Validasi metode analisis residu azoxystrobin dalam buah melon (Cucumis melo L.).

(1)

INTISARI

Indonesia yang berada dalam iklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang mendukung penyebaran dari penyakit anthracnose (Colletotrichum gloesporioides) menyebabkan kerusakan yang signifikan terhadap tanaman melon (Cucumis melo L.). Pengontrolan penyakit anthracnose oleh para petani dilakukan dengan menggunakan Azoxystrobin (methyl(E)-2-{2-[6-(2-cyanophenoxy) pyrimidin-4-yloxy]phenyl}-3-methoxyacrylate). Berdasarkan alasan tersebut, untuk memastikan keamanan konsumen, jumlah residu Azoxystrobin dalam buah melon harus dipantau. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu metode analisis yang valid dalam penetapan kadar residu Azoxystrobin dalam buah melon yang dapat dilakukan di laboratorium pestisida di Indonesia.

Prosedur baku dalam analisis residu azoxystrobin menggunakan cara ekstraksi dan clean-up QuEChERS diikuti dengan penetapan kadar LC/MS/MS. Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi clean-up dengan kolom SPE C18 agar

dapat di deteksi dengan GC-ECD, oleh karena itu harus dilakukan validasi penuh. Uji kesesuaian instrumen pada kondisi GC yang optimum menunjukkan efisiensi, kesetimbangan sistem dan selektivitas yang bagus, % RSD ratio area dan tR, RF

dan rata-rata %D <20%, linearitas 0,9913-0,9997 pada kisaran linearitas 0,0456 ng - 0,912 ng, dengan IDL 0,003 g/ml – 0,01 g/ml dan IQL 0,047 g/ml.

Validasi metode analisis dilakukan pada sampel blanko dan sampel yang di fortifikasi. Recovery fortifikasi 0,137-0,730 ng pada ekstrak sampel blanko sebelum di injeksikan ke GC-ECD 93-117% dan kesalahan determinasi sebesar 3,8%, sedangkan fortifikasi sebelum clean-up dengan kolom SPE C18 sebesar

84-107%, dan kesalahan clean-up 3,1%. Recovery fortifikasi 0,091 ng – 0,684 ng pada buah melon berkisar antara 84-119% dan kesalahan ekstraksi sebesar 9,1%.

Linearity range 0,002 g/g – 0,014 g/g dengan LOQ 0,0008 g/g dan LLMV sebesar 0,005 g/g. Dengan demikian validasi metode ini memenuhi persyaratan untuk memantau kadar Azoxystrobin dalam buah melon dibawah positif list

sebesar 0,01 g/g.

Kata kunci : azoxystrobin, melon, QuEChERS, SPE C18, GC-ECD, validasi


(2)

ABSTRACT

Indonesian tropical climate which is warm and humid promote the development and spread of anthracnose (Colletotrichum gloesporioides) causing significant damage in melon (Cucumis melo L.). To control the anthracnose, farmers used Azoxystrobin (methyl (E )-2-{2-[6-(2-cyanophenoxy)pyrimidin-4-yloxy]phenyl}-3-methoxyacrylate). For that reason, to assure the safety of the consumer, the level of Azoxystrobin residue in melon should be monitored. The purpose of this study is to develop a valid analytical method for Azoxystrobin residue in melon which can be done in common pesticide residue laboratory in Indonesia.

The extraction process of the developed method was done following the assisted LLE method of QuEChERS, while the clean up process was done using C18 SPE catridge and determined by GC-ECD and quantified by internal

standardization using decachlorobiphenyl (DCB) as internal standard. The performance of GC-ECD shows precision of ratio area, retention time less than 20%, while. the standard integrity shows % RSD of response factor and % difference < 20%. Linearity range was 0.0456 ng – 0.912 ng with r value 0.9913-0.9997. Range of Instrumental Detection Limit (IDL) was 0.003 g/ml- 0.01 g/ml and Instrumental Quantitation Limit (IQL) was 0.047 g/mL. Recovery of fortified blank extract at 0.14 - 0.73 ng was 93-117% and no matrix effect was observed. The error at extraction step, clean up step and determination step were 9.1%, 3.1%, and 3.8% respectively. The recovery of fortified sample at 0.09 ng – 0.68 ng was 84-119%. The LOQ was 0.0008 g/g and the LLMV 0.005 g/g, therefore this method is fit for monitoring Azoxystrobin in melon, which has a positive list of 0.01 mg/kg.

Keywords: azoxystrobin, melon, QuEChERS, SPE C18, GC-ECD, method validation


(3)

VALIDASI METODE ANALISIS RESIDU AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Rizki Seviana Puspitasari NIM : 118114167

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

VALIDASI METODE ANALISIS RESIDU AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Rizki Seviana Puspitasari NIM : 118114167

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2016


(5)

(6)

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

What ever you do, do it well. Do it so well that when people see you do it they will want to come back and see you do it again and they will want to bring

others and show them how well you do what you do. Do it for people who want to see you fail.

Bukan bahagia yang menjadikan kita bersyukur tetapi dengan bersyukur akan menjadikan hidup kita bahagia.

“Cintailah pekerjaan mu, lakukanlah dengan hati gembira maka kamu akan menerima hasil yang kamu inginkan” ~Ibu.

Sebuah karya sederhana ini, saya persembahkan kepada semua harta ku yang tak ternilai: Allah SWT Ayah dan Ibu ku tercinta Almarhum Mbah Mo tersayang my beloved sister Herlin Indah Noviandika Serta Sahabat & Kekasih Ku


(8)

(9)

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulispanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penyertaan dan kasih karunia-Nya, sehingga penulisdapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Validasi Metode Analisis Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon (Cucumis melo L.) ” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Keberhasilan dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang selalu mendukung pada proses penyusunan skripsi ini. Maka dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt., selaku dosen pembimbing yang amat luar biasa, yang dengan sabar telah membimbing kami, memberikan saran, pengarahan, kritikan dan semangat dari awal, selama berproses hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Bapak Sanjayadi, M.Si. yang ikut berperan dalam penentuan kondisi optimum sistem GC-ECD dalam menganalisis residu azoxysstrobin dalam buah melon serta selaku ‘pembimbing hati nurani’ yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikiran untuk membantu menyelesaikannya skripsi ini serta selalu memberikan motivasi hidup untuk menjadi orang yang lebih baik disetiap harinya.

3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., PhD selaku Dekan Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta.


(11)

4. Bapak Jeffry Julianus, M.Si selaku dosen penguji atas semua saran, kritik dan bimbingannya.

5. Bapak F. Dika Octa Riswanto, M.Sc. selaku dosen penguji atas semua saran, kritik dan bimbingannya.

6. Ibu Agustina Setyawati M.Sc. Apt., selaku kepala laboratorium yang telah memberikan izin menggunakan laboratorium selama proses penulisan

7. Ayah & Ibu ku tersayang, adik tercinta Herlin Indah Noviandika yang selalu sabar menanti penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Almarhum Mbah Mo dan Mbah Harjo yang sangat ku sayang, beserta seluruh keluarga yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu terimakasih atas kasih sayang, semangat dan doa untuk penulis.

9. Teman-teman seperjuangan geng melon Florentina Silviana Devi, Serlika Rostiana dan Rushadi Jatmiko atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam menjalani jatuh bangunnya skripsi ini.

10. Tidar Pangestu sosok penyemangat dalam mewujudkan harapan atau impian, dan sosok yang selalu menenangkan fikiran penulis mulai dari berawalnya skripsi ini hingga terselesaikannya skripsi ini.

11. Anak-anak ‘Alumnus Kost Putri Ayu‘ Vivin, Tata, Kristrin, Mela, Lia, Indah, Betrik dan Iyah, yang bersama dengan kalian penulistidak merasa sendirian di Sanata Dharma, karena sudah 4 tahun kita bersama layaknya sebuah keluarga. 12. Fajar Risda Astuti, Margareta Tri Nova, Wirna Niki Suprobo, yang selalu

memberikan dukungan dan semangat di saat penulis lelah dan jenuh dalam mengerjakan skripsi.


(12)

13. Teman yang jauh dimata tapi dekat di hati Nuriyati, Sekar Permata Sari, Rina Setyaningrum terimakasih atas semua kecerewetan yang masih terngiang sampai saat ini, semua itu membangun diri saya menjadi lebih baik.

14. Teman-teman seperjuangan dilantai 4; Teresa Devina, Sophia Sari, Yolanda, Adit makasih atas canda tawa kalian yang menghidupkan suasana penat kami disetiap pagi hingga sore.

15. Teman-teman satu keluarga bimbingan Ibu Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt., Verni, Shiro, Canly, Erita, Yolanda, Adit, Yolana, Eva dan Meli atas bantuan dan dukungan dalam terselesaikannya skripsi ini.

16. Mas Bimo, Pak Parlan, Pak Kunto, Pak Kethul, Pak Mus dan seluruh staf laboratorium Fakultas Farmasi serta Staf Keamanan dan Kebersihan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas canda tawanya, kerjasama dan bantuannya selama ini.

17. Seluruh dosen, laboran, karyawan dan teman-teman angkatan 2011 yang sudah membantu dan mendukung dalam proses perkuliahan maupun praktikum selama ini.

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam proses perkuliahan dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga segala bentuk masukan, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap kiranya karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Salam sehat sejahtera, terima kasih.

Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang . ... 1

1. Permasalahan ... 5

2. Keaslian Penelitian ... 5

3. Manfaat Penelitian ... 5

B.Tujuan Penelitian ... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 8

A.Fungisida ... 8

1. Pengertian Fungisida ... 8

2. Efek Buruk Fungisida ... 9

3. Fungisida Sistemik ... 11

B.Azoxystrobin ... 13

1. Mekanisme Aksi Azoxystrobin ... 13

2. Sifat Fisika Kimia Azoxystrobin ... 14

C.Buah Melon ... 15


(14)

1. Pengertian Melon ... 15

2. Taksonomi Tanaman Melon ... 15

3. Kandungan Buah Melon ... 16

D.Ekstraksi ... 16

1. Pengertian dan Prinsip Ekstraksi ... 19

2. Pemilihan Pelarut ... 19

E. Sentrifugasi ... 20

F. Solid Phase Extraction (SPE) ... 21

G.Kromatografi Gas ... 23

1. Pengertian ... 23

2. Prinsip Pemisahan ... 24

3. Performance GC ... 26

4. Instrumentasi... 27

H.Metode Kuantifikasi ... 33

1. Metode Standar Eksternal ... 34

2. Metode Standar Internal ... 34

3. Metode Standar Adisi ... 35

I. Validasi Metode Analisis ... 35

1. Akurasi ... 36

2. Presisi ... 36

3. Linearitas dan Rentang ... 36

4. Limit of Quantitation (LOQ) ... 37

J. Landasan Teori ... 37

K.Hipotesis ... 38

BAB III. METODE PENELITIAN... 39

A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 39

B.Variabel Penelitian ... 39

1. Variabel Bebas ... 39

2. Variabel Tergantung ... 39

3. Variabel Pengacau Terkendali ... 39

C.Definisi Operasional ... 40


(15)

D.Bahan Penelitian ... 41

E. Alat Penelitian ... 41

F. Tata Cara Penelitian ... 41

1. Prosedur Pencucian Alat-alat Gelas ... 42

2. Pembuatan Larutan Stok Azoxystrobin dan DCB ... 42

3. Pembuatan Larutan Intermediet Azoxystrobin ... 42

4. Uji Kesesuaian Sistem GC-ECD ... 43

5. Preparasi Sampel Melon ... 46

6. Optimasi Clean-up Menggunakan SPE C18 ... 46

7. Validasi Metoe Analisis Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon ... 50

G.Analisis Hasil ... 50

1. Analisis Kualitatif GC-ECD ... 51

2. Analisis Kuantitatif GC-ECD ... 52

3. Pengukuran Kadar Air dalam Sampel Melon ... 53

4. Validasi Metode Analisis Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon ... 54

H.Rancangan Penelitian ... 55

1. Optimasi Washing SPE ... 55

2. Fraksinasi Metanol untuk Menarik Analit ... 57

3. Validasi Metode Analisis ... 59

4. Preparasi Sampel Buah Melon ... 60

5. Uji Kelayakan SPE ... 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

A.Uji Kesesuaian Sistem GC-ECD untuk Menganalisis Azoxystrobin ... 66

1. Optimasi Sistem GC-ECD ... 66

2. Kinerja Kualitatif GC-ECD ... 67

3. Kinerja Kuantitatif GC-ECD ... 69

B.Preparasi Sampel Melon ... 73

1. Homogenisasi ... 73


(16)

2. Ekstraksi dengan Metode QuEChERS ... 74

3. Optimasi Clean-up ... 78

C.Validasi Metode Analisis ... 82

1. Kinerja GC-ECD dalam Mendeteksi Azoxystrobin pada Matriks Ekstrak Melon Bersih (Jalur C) ... 83

2. Kinerja Clean-up dengan Kolom SPE C18 (Jalur B) ... 87

3. Akurasi dan Presisi Metode Analisis Teroptimasi (Jalur A) ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A.Kesimpulan ... 94

B.Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

LAMPIRAN ... 100

BIOGRAFI PENULIS ... 114


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Sifat Fisika Kimia Azoxystrobin ... 14

Tabel II. Kandungan Buah Melon ... 16

Tabel III. Kriteria % RSD Validasi Metode Analisis ... 52

Tabel IV. Hasil Optimasi GC-ECD Sanjayadi (2014) ... 66

Tabel V. Hasil Performance GC-ECD ... 68

Tabel VI. Hasil Keajegan Sistem GC-ECD ... 68

Tabel VII. Hasil %RSD RF Analisis Kuantitatif GC-ECD ... 69

Tabel VIII. Hasil Uji Sensitivitas GC-ECD ... 71

Tabel IX. Hasil % D Analisis Kuantitatif GC-ECD ... 73

Tabel X. Kadar Air dalam Buah Melon ... 74

Tabel XI. Hasil Optimasi Clean-up ... 78

Tabel XII. Hasil Presisi dan Akurasi Kelayakan SPE ... 80

Tabel XIII. Kinerja GC ECD dalam Mendeteksi Azoxystrobin dalam Buah Melon ... 84

Tabel XIV. Hasil Presisi Jalur C ... 85

Tabel XV. Hasil Akurasi Jalur C ... 85

Tabel XVI. Hasil % D Jalur C ... 86

Tabel XVII. Hasil Presisi Jalur B ... 86

Tabel XVIII. Hasil Akurasi Jalur B ... 86

Tabel XIX Hasil % D Jalur B ... 85

Tabel XX Hasil Presisi Kurva Adisi ... 90

Tabel XXI. Hasil Akurasi Kurva Adisi ... 91

Tabel XXII Hasil % D Validasi Metode Analisis ... 92


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Stuktur Azoxystrobin ... 13

Gambar 2. Kandungan Buah Melon ... 16

Gambar 3. Tahapan SPE ... 23

Gambar 4. Diagram Skematik Kromatografi Gas ... 27

Gambar 5. Gas yang Digunakan dalam Kromatografi Gas ... 28

Gambar 6. Pemisahan Standar Internal, Difenoconazole dan Azoxystrobin ... 67

Gambar 7. Kurva Hubungan Kadar Azoxystrobin Vs Rasio AUC Azoxystrobin/DCB ... 70

Gambar 8. Pengaruh Ph Terhadap Jumlah Co-Extractant ... 75

Gambar 9. Hasil Optimasi Lama Waktu Sentrifugasi ... 77

Gambar 10. Jenis-jenis SPE dan Kapasitasnya... 79

Gambar 11. Hasil Eluat Metanol Setelah Washing 5% Metanol dan 100% Aquabidest ... 80

Gambar 12. Hasil Tampungan Washing Menggunakan 100% Aquabidest ... 81

Gambar 13. Fraksinasi Elusi Metanol untuk Menarik Analit ... 81

Gambar 14. Blangko Matriks Melon (a) dan Blanko yang Diadisi Standar Azoxystrobin (b) ... 83

Gambar 15. Kurva Baku vs Kurva Adisi C ... 86

Gambar 16. Kurva Baku vs Kurva Adisi B ... 88

Gambar 17. Linearitas Kurva Baku Adisi ... 89

Gambar 18. Kurva Baku vs Kurva Adisi A ... 91


(19)

Daftar Lampiran

Halaman

Lampiran 1. Perhitungan Sensitivitas Alat ... 101

Lampiran 2. Kurva Adisi Azoxystrobin pada Sampel Buah Melon ... 103

Lampiran 3. Perhitungan Resolusi (Rs) dan Resolusi DCB ... 104

Lampiran 4. Certificate of Anaylisis DCB ... 105

Lampiran 5. Certificate of Anaylisis NaCl ... 106

Lampiran 6. Certificate of Anaylisis MgSO4 ... 107

Lampiran 7. Certificate of Anaylisis Na2HCitr ... 108

Lampiran 8. Certificate of Anaylisis Na3Citr ... 109

Lampiran 9. Certificate of AnaylisisAcetonitrile ... 110

Lampiran 10. Certificate of Anaylisis Hexane ... 111

Lampiran 11. Certificate of Anaylisis Methanol ... 112

Lampiran 12. Certificate of Analysis Azoxystrobin Donasi dari PT Syngenta ... 113


(20)

INTISARI

Indonesia yang berada dalam iklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang mendukung penyebaran dari penyakit anthracnose (Colletotrichum gloesporioides) menyebabkan kerusakan yang signifikan terhadap tanaman melon (Cucumis melo L.). Pengontrolan penyakit anthracnose oleh para petani dilakukan dengan menggunakan Azoxystrobin (methyl(E)-2-{2-[6-(2-cyanophenoxy) pyrimidin-4-yloxy]phenyl}-3-methoxyacrylate). Berdasarkan alasan tersebut, untuk memastikan keamanan konsumen, jumlah residu Azoxystrobin dalam buah melon harus dipantau. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu metode analisis yang valid dalam penetapan kadar residu Azoxystrobin dalam buah melon yang dapat dilakukan di laboratorium pestisida di Indonesia.

Prosedur baku dalam analisis residu azoxystrobin menggunakan cara ekstraksi dan clean-up QuEChERS diikuti dengan penetapan kadar LC/MS/MS. Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi clean-up dengan kolom SPE C18 agar

dapat di deteksi dengan GC-ECD, oleh karena itu harus dilakukan validasi penuh. Uji kesesuaian instrumen pada kondisi GC yang optimum menunjukkan efisiensi, kesetimbangan sistem dan selektivitas yang bagus, % RSD ratio area dan tR, RF

dan rata-rata %D <20%, linearitas 0,9913-0,9997 pada kisaran linearitas 0,0456 ng - 0,912 ng, dengan IDL 0,003 µg/ml – 0,01 µg/ml dan IQL 0,047 µg/ml.

Validasi metode analisis dilakukan pada sampel blanko dan sampel yang di fortifikasi. Recovery fortifikasi 0,137-0,730 ng pada ekstrak sampel blanko sebelum di injeksikan ke GC-ECD 93-117% dan kesalahan determinasi sebesar 3,8%, sedangkan fortifikasi sebelum clean-up dengan kolom SPE C18 sebesar

84-107%, dan kesalahan clean-up 3,1%. Recovery fortifikasi 0,091 ng – 0,684 ng pada buah melon berkisar antara 84-119% dan kesalahan ekstraksi sebesar 9,1%.

Linearity range 0,002 µg/g – 0,014 µg/g dengan LOQ 0,0008 µg/g dan LLMV sebesar 0,005 µg/g. Dengan demikian validasi metode ini memenuhi persyaratan untuk memantau kadar Azoxystrobin dalam buah melon dibawah positif list

sebesar 0,01 µg/g.

Kata kunci : azoxystrobin, melon, QuEChERS, SPE C18, GC-ECD, validasi

metode


(21)

ABSTRACT

Indonesian tropical climate which is warm and humid promote the development and spread of anthracnose (Colletotrichum gloesporioides) causing significant damage in melon (Cucumis melo L.). To control the anthracnose, farmers used Azoxystrobin (methyl (E )-2-{2-[6-(2-cyanophenoxy)pyrimidin-4-yloxy]phenyl}-3-methoxyacrylate). For that reason, to assure the safety of the consumer, the level of Azoxystrobin residue in melon should be monitored. The purpose of this study is to develop a valid analytical method for Azoxystrobin residue in melon which can be done in common pesticide residue laboratory in Indonesia.

The extraction process of the developed method was done following the assisted LLE method of QuEChERS, while the clean up process was done using C18 SPE catridge and determined by GC-ECD and quantified by internal

standardization using decachlorobiphenyl (DCB) as internal standard. The performance of GC-ECD shows precision of ratio area, retention time less than 20%, while. the standard integrity shows % RSD of response factor and % difference < 20%. Linearity range was 0.0456 ng – 0.912 ng with r value 0.9913-0.9997. Range of Instrumental Detection Limit (IDL) was 0.003 µg/ml- 0.01 µg/ml and Instrumental Quantitation Limit (IQL) was 0.047 µg/mL. Recovery of fortified blank extract at 0.14 - 0.73 ng was 93-117% and no matrix effect was observed. The error at extraction step, clean up step and determination step were 9.1%, 3.1%, and 3.8% respectively. The recovery of fortified sample at 0.09 ng – 0.68 ng was 84-119%. The LOQ was 0.0008 µg/g and the LLMV 0.005 µg/g, therefore this method is fit for monitoring Azoxystrobin in melon, which has a positive list of 0.01 mg/kg.

