berpengaruh pada harga. Semakin banyak permintaan dan penawaran sedikit, maka harga bahan baku pangan lokal cenderung mahal, begitu pula sebaliknya. Pada musim panen, harga cenderung turun. Kondisi ini menyebabkan luktuasi harga yang sangat signiikan dan merugikan petani maupun para pelaku usaha dan industri. Untuk itu perlu ada kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dan pelaku usaha industri pangan untuk menjamin kontinuitas pasokan dan harga yang adil bagi kedua belah pihak.

6. Belum ada jaminan keamanan produk pangan lokal yang

dihasilkan

Upaya pemerintah dalam memenuhi hak konsumen untuk dapat mengakses produk pangan lokal yang aman hingga saat ini belum dapat terpenuhi karena belum adanya jaminan keamanan produk pangan lokal yang beredar. Padahal, jaminan keamanan


(46)

produk pangan merupakan hal yang sangat kompleks, mengingat faktor yang berpotensi sebagai pembawa resiko dapat muncul dalam setiap titik pada rantai pangan, mulai dari produksi, distribusi, dan pengolahan hingga siap untuk dikonsumsi. Faktor keamanan produk pangan dapat dinilai dari sumber resiko dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Secara umum, jaminan keamanan produk pangan harus mampu melindungi masyarakat terutama dari pangan yang tidak aman atau tercemar oleh cemaran kimia, biologi, dan isik. Namun demikian, sampai dengan saat ini jaminan keamanan produk pangan masih bersifat ”partial”, seperti upaya peningkatan ketersediaan produk Prima 3 dan mengoptimalkan hasil uji terhadap produk pangan (uji terhadap pestisida, mikroba, dan logam berat), belum mengarah kepada kawasan pangan yang aman.

Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 yang telah diganti dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan menekankan pentingnya keamanan pangan baik untuk pangan segar, pangan olahan dan pangan siap saji. Kementerian Pertanian bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengawasan keamanan pangan segar (sayur, buah, daging, telur dan susu). Pelaksanaan penanganan keamanan pangan segar mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

C. Peluang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang begitu besar termasuk umbi-umbian. Kebanyakan komoditi ini tersedia secara tradisional dan dibudidayakan secara sederhana di lahan kering dan tadah hujan. Di beberapa daerah pangan lokal selain beras sejak dulu telah menjadi pangan pokok seperti sagu dan umbi-umbian di Maluku dan Papua, jagung di Madura, Jawa Timur dan beberapa daerah di Nusa Tenggara serta ubi kayu di daerah pegunungan di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Daerah yang memiliki potensi pangan pilihan selain beras dapat dilihat pada Lampiran 2 (Gambar 2.1.–2.4). Pangan lokal memiliki kandungan gizi yang tidak kalah dibandingkan dengan nasi/beras. Kandungan gizi beberapa pangan lokal sebagai berikut:


(47)

Ubi kayu

1.

Pangan Sumber Karbohidrat

Jagung. Produksi jagung Indonesia terus meningkat. Data BPS menunjukkan dalam periode 1990–2011, produksi jagung meningkat dari 6,73 juta ton menjadi 17,64 juta ton atau peningkatan dengan laju 5,34 persen per tahun. Peningkatan luas areal pertanaman jagung meningkat dari sekitar 3,15 juta ha menjadi 3,86 juta ha, dengan laju 1,49 persen per tahun; dan peningkatan produktivitas dari 2,13 ton/ha menjadi 4,56 ton/ha atau peningkatan dengan laju 3,74 persen per tahun (Lampiran 3; Tabel 3.1. – 3.2.)

Produk pangan olahan dari bahan jagung bukan lagi menjadi bahan pangan yang ‘inferior’, terutama dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Produk pangan dari jagung seperti gula jagung dan minyak jagung diyakini dapat menurunkan kadar gula darah dan non kolesterol.

Ubi kayu. Sebagai sumber karbohidrat, ubi kayu dapat dikonsumsi dalam bentuk langsung maupun makanan olahan yang berasal dari tepung.

Tanaman ubi kayu relatif mudah dibudidayakan, dapat dibudidayakan pada ketinggian dari 0 sampai 1500 m dpl dengan curah hujan antara 750 – 1.000 mm per tahun. Ubi kayu juga dapat diusahakan pada segala jenis tanah asal mempunyai drainase yang baik, dengan pH tanah yang dikehendaki antara 4,5 sampai 8,0. Penanaman ubi kayu dilakukan secara monokultur atau tumpangsari dengan tanaman lain.

