Validasi metode analisis residu difenokonazol dalam buah melon (Cucumis melo L.).
INTISARI
Kondisi iklim tropis Indonesia yang panas dan lembab memicu perkembangan dan penyebaran jamur antaknosa (Colletotrichum gloesporioides) menyebakan kerusakan pada buah melon (Cucumis melo L.). Untuk mengontrol jamur antraknosa, para petani menggunakan difenokonazol. Oleh karena itu, untuk menjamin konsumen, tingkat residue difenokonazol yang tertinggal dalam melon diawasi. Tujuan dari studi ini adalah menvalidasi metode analisis untuk residu difenokonazol dalam buah melon, agar metode ini dapat diterapkan untuk analisis residu pestisida di laboratorium Indonesia.
Proses ektraksi pada pengembangan metode ini dibantu dnegan metode LLE dari QuEChERS, dimana proses cleanup menggunakan SPE C18 dan determinasi
menggunakan GC-ECD serta kuantifikasi standar internal menggunakan dekaklorobifenil (DCB). Performa kerja GC-ECD menunjukan presisi dari rasio area, waktu retensi <20%, ketika integritas standar menujukan RSD dari response factor dan %difference <20%. Range linearitaspada konsentrasi 0,053-0,526 ng dengan r 0,890 - 0,999, Instrumental Detection Limit (IDL) 0,01-0,07 ng/ml dan Instrumental Quantitation Limit (IQL) 1,06 ng/g . Recovery fortifikasi sampel ekstrak blank pada konsentrasi 0,158-0,684 ng sebesar 86-91 % dan tidak ada efek matrik secara signifikan. Kesalahan pada tahap ekstraksi, cleanup dan determinasi secara berturut-turut 0,133%, 8,753%, dan 8,670%. Recovery fortifikasi sampel pada 0,158-0,684ng sebesar 71-115% . LOQ sebesar 0,002 g/g dan LLMV 7,364 ng/g, oleh karena itu metode ini sesuai untuk mengawasi kadar residu difenokonazol dalam buah melon, yang memiliki Batas Maksimum Residu (BMR) sebesar 0,7 mg/kg.
Kata kunci : Difenokonazol, Residu pestisida, Amistartop, QuEChERS, Solid Phase Extraxtion, GC-ECD , Validasi Metode.
(2)
ABSTRACT
Indonesian tropical climate which is warm and humid promote the development and spread antrachnose (Colletotrichum gloesporioides) causing significant damage in melon (Cucumis melo L.). To control the antracmose, farmers used difenoconazole. For that reason, to assure the safety of the consumer, the level of difenoconazole residue in melon should be monitored. The purpose of this study is to develop a valid analytical method for difenoconazole residue in melon can be done in common pesticide residue laboratory in Indonesia.
The extraction process of the development method was done following the assisted LLE method of the QuEChERS, while the clean-up process was done using C18 SPE catridge and determinate by GC-ECD and quantified by internal
standardization using decachlorobiphenyl (DCB) as internal standard. The performance of the GC-ECD shows precision of ratio area, retention time less than 20%, while the standard integrity shows RSD of the response factor and %difference <20%. Linearity range was 0,053-0,526 ng with r 0,890-0,999,. Instrumental detection Limit (IDL) was 0,01-0,07 ng/ml and Instrumental Quantitation Limit (IQL) was 1,06 ng/g, Recovery of fortified blank extract at 0,158-0,684 ng was 86-91% and no matrix effect was observed. The error at extraction step, cleanup step and determination step were 0,133%, 8,753%, and 8,670 % respectively. The recovery of Fortified sample at 0,158–0,684 ng was 71-115%. The LOQ was 0,002 g/g and the LLMV 7,364 ng/g, therefore this method is fit for monitoring difenoconazole residue in melon, which has Maximum Residue Limit (MRL) of 0.7 mg/kg.
Key words: Difenokonazol, Pesticide residue, Amistartop, QuEChERS, Solid Phase Extraxtion, GC-ECD, method validation
(3)
VALIDASI METODE ANALISIS RESIDU DIFENOKONAZOL DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Florentina Silviana Devi
NIM: 118114149
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2015
(4)
i
VALIDASI METODE ANALISIS RESIDU DIFENOKONAZOL DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Florentina Silviana Devi
NIM: 118114149
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2015
(5)
(6)
(7)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“ Hidup untuk bermimpi, Hidup untuk berusaha, Hidup untuk bersyukur dan kembalilah pada sebuah mimpi, usaha dan syukur”
Karya ini kudedikasikan untuk orang tua, keluarga, teman-teman dan almamaterku Universitas Sanata Dharma.
(8)
(9)
(10)
vii PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan atas berkat karunia yang telah dilimpahkan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “VALIDASI METODE ANALISIS RESIDU DIFENOKONAZOL DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.)” sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.).
Selama pelaksanaan penelitian penulis mendapatkan banyak dukungan
motivasi, bantuan arahan, bimbingan, kritik, saran dan doa dari berbagai pihak. Maka
dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. selaku pembimbing utama skripsi yang telah
memberikan bimbingan, arahan, kritik, saran, doa, semangat motivasi, dan
bantuan lainnya sejak awal hingga akhir penelitian.
2. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt, Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta
3. Jeffry Julianus, M.Si dan F. Dika Octa riswanto, M.Sc., selaku dosen penguji
yang memberikan kritik dan saran untuk membangun skripsi ini.
4. Sanjayadi M.Si., yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, kritik,
saran, doa, membantu dalam optimasi kesesuaian sistem GC-ECD yang
digunakan serta memberi semangat motivasi dan dukungan sejak awal hingga
akhir penelitian.
5. Nina setiawati, M.Sc., Apt. selaku kepala laboratorium Universitas Sanata
(11)
viii
6. Seluruh dosen dan karyawan fakultas farmasi Universitas Sanata Dharma atas
bantuan selama proses pembelajaran menempuh jenjang S1 Farmasi.
7. Bapak Lukas Sumari dan mamak Katarina Katrin selaku orang tua yang selalu
mendoakan, mendukung, dan memberi motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan program studi S1 farmasi.
8. Agnes Reka Wati, Stevanus midut, mamak Sri, Biyung, Pakpoh, selaku
keluarga penulis yang selalu mendoakan dan memberi motivasi hingga
penulis menyelesaikan studi S1 Farmasi.
9. Serlika Rostiana, Rizki Seviana, Rushadi Jatmiko, selaku tim skripsi yang
selalu memberikan pengertian, kerja sama, motivasi, dukungan, bantuan doa,
dalam proses penyelesaian skripsi.
10.Mas Bimo, Pak Kethul, Pak Mus, Pak Parlan, Pak Kunto, seluruh staf
laboratorium Universitas Sanata Dharma dan staf keamanan serta kebersihan
Universitas Santa Dharma.
11.Teman-teman FSM-D dan FST-B 2011 selaku teman-teman kelas yang telah
memberikan banyak kesan kenangan dan pengalaman selama empat tahun ini.
12.Seluruh pihak yang mungkin tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
13.Mas bebek, Mas Enggal, dan pak Bantul selaku pemilik ladang melon yang
(12)
(13)
x DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
INTISARI ... xviii
ABSTRACT ... .xix
(14)
xi
A. Latar Belakang ... 1
1. Permasalahan ... 4
2. Keaslian Penelitian ... 4
3. Manfaat Penelitian ... 4
B. Tujuan Penelitian ... 5
Bab II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A. Difenokonazol ... 6
1. Sifat Fisika Kimia ... 7
2. Toksisitas ... 8
B. Kandungan Buah Melon ... 10
C. Solid Phase Extraction (SPE) ... 12
D. Ekstraksi ... 14
E. Gas Chromatography (GC) ... 17
1. Pengertian ... 17
2. Prinsip pemisahan ... 19
3. Kinerja GC ... 20
4. Instrumentasi ... 22
F. Validasi Metode Analisis ... 29
1. Akurasi ... 30
2. Presisi ... 30
(15)
xii
4. Limit of Quantitation (LOQ) ... 31
G. Metode Kuantifikasi ... 31
1. Metode standar eksternal... 32
2. Metode standar internal ... 32
3. Metode standar adisi ... 33
H. Landasan Teori ... 34
I. Hipotesis ... 35
BAB III METODE PENELITIAN... 38
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 38
B. Variabel Penelitian ... 38
1. Variabel bebas ... 38
2. Variabel tergantung ... 38
3. Variabel pengacau terkendali ... 39
C. Definisi Operasional... 39
D. Bahan Penelitian... 40
E. Alat Penelitian ... 41
F. Tata Cara Penelitian ... 41
1. Uji kesesuaian sistem GC-ECD ... 41
2. Preparasi sampel dengan metode QUeChERS ... 42
3. Pembuatan seri larutan baku Difenokonazol... 42
(16)
xiii
5. Validasi metode analisis ... 47
G. Analisis Hasil ... 50
H. Rancangan Penelitian ... 55
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 65
A. Uji Kesesuaian Sistem GC-ECD ... 66
1. Optimasi instrument GC-ECD ... 66
2. Kinerja instrument GC-ECD ... 67
B. Preparasi Sampel dengan Metode QuEChERS ... 77
C. Validasi Metode Analisis ... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 102
LAMPIRAN ... 106
(17)
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Kandungan dan Komposisi Gizi Buah Melon Tiap 100 gram ... 10
Tabel II. Kriteria Validasi ... 30
Tabel III. Hasil Optimasi Kondisi GC ... 67
Tabel IV. Nilai Rata-rata N, Rs, danTF Puncak Difenokonazol Kurva Baku Solven ... 69
Tabel V.Nilai %RSD Kurva Baku Solven ... 71
Tabel VI. Uji Sensitivitas ... 74
Tabel VII. Nilai Response Factor ... 75
Tabel VIII. Nilai %D... 77
Tabel IX. Kadar Air Buah dalam Melon ... 78
Tabel X. Hasil Optimasi Lama Sentrifugasi ... 80
Tabel XI. Penentuan Kapasitas SPE (Sigmaaldrich) ... 83
Tabel XII. Optimasi Penentuan Kapasitas SPE C18 ... 83
Tabel XIII. Nilai % Recovery Hasil Optimasi Kelayakan Penggunaan SPE Berulang ... 86
(18)
xv
Tabel XV. Nilai %Recovery Metode Adisi C ... 89
Tabel XVI. Nilai SD, Dan %RSD Metode Adisi C ... 90
Tabel XVII. Nilai %Recovery Metode Adisi B ... 90
Tabel XVIII. Nilai SD, Dan %RSD Metode Adisi B ... 90
Tabel XIX. Nilai %Recovery, SD,Dan %RSD Metode Adisi A ... 91
Tabel XX. Nilai N, Rs, TF Dan Tr Dari Kurva Adisi ... 95
Tabel XXI. Hasil % Recovery pada Kisaran 0,263-0,789 ng... 95
(19)
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Difenokonazol ... 7
Gambar 2. Proses Skematik Prosedur Spe ... 12
Gambar 3. Diagram Skematik Kromatografi Gas ... 22
Gambar 4. Struktur Difenokonazol ... 66
Gambar 5. Kromatogram Difenokonazol dalam Pelarut Heksan... 68
Gambar 6. Kurva Baku Solvent antara Luas Puncak Difenokonazol/DCB vs Kadar Difenokonazol ... 73
Gambar 7. Luas Puncak Difenokonazol yang Diperoleh dari Hasil Fraksinasi setelah Washing dengan 5% Meoh Vs 100% UPW ... 84
Gambar 8. Luas Puncak Difenokonazol Hasil Elusi Difenokonazol dalam SPE C18 per mL metanol ... 85
Gambar 9.Linearitas Kurva Adisi ... 93
(20)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Resolusi (Rs) ... 105
Lampiran 2. Perhitungan IDL & IQL ... 106
Lampiran 3. Certificate Of Analysis DCB ... 109
Lampiran 4. Certificate Of Analysis Asetonitril ... 110
Lampiran 5. Certificate Of Analysis Heksan... 111
Lampiran 6. Certificate Of Analysis Metanol ... 112
Lampiran 7. Certificate Of Analysis MgSO4 ... 114
Lampiran 8. Certificate Of Analysis Na2Hsitrat ... 115
Lampiran 9. Certificate Of Analysis Na3Sitrat ... 116
Lampiran 10. Certificate Of Analysis NaCl ... 117
Lampiran 11. Certificate Of Analysis Formulasi Difenokonazol Donasi dari PT.Syngenta ... 118
(21)
xviii
INTISARI
Kondisi iklim tropis Indonesia yang panas dan lembab memicu perkembangan dan penyebaran jamur antaknosa (Colletotrichum gloesporioides) menyebakan kerusakan pada buah melon (Cucumis melo L.). Untuk mengontrol jamur antraknosa, para petani menggunakan difenokonazol. Oleh karena itu, untuk menjamin konsumen, tingkat residue difenokonazol yang tertinggal dalam melon diawasi. Tujuan dari studi ini adalah menvalidasi metode analisis untuk residu difenokonazol dalam buah melon, agar metode ini dapat diterapkan untuk analisis residu pestisida di laboratorium Indonesia.