Keywords: azoxystrobin, melon, QuEChERS, SPE C18, GC-ECD, method validation


(22)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Bidang pertanian saat ini berkembang semakin pesat dengan adanya banyak penelitian serta usaha yang dilakukan untuk mendapatkan produk-produk pertanian yang melimpah, berkualitas dan unggul. Produk pertanian di Indonesia yang semakin meningkat daya tariknya adalah melon (Cucumis melo L.) (Nuryanto, 2000).

Indonesian Tropical Fruit Festival yang digelar di Expo Shanghai pada 1 Oktober 2010 lalu, telah menghadirkan beragam buah-buahan tropis asal Indonesia yang unik dan eksotis. Keadaan lingkungan Indonesia yang unik, mempunyai potensi besar dalam produk buah-buahan eksotis salah satunya adalah buah melon. Menteri Pertanian mengatakan bahwa agrobisnis Indonesia dengan keunikan produknya mempunyai potensi yang sangat besar untuk menembus pasar Tiongkok atau ekspor ke negara-negara lain (CRI, 2010).

Berdasarkan Dirjen Budidaya dan Pascapanen Buah Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, (2012) Indonesia saat ini hanya mampu mengekspor buah melon setiap satu bulan sekali, hal ini dikarenakan pasokan melon yang belum mencukupi pasar dalam negeri karena semakin meningkatnya permintaan di dalam negeri. Oleh sebab itulah ketersediaan buah melon perlu untuk ditingkatkan guna memenuhi permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri.


(23)

Tanaman melon tidak terlepas dari adanya kendala serangan jamur yang menyebabkan melon cepat membusuk. Serangan jamur yang berat dapat menurunkan produktivitas tanaman atau bahkan menyebabkan kegagalan panen, oleh karena itu usaha pengendalian dan pemberantasan hama dan penyakit harus mendapatkan perhatian secara khusus (Samadi, 2007). Jules (2012) menyatakan bahwa melon dan semangka merupakan tanaman jenis cucurbitaceae yang sering terkena penyakit jamur. Kondisi iklim Indonesia yang berada di daerah tropis menjadi faktor tumbuhnya penyakit jamur dengan baik. Kelembaban yang tinggi menjadi pemicu tingginya penyakit jamur di Indonesia. Salah satu jenis jamur yang sering menyerang tanaman buah melon adalah anthracnose. Kondisi inilah yang menyebabkan kurangnya penyediaan buah melon. Tidak jarang kita temukan penggunaan fungisida yang berlebihan guna memberantas penyakit jamur tersebut. Hal inilah yang menjadi poin penting bagi Indonesia agar saat buah tersebut berada di pasar dalam negeri maupun saat di ekspor, telah memenuhi persyaratan keamanan bagi konsumen.

Pestisida secara harfiah berarti hama (pest: hama dan cide: membunuh). Pestisida sebenarnya telah lama digunakan orang sebagai bahan pembunuh hama atau sebagai pelindung tanaman. Mengingat peranannya yang sangat besar, perdagangan pestisida dewasa ini semakin ramai. Berdasarkan data pencatatan dari Badan Proteksi Lingkungan Amerika Serikat, saat ini lebih dari 2.600 bahan aktif pestisida yang beredar di pasaran (Sudarmo, 1991). Pestisida memiliki berbagai dampak bagi keselamatan pengguna, konsumen dan cemaran lingkungan (Djojosumarto, 2008).


(24)

Beberapa produk fungisida yang baru gencar di pasaran menonjolkan kombinasi antara zat aktif azoxystrobin dengan difenoconazole, fenpropimorph, cyproconazole, propiconazole, maupun chlorothalonil dengan pesentase yang berbeda-beda. Produk ini untuk mengatasi penyakit jamur yang menyerang tanaman melon. Aksi kerja dari azoxystrobin ini adalah menginhibisi respirasi mitokondrial di dalam jamur (Mastovska, 2008). Fungisida yang populer digunakan oleh petani saat ini adalah AMISTARTOP yang mengandung

azoxystrobin 200 g/L dan difenoconazole 125 g/L. Penggunaannya menurut INDOGAP sesuai label adalah maksimum tiga kali aplikasi dengan konsentrasi 0,5 mL/L.

Berdasarkan standar prosedur operasional Syngenta RAM 305/03, mendiskripsikan secara garis besar bahwa determinasi residu pestisida dilakukan dengan cara mengekstraksi sampel dengan asetonitril:air secara LLE kemudian dilakukan sentrifugasi dan clean-up menggunakan SPE (Solid Phase Extraction) C18 dan final determinasi menggunakan high performance liquid chromatography

dengan triple quadrupole mass spectrometer (LC-MS/MS) (RAM 305/03, 2004).

AOAC Official Method 2007 menyatakan bahwa cara menganalisis residu pestisida dengan menggunakan metode ekstraksi single-step buffered

asetonitril (MeCN) dan clean-up menggunakan dispersive-solid-phase extraction

(dispersive-SPE) yang berkombinasi dengan Primary Secondary Amine (PSA)

sorbent dan MgSO4. Kemudian dianalisis menggunakan mass spectrometry (MS)


(25)

Metode European menggunakan sodium chloride untuk mengurangi interfensi dari senyawa polar dan menggunakan buffer asam sitrat untuk mengawetkan analit yang sensitif terhadap basa. Ekstraksi pada metode ini menggunakan magnesium sulfate anhydrous, sodium chloride, sodium citrate tribasic dihydrate dan sodium citrate dibasic sesquihydrate yang kemudian menggunakan sentrifuge dan clean-up menggunakan PSA, MgSO4 dan GCB.

Analisis menggunakan GC-MS atau LC-MS/MS dalam 5% formic acid dalam asetonitril (Anonim1).

Beberapa metode QuEChERS yang disajikan diatas di determinasi menggunakan instrumen yang selektif dan spesifik dengan menggunakan GC-MS/MS atau LC-GC-MS/MS. Keterbatasan GC-GC-MS/MS atau LC-GC-MS/MS di laboratorium Indonesia, memotivasi peneliti untuk mengembangkan metode analisis residu azoxystrobin pada matriks buah melon yang memang belum tersedia di Indonesia agar tetap dapat memantau keamanan menggunakan GC-ECD yang lebih mudah ditemukan di laboratorium Indonesia. GC-GC-ECD yang kurang selektif jika dibandingkan dengan GC-MS/MS atau LC-MS/MS mengakibatkan perlunya dilakukan pengembangan metode QuEChERS dan

clean-up yang sesuai dengan menggunakan Sholid Phase Extraction (SPE) C18.

Melalui kesetimbangan yang berulang di dalam kolom diharapkan hasil ekstraksi yang diperoleh akan menjadi lebih bersih sehingga mampu dideterminasi dengan GC-ECD. Validasi yang dilakukan meliputi akurasi, presisi, linearitas, kisaran/


(26)

Oleh sebab itulah peneliti bermaksud untuk menetapkan sebuah metode yang valid dalam mendeteksi baik secara kualitatif maupun kuantitatif kadar residu fungisida azoxystrobin dalam buah melon setelah pengaplikasian saat budidaya agar tidak melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan guna melindungi kesehatan konsumen dalam negeri dan luar negeri karena Maximum Residue Limit (MRL) atau Batas Maksimum Residu (BMR) azoxystrobin dalam buah melon yang belum tercantum dalam codex.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana pengembangan metode QuEChERS dalam analisis penetapan kadar residu fungisida azoxystrobin dalam buah melon hingga didapatkan hasil yang valid?

b. Bagaimana validasi metode analisis pengukuran residu fungisida

azoxystrobin dalam kulit dan daging buah melon dengan menggunakan instrumen GC-ECD?

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan, belum pernah ada penelitian mengenai “Validasi Metode Analisis Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon (Cucumis melo L).


(27)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat metodologis. Penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan terhadap perkembangan metode QuEChERS dalam analisis residu fungisida azoxystrobin dengan menggunakan Gas Chromatography Electron Capture Detector pada sampel buah melon.

b. Manfaat praktis. Penelitian ini dapat digunakan sebagai prosedur analisis penetapan kadar residu fungisida azoxystrobin dalam buah melon dengan hasil yang akurat dengan menggunakan Gas Chromatography Electron Capture Detector (GC-ECD).

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum dari penelitian

a. Dapat mengembangkan metode QuEChERS dalam analisis penetapan kadar residu fungisida Azoxystrobin dalam buah melon hingga didapatkan hasil yang valid.

b. Mampu melakukan validasi metode analisis residu fungisida Azoxystrobin pada buah melon (Cucumis melo L.) dengan instrumen Gas Chromatography Electron Capture Detector (GC-ECD).

2. Tujuan khusus penelitian

a. Mengetahui proses ekstraksi QuEChERS serta pelarut yang cocok untuk menyari azoxystrobin dari buah melon (Cucumis melo L.)


(28)

c. Mampu menetapkan kadar residu fungisida azoxystrobin dengan kondisi Gas Chromatography Electron Capture Detector (GC-ECD) yang optimal.


(29)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Fungisida 1. Pengertian Fungisida

Fungisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mengontrol penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Jamur merupakan tanaman tidak berklorofil. Mereka bersifat parasit untuk tanaman lainnya (Burton, 2010).

Fungisida azoxystrobin memiliki sifat sebagai protective fungicide dan

curative fungicide yang dapat digunakan pada daun, biji atau perawatan tanah.

Azoxystrobin sama efektifnya dengan atau lebih dari standar industri mancozeb

(Martha, 2012).

Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001, tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :

a. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.

b. Memberantas rerumputan.

c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.

d. Mengatur dan merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk.


(30)

e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak.

f. Memberantas atau mencegah hama-hama air.

g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-atat pengangkutan.

h. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air (Djojosumarto, 2008).

Menurut The United States Environmental Control Act pestisida didefinisikan sebagai berikut.

a. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematode, gulma, virus, bakteri, atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia.

b. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan atau mengeringkan tanaman (Djojosumarto, 2008). 2. Efek Buruk Fungisida

Beberapa fungisida mengandung logam berat dalam struktur kimianya. Apabila dipakai secara membabi buta, fungisida ini menimbulkan pencemaran lingkungan oleh logam-logam berat yang terkandung dalam fungisida tersebut (Sumardjo, 2009).

Masalah utama yang sering ditimbulkan oleh pestisida ini adalah sifat racunnya yang dapat mengenai manusia, hewan piaraan, serangga penyerbuk,


(31)

musuh alami hama dan tanaman serta dapat mencemari lingkungan. Bahkan penggunaan pestisida dengan dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan hama menjadi kebal atau resisten (Wudianto, 1992).

Beberapa paparan yang kemungkinan terjadi meliputi:

a. Pengaruh terhadap lingkungan. Fungisida mengandung racun yang disamping dapat mengendalikan jamur juga mempunyai pengaruh racun terhadap lingkungan. Tiap jenis fungisida mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan. Pengaruh terhadap lingkungan tergantung dari daya racun (toksisitas), cara dan kekerapan aplikasi, serta persistensi (Sumardiyono, 2013).