Mie Jagung

Jagung Bose (Pangan Lokal Ntt) Jagung


(48)

Ubi kayu mempunyai prospek menjadi sumber bahan pangan pilihan dalam diversiikasi pangan, beberapa keunggulan dari ubi kayu ini adalah: a) tanaman ini sudah dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh masyarakat pedesaan sebagai bahan pokok dan sebagai bahan cadangan pangan pada musim paceklik; b) masyarakat Pulau Jawa khususnya di pedesaan telah terbiasa mengolah dan mengonsumsinya dalam bentuk gatot dan tiwul; c) nilai kandungan gizinya cukup tinggi; dan d) mudah beradaptasi dengan lingkungan atau lahan yang marginal dan beriklim kering.

Dalam periode 1990 – 2011, produksi ubi kayu meningkat dari 15,83 juta ton menjadi 24,04 juta ton atau peningkatan dengan laju 2,18 persen per tahun. Peningkatan produksi tersebut terutama karena kontribusi peningkatan produktivitas. Dalam tahun 1990 - 2011 produktivitas ubi kayu meningkat dengan laju 2,57 persen per tahun yaitu dari 12,07 ton/ha 20,29 ton/ ha; sementara luas areal pertanaman ubi kayu cenderung menurun dari 1,31 juta ha pada tahun 1990 menjadi 1,18 juta ha, atau penurunan dengan laju (0,38) persen per tahun (Lampiran3; Tabel 3.3. – 3.5.).

Ubi jalar. Sebagai sumber bahan pangan yang mempunyai potensi tinggi namum belum didayagunakan secara maksimal. Di Indonesia, penggunaan tepung ubi jalar memang belum sebanyak di luar negeri. Kondisi ini merupakan peluang bagi pengembangan ubi jalar. Indonesia termasuk lima besar negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia, dengan produksi 2 juta ton per tahun.

Brownies cassava

Beras analog

Ubi jalar


(49)

Produksi ubi jalar terus meningkat, pada tahun 1990 – 2011 produksi ubi jalar Indonesia meningkat dari 1,97 juta ton menjadi 2,19 juta ton atau peningkatan dengan laju 0,82 persen per tahun. Peningkatan produksi tersebut terjadi terutama karena kontribusi peningkatan produktivitas, yaitu peningkatan sebesar 1,30 persen per tahun, dari produktivitas sebasar 9,44 ton per hektar di tahun 1990 menjadi 12,32 ton per hektar. Sementara luas panen ubi kayu nasional justru cenderung menurun. Dalam tahun 1990-2011 luas panen menurun dari 208,73 ribu hektar menjadi 178,12 ribu hektar (Lampiran 3; Tabel 3.6. – 3.7.).

Talas. Tanaman pangan yang bersifat menahun. Talas bisa dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan yang terletak 1.000 – 1.300 m di atas permukaan laut baik liar maupun dibudidayakan. Saat ini daerah yang dikenal sebagai sentra Talas adalah Bogor, Banten dan Malang. Beberapa jenis talas yang dapat dikonsumsi telah dikenal seperti talas sutera, talas bentul, talas ketan, talas paris, talas loma, talas pandan, talas lampung, talas mentega, talas gambir atau talas hideung (Sunda = hitam).

Tanaman talas relatif mudah ditanam di hampir semua jenis tanah dan juga dapat ditumpangsarikan. Budidaya tanaman talas dapat menghasilkan produksi yang baik pada lingkungan bersuhu 21° C -27° C, kelembaban udara 50% - 90%, adanya sinar matahari langsung, dan curah hujan 2.000 mm/tahun. Pada kondisi optimal, hasil produksi dapat mencapai 10 ton/ hektar. Di sisi lain, di samping dikonsumsi sebagai makanan pokok dan makanan tambahan karena mengandung karbohidrat tinggi, protein, lemak, dan vitamin, tanaman yang

Roll cake ubi ungu

Es krim ubi jalar ungu

Talas


(50)

mengandung asam perusi atau asam biru ini, juga memiliki nilai ekonomi tinggi. Dalam perkembangannya, talas bukan lagi makanan inferior, dalam bentuk tepung bahan baku talas dapat dibuat produk makanan bernilai tinggi.