Proses ektraksi pada pengembangan metode ini dibantu dnegan metode LLE dari QuEChERS, dimana proses cleanup menggunakan SPE C18 dan determinasi
menggunakan GC-ECD serta kuantifikasi standar internal menggunakan dekaklorobifenil (DCB). Performa kerja GC-ECD menunjukan presisi dari rasio area, waktu retensi <20%, ketika integritas standar menujukan RSD dari response factor dan %difference <20%. Range linearitaspada konsentrasi 0,053-0,526 ng dengan r 0,890 - 0,999, Instrumental Detection Limit (IDL) 0,01-0,07 ng/ml dan Instrumental Quantitation Limit (IQL) 1,06 ng/g . Recovery fortifikasi sampel ekstrak blank pada konsentrasi 0,158-0,684 ng sebesar 86-91 % dan tidak ada efek matrik secara signifikan. Kesalahan pada tahap ekstraksi, cleanup dan determinasi secara berturut-turut 0,133%, 8,753%, dan 8,670%. Recovery fortifikasi sampel pada 0,158-0,684ng sebesar 71-115% . LOQ sebesar 0,002 g/g dan LLMV 7,364 ng/g, oleh karena itu metode ini sesuai untuk mengawasi kadar residu difenokonazol dalam buah melon, yang memiliki Batas Maksimum Residu (BMR) sebesar 0,7 mg/kg.
Kata kunci : Difenokonazol, Residu pestisida, Amistartop, QuEChERS, Solid Phase Extraxtion, GC-ECD , Validasi Metode.
(22)
xix
ABSTRACT
Indonesian tropical climate which is warm and humid promote the development and spread antrachnose (Colletotrichum gloesporioides) causing significant damage in melon (Cucumis melo L.). To control the antracmose, farmers used difenoconazole. For that reason, to assure the safety of the consumer, the level of difenoconazole residue in melon should be monitored. The purpose of this study is to develop a valid analytical method for difenoconazole residue in melon can be done in common pesticide residue laboratory in Indonesia.
The extraction process of the development method was done following the assisted LLE method of the QuEChERS, while the clean-up process was done using C18 SPE catridge and determinate by GC-ECD and quantified by internal
standardization using decachlorobiphenyl (DCB) as internal standard. The performance of the GC-ECD shows precision of ratio area, retention time less than 20%, while the standard integrity shows RSD of the response factor and %difference <20%. Linearity range was 0,053-0,526 ng with r 0,890-0,999,. Instrumental detection Limit (IDL) was 0,01-0,07 ng/ml and Instrumental Quantitation Limit (IQL) was 1,06 ng/g, Recovery of fortified blank extract at 0,158-0,684 ng was 86-91% and no matrix effect was observed. The error at extraction step, cleanup step and determination step were 0,133%, 8,753%, and 8,670 % respectively. The recovery of Fortified sample at 0,158–0,684 ng was 71-115%. The LOQ was 0,002 g/g and the LLMV 7,364 ng/g, therefore this method is fit for monitoring difenoconazole residue in melon, which has Maximum Residue Limit (MRL) of 0.7 mg/kg.
Key words: Difenokonazol, Pesticide residue, Amistartop, QuEChERS, Solid Phase Extraxtion, GC-ECD, method validation
(23)
1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris, Sebagian besar penduduk Indonesia
bermata pencaharian sebagai petani. Budidaya tanaman hortikultura yang meliputi
sayuran dan buah-buahan semakin banyak diminati petani, karena komoditas ini
mampu memberikan keuntungan lebih tinggi dibandingkan padi dan palawija dalam
luas area tanam yang sama. Salah satu komoditas hortikultura yang dimaksud adalah
tanaman melon (Samadi,2007).
Melon merupakan salah satu buah yang ekslusif, yang telah memasyarakat.
Melon banyak dibudidayakan di Bogor, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta,
Jawa Tengah (seperti Sukoharjo, Surakarta, Sragen, Karanganyar dan Klaten), dan
Jawa Timur (Malang, Ngawi, Walikukun, Kedung Galar, Ngrambe, Pacitan,
Madiun). Buah ini sangat digemari, terutama apabila dihidangkan sebagai buah segar.
Di dalam perusahaan makanan dan minuman, melon sering kali dimanfaatkan sebagai
bahan penyedap rasa untuk memberikan aroma segar yang khas dari buah melon.
Selain itu saat ini sedang gencar mengenai ekspor buah tropis. Pasar ekspor dunia
menuntut pengadaan buah-buah tropis untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Salah
(24)
pengadaan buah melon, karena adanya kendala-kendala dalam budidaya buah melon.
Saat ini Indonesia hanya mampu mengekspor buah melon satu bulan sekali.
Iklim tropis di Indonesia menyebabkan budidaya melon tidak terlepas dari
adanya kendala serangan hama penyakit terutama karena jamur antraknosa. Adanya
serangan hama penyakit yang berat dapat menurunkan produktivitas tanaman, bahkan
menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pengendalian
pemberantasan hama dan penyakit. Pengendalian dan pemberantasan fungi umumnya
menggunakan fungisida yang berlebihan sehingga dapat membahayakan kesehatan
konsumen. Sehingga untuk melindungi kesehatan konsumen nasional dan
internasional perlu diadakan pengawasan terhadap kadar fungisida agar tidak
melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan (Sudarmo,1999).
Fungisida adalah bahan kimia yang dipergunakan untuk membunuh dan
menghentikan perkembangan jamur. Fungisida yang popular digunakan oleh petani
saat ini adalah AMISTARTOP Azoxystrobin 200 g/L dan Difenokonazol 125 g/L.
Penggunaannya menurut INDOGAP sesuai label adalah maksimum tiga kali aplikasi
dengan konsentrasi 0,5 mL/L. Komposisi fungisida terdiri dari dua bahan zat atau
senyawa kimia yaitu difenokonazol dan azoxystrobin. Difenokonazol merupakan
bahan aktif fungisida golongan tiga yang menghambat pertumbuhan mycelia, dimana
pertumbuhan jamur/fungi menjadi lambat atau berhenti dan efektif untuk mencegah
infeksi selanjutnya atau invasi dari jaringan-jaringan host. Penggunaan dan aplikasi
(25)
residu pestisida. Residu fungisida difenokonazol dengan kadar tertentu pada tanaman
dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu untuk
menjamin bahwa melon asal Indonesia layak konsumsi tanpa adanya dampak negatif
dari residu pestisida perlu dilakukan analisis dengan metode analisis yang valid.
Analisis penetapan kadar residu pestisida dengan kadar yang kecil pada buah
melon, diperlukan suatu pengembangan metode yang selektif dan sensitif. Dalam
beberapa tahun terakhir ini, salah satu metode analisis baku yang sering digunakan
untuk menganalisis residu pestisida adalah metode baku AOAC 2007.01 yaitu
analisis multiresidu dengan dasar QuEChERS (Quick, Easy, Cheap, Effective,
Rugged, and Safe) yang dalam ekstraksinya menggunakan asetonitril, clean-up
sampel cukup dilakukan dengan dispersive Solid Phase Extraction (d-SPE) kemudian
dideterminasi dengan LC/MS/MS. Analisis dengan LC/MS/MS menjadi kendala bagi
para analisis residu pestisida di Indonesia. Pada umumnya laboratorium analisisis di
Indonesia tidak memiliki instrumen tersebut, begitu juga metode residu
difenokonazol pada matriks buah melon belum tersedia. Oleh karena itu untuk
mengatasi masalah tersebut diperlukan suatu modifikasi metode dengan instrumen
yang mudah ditemui tanpa mengurangi selektifitas dan sensitifitas. Pada penelitian
ini modifikasi QuEChERS dilakukan dengan kromatografi Gas (GC) yang dilengkapi
detektor penangkap elektron (ECD) yang kurang spesifik jika dibandingkan dengan
LC MS/MS. Perlu adanya penyesuaian terutama pada tahap clean-up yang
(26)
1. Permasalahan
Dari uraian masalah di atas, dapat disampaikan perumusan masalah :
a. Apakah instrumen GC-ECD (electron Capture Detector/ECD) sesuai untuk
penetapan kadar residu difenokonazol dalam matriks buah melon?
b. Bagaimana proses validasi metode analisis modifikasi QuEChERS untuk
analisis residu difenokonazol dalam matriks buah melon?
c. Bagaimana optimasi proses ekstraksi dan clean-up residu difenokonazol
dalam matriks buah melon dengan SPE?