Dalam praktik penyemprotan tanaman dengan fungisida, sebagian fungisida ada yang jatuh ke atas tanah sekitar tanaman. Hal ini menyebabkan tanah sekitar tanaman terpapar fungisida, sehingga dapat mempengaruhi kualitas air tanah yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Pada keadaan cuaca yang beranging kencang, sebagian bahan semprot akan memberikan drift (cipratan) ke tempat bukan sasaran yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan berupa kontaminasi akibat cipratan misalnya akan mencemari sekitar lahan pertanian. Kontaminasi pada lingkungan juga terjadi akibat dari pencucian alat semprot setelah aplikasi. Pencucian sprayer tidak boleh dilakukan pada saluran air irigasi, sungai kecil atau sumber air lain. Pencucian dilakukan dengan sisa dibuang jauh dari pemukiman atau tempat bermain anak-anak (Sumardiyono, 2013).

b. Pengaruh terhadap organisme tanah. Pestisida yang persisten termasuk didalamnya fungisida yang persisten, sangat berbahaya bagi tanah dan air tanah. Klasifikasi pestisida yang berbahaya di dalam tanah didasarkan atas


(32)

persistensinya. Makin persisten suatu pestisida, maka semakin berbahaya. Umumnya fungisida tidak berbahaya, kecuali PCP dan golongan merkuri (Sumardiyono, 2013).

c. Pengaruh terhadap manusia. Pengaruh terhadap manusia dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Bersifat langsung adalah pengaruh terhadap kesehatan pekerja. Para pekerja dan pemakai fungisida tentu akan terpapar fungisida sewaktu melakukan aplikasi. Bila fungisida yang diaplikasikan berdaya racun tinggi, akibat terhadap para pekerja menjadi sangat berbahaya. Para pekerja akan terpapar fungisida melalui udara yang terhirup karena sebagian bahan yang disemprotkan akan terbawa angin dan masuk ke dalam saluran pernafasan. Para pekerja juga rentan terpapar fungisida bila terjadi kecelakaan atau tumpahan yang mengenai tangan atau kulit (Sumardiyono, 2013).

Secara tidak langsung, manusia mendapatkan kontaminasi fungisida melalui makanan yang kita makan. Manusia mengkonsumsi daging, ikan, sayur, beras, atau produk-produk pertanian yang lain. Bila produk tersebut mengandung residu pestisida maka manusialah yang akan mendapatkan residu yang paling banyak (Sumardiyono, 2013).

3. Fungisida Sistemik

Fungisida sistemik adalah fungisida yang dapat masuk melewati kutikula dan terserap oleh tanaman, bersifat mobile (bergerak) atau ditranslokasikan dari tempat aplikasi ke bagian tanaman yang lain, atau bergerak dari akar melalui

xilem ke daun. Fungisida sistemik dapat diaplikasikan sebagai fungisida protektan atau terapeutan. Fungisida jenis ini berfungsi mencegah perkembangan penyakit


(33)

sehingga dapat menyembuhkan (cure) tanaman yang sudah sakit atau menghambat perkembangan penyakit atau disebut juga fungisida kemoterapeutan. Fungisida sistemik yang baik harus memenuhi beberapa kriteria :

a. Senyawa tersebut harus bersifat fungisidal atau dapat diubah menjadi senyawa yang beracun dalam tanaman.

b. Senyawa tersebut harus mempunyai fitotoksisitas yang sangat rendah karena terserap oleh tanaman.

c. Senyawa tersebut harus dapat terserap oleh akar, daun atau biji sebelum dapat ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lain (Sumardiyono, 2013).

Fungisida sistemik dapat diaplikasikan dengan cara perlakuan benih, penyuntikan batang, penyemprotan pada permukaan tanaman, pembasahan tanah sekitar perakaran. Setelah perlakuan dengan fungisida ini akan terjadi penetrasi ke dalam jaringan tanaman, kemudia di translokasikan ke bagian tanaman yang lain.

Fungisida sistemik bekerja sampai jarak yang jauh dari tempat aplikasi dan dapat menyembuhkan tanaman yang sudah sakit. Fungisida sitemik bekerja bersama dengan proses metabolisme tanaman. Fungisida sistemik hanya bekerja pada satu tempat dari bagian sel jamur, sehingga disebut mempunyai cara kerja

single site action atau spesifik. Jenis-jenis fungisida sistemik diantaranya golongan oksatin, metalaksil, benzimidazol, fosfat organik, pirimidin, triazol dan strobilurin (Sumardiyono, 2013).


(34)

B. Azoxystrobin 1. Mekanisme Aksi Azoxystrobin

Azoxystrobin (Methyl (E) – 2 - { 2[ 6 - ( 2 – cyanophenoxy ) pyrimidin –

4 –yloxy ]phenyl } – 3 - methoxyacrylate) merupakan fungisida turunan strobulin yang bekerja secara sistemik dan termasuk dalam golongan methoxyacrylates. Mekanisme aksi azoxystrobin adalah menginhibisi respirasi mitokondria jamur.

Azoxystrobin memiliki stuktur seperti Gambar 1.


(35)

2. Sifat Fisika Kimia Azoxystrobin

Sifat fisika kimia senyawa azoxystrobin dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1. Sifat Fisika Kimia Azoxystrobin

Nama umum Azoxystrobin

Nama kimia (IUPAC) Methyl (E)-2-{2 [6-(2- cyanophenoxy)pyrimidin-4-yloxy]phenyl}-3-

Methoxyacrylate

Nama kimia (CA) Methyl (E)-2-[[6-(2-cyanophenoxy)-4-pyrimidinyl]oxy]-α-

(methoxymethylene)benzeneacetate

Rumus molekul C22H17N3O5

Bobot molekul 403,4 g/mol

Pemerian Serbuk putih, tidak berbau Tekanan uap pada 20°C 1,1 x 10-10 Pa

Titik lebur 116°C

Koefisien partisi Log Pow = 2,5 ( 20°C, pH 7)

Kelarutan dalam air 20°C 6 mg/L pada purified water

Berat jenis 1,34 g/cm3

Volatilitas Henry’s Law constant = 7,3 x 10-9 Pa m3/mol

Kelarutan di air 20°C 6,7 mg/L pada buffer pH 5,2 6,7 mg/L pada buffer pH 7 5,9 mg/L pada buffer pH 9,2 Kelarutan pada pelarut

organic 20°C

Hexane = 0,057 g/L Octanol = 1,4 g/L Metanol = 20 g/L Toluene = 55 g/L Acetone = 86 g/L Ethyl acetate = 130 g/L Asetonitril = 340 g/L Dicholomethane = 400 g/L


(36)

C. Buah Melon 1. Pengertian Melon

Melon merupakan tanaman semusim yang tumbuh menjalar, berbatang lunak, dari setiap pangkal tangkai daun pada batang utama tumbuh tunas lateral. Pada tunas lateral inilah muncul bunga betina (bakal buah) yang rata-rata mampu menghasilkan satu sampai dua calon buah. Namun, tidak semuanya menjadi buah. Calon buah yang tidak sempat diserbuki akan gugur. Oleh karena itu, perempelan tunas lateral harus dilakukan, kecuali tunas lateral yang bakal buahnya dipilih untuk dijadikan buah. Budi daya tanaman melon dapat pula dirambatkan pada turus bamboo (ajir). Buah melon umumnya berbentuk bulat dengan jarring-jaring (net) yang tampak jelas pada permukaan kulit buahnya. Akan tetapi ada beberapa varietas melon yang tidak memiliki net pada permukaan kulitnya, misalnya Silver Light, Sun Lady, Snow Charm dan beberapa yang lainnya (Samadi, 2007).

2. Taksonomi Tanaman Melon

Tanaman melon (Cucumis melo L.) termasuk famili Cucurbitaceae. Klasifikasi tanaman melon dalam ilmu tumbuha-tumbuhan atau taksonomi disebutkan dengan urutan sebagai berikut:

Kingdom : Platae / Tumbuh-tumbuhan Divisio : Spematophyta / Tumbuhan berbiji

Sub-divisio : Angiospremae / Tumbuhan Berbiji tertutup Kelas : Dicotyledonae / Biji berkeping dua

Ordo : Cucurbitaceae (Compositae) Famili : Cucurbitaceae


(37)

Genus : Cucumis

Spesies : Cucumis melo L. ( Nuryanto, 2000). 3. Kandungan Buah Melon

Tabel II. Kandungan Buah Melon (Samadi, 2007).

No Unsur Gizi Jumlah

1 Energi (kalori) 23

2 Protein (g) 0,6

3 Kalsium (mg) 17

4 Vitamin A (IU) 2,400

5 Vitamin C (mg) 30

6 Thiamin (mg) 0,045

7 Riboflavin (mg) 0,065

8 Niacin (mg) 1,0

9 Karbohidrat (g) 6,0

10 Besi (mg) 0,5

11 Nicotinamida (mg) 0,5

12 Air (mL) 93,0

13 Serat (g) 0,4

D. Ekstraksi 1. Pengertian dan Prinsip Ekstraksi

Liquid-liquid Extraction (LLE) merupakan salah satu ekstraksi yang sering digunakan untuk memisahkan suatu analit dari komponen lain yang tidak diharapkan. LLE adalah suatu metode pemisahan dengan menggunakan dua fase pelarut yang saling tidak bercampur dengan memperhatikan nilai P-nya. Metode ini digunakan dengan menggunakan tabung sentrifuge dimana hanya memerlukan sampel yang lebih sedikit (Cairns, 2004).

Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen


(38)

matriks yang mungkin mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Di samping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan untuk deteksi atau kuantifikasinya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Dalam bentuk paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan pelarut organik yang tidak campur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzen, atau diklorometan. Meskipun demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam air) juga mungkin terjadi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang bersifat non polar atau agak polar. Sementara itu, senyawa-senyawa polar dan senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan dalam fase air (Gandjar dan Rohman, 2007).

Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling tidak campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD) dan dirumuskan sebagai berikut:


(39)

KD = (S)org

(S)aq

Keterangan:

KD = koefisien partisi

[S]org = konsentrasi analit dalam fase organik [S]aq = konsentrasi analit dalam fase air

Dalam prakteknya, analit seringkali berada dalam bentuk kimia yang berbeda karena adanya disosiasi (ionisasi), protonasi, dan juga kompleksasi atau polimerasi karenanya ekspresi yang lebih berguna adalah rasio distribusi atau rasio partisi (D). Persamaannya adalah sebagai berikut:

D = (Cs)org

(Cs)aq

Keterangan:

D = rasio partisi

(Cs)org = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase organik (Cs)aq = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase air

Analit yang mempunyai rasio distribusi besar (104 atau lebih) akan mudah terekstraksi ke dalam pelarut organik meskipun proses kesetimbangan (yang berarti 100% solut terekstraksi atau tertahan) tidak pernah terjadi. Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektivitas ekstraksi analit dengan rasio distribusi yang kecil (<1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut baru pada larutan sampel secara terus menerus (Gandjar dan Rohman, 2007).