Sagu. Sumber bahan pangan lain yang yang telah dimanfaatkan di beberapa daerah di Indonesia adalah sagu (Metroxylon sp). Bersadarkan data dari berbagai sumber yang dirangkum Bintoro (2000), taksiran luas area sagu di Indonesia berkisar 4.376.829 Ha, seperti terangkum dalam Lampiran 3 (Tabel 3.8.).

Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun. Sagu tumbuh baik pada lahan marginal seperti gambut, rawa, payau atau lahan tergenang di mana tanaman lain tidak mampu tumbuh.

No Bahan Pangan

Zat Gizi BDD (%) Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Kh (gr)

Abu (gr)

Air (gr)

I. Padi-padian

1 Beras 360 6.8 0.7 78.9 - 13.0 100 2 Gandum lokal c) 360 13.4 1.6 73.0 1.4 10.6 100 3 Jawawut/sokuia) 334 9.7 3.5 73.4 - 11.9 100 4 Sorghum/lenab) 395 20.3 8.73 58.8 6.6 5.6 100 5 Sorghum Jagung Rote b) 385 10.6 7.4 69.0 1.1 11.9 100 6 Hermada (tepung) b) 367 2.4 1.5 86.0 1.2 9.0 100 7 Hotong (hotoburu) b) 366 9.9 3.6 73.4 2.4 10.7 100 8 Jali/nyolaia) 289 11.0 4.0 61.0 - - 90 9 Jagung Kuning Pipila) 366 9.8 7.3 69.1 2.4 11.5 100

Berasan:

10 Beras Jagung Instan – Semarang Jateng b)

374 5.42 0.3 71.8 2.6 19.8 100 Tepung:


(51)

No Bahan Pangan Zat Gizi BDD (%) Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Kh (gr)

Abu (gr)

Air (gr)

11 Tepung Jagung b) 374 7.0 4.2 77.1 1.4 10.3 100 II. Umbi-umbian

A Ubi Kayu

10 Ubi kayu putih a) 146 1.2 0.3 34.7 - 62.5 75 11 Ubi kayu kuning a) 157 0.6 0.3 37.9 - 60.0 75

Berasan :

12 Beras Singkong (Rasi) b) 359 1.4 0.9 86.5 1.9 7.8 100 13 Beras Aruk b) 353 0.6 0.8 85.9 0.2 12.5 100 14 Beras Kufu 342 2.3 0.1 83.1 - - 100 15 Oyek a) 342 2.3 0.1 83.1 - - 100 16 Tiwul 363 1.1 0.5 88.2 - - 100

Lempengan :

17 Jeppa b) 352 1.3 1.1 84.1 1.3 12.2 100 Tepung/pati :

18 Iluy mentah b) 352 6.2 1.3 79.0 1.1 12.4 100 19 Tepung kasava 363 1.1 0.5 88.2 - - 100 20 Tapioka (pati singkong) 362 0.5 0.3 86.9 - - 100

Mie :

21 Mie bendo b) 350 0.4 0.9 85.0 0.3 13.3 100

B Ubi Jalar

22 Ubi jalar a) 123 1.8 0.7 27.9 - - 86 Tepung :

23 Tepung ubi jalar ungu d) 375 3.0 0.55 89.5 - - 100 24 Tepung ubi jalar kuning d) 375 2.5 0.6 90.0 - - 100 25 Tepung ubi jalar putih d( 371 4.0 0.35 88.0 - - 100

Mie : 26 Mie telo

Bentuk segar :

27 Ubi banggai b) 118 2.5 0.7 25.4 0.8 70.5

-C Ganyong Segar :

28 Ganyong (umbi) 95 1.0 0.11 22.6 - 75.0 -Tepung :

29 Tepung ganyong 356 1.0 1.53 84.6 0.23 16.6 100 Mie :


(52)

Lanjutan Tabel 7.

No Bahan Pangan

Zat Gizi BDD (%) Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Kh (gr)

Abu (gr)

Air (gr)

30 Mie ganyong b) 341 1.1 0.85 82.1 0.4 15.6 100

D Sagu Berasan :

31 Sagu rendang b) 364 0.6 0.8 88.6 0.9 9.1 100 Tepung :

32 Tepung sagu a) 353 0.7 0.2 84.7 - 14.0 100 Mie :

33 Mie sagu kering b) 382 4.5 0.98 88.9 1.6 4.0 100 34 Mie sagu basah 152 0.9 5.6 24.4 1.6 4.0 100 35 Soun sagu b) 385 2.5 1.4 90.5 1.2 4.4 100

Lainnya:

36 Sagu mentah kerug b) 349 0.8 0.6 85.8 1.4 11.4 -E Garut

Tepung :

37 Tepung garut a) 355 0.7 0.2 85.2 - - 100 F Talas

Tepung :

38 Tepung talas 376 3.4 0.8 88.7 1.4 5.7 100 G Gadung

Segar :

39 Gadung a) 100 0.9 0.3 23.5 0.9 74.4 100 III Buah

Segar : Bakau

40 Buah bakau b) 371 4.2 1.5 85.1 3.9 5.3 -41 Buah bakau (NTT) b) 319 25.4 0.5 63.6 1.3 9.1 -42 Bakau segar (NTT) b) 155 11.9 2.4 26.5 1.0 58.2 -43 Bakau segar (Halmahera) b) 147 10.5 2.0 26.5 1.2 59.9

-Tepung :

44 Tepung buah bakau b) 367 4.3 1.1 85.0 2.1 7.6 100 45 Tepung buah bakau NTT b) 269 22.2 0.67 52.4 1.4 24.3 -46 Tepung buah bakau

Halmahera b)


(53)

-Lanjutan Tabel 7.

IV Komposit Tepung : 47 Tepung sijalejo

48 Tepung jalejo b) 366 19.1 2.5 66.9 2.4 9. 100 Mie :

49 Mie kering jalejo b) 369 14.4 1.6 74.3 1.5 8.2 100 50 Mie jalejo+bayam (kering)b) 362 13.7 2.1 72.2 1.4 10.6 100 51 Mie jalejo+wortel (kering)b) 369 14.2 2.0 73.4 1.5 8.9 100 52 Mie basah jalejo b) 193 7.9 0.9 38.4 0.8 52.1 100 53 Mie jalejo+bayam (basah) b) 199 7.7 1.1 39.5 0.8 51.0 100 54 Mie jalejo+wortel (basah) b) 197 7.4 1.1 39.3 0.8 51.4 100 Keterangan: Sumber a) Berdasarkan DKBM, Depkes

b) Hasil analisis lab. Fisik Terpadu, GMSK, IPB

c) Hasil analisis laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, IPB d) Laboratorium Bogasari

No Bahan Pangan

Zat Gizi

BDD (%) Energi

(kkal)

Protein (gr)

Lemak (gr) Kh (gr)

Abu (gr)

Air (gr)


(54)

Kapurung Cookies talas

Sagu Papeda

2.

Pangan Sumber Protein

Pangan sumber protein hewani memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pemenuhan konsumsi pangan dan gizi terutama dalam pencapaian skor PPH. Namun demikian, tingkat konsumsi kelompok pangan hewani tahun 2011 sebesar 95.9 gram/kapita/hari, masih kurang dibandingkan standar konsumsi ideal sebesar 150 gram/kapita/hari. Apabila dilihat tingkat konsumsi per komoditas untuk pangan hewani yang terdiri dari daging ruminansia, daging unggas, telur, susu dan ikan, sebagai berikut:

Daging ruminansia sebesar 5,5 gram/kap/hari (standar 8,6 gram/kap/hari) V

Daging unggas sebesar 13,0 gram/kap/hari (standar 18,7 gram/kap/hari) V

Telur sebesar 19,6 gram/kap/hari (standar 28,8 gram/kap/hari) V

Susu sebesar 5,7 gram/kap/hari (standar 6,6 gram/kap/hari) V

Ikan sebesar 51,9 gram/kap/hari (standar 87,3 gram/kap/hari) V


(55)

Dari data tersebut terlihat bahwa konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia masih rendah, kurang lebih dua per tiga dari standar kebutuhan konsumsi pangan hewani. Komposisi kandungan gizi beberapa pangan hewani dapat dilihat pada daftar berikut:

No Bahan Pangan

Zat Gizi

BDD (%) Energi

(kkal)

Protein

(gr) Lemak (gr) Kh (gr)