2. Keaslian penelitian
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai “Validasi Metode Analisis Residu Difenokonazol dalam Buah Melon (Cucumis melo L.)”.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat metodologis.Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tambahan
terhadap perkembangan metode QuEChERS dalam analisis residu fungisida
difenokonazol dengan menggunakan Gas Chromatography (GC) pada sampel
buah melon.
b. Manfaat praktis. Penelitian ini dapat digunakan sebagai prosedur analisis
penetapan kadar residu fungisida difenokonazol dalam buah melon dengan
hasil yang akurat dengan menggunakan Gas Chromatography Electron
(27)
B. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah
1. Mengembangkan metode QuEChERS dalam analisis penetapan kadar residu
fungisida difenokonazol dalam buah melon hingga didapatkan hasil yang
valid.
2. Mampu melakukan validasi metode analisis residu difenokonazol pada buah
melon (Cucumis melo L.) dengan instrumen Gas Chromatography Electron
Capture Detector (GC-ECD).
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Mengetahui proses ekstraksi QuEChERS serta pelarut yang cocok untuk
mencari difenokonazol dari buah melon ( Cucumis melo L.).
2. Mendapatkan komposisi fase diam dan fase gerak optimum pada proses
clean-up menggunakan SPE C18.
3. Mampu menetapkan kadar residu pestisida difenokonazol dengan kondisi
(28)
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Difenokonazol
Difenokonazol merupakan fungisida spektrum luas yang digunakan untuk
berbagai penyakit pada berbagai buah, sayur, sereal dan tanaman lainnya. Fungisida
difenokonazol termasuk golongan fungisida triazol yang bekerja secara sistemik dan
memiliki daya preventif dan kuratif. Difenokonazol bekerja menghambat demetilasi
selama sintesis ergosterol sehingga menghentikan perkembangan jamur.
Difenokonazol merupakan molekul yang berpotensi dapat bergerak, tidak mudah
untuk dicuci karena kelarutan dalam air rendah. Difenokonazol tidak volatil, persisten
di dalam tanah dan pada lingkungan akuatik (Anonim1, 2015). Nama umum : difenokonazol
Sinonim : CGA 169374
Nama IUPAC
:1-[2-[2-chloro-4-(4-chloro-phenoxy)-phenyl]-4-methyl[1,3]dioxolan-2-ylmethyl]-1H-1,2,4-triazole
Rumus molekul : C19H17Cl2N3O3
(29)
Rumus struktur (terdapat dua cincin karbon kiral pada struktur difenokonazol yang
menghasilkan diastereoisomer pasangan cis-trans) :
Gambar 1. Struktur Difenokonazol (EFSA, 2011). 1. Sifat Fisika Kimia
Bentuk fisik : putih, tidak berbau, bubuk Kristal halus
Titik lebur : 82-83 ºC
Titik didih : 100,8 ºC pada 3,7 mPa
Suhu dekomposisi : 337 ºC
Kepadatan relatif : 1,39 pada 22 ºC
Tekanan uap : 3,32 × 10-8 Pa pada 25 ºC Kelarutan di dalam air : 15 mg/L pada 25 ºC
Log Pow (koefisien partisi) : 4,4 pada 25 ºC
Konstanta disosiasi dalam pKa : 1,1 pada 20 ºC
Konstanta Henry‟s law : 9,0 × 10-7 Pa m3 mol-1 pada 25 ºC Kelarutan dalam pelarut organic : Aseton > 500 g/L
Diklorometan > 500 g/L
(30)
Hexan 3,0 g/L
Metanol > 500 g/L
Oktanol 110 g/L
Toluen > 500 g/L
(EFSA, 2011).
2. Toksisitas
Toksisitas Akut
LD50 oral pada tikus : 1453 mg/kg bb
LD50 oral pada mencit : > 2000 mg/kg bb
LD50 dermal pada kelinci : > 2010 mg/kg bb
LD50 inhalasi pada tikus : > 3,3 mg/L (4 jam paparan)
Iritasi kulit : tidak iritasi
Iritasi mata : tidak iritasi
Toksisitas Jangka Pendek
Target/Efek : Tikus : penurunan berat badan dan jantung, penurunan
nafsu makan dan minum, liver (pada dosis tinggi
setelah paparan secara oral), liver dan tiroid setalah
paparan secara dermal
Mencit : penurunan berat badan, penurunan berat
indung telur, liver (pembesaran dan peningkatan berat,
(31)
Anjing : penurunan berat badan, liver (berat meningkat
dan perubahan secara klinis), pembentukan katarak
(pada dosis tinggi)
NOAEL oral : Rat : 20 mg/kgbb/d (90 hari)
Mouse : 34 mg/kgbb/d (90 hari)
Anjing : 31 mg/kgbb/d (28 minggu)
NOAEL dermal : Rat : 100 mg/kgbb/d (28 hari)
Genotoksisitas : difenokonazol mungkin menjadi genotoksik secara in
vivo
Toksisitas Jangka Panjang dan Karsinogenisitas
Target/Efek : Rat : penurunan berat badan, liver (berat relative
meningkat, hepatosit hipertropi)
Tikus : penurunan berat badan, liver (berat meningkat,
perubahan histopatologi termasuk nekrosis, hipertropi,
perubahan lemak dan stasis empedu)
NOAEL : Rat : 1,0 mg/kgbb/d (2 tahun)
Tikus : 4,7 mg/kgbb/d (18 bulan)
Karsinogenisitas : adenoma/karsinoma liver pada mice, hanya pada dosis
tinggi, difenokonazol dianggap tidak menimbulkan
(32)
Toksisitas Reproduksi
Target/Efek : Parental : menurunkan berat badan
Keturunan : menurunkan berat badan melalui laktasi
Reproduksi : tidak ada efek samping
NOAEL parental : 16,8 mg/kgbb/d
NOAEL reproduksi : 189 mg/kgbb/d
NOAEL keturunan : 16,8 mg/kgbb/d
Toksisitas Perkembangan
Target/Efek : Perkembangan : variasi skeletal (rat), peningkatan
jumlah resorpsi (rat, rabbit)
Maternal : penurunan berat badan dan nafsu makan
(rat, kelinci), aborsi dan kematian
NOAEL maternal : Rat : 15,6 mg/kg bb/d
Kelinci : 25 mg/kgbb/d
NOAEL perkembangan : Rat : 15,6 mg/kg bb/d
Kelinci : 25 mg/kgbb/d
Neurotoksisitas
Neurotoksisitas akut : data tidak tersedia, tidak ada indikasi neurotoksik
pada studi toksisitas akut
Neurotoksisitas berulang : data tidak tersedia, tidak ada indikasi neurotoksik
pada studi toksisitas akut
(33)
B. Kandungan Buah Melon
Kandungan gizi buah melon dapat dilihat pada Tabel.
Tabel I. Kandungan dan Komposisi Gizi Buah Melon tiap 100 gram
Komposisi Gizi Banyaknya (Jumlah)
Energi 29 kcal.
Protein 0,50 gram
Lemak 0,10 gram
Karbohidrat 6,8 gram
Serat 0,70 gram
Abu 0,70 gram
Kalsium 6 mg
Fosfor 6 mg
Kalium 180,00 mg
Zat besi 0,18 mg
Natrium 11 mg
Thiamin 0,07 mg
Riboflavin 0,01 mg
Vitamin B6 0,07 mg
Vitamin C 8,0 mg
Niacin 0,40 mg
Air 91,0 gram
(34)
C. Solid Phase Extraction (SPE)
SPE C18 kolom digunakan untuk menyaring komponen matriks sampel
nonpolar, terutama pigmen dari ekstrak sampel. Ketika suatu ekstrak yang dielusikan
dengan asetonitril-air, aseton-air, atau asetonitril ke dalam kolom SPE C18, maka
pigmen dan lipid yang bersifat non-polar akan tertahan didalam kolom.
Dua strategi yang diterapkan dalam clean-up SPE untuk ekstrak sampel yaitu
isolasi analit dan isolasi matriks. Pada isolasi analit, analit akan teradsorbsi dalam
sorben SPE non polar. Kolom SPE dapat dibilas dengan larutan berair untuk
menghilangkan campuran koekstraktan, diikuti elusi dari analit yang terjebak dalam
kolom dengan pelarut organik. Analit pestisida dielusi melalui kolom. Strategi kedua
isolasi matriks, strategi ini lebih banyak digunakan dalam clean-up residu pestisida.
Pada umumnya prosedur clean-up dengan SPE isolasi matriks dirancang untuk
menjebak komponen matriks dalam kolom dan mengelusi baik pestisida polar
maupun non-polar melalui kolom.
(35)
GC merupakan suatu metode deteksi yang selektif terutama untuk determinasi
pestisida. Sistem GC digunakan untuk skrining berbagai pestisida yang mengandung
heteroatom seperti halogen, fosfor, sulfur dan nitrogen. Detektor sistem GC tidak
hanya memiliki sensitivitas yang tinggi, tetapi juga memiliki spesifitas yang baik,
oleh karena itu suatu clean-up sampel dipersyaratkan sebelum suatu sampel
dideterminasi dengan GC. Pada metode QuEChERS, sampel diekstraksi dengan
gojogan yang kuat dalam pelarut asetonitril. Magnesium sulfat dan NaCl
ditambahkan dan kemudian gojog kuat dan di sentrifugasi. Aliquot yang
menghasilkan supernatan kemudian di clean-up menggunakan dispersive SPE,
dicampur dengan sorben SPE PSA dan MgSO4. Beberapa tipe kolom yang sering
digunakan untuk clean-up dengan SPE yaitu C18, styrene-divivyl benzene (SDVB),
aminopropyl (NH2) , primary secondary amine (PSA), trimethyl ammonium strong
exchange (SAX), graphitized carbon black (GCB), florisil, silica, dan alumina.