(40)

2. Pemilihan Pelarut

Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (< 10%), dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

Beberapa masalah yang sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi pelarut yaitu: terbentuknya emulsi, analit terikat kuat pada partikulat, analit terserap oleh partikulat yang mungkin ada, analit terikat pada senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi, dan adanya kelarutan analit secara bersama-sama dalam kedua fase. Terjadinya emulsi merupakan hal yang paling sering dijumpai. Oleh karena itu, jika emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka

recovery yang diperoleh kurang baik. Emulsi dapat dipecah dengan cara: a. Penambahan garam ke dalam fase air

b. Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan c. Penyaringan melalui glass-wool

d. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring e. Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda f. Sentrifugasi (Gandjar dan Rohman, 2007).


(41)

E. Sentrifugasi

Sentrifugasi merupakan suatu tekhnik pemisahan suatu partikel saat diberikan gaya terapan sentrifugal. Metode ini didasarkan pada perbedaan tingkat sedimentasi partikel ukuran yang berbeda dan berat jenis (Wilson, 2001).

Sentrifugasi adalah nama umum yang diberikan untuk metode pemisahan yang melibatkan rotasi sumbu tetap untuk menghasilkan gaya sentrifugal (g). Kekuatan gaya sentrifugal ini mengakibatkan zat turun melalui media cair dan jatuh atau mengalami sedimentasi yang bervariasi terutama sesuai dengan densitas zat dan ukuran. Kepadatan zat yang berbeda atau ukuran sedimen pada tingkat yang berbeda dan di beberapa titik tertentu secara fisik akan terpisah satu sama lain. Sedimentasi zat dapat di gambarkan dengan persamaan Stokes untuk penyelesaian partikel di medan gravitasi.

dimana v = laju sedimentasi atau kecepatan partikel; d = diameter partikel; ℮p = kepadatan partikel; ℮L = densitas zat cair; n = viskositas medium cair; g = gaya gravitasi. dari persamaan stoke dapat dilihat bahwa:

a. Laju sedimentasi partikel sebanding dengan ukuran partikel

b. Tingkat sedimentasi sebanding dengan perbedaan kepadatan antara partikel dan cairan

c. Tingkat sedimentasi adalah nol ketika kepadatan partikel adalah sama dengan densitas cairan


(42)

d. Penurunan tingkat sedimentasi sebagai viskositas meningkat cair

e. Peningkatan laju sedimentasi sebagai kekuatan peningkatan gravitasi (Sharpe, 1998).

F. Solid Phase Extraction (SPE)

Solid Phase Extaction (SPE) merupakan salah satu kemungkinan dalam persiapan sampel dengan berdasarkan metode penjebakan analit. Menggunakan metode ini analit terjebak dalam adsorben, dan kemudian dicuci dengan volume minimal pelarut (Nollet, 2005).

Tahapan pertama menggunakan SPE adalah dengan mengkondisikan penjerap menggunakan pelarut yang sesuai. Penjerap nonpolar seperti C18 dan

penjerap penukar ion dikondisikan dengan mengalirinya menggunakan metanol lalu aquadest. Pencucian yang berlebih menggunakan air akan mengurangi

recovery analit. Penjerap-penjerap polar seperti diol, sianol, amino, dan silika harus dibilas dengan menggunakan pelarut nonpolar seperti metilen klorida (Rohman, 2009).

Solid Phase Exraction (SPE) merupakan teknik yang relatif baru dan cepat berkembang sebagai alat utama yang digunakan untuk pra perlakuan sampel atau clean-up sampel yang kotor. Keunggulan SPE dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair adalah:

a. Proses ekstraksi lebih sempurna

b. Pemisahan analit dari pengganggu yang mungkin ada menjadi lebih efisien c. Mengurangi pelarut organik yang digunakan


(43)

d. Fraksi analit yang diperoleh lebih mudah dikumpulkan e. Mampu menghilangkan partikulat

f. Lebih mudah diotomatisasi (Rohman, 2009). Empat tahapan dalam prosedur SPE, yaitu:

a. Pengkondisian. Catridge (penjerap) dialiri dengan menggunakan pelarut sampel untuk membasahi permukaan penjerap dan untuk menciptakan nilai pH yang sama, sehingga perubahan-perubahan kimia yang tidak diharapkan ketika sampel dimasukan dapat dihindari.

b. Retensi (tertahannya) sampel. Larutan sampel dilewatkan ke catridge

baik untuk menahan analit yang dituju, sementara komponen lain terelusi atau untuk menahan komponen yang tidak diharapkan sementara analit yang dituju terelusi.

c. Pembilasan. Tahap ini penting untuk menghilangkan seluruh komponen yang tidak tertahan oleh penjerap selama tahap retensi.

d. Elusi. Tahap ini merupakan tahap akhir untuk mengambil analit yang dituju, jika analit tersebut tertahan pada penjerap (Rohman, 2009).

Strategi pertama adalah dengan memilih pelarut yang mampu menahan semua analit yang dituju pada penjerap yang digunakan, sementara itu senyawa-senyawa yang lain akan terelusi. Analit yang dituju selanjutnya dielusi dengan menggunakan sejumlah kecil pelarut organik yang akan mengambil analit yang tertahan pada penjerap. Strategi ini bermanfaat jika analit yang dituju berkadar rendah. Strategi yang lainnya adalah dengan mengusahakan supaya analit yang


(44)

dituju keluar (terelusi), sementara senyawa pengganggu tertahan pada penjerap (Gandjar dan Rohman, 2007).

Gambar 3. Tahapan SPE (Nollet, 2005).

G. Kromatografi Gas 1. Pengertian

Kromaografi adalah suatu metode pemisahan campuran yang didasarkan pada perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Berdasarkan fase gerak yang digunakan, kromatografi dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu kromatografi gas dan kromatografi cair (McNair & Miller, 1998).

Kromatografi gas adalah teknik pemisahan yang mana solut-solut yang mudah menguap dan stabil dengan pemanasan bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya (Gandjar dan Rohman, 2007).


(45)

Kromatografi gas pada dasarnya merupakan metode pemisahan yang tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tanpa menggunakan baku pembanding. Optimasi kromatografi gas antara lain sensitivitas dan selekstivitas/spesifitas instrument terhadap analit yang dianalisis. Polaritas dan volatilitas dari komponen yang akan dipisahkan menjadi pertimbangan untuk memilih fase diam yang cocok (Grob, 1995).

Kromatografi Gas merupakan teknik analisis yang cepat, memiliki hasil yang baik untuk analisis pestisida multikomponen, memiliki sensitifitas tinggi dengan detektor yang spesifik (Nollet, 2004). Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi dari komponen yang kita analisis dengan waktu retensi zat baku pembanding (standar) pada kondisi analisis yang sama. Analisis kuantitatif diakukan dengan cara perhitungan relatif dari tinggi atau luas puncak kromatogram komponen yang dianalisis terhadap zat baku pembanding (standar) yang dianalisis (Johnson & Stevenson, 1991).

Komponen-komponen yang akan dipisahkan didistribusikan di antara fase diam dan fase gerak. Suatu kromatografi gas yang baik terdiri dari komponen-komponen penting yaitu gas pembawa dan regulator tekanan, injektor, kolom, oven, detektor, dan pencatat signal (Rouessac dan Annick, 2007).

2. Prinsip Pemisahan

Pemisahan pada kromatografi gas di dasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu


(46)

menghantarkannya ke detektor. Fase gerak dalam kromatografi gas juga biasa disebut sebagai gas pembawa. Syarat gas pembawa adalah tidak reaktif, dan murni/kering karena kalau tidak murni akan berpengaruh pada detektor (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pada kromatografi gas, fase diam selalu di tempatkan di dalam sebuah kolom. Fase diam ini dapat berupa suatu padatan (Kromatografi Gas-Padat/Gas Solid Chromatography). Cara penyerapan komponen pada kromatografi gas padat (GSC) merupakan proses adsorpsi pada permukaan, sedangkan Kromatografi Gas Cair (GLC) dinamakan kromatografi partisi (Soeryadi, 1997).

Pemisahan pada kromatografi gas dapat di lakukan pada suhu tetap yang biasanya disebut dengan pemisahan isotermal dan dapat dilakukan dengan menggunakan suhu yang berubah secara terkendali yang disebut dengan pemisahan suhu terprogram. Pemisahan isotermal paling baik dipakai pada analisis rutin atau jika kita mengetahui agak banyak sifat sampel yang akan dipisahkan. Pilihan awal pada pemisahan isotermal ini adalah suhu yang digunakan beberapa derajat di bawah titik didih komponen campuran utama. Ada dua hal yang perlu diperhatikan terkait dengan penggunaan pemisahan isotemal ini, yaitu: (1) terkait dengan pemilihan suhu. Jika suhu yang digunakan terlalu tinggi maka komponen akan terelusi tanpa terpisah, sementara jika suhu terlalu rendah maka komponen yang bertitik didih tinggi akan keluar sangat lambat atau bahkan tetap dalam kolom sehingga akan mengacaukan proses kromatografi selanjutnya, dan (2) terkait dengan proses kromatografi, karena makin lama suatu sampel dalam kolom maka semakin lebar alas puncaknya. Kedua hal ini dapat


(47)

diatasi jika digunakan pemisahan dengan suhu terprogram (Gandjar & Rohman, 2007).

Pemisahan dengan suhu terprogram mempunyai keuntungan, yakni mampu meningkatkan resolusi komponen-komponen dalam suatu campuran yang mempunyai titik didih pada kisaran yang luas. Disamping itu, pada suhu terprogram juga mampu mempercepat keseluruhan waktu analisis, karena senyawa-senyawa dengan titik didih tinggi akan terelusi lebih cepat (Gandjar & Rohman, 2007).

3. Performance GC

Pemisahan yang terjadi pada analisis dengan kromatografi gas dipengaruhi oleh efisiensi kolom dan efisiensi pelarut. Efisiensi kolom menentukan pelebaran puncak kromatogram. Efisiensi kolom dapat diukur dengan menghitung jumlah lempeng teoritis (N) dan panjang kolom yang sesuai dengan plat teoritis (Height Equivalent to a Theoritical Plate, HETP). HETP adalah panjang kolom yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan komponen cuplikan diantara fase gerak yang bergerak dan fase diam yang diam. Semakin banyak jumlah lempeng teoritis, semakin kecil HETP, maka efisiensi kolom meningkat dan pemisahan yang terjadi akan semakin baik (Jennings, et all., 1987). Faktor ikutan didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak tepi muka sampai tepi belakang puncak dibagi dua kali jarak dari maksimum puncak sampai tepi muka puncak, jarak-jarak tersebut diukur pada titik yang ketinggiannya 5% dari tinggi puncak di atas garis dasar. Untuk suatu puncak yang simetris, factor


(48)

ikutan (Tf) besarnya satu, dan besarnya harga Tf ini akan bertambah jika kromatogram semakin tambah berekor (Jennings, et all., 1987).