1 Daging Anak Sapi 190,0 19,1 12,0 0,0 100,0 2 Daging Asap 191,0 32,0 6,0 0,0 100,0 3 Daging Babi Gemuk 457,0 11,6 45,0 0,0 100,0 4 Daging Babi Kurus 376,0 14,1 35,0 0,0 100,0 5 Daging Domba 206,0 17,1 14,8 0,0 100,0 6 Daging Kambing 154,0 16,6 9,2 0,0 100,0 7 Daging Kerbau 84,0 18,7 0,5 0,0 100,0 8 Daging Kuda 118,0 18,1 4,1 0,9 100,0 9 Daging Sapi 207,0 18,8 14,0 0,0 100,0 10 Daging Ayam 302,0 18,2 25,0 0,0 58,0 11 Telur Ayam 162,0 12,8 11,5 0,7 90,0 12 Telur Bebek (Itik) 189,0 13,1 14,3 0,8 90,0 13 Telur Penyu 144,0 12,0 10,2 0,0 90,0 14 Ikan Bandeng 129,0 20,0 4,8 0,0 80,0 15 Ikan Bawal 96,0 19,0 1,7 0,0 80,0 16 Ekor Kuning 109,0 17,0 4,0 0,0 80,0 17 Ikan Mas 86,0 16,0 2,0 0,0 80,0 18 Ikan Segar 113,0 17,0 4,5 0,0 80,0 19 Susu Sapi 61,0 3,2 3,5 4,3 100,0 20 Susu Kambing 64,0 4,3 2,3 6,6 100,0

Tabel 8. Komposisi Zat Gizi Beberapa Pangan Hewani

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM-Depkes, 1995)

Apabila dilihat dari produksi, komoditas pangan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tetapi karena faktor daya beli dan pendapatan sehingga akses terhadap pangan hewani masih rendah. Data produksi dapat dilihat pada tabel berikut :


(56)

[56]

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI Tabel 9. Perkembangan Produksi Daging, Telur, dan Susu

No. Komoditas Produksi (Ton)

Pertumbuhan (%) **)

2007 2008 2009 2010 2011 *)

1 Daging Ternak

Daging Sapi 339.479,0 392.511,0 409.309,8 436.452.3 465.822,5 6,73

Daging Kerbau 41.757,0 39.032,0 34.644,9 35.912.1 37.467,6 4,33

Daging Kambing 63.615,0 66.027,0 73.825,3 68.792.9 70.715,1 2,79

Daging Domba 56.852,0 47.028,5 54.265,0 44.865,1 44.946,1 0,18

Daging Babi 225.906,0 209.777,0 200.117,8 211.992,6 204.588,0 (3,49)

Daging Kuda 1.974,7 1.813,0 1.799,3 1.974,4 1.822,1 (7,71)

Jumlah 729.583,7 756.188.5 773.962,1 799.989,4 825.361,4 3,17

2 Daging Unggas

Daging Ayam 294.889,0 273.546.4 247.725,0 267.635,1 283.135,0 5,79

Daging Ayam Ras Petelur 58.162,0 57.274,0 55.055,4 57.711,6 60.110,1 4,16

Daging Ayam Ras Pedaging 942.784,0 1.018.734,0 1.101.765,5 1.214.339,0 1.270.438,0 4,62

Daging Itik 44.104,9 30.980 25.781,8 25.999,1 29.180.2 12.24

Jumlah 1.339.939,9 1.380.534,4 1.430.327,7 1.565.684,8 1.642.863.4 4,93

3 Telur

Telur Ayam Buras 230.472,0 166.618,0 160.920,6 175.527,8 179.605,3 2,32

Telur Ayam Ras Petelur 944.136,0 955.999,0 909.519,3 945.635,1 986.794,5 4,35

Telur Itik 207.534,4 200.988,4 236.427,4 245.037,8 265.788,8 8,47

Jumlah 1.382.142,4 1.323.605,4 1.306.867,3 1.366.200,7 1.432.188,6 4,83

4 Susu 567.683,4 646.952,3 827.249,2 909.532,8 925.775,0 1,79

Ket : *) Data Sementara

**) Pertumbuhan Tahun 2011


(57)

Daging ternak. Produksi daging ruminansia yang terdiri dari daging sapi, daging kerbau, daging kambing, daging domba, daging kuda dan daging babi, pada tahun 2011 sebesar 825.361,38 ton mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 sebesar 799.989,45 ton, atau sekitar 3,17 persen. Peningkatan terbesar adalah komoditas daging sapi. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencapai swasembada daging sapi dan kerbau tahun 2014.

Daging Unggas. Produksi daging unggas yang terdiri dari daging ayam, daging ayam ras petelur, daging ayam ras pedaging dan daging itik, pada tahun 2011 sebesar 1.642.863,41 ton mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 sebesar 1.565.684,81 ton, atau sekitar 4,93 persen. Peningkatan terbesar adalah komoditas daging itik.