Analysis of pesticides in food and environmental sampel (Tadeo,2008)
Ada empat tahapan dalam prosedur SPE yaitu
a. Pengkondisian
Kolom penjerap dialiri dengan menggunakan pelarut sampel untuk
membasahi permukaan penjerap dan untuk menciptakan nilai pH yang sama,
sehingga perubahan-perubahan kimia yang tidak diinginkan ketika sampel
diaplikasikan dapat dihindari. Penjerap nonpolar dan penjerap penukar ion
(36)
b. Retensi sampel. Sampel dalam pelarut organik dilewatkan ke catridge baik
untuk menahan analit yang dituju, sementara komponen lain terelusi atau
untuk menahan komponen yang tidak diharapkan sementara analit yang
diharapkan terelusi.
c. Pembilasan. Seluruh komponen yang tidak tertahan oleh penjerap selama
tahap retensi.
d. Elusi. Tahap akhir dari penggunaan SPE untuk mengambil analit yang dituju
jika analit tersebut tetahan pada penjerap (Gandjar dan Rohman, 2009).
D. Ekstraksi
Liquid-liquid Extraction (LLE) merupakan salah satu ekstraksi yang sering
digunakan untuk memisahkan suatu analit dari komponen lain yang tidak diharapkan.
LLE adalah suatu metode pemisahan dengan menggunakan 2 fase pelarut yang saling
tidak bercampur dengan memperhatikan nilai P-nya. Metode ini digunakan dengan
menggunakan tabung sentrifuge dimana hanya memerlukan sampel yang lebih sedikit
(Cairns, 2004).
Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau
clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen matriks
yang mungkin mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Di samping itu,
ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel
dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan untuk deteksi
(37)
Dalam bentuk paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan
pelarut organik yang tidak campur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi
cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat
non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzen, atau diklorometan. Meskipun
demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam
air) juga mungkin terjadi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah
molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang bersifat non
polar atau agak polar. Sementara itu, senyawa-senyawa polar dan senyawa-senyawa
yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan dalam fase air (Gandjar dan Rohman,
2007).
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang
menyatakan bahwa “Pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling tidak
campur.” Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam 2 fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD) dan dirumuskan sebagai
berikut: KD =
Keterangan:
KD = koefisien partisi
[S]org = konsentrasi analit dalam fase organik
(38)
Pada prakteknya, analit seringkali berada dalam bentuk kimia yang berbeda
karena adanya disosiasi (ionisasi), protonasi, dan juga kompleksasi atau polimerasi
karenanya ekspreksi yang lebih berguna adalah rasio distribusi atau rasio partisi (D).
Persamaannya adalah sebagai berikut:
D =
Keterangan:
D = rasio partisi
(Cs)org = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase organik
(Cs)aq = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase air
Analit yang mempunyai rasio distribusi besar (104 atau lebih) akan mudah
terekstraksi ke dalam pelarut organik meskipun proses kesetimbangan (yang) berarti
100% solut terekstraksi atau tertahan) tidak pernah terjadi (Gandjar dan Rohman,
2007). Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam
waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektivitas ekstraksi analit dengan rasio
distribusi yang kecil (< 1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut
baru pada larutan sampel secara terus menerus (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang
mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (< 10%), dapat menguap sehingga
memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan
mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel
(39)
Beberapa masalah yang sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi pelarut
yaitu terbentuknya emulsi, analit terikat kuat pada partikulat, analit terserap oleh
partikulat yang mungkin ada, analit terikat pada senyawa yang mempunyai berat
molekul tinggi, dan adanya kelarutan analit secara bersama-sama dalam kedua fase.
Terjadinya emulsi merupakan hal yang paling sering dijumpai. Oleh karena itu, jika
emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery yang diperoleh kurang baik.
Emulsi dapat dipecah dengan cara:
a. Penambahan garam ke dalam fase air
b. Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan
c. Penyaringan melalui glass-wool
d. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring
e. Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda
f. Sentrifugasi (Gandjar dan Rohman, 2007).
E. Gas Chromatography( GC) 1. Pengertian
Kromatografi adalah suatu metode pemisahan campuran yang
didasarkan pada perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran
tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Berdasarkan fase
gerak yang digunakan, kromatografi dibedakan menjadi dua golongan besar
yaitu kromatografi gas dan kromatografi cair (McNair & Miller, 1998).
Kromatografi gas adalah teknik pemisahan yang mana solut-solut yang
(40)
mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio
distribusinya (Gandjar dan Rohman, 2007).
Kromatografi gas pada dasarnya merupakan metode pemisahan yang
tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tanpa menggunakan
baku pembanding. Optimasi kromatografi gas antara lain sensitivitas dan
selekstivitas/spesifitas instrumen terhadap analit yang dianalisis. Polaritas dan
volatilitas dari komponen yang akan dipisahkan menjadi pertimbangan untuk
memilih fase diam yang cocok (Grob, 1995).
Kromatografi Gas merupakan teknik analisis yang cepat, memiliki
hasil yang baik untuk analisis pestisida multikomponen, memiliki sensitifitas
tinggi dengan detektor yang spesifik (Nollet, 2004). Kromatografi gas dapat
digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif
dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi dari komponen yang
kita analisis dengan waktu retensi zat baku pembanding (standar) pada kondisi
analisis yang sama. Analisis kuantitatif diakukan dengan cara perhitungan
relatif dari tinggi atau luas puncak kromatogram komponen yang dianalisis
terhadap zat baku pembanding (standar) yang dianalisis (Johnson &
Stevenson, 1991).
Komponen-komponen yang akan dipisahkan didistribusikan diantara
fase diam dan fase gerak. Suatu kromatografi gas yang baik terdiri dari
(41)
injektor, kolom, oven, detektor, dan pencatat signal (Rouessac dan Annick
2007; Orejuela dan Silva, 2004).
2. Prinsip pemisahan
Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu
senyawa dikurangi dengan interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan
fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom
lalu menghantarkannya ke detektor. Fase gerak dalam kromatografi gas juga
biasa disebut sebagai gas pembawa. Syarat gas pembawa adalah tidak reaktif,
dan murni/kering karena kalau tidak murni akan berpengaruh pada detektor
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Pada kromatografi gas, fase diam selalu ditempatkan di dalam sebuah
kolom. Fase diam ini dapat berupa suatu padatan ( Kromatografi Gas-Padat/
Gas Solid Chromatography). Cara penyerapan komponen pada kromatografi
gas padat merupakan proses adsorpsi pada permukaan, sedangkan
Kromatografi Gas Cair dinamakan kromatografi partisi (Soeryadi,1997).
Pemisahan pada kromatografi gas dapat dilakukan pada suhu tetap
yang basanya disebut dengan pemisahan isotermal dan dapat dilakukan
dengan menggunakan suhu yang berubah secara terkendali yang disebut
dengan pemisahan suhu terprogram. Pemisahan isotermal paling baik dipakai
pada analisis rutin atau jika kita mengetahui agak banyak sifat sampel yang
akan dipisahkan. Pilihan awal pada pemisahan isotermal ini adalah suhu yang
(42)
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan penggunaan pemisahan
isotemal ini, yaitu: (1) terkait dengan pemilihan suhu. Jika suhu yang
diguanakan terlalu tinggi maka komponen akan terelusi tanpa terpisah,
sementara jika suhu terlalu rendah maka komponen yang bertitik didih tinggi
akan keluar sangat lambat atau bahkan tetap dalam kolom sehingga akan
mengacaukan proses kromatografi selanjutnya, dan (2) terkait dengan proses
kromatografi, karena makin lama suatu sampel dalam kolom maka semakin
lebar alas puncaknya. Kedua hal ini dapat diatasi jika digunakan pemisahan
dengan suhu terprogram (Gandjar & Rohman,2007).
Pemisahan dengan suhu terprogram mempunyai keuntungan, yakni
mampu meningkatkan resolusi komponen-komponen dalam suatu campuran
yang mempunyai titik didih pada kisaran yang luas. Disamping itu, pada suhu
terprogram juga mampu mempercepat keseluruhan waktu analisis, karena
senyawa-senyawa dengan titik didih tinggi akan terelusi lebih cepat (Gandjar
& Rohman,2007).
3. Kinerja GC
Pemisahan yang terjadi pada analisis dengan kromatografi gas
dipengaruhi oleh efisiensi kolom dan efisiensi pelarut. Efisiensi kolom
menentukan pelebaran puncak kromatogram. Efisiensi kolom dapat diukur
dengan menghitung jumlah lempeng teoritis (N) dan panjang kolom yang
sesuai dengan plat teoritis (Height Equivalent to a Theoritical Plate, HETP).
(43)
komponen cuplikan diantara fase gerak yang bergerak dan fase diam yang
diam. Semakin banyak jumlah lempeng teoritis, semakin kecil HETP, maka
efisiensi kolom meningkat dan pemisahan yang terjadi akan semakin baik (
Jennings, et all., 1987).
Faktor ikutan didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak tepi
muka sampai tepi belakang puncak dibagi dua kali jarak dari maksimum
puncak sampai tepi muka puncak, jarak-jarak tersebut diukur pada titik yang
ketinggiannya 5% dari tinggi puncak di atas garis dasar. Untuk suatu puncak
yang simetris, factor ikutan (Tf) besarnya satu, dan besarnya harga Tf ini akan
bertambah jika kromatogram semakin tambah berekor (Jennings, et all.,
1987).
Pemisahan yang sebenarnya dari dua puncak yang berurutan diukur
dengan resolusi atau daya pisah. Resolusi merupakan suatu ukuran
keefisienan kolom dan pelarut yang dapat menerangkan sempitnya puncak
dan juga pemisahan antara dua maksimum puncak. Resolusi didefinisikan
sebagai jarak antara dua puncak dibagi dengan jumlah lebar masing-masing
puncak dengan diukur dari alas puncak. Bila nilai resolusi adalah 1 maka
kesempurnaan pemisahan dua puncak adalah 99,7%. Umumnya dalam
praktek, nilai resolusi 1,0 tidak cukup baik karena derajat overlap. Pemisahan
yang baik dicapai pada resolusi sekitar 1,5 atau lebih (Wittkowski &
Matissek,1990).
(44)
Pada gambar dibawah ini dapat dilihat skematik dari komponen GC-ECD:
Gambar 3. Diagram skematik kromatografi gas (Nagel, 2004)
1. Gas pembawa. Fase gerak dalam kromatografi gas disebut gas pembawa dan
harus murni dan inert secara kimia. Gas pembawa yang umumnya digunakan
adalah helium, nitrogen, argon, dan hidrogen (Skoog, West, Holler,and
Crouch, 2004).
Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik dan
jenis detektor yang digunakan. Gas pembawa untuk detektor ECD biasanya
adalah N2 dengan kecepatan alir 30-60 mL/menit.Untuk setiap pemisahan
dengan kromatografi gas terdapat kecepatan optimum gas pembawa yang
tergantung pada diameter kolom. Kolom kapiler menggunakan kecepatan alir
gas yang rendah, yakni antara 0,2 – 2 mL/menit. Karena kecepatan alir gas pembawa pada kolom kapiler sangat rendah, maka pada kebanyakan detektor
ditambah gas tambahan yang ditambahkan ke dalam eluen setelah keluar dari
(45)
gas pembawa, meskipun kadangkala digunakan helium. Gas pembawa bekerja
paling efisien pada kecepatan alir tertentu. Gas nitrogen akan efisien jika
digunakan dengan kecepatan alir ± 10 mL/menit, sementara helium akan
efisien pada kecepatan alir 40 mL/menit (Gandjar dan Rohman, 2007).
2. Sample Injector. Ruang injektor atau inlet berfungsi untuk menghantarkan
sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan dikromatografi
dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik yang biasanya
berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang suntik
harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan umumnya 10 – 15 ºC lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum. Jadi seluruh sampel akan
menguap segera setelah sampel disuntikkan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pada kolom kapiler, sampel yang diperlukan sangat sedikit bahkan
sampai 0,01 μL, karenanya berbeda dengan kolom kemas yang memerlukan 1
–100 μL sampel. Karena pengukuran secara akurat sulit dilakukan jika sampel yang disuntikkan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka ditempuh suatu cara
untuk mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan. Salah satu cara yang
dilakukan adalah dengan menggunakan teknik pemecah suntikan (split
injection). Dengan menggunakan pemecah suntikan ini, sampel yang
banyaknya diketahui, disuntikkan ke dalam aliran gas pembawa dan sebelum
masuk ke kolom, gas pembawa ini dibagi menjadi 2 aliran. Satu aliran masuk
ke dalam kolom dan satunya lagi akan dibuang. Aliran relatif dalam kedua
(46)
aliran yang dibuang. Laju alir di dalam kedua aliran diukur dan ditentukan
nisbah (rasio) pemecahannya. Jika 1 μL sampel dimasukkan ke dalam pemecah aliran yang mempunyai nisbah pemecahan 1:100, maka sebanyak
0,01 μL sampel masuk ke dalam kolom dan sisanya akan dibuang (Gandjar dan Rohman, 2007).
3. Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di
dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen
sentral pada kromatografi gas. Terdapat 2 jenis tipe kolom yang digunakan
dalam gas kromatografi, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler atau sering
disebut open tubular columns. Dahulu, lebih banyak digunakan kolom kemas
untuk melakukan analisis menggunakan gas kromatografi. Untuk aplikasi
masa kini, kolom kemas digantikan dengan kolom kapiler karena lebih efisien
dan lebih cepat (Skoog, West, Holler, and Crouch, 2004). Semakin sempit
diameter kolom, maka efisiensi pemisahan kolom semakin besar atau puncak
kromatogram yang dihasilkan semakin tajam. Pada umumnya, seorang analis
akan memilih kolom dengan diameter 0,2 mm atau yang lebih kecil ketika
menganalisis sampel dengan konsentrasi sekelumit atau ketika seorang analis
akan memisahkan komponen yang sangat kompleks (Gandjar dan Rohman,
2007). Kolom kapiler terbuat dari silica (SiO2) dan dilapisi dengan polymide
(plastik yang mampu menahan suhu 350 ºC). Pada bagian dalam terdapat
rongga yang menyerupai pipa, oleh karena itu kolom kapiler juga disebut
(47)
kolom. Terdapat 4 macam jenis lapisan pada kolom kapiler ini, yaitu: WCOT
(Wall Coated Open Tubular Column), SCOT (Support Coated Open Tubular
Column), PLOT (Porous Layer Open Tubular Column), dan FSOT (Fused
Silica Open Tubular Column). WCOT (Wall Coated Open Tubular Column)
memiliki 0,1–5 μm lapisan tipis fase diam cair yang terdapat pada dinding bagian dalam kolom. SCOT (Support Coated Open Tubular Column)
memiliki partikel solid yang dilapisi dengan fase diam cair yang terdapat pada
bagian dalam dinding. Pada PLOT (Porous Layer Open Tubular Column)
partikel padat sebagai fase diam aktif. Dengan besarnya luas area yang
dimiliki, SCOT dapat menampung sampel lebih besar daripada WCOT.
Performa SCOT berada diantara WCOT dan kolom kemas. Diameter dalam
kolom kapiler memiliki ukuran 0,10 – 0,53 mm dengan panjang 15 sampai 100 m, umumnya adalah 30 m (Harris, 2010). Menurut Moffat, Osselton, and
Widdop (2011) kolom kapiler menghasilkan resolusi, sensitivitas, daya tahan
yang lebih baik daripada kolom kemas. Kolom kapiler sangat banyak dipakai
atau lebih disukai oleh para ilmuwan. Salah satu penyebabnya adalah
kemampuan kolom kapiler memberikan harga jumlah plat teori yang sangat
besar (> 300.000 plat). Fase diam yang dipakai pada kolom kapiler dapat
bersifat non polar, polar, atau semi polar. Fase diam non polar yang paling
banyak digunakan adalah metil polisiloksan (HP-1; DB-1; SE- 30; CPSIL-5)
dan fenil 5%- metilpolisiloksan 95% (HP-5; DB-5; SE-52; CPSIL- 8). Fase
(48)
DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase diam yang polar adalah seperti
polietilen glikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M). Jenis fase
diam akan menentukan urutan elusi komponen-komponen dalam campuran.
Seorang analis harus memilih fase diam yang mampu memisahkan
komponen-komponen dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Kolom
kemas mengandung partikel padat berukuran halus yang dilapisi dengan fase
diam cair yang dapat menguap. Dibandingkan dengan kolom kapiler, kolom
kemas memiliki kapasitas sampel yang lebih besar tetapi menghasilkan
puncak lebih lebar, waktu retensi lebih lama, dan resolusi yang lebih buruk.
Kolom kemas umumya dibuat dari logam tahan karat atau gelas dengan
diameter dalam 3–6 mm dan panjang 1 – 5 m (Harris, 2010). Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin bertambah halusnya partikel fase diam ini.
Semakin kecil diameter partikel fase diam, maka efisiensinya akan meningkat.
Ukuran partikel fase diam biasanya berkisar antara 60 – 80 mesh (250 – 170
μm) (Gandjar dan Rohman, 2007).
4. Detektor penangkap electron (Electron capture detector/ECD). Detektor
penangkap elektron (ECD) merupakan detektor yang dilengkapi dengan
sumber radioaktif titrium atau 63Ni yang menghasilkan partikel-β. Partikel radioaktif ini bertubrukan dan mengioniasi gas pembawa (make up) gas.
Reaksi ini membentuk awan elektron yang stabil pada sel detektor ECD.
Analit yang mempunyai gugus elektronegatif akan menangkap elektron bebas
(49)
detektor ECD. Penangkapan elektron menyebabkan penurunan arus detektor
(Grob, 1995).
Bila fase gerak (gas pembawa N2) masuk ke dalam detektor maka
sinar β akan mengionisasi molekul N2 menjadi ion-ion N2+ dan menghasilkan
elektron (bebas) yang akan bergerak ke anoda dengan lambat. Dengan
demikian, di dalam ruangan detektor terdapat semacam awan elektron bebas
yang dengan lambat menuju anoda. Elektron-elektron yang terkumpul pada
anoda akan menghasilkan arus garis dasar (baseline curent) yang steady dan
memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila komponen sampel (senyawa
dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk ke ruang detektor yang
dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan menangkap elektron sehingga
membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini akan dibawa oleh fase gerak
(carrier gas). Akibatnya setiap partikel negatif dibawa keluar detektor, berarti
menyingkirkan satu elektron dari sistem sehingga arus listrik yang steady tadi
akan berkurang. Pengurangan arus ini akan dicatat oleh rekorder sebagai
puncak pada kromatogram ( Gandjar & Rohman, 2007).
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom
tempat keluar fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil
pemisahan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang
berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di
(50)
Detektor penangkap elektron (Electron Capture Detector/ECD)
menggunakan sumber radioaktif yaitu tritium (3H) atau nikel (63Ni) yang ditempatkan diantara dua elektroda. Tegangan listrik yang dipasang antara
katoda dan anoda tidak terlalu tinggi, antara 2-100 volt. Dasar kerja detektor
ini adalah penangkapan elektron oleh senyawa yang memiliki afinitas
terhadap elektron bebas, yaitu senyawa yang mempunyai unsur-unsur
elektronegatif (Gandjar danRohman, 2007). Bila fase gerak (gas pembawa N2)
masuk ke dalam detektor maka sinar β akan mengionisasi molekul N2 menjadi
ion dan menghasilkan elektron bebas yangakan bergerak ke anoda dengan
lambat. Dengan demikian, di dalam ruangan detektor terdapat semacam awan
elektron bebas yang dengan lambat menuju anoda. Elektron-elektron yang
terkumpul pada anoda akan menghasilkan arus garis dasar (baseline current)
yang steady dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila komponen
sampel (senyawa dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk ke
dalam ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan
menangkap elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul
ini akan dibawa oleh fase gerak (carrier gas). Akibatnya setiap partikel
negatif dibawa keluar detektor, berarti menyingkirkan satu elektron dari
sistem, sehingga arus listrik yang steady akan berkurang. Pengurangan arus
ini akan dicatat oleh rekorder sebagai puncak pada kromatogram (Gandjar dan
(51)
5. Oven.Pemilihan temperatur pada kromatografi gas tergantung pada beberapa
faktor. Temperatur injeksi harus relatif tinggi yang memberikan kecepetan
penguapan yang paling tinggi sehingga memberikan resolusi yang baik.
Temperatur injeksi terlalu tinggi dapat menyebabkan karet septum menjadi
rusak dan menyebabkan tempat injeksi menjadi kotor. Temperatur kolom
berhubungan dengan kecepatan, sensitivitas, dan resolusi. Pada temperatur
kolom yang tinggi, komponen sampel lebih banyak berada pada fase gas
sehingga akan cepat terleusi tetapi resolusi nya menjadi buruk. Pada
temperatur rendah, komponen sampel akan memiliki lebih banyak waktu
untuk berada pada fase diam dan terelusi secara perlahan, resolusi menjadi
meningkat tetapi sensitivitas menurun karena puncak yang dihasilkan akan
melebar. Temperatur detektor harus cukup tinggi untuk mencegah kondensasi
sampel (Christian, 2004).