Pemisahan yang sebenarnya dari dua puncak yang berurutan diukur dengan resolusi atau daya pisah. Resolusi merupakan suatu ukuran keefisienan kolom dan pelarut yang dapat menerangkan sempitnya puncak dan juga pemisahan antara dua maksimum puncak. Resolusi didefinisikan sebagai jarak antara dua puncak dibagi dengan jumlah lebar masing-masing puncak dengan diukur dari alas puncak. Bila nilai resolusi adalah satu maka kesempurnaan pemisahan dua puncak adalah 99,7%. Umumnya dalam praktek, nilai resolusi satu tidak cukup baik karena derajat overlap. Pemisahan yang baik dicapai pada resolusi sekitar 1,5 atau lebih (Wittkowski & Matissek, 1990).

4. Instrumentasi

Gambar 4. Diagram Skematik Kromatografi Gas (Nagel, 2004)

a. Gas pembawa. Fase gerak dalam kromatografi gas disebut gas pembawa dan harus murni dan inert secara kimia. Gas pembawa yang umumnya digunakan adalah helium, nitrogen, argon, dan hidrogen (Skoog, West, Holler,and Crouch, 2004).

Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik dan jenis detektor yang digunakan. Gas pembawa untuk detektor ECD biasanya adalah N2


(49)

dengan kecepatan alir 30-60 ml/menit. Untuk setiap pemisahan dengan kromatografi gas terdapat kecepatan optimum gas pembawa yang tergantung pada diameter kolom. Kolom kapiler menggunakan kecepatan alir gas yang rendah, yakni antara 0,2 – 2 mL/menit. Karena kecepatan alir gas pembawa pada kolom kapiler sangat rendah, maka pada kebanyakan detektor ditambah gas tambahan yang ditambahkan ke dalam efluen setelah keluar dari kolom tetapi belum mencapai detektor. Gas tambahan umumnya sama dengan gas pembawa, meskipun kadangkala digunakan helium. Gas pembawa bekerja paling efisien pada kecepatan alir tertentu. Gas nitrogen akan efisien jika digunakan dengan kecepatan alir ± 10 ml/menit, sementara helium akan efisien pada kecepatan alir 40 ml/menit (Gandjar dan Rohman, 2007).

Gambar 5. Gas yang Digunakan dalam Kromatografi Gas (Grob, 1995) b. Sample Injector. Ruang injektor atau inlet berfungsi untuk menghantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan dikromatografi di masukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik yang biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan umumnya 10 – 15ºC


(50)

lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum. Jadi seluruh sampel akan menguap segera setelah sampel disuntikkan (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pada kolom kapiler, sampel yang diperlukan sangat sedikit bahkan sampai 0,01 μL, berbeda dengan kolom kemas yang memerlukan 1 – 100 μL sampel. Karena pengukuran secara akurat sulit dilakukan jika sampel yang disuntikkan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka ditempuh suatu cara untuk mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik pemecah suntikan (split injection). Dengan menggunakan pemecah suntikan ini, sampel yang banyaknya diketahui, disuntikkan ke dalam aliran gas pembawa dan sebelum masuk ke kolom, gas pembawa ini dibagi menjadi dua aliran. Satu aliran masuk ke dalam kolom dan satunya lagi akan dibuang. Aliran relatif dalam kedua aliran ini dikendalikan dengan sejenis penghambat seperti katup jarum pada aliran yang dibuang. Laju alir di dalam kedua aliran diukur dan ditentukan nisbah (rasio) pemecahannya. Jika 1 μL sampel dimasukkan ke dalam pemecah aliran yang mempunyai nisbah pemecahan 1:100, maka sebanyak 0,01 μL sampel masuk ke dalam kolom dan sisanya akan dibuang (Gandjar dan Rohman, 2007).

c. Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada kromatografi gas. Terdapat dua jenis tipe kolom yang digunakan dalam gas kromatografi, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler atau sering disebut

open tubular columns. Pada masa lalu, lebih banyak digunakan kolom kemas untuk melakukan analisis menggunakan gas kromatografi. Untuk aplikasi masa


(51)

kini, kolom kemas digantikan dengan kolom kapiler karena lebih efisien dan lebih cepat (Skoog, West, Holler, and Crouch, 2004). Semakin sempit diameter kolom, maka efisiensi pemisahan kolom semakin besar atau puncak kromatogram yang dihasilkan semakin tajam. Pada umumnya, seorang analis akan memilih kolom dengan diameter 0,2 mm atau yang lebih kecil ketika menganalisis sampel dengan konsentrasi sekelumit atau ketika seorang analis akan memisahkan komponen yang sangat kompleks (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kolom kapiler terbuat dari silica (SiO2) dan dilapisi dengan polymide

(plastik yang mampu menahan suhu 350ºC). Pada bagian dalam terdapat rongga yang menyerupai pipa, oleh karena itu kolom kapiler juga disebut Open Tubular Columns. Fase diam melekat mengelilingi dinding dalam kolom. Terdapat 4 macam jenis lapisan pada kolom kapiler ini, yaitu: WCOT (Wall Coated Open Tubular Column), SCOT (Support Coated Open Tubular Column), PLOT (Porous Layer Open Tubular Column), dan FSOT (Fused Silica Open Tubular Column).

WCOT (Wall Coated Open Tubular Column) memiliki 0,1 – 5 μm lapisan tipis fase diam cair yang terdapat pada dinding bagian dalam kolom. SCOT (Support Coated Open Tubular Column) memiliki partikel solid yang dilapisi dengan fase diam cair yang terdapat pada bagian dalam dinding. Pada PLOT (Porous Layer Open Tubular Column) partikel padat sebagai fase diam aktif. Dengan besarnya luas area yang dimiliki, SCOT dapat menampung sampel lebih besar daripada WCOT. Performa SCOT berada diantara WCOT dan kolom kemas. Diameter dalam kolom kapilermemiliki ukuran 0,10 – 0,53 mm dengan panjang 15 sampai 100 m, umumnya adalah 30 m. Menurut Moffat, Osselton, and Widdop (2011)


(52)

kolom kapiler menghasilkan resolusi, sensitivitas, daya tahan yang lebih baik daripada kolomkemas (Harris, 2010).

Kolom kapiler sangat banyak dipakai atau lebih disukai oleh para ilmuwan. Salah satu penyebabnya adalah kemampuan kolom kapiler memberikan harga jumlah plat teori yang sangat besar (> 300.000 plat). Fase diam yang dipakai pada kolom kapiler dapat bersifat non polar, polar, atau semi polar. Fase diam non polar yang paling banyak digunakan adalah metil polisiloksan (HP-1; DB-1; 30; CPSIL-5) dan fenil 5% - metilpolisiloksan 95% (HP-5; DB-5; SE-52; CPSIL- 8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50% - metilpolisiloksan 50% (HP-17; DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase diam yang polar adalah seperti polietilenglikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M). Jenis fase diam akan menentukan urutan elusi komponen-komponen dalam campuran. Seorang analis harus memilih fase diam yang mampu memisahkan komponen-komponen dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin bertambah halusnya partikel fase diam ini. Semakin kecil diameter partikel fase diam, maka efisiensinya akan meningkat. Ukuran partikel fase diam biasanya berkisar antara 60 – 80 mesh (250 – 170 μm) (Gandjar dan Rohman, 2007).

d. Detektor penangkap electron (Electron capture detector/ECD).

Detektor penangkap elektron (ECD) merupakan detektor yang dilengkapi dengan sumber radioaktif yaitu tritium (3H) atau nikel (63Ni) yang menghasilkan partikel-β. Partikel radioaktif ini bertubrukan dan mengioniasi gas pembawa (make up) gas (Grob, 1995). Tegangan listrik yang dipasang antara katoda dan anoda tidak


(53)

terlalu tinggi, antara 2-100 volt. Dasar kerja detektor ini adalah: penangkapan elektron oleh senyawa yang memiliki afinitas terhadap elektron bebas, yaitu senyawa yang mempunyai unsur-unsur elektronegatif. Bila fase gerak (gas pembawa N2) masuk ke dalam detektor maka sinar β akan mengionisasi molekul

N2 menjadi ion-ion N2+ dan menghasilkan elektron bebas yang akan bergerak ke

anoda dengan lambat. Dengan demikian, di dalam ruangan detektor terdapat semacam awan elektron bebas yang dengan lambat menuju anoda. Elektron-elektron yang terkumpul pada anoda akan menghasilkan arus garis dasar (baseline curent) yang steady dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila komponen sampel (senyawa dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk ke ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan menangkap elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini akan dibawa oleh fase gerak (carrier gas). Akibatnya setiap partikel negatif dibawa keluar detektor, berarti menyingkirkan satu elektron dari sistem sehingga arus listrik yang steady tadi akan berkurang. Pengurangan arus ini akan dicatat oleh rekorder sebagai puncak pada kromatogram (Gandjar & Rohman, 2007).

Detektor merupakan perangkat yang di letakkan pada ujung kolom tempat keluar fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal gas pembawa gan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik (Gandjar dan Rohman, 2007).


(54)

e. Oven. Pemilihan temperatur pada kromatografi gas tergantung pada beberapa faktor. Temperatur injeksi harus relatif tinggi yang memberikan kecepatan penguapan yang paling tinggi sehingga memberikan resolusi yang baik. Temperatur injeksi terlalu tinggi dapat menyebabkan karet septum menjadi rusak dan menyebabkan tempat injeksi menjadi kotor. Temperatur kolom berhubungan dengan kecepatan, sensitivitas, dan resolusi. Pada temperatur kolom yang tinggi, komponen sampel lebih banyak berada pada fase gas sehingga akan cepat terelusi tetapi resolusi nya menjadi buruk. Pada temperatur rendah, komponen sampel akan memiliki lebih banyak waktu untuk berada pada fase diam dan terelusi secara perlahan, resolusi menjadi meningkat tetapi sensitivitas menurun karena puncak yang dihasilkan akan melebar. Temperatur detektor harus cukup tinggi untuk mencegah kondensasi sampel (Christian, 2004).

H. Metode Kuantifikasi

Metode kuantifikasi dan proses kalibrasi adalah sama digunakan pada suatu teknik instrumental untuk analisis senyawa organic seperti contohnya pada insteumen kromatografi gas. Determinasi kuantitatif suatu komponen organic didasarkan pada perbandingan respons instrumental dari suatu senyawa yang tidak diketahui dengan kalibran. Kalibran disiapkan dengan referensi standar yang diketahui memiliki kemurnian yang tinggi. Beberapa pendekatan untuk kuantifikasi yaitu dengan menggunakan metode standar eksternal, metode standar internal dan metode standar adisi (Czichos, 2006).