Telur. Produksi telur yang terdiri dari telur ayam buras, telur ayam ras petelur dan telur itik, pada tahun 2011 sebesar 1.432.188,59 ton mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 sebesar 1.366.200,71 ton, atau sekitar 4,83 persen. Peningkatan terbesar adalah komoditas telur itik.

Susu. Produksi susu pada tahun 2011 sebesar 925.775,05 ton mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2009 sebesar 909.532,82 ton, atau sekitar 1,79 persen.

3.

Pangan Sumber Vitamin dan Mineral

Sayuran dan buah merupakan pangan sumber vitamin dan mineral. Berdasarkan data statistik pertanian hortikultura 2011, selama tahun 2007-2009 produksi sayuran nasional

Daging ternak

Daging unggas

Telur


(58)

meningkat dari 9,45 juta ton menjadi 10,63 juta ton dengan laju kenaikan sebesar 6,02 persen per tahun. Adapun produksi buah-buahan pada tahun 2007 – 2009 meningkat dari 17,12 juta ton menjadi 18,66 juta ton dengan laju kenaikan sebesar 4,40 persen. Sayuran yang memberikan sumbangan produksi terbesar terhadap total produksi sayuran di Indonesia sebanyak 5 (lima) jenis tanaman sayuran yaitu kol/kubis (12,78 %), kentang (11,07%), bawang merah (9,08%), tomat (8,03%) dan cabe besar (7,41%), sedangkan komponen sayuran lainnya (20 jenis sayuran lainnya yaitu bawang putih, bawang daun, lobak, sawi, wortel, kacang merah, kembang kol, cabe rawit, paprika, terung, buncis, ketimun, labu siam, kangkung, bayam, kacang panjang, jamur, melinjo, petai dan jengkol), persentase produksinya masing-masing kurang dari enam persen dari produksi sayuran di Indonesia.

Kol/Kubis. Produksi sayuran terbesar adalah pada tanaman kol/kubis yaitu sebesar 1.358.113 ton atau 12,78 persen dari total produksi sayuran di Indonesia. Sentra produksi kol/kubis terbesar berada di Pulau Jawa, dengan produksi sebesar 845.003 ton, atau sekitar 62,22 persen dari total produksi kubis nasional. Apabila dilihat per provinsi, maka Jawa Tengah merupakan penghasil kol/kubis terbesar yaitu 348.616 ton atau sekitar 25,67 persen dari total produksi kol/kubis secara nasional, diikuti dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Provinsi penghasil kol/ kubis terbesar di luar Jawa adalah Sumatera Utara dengan produksi 210.239 ton atau sekitar 15,48 persen dari total produksi kol/kubis nasional, dan diikuti oleh Sumatera Barat.

Kentang. Produksi tanaman kentang menempati urutan kedua dengan menyumbangkan produksi

Kol/kubis


(59)

sebesar 1.176.304 ton atau sekitar 11,07 persen dari total produksi sayuran nasional. Sentra produksi kentang terbesar juga berada di Pulau Jawa dengan produksi 735.359 ton atau sekitar 62,51 persen dari seluruh produksi kentang nasional. Provinsi penghasil kentang terbesar adalah Jawa Barat dengan produksi sebesar 320.542 ton atau sebesar 27,25 persen dari seluruh produksi kentang di Indonesia, diikuti oleh Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan provinsi penghasil kentang terbesar di luar Jawa adalah Sulawesi Utara dengan produksi sebesar 142.109 ton atau sekitar 12,08 persen dari total produksi kentang nasional diikuti oleh Sumatera Utara.

Bawang Merah. Tanaman bawang merah memberikan kontribusi produksi sebesar 965.165 ton atau sekitar 9,08 persen terhadap produksi sayuran nasional. Sentra produksi bawang merah di Indonesia adalah Pulau Jawa dengan total produksi sebesar 732.233 ton atau sekitar 75,87 persen dari total produksi bawang merah nasional. Provinsi penghasil bawang merah terbesar adalah Jawa Tengah dengan produksi 406.725 ton atau sebesar 42,14 persen dari total produksi bawang merah nasional, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat. Provinsi penghasil bawang merah terbesar di luar Jawa adalah Nusa Tenggara Barat, dengan produksi sebesar 133.945 ton atau sekitar 13,88 persen dari total produksi bawang merah nasional diikuti oleh Sumatera Barat.