F. Validasi metode analisis
Metode analisis merupakan serangkaian prosedur yang dapat diterima dalam mendapatkan hasil analisis suatu sampel. Validasi merupakan proses verifikasi metode yang sesuai dengan tujuan analisis. Metode dapat berupa hasil pengembangan metode lain, yang didapat dari suatu literatur atau bahkan dari pihak ketiga lainnya. Suatu metode mungkin diadaptasikan atau dimodifikasi untuk dapat memenuhi persyaratan dan kemampuan dari sebuah laboratorium dan atau untuk tujuan metode yang akan digunakan. Beberapa garis besar kriteria
(52)
validasi metode residu fungisida menurut CCPR 2003 meliputi akurasi, presisi, kisaran linearitas, linearitas, dan IQL (CCPR,2003).
Tabel II.Kriteria Validasi
a. Akurasi
Akurasi merupakan kedekatan nilai antara hasil uji dan hasil referensi yang diketahui. Akurasi dapat ditetapkan dari hasil perolehan kembali (% recovery). Recovery merupakan fraksi atau persentase dari perolehan kembali suatu analit setelah ekstraksi dan analisis sampel kosong yang telah ditambahkan standar dengan konsentrasi yang diketahui (adisi menggunakan reference material). Suatu % recovery yang dikatakan memenuhi parameter validasi metode residu fungisida jika berada pada rentang 70 - 120% untuk kisaran konsentrasi > 0,01 mg/kg ≤ 0,1 mg/kg ( CCPR, 2014).
b. Presisi
Presisi adalah Kedekatan antara hasil uji yang diperoleh di bawah kondisi yang ditetapkan. Presisi dapat ditentukan dengan ≥ 3 replikasi pada ≥ 5 level. Presisi
(53)
dapat ditetapkan dengan melihat % RSD. Suatu metode dikatakan memiliki keterulangan yang baik jika % RSD < 20 % (CCPR,2003).
c. Linearitas dan rentang
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004). Suatu linearitas metode analisis residu fungisida dapat dikatakan baik jika R2≥ 0,990 (CCPR,2003).
d. Limit of Quantitation(LOQ)
Konsentrasi terkecil analit yang dapat diukur. Umumnya didefinisikan sebagai konsentrasi minimum analit dalam sampel uji yang dapat ditentukan dengan presisi yang dapat diterima (pengulangan) dan akurasi di bawah kondisi yang dinyatakan dalam hasil uji. IQL yang dapat diterima harus kurang dari ½ MRL atau dibawah positive list sebesar 0.01 g/g (CCPR,2003).
G. Metode kuantifikasi
Metode kuantifikasi dan proses kalibrasi adalah sama digunakan pada
suatu teknik instrumenal untuk analisis senyawa organik seperti contohnya
pada instrumen kromatografi gas. Determinasi kuantitatif suatu komponen
organik didasarkan pada perbandingan respon instrumental dari suatu
senyawa yang tidak diketahui dengan kalibran. Kalibran disiapkan dengan
(54)
pendekatan untuk kuantifikasi yaitu dengan menggunakan metode standar
eksternal, metode standar internal dan metode standar adisi (Czichos, 2006).
1. Metode standar eksternal
Metode standar eksternal merupakan metode yang digunakan untuk
menetapkan konsentrasi senyawa yang tidak diketahui konsentrasinya
dalam suatu sampel dengan menggunakan plot kalibrasi kurva baku
eksternal. Larutan-larutan kurva baku eksternal disiapkan dan
dianalisis secara terpisah dari kromatogram senyawa tertentu yang ada
dalam sampel. Sampel yang mengandung senyawa tertentu yang akan
ditetapkan konsentrasinya dan telah disiapkan,selanjutnya diinjeksikan
dan dianalisis dengan cara yang sama. Konsentrasi senyawa tersebut
ditentukan dengan metode grafik dari plot kalibrasi atau secara
numeric (Rohman, 2009).
2. Metode standar internal
Metode standar internal berdasarkan pada perbandingan respon
relative dari analit terhadap respon satu atau lebih suatu
senyawa.Standar internal ditambahkan ke dalam sampel dan kalibran.
Baku stndar internal merupakan senyawa yang berbeda dengan analit ,
meskipun demikian senyawa ini harus terpisah dengan baik selama
proses pemisahan. Baku internal dapat menghilangkan pengaruh
karena adanya perubahan-perubahan pada ukuran sampel atau
(55)
atau konsentrasi darena variasi instrumen.suatu baku internal
digunakan jika suatu sampel memerlukan perlakuan sampel yang
sangat signifikan. Perlakuan yang dimaksud adalah tahapan-tahapan
yang meliputi derivatisasi, ekstraksi, filtrasi, dan sebagainya yang
mengakibatkan sampel berkurang. Jika baku internal ditambahkan
pada sampel sebelum dilakukan preparasi sampel, maka baku internal
dapat menjadi faktor koreksi hilangnya sampel-sampel ini. Dalam
penelitian ini baku internal yang digunakan adalah standar internal
DCB karena preparasi pada metode ini melewati tahapan-tahapan
ekstraksi yang cukup panjang.
3. Metode standar adisi
Metode standar adisi didasarkan pada adisi suatu senyawa kalibran
yang diketahui kuantitas atau konsentrasinya kemudian ditambahkan
pada sampel yang tidak diketahui jumlah/konsentrasinya (dengan atau
tanpa penambahan standar internal. Dengan menambahkan paling
sedikit dua atau lebih alikuot standar, suatu kurva dapat disiapkan.
Konsentrasi analit dalam sampel dapat ditentukan dengan ekstrapolasi
kurva kalibrasi. Respon analit harus linier pada kisaran konsentrasi
yang digunakan dalam kurva baku kalibrasi. Suatu pendekatan dalam
standar adisi adalah dengan membagi sampel ke dalam beberapa
(56)
yang meningkat. Selanjutnya dianalisis antara respon analit dengan
konsentrasi yang diinjeksikan (Rohman,2009).
H. Landasan Teori
Difenokonazol merupakan fungisida yang sering digunakan oleh
petani melon untuk mencegah dan mengatasi penyakit pada buah melon,
terutama jamur/fungi antraknosa. mekanisme aksi difenokonazol adalah
dengan menghambat demetilasi sintesis ergosterol. Menurut FAO/WHO
pemaparan pestisida di lingkungan dan residu pestisida menganggu kesehatan
masyarakat, sehingga ditetapkannya batas minimum residu (BMR) yang
diperbolehkan ada dalam buah melon yaitu sebesar 0,7 mg/kg (CCPR,2014).
Pada kenyataannya untuk memantau kadar residu difenokonazol yang berada
dalam buah melon dianalisis menggunakan LC MS/MS. Pada penelitian ini
determinasi dimodifikasi menggunakan GC-ECD. Suatu instrumen GC-ECD
dinyatakan berada pada kondisi optimum ketika mampu memberikan kinerja
efisiensi kolom, selektivitas, keajegan tR dan TF yang baik, demikian pula
%RSD, RF, %D sesuai spesifikasi yang dipersyaratkan.
Pada penelitian dilakukan ekstraksi difenokonazol dengan metode
QuEChERS. Dilakukan clean-up dengan SPE C18 untuk memisahkan
difenokonazol dari koekstraktan yang mengganggu. Proses clean-up bertujuan
untuk memisahkan difenoconazol dari koekstraktan matriks sehingga saat
(57)
validasi penuh metode analisis penetapan kadar difenokonazol dalam buah
melon. Metode yang valid selanjutnya digunakan untuk penetapan kadar.
Hasil clean-up diinjeksikan ke GC-ECD yang telah teroptimasi. Proses
clean-up dikatakan berhasil apabila puncak difenokonazol terpisah dari
puncak lainnya. Parameter validasi metode yang diuji dalam penelitian ini
adalah adalah IDL, IQL, recovery dalam penelitian ini recovery ekstraksi
maupun clean up, determinasi analit dan kisaran kalibrasi.
I. Hipotesis
1. Pelarut yang polaritasnya mendekati difenokonazol dapat digunakan untuk
mengekstraksi difenokonazol pada kulit dan daging buah melon secara kuantitatif.
2. SPE C18 dapat digunakan sebagai sarana clean up untuk memisahkan matriks dengan difenokonazol perlu fase gerak yang sesuai.
3. Difenokonazol dapat dipisahkan dengan matriks dengan GC dan ditetapkan
(58)
36
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang “Validasi Metode Analisis Residu Difenokonazol Dalam Buah Melon (Cucumis melo L.)” merupakan jenis rancangan penelitian eksperimental murni karena terdapat perlakuan terhadap subjek uji. Subjek uji yang dimaksud disini
adalah buah melon.
B. Variabel Penelitian 1. Variabel
a. Variabel bebas.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah massa adisi difenokonazol yang diadisikan ke dalam ekstrak buah melon, volume fase
gerak saat clean-up, lama sentrifugasi.
b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah jumlah supernatan yang diperoleh, lama sentrifugasi, waktu retensi,
resolusi, efisiensi kolom dengan jumlah lempeng (N), tailing factor, %
perolehan kembali dengan SPE C18, koefisien korelasi (r) antara massa
total difenokonazol dan AUC, slope kurva baku adisi, presisi, limit of
detection (LOD) atau IDL, IQL, limit of quantification (LOQ), koefisien
(59)
c. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah kemurnian pelarut yang digunakan, yang dapat
diatasi dengan menggunakan pelarut pro analysis (p.a.) yang memiliki
kemurnian tinggi.
C. Definisi Operasional
1. Difenokonazol yang dianalisis adalah fungisida yang digunakan untuk
mengontrol berbagai sayuran, buah-buahan dan berbagai jenis tanaman, yang
beraksi dengan menghambat demethylasi sintesis ergosterol.
2. Buah melon yang dianalisis adalah buah melon yang berasal dari beberapa pasar
dan toko buah yang ada di Yogyakarta, yang tidak mengandung difenokonazol.
3. Sistem GC-ECD yang digunakan adalah seperangkat GC yang dilengkapi dengan
detektor ECD dengan fase diam C18, suhu kolom, suhu oven, suhu kolom,
injektor, CBM (communication bus module), komposisi fase gerak, gas pembawa
nitrogen, flow rate yang optimum serta komputer yang dilengkai aplikasi penyaji
data kromatogram.
4. Parameter validasi metode clean-up difenokonazol dengan SPE adalah linearitas
yang dilihat dari koefisien korelasi (r) dan akurasi yang dilihat dari % perolehan
kembali.