(55)

1. Metode Standar Eksternal

Metode standar eksternal merupakan metode yang digunakan untuk menetapkan konsentrasi senyawa yang tidak diketahui konsentrasinya dalam suatu sampel dengan menggunakan plot kalibrasi kurva baku eksternal. Larutan-larutan kurva baku eksternal disiapkan dan dianalisis secara terpisah dari kromatogram senyawa tertentu yang ada dalam sampel. Sampel yang mengandung senyawa tertentu yang akan ditetapkan konsentrasinya dan telah disiapkan, selanjutnya diinjeksikan dan dianalisis dengan cara yang sama. Konsentrasi senyawa tersebut ditentukan dengan metode grafik dari plot kalibrasi atau secara numerik (Rohman, 2009).

2. Metode Standar Internal

Metode standar internal berdasarkan pada perbandingan respon relatif dari analit terhadap respon satu atau lebih suatu senyawa. Standar internal di tambahkan ke dalam sampel dan kalibran. Baku standar internal merupakan senyawa yang berbeda dengan analit, meskipun demikian senyawa ini harus terpisah dengan baik selama proses pemisahan. Baku internal dapat menghilangkan pengaruh karena adanya perubahan-perubahan pada ukuran sampel atau konsentrasi karena adanya perubahan-perubahan pada ukuran sampel atau konsentrasi karena variasi instrument. Suatu baku internal digunakan jika suatu sampel memerlukan perlakuan sampel yang sangat signifikan. Perlakuan yang dimaksud adalah tahapan-tahapan yang meliputi derivatisasi, ekstraksi, filtrasi, dan sebagainya yang mengakibatkan sampel berkurang. Jika baku internal


(56)

ditambahkan pada sampel sebelum dilakukan preparasi sampel, maka baku internal dapat menjadi faktor koreksi hilangnya sampel.

3. Metode Standar Adisi

Metode standar adisi didasarkan pada adisi suatu senyawa kalibran yang diketahui kuantitas atau konsentrasinya kemudian ditambahkan pada sampel yang tidak diketahui jumlah/konsentrasinya (dengan atau tanpa penambahan standar internal). Dengan menambahkan paling sedikit dua atau lebih alikuot standar, suatu kurva dapat disiapkan. Konsentrasi analit dalam sampel dapat ditentukan dengan ekstrapolasi kurva kalibrasi. Respon analit harus linier pada kisaran konsentrasi yang digunakan dalam kurva baku kalibrasi. Suatu pendekatan dalam standar adisi adalah dengan membagi sampel ke dalam beberapa bagian yang sama kemudian diadisi dengan konsentrasi standar adisi yang meningkat. Selanjutnya dianalisis antara respon analit dengan konsentrasi yang dinjeksikan (Rohman, 2009).

I. Validasi Metode Analisis

Metode analisis merupakan serangkaian prosedur yang dapat diterima dalam mendapatkan hasil analisis suatu sampel. Validasi merupakan proses verifikasi metode yang sesuai dengan tujuan analisis. Metode dapat berupa hasil pengembangan metode lain, di dapat dari suatu literatur atau bahkan dari pihak ketiga lainnya. Suatu metode mungkin diadaptasikan atau dimodifikasi untuk dapat memenuhi persyaratan dan kemampuan dari sebuah laboratorium dan atau untuk tujuan metode yang akan digunakan. Beberapa garis besar kriteria validasi


(57)

metode residu fungisida meliputi akurasi, presisi, kisaran linearitas, linearitas, dan LOQ (CCPR, 2003).

1. Akurasi

Akurasi merupakan kedekatan nilai antara hasil uji dan hasil referensi yang diketahui. Akurasi dapat ditetapkan dari hasil perolehan kembali (%

recovery). Recovery merupakan fraksi atau persentase dari perolehan kembali suatu analit setelah ekstraksi dan analisis sampel kosong yang telah ditambahkan analit dengan konsentrasi yang diketahui (adisi menggunakan reference material). Suatu % recovery yang dikatakan memenuhi parameter validasi metode residu fungisida jika berada pada rentang 70 % - 125% untuk konsentrasi 10 µg/kg (ppb) (AOAC, 2002).

2. Presisi

Presisi adalah Kedekatan antara hasil uji yang diperoleh di bawah kondisi yang ditetapkan. Presisi dapat ditentukan dengan ≥ 3 replikasi pada ≥ 5 level. Presisi dapat ditetapkan dengan melihat % RSD. Suatu metode dikatakan memiliki repeatability yang baik jika % RSD ≤ 20 % (CCPR, 2014) atau kurang dari 32% pada konsentrasi 10 µg/kg (ppb) (AOAC, 2002). .

3. Linearitas dan Rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004). Suatu linearitas metode analisis reidu fungisida dapat dikatakan baik jika ≥ 0,990 (CCPR, 2003).


(58)

4. Limit of Quantitation (LOQ)

LOQ merupakan konsentrasi terkecil analit yang dapat diukur. Umumnya didefinisikan sebagai konsentrasi minimum analit dalam sampel uji yang dapat ditentukan dengan presisi yang dapat diterima (pengulangan) dan akurasi di bawah kondisi yang dinyatakan dalam hasil uji. LOQ dapat diterima jika kurang dari ½ MRL dan positive list sebesar 0,01 µg/g (CCPR, 2003).

J. Landasan Teori

Azoxystrobin merupakan fungisida turunan strobulin yang bekerja secara sistemik dan termasuk dalam golongan methoxyacrylates. Mekanisme aksi

azoxystrobin adalah menginhibisi respirasi mitokondria jamur. Intrumen GC-ECD dapat dikatakan sudah dalam kondisi yang optimum jika mendapatkan N, Rs dan Tf yang memenuhi persyaratan. Setelah didapatkan konsidi yang dapat memisahkan analit dengan berbagai impurities maka dilakukan pengujian keajegan dari sistem GC-ECD dengan menginjeksikan enam kali konsentrasi yang sama pada kondisi yang sama. Kemudian dilanjutkan dengan menentukan analisis kuantitatif dari GC-ECD yang meliputi % RSD RF, % D, linearitas, kisaran linearitas, IDL dan IQL. Ekstraksi azoxystrobin dilakukan dengan metode QuEChERS dan pengendapan menggunakan sentrifugasi. Clean-up dilakukan dengan menggunakan kolom SPE C18 dimana bagian nonpolar dari azoxystrobin

akan terjerab dalam fase diam. Determinasi menggunakan GC-ECD. Hasil validasi metode analisis dikatakan baik jika memenuhi persyaratan akurasi, presisi, kisaran linearitas, linearitas dan LOQ.


(59)

K. Hipotesis

1. Pelarut dengan polaritas yang mendekati azoxystrobin dapat digunakan sebagai pelarut ekstraksi azoxystrobin pada kulit dan daging buah melon secara kuantitatif

2. SPE C18 dapat digunakan sebagai sarana clean-up untuk memisahkan matriks

dengan azoxystrobin dengan fase gerak yang sesuai

3. Azoxystrobin dapat dipisahkan dengan matriks dengan GC dan ditetapkan dengan detector ECD


(60)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimental murni karena terdapat perlakuan terhadap subjek uji.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi standar azoxystobin yang ditambahkan, volume fase gerak saat clean-up, lama sentrifugasi, kecepatan sentrifugasi.

2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah hasil fraksi elusi metanol saat clean-up, jumlah supernatan yang diperoleh, lama sentrifugasi, kecepatan sentrifugasi, resolusi (Rs), jumlah lempeng (N), tailing factor (Tf), waktu retensi (tR), koefisien korelasi, limit of detection (LOD) atau IDL, IQL, limit of quantification (LOQ), LLMV, presisi, dan hasil % recovery validasi metode analisis.

3. Variabel Pengacau Terkendali

Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah kemurnian pelarut yang digunakan. Hal tersebut diatasi dengan menggunakan pelarut pro


(61)

analysis (p.a.) yang memiliki kemurnian tinggi, berat sampel melon, jumlah garam, conditioning SPE, volume pencucian SPE dan waktu alir SPE.

C. Definisi Operasional

a. Azoxystrobin adalah fungisida golongan strobulin yang dianalisis dalam penelitian ini

b. QuEChERS adalah cara cepat dan mudah dalam penentuan multiresidu pestisida dengan menggunakan ekstraksi asetonitril dan garam MgSO4, NaCl,

Natrium sitrat, disodium sitrat sesquihidrat dilanjut dengan partisi dispersive -SPE.

c. Conditioning SPE adalah proses mengaliri SPE dengan menggunakan 3 mL metanol dan 3 mL aquabidest secara berurutan hingga catrid SPE C18

benar-benar terbuka sempurna

d. GC-ECD adalah seperangkat sistem Gas Chromatography yang dilengkapi dengan Electron Capture Detector (ECD)

e. Parameter validasi metode analisis adalah semua parameter yang dipersyaratkan agar diperoleh metode analisis yang valid diantaranya akurasi, presisi, koefisien korelasi, LOD dan LOQ

f. Standar internal adalah standar dekachlorobifenil (DCB) yang ditambahkan untuk mengoreksi kesalahan saat proses berlangsung

g. Homogenisasi sampel adalah proses menghomogenisasi melon tanpa adanya penambahan air


(62)

D. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah baku azoxystrobin

99,7% (Syngenta), standar dekachlorobifenil (DCB) (Sigma Aldrich) , asetonitril, metanol, MgSO4, NaCl, Natrium sitrat, disodium sitrat hydrogenate sesquihydrate

dengan kualitas pro analysis (E. Merck), aquadest (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Farmasi USD), aquabidest (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Farmasi USD), dan sampel melon dari pedagang buah di beberapa Pasar Yogyakarta.

E. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kromatografi gas HP 5890 series II dengan dilengkapi detektor ECD 63Ni dan kolom kapiler non polar (5%-phenyl)-methylpolysiloxane, 12–50 m, i.d 0,20–0,32 mm, d.f. 0,11–0,52 µm, neraca analitik (OHAUS Carat Series PAJ 1003, max 60/120 g, min 0,001 g, d = 0,01/0,1 mg, e = 1 mg), kolom SPE C18 400 mg, homogeniser sample, vortex, hot plate, termometer, sentrifuse, botol plastik sentrifugasi 15 ml, ultrasonifikasi,

syringe, mikropipet, pisau, sarung tangan, seperangkat komputer dengan CBM-102 (Shimadzu), perangkat lunak Shimadzu Labsolutions: GC Solution versi 2.30.00SU4, perangkat lunak Powerfit v.6.05 dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di laboratorium analisis.