Tomat. Tanaman tomat memberikan kontribusi produksi sebesar 853.061 ton atau sekitar 8,03 persen terhadap produksi sayuran nasional. Sentra produksi tomat di

Bawang merah


(60)

Indonesia adalah Pulau Jawa dengan total produksi sebesar 432.787 ton atau sekitar 50,73 persen dari total produksi tomat nasional. Provinsi penghasil tomat terbesar adalah Jawa Barat dengan produksi 309.653 ton atau sebesar 36,30 persen dari total produksi tomat nasional, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Provinsi penghasil tomat terbesar di luar Jawa adalah Sumatera Utara dengan produksi sebesar 90.147 ton atau sekitar 10,57 persen dari total produksi tomat nasional, diikuti oleh Sulawesi Utara.

Cabe Besar. Cabe besar memberikan kontribusi produksi sebesar 787.433 ton atau sekitar 7,41 persen terhadap produksi sayuran nasional. Sentra produksi cabe besar di Indonesia adalah Pulau Jawa dengan total produksi sebesar 434.219 ton atau sekitar 55,14 persen dari total produksi cabe besar nasional. Provinsi penghasil cabe besar terbesar adalah Jawa Barat dengan produksi 209.265 ton atau sebesar 26,58 persen dari total produksi cabe besar nasional, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Provinsi penghasil cabe besar terbesar di luar Jawa adalah Sumatera Utara dengan produksi sebesar 124.422 ton atau sekitar 15,80 persen dari total produksi cabe besar nasional, diikuti oleh Bengkulu.

Buah yang diinventarisir dan dikumpulkan berdasarkan statistik pertanian hortikulltura tahun 2009 sebanyak 26 jenis komoditas. Lima komoditas buah yang memberikan sumbangan produksi terbesar terhadap total produksi buah di Indonesia adalah pisang, mangga, jeruk siam/ keprok, nenas dan rambutan dengan kontribusi masing-masing sebesar 34,17 persen, 12,03 persen, 10,86 persen,


(1)

DIVERSIFIKASI PANGAN

TAHUN 2011 - 2015

ROADMAP

Lanjutan Tabel 5.

No. Provinsi Pangan Lokal Bahan Baku

Gangan Keladi Asam Keladi, Ubi Jalar, Ubi Kayu & Kangkung

Tempuyak Durian

Sayur Umbut Rotan Rotan muda Rabuk Harua Ikan Gabus & Kepiting

Jelore Tepung Ubi Kayu

22 Sulawesi Selatan Kapurung Sagu, Ikan, Ayam & Kacang Tanah Barobbo Jagung, Ayam & Kacang Panjang

Bassang Jagung

Pallubasa Daging sapi

Coto Makassar Daging Sapi, Babat, Usus & Kacang Tanah Kambu Paria Pare & Pare

Dangke Susu Sapi & Susu Kambing Pallubutung Pisang Kepok

23 Sulawesi Tenggara Sinonggi Sagu

Kasuami Ubi Kayu

Kabuto (Hogo-Hogo) Ubi Kayu

Dange Sagu panggang

Kapusu Nosu Jagung ketan

Kagili Ubi Kayu, Jagung & Kacang Tunggak

Katumbu Jagung Muda

Parende Sumowo Kalo Ikan Ikan Kakap, Cumi-Cumi & Udang Bou Pinare Nahu Nggaluku Ikan Gabus

Kasiuna Kaholeo Ikan Teri Asap

24 Sulawesi Tengah Nasi Jagung Jagung

Papeda Sagu

Kapurung Sagu

Jepa Sagu

Doko-doko Ubi Kayu Ubi kayu

Binte Jagung

Kaledo Tulang Kaki Sapi

Palu Mara Ayam & Ikan

Penja Ikan duo

Kambu Paria Paria & Ikan 25 Sulawesi Utara Binthe Bilihute Jagung

Bubur Manado Jagung

26 Sulawesi Barat Loka Anjoroi Pisang Lame Ayu Anjoroi Ubi Kayu


(2)

[124]

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI

Kue Popolulu Ubi Jalar Kue Sabongi Ubi Kayu & Pisang Kue Kala-Kala Pisang

Kue Kokole Sagu

Putung Ilahe Jantung Pisang & Ikan Bubur Sada Jagung Halus Duwo Delepao Sagu & Ikan

28 NTB Beras Analog Ubi Kayu

Jagung Bose Jagung

Pelecing Kangkung Kangkung Lombok Sayur Lebui Biji lebui tua Sirap Padang Ikan Kakap