5. Parameter validasi metode analisis penetapan kadar difenokonazol dengan
GC-ECD yang diamati dalam penelitian ini adalah akurasi, presisi, linearitas, IDL,
(60)
6. Instrument Detection Limit (IDL) merupakan nama lain dari Limit of Detection
(LOD) yaitu konsentrasi terendah yang dapat dideteksi namun tidak dapat
dikuantifikasi.
7. Instrument Quantification Limit (IQL) merupakan batas konsentrasi terendah
yang dapat dikuantifikasi yang memenuhi presisi dan akurasi.
8. Lower Limit Method Validation (LLMV) merupakan konsentrasi terkecil pada
sebuah metode yang telah di validasi.
9. DCB (dekaklorobifenil) merupakan standar internal yang digunakan sebagai
faktor koreksi.
10.QuEChERS (Quick Easy Cheap Effective Rugged And Safe) adalah metode
ekstraksi menggunakan pelarut asetonitril dan campuran garam QuEChERS.
11.Campuran garam QuEChERS yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
campuran garam QuEChERS campuran MgSO4 4 gram ; NaCl 1 gram ; Na3sitrat
0,5 gram; 0,25 gram Na2Hsitrat.
D. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah baku difenokonazol
(baku dari PT.Syngeta), standar DCB (Sigma Aldrich) metanol (p.a. E. Merck),
asetonitril (p.a E. Merck), aseton (p.a. E. Merck), akuades (Laboratorium Analisis
(61)
USD), gas nitrogen UHP dan teknis, sampel buah melon dari berbagai pasar, toko
buah dan swalayan di daerah Yogyakarta.
E. Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kromatografi gas
(HP, GC-5890 Series II) dilengkapi dengan detektor ECD 63Ni, Kolom SPE C18
(SPE C18 0,4 g), neraca analitik (Precisi 125 A. SCS Swiss Quality),
ultrasonifikasi,Vortex, Sentrifugasi, hotplate, stopwatch, ultrasonifikasi, seperangkat
komputer dengan CBM-102 (Shimadzu), perangkat lunak Shimadzu Lab solutions:
GC Solution versi 2.30.00SU4), perangkat lunak Powerfit v.6.05, vakum,
mikropipet, glass fin, syringe, dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di
laboratorium analisis.
F. Tata Cara Penelitian 1. Uji kesesuaian sistem GC-ECD
Penelitian ini merupakan analisis tingkat kelumit sehingga untuk
mencapai akurasi dan presisi yang baik diperlukan suatu metode analisis dengan
sensitivitas yang cukup tinggi. Uji kesesuaian sistem dilakukan untuk memastikan
bahwa Sistem yang akan digunakan untuk analisis sesuai dengan tujuannya.
Optimasi terhadap sistem GC-ECD di lakukan dalam uji kesesuaian sistem.
Optimasi instrumen GC-ECD dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
(62)
2. Preparasi sampel dengan metode QuEChERS
a. Pengecekan kadar air dalam buah melon. Buah melon dibelah menjadi 4
bagian, diambil salah satu bagian tersebut secara acak. Dipotong sekecil
mungkin menggunakan pisau dan telenan yang sudah dicuci. Kemudian
diblender hingga halus. Ditimbang 5 gram buah melon yang telah
dihomogenkan dengan blender, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu
60°C. Replikasi sebanyak 3 kali. Hasil pengeringan ditimbang dan
dihitung berat rata-ratanya sebagai % kandungan air buah melon.
b. Penentuan waktu dan kecepatan sentrifugasi. Ditimbang dalam tabung
sentrifugasi, 5 gram buah melon yang telah dihomogenkan dengan
blender. Kemudian ditambahkan campuran garam QuEChERS. Gojog
larutan selama 1 menit kemudian vortex selama 2 menit dan
disentrifugasi selama ( 5 menit, 10 menit dan 15 menit dalam 5000
rpm). Amati dan bandingkan jumlah supernatan yang terbentuk.
3. Pembuatan seri larutan baku Difenokonazol
a. Pembuatan larutan stok difenokonazol (stok induk). Sejumlah lebih
kurang 52.6 mg baku difenokonazol ditimbang dengan seksama lalu
dilarutkan ke dalam 1 mL toluen hingga didapat larutan stok induk 52,6
mg/mL.
b. Pembuatan larutan stok difenokonazol (stok A). Sebanyak 40 µL stok
(63)
konsentrasi sebesar 0.526 µg/µ L yang kemudian disebut dengan stok
A.
c. Pembuatan larutan intermediet. Sejumlah 10 µL stok A diambil dengan
Syringe add dalam 1000 µL heksan sehingga diperoleh larutan
intermediet dengan konsentrasi 0.526 x 10-2 µg/µL.
d. Pembuatan larutan kurva baku solven. Diambil sebanyak 20µL ; 15µL
; 10µL; 7 µL ;5µ L ; 4 µL; 3µL ; 2µL; 1µL dari larutan intermediet stok
B kemudian ditambahkan 2 µL DCB add hingga 200 µL dengan pelarut
heksan kemudian diinjeksikan ke dalam kromatografi gas sebanyak 2
µL.
e. Pembuatan larutan kurva baku adisi .Diambil sebanyak 20µL ; 15µL ;
13 µL ; 10µL; 5µL ; 3µL ; 2µL; 1µL dari larutan intermediet stok B
kemudian ditambahkan 2 µL DCB ke dalam flakon berisi ekstrak
matriks yang telah kering add hingga 200 µL dengan pelarut heksan
kemudian diinjeksikan ke dalam kromatografi gas sebanyak 2 µL.
f. Pencucian flakon wadah sampel supernatan. Flakon dicuci
menggunakan akuades kemudian aseton dilanjutkan dengan metanol
dan dikeringkan dalam oven.
g. Pencucian syringe. Syringe dicuci menggunakan aseton kemudian
metanol dan dilanjutkan dengan 5 µL standar difenokonazol. Diulangi
(64)
4. Optimasi Clean-Up SPE C18
a. Penentuan Kapasitas Solid Phase Extraction (SPE) C18. Ditimbang
dalam tabung sentrifugasi, 5 gram buah melon yang telah
dihomogenkan kemudian ditambahkan campuran garam QuEChERS.
Gojog larutan selama 1 menit kemudian vortex selama 2 menit dan
disentrifugasi selama 5 menit dalam 5000 rpm. Supernatan yang
terbentuk pada lapisan paling atas diambil sebanyak 1 mL dimasukan
dalam flakon dan dikeringkan dalam oven 60°C hingga tercapai bobot
tetap. Replikasi 3 kali. Kemudian ditimbang dan dihitung rata-rata
berat setelah dikeringkan.
b. Optimasi Washing SPE. Sebanyak 5 gram buah melon yang telah
dihomogenkan dengan blender ditimbang dalam tabung sentrifugasi,
kemudian ditambahkan campuran garam QuEChERS tambahkan
asetonitrril sebanyak 5mL. Gojog larutan selama 1 menit kemudian
vortex selama 2 menit dan disentrifugasi selama 5 menit dengan
kecepatan 5000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil semuanya
dan dimasukan dalam flakon. Dilakukan reekstraksi dengan
menambahkan asetonitril sebanyak 5 mL ke dalam tabung sentrifugasi
yang telah diekstraksi sebelumnya, lakukan penggojokan selama 1
menit vortex 2 menit dan sentrifugasi selama 5 menit. Supernatan
yang terbentuk pada lapisan paling atas diambil semuanya dan
(65)
ditambahkan 2 µL Standar stok B dan dikeringkan di atas hotplate
dengan bantuan gas nitrogen. Sampel yang telah kering dilarutkan
dalam 0,5 mL akuabides selanjutnya di-degassing dengan
ultrasonifikator selama 5 menit. Aplikasikan sampel yang telah
di-degassing ke dalam kolom SPE. Washing SPE C18 dengan berbagai
macam komposisi pelarut, antara lain: 5 mL akuabides tanpa fraksinasi
; 5 mL metanol 5% dengan 5 fraksinasi ; 5 mL UPW 100% dengan 5
fraksinasi. Selanjutnya cuci ekstrak dalam flakon dengan 3 mL
metanol dan elusikan dalam kolom SPE kemudian ditampung dalam
flakon baru untuk dikeringkan di atas hotplate dengan bantuan gas
nitrogen. Sampel yang telah kering dilarutkan dengan 200 µL heksan
dan ditambahkan DCB kemudian diambil 2µL untuk diinjeksikan ke
dalam sistem GC-ECD.
c. Optimasi Elusi SPE. Sebanyak 5 gram buah melon yang telah
dihomogenkan dengan blender ditimbang dalam tabung sentrifugasi,
kemudian ditambahkan campuran garam QuEChERS tambahkan
asetonitrril sebanyak 5mL. Gojog larutan selama 1 menit kemudian
vortex selama 2 menit dan disentrifugasi selama 5 menit dengan
kecepatan 5000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil semuanya
dan dimasukan dalam flakon. Dilakukan reekstraksi dengan
menambahkan asetonitril sebanyak 5 mL ke dalam tabung sentrifugasi
(66)
menit vortex 2 menit dan sentrifugasi selama 5 menit. Supernatan
yang terbentuk pada lapisan paling atas diambil semuanya dan
digabung ke dalam flakon supernatan sebelumnya kemudian
ditambahkan 2µL Standar stok B dan dikeringkan di atas hotplate
dengan bantuan gas nitrogen. Sampel yang telah kering dilarutkan
dengan 1 mL akuabides kemudian di-degassing dengan
ultrasonifikator selama 5 menit selanjutnya aplikasikan sampel ke
dalam kolom SPE C18. Washing dengan menggunakan akuabides
sebanyak 5 mL kemudian keringkan kolom dengan bantuan gas
nitrogen. Tahap selanjutnya sampel dielusi dengan menggunakan (1
mL ; 2 mL ; 3 mL ; 4 mL ; 5 mL) metanol. Masukan metanol ke dalam
flakon untuk mencuci ekstrak, kemudian aplikasikan ke dalam kolom
SPE. Eluat yang keluar dari SPE ditampung dalam flakon. Sampel
dikeringkan di atas hotplate dengan bantuan gas nitrogen. Sampel
yang telah kering dilarutkan dengan 200 µL heksan dan ditambahkan
DCB kemudian diambil 2µL untuk diinjeksikan ke dalam sistem
GC-ECD.