(63)

F. Tata Cara Penelitian

Garis besar dari penelitian ini dibagi menjadi uji kesesuaian sistem GC-ECD, preparasi sampel melon, optimasi clean-up, validasi metode analisis residu

azoxystrobin dalam buah melon. Metode dikatakan valid jika dapat memenuhi parameter validitas yang meliputi akurasi, presisi, koefisien korelasi, LOD dan LOQ.

1. Prosedur Pencucian Alat-Alat Gelas

Cuci alat dengan menggunakan aquadest sebanyak tiga kali dan ditunggu hingga kering. Cuci kembali alat menggunakan aceton tiga kali kemudian keringkan. Terakhir cuci alat menggunakan metanol dengan tiga kali pengulangan dan keringkan.

2. Pembuatan Larutan Stok Azoxystrobin dan DCB

a. Pembuatan stok azoxystrobin. Ditimbang sejumlah lebih kurang 11,4 mg baku azoxystrobin dan larutkan dalam 1mL toluen sehingga didapatkan konsentrasi stok induk sebesar 11,4 mg/mL.

b. Pembuatan stok DCB. Timbang 10mg DCB dan larutkan dalam 100 mL pelarut. Ambil 10 uL dan add hingga volume 1000 uL.

3. Pembuatan Larutan Intermediet Azoxystrobin

a. Pembuatan larutan intermediet A. Ambil 40 µL dari stok induk dan larutkan dalam 1000 µL heksan sehingga didapatkan larutan intermediet A dengan konsentrasi 0,456 µg/µL.


(64)

b. Pembuatan larutan intermediet B. Ambil 10 µL larutan intermediet A diencerkan hingga volume 1000 µL heksan, sehingga didapatkan konsentrasi 0,456 x 10-2 µg/ µL.

4. Uji Kesesuaian Sistem GC-ECD

Uji kesesuaian sistem perlu dilakukan sebelum metode analisis terpilih dilaksanakan. Secara normal terdapat variasi dalam peralatan dan teknik analisis, maka uji kesesuaian system perlu dilakukan untuk memastikan sistem operasional akhir adalah efektif dan memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan analisis. Kelayakan sistem dilihat dari beberapa parameter yaitu presisi, linearitas dan sensitivitas sistem GC-ECD.

a. Optimasi sistem GC-ECD. Optimasi terhadap sistem GC-ECD dilakukan dalam uji kesesuaian sistem. Optimasi instrumen GC-ECD dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam petunjuk operasional alat yang dilakukan oleh Sanjayadi (2014).

b. Kinerja kualitatif GC-ECD. Kinerja GC-ECD meliputi pemisahan standar azoxystrobin pada sistem atau performa GC-ECD, dan keajegan sistem. Dilakukan dengan menginjeksikan larutan intermediet B dengan kadar 0,137 ng pada GC-ECD yang sudah dioptimasi sebanyak enam kali dibawah kondisi sistem yang sama.

c. Kinerja kuantitatif GC-ECD. Dalam analisis kuantitatif GC-ECD meliputi parameter-parameter presisi, linearitas, rentang linearitas, sensitivitas LOD/ IDL dan IQL, akurasi.


(65)

1) Presisi sistem GC-ECD. Repeatability sistem dilihat dari nilai % RSD. Nilai % RSD ditetapkan dengan cara menginjeksikan sebanyak tiga kali larutan intermediet B dengan jumlah volume pengambilan 20 µL; 10 µL; 7 µL; 5 µL; ; 4 µL, 3 µL, 2 µL yang mana masing-masing ditambahkan 2 µL standar internal dan diencerkan menggunakan heksan hingga volume 200 µL. Injeksikan pada GC-ECD dengan menggunakan volume injeksi 2 µL sehingga didapatkan massa berturut-turut sebesar 0,912 ng; 0,456 ng; 0,319 ng; 0,228 ng; 0,182 ng, 0,137 ng dan 0,091 ng. Diperoleh respon sistem yang berupa luas puncak azoxystrobin pada tiap kadar, sehingga dapat dihitung nilai rata-rata respon factor (RF) , standar deviasi RF dan % RSD RF.

2) Linearitas hubungan kadar baku azoxystrobin dengan respon sistem GC-ECD. Koefisien korelasi (r) digunakan sebagai penentu linearitas hubungan kadar baku azoxystrobin dengan respon yang berupa luas puncak azoxystrobin/standar internal. Nilai parameter (r) dapat ditetapkan dengan menginjeksikan sebanyak tiga kali larutan intermediet B dengan volume pengambilan 20 µL; 10 µL; 7 µL; 5 µL; ; 4 µL; 3 µL dan 2 µL yang masing-masing ditambahkan 2 µL standar internal dan diencerkan menggunakan heksan hingga volume 200 µL. Injeksikan pada GC-ECD dengan menggunakan volume injeksi 2 µL sehingga didapatkan massa berturut-turut sebesar 0,912 ng; 0,456 ng; 0,319 ng; 0,228 ng; 0,182 ng; 0,137 ng; dan 0,091 ng. Lakukan perhitungan dengan menggunakan program statistik


(66)

puncak azoxystrobin/luas puncak DCB serta nilai statistik lain seperti

intersep (a) dan slope (b).

3) Sensitivitas sistem GC-ECD. Beberapa parameter sensitivitas adalah nilai LOD/ IDL, IQL dan slope. Parameter ini dapat ditetapkan dengan cara menginjeksikan sebanyak tiga kali larutan intermediet B dengan volume pengambilan 20 µL; 10 µL; 7 µL; 5 µL; ; 4 µL; 3 µL; 2 µL; 1 µL yang masing-masing ditambahkan 2 µL standar internal dan diencerkan menggunakan heksan hingga volume 200 µL. Injeksikan pada GC-ECD dengan menggunakan volume injeksi 2 µL sehingga didapatkan massa berturut-turut sebesar 0,912 ng; 0,684 ng; 0,456 ng; 0,319 ng; 0,228 ng; 0,182 ng; 0,137 ng; 0,091 ng; 0,046 ng. Lakukan perhitungan dengan menggunakan program statistik powerfit hingga didapatkan hubungan antara kadar

azoxystrobin dengan rasio puncak azoxystrobin/luas puncak DCB serta nilai statistik lain seperti LOD/IDL, IQL dan slope (b).

4) Akurasi. Pengukuran kedekatan antara nilai yang sebenarnya dengan nilai yang terukur dapat ditetapkan dengan menggunakan % D. Semakin kecil % D maka kedekatan semakin baik. Parameter ini dapat ditetapkan dengan cara menginjeksikan larutan intermediet B dengan volume pengambilan 20 µL; 15 µL; 10 µL; 7 µL; 5 µL; ; 4 µL; 3 µL; 2 µL; 1 µL yang masing-masing ditambahkan 2 µL standar internal dan diencerkan menggunakan heksan hingga volume 200 µL. Injeksikan pada GC-ECD dengan menggunakan volume injeksi 2 µL sehingga didapatkan massa berturut-turut sebesar 0,912 ng; 0,684 ng; 0,456 ng; 0,319 ng; 0,228 ng; 0,182 ng; 0,137 ng; 0,091 ng;


(67)

0,046 ng. Lakukan perhitungan dengan menggunakan program statistik

powerfit hingga didapatkan persamaan y=bx+a untuk dapat menghitung % D. 5. Preparasi Sampel Melon

a. Penetapan kadar air dalam buah melon. Homogenisasi kulit, daging dan whole melon secara terpisah tanpa penambahan air. Timbang masing-masing sampel 10 gram. Letakan dalam cawan petri kemudian oven hingga bobot tetap dalam suhu 65°C.

b. Optimasi lama sentrifugasi. Homogenisasi sampel. Timbang sebanyak kurang lebih 5 gram sampel yang telah homogen dan masukan dalam tabung sentrifugasi 15mL. Tambahkan 2 g MgSO4 ; 0,5 g NaCl ; 0,5 g Na3 citrate 2H2O ;

0,25 g Na2H citrate 1.5H2O dan 5 mL asetonitril. Gojog dengan kuat selama 1

menit kemudian vortex selama 2 menit. Sentrifugasi dengan kecepatan 5000rpm selama 5 menit ; 10 menit dan 15 menit. Bandingkan hasil supernatan yang diperoleh.

6. Optimasi Clean-Up Menggunakan SPE C18

a. Penentuan kapasitas berat SPE. Homogenisasi melon hingga homogen. Timbang 10 gram sampel dan masukan dalam tabung sentrifugasi 50 mL. Tambahkan 2 g MgSO4 ; 0,5 g NaCl ; 0,5 g Na3 citrate 2H2O ; 0,25 g Na2H

citrate 1.5H2O dan 10 ml asetonitril dan kemudian gojok dengan kuat selama 1

menit. Vortex selama 2 menit dan sentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Ambil 1 mL supernatan dan masukan dalam flakon. Kemudian oven hingga beratnya tetap. Timbang berat sampel yang telah kering, kemudian hitung kapasitas berat SPE dengan rumus:


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “Validasi Metode Analisis Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon (Cucumis melo L.)” memiliki nama lengkap Rizki Seviana Puspitasari. Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 07 September 1993 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Suhadi dan Warningsih. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulisyaitu TK Seruni IV Glagah Kulon Progo (1997 – 1999), SD Negeri Glagah I Kulon Progo (1999 – 2005), SMP Negeri 1 Temon Kulon Progo (2005 – 2008), SMA Negeri 1 Wates Kulon Progo(2008 – 2011) dan pada tahun 2011 melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi antara lain Wakil Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi (DPMF) periode (2014-2015); peserta Program Kreativitas Mahasiswa yang lolos seleksi dan didanai Hibah Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) tahun (2014) dengan judul “Crackers Mentri Mbah Kusang (Mengkudu Bernutrisi Limbah Kulit Pisang)”; Sekertaris Event Donor Darah Unit Kegiatan Fakultas Farmasi Islam Sanata Dharma (Fistara) pada tanggal (2013); anggota Divisi Quality Control Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi periode (2012-2013); Koordinator Sie Acara Komisi Pemilihan Umum Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi periode (2012-2013); Panitia Pharmacy Performance dan Pharmacy Road to School (2013) sebagai anggota divisi dana dan usaha; peserta perkuliahan “Guest Lecture on Medical Chemistry by Prof. Dr. Rob Leurs (Vrije Universiteit, The

Netherlands) (2013) di Universitas Gadjah Mada; peserta Seminar Nasional

“Pemberdayaan Pasien Dalam Self Management Diabetes Melitus untuk Meningkatkan Kualitas Hidup” (2011); peserta makrab Jaringan Makasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) (2012); peserta Seminar “Motivasi dan Inspirasi utuk Meningkatkan Leadership Competencies” (2014); volunteer kegiatan Desa Mitra “Penyuluhan Sikat Gigi dan Cuci Tangan yang Baik di SD N Sumberadi 1 Sleman” (2012); anggota dalam memperingati Hari HIV Aids Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) Fakultas Farmasi USD (2012).