Doco Fo’o Tota Mangga Muda & Udang Mangge Mada Jantung Pisang Kepok & Udang

Luhluh Ikan Tenggiri

29 NTT Nasi Jagung Beras jagung (ukuran sedang)

Jagung Bose Jagung

Kapuru Jagung & Kacang Tanah

Jagung Titi Jagung

Manggullu Sale Pisang & Kacang Tanah Nasi Tominuku Ubi Ungu & Ubi Putih

Koil Mbuka Ubi Kayu

Sombu Ubi Kayu & Jagung Akar Bilang Tepung sagu

Ut Moruk Tepung jagung

30 Maluku Papeda Sagu

Sagu Lempeng Sagu

Enbal Ubi Kayu

Bagea Sagu

Sinoli Sagu

Babengka Ubi Kayu Ubi Kayu

Sangkola Ubi Kayu

Garontong Jagung

Babengka Ubi Jalar Ubi jalar


(3)

DIVERSIFIKASI PANGAN

TAHUN 2011 - 2015

ROADMAP

No. Provinsi Pangan Lokal Bahan Baku

Kumbili Kumbili

Nasi Hotong Hotong

31 Maluku Utara Sagu Lempeng Sagu

Papeda Sagu

Sayur Garu Jantung pisang Kasbi/Pisang Santan Ubi Kayu & Pisang Bagea Kenari Sagu & Kenari

Ikan Pampis Ikan Cakalang & Ikan Asap Popare Isi Pare, Ikan Cakalang & Tuna Pisang Coe Pisang masak

Rica Isi Ikan Cakalang

Cingkarong Jagung muda

32 Papua Papeda Sagu

Lilin Genemo Genemo, Sayur Lilin, Jagung & Wortel Puding Sagu Buah Merah Sagu, Buah Merah & Nangka Lemper Singkong Singkong

Kelepon Ubi Jalar Ubi Jalar & Tepung Sagu Sop Kepiting Kepiting

Bubur Kacang Sagu Kacang Hijau & Sagu

33 Papua Barat Papeda Sagu

Umbi-Umbian Umbi-Umbian


(4)

[126]

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI

G

ambar 6. S

truktur O

rganisasi K

emen

terian P

er

tanian R

Lampir

an 6


(5)

DIVERSIFIKASI PANGAN

TAHUN 2011 - 2015

ROADMAP

Tabel 6. Struktur Organisasi Badan Ketahanan Pangan

Sekretariat Badan Ketahanan Pangan

1. Bagian Perencanaan a.

b. c.

Sub Bagian Rencana Program Sub Bagian Kerjasama Program Sub Bagian Rencana Penganggaran 2. Bagian Keuangan dan Perlengkapan a.

b. c.

Sub Bagian Perbendaharaan Sub Bagian Akuntansi & Veriikasi Sub Bagian Perlengkapan & RT

3. Bagian Umum a.

b. c.

Sub Bagian Organisasi & Kepegawaian Sub Bagian Hukum

Sub Bagian Humas & TU 4. Bagian Evaluasi dan Pelaporan a.

b. c.

Sub Bagian Data dan Informasi Sub Bagian Evaluasi

Sub Bagian Pelaporan dan TLHP

Fungsional Statistisi

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

1. Bidang Ketersediaan Pangan a. b.

Sub Bidang Analisis Ketersediaan Pangan Sub Bidang Sumberdaya Pangan 2. Bidang Akses Pangan a.

b.

Sub Bidang Analisis Akses Pangan Sub Bidang Pengembangan Akses Pangan 3. Bidang Kerawanan Pangan a.

b.

Sub Bidang Analisis Kerawanan Pangan Sub Bidang Penanggulangan Kerawanan Pangan

Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan

1. Bidang Distribusi Pangan a. b.

Sub Bidang Analisis Distribusi Pangan Sub Bidang Kelembagaan Distribusi Pangan 2. Bidang Harga Pangan a.

b.

Sub Bidang Analisis Harga Pangan Produsen Sub Bidang Analisis Harga Pangan Konsumen

Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan

1. Bidang Penganekaragaman Pangan a. b.

Sub Bidang Pengembangan Pangan Lokal Sub Bidang Promosi Penganekaragaman Pangan 2. Bidang Konsumsi Pangan a.

b.

Sub Bidang Kebutuhan Konsumsi Pangan Sub Bidang Pola Konsumsi Pangan 3. Bidang Keamanan Pangan Segar a.

b.

Sub Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Segar Sub Bidang Kelembagaan Keamanan Pangan Segar


(6)