5. Optimasi kelayakan SPE untuk digunakan lebih dari satu kali. Sebanyak 5 gram buah melon yang telah dihomogenkan dengan blender ditimbang dalam tabung
sentrifugasi, kemudian ditambahkan campuran garam QuEChERS tambahkan
asetonitril sebanyak 5 mL. Gojog larutan selama 1 menit kemudian vortex selama
(67)
Supernatan yang terbentuk diambil semuanya dan dimasukan dalam flakon.
Dilakukan reekstraksi dengan menambahkan asetonitril sebanyak 5 mL ke dalam
tabung sentrifugasi yang telah diekstraksi sebelumnya, lakukan penggojokan
selama 1 menit vortex 2 menit dan sentrifugasi selama 5 menit. Supernatan yang
terbentuk pada lapisan paling atas diambil semuanya dan digabung ke dalam
flakon supernatan sebelumnya lalu ditambahkan (7 µL ; 10 µL) Standar stok C
dan dikeringkan di atas hotplate dengan bantuan gas nitrogen. Sampel yang telah
kering dilarutkan dengan 0,5 mL akuabides kemudian diultrasonifikasi selama 5
menit. Sampel yang telah di-degassing dengan ultrasonifikator diambil dengan
pipet Pasteur untuk dimasukan ke dalam SPE. Washing sampel dalam flakon
berisi ekstrak dengan menggunakan akuabides sebanyak 5 mL dan diaplikasikan
dalam kolom SPE C18 lalu keringkan kolom dengan bantuan aliran nitrogen.
Tahap selanjutnya sampel dielusi dengan menggunakan metanol. Metanol
digunakan untuk mencuci flakon berisi sisa ekstrak, cuci hingga semua ekstrak
tercuci bersih, aplikasikan ke dalam kolom SPE C18. Eluat yang keluar dari SPE
ditampung dalam flakon dan dikeringkan di atas hotplate dengan bantuan gas
nitrogen. Sampel yang telah kering dilarutkan dengan 200 µL heksan dan
ditambahkan DCB kemudian diambil 2µL untuk diinjeksikan ke dalam sistem
GC-ECD.
(68)
Validasi metode analisis merupakan serangkaian proses yang dilakukan untuk
membuktikan bahwa metode analisis memenuhi persyaratan yang telah ditentukan,
yang sesuai dengan tujuan penggunaannya. Perbedaaan langkah kerja validasi metode
dengan uji kesesuaian sistem adalah kurva baku yang digunakan. Kurva baku yang
digunakan dalam validasi metode analisis adalah kurva baku metode adisi dengan
menggunakan matriks ekstrak buah melon sedangkan pada uji kesesuaian sistem
kurva baku yang digunakan adalah kurva baku solven. Di bawah ini merupakan
langkah kerja secara umum untuk mendapatkan ekstrak buah melon yang siap diadisi:
Sebanyak 5 gram buah melon yang telah dihomogenkan dengan blender
ditimbang dalam tabung sentrifugasi, kemudian ditambahkan campuran garam
QuEChERS tambahkan asetonitrril sebanyak 5 mL. Gojog larutan selama 1 menit
kemudian vortex selama 2 menit dan disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan
5000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil semuanya dan dimasukan dalam
flakon. Dilakukan reekstraksi dengan menambahkan asetonitril sebanyak 5 mL ke
dalam tabung sentrifugasi yang telah diekstraksi sebelumnya, lakukan penggojokan
selama 1 menit vortex 2 menit dan sentrifugasi selama 5 menit. Supernatan yang
terbentuk pada lapisan paling atas diambil semuanya dan digabung ke dalam flakon
supernatan sebelumnya kemudian ditambahkan 2 µL Standar stok B dan dikeringkan
di atas hotplate dengan bantuan gas nitrogen. Sampel yang telah kering dilarutkan
dengan 0,5 mL akuabides kemudian didegassing selama 5 menit. Sampel yang telah
(69)
diaplikasikan ke dalam kolom SPE. Washing sampel dalam flakon berisi ekstrak
dengan menggunakan akuabides sebanyak 5 mL lalu keringkan kolom dengan
bantuan aliran nitrogen. Tahap selanjutnya sampel dielusi dengan menggunakan
metanol. Metanol digunakan untuk mencuci flakon berisi sisa ekstrak, cuci hingga
semua ekstrak tercuci bersih, lalu sedikit demi sedikit ekstrak tersebut diaplikasikan
ke dalam kolom SPE C18. Eluat yang keluar dari SPE ditampung dalam flakon dan
dikeringkan di atas hotplate dengan bantuan gas nitrogen.
Ekstrak yang didapatkan digunakan sebagai matriks untuk melakukan validasi
metode analisis. Parameter validasi metode yang dinilai adalah sebagai berikut :
a. Presisi (keterulangan) sistem GC-ECD. Presisi dapat ditentukan dari nilai
CV. Parameter presisi dapat diperoleh dengan menginjeksikan 2 µL
larutan ekstrak melon yang sudah diadisi standar difenokonazol stok B
1ul, 3ul, 5ul, 7ul, 10ul, 13ul, 15ul, 20ul, ke dalam sistem GC-ECD
sebanyak 3 kali. Respon yang berupa luas puncak difenokonazol dari
masing-masing konsentrasi larutan baku yang diperoleh dihitung nilai
rata-rata, SD dan %CV.
b. Linearitas hubungan konsentrasi baku difenokonazol dengan respon
sistem GC-ECD. Koefisien korelasi (r) merupakan parameter yang
diperlukan untuk menentukan linearitas hubungan massa baku
difenokonazol terhadap respon sistem GC-ECD yang telah optimal.
(70)
ekstrak melon yang sudah diadisi standar difenokonazol 0,053 ; 0,0789 ;
0,105 ; 0,132 ; 0,184 ; 0,263 ; 0,395 ;0.526 ng/µL ke dalam sistem
GC-ECD. Linearitas hubungan antara massa difenokonazol yang diinjeksikan
terhadap respon alat, diplotkan dalam bentuk kurva baku dan dihitung
parameter statistiknya seperti intersep (a), slope (b), dan koefisien korelasi
(r) dengan menggunakan program powerfit.
c. Sensitivitas sistem GC-ECD. Sensitivitas sistem GC-ECD yang telah
optimal dapat diketahui dengan menghitung nilai IDL dan slope. Kedua
parameter sensitivitas tersebut dapat ditetapkan dengan menginjeksikan 2
µL larutan baku difenokonazol dengan konsentrasi kurva baku adisi ke
dalam sistem GC-ECD. Nilai IDL dan slope dapat dihitung dari
persamaan kurva baku hasil injeksi.
G. Analisis Hasil 1. Uji kesesuaian instrument GC-ECD
a. Analisis hasil optimasi sistem ECD. Analisis hasil optimasi sistem
GC-ECD dapat dilihat pada kromatogram yang dihasilkan. Optimasi kecepatan
alir gas, inisial temperatur, suhu injektor, suhu kolom, suhu detektor dan suhu
oven yang optimal akan memberikan pemisahan puncak senyawa yang
optimum.
b. Analisis Kinerja instrumen GC-ECD. GC-ECD yang telah optimal untuk
(71)
yang memenuhi syarat-syarat batasan yang harus dicapai sebagaimana telah
dijelaskan pada beberapa teori .
1) Waktu retensi (tR).Waktu retensi dari masing-masing senyawa dapat
dilihat pada kromatogram yang dihasilkan. Keajegan rasio tR/standar
internal dan rasio AUC standar/DCB dari penginjekan 6 kali.
Kejegannya dihitung dengan rumus % RSD:
%RSD = 100-%recovery (Harmita,2004).
2) Daya pisah (resolusi). Resolusi dalam penelitian ini ada 2 yaitu
resolusi awal dan resolusi akhir. Resolusi dapat dihitung dengan
rumus:
Rs=
Keterangan : tR= waktu retensi W1 dan W2 = rata-rata lebar zona
3) Tailing factor (TF). Tailing factor atau TF dapat diterima apabila
memiliki nilai <1,2. Jika TF lebih >1,2 maka puncak kromatogram
tersebut mengalami tailing/ pengekoran (Dolan et al,2002)
TF=
4) Jumlah lempeng teoritik (N). Jumlah lempeng teoritik atau N dapat
dihitung dengan rumus :
N= 16(
2
(72)
c. Analisis hasil kinerja instrumen GC-ECD secara Kuantitatif.Analisis hasil Uji
Kesesuaian Sistem GC-ECD secara kuantitatif menghitung
parameter-parameter yang dibutuhkan, berikut ditentukan syarat-syarat nilai parameter-parameter
dari nilai CV, r, IDL, dan slope yang harus dicapai agar suatu sistem GC-ECD
dapat dinyatakan sesuai untuk penentuan kadar difenokonazol.
1) Linearitas
Linearitas ditentukan dari nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh
dari kurva baku solven hasil plot antara rasio luas puncak
difenokonazol/DCB dan massa standar baku yang diinjeksikan
kedalam regresi linear dengan persamaan y = a + bx dengan
menggunakan powerfit.
2) Sensitivitas
Sensitivitas alat dapat ditentukan dengan menghitung nilai slope, IDL,
IQL dengan rumus :
Slope dapat diperoleh dari persamaan regresi linear y=a+bx (b=slope;
a=intersep)
IDL dapat dihitung dengan rumus:
3,3 ×
Keterangan: Sa standar deviasi dari intersep kurva baku dan b : slope
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Lampiran 11 . Certificate Of Analysis Formulasi Difenokonazol Donasi dari
(6)
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi berjudul “Validasi Metode Analisis Residu
Difenokonazol Pada Buah Melon (Cucumis melo L.)” memiliki nama lengkap Florentina Silviana Devi. Penulis dilahirkan di Pajar mataram Lampung pada tanggal 26 Juni1992 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Lukas Sumari dan Katarina Katrin. Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis yaitu di TK Fransiskus Xaverius Pajar Mataram Lampung Tengah (1997-1999), SD Negeri 3 Pajar Mataram Lampung Tengah (1999-2005), SMP Negeri 2 Qurnia Mataram Lampung Tengah (2005-2008), SMA Xaverius Pringsewu Lampung (2008-2011). Penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma pada tahun 2011. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi, antara lain Pelepasan Wisuda Fakultas Farmasi „‟ Membuka Langkah Untuk Menggapai
Impian‟‟, Guest Lecture On Medicinal Chemistry By Dr. Rob Leurs (Vrije
Universeit, The Netherlands), Seminar Nasional „‟ Pemberdayaan Pasien Self Management Diabetes Melitus Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup‟‟. Hari
Aids Sedunia „‟ Kubangun Dan Kujaga Generasiku Bebas HIV AIDS‟‟ Pelaksanaan Pengembangan Kepribadian Mahasiswa.